532/Pdt.G/2008/PA.Bgr)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Zainuddin
204044103065
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
532/Pdt.G/2008/PA.Bgr)
SKRIPSI
Diajukan Untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Zainuddin
204044103065
Di bawah bimbingan
Drs.H.A Basiq Djalil, SH., MA
NIP. 150 169 102
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Skripsi berjudul PENYELESAIAN CERAI GUGAT ISTRI HAMIL (Analisis Putusan Pengadilan Agama Kota Bogor Nomor. 532/Pdt.G/2008/PA.Bgr) telah
diujikan dalam munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 30 November 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al Syakhshiyah (Peradilan Agama).
Jakarta, 3 Desember 2009 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP 195505051982031012
Panitia Ujian
1. Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA (...) NIP 195510151979031002
2. Sekretaris : Drs H. Ahmad Yani, MAg (...) NIP 196404121994031004
3. Pembimbing I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP 150 169 102
4. Penguji I : Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA (...) NIP 195510151979031002
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2 November 2009
iv
Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, tak ada yang pantas penulis ucapkan selain
ungkapan puj dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga yang
diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PENYELESAIAN CERAI GUGAT ISTERI HAMIL (Analisis Putusan
Nomor:532/Pdt.G/2008/PA.Bgr)”ini dengan baik.
Sholawat serta salam semoga tercurahkan Kepada Nabi Muhammad SAW,
juga pada keluarga, sahabat dan ummatnya yang senantiasa mengikuti jejak dan
langkah beliau sampai akhir jaman nanti, Amiin.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
jumpai, namun syukur Alhamdulillah berkat Rahmat dan Hidayah-Nya,
kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas disertai dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak, baik yang langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat
teratasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
Oleh sebab itu, sudah sepantasnyalah pada kesempatan kali ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak:
1. Prof. Dr. H. Amin Suma. SH. MA. MM., Selaku Dekan Fakultas Syari’ah
v
Syakhshiyyah Fakultas Syaria’ah dan Hukum dan juga sebagai dosen
pembimbing dengan kesabaran yang tulus senantiasa meluangkan
waktunya untuk bimbingan, pengarahan, saran-saran selama penulisan
skripsi.
3. Drs. Djawahir Hejazziey. SH. MA., dan Bapak. Drs. Ahmad Yani, M.
Ag., sebagai Ketua Kortek dan sekertaris Kordinator Teknisi program Non
Reguler.
4. Drs. H. Odjo Kusnara N.M.Ag, selaku dosen Pembimbing akademik yang
telah memberikan arahan-arahan akademik sehingga penulis
menyelesaikan perkuliahan dengan baik.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen pada lingkungan Ahwal al Syakhshiyyah
Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku kuliah.
6. Bapak dan Ibu Dosen, terima kasih atas segala ilmu dan pengetahuannya
yang diberikan kepada penulis Selama proses belajar mengajar di fakultas
Syari’ah dan Hukum.
7. Segenap jajaran Staf dan Karyawan Akademik Perpustakaan Fakultas dan
vi
8. Ucapan terimakasih penulis haturkan secara khusus kepada kedua orang
tuaku Bapak H. Murkasan dan Ibunda Hj. Rini, yang senantiasa
memberikan dukungan penuh baik berupa materil maupun spirituil, dan
selalu mengiringi setiap langkah ku dengan doa yang tulus ikhlas,
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang perguruan
tinggi.
9. Sahabat-sahabat dekat penulis, Achdi Gufron, Muhasim, Agus Kshaeroni,
Ma’mun, Saiful Bahri. S H,i., Mirzan Ghulamahmad. S H,i.
10. Seseorang yang beberapa bulan ini hadir menemaniku, menjadi teman,
sahabat dan seseorang yang spesial buatku, Mitra Aryani Tarbiya.
11. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terimakasih
atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah
membimbing dan membantu penulis mendapat balasan yang berlimpah ruah dari
Allah SWT. Dan semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.Jazakumullah Khairon Katsiiron
Jakarta, 03 Desember 2009
vii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENGESAHAN... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5
D. Metode Penelitian ... 6
E. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II PROSEDUR CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA .... 10
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukum Perceraian ... 10
B. Macam-Macam Perceraian ... 17
C. Prosedur Cerai Gugat ... 27
viii
B. Letak Geografis Pengadilan Agama Bogor ... 43
C. Organisasi dan Kewenangan Pengadilan Agama ... 45
BAB IV PUTUSAN CERAI GUGAT ISTERI HAMIL... 51
A. Putusan Cerai Gugat Isteri Hamil di Pengadilan Agama Bogor . 51 B. Proses Perkara Cerai Gugat Isteri Hamil ... 59
C. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Cerai Gugat Isteri Hamil. 63 D. Landasan Yuridis Pemeriksaan Cerai Gugat Isteri... 72
BAB V PENUTUP ... 75
A. Kesimpulan ... 75
B. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 77
1
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Perkawinan merupakan suatu media
untuk membangun keluarga bagi kesinambungan kehidupan manusia. Islam
menjadikan perkawinan bukan sekedar wadah bertemunya dua insan yang
berlainan jenis dan bukan sebagai sarana pemuas nafsu saja, akan tetapi lebih dari
itu dengan kata lain Islam menjadikan perkawinan sebagai suatu lembaga yang
suci. Pernyataan ini dibuktikan dari tata cara pelaksanaan perkawinan, tata cara
hubungan suami-istri dan juga tata cara penyelesaian perceraian.2
Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut undang-undang Nomor I
Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Sebagaimana pasal I yang menegaskan, “Perkawinan ialah ikatan lahri
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
1 Lihat Undang-Undang No. 1 Pasal 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
2 Kamal Mukhtar,
Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,(Jakarta: Bulan Bintang 1993),
Ketuhanan Yang Maha Esa,”untuk itu poin 4 huruf a menyatakan suami istri
perlu saling membantu dan mencapai spritual dan material.3
Akan tetapi dalam melaksanakan kehidupan suami istri ada kemungkinan
terjadinya salah paham antara suami istri, salah seorang atau kedua-duanya tidak
melaksanakan kewajiban-kewajibannya tidak saling percaya dan sebagainya.4 Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata,
melainkan ikatan suci yang terkait dengan keyakinan dan ke Imanan kepada Allah
SWT. Dengan demikian ada dimensi Ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu
perkawinan harus di pelihara dengan baik sehingga dapat abadi dan apa yang
menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera,
sakinah, mawaddah dan warahmah.5
Salah satu asas perkawinan yang disyariatkan ialah perkawinan untuk
selama-lamanya yang dipilih oleh rasa kasih sayang dan saling cinta mencintai.
Karena itu agama Islam mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk
sementara, dalam waktu-waktu tertentu sekedar untuk melepaskan hawa nafsu
saja seperti nikahmut’ah, nikahmuhallil dan sebagainya.6
3 Ahmad Rofiq,
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), cet-6., hal.
268.
4 Kamal,
Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,hal.145.
5 Amiur Nurddin dan Azhari Akmal Tarigan,
Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Islam dari Fiqh.UU No. 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), cet.ke-3, h.
2006.
6 Kamal,
Islam sebagai agama yang inklusif dan toleran memberi jalan keluar,
ketika suami istri yang tidak dapat lagi meneruskan perkawinan, dalam arti
adanya ketidak cocokan pandangan hidup dan percecokan rumah tangga yang
tidak bisa di damaikan lagi. Maka Islam memberi jalan keluar yang dalam istilah
fiqh di sebut dengan talaq (perceraian). Agama Islam memperbolehkan Suami
Istri bercerai tentaunya dengan alasan-alasan tertentu, kendati percerain itu sangat
dibenci Allah SWT.7
Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat di tempuh oleh Suami
Istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan perdamaian atau
meditasi secara maksimal dapat dilakukan atas kehendak Suami ataupun
permintaan si Istri. Perceraian yang dilakukan atas permintaan Istri di sebut Cerai
Gugat.8
Maksud cerai gugat adalah permintaan istri kepada suaminya untuk
menceraikan (melepaskan) dirinya dari ikatan perkawinan dengan disertai iwadh
berupa uang atau barang kepada suami dari pihak istri sebagai imbalan penjatuhan
talak cerai gugat pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan diri
dari ikatan perkawinan yang dianggap sudah tidak ada kemaslahatan sebagai
imbalan hak talaknya, dan menyadarkan bahwa istripun mempunyai hak yang
sama untuk mengakhiri perkawinan. Artinya dalam situasi tertentu istri yang
7 Muhammad Daud Ali,
Hukum Islam dan Pandangan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), cet.ke-2, h.102.
8 Syekh Mahmudunnasair,
Islam Konsepsi dan Sejarahnya,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
sangat tersiksa akibat ulah Suami mempunyai hak menuntut cerai dengan Imbalan
sesuatu.9
Dalam kehiidupan berumah tangga, meskipun mulanya suami istri penuh
kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, bahkan bisa hilang berganti
dengan kebencian. Kalau kebencian telah datang dan suami istri tidak dengan
sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih sayangnya,
akan berakibat negatif bagi anak keturunanya. Oleh karena itu, upaya
memulihkan kembali kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu dilakukan.
Memang benar kasih sayang itu beralih menjadi kebencian, akan tetapi pula perlu
diingat bahwa kebencian itu kemudia bisa pula kembali menjadi kasih sayang.10 Akan tetapi yang terjadi di daerah Pengadilan Agama Bogor mengenai perceraian
yang diajukan oleh istri mengenai gugatan cerai yang sedang hamil masih bisa
diterima dan diputus di Pengadilan Agama bogor.
Dengan adanya permasalahan yang ada dan kemajuan kehidupan berumah
tangga pada zaman sekarang ini, sering terjadi berbagai macam kasus perceraian
yang kita jumpai di lingkungan masyarakat ataupun di media-media masa ataupun
elektronik, khususnya di kalangan selebritis contohnya seperti kasusnya Oky
Agustina menggugat suaminya Sigit Purnomo di Pengadilan Agama setelah
suaminya di indikasikan berselingkuh dengan wanita lain.
9 Rahmat Hakim,
Hukum Perkawinan Islam,(Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet.ke-1, h.172.
10 Satria Efendi M. Zein,
Problematiaka Hukum Keluarga Islam Kontemporer “Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah”, diterbitkan atas kerja sama Fakultas Syariah dan
Meninjau dari pembahasan di atas, Penulis tergugah untuk meneliti
tentang perkara Cerai Gugat Istri Hamil, maka dari itu penulis mengambil objek
penelitian di Pengadilan Agama yang notabennya merupakan lembaga peradilan
yang menangani kasus bagi yang beragama Islam, khususnya di batasi di
Pengadilan Agama Bogor, karena latar belakang di atas penulis mengambil judul
“Penyelesaian Cerai Gugat Istri Hamil (Analisis Putusan Nomor: 532/Pdt.G/2008/PA.Bgr)” .
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan skripsi ini penulis membatasi
masalah dalam pokok bahasan analisis putusan Nomor 532/Pdt.G/2008/PA.Bgr,
yaitu “Penyelesaian Cerai Gugat Istri Hamil di Pengadilan Agama Kota Bogor”.
2. Perumusan Masalah
Untuk memperjelas pembahasan ini, maka dirumuskan masalahnya
sebagai berikut. Pada dasarnya dalam masalah Kitab-kitab Fiqih perceraian isteri
yang hamil, tidak bisa diterima untuk ditetapkan di Pengadilan Agama, akan
tetapi pada kenyataanya penyelesaian cerai gugat isteri hamil diterima dan diputus
pada Pengadilan Agama Kota Bogor, didalam Undang-undang Perkawinan tidak
dijelaskan secara jelas, akan tetapi dalam masalah Fiqih tidak memperbolehkan
perceraian yang dilakukan istri hamil. Agar lebih terperinci, rumusan tersebut
1. Apa Penyebab isteri Menggugat suaminya
2. Apa pengaruh istri menggugat suaminya.
3. Apakah yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim pengadilan Agama
dalam memutuskan perkara Cerai Gugat Isteri Hamil.
Rincian diatas merupakan kerangka pertanyaan yang hendak diteliti dan
dicarikan jawabanya, sehingga peneliti ini didasarkan dalam kerangka pencarian
jawaban tersebut dilakukan dalam proses identifikasi terhadap fakta-fakta dan
realita yang sedang berlaku maupun yang pernah berlaku.
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penulis mengangkat pembahasan ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui apa penyebab isteri menggugat suaminya.
2. Untuk mengtahui apa pengaruh terhadap istri yang menggugat cerai dalam
keadaan hamil
3. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim
Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara gugat cerai isteri hamil.
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka perlu adanya manfaat dari
penelitan tersebut diantaranya sebagai berikut :
1. Dalam lembaga pustaka, hasil penelitian di harapkan dapat dijadikan sebagai
2. Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih utama tentang
penyelesaian cerai gugat Isteri Hamil dalam analisis Putusan
No.532/Pdt.G/2008/PA.Bgr.
3. Dapat mengetahui prosedur persidangan dalam hukum acara Pengadilan
Agama Kota Bogor.
4. Sebagai pengetahuan hukum secara teori dan praktek di Pengadilan Agama
terutama maslaah perceraian Isteri hamil.
D. Metode Penelitian
Dalam upaya mendapatkan data yang akurat, lengkap dan obyektif. Untuk
penyusunan skripsi ini penulis menggunakan penelitian antara lain :
1. Jenis penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah
menggunakan analisis normatif yang didasarkan pada hasil analisis dengan
melakukan penelitian tehadap data kepustakaan, pendapat para ahali dan teori
yang terkait dengan pembahasan masalah atau disebut dengan data skunder.
Yang bersifatdeskriftif analisis, yaitu memberikan data seteliti mungkin yang
menggambarkan objek penelitian, kemudian menganalisa isi putusan (content
analisis) putusan, untuk menelihat sejauh mana para hakim menerapkan
peraturan perundangan tentang cerai guagat isteri hamil.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulius adalah dengan
cara sebagai berikut:
a. Data Primer, melalui data primer penulis dapat melakukan sebuah
wawancara dengan hakim, panitra dan pejabat lainya yang ada di
Pengadilan Agama da observasi lapangan dengan cara mengumpulkan
data di Pengadilan Agama tentang cerai gugat istri hamil
b. Data Skunder, melalui data sekunder penulis dapat melakukan studi
kepustakaan, dilakukan melalui penelusan bahan-bahan penelitian
kedalam dua sumber.
1. Bahan Hukum Primer
Berupa bahan-bahan yang isinya mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat dalam penulisan skipsi ini. Seperti Al-quran, Al-hadist,
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
telah di amandenen dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Udang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan sebagainya.
2. Bahan Hukum Skunder
Berupa buku-buku literatur yang berkenaan dengan masalah-masalah
E. Sistematika Penulisan
Dalam menjabarkan penelitian ini kedalam bentuk penulisan, maka
penulisan menyusunnya secara sistematis guna memudahkan dalam menganalisis
suatu masalah.
Adapun sistematika penulisan ini adalah:
Bab pertama terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua yaitu tentang prosedur cerai gugat di Pengadilan Agama, Bab
ini meliputi pengertian dan dasar hukum perceraian, macam-macam perceraian,
prosedur cerai gugat dan akibat perceraian.
Bab ketiga berisi tentang Gambaran Pengadilan Agama Kota Bogor
meliputi sejarah singkat Pengadilan Agama, letak geografis Pengadilan Agama
Bogor, dan organisasi dan kewenangan Pengadilan Agama Kota Bogor.
Bab keempat mengenai analisis putusan Cerai Gugat Istri Hamil, yang
meliputi: Putusan Cerai Gugat Istri Hamil di Pengadilan Agama Kota Bogor
Nomor 532/Pdt.G/2008/PA.Bgr, Proses perkara Cerai Gugat Istri Hamil,
pertimbangan hakim dalam penyelesaian Cerai Gugat Isteri Hamil, landasan
yuridis pemeriksaan Cerai Gugat Istri Hamil Nomor 532/Pdt.G/2008/PA.Bgr.
Bab kelima ini merupakan bagian akhir yaitu penutup dari isi
keseluruhan skripsi dan meliputi kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok
masalah dan saran-saran bagi pihak-pihak yang ada kaitannya dengan
10
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
1. Pengertian perceraian
Pengertian perceraian diambil dari kata talak dapat dilihat pada dua
segi yaitu dari segi bahasa dan istilah, menurut bahasa talak adalah
melepaskan dan meningalkan.1 sedangkan menurut istilah perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu
pihak dalam perkawinwn itu. Dan talak menurut Imam Taqiyudin adalah
melepaskan ikatan atau menceraikan2
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa putusnya
perkawin dapat disebabkan karena perceraian baik itu karena cerai talak
maupun cerai gugat. Talak merupakan hak cerai suami terhadap isterinya
apabila sudah tidak ada kecocokan diantara keduanya dan tidak mungkin lagi
untuk dipersatukan, sedangkan gugatan percerain dapat dilakukan oleh isteri
1 Sayyid Sabiq,
Fiqih Sunnah, (Bairut : Daar Al-Ihya, 1993), jilid 2, cet,ke-4. h.206.
2 Amir Syarifudin,
terhadap suaminya dengan alasan-alasan yang telah diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal116.3 2. Dasar Hukum Perceraian
Dalam melaksanakan mahligai rumah tangga suami isteri
kemungkinan terjadi kesalah pahaman antara suami isteri, atau salah satu
diantara mereka atau keduanya tidak melaksakan kewajiban sebagai mestinya.
Bahkan terkadang menimbulkan kebencian kebengisan dan pertengkaran yang
terus menerus terjadi antara suami isteri tersebut, melanjutkan perkawinan
yang demikian akan menimbulkan percerain yang lebih besar dan meluas
diantara angota-angota keluarga yang telah terbentuk.4
Dalam menjaga hubungan keluarga dan menghindari suatu
pertengkaran yang terjadi terus menurus maka agama mensyriatkan
perceraian, bukan berarti Agama Islam mengajurkan perceraian, akan tetapi
Islam memandang perceraian sebagai suatu yang tidak diharapkan5 Adapun dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum perceraian adalah:
3 Kompilasi Hukum Islam,
Tim Redaksi Nuansa Aulia,(Bandung: Nuansa Aulia. 2008), cet1.
4 Kamal Muhtar,
Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal-145
1. Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 229 yaitu :
ß
, »n=©
Ü9$#È
b$s?§
•sD(
88 $|¡ø
BÎ
*sù>
$ rá
•÷
èoÿÏ
3r÷
r&7xƒÎ
Žô
£s?9
` »|¡ô
mÎ
*/Î
3
Ÿwur‘
@Ï
ts†ö
Nà
6 s9 br&(#r
ä
‹è
{ù
's?!$£
JÏ
B£
` d qè
ß
Jç
F÷
•s?#äu $º
«ø
‹x© HwÎ
) br&!$sù$ƒss† žwr&$yJ Š)É
ã
ƒ yŠrß
‰ã
m «! $#(÷
bÎ
*sù÷
L
ä
êø
ÿÅ
z žw&$r uK‹É
)ã
ƒyŠrß
‰ã
n «! $#Ÿx sùyy $oYã
_ $yJÍ
kö
Žn=tã $uK‹Ï
ùô
Ny‰tGø
ù#$ ¾Ï
mÎ
/3
y7 =ù
Ï
?ß
Šrß
‰ã
n«
! $#Ÿx sù$yd r
ß
‰tG÷
ès?4
` tBur£
‰yètGtƒyŠrß
‰ã
n «! $#y7 ´Í
¯»s9'ré
'sùã
Nè
d tb qKã
Î
=»©
à9$#ÇËËÒÈArtinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim [Al-Baqarah:299]
2. Al-Hadits yang dikemukakan oleh Shan’ni
Yaitu “isteri Tsabit bin Qais bin Syams bernama Jamilah datang
menghadap Rasulullah SAW mengadukan prihal dirinya sehubungan
dengan keadaan suaminya “ya Rasullah”, tersebut Tsabit bin Qais saya
tidak mengenalnya tentang budi perketinya dan agamanya, namun saya
membenci kekufurannya dalam Islam, kemudian Rasulullah bersabda
Jamilah menjawab : Ya (bersabda) kemudian Rasulullah memanggil
Tsabit terimalah kebun itu dan ceraikan ia (isterimu) satu talak”.6
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud Ibnu Majah dan
Al-Hakim dari Ibnu Umar:
:
(
)
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra : berkata bahwasanya nabi bersabda: sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci allah adalah talaq (perceraian)”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Ibnu Umar).
Karena hadits tersebut menujukan bahwa talak atau perceraian
merupakan alternatif berakhir yang boleh ditempuh manakala bahtera
kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan
kesinambungan. Sifatnya sebagain alternatif terakhir karena Islam
menujukkan sebelum terjadinya talak atau perceraian harus ditempuh dulu
usaha-usaha perdamaian antara suami isteri dengan melalui hakam
(arbitrator) dari kedua belah pihak.7
3. Pendapat-pendapat Ulama ahli Fiqih
6 Sayyid Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani dan As-Shan’an Ma’ruf Bil-Amir
“Subulussalam” (maktabah ad-dahlan jilid III), hal-166.
7 Ahmad Rofiq,
Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1998),
Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah
Khuluk ini dengan pernyataannya, bahwasanya Khuluk, ialah seorang
suami m/enceraikan isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti
kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya
merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah.
Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah
tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian
juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian,
karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Bainunah
Al-Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga)8
Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Khuluk (gugat
cerai) bagi wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau
khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila
sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk
bersabar dan tidak memilih perceraian.9 Perceraian yang diharamkan, Hal ini karena dua keadaan:
a) Dari Sisi Suami
8
Fathul Bari, 9/318. Penulis: Ust Kholid Syamhudi. Jum’at, 01 Februari 2008. 9
Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469, Penulis: Ust Kholid syamhudi. Jum’at, 01 Februari
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan
komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan
hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya
dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khuluk itu batil, dan tebusannya
dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti
asalnya jika khuluk tidak dilakukan dengan lafazh talak, karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
$yg
•
ƒr'¯»ƒt z` ƒÏ%©
!
$#(#qã
YtB#uäŸw‘
@Ï
ts†ö
Nä
3s9 b&r (#qè
OÌ
•s?uä!$|¡Ïi
Y9$#$d\
ö
•x.(
Ÿwur `£
è
d qè
=à
Ò÷
ès?(
#q
ç
7ydõ
‹ GtÏ
9Ç
Ù÷
èt7/Î
!$tB£
`è
d qß
Jç
F÷
•s?#uä HwÎ
) br& tûüÏ
?ù
'tƒ7
pt±Å
s »xÿÎ
/7
pYoÉ
i
•t6•
B4
£
`
è
d rç
ŽÅ
° $ãt urÅ
$ rã
•÷
èyJø
9$$Î
/4
bÎ
*sù£
`è
d qJß
ç
F÷
dÌ
•x. #Ó|¤yèsù br&(#qè
dt•3õ
s? $\
«ø
‹x©Ÿ
@yè
ø
gs†ur ª! $#Ï
mŠÏ
ù#Z
Žö
•yz #Z
Ž•Ï
WŸ2 ÇÊÒÈArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. [An-Nissa’:19]
Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak
membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan dengan
Khuluk, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas.10 b) Dari Sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan
rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun
pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada
alasan syari yang membenarkan adanya khuluk, maka ini dilarang,
berdasarkan sabdaRasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil,11
Sunnah
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak
Allah, maka sang isteri disunnahkan Khulu. Demikian menurut
madzhabAhmad bin Hanbal.
Wajib
Terkadang Khuluk hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan
keadaan. Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan
shalat, padahal telah diingatatkan..
10 Ust Kholid Syamhudi. Jum’at, 01 Februari 2008,
Shahih Fiqh Sunnah, 3/342 No. 2035. 11
Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan
atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar
dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu
membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi
berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak
menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka
dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari
suaminya tersebut khuluk walaupun harus menyerahkan harta. Karena
seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki
keyakinan dan perbuatan kufur.
3. Al-Hadits yang dikemukakan oleh Shan’ni
Yaitu “isteri Tsabit bin Qais bin Syams bernama Jamilah datang
menghadap Rasulullah SAW mengadukan prihal dirinya sehubungan
dengan keadaan suaminya “ya Rasullah”, tersabut Tsabit bin Qais saya
tidak mengenalnya tentang budi perketinya dan agamanya, namun saya
membenci kekufurannya dalam Islam, kemudian Rasulullah bersabda
“Bersediahkah engkau mengembalikan kepadanya (suami engkau)
Jamilah menjawab : Ya (bersabda) kemudian Rasulullah memanggil
Tsabit terimalah kebun itu dan ceraikan ia (isterimu) satu talak.12
12 Sayyid Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani dan As-Shan’an Ma’ruf Bil-Amir
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud Ibnu Majah dan
Al-Hakim dari Ibnu Umar:
:
(
)
Artinya: “Dari ibnu umar ra : berkata bahwasanya nabi bersabda: sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci allah adalah talaq (perceraian)”.(HR. Abu daud, ibnu majah dan al-hakimi idar ibnu umar).
Karena hadits tersebut menujukan bahwa talak atau perceraian
merupakan alternatif berakhir yang boleh ditempuh manakala bahtera
kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan
kesinambungan. Sifatnya sebagain alternatif terakhir karena islam
menujukkan sebelum terjadinya talaq atau perceraian harus ditempuh dulu
usaha-usaha perdamaian antara suami isteri dengan melalui hakam
(arbitrator) dari kedua belah pihak.13
B. Macam-Macam Perceraian
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian atau putusanya
hubungan perkawinan dapat terjadi karena: talak, khuluk, syikak, fasakh;
taklik-talak, dzihar, lian,ila, tafwid dan riddah.: berikut ini akan penulis jelaskan secara
ringkas macam-macam perceraian tersebut.
13 Ahmad Rofiq,
Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1998),
1. Talak
Pengertian talak menurut bahasa adalah ikatan perkawinan, di dalam
pasala 117 KHI, talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu putusan perkawinan, dengan serta
sebagaiamana yang di maksud dalam Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai
berikut:
Adapun macam-macam talak adalah:
1. Talakraj`i (pasal 118 KHI) adalah talak kesatu atau kedua dimana suami
berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.
2. Talakbai`in ada dua macam antara lain:
a) Talak ba`in sugra (pasal 118 KHI). adalah talak yang tidak boleh
dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan mantan suaminya.
b) Talak ba`in kubra (pasal 119) adalah talak yang terjadi untuk ketiga
kalinya. Talak ini tidak boleh di rujuk dan tidak dapat di nikahkan
kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah mantan
istrinya menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian
ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
3. Talak sunni (pasal 121 KHI) adalah talak yang di perbolehkan, yaitu talak
yang di jatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri
4. Talakbid`I (pasal 122 KHI) adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang di
jatuhkan kepada istri pada saat istri sedang haid atau istri dalam keadaan
suci tetapi sudah di campuri pada waktu suci tersebut.14
2. Khuluk
Khuluk atau talak tebus adalah bentuk perceraian atas persetujuan
suami isteri yaitu dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan
tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan
khuluk, tersebut.15
Dasar kebolehan talak khuluk terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat
229
ß
, »n=
©
Ü9$#bÈ
$s?§
•sD(
88 $|¡ø
BÎ
*sù>
$ rá
•÷
èoÿÏ
3r÷
r&7xƒÎ
Žô
£s?9
` »|¡ô
mÎ
*Î
/3
Ÿwur‘
@Ï
ts†ö
Nà
6 s9 br&(
#r
ä
‹è
{ù
's?!$£
JÏ
B£
`è
d qJß
ç
F÷
•s?#uä $º
«ø
‹x© HwÎ
)b&r !$sù$sƒs† žwr&$yJ ŠÉ
)ã
ƒyŠrß
‰ã
m «! $#(÷
b*Î
sù÷
Lä
êø
ÿÅ
zž
wr&$uK‹
É
)ã
ƒŠy rß
‰ã
n «! $#Ÿx sùyy $oYã
_ $yJÍ
kö
Žn=tã $uK‹Ï
ùô
Ny‰tGø
ù$#¾Ï
mÎ
/3
7yù
=Ï
?ß
Šrß
‰ã
n «! $#Ÿx sù$yd r
ß
‰tG÷
ès?4
` tBru£
‰yètGtƒyŠrß
‰ã
n !« $#y7Í
´¯»s9'ré
'sùã
Nè
d tb qã
KÎ
=»©
à9$#ÇËËÒÈArtinya :”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka. Kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
14 Kompilasi Hukum Islam,
Tim Redaksi Nuansa Aulia,(Bandung: Nuansa Aulia. 2008)
15 Sayuti Talib,
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untukmenebus dirinya.16Itu hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S.Al-Baqarah:229)
3. Syikak
Syikak adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami isteri
sedemikian rupa, sehingga antara suami isteri terjadi pertentangan pendapat
dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan
kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.17
Adapun dasar adanyasyikak yaitu firman Allah suratAn-Nisa ayat 35:
÷
b
Î
)uró
Oç
Fÿø
Å
z s- $s)Ï
© $uKÍ
kÈ
]÷
•t/ #(qè
Wyèö
/$$sù $V
Js3ymô
`Ïi
B ¾Ï&Î#÷
dr&$V
Js3my urô
`Ïi
B !$gyÎ
=÷
dr&bÎ
)!
#y‰ƒ
Ì
•ã
ƒ$[
s »n=ô
¹ )Î
È
,Ïj
ùuqƒã
ª! $#!$yJkå
s]ø
Št/3¨
bÎ
)©! $#tb%x. $¸
J ŠÎ
=ã #tZ
Ž•Î
7yz ÇÌÎÈArtinya: ”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah maha mengenal lagi maha mengetahui”. (Q.S.An-Nisa:35)
16 Ayat inilah yang menjadikan dasar hukum khulu’ dan penerimaan iwadl Khulu yaitu
permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut iwadl. Al-Qur’an dan terjemahnya, Departemen Aganma Republik Indonesia.
17 Abd. Rahman Ghazaly,
4. Fasakh
Fasakh artinya mencabut atau menghapus, maksudnya ialah
perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh
suami atau isteri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk
melaksanakan kehidupan suami isteri dalam mencapai tujuannya.18
Jadi fasakh adalah diputuskannya hubungan perkawinan (atas
permintaan salah satu pihak) oleh hakim agama karena salah satu pihak
menemukan celah pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum
diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan. Perceraian dalam bentuk
fasakh ini termasuk perceraian dengan proses Peradilan. Hakimlah yang
memberikan keputusan tentang kelangsungan perkawinan atau terjadinya
perceraian, karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh ini haruslah
mempunyai alat-alat bukti yang lengkap, yang dapat menimbulkan keyakinan
bagi hakim yang mengadilinya.19
5. Taklik Talak
Menta’liqkan thalaq ialah menggantungkan thalak dengan sesuatu,
misalnya: ”Engkau tertalak apabila engkau pergi dari rumah ini tanpa ijin
saya” atau ucapan lain yang semacam itu. Jika si isteri meninggalkan rumah
tanpa ijin suami maka jatuhlah talaknya.
18 Kamal Muhtar,
Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal.194.
19 Ibid,
Ketentuan diperbolehkannya taklik talak ini tercantum dalam firman
Allah suratAn-nisa ayat 128 yaitu:
È
b
Î
)urî
or&•zö
D$#ô
Msù%s{ .`Ï
B $ygÎ
=÷
èt/ #·
—qà
±ç
R÷
rr&$Z
Ê #{•ô
ãÎ
) xŸ sùyy $oYã
_ !$yJÍ
kö
Žn=tæbr&$ysÎ
=ó
Áã
ƒ$yJ
æ
huZ÷
•t/ $[
sù
=ß
¹4ß
xù
=•
Á 9$#ru×
Žö
•yz3
ÇÊËÑÈArtinya: ”Dan jika seorang wanita khawatir akan musyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya”.(Q.S.An-nisa: 128)
6. Zihar, Ila’ dan Li’an
Tiga macam perbuatan hukum zihar, ila’ dan li’an adalah perbuatan
kata atau sumpah yang tidak secara langsung berisi ungkapan yang
menyatakan putusnya ikatan perkawinan tetapi oleh hukum berdampak
memutuskannya.Zihar merupakan kebiasaan orang jahiliyyahyang tidak lagi
memfungsikan isterinya sebagai isteri walaupun masih tetap diikat. Seperti
pernyataan ”kamu seperti punggung ibuku sendiri”, sambil memulai sikap
tidak bersedia lagi menggauli isterinya. Sedangkanila’ juga merupakan orang
jahiliyyah yaitu pihak laki-laki bersumpah mengenai hubungannya sebagai
suami terhadap isterinya sendiri bahwa ia tidak akan menggaulinaya lagi.20 Adapun li’an ialah saling menyatakan bahwa bersedia dilaknat Allah
setelah mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang dikuatkan
oleh sumpah dengan menyebut nama Allah yang dilakukan oleh suami isteri
20
tersebut, karena salah satu pihak bersikeras menuduh pihak yang lain
melakukan perbuatan zina, atau suami tidak mengakui anak yang sedang
dikandung atau dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya dan pihak yang lain
menolak tuduhan tersebut, sedangkan masing-masing pihak tidak mempunyai
alat bukti yang dapat diajukan kepada hakim.21
Sebagaimana terdapat dalam firman Allah surat An-Nuur ayat 6 yaitu:
t
ûï
Ï%©
!
$#ur tb qã
Bö
•tƒö
Nß
gy_ ºurø
—r&ó
Os9r `uä
3tƒö
Nç
l°
; äâ
!#y‰pkà
- HwÎ
)ö
Nß
gÝ
¡à
ÿRr&ä
oy‰»ygt±sùó
OÏ
dÏ
‰tnr&ß
ì t/
ö
‘r&¤Nºy‰»uhx© «! $$Î
/ ¼mç
¯
RÎ
)z`Ï
Js9úš üÏ
%Ï
‰»¢
Á 9$#ÇÏÈArtinya: ”Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri. Maka persaksian orang itu empat kali bersumpah yang dikuatkan dengan menyebut nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang yang benar”. (Q.S. An-Nuur:6)
7. Murtad
Murtad ialah keluar dari Agama Islam, baik pindah Agama lain atau
tidak beragama. Sebagaimana halnya dengan Agama-agama yang lain, maka
agama Islam menghadapi secara extrim orang-orang yang keluar dari agama
islam maksimum dapat diancam dengan pidana mati, seandainya setelah
keluar dari agama Islam mereka berada dipihak orang yang menentang agama
Islam. Murtad juga berakibat hukum, yaitu perubahan kedudukan hukum
suami isteri dalam perkawinan.
21 Acmad Kuzari,
Para Imam yang sempat sependapat bahwa murtadnya salah seorang
suami atau isteri dapat dijadikan alasan oleh pihak yang lain untuk bercerai.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
membedakan antara cerai talak dengan cerai gugat. Cerai gugat diajukan oleh
pihak isteri, sedangkan cerai talak diajukan oleh pihak suami ke Pengadilan
dengan memohon agar diberi izin untuk mengucapkan ikrar talak kepada
isterinya dengan suatu alasan yang dibenarkan oleh hukum.22
a. Cerai Talak
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, cerai talak tidak diatur dalam perundang-undangan
yang berlaku, penyelesaiannya cukup dilaksanakan di Kantor Urusan
Agama Kecamatan. Cerai talak baru diatur secara rinci dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam bagian-bagian sendiri
dengan sebutan ”Cerai Talak”, demikian juga dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989, Undan-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama lebih mempertegas lagi tentang keberadaan cerai talak ini. Jadi
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawianan merupakan
22 Kamal Muhtar,
tonggak sejarah dimana cerai talak ini secara resmi diatur dalam peraturan
tersendiri.23
Dalam pasal 14 samapai dengan pasal 18 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dikemukakan bahwa seorang suami
yang hendak menceraikan isterinya berdasarkan perkawinan menurut
agama islam, mengajukan permohonan ke Pengadilan berdasarkan tempat
tinggalnya. Permohonan tersebut berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasan serta
meminta kepada Pengadilan Agama agar membuka sidang untuk
keperluan tersebut. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat
yang dimaksud dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
memanggil suami isteri untuk didengar keterangannya dalam persidangan.
Majlis Hakim apakah permohonan talak itu beralasan atau tidak.
Pengadilan Agama hanya memutuskan untuk memberi izin ikrar talak jika
alasan-alasan yang diajukan oleh suami terbukti secara nyata dalam
pesidangan. Itupun setelah Majlis Hakim berusaha secara maksimal untuk
merukunkan kembali dan Majlis Hakim berpendapat bahwa antara suami
23 Abdul Manan,
isteri tersebut tidak mungkin lagi untuk didamaikan dan menjadi rukun
lagi dalam suatu rumah tangga.24
b. Cerai Gugat
Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri
dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan
suaminya. Jadi dengan demikian khulu’ termasuk kategori cerai gugat.25 Menurut Kompilasi Hukum Islam (pasal 1 huruf i)khuluk adalah
perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan
atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya. Dalam perkawinan
menurut agama Islam dapat berupa gugatan karena suami melanggar
taklik-talak, gugatan karena syiqaq, gugatan karena fasakh, dan gugatan
karena alasan-alasan sebagaimana tersebut dalam pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undan-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.26
Adapun syarat untuk melakukan cerai gugat yaitu sebagai
berikut:
1) Adanya kerelaan dan persetujuan dari kedua belah pihak.
Sepakat ahli-ahli fikih bahwa khuluk dapat dilakukan
berdasarkan kerelaan dan persetujuan dari suami isteri, asalkan
24Abdul Manan,
Aneka Masalah Hukum Islam di Indonesia,hal.18.
25 Ahmad Rofiq,
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2003),
hal,301.
26
kerelaan dan persetujuan tersebut tidak merugikan pihak lain. Apabila
suami tidak mengabulkan permintaan khuluk (cerai gugat) dari
isterinya, sedangkan pihak isteri masih merasa dirugikan haknya
sebagai seorang isteri, maka ia dapat mengajukan gugatan cerai
kepada Pengadialan. Hakim hendaknya memberi keputusan perceraian
antara suami isteri tersebut, selama ada alat-alat bukti yang dapat
dijadikan dasar-dasar gugatan oleh pihak isteri.27 2) Isteri yangdikhuluk
Sepakat para ahli fiqih bahwa isteri yang dapat dikhuluk ialah
isteri yang mukallaf dan telah terikat dengan aqad nikah yang sah
dengan suaminya. Adapun isteri-isteri yang tidak atau belummukallaf,
yang berhak mengadakan atau mengajuakan permintaan khulu’ kepada
pihak suami ialah walinya.28 3) Iwadh
Iwadh (pengganti) merupakan ciri khas dari khulu’. Selama
iwadl belum diberikan oleh pihak isteri kepada pihak suaminya, maka
selama itu pula tergantungnya perceraian. Akan tetapi setelah iwadh
diserahkan dari pihak isteri kepada pihak suami barulah terjadi
perceraian. Dan mengenai jumlah iwadh dilakukan atas persetujuan
suami isteri tersebut.
27 Kamal Muhtar,
Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal.170.
28 Kamal,
4) Waktu menjatuhkankhuluk
Sepakat para ahli fiqih bahwa khuluk boleh dijatuhkan pada
masa haidh, pada masa nifas, pada masa suci yang belum dicampuri
dan sebagainya.29
C. Prosedur Cerai Gugat
Tata cara penyelesaian cerai gugat diatur sebagai berikut:
1. Gugatan Cerai diajukan kepada Pengadilan Agama
a. Cerai Gugat diajukan oleh seorang isteri yang melakukan perkawinan
menurut Agama Islam (penjelasan Pasal 20 PP No.9/1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
b. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama (Pasal 40 ayat (1)
jo pasal 63 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan).30
2. Surat Gugatan Cerai
a. Surat gugatan cerai memuat :
1) Nama, umur dan tempat kediaman penggugat yaitu isteri, dan
tergugat yaitu suami.
2) Alasan-alasan yang menjadi dasar perceraian
3) Petitum perceraian
29
Ibid,Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,hal.172.
30 Mukti Arto,
Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
b. Gugatan cerai dapat diajukan berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang
diatur dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974, pasal
19 PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 116 dan Kompilasi Hukum
Islam.31
3. Kewenangan Relatif Pengadilan Agama
a. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat,
kecuali dalam hal:
1) Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin Tergugat, maka gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
2) Penggugat bertempat kediaman diluar negeri, maka gugatan perceraian
juga diajukan kepada Pengadilan Agama daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Tergugat.
3) Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka
gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat (pasal 73 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
31 Mukti Arto,
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama).32
b. Gugatan cerai diproses di Kepaniteraan gugatan dan dicatat dalam
Register Induk Perkara gugatan.33
4. Pemanggilan Pihak-pihak
a) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan
perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan
dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut (Peraturan Pemerintah No.9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan).
b) Pemanggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan, apabila
yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan
melalui lurah atau yang dipersamakan dengan itu.34
5. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majlis Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas surat gugatan;
b. Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan
perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemaggilan dan diterimanya
panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.35
32
Ibid, Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan agama, h,.220.
33 Mukti Arto,
Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan agama,hal.220.
34 Abdul Manan dan Fauzan,
Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama,
6. Kumulasi Perkara
a. Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta
bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap (pasal 86 (1) Undang-undang Peradilan Agama);
b. Tatacara pemerikasaan kumulasi perkara ini sama dengan dalam perkara
cerai talak. Apabila Tergugat mengajukan rekonpensi maka diselesaikan
menurut tata cara rekonpensi.36
7. Upaya Perdamaian
a) Upaya perdamaian dalam perkara gugatan cerai dilakukan sama seperti
dalam perkara cerai talak.
b) Dalam sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak.
8. Gugat Provisionil
a. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan Penggugat
atau Tergugat atau berdasarkan pertimbangan berbahaya yang mungkin
ditumbuhkan, Pengadilan dapat mengijinkan suami isteri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah (pasal 77 Undang-undang Peradilan
35 Abdul Manan dan Fauzan,
Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, hal.
66.
36 Mukti Arto,
Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,(Yogyakarta, Pustaka
Agama pasal 24 Peratutan Pemerintah No.9/1975 Tentang Pelaksanaan
Perkawinan);
b. Permohonan tersebut dapat diajukan dalam persidangan dicatat dalam
Berita Acara Persidangan. Ijin untuk tidak tinggal dalam satu rumah
diberikan oleh Hakim dalam persidangan dan dicatat dalam Berita Acara
Persidangan;
c. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan Penggugat,
Pengadilan dapat :
1. Menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami
2. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak.
3. Menentukan hal-hal yang perlu menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang-barang-barang
yang menjadi hak isteri (pasal 78 Undang-undang Peradilan Agama,
pasal 24 PP No.9/1975 Tentang Pelaksanaan Perkawinan).
d. Gugatan tersebut diatas merupakan gugatan provisionil dan karenanya
diselesaikan menurut tatacara gugatan provisionil.37
9. Pembuktian
a. Pembuktian tentang alasan-alasan cerai gugat dilakukan sama seperti
dalam perkara cerai talak, kecuali dalam hal :
37 Mukti Arto,
Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,(Yogyakarta, Pustaka
1) Cerai dengan alasan zina
2) Pelanggaran ta’lik talak
3) Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan.
b. Apabila gugatan cerai diajukan dengan alasan suami melakukan zina,
sedangkan:
1. Penggugat hanya memiliki bukt-bukti permulaan;
2. Penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti tersebu;
3. Tergugat menyanggah alasan tersebut;
4. Upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari
Penggugat maupun Tergugat, dan;
5. Hakim berpendapat bahwa gugatan itu bukan tiada pembuktian sama
sekali, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh Penggugat
untuk bersumpah. Apabila telah dilakukan hal yang demikian itu,
maka gugatan dapat dikabulkan (pasal 87 dan 88 Undang-undang
Peradilan Agama). Dalam hal gugatan cerai karena alasan zina tidak
dimungkinkan penyelesaian dengan cara li’an seperti dalam perkara
cerai talak (pasal 88 ayat (2) Undang-undang Peradilan Agama).
c. Alasan cerai karena suami melanggar taklik talak
Salah satu alasan perceraian adalah : ”Suami melanggar taklik
talak”. Sewaktu waktu saya:
2. Atau saya tidak memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan
lamanya;
3. Atau saya menyakiti badan isteri saya itu;
4. Atau saya tidak memperdulikan isteri saya enam bulan lamanya.
Kemudian isteri saya tidak ridha dan mengajukan halnya ke
Pengadilan Agama, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima
Pengadilan, dan isteri saya tersebut memberikan uang tebusan sebesar Rp.
1000 (seribu rupiah) sebagai iwadh (Pengganti) kepada saya, maka
jatuhlah talak satu kepadanya.38
Apabila gugatan cerai diajukan dengan alasan tersebut maka Hakim
harus membuktikan :
1) Apakah suami sesudah akad nikah mengucapkan janjitaklik talak;
2) Apakah benar suami telah melanggar janjitaklik talaknya itu;
3) Apakah benar pihak isteri tidak rela atas pelanggaran itu;
4) Apakah ia (isteri) bersedia membayar iwadh (pengganti) kepada
suami;
5) Apakah Hakim dapat menerima pengaduan isteri tersebut yaitu
melihat bukti-bukti yang diajukannya.
38 Abdul Manan dan Fauzan,
Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, hal.
d. Apabila gugatan cerai diajukan dengan alasan suami melanggar perjanjian
perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 Kompilasi Hukum
Islam, maka Hakim harus membuktikan:
1) Ada tidaknya perjanjian perkawinan tersebut;
2) Apakah perjanjian perkawinan itu sah dan prinsipil serta sangat
berpengaruh terhadap keutuhan rumah tangga;
3) Apakah suami benar telah melanggar perjanjian perkawinan tersebut.
e. Untuk menghindari terjadinya kebohongan dan permainan dalam
perceraian, maka meskipun alasan-alasan cerai tidak disangkal oleh pihak
lawan baik karena verstek ataupun karena ada pengakuan dari Tergugat,
Hakim wajib membuktikannya lebih lanjut dengan alat-alat bukti
lainnya39.
10. Putusan
a. Pengadilan Agama setelah memeriksa gugatan cerai dan berkesimpulan
bahwa:
1) Istri punya alasan yang cukup untuk bercerai;
2) Alasan-alasan cerai tersebut telah tebukti;
3) Kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan, maka Pengadilan
Agama memutuskan bahwa gugatan cerai dikabulkan dengan suatu
39 Mukti Arto,
Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka
”putusan”. Putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum (pasal 81 (1) Undang-undang Peradilan Agama).
Dalam satu gugatan perceraian apabila ternyata :
1) Penyebab perceraian itu timbul dari suami atau tidak dapat diketahui
dengan pasti maka perkawinan diputuskan dengan talak ba’in;
Tetapi apabila penyebab perceraian itu timbul dari isteri maka
perkawinan diputuskan dengan khulu’ sehingga isteri diwajibkan
membayar tebusan yang besarnya dipertimbangkan oleh Hakim secara
adil dan bijaksana.
Dalam mempertimbangkan alasan perceraian, Hakim wajib
membuktikan apakah perkawinan benar-benar telah pecah dan tidak dapat
disatukan kembali dimana suami isteri sudah tidak mungkin lagi dapat
menegakkan hukum-hukum Allah tentang hak dan kewajiban suami isteri
dalam rumah tangga.
b. Terhadap putusan tersebut para pihak dapat mengajukan banding.40
11. Biaya Perkara
Biaya perkara tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama pasal 89 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :
1) Biaya perkawinan dalam bidang perkawinan dibebankan pada penggugat
atau pemohon.
40 Mukti arto,
Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,(Yogyakarta: Pustaka
2) Biaya penetapan atau perkara Pengadilan yang bukan merupakan
penetapan dan putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau
putusan akhir.41
12. Saat Terjadinya Perceraian
a. Perceraian dianggap terjadi beserta akibat hukumnya terhitung sejak
putusan Pengadilan yang mengabulkan gugatan cerai itu memperoleh
kekuatan hukum tetap (pasal 81 (2)).
b. Keterangan tentang kekuatan hukum tetap dan terjadinya perceraian
tersebut dicatat pada bagian bawah putusan cerai dan pada Register Induk
Perkara yang bersangkutan.42
13. Pemberitahuan Hukum Tetap.
a. Panitera berkewajiban memberitahukan kepada Penggugat dan Tergugat
bahwa putusan cerai telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan dengan
demikian telah terjadi perceraian antara suami dan isteri yang
bersangkutan (pasal 84 (4) Undang-undang Peradilan Agama);
b. Panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap itu diberitahukan kepada
41 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
42 Mukti arto,
para pihak, memberikan akta cerai sebagai bukti cerai kepada para pihak
(pasal 84 (4) Undang-undang Peradilan Agama).43
14. Pengiriman Salinan Putusan
a. Panitera atau pejabat Pengadilan Agama yang ditunjuk berkewajiban
untuk selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai
satu salinan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut
tanpa bermaterai kepada :
1. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang tempat wilayahnya meliputi
kediaman suami dan isteri tersebut, untuk mendaftarkan putusan cerai
itu dalam sebuah daftar untuk itu .
2. PPN ditempat perkawinan dilangsungkan apabila perceraian dilakukan
di wilayah yang berada dengan wilayah Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) tempat perkawinan dilangsungkan, untuk dicatat pada bagian
pinggir daftar catatan perkawinan, atau
b. Kelalaian pengiriman salinan putusan tersebut, menjadi tanggung jawab
Panitera yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuk, apabila yang
demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau
keduanya (pasal 85 Undang-undang Peradilan Agama).44
D. Akibat Perceraian
43 Ibid.
44 Mukti Arto,
Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan agama, (Yogyakarta. Pustaka
Perkawinan dalam Islam adalah ibadah dan Mitsaqan Ghalidha
(perjanjian suci). Oleh karena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi
perceraian, tidak begitu saja selesai urusannya, akan tetapi ada akibat hukum yang
perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan akibatkan putusnya
Perkawinan, dari segi timbulnya masaiddah:
1. Karena talak ialah timbulnya masa iddah dan selamanya masa iddah, Isteri
boleh dirujuk.
2. Kompilasi Hukum Islam pasal 153 (1): Bagi seorang Isteri yang putusnya
perkawinannya berlaku masa iddah, kecuali qobla al dukhul dan
perkawinanya putus bukan kematian suami.
3. Kompilasi Hukum Islam pasal 155: Waktu iddah bagi wanita yang putus
perkawinanya karena khuluk,fasakh danlian berlaku iddah talak.45 Dalam hal Nafkah, Kompilasi Hukum Islam pasal 149 menyebutkan:
1. MemberikanMut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas isteri tersebutqobla al dukhul.
2. Memberi Nafkah, maskah dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam
iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
45 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (syari’ah), (Jakarta:
3. Melunasi mahar yang masih berhitung seluruhnya, dan separuh apabilaqabla
al dukhul
4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur
21 Tahun.46
Jika perceraian tersebut karenaKhuluk maka, seperti yang tertera didalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 161, akan mengurangi jumlah talak dan tidak
dapat dirujuk. Dan apabila karena lian maka perkawinan itu putus untuk
selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan
suaminya terbebas dari kewajiban membri nafkah (KHI Pasal 162).
Adapun dalam hal pemeliharaan anak akibat putusnya sebuah perkawinan
karena perceraian yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 adalah:
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhnah dari ibunya
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya digantikan
oleh:
a. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu
b. Ayah
c. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah
d. Saudara perempuandari anak yang bersangkutan
e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
46 Kompilasi Hukum Islam.
Tim Redaksi Nuansa Aulia,(Bandung: Nuansa Aulia. 2008), cet1.
2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari Ayah atau Ibunya.
3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi
maka atas permitaan kerabatyang bersangkutan Peradilan Agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak
hadhanah pula.
4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dapat mengurus diri sendiri (21 Tahun).
5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhnah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusanya berdasarkan huruf (a), (b), (c), (d).
6) Pengadilan Agama dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang
tidak turut padanya.47
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama
Pengadilan Agama sebagai salah satu lingkungan peradilan yang diakui di
Indonesia berfungsi melaksanakan ”kekuasaan kehakiman” atau “ jidical powor”
khususnya di lingkungan Pengadilan Agama yang secara yuridis telah diatur
dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dalam pasal 63 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, ditegaskan kembali tentang fungsi serta lingkungan
Pengadilan Agama dalam memeriksa mengadili sengketa perkara yang timbul
dalam hukum kekeluargaan1
Untuk menghapus segala anggapan dan suasana dilematis tersebut perlu
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 menegaskan lagi kedudukan lingkungan
Pengadialan Agama agar benar-benar berfungsi sebagai salah satu pelaksanan
kekuasaan kehakiman. Penegasan yang tedapat dalam pasal 10 UU No. 14 Tahun
1970 Tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun
penegasan yang terdapat dalam pasal 63 Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan serta penegasan ulang yang terdapat dalam pasal 44 UU No.
14 1985 tentang keberadaan lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu
pelaksanaan kekuasaan kehakiman, rupanya dianggap pembuat Undang-undang
1 Jaih Mubarok,
sebenarnya, Undang-undang No.7 Tahun1989 tentang Peradialan Agama
menganggap perlu mempertegasnya. Sekaligus dalam penegasan tersebut diatur
susunan, kekuasan, dan hukum acara yang diberlakukan dalam Lingkunagan
Peradialan Agama.2
Dalam pasal 10 Undang-undang No. 14 Tahun 1974 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, secara tegas disebut lingkungan
Pengadialan yang berfungsi melaksanakan”Kekuasaan Kehakiman” ataujudical
poworterdiri dari lingkungan:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradialan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara.3
Hukum Acara Pengadialan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim
atau cara bagaimana bertindak di muka Pengadilan Agama dan bagaimana cara
hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.
2 Yahya Harahap,
Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradialan Agama UU No.7 Tahun 1989,(Jakarta: sinar Grafika,2007),h.10.
3
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam Undang-undang ini.”
Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus
dan sebaliknya berlaku hukum acara perdata umumnya. Hukum acara ini meliputi
kewengan Relatif Pengadilan Agama, Pemangilan, Pemeriksaan, Pembuktian, dan
biaya perkara serta pelaksanaan putusan. Hakim harus menguasai hukum acara
(hukum formal) di samping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara
benar belum tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar.4
B. Letak Geografis Pengadilan Agama Bogor
Pengadilan Agama Bogor dibentuk berdasarkan Staatsblaad 1882 nomor
152 dengan nama Raad Agama Penghulu Landraad. Kemudian terjadi perubahan
nama menjadi Pengadilan Agama dan perubahan wilayah hukum berdasarkan
KEPPRES nomor 85 Tahun 1996 tanggal 1 Nopember 1996.
Letak Pengadilan Agama Bogor berkantor di Jalan Dadali II nomor 2
Kelurahan Tanah Sareal, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, menempati bekas
4 Mukti Arto,
Praktek perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,(Yogyakarta, Pustaka
Untuk mencapai lokasi Pengadilan Agama Bogor dapat ditempuh dengan
kendaraan pribadi maupun angkutan umum, yaitu angkutan kota 07 jurusan
Warung Jambu – Merdeka dan 08 jurusan Citeureup – Pasar Anyar. Lokasi
Pengadilan Agama Bogor kurang lebih berjarak dua kilometer dari kantor
Walikota Bogor dan empat kilometer dari terminal bus Baranangsiang Bogor.5 Bogor setelah proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus dirubah
menjadi struktur pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi
kewedanan yang masih tetap wilayah kabupaten. Selanjutnya pada tanggal 6
maret 1951 masyarakat bogor melakukan pertemuan antra pemerintah dan
masyarakat agar merubah perluasan wilayah menjadi kabupaten bogor yang
mewilayahi 4 kewedanan dan 12 kecamatan dan 97 desa yang terungkap secara
simbolis. Selanjutnya pada tahun 1988 kantor kabupaten bogor pindah di jalan
Dadali II nomor 2 Kelurahan Tanah Sareal, Kecamatan Tanah Sareal, Kota
Bogor.
Adanya tuntutan perkotaan dengan perkembangan masyarakat bogor yang
semakin padat, maka dengan bedasrakan peraturan pemerintah Nomor 85 Tahun
1996 kabupaten bogor dit