• Tidak ada hasil yang ditemukan

tugas mandiri kewarganegaraan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "tugas mandiri kewarganegaraan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MANDIRI

"DAMPAK KORUPSI ,

KOLUSI DAN NEPOTISME"

Mata Kuliah : Kewarganegaraan

Nama Mahasiswa : Yolla Anggari

NPM : 120210212

Dosen : Tim Dosen

UNIVERSITAS PUTERA BATAM

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjukNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Mandiri Kewarganegaraan tentang DAMPAK KORUPSI ,KOLUSI DAN NEPOTISME yang mana makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah kewarganegaraan di Universitas Putera Batam.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyajian data program di makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca demi kesempurnaan makalah yang ditulis ini. Semoga makalah ini berguna dan dapat menambah ilmu pengetahuan pembaca.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyak nya kepada semua pihak yang telah ikut membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini dan yang telah banyak membantu dari awal hingga akhir makalah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi kita semua, Amin.

Hormat Saya,

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I PENDAHULUAN...1

1. Pengertian Korupsi...1

2. Pengertian Kolusi...2

3. Pengertian Nepotisme...2

BAB II DAMPAK PRAKTEK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME TERHADAP KETAHANAN EKONOMI BANGSA...8

1. Demokrasi...12

2. Ekonomi...13

3. Kesejahteraan Umum Negara...14

4. Bentuk-bentuk Penyalahgunaan...14

5. Penyogokan...14

6. Sumbangan Kampanye atau “Uang Haram”...15

7. Tuduhan Korupsi Sebagai Alat Politik...16

8. Mengukur Korupsi...16

BAB III PEMBARANTASAN KORUPSI DI INDONESIA...17

1. Orde Lama...17

2. Orde Baru...18

3. Reformasi...18

BAB IV PENUTUP...19

1. Kesimpulan...19

2. Saran...20

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1. Pengertian Korupsi

Menurut (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb:

o perbuatan melawan hukum;

o penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;

o memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;

o merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:

a. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); b. Penggelapan dalam jabatan;

c. Pemerasan dalam jabatan;

d. Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);

e. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

(5)

korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

2. Pengertian Kolusi

Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi. Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.

3. Pengertian Nepotisme

(6)

biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh : kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.

Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup yang telah mengambil janji “chastity”, sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung lalu memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan “dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI.

Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.

(7)

nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi.

Bak cendawan di musim hujan. Jumlah kasus-kasus korupsi yang di ungkap sungguh melewati nalar dan akal sehat bangsa kita. Dari segi jumlah nilainya. Jumlah anggota dewan yang terlibat. Jumlah kota maupun kabupaten tempat korupsi. Termasuk juga jumlah modusnya yang bermacam-macam. Sudah sedemikian hinakah bangsa kita. Sehingga, sampai-sampai, anggota dewan yang seharusnya menjadi panutan dan teladan masyarakat, justru tak dapat ditiru akhlaknya.

Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.

(8)

dan lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas saja yaitu anggota keluarga dan teman dekat saja.

Dampak korupsi telah menghancurkan sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa. Malang Corruption Watch (MCW), 2003,menjabarkan hal sebagai berikut. Ditinjau dari aspek politik dapat dilihat manakala proses politik itu didasarkan bukan membawa kepentingan masyarakat secara umum, tetapi lebih didasarkan atas kemauan dan kepentingan untuk maksud-maksud tertentu dengan membawa agenda pribadi yang dibungkus kepentingan masyarakat. Contohnya, pada bentuk-bentuk kolutif pemilihan walikota/bupati. Penyusuna/pembuatan perda. LPT/LPJ Bupati/walikota. Pemenangan tender proyek dan pada perijinan yang diskriminatif. Alih-alih terjadilah apa yang disebut lemahnya pelayanan terhadap kepentingan publik. Selain itu menimbulkan diskriminasi hukum dan kebijakan. Kemudian mengarah pada legalisasi produk kebijakan yang korup.

Ditinjau dari aspek ekonomi, korupsi selalu dilakukan dengan cara-cara tidak sah dalam mendapatkan sesuatu melalui pola dan modus yang memanfaatkan kedudukan. Dampaknya, terjadi pemusatan ekonomi pada elit kekuasaan. Yang dimaksud kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam arti pengambil kebijakan (DPRD dan Bupati/Walikota) dan kekuasaan modal (pengusaha) untuk melakukan aktifitas ekonomi. Disini MCW memberi catatan sebagai berikut, “Apabila aliran dana ekonomi berputar pada ketiga kelompok tersebut maka kelompok lain yaitu masyarakat yang tidak cukup punya modal dan kemampuan untuk menembus birokrasi pemerintahan akan tetap mengais rejeki dari sisa-sisa kelompok pemodal.

(9)

berberfaham kebendaan. Diamana masyarakat kita yang suka menolong berubah sedemikian rupa menjadi masyarakat yang pamrih setiap membantu yang lain.

Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita Acara Perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.

(10)

hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi semakin meningkat.

Muncul pertanyaan apakah dimasukannya tindak pidana hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.

Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan.

Pertanyaan berikutnya, apa ada jaminan pelaku korupsi dijerat oleh hukum? Atau justru lepas dan ia akan terus membina kondisi ini dan akan terjadi regenerasi terus-menerus. Lalu apakah masyarakat akan menentang jalur-jalur belakang ini atau justru lahir sikap pembiaran karena ternyata juga telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat saat ini. Jadi jelaslah bahwa upaya preventif dari pemberantasan KKN adalah dengan menciptakan tertib sosial dalam arti adanya tertib nilai-nilai yang harus diaplikasikan dalam struktur masyarakat.

(11)

BAB II

DAMPAK PRAKTEK

KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

TERHADAP KETAHANAN EKONOMI BANGSA INDONESIA

(12)

Adapun penyebab terjadinya tindak KKN adalah: a. Munculnya paham materialisme

Dengan munculnya paham materialisme dalam kehidupan masyarakat maka dapat menimbulkan cara berfikir yang hanya memandang kebendaan atau materi. Sehingga segala sesuatu akan diukur dengan materi.

b. Moral dan akhlak yang rendah

Rendahnya moral dan akhlak masyarakat akan menimbulkan pandangan hidup yang hanya mementingkan keduniawian saja, sehingga munsulah hedonisme. Akhlak yang rendah akan menurunkan tingkat rasa malu pada individu, sehingga jika ia mengambil uang atau hak dari orang lain akan merasa biasa-biasa saja seolah tidak pernah melakukan pelanggaran.

c. Nafsu keserakahan

Rasa kesarakahan akan menimbulkan rasa yang tidak akan kunjung puas untuk memiliki suatu benda maupun materi dalam bentuk uang. Dengan adanya keserakahan dapat pula membutkan mata hati seseorang, sehingga bisa saja memperoleh rejeki dengan cara yang tidak halal.

Praktik KKN dapat menimbulkan beberapa kerugian bagi Negara, kerugian yang sangat dirasakan oleh Negara adalah kerugian dalam ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi KKN telah mengakibatkan kurang optimalnya pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh Negara. Hal itu disebabkan hasil yang diperoleh Negara menjadi lebih kecil dari yang seharusnya dapat dicapai.

(13)

Untuk itulah dibutuhkan upaya dalam menangguilangi KKN, upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara:

a. Menegakkan hukum yang seadil-adilnya.

b. Membenahi birokrasi ditingkat pusat maupun daerah. c. Dibutuhkan sosok atau figure yang dapat untuk diteladani d. Melakukan efisiensi jumalah pegawai.

e. Diperlukan adanya reformasi dalam kelembagaan, misalnya pada lembaga peradilan.

f. Adanya pengawasan yang dilakukan secara ketat terhadap kekuasaan eksekutif dan sebaiknya pengawasan dan pemeriksaan tersebut harus benar-benar independent dan efektif.

g. Dibutuhkan lembaga-lembaga di luar birokrasi yang kuat, seperti LSM dan ORMAS masyarkat dapat ikut serta mengawasi jalanya pemerintahan.

Jika hal tersebut dapat dijalankan dengan baik maka ketahanan dalam bidang ekonomi akan kembali pulih. Namun jika fenomena KKN ini tetap dibiarkan saja dan tidak ada tindakan yang tegas dari pemerintah, maka KKN akan semakin menggrogoti ekonomi bangsa. Hal itu dikarenakan KKN adalah musuh utama dalam perekonomian suatu negara. Mengingat bahwa dengan adanya tindak KKN pemerataan pembangunan akan sulit tercapai, sehingga sulit untuk menciptakan kemakmuran bagi seluruh masyarakat. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:

o Perbuatan melawan hukum;

o Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;

o Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;

(14)

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:

o memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);

o Penggelapan dalam jabatan;

o Pemerasan dalam jabatan;

o Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);

o Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi

a. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.

b. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah

c. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran

lebih besar dari pendanaan politik yang normal.

d. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.

e. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan

"teman lama".

f. Lemahnya ketertiban hukum. g. Lemahnya profesi hukum.

h. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa. i. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

(15)

Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun demikian kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123). Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007)

 Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.

 Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".

1. Demokrasi

(16)

2. Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran

ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".

Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik

dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

(17)

Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari

ekspropriasi di masa depan.

3. Kesejahteraan Umum Negara

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan

pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

4. Bentuk-bentuk Penyalahgunaan

Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan,

pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.

5. Penyogokan

(18)

yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.

Duabelas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan ttg korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut:

o Australia (karena survey semacam itu juga tidak ada).

6. Sumbangan Kampanye atau "Uang Haram"

(19)

7. Tuduhan Korupsi Sebagai Alat Politik

Sering terjadi dimana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.

8. Mengukur Korupsi

Mengukur korupsi dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional,

LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia

mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah

(20)

BAB III

PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Dapat dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

1. Orde Lama

Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960. Antara 1951 -1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.

(21)

Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.

2. Orde Baru

Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971. Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.

3. Reformasi

Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001. Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:

a. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi) b. Komisi Pemberantasan Korupsi

c. Kepolisian d. Kejaksaan e. BPKP

(22)

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan

Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satucita-citareformasi.

(23)

2. Saran

Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif). Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif.

Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

http://catholic-forum.com/saints/ncd05726.htm. http://www.newadvent.org/cathen/01289a.htm. http://www.newadvent.org/cathen/11579a.htm. http://www.goggle.com

Referensi

Dokumen terkait

Minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 gram di dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan 15 ml larutan karbon tetraklorida (atau 20 ml campuran 50%-v sikloheksan

Sedangkan pada rasio Return On Assets (ROA), Return On Equity (ROE), dan Net Profit Margin (NPM) tidak menemukan adanya perbedaan yang signifikan pada periode sebelum dan

PLL adalah suatu sistem umpan balik dimana sinyal umpan balik digunakan untuk mengunci frekuensi dan phase output pada suatu.. frekuensi dan phase

Bagaimana jika perusahaan menggunakan modal dari gabungan hutang dan ekuitas, dengan asumsi bahwa 50-50 campuran antara hutang dan ekuitas, maka biaya rata-rata tertimbang di

Fadjrir, SpOG beserta staf yang telah memberikan kesempatan dan sarana kepada Saya dalam bekerja selama mengikuti pendidikan di Departemen Obstetri dan

Dengan unsur-unsur konstruksi yang berbeda-beda istilahnya pada masing-masing bentuk arsitekturnya, terlihat bahwa keempat bangunan yang diteliti dikerjakan dengan teknik

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan

NO JENIS MERK/TYPE SILINDER NOPOL NOSIN NOKA TAHUN BUAT /