Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
BURHANATUT DYANA
NIM : 1111044100012
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk MemenuhiSalah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
BURHANATUT DYANA
NIM : 1111044100012
KONSENTRASIPERADILANAGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
ii
154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk MemenuhiSalah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Burhanatut Dyana NIM : 1111044100012
Di Bawah Bimbingan
Hj. Hotnidah Nasution, MA NIP :197106301997032002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iii
Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)” telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal al Syakhshiyah (Peradilan Agama).
Jakarta, 07April 2015 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D NIP. 196912161996031001
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
Ketua :H.Kamarusdiana, S.Ag., MH (………...)
NIP. 197202241998031003
Sekertaris : Sri Hidayati, M.Ag (..………...)
NIP. 197102151997032002
Pembimbing : Hj.Hotnidah Nasution, MA (………..…..…...) NIP. 197106301997032002
Penguji I : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA (..…………..…...) NIP. 197608072003121001
iv
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 Maret 2015
v
Nomor154/Pdt.G/2014/PA.Bjn).Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M. xi + 103 halaman + 30 halaman lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim dalammengabulkan permohonan cerai talak yang diajukan oleh suami terhadap isteri melalui putusan Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan Nomor154/Pdt.G/2014/PA.Bjn.Dalam putusan Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn hakim tidak menghukum suami untuk memberikan hak nafkah iddah dan mut’ah kepada mantan isterinya.Sedangkan dalam putusan Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn hakim menggunakan hak ex officio nya untuk menghukum suami agar memberikan
nafkah iddah dan mut’ah kepada mantan isterinya yang mengakui perselingkuhannya pada saat persidangan.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah metode Yuridis Empiris.Pendekatan yuridis karena penelitian ini menggunakan kaidah hukum dan peraturan yang berkaitan dengan cerai talak serta hak-hak isteri yang timbul akibat
perceraian yaitu nafkah iddah dan mut’ah.Empiris karena pendekatan bertujuan
memperoleh data mengenai putusan hakim dalam mengabulkan permohonan.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa tidak semua perkara cerai
talak mengakibatkan isteri mendapatkan nafkah iddah dan mut’ah.Majelis hakim berpendapat bahwa nafkah iddah dan mut’ah merupakan hak isteri yang boleh diminta atau tidak di minta.Ketika tidak diminta maka hakim bisa menggunakan hak ex officio yang dimilikinya untuk membebankan kepada suami agar memberikan
nafkah iddah dan mut’ah kepada mantan isteri. Hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 41 huruf (c) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kata Kunci : Permohonan Cerai Talak. Nafkah Iddah dan Mut’ah. Hak Ex Officio Hakim.
vi
puji syukur tiada terkira kehadirat Illahi Robbi, karena atas karunia dan
pertolongan-Nya lah sehingga penulis dapat merampungkan skripsi ini. Shalawat serta
salamsemoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Agung Muhamad SAW beserta
kelurga dan para sahabat yang setia dalam suka dan duka.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tercinta, Ayahanda
Ahmad Yono dan Ibunda Nurul Hidayah yang tiada lelah dan bosan memberikan
motivasi, bimbingan, kasih sayang serta do’a bagi kedua putri putranya.Semoga
Allah SWT senantiasa memberikan yang terbaik untuk mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis
hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi, sehingga pada akhirnya skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada
kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya
kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Phd., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
vii
3. Ibu Hotnidah Nasution, MA., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program studi
Ahwal al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan
referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6. Bapak Drs. Aam Amarullah, M.H., selaku Ketua Pengadilan Agama Tuban dan
bapak H. Moch. Tha’if AS, S.H., selaku Ketua Pengadilan Agama Bojonegoro
beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.
7. Bapak Drs. H. Sholhan dan bapak Drs. Mufi Ahmad Bihaqi, M.H.,selaku hakim
yang memutus perkara yang telah penulis teliti dan telah senatiasa memberikan
wejangan dan bimbingan pada penulis selama penulis melakukan wawancara.
8. Do’a dan harapan penulis panjatkan kepada adinda Muhammad Nur Husna yang
senantiasa memberikan semangat, cinta dan kasihnya sehingga penulis dapat
viii
dan melindungi serta menjadi tempat menumpahkan segala keluh kesah selama
di Jakarta. Terimakasih tiada terhingga untuk semua cinta dan kasihmu.
10.Terkhusus Nur Azizah. Terimakasih atas kesabaran dan kesetiaanya menemani
penulis dikamar berukuran 4x6 ini.
11.Sahabat - sahabat seperjuangan penulis: Arisa Dykawresa, Nur Azizah, Nabillah,
dan Luluk Muthoharoh.
12.Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2011 yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta, 16 Maret 2015
ix
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 7
C. Manfaat dan Tujuan Penelitian ... 9
D. Studi Review Terdahulu ... 10
E. Metode dan Teknik Penelitian ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II CERAI TALAK DAN HAK ISTERI DI PENGADILAN AGAMA A. Definisi Cerai Talak ... 16
x
E. Prosedur dan Penyelesaian Permohonan Cerai Talak
di Pengadilan Agama ... 32
F. Hak ExOfficio Hakim Terhadap Penetapan Nafkah Iddah dan Mut’ahdalam Cerai Talak ... 41
BAB III POTRET PENGADILAN AGAMA TUBAN DAN PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO A. Profil Pengadilan Agama 1. Pengadilan Agama Tuban ... 45
2. Pengadilan Agama Bojonegoro ... 48
B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama 1. Pengadilan Agama Tuban ... 51
2. Pengadilan Agama Bojonegoro ... 52
C. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama ... 53
D. Kompetensi Relatif dan Absolut Pengadilan Agama ... 57
xi
dengan Perkara Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn ... 81
D. Analisis Penulis ... 82
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 93
B. Saran-saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 96
LAMPIRAN
1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi
2. Surat Permohonan Data/Wawancara ke PA Tuban
3. Surat Permohonan Data/Wawancara ke PA Bojonegoro
4. Surat Keterangan Riset dari PA Tuban
5. Surat Keterangan Riset dari PA Bojonegoro
6. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Tuban
7. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Bojonegoro
8. Putusan Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn
9. Putusan Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn.
1 A. Latar Belakang Masalah
Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat (mitsaqan
ghalizhan), ikatan yang suci transenden artinya suatu perjanjian yang
mengandung makna magis, suatu ikatan bukan saja hubungan atau kontak
keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan terjadinya hubungan
badan antara suami istri sebagai penyalur libido seksual manusia yang terhormat,
oleh karena itu hubungan tersebut dipandang sebagai ibadah.1 Untuk itu
perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan dapat
mewujudkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang sejahtera
(mawaddah warahmah).
Akan tetapi untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tersebut tidaklah
mudah dan tanpa rintangan, karena manakala setelah pernikahan dijalani ternyata
banyak duri mengahalangi, kerikil dan karang terjal menghadang, ombak dan
gelombang pasang menerjang, sehingga biduk yang bernama rumah tangga itu
pun terombang-ambing dan tercerai berai sehingga kandaslah perkawinan
tersebut dan putus ditengah perjalanan.
1
Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena
makna dasar sebuah perkawinan adalah akad nikah, yang berarti ikatan atau
dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekuensinya
ia dapat lepas yang kemungkinan dapat disebut dengan talak. Adapun makna
dasar dari talak itu adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian.2
Perceraian merupakan realitas yang tidak dapat dihindarkan apabila kedua
belah pihak saling terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit untuk
didamaikan. Perceraian dalam hal ini merupakan alternatif terakhir (pintu
darurat) yang dapat dilalui oleh suami isteri bila ikatan perkawinan (rumah
tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif
terakhir dimaksud berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk
mencari kedamaian diantara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator)
dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh
al-Quran dan Hadis.3
Apabila langkah-langkah dan teknik yang telah diajarkan oleh al-Quran
dan Hadis tersebut telah dilaksanakan dan tidak mendapatkan titik temu untuk
mencapai kesepakatan berdamai dan merasa tidak bisa melanjutkan keutuhan
rumah tangga, maka barulah kedua belah pihak bisa membawa permasalahan ini
ke pengadilan untuk mendapatkan jalan keluar yang terbaik.
2
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 206
3
Pengadilan merupakan upaya terakhir untuk mempersatukan kembali
suami dan istri yang ingin bercerai dengan jalan membuka kembali upaya
perdamaian dengan cara musyawarah, yang mana hakim yang akan menjadi
penengahnya dalam upaya perdamaian ini. Bagi orang yang beragama Islam akan
membawa permasalahan ini ke Pengadilan Agama, sementara bagi orang yang
memeluk agama selain Islam maka akan membawa permasalahan ini ke
Pengadilan Negeri.
Perceraian merupakan suatu perbuatan hukum yang tentunya akan
membawa akibat-akibat hukum tertentu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 144
Kompilasi Hukum Islam (KHI) perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian. Untuk lebih lanjut lagi dijelaskan dalam pasal
selanjutnya bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 115 KHI).4
Adapun ketentuan yang mengatur tentang perceraian yang terjadi karena
adanya talak dari suami terhadap isteri telah diatur dalam Pasal 41 (c)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa, pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Pasal ini menunjukkan
4
bahwasanya suami berkewajiban untuk memberikan mut’ah dan nafkah iddah
kepada mantan isterinya.
Wanita yang diceraikan oleh suaminya boleh memberikan beberapa
tuntutan kepada suaminya, karena wanita yang diceraikan tersebut memiliki
beberapa hak yang berhak dia peroleh dari mantan suaminya. Adapun hak-hak
isteri itu ialah tuntutan nafkah selama masa iddah dan mut’ah.
Secara terminologi, nafkah adalah sesuatu yang wajib diberikan kepada
mantan isteri yang berupa harta untuk mematuhi agar dapat bertahan hidup. Dari
pengertian ini terlihat bahwa yang termasuk di dalam nafkah adalah sandang,
pangan dan papan.5 Sedangkan yang termasuk mut’ah ialah uang atau benda
yang lainnya (Pasal 149 (a) KHI).
Kewajiban memberikan nafkah selama masa iddah dan mut’ah bagi isteri
yang telah ditalak oleh suaminya berdasarkan pada ketentuan dalam surat
al-Baqarah [2] ayat 241:
/ 2 : 242
Artinya : “Kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya mut’ah menurut yang ma’ruf sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah [2] : 241)
Menurut Zamakhsyari seperti halnya yang dikutip oleh Zubair Ahmad,
ayat diatas berlaku secara umum, yakni wajib memberikan suatu pemberian
kepada seluruh wanita yang ditalak. Alasan ini di dasarkan kepada huruf pada
5
ِتاَقَلَطُمْلِل berarti “bagi wanita-wanita yang ditalak ada hak”. Artinya mantan
suaminya mempunyai kewajiban memberikan mut’ah kepada setiap isteri yang
ditalak. Kecuali itu, lanjutan ayat juga menyebutkan adanya kata اًقَح
(ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanaka) yang disusul denngan huruf ىَلَع yang
mempunyai makna kata kerja, yaitu kewajiban bagi (orang yang bertaqwa).6
Dalam Hadis juga dijelaskan kewajiban yang serupa yaitu kewajiban
memberikan nafkah selama iddah dan memberikan mut’ah kepada mantan isteri.
Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:
Artinya: “Dan kamu wajib memberi nafkah kepada mereka dan memberi pakaian secara ma’ruf (patut)”. (HR. Muslim)
Selain peraturan yang ada dalam al-Quran dan Hadis, perintah
memberikan nafkah kepada mantan isteri selama beriddah dan mut’ah juga di
pertegas kembali di dalam peraturan yang berlaku, diantaranya Pasal 41 huruf (c)
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI Pasal 81 ayat (1) serta Pasal
149 huruf (b).
Berbeda dengan realita yang ada, bahwasanya penulis telah menemukan
dua putusan hakim di dua Pengadilan Agama yang berbeda yang menyimpang
dari teori yang telah ada baik dalam al-Quran, Hadis, kitab-kitab fikih maupun
6
Zubair Ahmad dkk, Relasi Suami Isteri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h. 78
7
hukum formil. Kesenjangan ini menarik untuk diteliti sehingga penulis
mengangkatnya kedalam sebuah tulisan.
Putusan hakim yang pertama yaitu perkara yang telah diputus oleh hakim
Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn yang memutus
perkara cerai talak. Dalam amar putusannya hakim tidak menghukum suami
untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada mantan isterinya sesuai
dengan kemampuannya. Sedangkan kedua hal tersebut merupakan hak isteri
sebagai akibat hukum dari perceraian yang dijatuhkan oleh suami kepada isteri.
Persoalannya adalah ketika isteri hadir di Pengadilan Agama dengan
penuh harapan bahwa kepentingannya dapat dilindungi dan akan mendapatkan
hak-haknya (nafkah iddah dan mut’ah) sesuai hukum yang berlaku namun yang
didapatkannya hanya sekedar akta cerai. Walaupun akta cerai merupakan hal
yang urgen sebagai bukti perceraian namun itu baru sebagian dari perwajahan
asas kepastian hukum (validitas yuridis), belum menggambarkan nilai dasar
keadilan (Validitas filosifis) dan asas manfaat (validitas sosiologis).8
Berbeda dengan putusan hakim yang kedua yaitu perkara yang telah
diputus oleh hakim Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor
154/Pdt.G/2014/PA.Bjn yang memutus perkara cerai talak yang disebabkan
karena isteri memiliki pria idaman lain (PIL). Dalam amar putusan tersebut
8
Muh. Irfan Husaeni, “Menyoal Beda Pendapat Di Kalangan Hakim Pengadilan Agama
hakim menghukum suami untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada
mantan isterinya yang secara jelas mengakui perselingkuhannya di depan
persidangan. Dalam hal ini isteri dapat dikategorikan sebagai nusyuz. Hal ini
tentu saja menyimpang dari teori yang telah ada baik dalam al-Quran, Hadis,
kitab-kitab fiqih maupun hukum formil yang berlaku yang menyatakan bahwa
bagi isteri yang nusyuz tidak berhak baginya mendapatkan nafkah iddah dan
mut’ah dari mantan suaminya.
Kemudian berangkat dari latar belakang tersebut diatas, penulis tertarik
untuk membahasnya serta merumuskannya dalam sebuah karya tulis dalam
bentuk skripsi dengan judul “HAK-HAK ISTERI PASCA CERAI TALAK
RAJ’I (Analisis Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor
1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro
Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)”.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih Pengadilan Agama
Tuban dan Pengadilan Agama Bojonegoro sebagai obyek penelitian.
Mengingat banyaknya perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama
tersebut, maka penulis melakukan pembatasan yakni hanya pada putusan
mengenai hak nafkah iddah dan mut’ah kepada istri yang di cerai talak oleh
mantan suaminya perkara Nomor: 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan Putusan
Menarik untuk penulis teliti dalam skripsi ini sehingga nantinya tidak
meluas atau keluar dari pokok bahasan yakni sehubungan dengan beraneka
ragamnya kasus cerai talak, maka dalam skripsi ini penulis membatasi hanya
pada kasus di atas yang difokuskan pada argumentasi dan landasan hukum
hakim dalam memutus perkara tentang hak-hak isteri dalam cerai talak.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan al-Quran, Hadis, UU Perkawinan maupun KHI bahwa
perempuan yang ditalak oleh suaminya berhak mendapatkan nafkah kecuali
bagi isteri yang nusyuz. Namun dalam kenyataannya ada putusan pengadilan
yang mana hakim tidak menetapkan nafkah iddah dan mut’ah yang harus
diberikan oleh suami kepada mantan isterinya yang tidak melakukan
perbuatan nusyuz kepadanya. Sedangkan dalam putusan lain, hakim
memberikan nafkah kepada mantan isteri yang telah melakukan nusyuz
terhadap suaminya.
Sehubungan dengan permasalahan di atas dan untuk memudahkan
penulis dalam penulisan skripsi ini, maka rincian rumusan masalah skripsi
ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Tuban pada Nomor
1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan Pengadilan Agama Bojonegoro dalam
b. Apa perbedaan putusan hakim Pengadilan Agama Tuban pada Perkara
No. 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan putusan hakim Pengadilan Agama
Bojonegoro pada Perkara No. 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn?
C. Manfaat dan Tujuan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Dalam melakukan suatu kegiatan pada dasarnya memiliki tujuan
tertentu. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah penulis
uraikan diatas, maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Tuban
dalam memutus perkara Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan
pertimbangan hakim Pengadilan Agama Bojonegoro dalam memutus
perkara Nomor 154/Pdt.G/2014/PA. Bjn.
b. Untuk mengetahui perbedaan antara putusan hakim Pengadilan Agama
Tuban perkara nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan putusan hakim
Pengadilan Agama Bojonegoro perkara nomor 154/Pdt.G/2014/PA. Bjn.
2. Manfaat penelitian
Selain tujuan sebagaimana telah dikemukakan diatas. Penelitian ini
juga diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, antara lain:
a. Secara Teoritis : untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang
b. Secara Praktis : sebagai referensi bagi pencari keadilan serta memberikan
kejelasan pada masyarakat umumnya tentang ketentuan hukum dan
perundang-undangan yang mengatur tentang nafkah iddah.
D. Studi Review Terdahulu
Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan ini. Penulis
menemukan ada beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan
tentang cerai talak akan tetapi mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh penulis, adapun penelitian tersebut dintaranya:
1. Ultra Petitum Partium dan Hak Ex Officio Hakim, Studi Kasus Cerai Talakdi
Pengadilan Agama Slawi (Putusan No.0203/Pdt.G/2010/PA.Slw), Ulul
Azmi, NIM 206044103793 tahun 2011. Dalam skripsi ini membahas tentang
hak ex officio hakim yang memberikan putusan yang tidak diminta oleh
Pemohon dan Termohon dalam memutuskan perkara cerai talak di
Pengadilan Agama Slawi. Perbedaannya dalam skripsi penulis adalah
bahwasanya penulis menganalisa dua putusan di dua pengadilan yang
berbeda tentang hak ex officio hakim perihal pemberian nafkah iddah dan
mut’ah kepada istri dalam perkara cerai talak.
2. Nafkah Iddah Bagi Isteri Nusyuz (Analisa Putusan Hakim Pengadilan Agama
Bogor No. 169/Pdt.G/2011/PA.Bgr dan Putusan Hakim Pengadilan Agama
Depok Perkara No. 96/Pdt.G/2009/PA.Dpk), Iin Winiarti, NIM
108044100049, tahun 2012. Dalam skripsi ini membahas perbandingan
dan perkara nomor 96/Pdt.G/2009/PA.Dpk tentang nafkah iddah yang
diberikan oleh hakim kepada isteri nusyuz. Perbedaanya dengan skripsi
penulis ini adalah bahwasanya penulis menganalisa perbandingan
pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor
1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan nomor 154/Pdt.G/2014/PA. Bjn tentang
hak-hak isteri dalam cerai talak yaitu pemberian mut’ah dan nafkah bagi mantan
isteri selama masa iddah baik bagi isteri yang tidak melakukan perbuatan
nusyuz terhadap suaminya maupun yang melakukan nusyuz
E. Metode dan Teknik Penelitian 1. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis empiris. Metode pendekatan yuridis empiris merupakan
cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian
dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan
dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan menyangkut
hak-hak isteri dalam cerai talak.
2. Jenis Penelitian
Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode
deskriptif analisis yakni menggambarkan dan memaparkan secara sistematika
tentang apa yang menjadi obyek penelitian dan kemudian dilakukan analisis.
menggambarkan berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari
fenomena yang diteliti.9
Cara tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
secara mendalam tentang “HAK-HAK ISTERI PASCA CERAI TALAK
RAJ’I (Analisis Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban
Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama
Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)”.
3. Subjek dan Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Tuban dan Pengadilan
Agama Bojonegoro. Adapun yang menjadi bahan penelitian dalam penulisan
skripsi ini adalah putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor
1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor
154/Pdt.G/2014/PA.Bjn. Sehubungan dengan hal tersebut maka yang menjadi
respondennya adalah Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut.
4. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan sebagai referensi untuk menunjang keberhasilan
penelitian yakni meliputi; Data Primer dan Data Sekunder.
9
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.
1). Data Primer yang dibutuhkan untuk menjawab semua permasalahan di
atas adalah putusan hakim Pengadilan Agama Tuban dalam perkara
Putusan Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan putusan hakim
Pengadilan Agama Bojonegoro dalam perkara Putusan Nomor
154/Pdt.G/2014/PA.Bjn yang telah Berkekuatan Hukum Tetap serta
hasil wawancara dengan hakim yang memeriksanya dalam persidangan.
2).Data Sekunder dalam penelitian ini terdiri dari penelitian hukum
normatif (penelitian hukum kepustakaan) dan penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yaitu bahan yang
dihasilkan dari bahan hukum terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan bahan hukum
lainnya seperti buku-buku yang mendukung dan memperjelas bahan
hukum tersebut.
b. Studi Lapangan
Adapun studi lapangan ini dilakukan dengan dua tekhnik berikut;
1. Studi dokumen dengan mempelajari berkas yang berbentuk putusan
Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan putusan
Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn yang
telah berkekuatan hukum tetap.
2. Wawancara yang dilakukan dengan hakim yang menyelesaikan perkara
tentang nafkah iddah di Pengadilan Agama Tuban dan Pengadilan
wawancara tak terstruktur (open – ended) yaitu wawancara dengan
pertanyaan yang bersifat terbuka dimana responden secara bebas
menjawab pertanyaan tersebut.10
3. Observasi langsung ke lapangan dengan cara langsung datang ke
Pengadilan Agama Tuban dan Pengadilan Agama Bojonegoro untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
5. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan maupun dari
penelitian lapangan akan diolah berdasarkan analisis normatif kualitatif.
Normatif karena peneliti bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai norma
hukum positif, sedangkan kualitatif yang dimaksud yaitu analisis yang bertitik
tolak pada usaha penemuan asas dan informasi yang bersifat monografis atau
berwujud kasus-kasus (sehingga tidak dapat disusun ke dalam suatu struktur
klasifikatoris) dari responden. Memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil
pengamatan dan pertanyaan kepada sejumlah responden baik secara lisan
maupun secara tertulis selama dalam melakukan penelitian.11
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian skripsi ini berpedoman kepada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
10
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya), h. 233.
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.” Adapun sistematika penulisannya
adalah sebagai berikut :
Bab Pertama, terdiri dari Pendahuluan yang meliputi Latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
studi review terdahulu, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, memuat tentang Cerai Talak dan Hak Isteri di Pengadilan
Agama, yang isinya meliputi Definisi cerai talak, dasar hukum cerai talak,
macam-macam cerai talak, akibat hukum yang timbul akibat cerai talak, prosedur
dan penyelesaian permohonan cerai talak di Pengadilan Agama serta hak ex
officio hakim terhadap penetapan nafkah iddah dan mut’ah dalam cerai talak.
Bab Ketiga, berisi tentang Potret Pengadilan Agama Tuban dan
Pengadilan Agama Bojonegoro yang terdiri dari Profil, struktur organisasi, tugas
pokok dan fungsi serta kompetensi relatif dan absolut Pengadilan Agama.
Bab Keempat, pada bab ini penulis akan mengkomparasikan putusan
Pengadilan Agama Tuban No. 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan putusan Pengadilan
Agama Bojonegoro No. 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn yang di dalamnya terdiri dari
kronologi perkara No. 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dan No. 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn
serta perbandingan kedua putusan tersebut dan dilanjutkan dengan analisa
penulis.
Bab Kelima, adalah Penutup yang berisi Kesimpulan dan saran. Dalam
bab penutup ini penulis menyimpulkan semua yang telah dibahas dalam skripsi
16 A. Definisi Cerai Talak
Talak atau cerai merupakan terjemahan dari bahasa Arab (اللاطا كلطي كلط)
yang artinya lepas dari ikatan, berpisah, menceraikan pembebasan.1 Sementara
dalam kamus besar Bahasa Indonesia, talak diartikan sebagai perceraian antara
suami dan isteri; lepasnya ikatan perkawinan.2
Di dalam Ensiklopedi Indonesia, definisi talak adalah memutuskan atau
melepaskan ikatan perkawinan.3 Hal ini senada dengan pendapat Imam
Taqiyudin dalam bukunya Kifayatul Akhyar yang mendefinisikan talak sebagai
berikut:
Artinya: “Thalak menurut bahasa adalah melepas ikatan atau menceraikan”.
Selain kata talak, di dalam al-Qur‟an juga terdapat kata lain yang
memiliki makna yang sama dengannya, yaitu kata Firaq (lepas) dan kata Sirah
(pisah).5
1
Ahmad Warson Munawir, Almunawir Kamus Besar Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. 14, h. 861
2
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), Ed. 4, h. 1383
3
Tim Penyusun, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: PT Ichtiar Baru – Van Hoeve), Jilid. 6, h. 3429
4
Adapun kata Firaq (lepas) yang semakna dengan kata talak tepatnya
berada pada surat at-Talaq [65] ayat 2, yaitu:
/ 65 : 2
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pelajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siaoa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”. (QS. At-Talaq: 2)
Ayat diatas mengandung perintah yang bersifat alternatif bagi suami
untuk memilih salah satu diantara dua pilihan, yaitu mengikat kembali tali
perkawinan atau melepaskan ikatan perkawinan dengan cara yang baik.
Sedangkan kata Sirah (pisah) terdapat dalam beberapa ayat al-Qur‟an
diantaranya surat al-Ahzab [33] ayat 49 sebagai berikut,
/ 33 : 49
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‟ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”. (QS. Al-Ahzab [33]: 49)
5
Muthafa Diib Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzhab
Kandungan ayat ini juga berisi perintah kepada suami untuk melepaskan
isterinya dengan cara yang ma‟ruf. Perjalanan dalam mengarungi bahtera rumah
tangga rupanya tidaklah mudah dan tanpa rintangan, karena manakala setelah
pernikahan itu dijalani ternyata banyak duri yang mengahalangi. Keadaan
tersebut adakalanya dapat diatasi dan terselesaikan, sehingga hubungan suami
isteri menjadi rukun kembali. Namun adakalanya keadaan tersebut tidak dapat
diatasi dan semakin memburuk sehingga perkawinan terpaksa harus diputus
ditengah jalan. Untuk menjaga agar hubungan antar keluarga tidak terpecah belah
dan menimbulkan permusuhan, maka Islam memberikan solusi dengan adanya
perceraian sebagai jalan keluar bagi suami isteri yang telah hancur rumah
tangganya.
Adapun pengertian talak menurut ulama adalah:
1. Madzhab Hanafi dan Madzhab Hanbali mendefinisikannya sebagai pelepasan
ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan dimasa
yang akan datang.6
2. Madzhab Syafi‟i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan
lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu.
3. Madzhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang
menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami-isteri.
6
4. Sayyid Sabiq mendefinisikan talak yaitu melepas tali perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami isteri.7
Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan talak sebagai ikrar suami di
hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan (Pasal 117).8 Dari berbagai macam definisi diatas, dapat ditarik satu
kesimpulan bahwasanya talak adalah suatu perbuatan memutuskan tali
perkawinan yang sah serta mengakhiri hubungan suami isteri.
B. Dasar Hukum Cerai Talak
Talak atau perceraian dalam Islam telah di atur dalam al-Quran dan
Hadis. Adapun ayat yang menjadi dasar hukum cerai talak ini diantara nya adalah
surat al-Baqarah [2] ayat 229, yaitu:
/ 2 : 229
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”. (QS. Al-Baqrah [2]: 229)
Firman Allah SWT surat al-Baqarah [2] ayat 231
/
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Terjemah, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1996), Cet. 2, Jilid 9, h. 9
8
Artinya: “Apabila kamu menalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma‟ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma‟ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu menjadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah nikmat Allah padamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur‟an) dan al-Hikmah (as-Sunah). Allah memberi pelajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 231)
Ibnu Katsir mengatakan, bahwa dalam ayat tersebut, Allah menyuruh
kepada kaum laki-laki untuk berbuat baik ketika dia mentalak isterinya dengan
talak raj‟i, jika iddah nya sudah habis dan tidak ada waktu lagi kecuali sekedar
untuk ruju‟. Dalam hal ini suami dapat menahannya, yaitu mengambalikan si
isteri kedalam naungan perkawinan dengan cara yang ma‟ruf. Dia harus
mempersaksikan ruju‟nya itu kepada orang lain serta berniat menggaulinya
dengan ma‟ruf, atau si suami membiarkan hingga iddahnya habis dan dia keluar
dari rumah suaminya. Hal inipun harus dilakukan dengan cara yang ma‟ruf pula.9
Firman Allah SWT dalam surat at-Talaq [65] ayat 1
/ 65 : 2
Artinya: “Hai nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang
9
wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertaqwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”. (QS. At-Talaq [65] : 1)
Selain berdasarkan ayat diatas, talak juga di dasarkan pada sabda
Rasulullah SAW, yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya: “Dari Ibnu „Umar. Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW:
“Perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah thalaq”. (HR. abu Daud)
Jika melihat penggalan hadis diatas, terlihat sekali bahwasanya Nabi
sangat tidak senang dengan perbuatan talak ini dan menghukuminya sebagai
perbuatan yang makruh. Namun apabila dihadapkan dengan keadaan dan situasi
tertentu, maka hukum talak ini bisa berubah. Adapun hukum talak adalah sebagai
berikut:
1. Talak menjadi wajib, jika pihak hakam (juru damai) tidak berhasil
menyelesaikan perpecahan antara suami dan isteri dan tidak bisa diperbaiki
kembali hubungan mereka serta hakam (juru damai) berkeyakinan bahwa
talak merupakan salah satu-satunya jalan yang dapat menyelesaikan
perpecahan.11
10
Abu Daud Sulaiman al-Asy‟ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, Bab Karahiyah al-Talaq, (Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif, t.h., ), h. 379.
11
2. Talak menjadi sunnah, jika keadaan rumah tangga sudah tidak dapat
dilanjutkan dan seandainya dipertahankan maka akan timbul banyak
kemudharatan.12
3. Talak menjadi mubah, jika isteri dapat menjaga diri dikala tidak ada
suaminya dirumah, isteri yang berbahaya terhadap suami atau yang tidak baik
akhlaknya.13
4. Talak menjadi makruh, jika suami menceraikan isteri yang taat kepadanya,
rajin beribadah dan shalilah.
5. Talak menjadi haram, jika si suami mengetahui bahwa jika dia talak isterinya
maka dia akan terjatuh ke dalam perbuatan zina akibat ketergantungannya
kepada isterinya, atau akibat ketidak mampuannya untuk menikah dengan
wanita yang selain dia.14
C. Macam-macam Cerai Talak
Ditinjau dari segi sesuai atau tidaknya dengan syariat islam, maka talak
itu terbagi:
1. Talak sunni, adalah talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama,
yaitu seseorang mentalak perempuan yang telah pernah dicampurinya
12
Amir Syarifuddin, Garis – garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Ed. 1, Cet. 2, h. 127
13
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), Cet. 2, h. 181
14
dengan sekali talak dimasa bersih dan belum ia sentuh kembali selama masa
bersih itu.15
2. Talak bid‟i adalah talak yang menyalahi ketentuan agama, seperti mentalak
tiga kali dengan sekali ucap atau mentalak tiga kali secara terpisah-pisah
dalam satu tempat, atau seorang suami mentalak isterinya dimasa isterinya
haid atau nifas atau dimasa suci sesudah ia kumpuli.16
Sedangkan apabila ditinjau dari segi hak suami atas isterinya setelah
suami menjatuhkan talak kepada isterinya, terbagi kepada:
1. Talak raj‟i yaitu talak yang masih boleh dirujuk. Arti rujuk ialah kembali,
artinya kembali menjadi mempunyai hubungan suami isteri dengan tidak
melalui proses perkawinan lagi tetapi melalui proses yang lebih sederhana.17
2. Talak Ba‟in Kubra (KHI Pasal 120) adalah talak yang terjadi untuk yang
ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan
kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri
menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba‟da al-dukhul
dan telah melewati masa iddah.
15
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Terj. Moh Thalib, (Bandung: PT Alma‟arif, 1983), Cet. 2, h. 42
16
Ibid., h. 44
17
3. Talak Ba‟in Shughra (KHI Pasal 119 ayat (1)) adalah talak yang tidak boleh
dirujuk tapi boleh dengan akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun
dalam iddah.
D. Akibat Hukum Cerai Talak
Apabila hubungan perkawinan antara suami dan isteri putus, maka hukum
yang berlaku sesudahnya adalah:
1. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak
boleh saling memandang apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaimana
yang berlaku antara dua orang yang saling asing. 18 Dapat dipahami bahwa
akibat dari putusnya perkawinan ini mengembalikan status halal yang
didapatnya selama perkawinan menjadi kembali kepada status semula, yaitu
haram.
2. Berlaku ketentuan iddah bagi isteri yang diceraikan.
Makna iddah secara istilah mengandung arti masa menunggu bagi
wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan
suaminya, baik itu cerai hidup ataupun cerai mati, dengan tujuan untuk
mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami untuk kembali
kepada isteri dalam ikatan perkawinan. Para ulama mendefinisikan iddah
sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang isteri yang ditinggal
mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk
18
dinikahkan.19 Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa iddah merupakan
masa tunggu bagi isteri untuk dapat dirujuk kembali oleh suami atau untuk
dibolehkannya menikah dengan laki-laki lain.
Macam-macam iddah bagi seorang wanita dibagi menjadi lima
kategori, yaitu:
a) Iddah bagi wanita hamil adalah sampai ia melahirkan
: 4
Artinya: “Dan perempuan-perempuan hamil , waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.(QS. At-Thalaq: 4)
b) Iddah karena kematian adalah empat bulan sepuluh hari
234 )
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari”. (QS. Al-Baqarah: 234)
c) Iddah bagi wanita yang masih haidh adalah tiga kali quru‟
: 228
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendakklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru‟”. (QS. Al-Baqarah: 228)
d) Iddah bagi wanita yang tidak haidh atau menopause adalah selama tiga
bulan
19
: 4
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang sudah tidak haid lagi (menopouse) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan”. (QS. At-Thalaq: 4)
3. Keharusan memberikan nafkah iddah dan mut‟ah.
Nafkah secara etimologi berasal dari kata ( ُةَمَفَنّلا ) yang berarti
ٌقاَفْنِلااَو ُفْوُرْصَمْلَا “biaya, belanja, pengeluaran uang”.20
Sekilas dapat
dipahami bahwasanya nafkah berkaitan erat dengan kebutuhan pokok
kehidupan manusia sehari-hari. Kebutuhan pokok yang diperlukan oleh
manusia seperti makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal.21
Sedangkan yang dimaksud dengan mut‟ah adalah pemberian atau
hadiah yang layak yang diberikan suami kepada isterinya selama masa iddah
baik berupa uang atau benda. Pemberian mut‟ah oleh suami kepada isteri
dimaksudkan untuk membersihkan hati kaum wanita dan menghilangkan
kekhawatiran terhadap penghinaan kaum pria kepadanya.22
Kewajiban memberikan nafkah iddah dan mut‟ah telah diperintahkan
oleh Allah swt dalam firmannya QS. Al-Baqarah [2] ayat 241
20
Achmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Ed. ke-2, h. 1449
21
Mustofa Al-khin, Mustofa Al-Bugho dan Ali Asy-Syarbaji, Kitab Fikah Mazhab Syafie,
(Kuala Lumpur: Pustaka Salam SDN BHD, 2005), Jilid ke-4, h. 925
22
/ 2 : 242
Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut‟ah menurut yang makruf sebagai suatu kewajiban bagi
orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah [2]: 241)
Firman Allah SWT QS. At-Talaq [65] ayat 7
/ 65 : 7
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. At-Talaq [65]: 6)
Selain tercantum dalam al-Quran, kewajiban suami terhadap nafkah
selama masa iddah juga terdapat dalam beberapa hadits Nabi, diantaranya
ialah:
Artinya: “Dari Fathimah binti Qais, ia berkata: Aku pernah datang kepada Nabi saw. Lalu aku berkata: Sesungguhnya suamiku si Fulan telah mengutus (seseorang mengabarkan) tentang talak (yang ia jatuhkan padaku), dan sesungguhnya aku telah menanyakan kepada keluarganya tentang nafkah dan tempat tinggal (bagiku), tetapi mereka menolakku. Mereka berkata: Ya
23 Abi „Abd al
Rasulullah, sesungguhnya suami Fathimah telah menguutus (seseorang mengabarkan) tentang talak yang ketiga kalinya (yang ia jatuhkan pada isterinya). Fathimah berkata: Kemudian Rasulullah saw. Bersabda: Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal itu bagi perempuan yang suaminya masih mempunyai hak ruju‟ (talak raj‟i)”. (H.R. An-Nasa‟i)
Selain terdapat dalam al-Quran dan Hadis, kewajiban memberi
nafkah juga dipertegas dalam hukum formil. Akibat yuridis cerai talak
diantaranya adalah pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi
bekas isteri (Pasal 41 huruf (c) UU No.1 Tahun 1974). Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 dijelaskan bilamana perkawinan putus
karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al-dukhul;
b. Memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas isteri selama masa
iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan
dalam keadaan tidak hamil.
Berbicara tentang nusyuz, secara terminologi kata nusyuz diartikan
sebagai pembangkangan dalam kewajiban terhadap pasangan, baik itu
dilakukan isteri maupun suami.24 Hal ini memberikan pengertian bahwa isteri
maupun suami sama-sama memiliki peluang untuk melakukan
pembangkangan atau nusyuz terhadap pasangannya karena tidak
24
melaksanakan kewajiban atau melanggar hak-hak pasangannya sehingga
dapat mengganggu keharmonisan dalam berumah tangga.
Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan perbuatan nusyuz yang
dilakukan oleh isteri terhadap suami, sehingga karena adanya perbuatan
tersebut menyebabkan isteri tidak berhak mendapatkan nafkah iddah dan
mut‟ah dari mantan suaminya. Mengenai perbuatan nusyuz isteri ini, penulis
dapat memberikan contoh, seperti: tidak mau diajak tidur bersama, isteri
bercikap acuh dan tidak peduli kepada perintah suami, anak terlantar akibat
isteri sering pergi dari rumah tanpa izin dari suami dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan hal ini Allah swt berfirman dalam al-Quran surat
an-Nisa [4] ayat 34 tentang nusyuz isteri terhadap suami.
/ 4 : 34
Adapun Hadis Rasulullah SAW yang membahas tentang nusyuz isteri
terhadap suami diantaranya adalah sebagai berikut:
Artinya: Dari Abu Hurairah R.A. berkata, bahwa Nabi SAW bersabda:
“Apabila seorang suami mengajak isterinya ketempat tidur, tetapi ia
menolak untuk datang, lalu sang suami marah, sepanjang marah maka para malikat melaknatnya (isteri) hingga datang pagi”. (H.R. Muslim)
Selain dalam al-Quran dan Hadis, nusyuz diatur pula dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 84, disana menyebutkan bahwa:
1. Isteri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) kecuali dengan
alasan yang sah.
2. Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut
pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali untuk
kepentingan anaknya.
3. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah
isteri nusyuz.
4. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus
didasarkan atas bukti yang sah.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa nusyuz
merupakan pembangkangan, pendurhakaan atau sikap tidak patuh yang
25
dilakukan isteri kepada suami, sehingga jika tidak ditangani dengan cepat
maka dapat menimbulkan putusnya ikatan perkawinan. Jika putusnya
perkawinan ini berasal dari suami (cerai talak) yang disebabkan karena isteri
nusyuz, maka tidak berhak baginya (isteri) mendapatkan nafkah iddah dan
mut‟ah dari mantan suaminya.
Adapun untuk ukuran nafkah iddah itu sendiri, baik al-Quran, Hadis
ataupun hukum formil tidak ada yang menyebutkan dengan tegas batas
ukuran atau jumlah nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada
isterinya, baik itu batas minimal atau maksimal wajibnya memberi nafkah.
Akan tetapi Allah hanya memberikan gambaran umum bahwasanya nafkah
itu diberikan kepada isteri menurut yang patut dengan arti cukup untuk
keperluan isteri dan sesuai pula dengan penghasilan suami.26
4. Pemeliharaan terhadap anak atau hadhanah.
Dalam Undang-undang Perkawinan telah diatur bahwa jika terjadi
perceraian maka antara suami dan isteri mempunyai hak yang sama untuk
memelihara anak. Jika terjadi perselisihan, maka pengadilan dapat
memutuskan siapa yang lebih berhak menerima anak tersebut.27
26
Murni Djamal, Ilmu Fiqh, (Jakarta: t.p., 1984), Cet. 2, Jilid II, h. 189
27
Euis Amalia, Laporan Hasil Penelitian Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga Studio Dokumen Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Pada Kasus Perceraian,
Namun dalam praktiknya bagi anak yang masih dibawah umur,
biasanya hak pemeliharaannya diberikan kepada ibunya. Hal ini diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 105, sedangkan bagi anak yang sudah
mumayyiz hak pemeliharaannya di serahkan kepada anak tersebut untuk
memilih hendak ikut kepada ayahnya atau ibunya. Adapun pemeliharaan
anak ditanggung oleh ayahnya.
5. Melunasi utang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa
perkawinan, baik dalam bentuk mahar atau nafkah, yang menurut sebagian
ulama wajib dilakukannya bila pada waktunya dia tidak dapat membayarnya.
begitu pula mahar yang belum dibayar atau dilunasinya, harus dilunasinya
setelah bercerai.28
E. Prosedur dan Penyelesaian Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama
Dalam Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 jo. Pasal 113 KHI disebutkan
bahwa, perkawinan putus karena kematian, perceraian atau atas keputusan
pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak yang diucapkan suami di depan pengadilan setelah
pengadilan mengizinkan suami mengikrarkannya melalui penetapan pengadilan
yang sudah berkekuatan hukum tetap (in cracht).29
28
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 303
29
Adapun perceraian yang disebabkan karena cerai talak telah diatur secara
khusus dalam Pasal 66-72 UU No.7 Tahun 1989.
1. Bentuk dan Isi Permohonan Talak
Sebelum perkara cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah:
a. Mendaftar permohonan atau mengajukan permohonan secara tertulis atau
lisan kepada bagian pendaftar perkara, yaitu Sub Kepaniteraan
Permohonan.30
b. Membayar panjar biaya perkara.
Dalam perkara permohonan talak ini, kedudukan suami sebagai pihak
Pemohon sedangkan isteri sebagai pihak Termohon. Adapun formulasi atau
isi permohonan, dari ketentuan Pasal 66 ayat (1) dan (2) jo. Ayat (5) jo.
Pasal 57 UU Peradilan Agama yang perlu diperhatikan adalah:
a. Identitas Pemohon dan Termohon, yaitu:
1) Nama;
2) Umur, hal ini untuk menentukan dewasa atau belum;
3) Agama, hal ini untuk menentukan kompetensi absolut pengadilan;
dan
4) Alamat, hal ini penting untuk menentukan kompetensi relative
pengadilan.31
30
b. Fundamentum Petendi atau Posita adalah dalil-dalil konkret tentang
adanya hubungan yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada
tuntutan.32 Posita ini berisi tentang hal-hal berikut:
1) Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah
pihak.
a) Kapan suami dan isteri melangsungkan pernikahan
b) Selama pernikahan saling rukun atau tidak
c) Apakah suami isteri dikaruniai anak?
2) Alasan-alasan diajukannya permohonan cerai talak, harus
berdasarkan fakta atau peristiwa hukum.
3) Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan
suatu keharusan; Hakim yang harus melengkapi dalam penetapan
(atau putusan) nanti.33
Posita hendaknya ditulis secara singkat, kronologis, jelas, tepat dan
terarah untuk mendukung isi tuntutan.
c. Petitum atau tuntutan yaitu apa yang diminta atau diharapkan Penggugat
agar diputuskan oleh hakim.34 Misalnya:
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 120
34
“Memohon kepada majelis hakim untuk menerima permohonan
Pemohon, dan mengijinkan pemohon untuk mengikrarkan talak di depan
majelis hakim”.
2. Tahapan Persidangan Permohonan Talak
Pada hari sidang yang telah ditentukan, Pemohon dan Termohon atau
kuasanya masing-masing menghadiri sidang di Pengadilan Agama, setelah
menerima surat panggilan yang sah.
Adapun susunan persidangan terdiri dari:
a. Hakim tunggal atau Hakim Majelis yang terdiri dari satu ketua dan dua
hakim anggota, yang dilengkapi oleh Panitera sebagai pencatat jalannya
persidangan.
b. Pihak Pemohon dan Termohon duduk berhadapan dengan hakim dan
posisi Termohon disebelah kanan sedangkan Pemohon disebelah kiri
hakim.35
Apabila persidangan berjalan lancar maka jumlah persidangan kurang
lebih 8 kali yang terdiri dari sidang pertama sampai dengan putusan hakim.
a. Sidang I (Mediasi)
Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada sidang pertama ini,
yaitu:36
35
Soeroso, Praktikum hukum Acara Perdata Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. 6, h. 41
36
1. Pemohon tidak hadir, sedangkan Termohon hadir. Jika terjadi keadaan
seperti ini maka hakim dapat menunda persidangan sekali lagi untuk
memanggil Pemohon atau menyatakan bahwa permohonan dinyatakan
gugur (Pasal 124 HIR/Pasal 148 R.Bg).
2. Pemohon hadir, sedangkan Termohon tidak hadir. Dalam keadaaan ini
maka hakim dapat menunda persidangan untuk memanggil Termohon
sekali lagi atau menjatuhkan putusan verstek karena Termohon dinilai
ta‟azzuz atau tawari atau ghaib (Pasal 125 HIR/Pasal 149 R.Bg).
3. Termohon tidak hadir tetapi mengirim surat jawaban, maka surat
jawaban tersebut tidak perlu diperhatikan dan dianggap tidak ada,
kecuali jika surat itu berisi perlawanan (eksepsi) bahwa Pengadilan
Agama yang bersangkutan tidak berhak mengadilinya (Pasal 125 ayat
(2) HIR).
4. Pemohon dan Termohon tidak hadir dalam persidangan pertama, maka
sidang harus ditunda dan para pihak dipanggil lagi sampai dapat
dijatuhkan putusan gugur atau verstek atau perkara dapat diperiksa.
5. Pemohon dan Termohon hadir dalam sidang pertama
Jika Pemohon dan Termohon hadir di persidangan, maka Majelis
Hakim memberikan kesempatan atau berusaha agar Pemohon dan Termohon
berdamai serta kembali rukun sebagai suami isteri atau yang biasa dikenal
Apabila usaha untuk mendamaikan ini tidak berhasil maka sidang
dilanjutkan pada tahap selanjutnya.
b. Sidang II (Pembacaan Permohonan)
Pada tahap pembacaan gugatan ini terdapat beberapa kemungkinan dari
Pemohon, yaitu:37
1. Mencabut permohonan
2. Mengubah permohonan
3. Mempertahankan permohonan
Jika Pemohon tetap mempertahankan permohonannya maka sidang
dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu jawaban Termohon.
c. Sidang III (Jawaban Termohon)
Pada tahap ini, hakim memberikan kesempatan kepada Termohon atau
isteri untuk mengajukan jawaban dan mempertahankan haknya. Menurut
Pasal 121 ayat (2) HIR/Pasal 145 ayat (2) R.Bg jo Pasal 132 ayat (1)
HIR/Pasal 158 ayat (1) R.Bg Termohon dapat mengajukan jawaban secara
lisan ataupun tulisan.38 Adapun dalam penyampaian jawaban ini Termohon
harus datang secara pribadi dalam persidangan atau diwakilkan oleh kuasa
hukumnya.
37
Ibid., h, 110
38
Dalam tahap ini ada beberapa hal yang dapat diajukan langsung oleh
Termohon, yaitu: mengaku bulat-bulat, mungkir (membantah) secara mutlak,
mengaku dengan klausula, referte (jawaban berbelit-belit).39
d. Sidang IV (Replik)
Replik adalah jawaban atas jawaban, diucapkan atau diajukan secara
tertulis oleh pihak Pemohon setelah ia mendengarkan jabawan Termohon atas
permohonannya, replik ini dapat dijawab lagi oleh Termohon dengan satu
jawaban dalam babak kedua, yang dinamakan duplik.40
e. Sidang V (Duplik)
Babak terakhir dalam jawab-menjawab atas perkara perdata adalah
duplik, yakni jawaban pihak Temohon atas replik Pemohon sebelum
memasuki tahapan pemeriksaan pembuktian yang mana isinya tidak jauh
berbeda dengan replik yaitu mempertahankan dalil-dalil dan sanggahan
masing-masing pihak dengan tuntutan yang relatif tidak berubah.41
Replik dan duplik (jawab-menjawab) ini dapat diulangi sampai ada titik
temu antara Pemohon dan Termohon, atau sudah dianggap cukup oleh hakim.
Walaupun jawab-menjawab antara Pemohon dengan Termohon dirasa cukup,
namun masih ada hal-hal yang tidak disepakati sehingga perlu adanya
39
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 122
40
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), Cet. 1, h.22
41
pembuktian atas kebenarannya. Oleh karena itu maka persidangan dilanjutkan
pada tahap pembuktian.
f. Sidang VI (Pembuktian)
Pembuktian adalah memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim
dalam pemeriksaan suatu perkara agar dapat memberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan.42
Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses perkara,
karena dari hasil pembuktian dapat diketahui benar atau tidaknya perkara.
Menurut Pasal 164 HIR dan Pasal 186 B.W ada lima macam alat bukti, yaitu:
bukti tulisan/surat, bukti saksi, bukti persangkaan, bukti pengakuan dan bukti
sumpah.43
Setelah hakim merasa pembuktian cukup, maka persidangan dapat
dilanjutkan pada tahap berikutnya.
g. Sidang VII (Kesimpulan Para Pihak)
Pada tahap ini, masing-masing pihak baik Pemohon atau Termohon diberi
kesempatan yang sama oleh hakim untuk mengajukan pendapat akhir yang
merupaka kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung.
h. Sidang VIII (Penetapan atau Putusan Hakim)
42
Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbitrase & Alternatif Serta Mediasi, (Bandung: Grafitri, 2007), h.67
43
Penetapan putusan hakim merupakan tahap paling akhir di persidangan.
Pada tahap ini hakim merumuskan pertimbangan hukum terhadap suatu
perkara yang diperiksanya dan disertai dengan alasan serta dasar hukumnya,
yang kemudian diakhiri dengan putusan hakim.
Contoh kasus:44
Pada tanggal 7 Januari hakim memberikan penetapan bahwa permohonan
suami (Pemohon) untuk menjatuhkan ikrar talak diterima. Sejak penetapan ini
terdapat jangka waktu 14 hari (=14 hari kerja). Dalam jangka waktu 2 minggu
ini, Termohon dapat mengajukan permohonan banding.
Bila isteri tidak mengajukan banding maka penetapan hakim memperoleh
kekuatan hukum yang tetap. Sejak tanggal tersebut, suami atau Pemohon
dapat mengajukan permohonan untuk mengucapkan ikrar talak.
Lihat skema
Tahun 2005
Tgl. 7/1/05 25/1 25/2 25/3 25/4 25/5 25/6 25/7
Tanggal 25 Januari (hari kerja ke-14 setelah penetapan hakim berkekuatan
hukum tetap) talak belum jatuh, isteri dapat mengajukan banding. Bila isteri
(Termohon) tidak menyatakan banding, penetapan tersebut memperoleh
kekuatan hukum tetap (25/1-05). Sejak tanggal tersebut pengadilan
menentukan hari sidang untuk menyaksikan Ikrar Talak Pemohon atas
44
permohonan Pemohon (suami). Misalkan ditetapkan bahwa sidang untuk
mengucapkan Ikrar Talak pada tanggal 25 Maret 2005, maka suami pada hari
yang ditentukan harus datang dan mengucapkan Ikrar Talak di hadapan
Majelis Hakim dan dihadiri oleh isteri.
Undang-undang memberi kesempatan atau tenggang waktu bagi suami
atau Pemohon untuk mengucapkan Ikrar Talak dalam jangka waktu 6 bulan.
Bila dalam tenggang waktu tersebut suami tidak datang untuk mengucapkan
Ikrar Talak, maka permohonan untuk mengucapkan Ikrar Talak tersebut dapat
dinyatakan gugur oleh hakim (Pasal 70 ayat (6) UU Peradilan Agama). Jadi
(suami) belum mengucapkan Ikrar Talak, maka penetapan tersebut gugur dan
ikatan perkawinan tetap utuh.45
F. Hak Ex Officio Hakim Terhadap Penetapan Nafkah Iddah Dan Mut’ah
Dalam Cerai Talak
Tanggung jawab suami terhadap isteri tidak hanya berlaku ketika ia sah
menjadi suami isteri saja, tetapi setelah perceraian pun suami masih tetap
bertanggung jawab terhadap isteri yang mana hal ini merupakan hak isteri yang
harus didapatkan dari suami selama masa iddah akibat dari adanya perceraian
tersebut. Adapun hak-hak isteri ini diantaranya adalah ia berhak mendapatkan
nafkah selama masa iddah dan mut‟ah dari mantan suami bagi isteri yang ditalak
raj‟i dan tidak nusyuz.
45