• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak-Hak Isteri Pasca Cerai Talak Raj'i (Analisis Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hak-Hak Isteri Pasca Cerai Talak Raj'i (Analisis Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

BURHANATUT DYANA

NIM : 1111044100012

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i

154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk MemenuhiSalah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

BURHANATUT DYANA

NIM : 1111044100012

KONSENTRASIPERADILANAGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

ii

154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk MemenuhiSalah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Burhanatut Dyana NIM : 1111044100012

Di Bawah Bimbingan

Hj. Hotnidah Nasution, MA NIP :197106301997032002

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)

iii

Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)” telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal al Syakhshiyah (Peradilan Agama).

Jakarta, 07April 2015 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D NIP. 196912161996031001

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

Ketua :H.Kamarusdiana, S.Ag., MH (………...)

NIP. 197202241998031003

Sekertaris : Sri Hidayati, M.Ag (..………...)

NIP. 197102151997032002

Pembimbing : Hj.Hotnidah Nasution, MA (………..…..…...) NIP. 197106301997032002

Penguji I : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA (..…………..…...) NIP. 197608072003121001

(5)

iv

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 Maret 2015

(6)

v

Nomor154/Pdt.G/2014/PA.Bjn).Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M. xi + 103 halaman + 30 halaman lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim dalammengabulkan permohonan cerai talak yang diajukan oleh suami terhadap isteri melalui putusan Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan Nomor154/Pdt.G/2014/PA.Bjn.Dalam putusan Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn hakim tidak menghukum suami untuk memberikan hak nafkah iddah dan mut’ah kepada mantan isterinya.Sedangkan dalam putusan Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn hakim menggunakan hak ex officio nya untuk menghukum suami agar memberikan

nafkah iddah dan mut’ah kepada mantan isterinya yang mengakui perselingkuhannya pada saat persidangan.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah metode Yuridis Empiris.Pendekatan yuridis karena penelitian ini menggunakan kaidah hukum dan peraturan yang berkaitan dengan cerai talak serta hak-hak isteri yang timbul akibat

perceraian yaitu nafkah iddah dan mut’ah.Empiris karena pendekatan bertujuan

memperoleh data mengenai putusan hakim dalam mengabulkan permohonan.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa tidak semua perkara cerai

talak mengakibatkan isteri mendapatkan nafkah iddah dan mut’ah.Majelis hakim berpendapat bahwa nafkah iddah dan mut’ah merupakan hak isteri yang boleh diminta atau tidak di minta.Ketika tidak diminta maka hakim bisa menggunakan hak ex officio yang dimilikinya untuk membebankan kepada suami agar memberikan

nafkah iddah dan mut’ah kepada mantan isteri. Hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 41 huruf (c) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Kata Kunci : Permohonan Cerai Talak. Nafkah Iddah dan Mut’ah. Hak Ex Officio Hakim.

(7)

vi

puji syukur tiada terkira kehadirat Illahi Robbi, karena atas karunia dan

pertolongan-Nya lah sehingga penulis dapat merampungkan skripsi ini. Shalawat serta

salamsemoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Agung Muhamad SAW beserta

kelurga dan para sahabat yang setia dalam suka dan duka.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tercinta, Ayahanda

Ahmad Yono dan Ibunda Nurul Hidayah yang tiada lelah dan bosan memberikan

motivasi, bimbingan, kasih sayang serta do’a bagi kedua putri putranya.Semoga

Allah SWT senantiasa memberikan yang terbaik untuk mereka.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis

hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya,

kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung

maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi, sehingga pada akhirnya skripsi

ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada

kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya

kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Phd., selaku Dekan Fakultas Syariah dan

(8)

vii

3. Ibu Hotnidah Nasution, MA., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan

waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program studi

Ahwal al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada

penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan

referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

6. Bapak Drs. Aam Amarullah, M.H., selaku Ketua Pengadilan Agama Tuban dan

bapak H. Moch. Tha’if AS, S.H., selaku Ketua Pengadilan Agama Bojonegoro

beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Bapak Drs. H. Sholhan dan bapak Drs. Mufi Ahmad Bihaqi, M.H.,selaku hakim

yang memutus perkara yang telah penulis teliti dan telah senatiasa memberikan

wejangan dan bimbingan pada penulis selama penulis melakukan wawancara.

8. Do’a dan harapan penulis panjatkan kepada adinda Muhammad Nur Husna yang

senantiasa memberikan semangat, cinta dan kasihnya sehingga penulis dapat

(9)

viii

dan melindungi serta menjadi tempat menumpahkan segala keluh kesah selama

di Jakarta. Terimakasih tiada terhingga untuk semua cinta dan kasihmu.

10.Terkhusus Nur Azizah. Terimakasih atas kesabaran dan kesetiaanya menemani

penulis dikamar berukuran 4x6 ini.

11.Sahabat - sahabat seperjuangan penulis: Arisa Dykawresa, Nur Azizah, Nabillah,

dan Luluk Muthoharoh.

12.Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2011 yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang

berlipat ganda.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.Oleh karena itu, kritik dan saran yang

membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Jakarta, 16 Maret 2015

(10)

ix

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 7

C. Manfaat dan Tujuan Penelitian ... 9

D. Studi Review Terdahulu ... 10

E. Metode dan Teknik Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II CERAI TALAK DAN HAK ISTERI DI PENGADILAN AGAMA A. Definisi Cerai Talak ... 16

(11)

x

E. Prosedur dan Penyelesaian Permohonan Cerai Talak

di Pengadilan Agama ... 32

F. Hak ExOfficio Hakim Terhadap Penetapan Nafkah Iddah dan Mut’ahdalam Cerai Talak ... 41

BAB III POTRET PENGADILAN AGAMA TUBAN DAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO A. Profil Pengadilan Agama 1. Pengadilan Agama Tuban ... 45

2. Pengadilan Agama Bojonegoro ... 48

B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama 1. Pengadilan Agama Tuban ... 51

2. Pengadilan Agama Bojonegoro ... 52

C. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama ... 53

D. Kompetensi Relatif dan Absolut Pengadilan Agama ... 57

(12)

xi

dengan Perkara Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn ... 81

D. Analisis Penulis ... 82

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran-saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96

LAMPIRAN

1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi

2. Surat Permohonan Data/Wawancara ke PA Tuban

3. Surat Permohonan Data/Wawancara ke PA Bojonegoro

4. Surat Keterangan Riset dari PA Tuban

5. Surat Keterangan Riset dari PA Bojonegoro

6. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Tuban

7. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Bojonegoro

8. Putusan Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn

9. Putusan Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn.

(13)

1 A. Latar Belakang Masalah

Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat (mitsaqan

ghalizhan), ikatan yang suci transenden artinya suatu perjanjian yang

mengandung makna magis, suatu ikatan bukan saja hubungan atau kontak

keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan terjadinya hubungan

badan antara suami istri sebagai penyalur libido seksual manusia yang terhormat,

oleh karena itu hubungan tersebut dipandang sebagai ibadah.1 Untuk itu

perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan dapat

mewujudkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang sejahtera

(mawaddah warahmah).

Akan tetapi untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tersebut tidaklah

mudah dan tanpa rintangan, karena manakala setelah pernikahan dijalani ternyata

banyak duri mengahalangi, kerikil dan karang terjal menghadang, ombak dan

gelombang pasang menerjang, sehingga biduk yang bernama rumah tangga itu

pun terombang-ambing dan tercerai berai sehingga kandaslah perkawinan

tersebut dan putus ditengah perjalanan.

1

(14)

Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena

makna dasar sebuah perkawinan adalah akad nikah, yang berarti ikatan atau

dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekuensinya

ia dapat lepas yang kemungkinan dapat disebut dengan talak. Adapun makna

dasar dari talak itu adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian.2

Perceraian merupakan realitas yang tidak dapat dihindarkan apabila kedua

belah pihak saling terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit untuk

didamaikan. Perceraian dalam hal ini merupakan alternatif terakhir (pintu

darurat) yang dapat dilalui oleh suami isteri bila ikatan perkawinan (rumah

tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif

terakhir dimaksud berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk

mencari kedamaian diantara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator)

dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh

al-Quran dan Hadis.3

Apabila langkah-langkah dan teknik yang telah diajarkan oleh al-Quran

dan Hadis tersebut telah dilaksanakan dan tidak mendapatkan titik temu untuk

mencapai kesepakatan berdamai dan merasa tidak bisa melanjutkan keutuhan

rumah tangga, maka barulah kedua belah pihak bisa membawa permasalahan ini

ke pengadilan untuk mendapatkan jalan keluar yang terbaik.

2

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 206

3

(15)

Pengadilan merupakan upaya terakhir untuk mempersatukan kembali

suami dan istri yang ingin bercerai dengan jalan membuka kembali upaya

perdamaian dengan cara musyawarah, yang mana hakim yang akan menjadi

penengahnya dalam upaya perdamaian ini. Bagi orang yang beragama Islam akan

membawa permasalahan ini ke Pengadilan Agama, sementara bagi orang yang

memeluk agama selain Islam maka akan membawa permasalahan ini ke

Pengadilan Negeri.

Perceraian merupakan suatu perbuatan hukum yang tentunya akan

membawa akibat-akibat hukum tertentu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 144

Kompilasi Hukum Islam (KHI) perceraian dapat terjadi karena talak atau

berdasarkan gugatan perceraian. Untuk lebih lanjut lagi dijelaskan dalam pasal

selanjutnya bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan

Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 115 KHI).4

Adapun ketentuan yang mengatur tentang perceraian yang terjadi karena

adanya talak dari suami terhadap isteri telah diatur dalam Pasal 41 (c)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa, pengadilan dapat

mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau

menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Pasal ini menunjukkan

4

(16)

bahwasanya suami berkewajiban untuk memberikan mut’ah dan nafkah iddah

kepada mantan isterinya.

Wanita yang diceraikan oleh suaminya boleh memberikan beberapa

tuntutan kepada suaminya, karena wanita yang diceraikan tersebut memiliki

beberapa hak yang berhak dia peroleh dari mantan suaminya. Adapun hak-hak

isteri itu ialah tuntutan nafkah selama masa iddah dan mut’ah.

Secara terminologi, nafkah adalah sesuatu yang wajib diberikan kepada

mantan isteri yang berupa harta untuk mematuhi agar dapat bertahan hidup. Dari

pengertian ini terlihat bahwa yang termasuk di dalam nafkah adalah sandang,

pangan dan papan.5 Sedangkan yang termasuk mut’ah ialah uang atau benda

yang lainnya (Pasal 149 (a) KHI).

Kewajiban memberikan nafkah selama masa iddah dan mut’ah bagi isteri

yang telah ditalak oleh suaminya berdasarkan pada ketentuan dalam surat

al-Baqarah [2] ayat 241:

/ 2 : 242

Artinya : “Kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya mut’ah menurut yang ma’ruf sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah [2] : 241)

Menurut Zamakhsyari seperti halnya yang dikutip oleh Zubair Ahmad,

ayat diatas berlaku secara umum, yakni wajib memberikan suatu pemberian

kepada seluruh wanita yang ditalak. Alasan ini di dasarkan kepada huruf pada

5

(17)

ِتاَقَلَطُمْلِل berarti “bagi wanita-wanita yang ditalak ada hak”. Artinya mantan

suaminya mempunyai kewajiban memberikan mut’ah kepada setiap isteri yang

ditalak. Kecuali itu, lanjutan ayat juga menyebutkan adanya kata اًقَح

(ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanaka) yang disusul denngan huruf ىَلَع yang

mempunyai makna kata kerja, yaitu kewajiban bagi (orang yang bertaqwa).6

Dalam Hadis juga dijelaskan kewajiban yang serupa yaitu kewajiban

memberikan nafkah selama iddah dan memberikan mut’ah kepada mantan isteri.

Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:

Artinya: “Dan kamu wajib memberi nafkah kepada mereka dan memberi pakaian secara ma’ruf (patut)”. (HR. Muslim)

Selain peraturan yang ada dalam al-Quran dan Hadis, perintah

memberikan nafkah kepada mantan isteri selama beriddah dan mut’ah juga di

pertegas kembali di dalam peraturan yang berlaku, diantaranya Pasal 41 huruf (c)

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI Pasal 81 ayat (1) serta Pasal

149 huruf (b).

Berbeda dengan realita yang ada, bahwasanya penulis telah menemukan

dua putusan hakim di dua Pengadilan Agama yang berbeda yang menyimpang

dari teori yang telah ada baik dalam al-Quran, Hadis, kitab-kitab fikih maupun

6

Zubair Ahmad dkk, Relasi Suami Isteri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h. 78

7

(18)

hukum formil. Kesenjangan ini menarik untuk diteliti sehingga penulis

mengangkatnya kedalam sebuah tulisan.

Putusan hakim yang pertama yaitu perkara yang telah diputus oleh hakim

Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn yang memutus

perkara cerai talak. Dalam amar putusannya hakim tidak menghukum suami

untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada mantan isterinya sesuai

dengan kemampuannya. Sedangkan kedua hal tersebut merupakan hak isteri

sebagai akibat hukum dari perceraian yang dijatuhkan oleh suami kepada isteri.

Persoalannya adalah ketika isteri hadir di Pengadilan Agama dengan

penuh harapan bahwa kepentingannya dapat dilindungi dan akan mendapatkan

hak-haknya (nafkah iddah dan mut’ah) sesuai hukum yang berlaku namun yang

didapatkannya hanya sekedar akta cerai. Walaupun akta cerai merupakan hal

yang urgen sebagai bukti perceraian namun itu baru sebagian dari perwajahan

asas kepastian hukum (validitas yuridis), belum menggambarkan nilai dasar

keadilan (Validitas filosifis) dan asas manfaat (validitas sosiologis).8

Berbeda dengan putusan hakim yang kedua yaitu perkara yang telah

diputus oleh hakim Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor

154/Pdt.G/2014/PA.Bjn yang memutus perkara cerai talak yang disebabkan

karena isteri memiliki pria idaman lain (PIL). Dalam amar putusan tersebut

8

Muh. Irfan Husaeni, “Menyoal Beda Pendapat Di Kalangan Hakim Pengadilan Agama

(19)

hakim menghukum suami untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada

mantan isterinya yang secara jelas mengakui perselingkuhannya di depan

persidangan. Dalam hal ini isteri dapat dikategorikan sebagai nusyuz. Hal ini

tentu saja menyimpang dari teori yang telah ada baik dalam al-Quran, Hadis,

kitab-kitab fiqih maupun hukum formil yang berlaku yang menyatakan bahwa

bagi isteri yang nusyuz tidak berhak baginya mendapatkan nafkah iddah dan

mut’ah dari mantan suaminya.

Kemudian berangkat dari latar belakang tersebut diatas, penulis tertarik

untuk membahasnya serta merumuskannya dalam sebuah karya tulis dalam

bentuk skripsi dengan judul “HAK-HAK ISTERI PASCA CERAI TALAK

RAJ’I (Analisis Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor

1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro

Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)”.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih Pengadilan Agama

Tuban dan Pengadilan Agama Bojonegoro sebagai obyek penelitian.

Mengingat banyaknya perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama

tersebut, maka penulis melakukan pembatasan yakni hanya pada putusan

mengenai hak nafkah iddah dan mut’ah kepada istri yang di cerai talak oleh

mantan suaminya perkara Nomor: 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan Putusan

(20)

Menarik untuk penulis teliti dalam skripsi ini sehingga nantinya tidak

meluas atau keluar dari pokok bahasan yakni sehubungan dengan beraneka

ragamnya kasus cerai talak, maka dalam skripsi ini penulis membatasi hanya

pada kasus di atas yang difokuskan pada argumentasi dan landasan hukum

hakim dalam memutus perkara tentang hak-hak isteri dalam cerai talak.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan al-Quran, Hadis, UU Perkawinan maupun KHI bahwa

perempuan yang ditalak oleh suaminya berhak mendapatkan nafkah kecuali

bagi isteri yang nusyuz. Namun dalam kenyataannya ada putusan pengadilan

yang mana hakim tidak menetapkan nafkah iddah dan mut’ah yang harus

diberikan oleh suami kepada mantan isterinya yang tidak melakukan

perbuatan nusyuz kepadanya. Sedangkan dalam putusan lain, hakim

memberikan nafkah kepada mantan isteri yang telah melakukan nusyuz

terhadap suaminya.

Sehubungan dengan permasalahan di atas dan untuk memudahkan

penulis dalam penulisan skripsi ini, maka rincian rumusan masalah skripsi

ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Tuban pada Nomor

1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan Pengadilan Agama Bojonegoro dalam

(21)

b. Apa perbedaan putusan hakim Pengadilan Agama Tuban pada Perkara

No. 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan putusan hakim Pengadilan Agama

Bojonegoro pada Perkara No. 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn?

C. Manfaat dan Tujuan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam melakukan suatu kegiatan pada dasarnya memiliki tujuan

tertentu. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah penulis

uraikan diatas, maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Tuban

dalam memutus perkara Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan

pertimbangan hakim Pengadilan Agama Bojonegoro dalam memutus

perkara Nomor 154/Pdt.G/2014/PA. Bjn.

b. Untuk mengetahui perbedaan antara putusan hakim Pengadilan Agama

Tuban perkara nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan putusan hakim

Pengadilan Agama Bojonegoro perkara nomor 154/Pdt.G/2014/PA. Bjn.

2. Manfaat penelitian

Selain tujuan sebagaimana telah dikemukakan diatas. Penelitian ini

juga diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat baik secara teoritis

maupun praktis, antara lain:

a. Secara Teoritis : untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang

(22)

b. Secara Praktis : sebagai referensi bagi pencari keadilan serta memberikan

kejelasan pada masyarakat umumnya tentang ketentuan hukum dan

perundang-undangan yang mengatur tentang nafkah iddah.

D. Studi Review Terdahulu

Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan ini. Penulis

menemukan ada beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan

tentang cerai talak akan tetapi mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh penulis, adapun penelitian tersebut dintaranya:

1. Ultra Petitum Partium dan Hak Ex Officio Hakim, Studi Kasus Cerai Talakdi

Pengadilan Agama Slawi (Putusan No.0203/Pdt.G/2010/PA.Slw), Ulul

Azmi, NIM 206044103793 tahun 2011. Dalam skripsi ini membahas tentang

hak ex officio hakim yang memberikan putusan yang tidak diminta oleh

Pemohon dan Termohon dalam memutuskan perkara cerai talak di

Pengadilan Agama Slawi. Perbedaannya dalam skripsi penulis adalah

bahwasanya penulis menganalisa dua putusan di dua pengadilan yang

berbeda tentang hak ex officio hakim perihal pemberian nafkah iddah dan

mut’ah kepada istri dalam perkara cerai talak.

2. Nafkah Iddah Bagi Isteri Nusyuz (Analisa Putusan Hakim Pengadilan Agama

Bogor No. 169/Pdt.G/2011/PA.Bgr dan Putusan Hakim Pengadilan Agama

Depok Perkara No. 96/Pdt.G/2009/PA.Dpk), Iin Winiarti, NIM

108044100049, tahun 2012. Dalam skripsi ini membahas perbandingan

(23)

dan perkara nomor 96/Pdt.G/2009/PA.Dpk tentang nafkah iddah yang

diberikan oleh hakim kepada isteri nusyuz. Perbedaanya dengan skripsi

penulis ini adalah bahwasanya penulis menganalisa perbandingan

pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor

1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan nomor 154/Pdt.G/2014/PA. Bjn tentang

hak-hak isteri dalam cerai talak yaitu pemberian mut’ah dan nafkah bagi mantan

isteri selama masa iddah baik bagi isteri yang tidak melakukan perbuatan

nusyuz terhadap suaminya maupun yang melakukan nusyuz

E. Metode dan Teknik Penelitian 1. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

pendekatan yuridis empiris. Metode pendekatan yuridis empiris merupakan

cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian

dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan

dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan menyangkut

hak-hak isteri dalam cerai talak.

2. Jenis Penelitian

Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode

deskriptif analisis yakni menggambarkan dan memaparkan secara sistematika

tentang apa yang menjadi obyek penelitian dan kemudian dilakukan analisis.

(24)

menggambarkan berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari

fenomena yang diteliti.9

Cara tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis

secara mendalam tentang “HAK-HAK ISTERI PASCA CERAI TALAK

RAJ’I (Analisis Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban

Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama

Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)”.

3. Subjek dan Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Tuban dan Pengadilan

Agama Bojonegoro. Adapun yang menjadi bahan penelitian dalam penulisan

skripsi ini adalah putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor

1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor

154/Pdt.G/2014/PA.Bjn. Sehubungan dengan hal tersebut maka yang menjadi

respondennya adalah Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut.

4. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan sebagai referensi untuk menunjang keberhasilan

penelitian yakni meliputi; Data Primer dan Data Sekunder.

9

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.

(25)

1). Data Primer yang dibutuhkan untuk menjawab semua permasalahan di

atas adalah putusan hakim Pengadilan Agama Tuban dalam perkara

Putusan Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan putusan hakim

Pengadilan Agama Bojonegoro dalam perkara Putusan Nomor

154/Pdt.G/2014/PA.Bjn yang telah Berkekuatan Hukum Tetap serta

hasil wawancara dengan hakim yang memeriksanya dalam persidangan.

2).Data Sekunder dalam penelitian ini terdiri dari penelitian hukum

normatif (penelitian hukum kepustakaan) dan penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yaitu bahan yang

dihasilkan dari bahan hukum terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan bahan hukum

lainnya seperti buku-buku yang mendukung dan memperjelas bahan

hukum tersebut.

b. Studi Lapangan

Adapun studi lapangan ini dilakukan dengan dua tekhnik berikut;

1. Studi dokumen dengan mempelajari berkas yang berbentuk putusan

Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan putusan

Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn yang

telah berkekuatan hukum tetap.

2. Wawancara yang dilakukan dengan hakim yang menyelesaikan perkara

tentang nafkah iddah di Pengadilan Agama Tuban dan Pengadilan

(26)

wawancara tak terstruktur (open – ended) yaitu wawancara dengan

pertanyaan yang bersifat terbuka dimana responden secara bebas

menjawab pertanyaan tersebut.10

3. Observasi langsung ke lapangan dengan cara langsung datang ke

Pengadilan Agama Tuban dan Pengadilan Agama Bojonegoro untuk

mendapatkan hasil yang maksimal.

5. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan maupun dari

penelitian lapangan akan diolah berdasarkan analisis normatif kualitatif.

Normatif karena peneliti bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai norma

hukum positif, sedangkan kualitatif yang dimaksud yaitu analisis yang bertitik

tolak pada usaha penemuan asas dan informasi yang bersifat monografis atau

berwujud kasus-kasus (sehingga tidak dapat disusun ke dalam suatu struktur

klasifikatoris) dari responden. Memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil

pengamatan dan pertanyaan kepada sejumlah responden baik secara lisan

maupun secara tertulis selama dalam melakukan penelitian.11

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian skripsi ini berpedoman kepada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum

10

Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya), h. 233.

11

(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.” Adapun sistematika penulisannya

adalah sebagai berikut :

Bab Pertama, terdiri dari Pendahuluan yang meliputi Latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

studi review terdahulu, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, memuat tentang Cerai Talak dan Hak Isteri di Pengadilan

Agama, yang isinya meliputi Definisi cerai talak, dasar hukum cerai talak,

macam-macam cerai talak, akibat hukum yang timbul akibat cerai talak, prosedur

dan penyelesaian permohonan cerai talak di Pengadilan Agama serta hak ex

officio hakim terhadap penetapan nafkah iddah dan mut’ah dalam cerai talak.

Bab Ketiga, berisi tentang Potret Pengadilan Agama Tuban dan

Pengadilan Agama Bojonegoro yang terdiri dari Profil, struktur organisasi, tugas

pokok dan fungsi serta kompetensi relatif dan absolut Pengadilan Agama.

Bab Keempat, pada bab ini penulis akan mengkomparasikan putusan

Pengadilan Agama Tuban No. 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan putusan Pengadilan

Agama Bojonegoro No. 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn yang di dalamnya terdiri dari

kronologi perkara No. 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan No. 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn

serta perbandingan kedua putusan tersebut dan dilanjutkan dengan analisa

penulis.

Bab Kelima, adalah Penutup yang berisi Kesimpulan dan saran. Dalam

bab penutup ini penulis menyimpulkan semua yang telah dibahas dalam skripsi

(28)

16 A. Definisi Cerai Talak

Talak atau cerai merupakan terjemahan dari bahasa Arab (اللاطا كلطي كلط)

yang artinya lepas dari ikatan, berpisah, menceraikan pembebasan.1 Sementara

dalam kamus besar Bahasa Indonesia, talak diartikan sebagai perceraian antara

suami dan isteri; lepasnya ikatan perkawinan.2

Di dalam Ensiklopedi Indonesia, definisi talak adalah memutuskan atau

melepaskan ikatan perkawinan.3 Hal ini senada dengan pendapat Imam

Taqiyudin dalam bukunya Kifayatul Akhyar yang mendefinisikan talak sebagai

berikut:

Artinya: “Thalak menurut bahasa adalah melepas ikatan atau menceraikan”.

Selain kata talak, di dalam al-Qur‟an juga terdapat kata lain yang

memiliki makna yang sama dengannya, yaitu kata Firaq (lepas) dan kata Sirah

(pisah).5

1

Ahmad Warson Munawir, Almunawir Kamus Besar Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. 14, h. 861

2

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), Ed. 4, h. 1383

3

Tim Penyusun, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: PT Ichtiar Baru – Van Hoeve), Jilid. 6, h. 3429

4

(29)

Adapun kata Firaq (lepas) yang semakna dengan kata talak tepatnya

berada pada surat at-Talaq [65] ayat 2, yaitu:

/ 65 : 2

Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pelajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siaoa yang bertakwa kepada

Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”. (QS. At-Talaq: 2)

Ayat diatas mengandung perintah yang bersifat alternatif bagi suami

untuk memilih salah satu diantara dua pilihan, yaitu mengikat kembali tali

perkawinan atau melepaskan ikatan perkawinan dengan cara yang baik.

Sedangkan kata Sirah (pisah) terdapat dalam beberapa ayat al-Qur‟an

diantaranya surat al-Ahzab [33] ayat 49 sebagai berikut,

/ 33 : 49

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‟ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”. (QS. Al-Ahzab [33]: 49)

5

Muthafa Diib Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzhab

(30)

Kandungan ayat ini juga berisi perintah kepada suami untuk melepaskan

isterinya dengan cara yang ma‟ruf. Perjalanan dalam mengarungi bahtera rumah

tangga rupanya tidaklah mudah dan tanpa rintangan, karena manakala setelah

pernikahan itu dijalani ternyata banyak duri yang mengahalangi. Keadaan

tersebut adakalanya dapat diatasi dan terselesaikan, sehingga hubungan suami

isteri menjadi rukun kembali. Namun adakalanya keadaan tersebut tidak dapat

diatasi dan semakin memburuk sehingga perkawinan terpaksa harus diputus

ditengah jalan. Untuk menjaga agar hubungan antar keluarga tidak terpecah belah

dan menimbulkan permusuhan, maka Islam memberikan solusi dengan adanya

perceraian sebagai jalan keluar bagi suami isteri yang telah hancur rumah

tangganya.

Adapun pengertian talak menurut ulama adalah:

1. Madzhab Hanafi dan Madzhab Hanbali mendefinisikannya sebagai pelepasan

ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan dimasa

yang akan datang.6

2. Madzhab Syafi‟i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan

lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu.

3. Madzhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang

menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami-isteri.

6

(31)

4. Sayyid Sabiq mendefinisikan talak yaitu melepas tali perkawinan dan

mengakhiri hubungan suami isteri.7

Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan talak sebagai ikrar suami di

hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya

perkawinan (Pasal 117).8 Dari berbagai macam definisi diatas, dapat ditarik satu

kesimpulan bahwasanya talak adalah suatu perbuatan memutuskan tali

perkawinan yang sah serta mengakhiri hubungan suami isteri.

B. Dasar Hukum Cerai Talak

Talak atau perceraian dalam Islam telah di atur dalam al-Quran dan

Hadis. Adapun ayat yang menjadi dasar hukum cerai talak ini diantara nya adalah

surat al-Baqarah [2] ayat 229, yaitu:

/ 2 : 229

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi

dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. (QS. Al-Baqrah [2]: 229)

Firman Allah SWT surat al-Baqarah [2] ayat 231

/

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Terjemah, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1996), Cet. 2, Jilid 9, h. 9

8

(32)

Artinya: “Apabila kamu menalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir

idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma‟ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma‟ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk

memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu menjadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah nikmat Allah padamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur‟an) dan al-Hikmah (as-Sunah). Allah memberi pelajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui

segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 231)

Ibnu Katsir mengatakan, bahwa dalam ayat tersebut, Allah menyuruh

kepada kaum laki-laki untuk berbuat baik ketika dia mentalak isterinya dengan

talak raj‟i, jika iddah nya sudah habis dan tidak ada waktu lagi kecuali sekedar

untuk ruju‟. Dalam hal ini suami dapat menahannya, yaitu mengambalikan si

isteri kedalam naungan perkawinan dengan cara yang ma‟ruf. Dia harus

mempersaksikan ruju‟nya itu kepada orang lain serta berniat menggaulinya

dengan ma‟ruf, atau si suami membiarkan hingga iddahnya habis dan dia keluar

dari rumah suaminya. Hal inipun harus dilakukan dengan cara yang ma‟ruf pula.9

Firman Allah SWT dalam surat at-Talaq [65] ayat 1

/ 65 : 2

Artinya: “Hai nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang

9

(33)

wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertaqwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”. (QS. At-Talaq [65] : 1)

Selain berdasarkan ayat diatas, talak juga di dasarkan pada sabda

Rasulullah SAW, yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya: “Dari Ibnu „Umar. Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW:

“Perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah thalaq”. (HR. abu Daud)

Jika melihat penggalan hadis diatas, terlihat sekali bahwasanya Nabi

sangat tidak senang dengan perbuatan talak ini dan menghukuminya sebagai

perbuatan yang makruh. Namun apabila dihadapkan dengan keadaan dan situasi

tertentu, maka hukum talak ini bisa berubah. Adapun hukum talak adalah sebagai

berikut:

1. Talak menjadi wajib, jika pihak hakam (juru damai) tidak berhasil

menyelesaikan perpecahan antara suami dan isteri dan tidak bisa diperbaiki

kembali hubungan mereka serta hakam (juru damai) berkeyakinan bahwa

talak merupakan salah satu-satunya jalan yang dapat menyelesaikan

perpecahan.11

10

Abu Daud Sulaiman al-Asy‟ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, Bab Karahiyah al-Talaq, (Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif, t.h., ), h. 379.

11

(34)

2. Talak menjadi sunnah, jika keadaan rumah tangga sudah tidak dapat

dilanjutkan dan seandainya dipertahankan maka akan timbul banyak

kemudharatan.12

3. Talak menjadi mubah, jika isteri dapat menjaga diri dikala tidak ada

suaminya dirumah, isteri yang berbahaya terhadap suami atau yang tidak baik

akhlaknya.13

4. Talak menjadi makruh, jika suami menceraikan isteri yang taat kepadanya,

rajin beribadah dan shalilah.

5. Talak menjadi haram, jika si suami mengetahui bahwa jika dia talak isterinya

maka dia akan terjatuh ke dalam perbuatan zina akibat ketergantungannya

kepada isterinya, atau akibat ketidak mampuannya untuk menikah dengan

wanita yang selain dia.14

C. Macam-macam Cerai Talak

Ditinjau dari segi sesuai atau tidaknya dengan syariat islam, maka talak

itu terbagi:

1. Talak sunni, adalah talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama,

yaitu seseorang mentalak perempuan yang telah pernah dicampurinya

12

Amir Syarifuddin, Garis – garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Ed. 1, Cet. 2, h. 127

13

Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), Cet. 2, h. 181

14

(35)

dengan sekali talak dimasa bersih dan belum ia sentuh kembali selama masa

bersih itu.15

2. Talak bid‟i adalah talak yang menyalahi ketentuan agama, seperti mentalak

tiga kali dengan sekali ucap atau mentalak tiga kali secara terpisah-pisah

dalam satu tempat, atau seorang suami mentalak isterinya dimasa isterinya

haid atau nifas atau dimasa suci sesudah ia kumpuli.16

Sedangkan apabila ditinjau dari segi hak suami atas isterinya setelah

suami menjatuhkan talak kepada isterinya, terbagi kepada:

1. Talak raj‟i yaitu talak yang masih boleh dirujuk. Arti rujuk ialah kembali,

artinya kembali menjadi mempunyai hubungan suami isteri dengan tidak

melalui proses perkawinan lagi tetapi melalui proses yang lebih sederhana.17

2. Talak Ba‟in Kubra (KHI Pasal 120) adalah talak yang terjadi untuk yang

ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan

kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri

menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba‟da al-dukhul

dan telah melewati masa iddah.

15

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Terj. Moh Thalib, (Bandung: PT Alma‟arif, 1983), Cet. 2, h. 42

16

Ibid., h. 44

17

(36)

3. Talak Ba‟in Shughra (KHI Pasal 119 ayat (1)) adalah talak yang tidak boleh

dirujuk tapi boleh dengan akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun

dalam iddah.

D. Akibat Hukum Cerai Talak

Apabila hubungan perkawinan antara suami dan isteri putus, maka hukum

yang berlaku sesudahnya adalah:

1. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak

boleh saling memandang apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaimana

yang berlaku antara dua orang yang saling asing. 18 Dapat dipahami bahwa

akibat dari putusnya perkawinan ini mengembalikan status halal yang

didapatnya selama perkawinan menjadi kembali kepada status semula, yaitu

haram.

2. Berlaku ketentuan iddah bagi isteri yang diceraikan.

Makna iddah secara istilah mengandung arti masa menunggu bagi

wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan

suaminya, baik itu cerai hidup ataupun cerai mati, dengan tujuan untuk

mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami untuk kembali

kepada isteri dalam ikatan perkawinan. Para ulama mendefinisikan iddah

sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang isteri yang ditinggal

mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk

18

(37)

dinikahkan.19 Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa iddah merupakan

masa tunggu bagi isteri untuk dapat dirujuk kembali oleh suami atau untuk

dibolehkannya menikah dengan laki-laki lain.

Macam-macam iddah bagi seorang wanita dibagi menjadi lima

kategori, yaitu:

a) Iddah bagi wanita hamil adalah sampai ia melahirkan

: 4

Artinya: “Dan perempuan-perempuan hamil , waktu iddah mereka itu

ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.(QS. At-Thalaq: 4)

b) Iddah karena kematian adalah empat bulan sepuluh hari

234 )

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan

dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari”. (QS. Al-Baqarah: 234)

c) Iddah bagi wanita yang masih haidh adalah tiga kali quru‟

: 228

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendakklah menahan diri

(menunggu) tiga kali quru‟”. (QS. Al-Baqarah: 228)

d) Iddah bagi wanita yang tidak haidh atau menopause adalah selama tiga

bulan

19

(38)

: 4

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang sudah tidak haid lagi (menopouse) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu

(tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan”. (QS. At-Thalaq: 4)

3. Keharusan memberikan nafkah iddah dan mut‟ah.

Nafkah secara etimologi berasal dari kata ( ُةَمَفَنّلا ) yang berarti

ٌقاَفْنِلااَو ُفْوُرْصَمْلَا “biaya, belanja, pengeluaran uang”.20

Sekilas dapat

dipahami bahwasanya nafkah berkaitan erat dengan kebutuhan pokok

kehidupan manusia sehari-hari. Kebutuhan pokok yang diperlukan oleh

manusia seperti makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal.21

Sedangkan yang dimaksud dengan mut‟ah adalah pemberian atau

hadiah yang layak yang diberikan suami kepada isterinya selama masa iddah

baik berupa uang atau benda. Pemberian mut‟ah oleh suami kepada isteri

dimaksudkan untuk membersihkan hati kaum wanita dan menghilangkan

kekhawatiran terhadap penghinaan kaum pria kepadanya.22

Kewajiban memberikan nafkah iddah dan mut‟ah telah diperintahkan

oleh Allah swt dalam firmannya QS. Al-Baqarah [2] ayat 241

20

Achmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Ed. ke-2, h. 1449

21

Mustofa Al-khin, Mustofa Al-Bugho dan Ali Asy-Syarbaji, Kitab Fikah Mazhab Syafie,

(Kuala Lumpur: Pustaka Salam SDN BHD, 2005), Jilid ke-4, h. 925

22

(39)

/ 2 : 242

Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh

suaminya) mut‟ah menurut yang makruf sebagai suatu kewajiban bagi

orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah [2]: 241)

Firman Allah SWT QS. At-Talaq [65] ayat 7

/ 65 : 7

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. At-Talaq [65]: 6)

Selain tercantum dalam al-Quran, kewajiban suami terhadap nafkah

selama masa iddah juga terdapat dalam beberapa hadits Nabi, diantaranya

ialah:

Artinya: “Dari Fathimah binti Qais, ia berkata: Aku pernah datang kepada Nabi saw. Lalu aku berkata: Sesungguhnya suamiku si Fulan telah mengutus (seseorang mengabarkan) tentang talak (yang ia jatuhkan padaku), dan sesungguhnya aku telah menanyakan kepada keluarganya tentang nafkah dan tempat tinggal (bagiku), tetapi mereka menolakku. Mereka berkata: Ya

23 Abi „Abd al

(40)

Rasulullah, sesungguhnya suami Fathimah telah menguutus (seseorang mengabarkan) tentang talak yang ketiga kalinya (yang ia jatuhkan pada isterinya). Fathimah berkata: Kemudian Rasulullah saw. Bersabda: Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal itu bagi perempuan yang suaminya masih mempunyai hak ruju‟ (talak raj‟i)”. (H.R. An-Nasa‟i)

Selain terdapat dalam al-Quran dan Hadis, kewajiban memberi

nafkah juga dipertegas dalam hukum formil. Akibat yuridis cerai talak

diantaranya adalah pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk

memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi

bekas isteri (Pasal 41 huruf (c) UU No.1 Tahun 1974). Sedangkan dalam

Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 dijelaskan bilamana perkawinan putus

karena talak, maka bekas suami wajib:

a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa

uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al-dukhul;

b. Memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas isteri selama masa

iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan

dalam keadaan tidak hamil.

Berbicara tentang nusyuz, secara terminologi kata nusyuz diartikan

sebagai pembangkangan dalam kewajiban terhadap pasangan, baik itu

dilakukan isteri maupun suami.24 Hal ini memberikan pengertian bahwa isteri

maupun suami sama-sama memiliki peluang untuk melakukan

pembangkangan atau nusyuz terhadap pasangannya karena tidak

24

(41)

melaksanakan kewajiban atau melanggar hak-hak pasangannya sehingga

dapat mengganggu keharmonisan dalam berumah tangga.

Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan perbuatan nusyuz yang

dilakukan oleh isteri terhadap suami, sehingga karena adanya perbuatan

tersebut menyebabkan isteri tidak berhak mendapatkan nafkah iddah dan

mut‟ah dari mantan suaminya. Mengenai perbuatan nusyuz isteri ini, penulis

dapat memberikan contoh, seperti: tidak mau diajak tidur bersama, isteri

bercikap acuh dan tidak peduli kepada perintah suami, anak terlantar akibat

isteri sering pergi dari rumah tanpa izin dari suami dan lain sebagainya.

Berkenaan dengan hal ini Allah swt berfirman dalam al-Quran surat

an-Nisa [4] ayat 34 tentang nusyuz isteri terhadap suami.

/ 4 : 34

(42)

Adapun Hadis Rasulullah SAW yang membahas tentang nusyuz isteri

terhadap suami diantaranya adalah sebagai berikut:

Artinya: Dari Abu Hurairah R.A. berkata, bahwa Nabi SAW bersabda:

“Apabila seorang suami mengajak isterinya ketempat tidur, tetapi ia

menolak untuk datang, lalu sang suami marah, sepanjang marah maka para malikat melaknatnya (isteri) hingga datang pagi”. (H.R. Muslim)

Selain dalam al-Quran dan Hadis, nusyuz diatur pula dalam

Kompilasi Hukum Islam Pasal 84, disana menyebutkan bahwa:

1. Isteri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan

kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) kecuali dengan

alasan yang sah.

2. Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut

pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali untuk

kepentingan anaknya.

3. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah

isteri nusyuz.

4. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus

didasarkan atas bukti yang sah.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa nusyuz

merupakan pembangkangan, pendurhakaan atau sikap tidak patuh yang

25

(43)

dilakukan isteri kepada suami, sehingga jika tidak ditangani dengan cepat

maka dapat menimbulkan putusnya ikatan perkawinan. Jika putusnya

perkawinan ini berasal dari suami (cerai talak) yang disebabkan karena isteri

nusyuz, maka tidak berhak baginya (isteri) mendapatkan nafkah iddah dan

mut‟ah dari mantan suaminya.

Adapun untuk ukuran nafkah iddah itu sendiri, baik al-Quran, Hadis

ataupun hukum formil tidak ada yang menyebutkan dengan tegas batas

ukuran atau jumlah nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada

isterinya, baik itu batas minimal atau maksimal wajibnya memberi nafkah.

Akan tetapi Allah hanya memberikan gambaran umum bahwasanya nafkah

itu diberikan kepada isteri menurut yang patut dengan arti cukup untuk

keperluan isteri dan sesuai pula dengan penghasilan suami.26

4. Pemeliharaan terhadap anak atau hadhanah.

Dalam Undang-undang Perkawinan telah diatur bahwa jika terjadi

perceraian maka antara suami dan isteri mempunyai hak yang sama untuk

memelihara anak. Jika terjadi perselisihan, maka pengadilan dapat

memutuskan siapa yang lebih berhak menerima anak tersebut.27

26

Murni Djamal, Ilmu Fiqh, (Jakarta: t.p., 1984), Cet. 2, Jilid II, h. 189

27

Euis Amalia, Laporan Hasil Penelitian Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga Studio Dokumen Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pada Kasus Perceraian,

(44)

Namun dalam praktiknya bagi anak yang masih dibawah umur,

biasanya hak pemeliharaannya diberikan kepada ibunya. Hal ini diatur dalam

Kompilasi Hukum Islam Pasal 105, sedangkan bagi anak yang sudah

mumayyiz hak pemeliharaannya di serahkan kepada anak tersebut untuk

memilih hendak ikut kepada ayahnya atau ibunya. Adapun pemeliharaan

anak ditanggung oleh ayahnya.

5. Melunasi utang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa

perkawinan, baik dalam bentuk mahar atau nafkah, yang menurut sebagian

ulama wajib dilakukannya bila pada waktunya dia tidak dapat membayarnya.

begitu pula mahar yang belum dibayar atau dilunasinya, harus dilunasinya

setelah bercerai.28

E. Prosedur dan Penyelesaian Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama

Dalam Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 jo. Pasal 113 KHI disebutkan

bahwa, perkawinan putus karena kematian, perceraian atau atas keputusan

pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat

terjadi karena talak yang diucapkan suami di depan pengadilan setelah

pengadilan mengizinkan suami mengikrarkannya melalui penetapan pengadilan

yang sudah berkekuatan hukum tetap (in cracht).29

28

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 303

29

(45)

Adapun perceraian yang disebabkan karena cerai talak telah diatur secara

khusus dalam Pasal 66-72 UU No.7 Tahun 1989.

1. Bentuk dan Isi Permohonan Talak

Sebelum perkara cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, hal-hal

yang perlu diperhatikan adalah:

a. Mendaftar permohonan atau mengajukan permohonan secara tertulis atau

lisan kepada bagian pendaftar perkara, yaitu Sub Kepaniteraan

Permohonan.30

b. Membayar panjar biaya perkara.

Dalam perkara permohonan talak ini, kedudukan suami sebagai pihak

Pemohon sedangkan isteri sebagai pihak Termohon. Adapun formulasi atau

isi permohonan, dari ketentuan Pasal 66 ayat (1) dan (2) jo. Ayat (5) jo.

Pasal 57 UU Peradilan Agama yang perlu diperhatikan adalah:

a. Identitas Pemohon dan Termohon, yaitu:

1) Nama;

2) Umur, hal ini untuk menentukan dewasa atau belum;

3) Agama, hal ini untuk menentukan kompetensi absolut pengadilan;

dan

4) Alamat, hal ini penting untuk menentukan kompetensi relative

pengadilan.31

30

(46)

b. Fundamentum Petendi atau Posita adalah dalil-dalil konkret tentang

adanya hubungan yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada

tuntutan.32 Posita ini berisi tentang hal-hal berikut:

1) Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah

pihak.

a) Kapan suami dan isteri melangsungkan pernikahan

b) Selama pernikahan saling rukun atau tidak

c) Apakah suami isteri dikaruniai anak?

2) Alasan-alasan diajukannya permohonan cerai talak, harus

berdasarkan fakta atau peristiwa hukum.

3) Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan

suatu keharusan; Hakim yang harus melengkapi dalam penetapan

(atau putusan) nanti.33

Posita hendaknya ditulis secara singkat, kronologis, jelas, tepat dan

terarah untuk mendukung isi tuntutan.

c. Petitum atau tuntutan yaitu apa yang diminta atau diharapkan Penggugat

agar diputuskan oleh hakim.34 Misalnya:

Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 120

34

(47)

“Memohon kepada majelis hakim untuk menerima permohonan

Pemohon, dan mengijinkan pemohon untuk mengikrarkan talak di depan

majelis hakim”.

2. Tahapan Persidangan Permohonan Talak

Pada hari sidang yang telah ditentukan, Pemohon dan Termohon atau

kuasanya masing-masing menghadiri sidang di Pengadilan Agama, setelah

menerima surat panggilan yang sah.

Adapun susunan persidangan terdiri dari:

a. Hakim tunggal atau Hakim Majelis yang terdiri dari satu ketua dan dua

hakim anggota, yang dilengkapi oleh Panitera sebagai pencatat jalannya

persidangan.

b. Pihak Pemohon dan Termohon duduk berhadapan dengan hakim dan

posisi Termohon disebelah kanan sedangkan Pemohon disebelah kiri

hakim.35

Apabila persidangan berjalan lancar maka jumlah persidangan kurang

lebih 8 kali yang terdiri dari sidang pertama sampai dengan putusan hakim.

a. Sidang I (Mediasi)

Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada sidang pertama ini,

yaitu:36

35

Soeroso, Praktikum hukum Acara Perdata Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. 6, h. 41

36

(48)

1. Pemohon tidak hadir, sedangkan Termohon hadir. Jika terjadi keadaan

seperti ini maka hakim dapat menunda persidangan sekali lagi untuk

memanggil Pemohon atau menyatakan bahwa permohonan dinyatakan

gugur (Pasal 124 HIR/Pasal 148 R.Bg).

2. Pemohon hadir, sedangkan Termohon tidak hadir. Dalam keadaaan ini

maka hakim dapat menunda persidangan untuk memanggil Termohon

sekali lagi atau menjatuhkan putusan verstek karena Termohon dinilai

ta‟azzuz atau tawari atau ghaib (Pasal 125 HIR/Pasal 149 R.Bg).

3. Termohon tidak hadir tetapi mengirim surat jawaban, maka surat

jawaban tersebut tidak perlu diperhatikan dan dianggap tidak ada,

kecuali jika surat itu berisi perlawanan (eksepsi) bahwa Pengadilan

Agama yang bersangkutan tidak berhak mengadilinya (Pasal 125 ayat

(2) HIR).

4. Pemohon dan Termohon tidak hadir dalam persidangan pertama, maka

sidang harus ditunda dan para pihak dipanggil lagi sampai dapat

dijatuhkan putusan gugur atau verstek atau perkara dapat diperiksa.

5. Pemohon dan Termohon hadir dalam sidang pertama

Jika Pemohon dan Termohon hadir di persidangan, maka Majelis

Hakim memberikan kesempatan atau berusaha agar Pemohon dan Termohon

berdamai serta kembali rukun sebagai suami isteri atau yang biasa dikenal

(49)

Apabila usaha untuk mendamaikan ini tidak berhasil maka sidang

dilanjutkan pada tahap selanjutnya.

b. Sidang II (Pembacaan Permohonan)

Pada tahap pembacaan gugatan ini terdapat beberapa kemungkinan dari

Pemohon, yaitu:37

1. Mencabut permohonan

2. Mengubah permohonan

3. Mempertahankan permohonan

Jika Pemohon tetap mempertahankan permohonannya maka sidang

dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu jawaban Termohon.

c. Sidang III (Jawaban Termohon)

Pada tahap ini, hakim memberikan kesempatan kepada Termohon atau

isteri untuk mengajukan jawaban dan mempertahankan haknya. Menurut

Pasal 121 ayat (2) HIR/Pasal 145 ayat (2) R.Bg jo Pasal 132 ayat (1)

HIR/Pasal 158 ayat (1) R.Bg Termohon dapat mengajukan jawaban secara

lisan ataupun tulisan.38 Adapun dalam penyampaian jawaban ini Termohon

harus datang secara pribadi dalam persidangan atau diwakilkan oleh kuasa

hukumnya.

37

Ibid., h, 110

38

(50)

Dalam tahap ini ada beberapa hal yang dapat diajukan langsung oleh

Termohon, yaitu: mengaku bulat-bulat, mungkir (membantah) secara mutlak,

mengaku dengan klausula, referte (jawaban berbelit-belit).39

d. Sidang IV (Replik)

Replik adalah jawaban atas jawaban, diucapkan atau diajukan secara

tertulis oleh pihak Pemohon setelah ia mendengarkan jabawan Termohon atas

permohonannya, replik ini dapat dijawab lagi oleh Termohon dengan satu

jawaban dalam babak kedua, yang dinamakan duplik.40

e. Sidang V (Duplik)

Babak terakhir dalam jawab-menjawab atas perkara perdata adalah

duplik, yakni jawaban pihak Temohon atas replik Pemohon sebelum

memasuki tahapan pemeriksaan pembuktian yang mana isinya tidak jauh

berbeda dengan replik yaitu mempertahankan dalil-dalil dan sanggahan

masing-masing pihak dengan tuntutan yang relatif tidak berubah.41

Replik dan duplik (jawab-menjawab) ini dapat diulangi sampai ada titik

temu antara Pemohon dan Termohon, atau sudah dianggap cukup oleh hakim.

Walaupun jawab-menjawab antara Pemohon dengan Termohon dirasa cukup,

namun masih ada hal-hal yang tidak disepakati sehingga perlu adanya

39

Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 122

40

C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), Cet. 1, h.22

41

(51)

pembuktian atas kebenarannya. Oleh karena itu maka persidangan dilanjutkan

pada tahap pembuktian.

f. Sidang VI (Pembuktian)

Pembuktian adalah memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim

dalam pemeriksaan suatu perkara agar dapat memberikan kepastian tentang

kebenaran peristiwa yang diajukan.42

Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses perkara,

karena dari hasil pembuktian dapat diketahui benar atau tidaknya perkara.

Menurut Pasal 164 HIR dan Pasal 186 B.W ada lima macam alat bukti, yaitu:

bukti tulisan/surat, bukti saksi, bukti persangkaan, bukti pengakuan dan bukti

sumpah.43

Setelah hakim merasa pembuktian cukup, maka persidangan dapat

dilanjutkan pada tahap berikutnya.

g. Sidang VII (Kesimpulan Para Pihak)

Pada tahap ini, masing-masing pihak baik Pemohon atau Termohon diberi

kesempatan yang sama oleh hakim untuk mengajukan pendapat akhir yang

merupaka kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung.

h. Sidang VIII (Penetapan atau Putusan Hakim)

42

Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbitrase & Alternatif Serta Mediasi, (Bandung: Grafitri, 2007), h.67

43

(52)

Penetapan putusan hakim merupakan tahap paling akhir di persidangan.

Pada tahap ini hakim merumuskan pertimbangan hukum terhadap suatu

perkara yang diperiksanya dan disertai dengan alasan serta dasar hukumnya,

yang kemudian diakhiri dengan putusan hakim.

Contoh kasus:44

Pada tanggal 7 Januari hakim memberikan penetapan bahwa permohonan

suami (Pemohon) untuk menjatuhkan ikrar talak diterima. Sejak penetapan ini

terdapat jangka waktu 14 hari (=14 hari kerja). Dalam jangka waktu 2 minggu

ini, Termohon dapat mengajukan permohonan banding.

Bila isteri tidak mengajukan banding maka penetapan hakim memperoleh

kekuatan hukum yang tetap. Sejak tanggal tersebut, suami atau Pemohon

dapat mengajukan permohonan untuk mengucapkan ikrar talak.

Lihat skema

Tahun 2005

Tgl. 7/1/05 25/1 25/2 25/3 25/4 25/5 25/6 25/7

Tanggal 25 Januari (hari kerja ke-14 setelah penetapan hakim berkekuatan

hukum tetap) talak belum jatuh, isteri dapat mengajukan banding. Bila isteri

(Termohon) tidak menyatakan banding, penetapan tersebut memperoleh

kekuatan hukum tetap (25/1-05). Sejak tanggal tersebut pengadilan

menentukan hari sidang untuk menyaksikan Ikrar Talak Pemohon atas

44

(53)

permohonan Pemohon (suami). Misalkan ditetapkan bahwa sidang untuk

mengucapkan Ikrar Talak pada tanggal 25 Maret 2005, maka suami pada hari

yang ditentukan harus datang dan mengucapkan Ikrar Talak di hadapan

Majelis Hakim dan dihadiri oleh isteri.

Undang-undang memberi kesempatan atau tenggang waktu bagi suami

atau Pemohon untuk mengucapkan Ikrar Talak dalam jangka waktu 6 bulan.

Bila dalam tenggang waktu tersebut suami tidak datang untuk mengucapkan

Ikrar Talak, maka permohonan untuk mengucapkan Ikrar Talak tersebut dapat

dinyatakan gugur oleh hakim (Pasal 70 ayat (6) UU Peradilan Agama). Jadi

(suami) belum mengucapkan Ikrar Talak, maka penetapan tersebut gugur dan

ikatan perkawinan tetap utuh.45

F. Hak Ex Officio Hakim Terhadap Penetapan Nafkah Iddah Dan Mut’ah

Dalam Cerai Talak

Tanggung jawab suami terhadap isteri tidak hanya berlaku ketika ia sah

menjadi suami isteri saja, tetapi setelah perceraian pun suami masih tetap

bertanggung jawab terhadap isteri yang mana hal ini merupakan hak isteri yang

harus didapatkan dari suami selama masa iddah akibat dari adanya perceraian

tersebut. Adapun hak-hak isteri ini diantaranya adalah ia berhak mendapatkan

nafkah selama masa iddah dan mut‟ah dari mantan suami bagi isteri yang ditalak

raj‟i dan tidak nusyuz.

45

Referensi

Dokumen terkait

Tulisan ini merupakan hasil penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekat- an Peragaan dan Penerapan, dari proses eksplorasi gerak yang dilakukan oleh penari tunggal

Estimasi penelitian diformulasikan dalam bentuk persamaan tunggal ( single equation ), dengan variabel dependen adalah permintaan pariwisata yang diproksi dengan jumlah

In this chapter, we’ll learn to use standard library and open source commu- nity tools that make it incredibly simple to create a conventional, idiomatic command-line interface

Pada mata individu yang terpapar polusi udara akibat emisi pabrik semen, pH tear film juga dapat meningkat karena partikel debu semen bersifat alkali.. Peningkatan pH

: Jika produk ini mengandung bahan dengan batas pencemaran atau kontak yang diperbolehkan, gunakan daerah kerja terkurung, ventilasi pembuangan lokal atau kontrol teknis lainnya untuk

Penelitian dengan judul faktor kondisi, fekunditas, dan seks rasio ikan yang ditangkap di Sungai Serayu pada tempat bermuaranya Sungai Logawa wilayah Kecamatan

(3) Pemberian Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan peninjauan desain dan pemantauan pelaksanaan pembangunannya agar tetap sesuai dengan rencana teknis

bahwa Perubahan Rencana Strategis Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Badung sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu