PENGARUH KARAKTERISTIK KOMITE AUDIT, UKURAN DEWAN, DAN STRUKTUR KEPEMILIKAN TERHADAP FINANCIAL DISTRESS
(Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2009-2011)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Disusun oleh :
DHIKA HARMAWAN NIM. 109082000089
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama Lengkap : Dhika Harmawan 2. Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 6 Agustus 1991
3. Alamat : Jl. Raya Tengah Gg. Rukun RT 008/03 No.34 Kelurahan Gedong, Kec. Ps.Rebo Jakarta.
4. Telepon : 085692626341
5. Email : dhika_empatbelas@yahoo.co.id
II. PENDIDIKAN
1. TK Tat Twam Asi 1995-1997
2. SDN 07 Pagi Gedong 1997-2003
3. SMPN 223 Jakarta 2003-2006
4. SMAN 14 Jakarta 2006-2009
5. S1 Ekonomi Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah 2009-2013
III. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Lembaga Semi Otonom Jurusan Akuntansi BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah periode 2010-2011
IV. SEMINAR DAN WORKSHOP
1. Talkshow “The Key To a Successful Career” by English First Education, July 9th, 2008, at STEKPI
2. Talkshow Pemberantasan Korupsi bersama KPK oleh BEMJ Akuntansi Syarif Hidayatullah Jakarta, 9 September 2009.
3. Seminar Nasional oleh Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah, “Peran Asuransi dalam Era Globalisasi”, 20 Mei 2010. 4. Workshop Audit Perpajakan, oleh BEMJ Akuntansi, UIN Syarif
vii
5. Accurate Traning oleh BEMJ Akuntansi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011
6. Training of Accounting Software and Talkshow (TOAST) bersama Zahir dan IAI oleh STAN, 17 Maret 2012.
7. Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah untuk Guru se-Jabotabek, oleh Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FITK, UIN Jakarta, 10 November 2012.
8. Seminar Audit National Acccounting Challenge oleh STAN, “Implikasi Penerapan UU No.5 Tahun 2011 Tentang Akuntan Publik Terhadap Perkembangan Profesi Akuntan Publik”, 6 Desember 2012.
V. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Sanwani
2. Tempat tanggal Lahir : Jakarta, 3 Agustus 1960
3. Ibu : Titiek Amaliah
4. Tempat tanggal Lahir : Jakarta, 31 Maret 2966
5. Alamat : Jl. Raya Tengah Gg.Rukun RT 008/03 No.34 Kel. Gedong, Kec. Pasar Rebo. Jakarta Timur. 6. Telepon : (021) 8412801
viii ABSTRACT
The Effect of Audit Committee Characteristic, Board Size, and Ownership Structure on Financial Distress
This research purpose to examine the effects of variables audit committee size, frequency of meeting audit committee, Proportion of audit committee independent, director size, commissioner size, managerial ownership, and institutional ownership. This research used sample of listing company in Indonesia Stock Exchange during 2009-2011 period. The number of companies that became sample in this study were 21 company with financial distress condition and 21 company with non-financial distress company with 3 year observation. Based on method purposive sampling, research sample total is 128 annual report. Hypothesis in this research are tested by logistic regression.
Result of this research indicates that audit committee size, frequency of meeting audit committee, commissioner size, and institutional ownership influences significantly on financial distress. On the other hand, independency of audit committee, director size, and managerial ownership don’t influence significantly on financial distress condition.
ix ABSTRAK
Pengaruh Karakteristik Komite Audit, Ukuran Dewan, dan Struktur Kepemilikan terhadap Financial Distress
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel ukuran komite audit, frekuensi pertemuan komite audit, independensi komite audit, ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional terhadap financial distress. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2009-20111. Jumlah perusahaan yang dijadikan sampel penelitian ini adalah 21 perusahaan yang mengalami financial distress dan 21 perusahaan yang tidak mengalami financial distress dengan pengamatan 3 tahun. Berdasarkan metode purposive sampling, total sampel penelitian adalah 128 laporan tahunan. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran komite audit, frekuensi pertemuan komite audit, ukuran dewan komisaris, dan kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Sedangkan komite audit independen, ukuran dewan direksi, dan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi financial distress.
x
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT, Yang Maha Penganugerah, yang telah memberikan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman, yang telah membimbing umatnya menuju jalan kebenaran. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terimakasih atas bantuan, bimbingan, dukungan, semangat dan doa, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, kepada:
1. Ayahanda Sanwani dan Ibunda Titiek Amaliah tercinta, yang selalu mencurahkan perhatian, cinta dan kasih sayang, dukungan serta doa tiada henti yang tertuju hanya untuk ananda, semoga semakin hari ananda semakin mampu membuat bangga bapak dan ibu.
2. Saudara-saudaraku tercinta, Meidita dan Andini, yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan untuk kesuksesan penulis. Terimakasih atas semua kasih sayang.
3. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Rini.,SE.,Ak.,M.Si selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Hepi Prayudiawan,SE.,Ak.,MM. selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
xi
7. Ibu Wilda Farah, SE., Ak., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah meluangkan waktu, mencurahkan perhatian, membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis. Terima kasih atas semua saran yang Ibu berikan selama proses penulisan skripsi sampai terlaksananya sidang skripsi.
8. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu dan karyawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang telah memberikan bantuan kepada penulis. 9. Annisa Ayu Fitria, terima kasih selama ini telah memberikan doa dan
dukungan penuh kepada penulis. Tetap berdoa kepada Allah SWT. dan selalu berikhtiar secara maksimal.
10. Sahabat seperjuanganku, Silvia, Puspo, Zahra, Rizka, Laila, Galih, Hamdan, Rachmat, dan Adi. Terima kasih atas dukungan dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis.
11. Keluarga besar Akuntansi C Angkatan 2009 (ACID). Terima kasih atas dukungan, doa, semangat, dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis. Semoga tali persahabatan tetap terjaga diantara kita.
12. Seluruh Rekan Akuntansi 2009 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, Mei 2013
xii DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Lembar Pengesahan Skripsi... ii
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ... iii
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ... iv
Lembar Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ... v
Daftar Riwayat Hidup ... vi
Daftar Lampiran ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12
1. Tujuan Penelitian ... 13
5. Struktur Kepemilikan ... 30
6. Financial Distress………31
B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis ... 36
xiii
D. Kerangka Konseptual ... 47
BAB III METODE PENELITIAN ... 49
A. Ruang Lingkup Penelitian ... 49
B. Metode Penentuan Sampel ... 49
C. Metode Pengumpulan Data ... 51
D. Metode Analisis Data ... 51
1. Definisi Regresi Logistik ... 52
2. Tahapan Regresi Logistik ... 52
E. Definisi Opersionalisasi Variabel ... 58
1. Ukuran Komite Audit ... 58
2. Frekuensi Pertemuan Komite Audit ... 58
3. Komite Audit Independen ... 59
4. Ukuran Dewan Direksi ... 59
5. Ukuran Dewan Komisaris ... 60
6. Kepemilikan Manajerial ... 60
7. Kepemilikan Institusional ... 61
8. Financial Distress ... 61
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ... 63
1. Deskripsi Objek Penelitian ... 63
2. Deskripsi Sampel Penelitian ... 64
B. Hasil Uji Analisis Data Penelitian ... 66
xiv
BAB V PENUTUP ... 87
A. Kesimpulan... 87
B. Saran ... 88
C. Implikasi ………89
Daftar Pustaka ... 91
xv
DAFTAR TABEL
No. Keterangan Halaman
1.1. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya ... 10
2.1. Penelitian Terdahulu ... 45
3.1. Definisi Operasionalisasi Variabel ... 62
4.1. Tahapan Seleksi Sampel dengan Kriteria ... 64
4.2. Sampel Penelitian ... 65
4.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Sektor Industri ... 66
4.4. Statistik Deskriptif ... 67
4.5 Menilai Keseluruhan Model ... 71
4.6. Koefisien Determinasi ... 71
4.7. Menguji Kelayakan Model Regresi ... 72
4.8. Hasil Uji Multikolinearitas ... 73
4.9. Matriks Klasifikasi ... 73
xvi
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Halaman
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Halaman
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat dan kompleks membuat
konsep mengenai corporate governance semakin dibutuhkan perusahaan. Selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah corporate governance semakin popular. Hal ini karena corporate governance merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk dapat memperoleh profit dalam jangka panjang dan
memenangkan persaingan bisnis global (Rachmandy, 2012).
Menurut Achmad Syachroza (2002) dalam studi penerapan OECD
(Organization of Economic Cooperation and Development) mendefinisikan corporate governance adalah suatu sistem yang dipakai board untuk mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi (directing, controlling, and supervising) pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif dengan prinsip-prinsip transparant, accountable, responsible, independent, dan fairness dalam rangka mencapai tujuan organisasi yaitu memperoleh profit yang sebesar-besarnya.
2 konsep corporate governance diharapkan memberikan kepercayaan terhadap agen (manajemen) dalam mengelola kekayaan pemilik (investor), dan pemilik
menjadi lebih yakin bahwa agen tidak akan melakukan suatu kecurangan
untuk kesejahteraan agen (Widyati, 2013).
Corporate governance merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak
kreditor, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan
ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau
dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan
(Forum Corporate Governance in Indonesia, 2002).
Forum Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001) merumuskan tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Corporate governance yang mengandung empat unsur penting seperti yang diuraikan oleh
Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) yaitu keadilan, transparansi, pertanggungjawaban dan akuntabilitas, diharapkan
dapat menjadi suatu jalan dalam mengurangi konflik keagenan. Dengan
adanya tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), diharapkan nilai perusahaan akan dinilai dengan baik oleh investor.
Ada empat mekanisme corporate governance yang sering dipakai dalam berbagai penelitian mengenai corporate governance yang bertujuan untuk mengurangi konflik keagenan, yaitu komposisi dewan, komite audit,
3 komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan
dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam menjalankan
fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen
dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan
laba yang berkualitas (Boediono, 2005). Berbagai skandal kasus korporasi
dunia pada perusahaan berskala besar seperti Enron, Xerox, dan WorldCom,
mengindikasikan bahwa kegagalan bisnis perusahaan tersebut akibat
corporate governance yang buruk (Cornett et al, 2006). Kegagalan bisnis perusahaan tersebut akan mendorong terjadinya financial distress.
Menurut Widarjo dan Setiawan (2002), Kondisi financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan, yang
terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Kondisi ini pada
umumnya ditandai antara lain dengan adanya penundaan pengiriman, kualitas
produk yang menurun, dan penundaan pembayaran tagihan dari bank.
Apabila kondisi financial distress ini diketahui, diharapkan dapat dilakukan tindakan untuk memperbaiki situasi tersebut sehingga perusahaan tidak akan
masuk pada tahap kesulitan yang lebih berat seperti kebangkrutan ataupun
likuidasi. Sedangkan menurut Brigham dan Daves (2003), financial difficulties terjadi karena serangkaian kesalahan, pengambilan keputusan yang tidak tepat, dan kelemahan-kelemahan yang saling berhubungan yang
dapat menyumbang secara langsung maupun tidak langsung kepada
manajemen serta tidak adanya atau kurangnya upaya mengawasi kondisi
4 Krisis yang terjadi tahun 1997 pada perusahaan-perusahaan yang berada
di Asia menunjukkan kegagalan penerapan corporate governance. Pada masa-masa tersebut perusahaan banyak yang mengalami kebangkrutan karena
gagal membayar utang dan default yang disebabkan perubahan nilai kurs rupiah terhadap mata uang asing (Wallace dan Zinkin, 2005). Kasus yang
menimpa perusahaan-perusahaan di Asia pada tahun 1997 s.d 1998 sesuai
dengan yang ungkapkan oleh Scott (1983) dalam Yang dan Lee (2008) bahwa
suatu perusahaan mengalami financial distress apabila perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban finansialnya dengan dilanggarnya
persyaratan utang (debt covenants) disertai penghapusan atau pengurangan pembiayaan deviden. Oleh karena itu keadaan krisis moneter pada tahun tersebut merupakan contoh perusahaan yang mengalami financial distress. Kasus lain yang menggambarkan kondisi financial distress yang baru-baru ini terjadi adalah kasus Bank Century pada tahun 2008. Dimana dalam kasus
tersebut, Bank Century secara tiba-tiba dinyatakan pailit karena tidak dapat
memenuhi kewajiban kliringnya terhadap Bank Indonesia (Pattinassarany,
2010).
Akibat dari terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 sampai dengan 1998 yang menimpa perusahaan-perusahaan di Asia termasuk Indonesia, Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melalui surat edaran No.SE-03/PM/2000
merekomendasikan perusahaan publik untuk membentuk komite audit.
Komite audit merupakan salah satu elemen yang penting untuk mewujudkan
5 melakukan pengawasan terhadap kinerja dan operasional perusahaan. Oleh
karena itu, Keberadaan komite audit dinilai semakin penting oleh Bapepam.
Dengan mengeluarkan surat Kep-339/BEJ/07-2001 Bapepam mewajibkan
semua perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk mempunyai
komite audit.
Komite audit bertugas memberikan suatu pandangan tentang masalah
akuntansi, pelaporan keuangan dan penjelasannya, sistem pengawasan
internal, serta auditor independen (FCGI, 2002). Tujuan dan manfaat
dibentuknya komite audit adalah untuk melaksanakan pengawasan
independen atas proses penyusunan pelaporan keuangan dan pelaksanaan
audit eksternal, memberikan pengawasan independen atas proses pengelolaan
risiko dan kontrol, serta melaksanakan pengawasan independen atas proses
pelaksanaan corporate governance. Mekanisme corporate governance yang baik penting dalam meningkatkan kinerja keuangan perusahaan sehingga
perusahaan dapat menghindari permasalahan keuangan.
Efektivitas kinerja dari komite audit dapat diukur melalui
karakteristik-karakteristik yang dimiliki antara lain ukuran, independensi, aktivitas dari
komite audit, dan kompetensi yang dimiliki oleh anggota komite audit
(Anggraeni, 2010). Ukuran komite audit berhubungan dengan jumlah anggota
komite audit. Independensi komite audit berhubungan dengan seberapa besar
keterlibatan anggota komite audit dengan aktivitas perusahaan. Aktivitas dari
komite audit diwujudkan melalui frekuensi pertemuan komite audit dalam
6 berhubungan dengan pengetahuan akuntansi, keuangan dan audit serta
pengalaman dalam tata kelola perusahaan. Melalui karakteristik komite audit
yang baik diharapkan akan memiliki hubungan negatif yang signifikan
dengan kesulitan keuangan.
Menurut Carcello dan Neal (2000) komite audit yang independen
membuktikan secara negatif terkait dengan going concern perusahaan yang mengalami permasalahan keuangan. Semakin besar independensi dalam
komite audit, maka semakin rendah probabilitas perusahaan financially distressed akan menerima opini going concern dari auditor eksternal. Mueller dan Barker III (1997) mengidentifikasikan komite audit sebagai bagian dari
sumbangan strategi kepemimpinan perusahaan untuk keberhasilan upaya
perubahan arah perusahaan (Rahmat et al., 2008). Hal ini berkaitan erat dengan kompetensi yang dimiliki anggotanya. Simpson dan Gleason (1999)
membuktikan komite audit yang berkompeten memiliki kapasitas untuk
mengurangi kesulitan keuangan suatu perusahaan (Rahmat et al., 2008). Kompetensi yang dimiliki oleh komite audit akan membantu meningkatkan
kinerja perusahaan sehingga mengurangi kemungkinan perusahaan
mengalami kesulitan keuangan. Oleh karena itu, efektivitas komite audit
dapat dikaitkan dengan kemakmuran atau kesulitan keuangan perusahaan.
Mekanisme corporate governance lain yang tidak kalah penting adalah dewan (board). Board disini diartikan sebagai pucuk pimpinan suatu organisasi yang mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi
7 telah ditetapkan (Pembayun dan Januarti, 2012). Dalam konteks perusahaan
Indonesia yang dimaksud dengan board adalah dewan komisaris dan dewan direksi. Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan
yang akan diambil perusahaan secara jangka pendek maupun jangka panjang.
Sedangkan peran dewan komisaris lebih ditekankan pada fungsi monitoring dari implementasi kebijakan direksi. Peran komisaris diharapkan akan
meminimalisir permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi dan
pemegang saham (Wardhani, 2006). Penelitian Emrinaldi (2007) menyatakan
bahwa terdapat hubungan signifikan dan negatif ukuran dewan direksi dengan
kesulitan keuangan. Artinya, semakin besar jumlah dewan komisaris maka
semakin kecil potensi terjadinya kesulitan keuangan.
Masalah tentang keagenan biasanya berhubungan dengan struktur
kepemilikan perusahaan yang bersangkutan. Struktur kepemilikan
(kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional) merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan di masa yang akan
datang. Kepemilikan manajerial mampu mengurangi masalah keagenan yang
timbul pada suatu perusahaan. Kepemilikan manajerial merupakan proporsi
kepemilikan perusahaan oleh manajemen (direksi atau komisaris). Semakin
besar proporsi kepemilikan oleh manajemen maka semakin besar pula
tanggung jawab manajemen tersebut dalam mengelola perusahaan
(Triwahyuningtyas, 2012). Keputusan yang lahir dari manjemen diharapkan
merupakan keputusan bagi kepentingan perusahaan. Dengan demikian
8 Gotti et al. (2010) berpendapat bahwa kepemilikan saham manajerial dapat berperan dalam menyelaraskan kepentingan manajemen dan pemegang
saham, tetapi terkadang manajer lebih memikirkan kepentingannya sendiri.
Sedangkan Lafond & Roychudhury (2008) menemukan bahwa konservatisme
akuntansi akan menurun dengan adanya managerial ownership.
Rozeff (1982) berpendapat bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi
menyebabkan dividen yang dibayarkan pada pemegang saham rendah.
Penetapan dividen rendah disebabkan manajer memiliki harapan investasi di
masa mendatang yang dibiayai dari sumber internal. Distribusi saham antara
pemegang saham dari luar yaitu institusional investor dan shareholders dis-persion dapat mengurangi agency cost karena kepemilikan mewakili suatu sumber kekuasaan (source of power) yang berguna mendukung keberadaan manajemen atau sebaliknya (Moh‟d, Perry & Rimbey, 1998). Hal ini
bertentangan dengan pendapat Jensen (1992) yang mengidentifikasi bahwa
peningkatan insider ownership akan mensejajarkan kepentingan antara pemegang saham dan manajer, sehingga kepemilikan manajerial bisa
menggantikan peranan hutang dalam mengurangi agency cost.
Penelitian terdahulu oleh Emrinaldi (2007) menyatakan bahwa terdapat
hubungan signifikan dan negatif antara kepemilikan manajerial dengan
perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Hal ini berbeda dengan
Ayuningtyas (2013) yang meneliti hubungan antara kepemilikan manajerial
9 manjerial, yaitu kepemilikan oleh komisaris mempunyai hubungan positif dan
tidak signifikan terhadap kemungkinan terjadinya financial distress.
Di sisi lain, adanya kepemilikan oleh investor institusional seperti
perusahaan efek, perusahaan asuransi, perbankan, perusahaan investasi, dana
pensiun, dan kepemilikan institusi lain akan mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen perusahaan,
sehingga potensi terjadinya potensi financial distress dapat diminimalisir karena perusahaan dengan kepemilikan institusional yang lebih besar (lebih
dari 5%) mengindikasi kemampuannya untuk memonitor manajemen.
Pernyataan ini didukung dengan hasil penelitian Emrinaldi (2007) yang
menyatakan bahwa peningkatan kepemilikan institusional dalam perusahaan
akan mendorong semakin kecilnya potensi kesulitan keuangan atau financial distress.
Penelitian mengenai pengaruh ukuran dewan telah dilakukan oleh
Emrinaldi (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan dan
negatif ukuran dewan direksi dengan kesulitan keuangan. Artinya, semakin
besar jumlah dewan komisaris maka semakin kecil potensi terjadinya
kesulitan keuangan. Hasil berbeda terjadi pada penelitian Wardhani (2006)
yang menyatakan adanya hubungan signifikan dan positif ukuran dewan
dalam menentukan kemungkinan perusahaan mengalami tekanan keuangan.
Penelitian Emrinaldi (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan
kepemilikan institusional dalam perusahaan akan mendorong semakin
10 Abdullah (2006) di Malaysia yang menyatakan bahwa kepemilikan oleh non executive director mempunyai hubungan signifikan dan negatif pada perusahaan yang mengalami kondisi financial distress. Namun, hasil berbeda terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Parulian (2007) yang tidak dapat
membuktikan adanya hubungan antara kepemilikan institusional dengan
financial distress.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian karena karakteristik komite audit dalam sebuah
perusahaan, ukuran dewan, dan struktur kepemilikan seringkali memengaruhi
sebuah perusahaan mengalami financial distress. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Karakteristik
Komite Audit, Ukuran Dewan, dan Struktur Kepemilikan terhadap Financial Distress”.
Tabel 1.1
Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya No. Perbedaan Penelitian sebelumnya Peneliti
11 No. Perbedaan Penelitian sebelumnya Peneliti
1994-12 No. Perbedaan Penelitian sebelumnya Peneliti
satu)
- Emrinaldi (Perusahaan yang memiliki earning per share/EPS negatif) - Pembayun dan Januarti (
perusahaan yang mengalami laba negatif minimal satu tahun) Sumber: hasil olahan data sekunder
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan permasalahan dalam
penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Apakah ukuran komite audit berpengaruh terhadap financial distress? 2. Apakah frekuensi pertemuan komite audit berpengaruh terhadap financial
distress?
3. Apakah proporsi komite audit independen berpengaruh terhadap financial distress?
4. Apakah ukuran dewan direksi berpengaruh terhadap financial distress? 5. Apakah ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap financial distress? 6. Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap financial distress? 7. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh terhadap financial distress?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk
13 1. Besarnya pengaruh ukuran komite audit terhadap financial distress 2. Besarnya pengaruh frekuensi pertemuan komite audit terhadap
financial distress
3. Besarnya pengaruh proporsi komite audit independen terhadap
financial distress
4. Besarnya pengaruh ukuran dewan direksi terhadap financial distress 5. Besarnya pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap financial
distress
6. Besarnya pengaruh kepemilikan manajerial terhadap financial distress
7. Besarnya pengaruh kepemilikan institusional terhadap financial distress
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi ilmu pengetahuan dan akademisi, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi berupa bukti empiris mengenai
financial distress, karakteristik komite audit, ukuran dewan, dan struktur kepemilikan.
b. Untuk manajemen perusahaan, penelitian ini dapat menjadi acuan
bagi pihak manajemen untuk meningkatkan kinerjanya sehingga
mampu menghindari perusahaan dari kondisi financial distress. c. Untuk pihak eksternal, hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan oleh para investor, pemegang saham, kreditor, dan
14 d. Untuk pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tambahan wawasan ilmu pengetahuan bagi pembaca terkait financial distress.
e. Untuk pemegang saham, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan tambahan ilmu mengenai financial distress sehingga dapat meningkatkan pengawasan terhadap operasional perusahaan.
f. Untuk Bapepam, penelitian ini diharapkan dijadikan acuan bagi
Bapepam untuk mengambil keputusan dalam mengeluarkan
kebijakan.
g. Untuk masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
15 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur
1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Jensen dan Mekling pertama kali mencetuskan teori keagenan pada
tahun 1951. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa teori
keagenan menyangkut hubungan kontraktual antara dua pihak yaitu
prinsipal dan agen, dimana pemilik perusahaan atau investor menunjuk
agen sebagai manajemen yang mengelola perusahaan atas nama pemilik.
Prinsipal memberikan wewenang kepada manajemen untuk membuat
keputusan yang berhubungan dengan operasional perusahaan.
Manajemen diberi tanggung jawab oleh prinsipal untuk mengelola
sumber daya perusahaan. Manajemen diminta untuk mengoptimalkan
sumber daya yang dipercayakan kepada mereka untuk mensejahterakan
pemilik baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Manajemen sebagai agen mempunyai tanggung jawab dalam
operasional perusahaan sehari-hari dalam hal pengambilan keputusan
berdasarkan informasi yang diperoleh manajemen. Dengan demikian,
agen lebih banyak mempunyai informasi dibandingkan pemilik.
Ketimpangan informasi ini biasa disebut sebagai asimetri informasi.
Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prinsipal
dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak
16 Adanya asimetri informasi ini menimbulkan dua permasalahan yang
disebabkan oleh kesulitan prinsipal untuk memonitor dan melakukan
pengendalian terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling
(1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah:
1. Moral Hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak
kerja.
2. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen
benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi
sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
Setiawan (2007) menyatakan bahwa masalah keagenan akan muncul
jika kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dijalankan secara terpisah.
Manajer yang bertindak sebagai pengelolaan dalam suatu perusahaan
diberi kewenangan untuk mengurus jalannya perusahaan dan mengambil
keputusan atas nama pemilik. Dengan kewenangan yang dimiliki ini,
manajer tidak bertindak yang terbaik untuk kepentingan pemilik karena
adanya perbandingan kepentingan (conflict of interest).
Pandangan teori keagenan bahwa terdapat pemisahan antara pihak
agen dan principal yang mengakibatkan munculnya potensi konflik dapat mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan. Dengan demikian
diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan
17 governance merupakan mekanisme yang tepat dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan,
sehingga tidak terjadi konflik antara pihak agen dan principal yang berdampak pada penurunan agency cost (Tribodroastuti, 2009).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa teori keagenan muncul
karena adanya konflik kepentingan antara principle dan agent yang saling ingin menguntungkan dirinya sendiri. Masalah keagenan timbul
karena adanya asimetri informasi, dimana agent memiliki informasi yang lebih banyak daripada principle. Masalah keagenan sebenarnya dapat diatasi melalui mekanisme corporate governance yang pada akhirnya
dapat memberikan nilai tambah bagi pihak-pihak yang berkepentingan
tersebut.
2. Corporate governance
FCGI (Forum Corporate Governance for Indonesia) dalam publikasinya mendefinisikan corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
manajemen, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang
kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak
dan kewajiban mereka. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan
mengenai tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
18 manajer ketika ada pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian.
Beberapa dari pengendalian ini terletak pada fungsi dari dewan direksi,
pemegang saham institusional, dan pengendalian dari mekanisme pasar
(Larcker et al., 2005 dalam Yang dan Lee 2008). Mekanisme corporate governance dalam suatu perusahaan dapat menentukan kesuksesan perusahaan. Dewan memegang peranan yang sangat signifikan bahkan
peran yang utama dalam penentuan strategi perusahaan tersebut.
Indonesia merupakan negara yang menggunakan konsep two tier, di mana dewan terdiri dari dewan direksi dan dewan komisaris. Istilah
dewan di Amerika lebih mengacu pada fungsi dari dewan komisaris.
Dalam hasil penelitian yang dilakukan di Amerika, yang dimaksud
dengan dewan (board) adalah dewan komisaris (Wardhani, 2006). Struktur corporate governance yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dewan, struktur kepemilikan perusahaan dan komite audit.
Struktur corporate governance adalah suatu kerangka dalam organisasi yang mengatur bagaimana berbagai prinsip corporate governance dapat dijalankan dan dikendalikan. Struktur corporate governance harus didesain agar dapat mendukung berjalannya aktivitas organisasi perusahaan secara bertanggung jawab dan terkendali. Hal yang
paling penting di dalam struktur corporate governance adalah masalah
pengendalian sehingga perlu adanya pemisahan yang tegas antara ”pihak
yang mengambil keputusan” (decision making) dan ”pihak yang
19 struktur corporate governance harus dapat mendukung tata kelola perusahaan berdasarkan empat pilar yang melandasi sebagaimana hasil
pengembangan Organization for Economic Corporation and Development (OECD).
Dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari coporate governance adalah menciptakan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan.
Corporate governance melalui mekanismenya dapat menentukan kesuksesan sebuah perusahaan. Mekanisme corporate governance yang efektif akan meningkatkan tingkat pengawasan oleh principle sehingga kinerja agent akan semakin terkendali.
3. Komite Audit.
Keberadaan komite audit pada perusahaan publik di Indonesia secara
resmi dimulai sejak bulan Juni 2000 yang ditandai dengan keluarnya
Keputusan Direksi BEJ No: Ke-315/BEJ/06/2000 perihal: Peraturan
Pencatatan Efek Nomor I-A: Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek
Bersifat Ekuitas di Bursa. Pada bagian ini dinyatakan bahwa dalam
rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) wajib memiliki komisaris independen,
komite audit, sekretaris perusahaan, keterbukaan, dan standar laporan
keuangan per sektor. Pembentukan komite audit dilakukan dengan dasar
UU No.19 tahun 2003 pasal 70, yang dijabarkan lebih lanjut dalam
20 berkaitan dengan review sistem pengendalian internal perusahaan, memastikan kualitas laporan keuangan, dan meningkatkan efektivitas
fungsi audit.
Peran komite audit adalah untuk mengawasi dan memberi masukan
kepada dewan komisaris dalam hal terciptanya mekanisme pengawasan
(FCGI, 2002). Komite audit memberikan pendapat kepada dewan
komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi
kepada dewan komisaris, mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan
perhatian komisaris, dan melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan
dengan tugas dewan komisaris.
Tanggungjawab komite audit mencakup pada tiga bidang (Surya
dan Yustiavandana, 2008) yaitu:
a) Laporan Keuangan (Financial Reporting) b) Tata kelola perusahaan (corporate governance) c) Pengawasan perusahaan (corporate control)
Ada delapan komponen audit committee charter yang dipakai sebagai
masukan pembuatan audit committee charter di BUMN dan perusahaan
publik di Indonesia. Delapan komponen tersebut (Alijoyo, 2003 dalam
Murtanto dan Maulana, 2005) adalah:
a) Tujuan umum dan otoritas komite audit (overall objectives and
authority)
b) Peran dan tanggungjawab komite audit (roles and responsibilities)
c) Fungsi dari pihak-pihak terkait dengan komite audit (function of
21 d) Struktur komite audit (structure)
e) Syarat-syarat keanggotaan (membership requirements)
f) Rapat-rapat komite audit (meetings)
g) Pelaporan komite audit (reporting)
h) Kinerja komite audit (performing)
a. Komite Audit yang Efektif
Komite audit yang efektif bekerja sebagai suatu alat untuk
meningkatkan efektifitas, tanggungjawab, keterbukaan dan objektifitas
dewan komisaris dan memiliki fungsi untuk:
1. Memperbaiki mutu laporan keuangan dengan mengawasi laporan
keuangan atas nama dewan komisaris
2. Menciptakan iklim disiplin dan kontrol yang akan mengurangi
kemungkinan penyelewengan-penyelewengan
3. Memungkinkan anggota non-eksekutif menyumbangkan suatu
penilaian independen dan memainkan suatu peranan yang positif
4. Membantu direktur keuangan, dengan memberikan suatu
kesempatan di mana pokok-pokok persoalan yang penting yang
sulit dilaksanakan dapat dikemukakan
5. Memperkuat posisi auditor eksternal dengan memberikan suatu
saluran komunikasi terhadap pokok-pokok persoalan yang
memprihatinkan dengan efektif
6. Memperkuat posisi auditor internal dengan memperkuat
22 7. Meningkatkan kepercayaan publik terhadap kelayakan dan
objektifitas laporan keuangan serta meningkatkan kepercayaan
terhadap kontrol internal yang lebih baik.
Dezoort et al. (2002) berpendapat bahwa komite audit yang efektif
ditentukan dua hal, yaitu sisi input merupakan komposisi kualifikasi,
kewenangan dan jumlah sumber daya, serta dari sisi proses yaitu harus
memiliki etos kerja yang tinggi. Dari input dan proses tersebut
diharapkan komite audit dapat bekerja efektif sehingga mampu
menghasilkan output berupa laporan keuangan, pengendalian internal
dan manajemen risiko yang bisa dipercaya.
Dalam setiap audit committee charter yang dimiliki oleh
masing-masing anggota, komite audit akan mengadakan pertemuan untuk rapat
secara periodik dan dapat mengadakan rapat tambahan atau rapat-rapat
khusus bila diperlukan.
Pertemuan secara periodik ini sebagaimana ditetapkan oleh komite
audit sendiri dan dilakukan sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan
rapat dewan komisaris yang ditentukan dalam anggaran dasar
perusahaan. Komite audit biasanya perlu untuk mengadakan pertemuan
tiga sampai empat kali dalam satu tahun untuk melaksanakan kewajiban
dan tanggung jawabnya (FCGI, 2002).
b. Karakteristik Komite Audit
Komite audit mempunyai peran yang cukup vital dalam proses
terlaksananya suatu mekanisme tata kelola perusahaan yang baik.
23 dan efektif, maka diperlukan kualifikasi-kualifikasi khusus yang
memadai agar maksimal dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya (Wardhani 2010). Kualifikasi atau karakteristik dari komite
audit ini diharapkan dapat menjadi suatu dasar kepercayaan terhadap
para anggota komite audit untuk nantinya dapat bekerja maksimal dan
sebaik mungkin. Karakteristik-karakteristik komite audit yang dapat
digunakan untuk menilai efektivitasnya, antara lain independensi dan
ukuran dari komite audit,serta keahlian keuangan dan ketekunan yang
dimiliki oleh anggota komite audit. Empat karakter ini diidentifikasi
oleh Xie et al (2003). Independensi komite audit berhubungan dengan
seberapa besar keterlibatan anggota komite audit dengan aktivitas
perusahaan.
Ukuran komite audit berhubungan dengan jumlah anggota komite
audit. Keahlian keuangan yang dimiliki oleh anggota komite audit
berhubungan dengan pengetahuan keuangan dan akuntansi. Sedangkan
ketekunan komite audit diwujudkan melalui frekuensi pertemuan
komite audit dalam satu tahun. Melalui karakteristik komite audit yang
baik diharapkan akan berpengaruh negatif terhadap financial distress.
1) Ukuran Komite Audit
Ukuran komite audit adalah jumlah seluruh anggota komite
audit. Jumlah anggota komite audit memiliki kaitan yang erat
dengan seberapa banyak sumber daya yang dialokasikan untuk
menghadapi permasalahan yang dihadapi perusahaan. Komite audit
24 tanggung jawab pengendalian dan pengawasan aktivitas
manajemen puncak. Ukuran komite yang lebih besar menyebabkan
adanya pertukaran pengetahuan dan informasi (Tao dan
Hutchinson, 2011). Jumlah anggota komite audit disesuaikan
besar-kecilnya dengan perusahaan dan tanggung jawab. Menurut
Wallace dan Zinkin (2005) rentang yang efektif adalah sebesar 3 -
6 orang. Komite audit yang terlalu kecil akan mengalami kesulitan
dalam pendistribusian kerja. Namun, biasanya 3 - 5 anggota
merupakan jumlah yang cukup ideal (FCGI, 2002; KNKG, 2006).
Di Indonesia, berdasarkan Keputusan Ketua BAPEPAM No.
Kep-29/PM/2004 juga menyatakan bahwa perusahaan go public wajib
untuk memiliki komite audit dengan jumlah minimal tiga orang.
Jumlah tersebut mayoritas harus bersifat independen.
2) Komite Audit Independen
Komite audit independen adalah jumlah komite audit yang
independen dalam suatu perusahaan. Dalam keputusan ketua
Bapepam No.Kep-29/PM/2004 dinyatakan bahwa kedudukan
komite audit berada di bawah dewan komisaris dan salah seorang
komisaris independen sekaligus menjadi ketua komite audit.
Komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya satu orang komisaris
independen dan sekurang-kurangnya dua orang anggota lainnya
berasal dari luar perusahaan. Anggota komite audit dipersyaratkan
berasal dari pihak yang tidak terlibat dengan tugas sehari-hari dari
25 untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif. Salah satu
dari beberapa alasan utama independensi ini adalah untuk
memelihara integritas serta pandangan yang objektif dalam laporan
serta penyusunan rekomendasi yang diajukan oleh komite audit,
karena individu yang independen cenderung lebih adil dan tidak
memihak serta obyektif dalam menangani suatu permasalahan
(FCGI, 2002).
3) Pertemuan Komite Audit
Pertemuan komite audit adalah frekuensi pertemuan komite
audit. Dalam setiap audit committee charter yang dimiliki oleh
masing-masing anggota, komite audit akan mengadakan pertemuan
untuk rapat secara periodik dan dapat mengadakan rapat tambahan
atau rapat-rapat khusus bila diperlukan. Pertemuan secara periodik
ini sebagaimana ditetapkan oleh komite audit sendiri dan dilakukan
sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan rapat dewan komisaris
yang ditentukan dalam anggaran dasar perusahaan. Komite audit
biasanya perlu mengadakan pertemuan tiga sampai empat kali
dalam satu tahun untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya (FCGI, 2002). Komite audit juga dapat mengadakan
pertemuan eksekutif dengan pihak-pihak luar keanggotaan komite
audit yang diundang sesuai dengan keperluan atau secara periodik.
Pihak-pihak luar tersebut antara lain komisaris, manajemen senior,
kepala auditor internal dan kepala auditor eksternal. Hasil rapat
26 oleh semua anggota komite audit. Ketua komite audit bertanggung
jawab atas agenda dan bahan-bahan pendukung yang diperlukan
serta wajib melaporkan aktivitas pertemuan komite audit kepada
dewan komisaris. Apabila komite audit menemukan hal-hal yang
diperkirakan dapat mengganggu kegiatan perusahaan, komite audit
wajib menyampaikannya kepada dewan komisaris
selambat-lambatnya sepuluh hari kerja. Laporan yang dibuat dan
disampaikan komite audit kepada komisaris utama adalah:
(a) Laporan triwulanan mengenai tugas yang dilaksanakan dan
realisasi program kerja dalam triwulan bersangkutan.
(b) Laporan tahunan pelaksanaan kegiatan komite audit.
(c) Laporan atas setiap penugasan khusus yang diberikan oleh
dewan komisaris.
Dalam laporan komite audit kepada dewan komisaris, komite
audit memberikan kesimpulan dari diskusi dengan auditor eksternal
tentang temuan mereka yang berhubungan dengan peninjauan
tengah tahun dan laporan keuangan tahunan, rekomendasi atas
pengangkatan auditor eksternal dan setiap masalah pengunduran
diri, penggantian dan pemberhentian perikatannya, kesimpulan
tentang nilai fungsi audit internal dan tanggapan atas penemuan
audit internal, serta kesimpulan atas kinerja sistem kontrol internal.
Pertemuan komite audit berfungsi sebagai media komunikasi
formal anggota komite audit dalam mengawasi proses corporate
27
corporate governance, memonitor bahwa perusahaan patuh pada
code of conduct, mengerti semua pokok persoalan yang mungkin
dapat mempengaruhi kinerja keuangan atau non-keuangan
perusahaan, memonitor bahwa perusahaan patuh pada tiap
undang-undang dan peraturan yang berlaku, dan mengharuskan auditor
internal melaporkan secara tertulis hasil pemeriksaan corporate
governance dan temuan lainnya (Anggraini, 2010).
Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa komite audit yang dibuat
dengan tujuan mengawasi jalannya operasional perusahaan memegang
peranan yang cukup penting dalam mewujudkan good corporate
governance. Melalui karakteristik-karakteristiknya, komite audit diharapkan
dapat menjadi lebih efektif dalam mengawasi jalannya perusahaan.
Karakteristik-karakteristik yang dimaksud contohnya adalah ukuran komite
audit, frekuensi pertemuan komite audit, dan independensi komite audit.
Dalam karakteristik-karakteristik tersebut dibutuhkan kriteria-kriteria khusus
agar komite audit dapat menciptakan good corporate governance.
4. Dewan Direksi dan Dewan Komisaris
Dewan direksi (board of directors) berfungsi untuk mengurus perusahaan, sementara dewan komisaris (board of commissioner) berfungsi untuk melakukan pengawasan. Dewan direksi dan dewan
komisaris dipilih oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) yang mewakili kepentingan para pemegang saham
tersebut. Peran direksi dan komisaris sangat penting dan cukup
28 governance. Diperlukan komitmen penuh dari dewan direksi dan komisaris agar implementasi GCG dapat berjalan dengan lancar sesuai
dengan harapan (Effendi,2009).
Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan
yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek
maupun jangka panjang. Menurut Puspitasari (2009), dewan direksi
harus mampu merumuskan strategi agar bisnis dapat berjalan secara
efektif dan efisien dengan turbulensi kondisi internal dan eksternal.
Dewan direksi tidak mungkin dapat melakukan tugas dengan baik apabila
hanya mengedepankan self interest dan mengabaikan kepentingan para stakeholders. Dengan demikian, anggota dewan direksi harus memiliki reputasi moral yang baik dan kompetensi teknis yang mendukung. Oleh
karena itu, untuk memilih anggota dewan direksi diperlukan standar
profesionalisme. Dewan direksi memiliki kewajiban untuk menjaga
transparansi dalam menjalankan operasional perusahaan. Prinsip
transparansi tersebut tercermin dalam penyampaian informasi secara
jujur kepada seluruh stakeholders. Manajemen harus mampu menyediakan informasi yang relevan kepada direktur, pengawas, dan
pemegang saham. Dewan komisaris berperan untuk memonitoring dari
implementasi kebijakan direksi. Dewan komisaris bertanggung jawab
mengawasi tindakan direksi dan memberikan nasehat kepada direksi jika
29 Komposisi dewan komisaris harus sedemikan rupa sehingga
memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif, tepat dan cepat
serta dapat bertindak secara independen dalam arti tidak mempunyai
kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk
melaksanakan tugasnya secara mandiri dan kritis dalam hubungan satu
sama lain dan terhadap direksi. Peran komisaris ini diharapkan akan
meminimalisir permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi
dan pemegang saham. Oleh karena itu, dewan komisaris seharusnya
dapat mengawasi kinerja direksi sehingga kinerja yang dihasilkan sesuai
dengan kepentingan pemegang saham (Wardhani, 2006).
Komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik
dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui
perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat
mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan
(Boediono, 2005). Komposisi yang tepat berarti jumlah yang dianggap
proporsional untuk mewakili pemegang saham. Jadi, ukuran dewan
komisaris merupakan jumlah yang dianggap proporsional untuk mewakili
pemegang saham badan usaha agar dewan komisaris dapat bekerja secara
efektif dan menjalankan corporate governance dengan bertanggung jawab kepada pemegang saham.
Menurut Wallace dan Zinkin (2005), perusahaan harus
30 jumlah dewan yang dimiliki perusahaan. Ukuran dewan yang efektif
adalah yang dapat memfasilitasi pengambilan keputusan yang efektif.
Dewan komisaris yang merupakan pemegang saham perusahaan
mempercayakan sumber daya yang mereka tanamkan untuk dikelola oleh
dewan direksi. Dalam mengelola sumber daya tersebut dewan direksi
berada dibawah pengawasan dewan komisaris. Dewan direksi harus
mampu memberikan informasi yang penuh kebenaran kepada pemegang
saham, maka jumlah dewan direksi dan dewan komisaris harus ideal agar
tercipta efisiensi.
5. Struktur kepemilikan
Davies et al. (2002) menyatakan bahwa: “Managerial ownership is equity ownership by inside company managers in providing incentives to maximize the value of their company”. Kepemilikan manajerial diukur
dengan persentase saham yang dimiliki oleh pihak manajerial (Li et al. 2008)
Struktur kepemilikan merupakan perbandingan antara jumlah
saham yang dimiliki oleh orang dalam (manajemen) dengan jumlah
saham yang dimiliki oleh investor (Triwahyuningtias, 2012). Struktur
kepemilikan dalam perusahaan merupakan salah satu faktor internal yang
mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan. Kepemilikan manajerial
didefinisikan sebagai kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajemen,
dalam hal ini kepemilikan oleh dewan direksi dan dewan komisaris.
31 masalah keagenan yang timbul dalam perusahaan (Emrinaldi, 2007). Hal
ini disebabkan dengan adanya kepemilikan oleh manajerial, pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan perusahaan akan dilakukan dengan
tanggung jawab penuh karena sesuai dengan kepentingan pemegang
saham dalam hal ini termasuk kepentingan manajemen sebagai salah satu
komponen pemilik perusahaan. Kepemilikan oleh manajemen juga akan
meningkatkan kontrol terhadap manajemen perusahaan itu sendiri.
Kepemilikan institusional adalah persentase saham yang dimiliki
oleh institusi dari keseluruhan saham perusahaan yang beredar.
Kepemilikan institusional akan mengurangi masalah keagenan karena
pemegang saham oleh institusional akan membantu mengawasi
perusahaan sehingga manajemen tidak akan bertindak merugikan
pemegang saham. Kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%)
akan memberikan kemampuan yang lebih baik untuk memonitor
manajemen (Emrinaldi, 2007).
6. Financial distress
Para peneliti terdahulu memiliki penjabaran tersendiri dalam
mendefinisikan financial Distress. Menurut Kamaludin dan Karina (2011), financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan sebelum terjadinya kebangkrutan atau likuidasi. Perbedaan dalam
32 sebagai perusahaan yang memiliki interest coverage ratio kurang dari satu. Almilia dan Kristijadi (2003), menyatakan bahwa perusahaan yang
mengalami financial distress adalah perusahaan yang selama beberapa tahun mengalami laba bersih operasi (net operation income) negatif dan selama lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran deviden. Ross
et al. (2010) mengatakan bahwa financial distress situasi dimana arus kas operasi tidak cukup untuk memenuhi kewajiban saat ini (seperti kredit
perdagangan atau beban bunga) Sedangkan Scott (1983) menyatakan
bahwa suatu perusahaan mengalami financial distress apabila perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban finansialnya dengan
dilanggarnya persyaratan utang (debt ovenants) disertai penghapusan atau pengurangan pembiayaan deviden (Kurniasari, 2009).
a. Dampak
Financial distress dapat membawa suatu perusahaan mengalami kegagalan pembayaran (default), tidak sesuai dengan kontrak yang telah disepakati. Kegagalan pembayaran tersebut, mendorong debitor
untuk mencari penyelesaian dengan pihak kreditor, yang pada
akhirnya dapat dilakukan restrukturisasi keuangan antara
perusahaan, kreditor dan investor (Ross et al, 2010). Perusahaan yang mengalami financial distress (kesulitan keuangan) akan menghadapi kondisi a) tidak mampu memenuhi jadwal atau
33 kepada kreditor. b) perusahaan dalam kondisi tidak solvable (insolvency).
b. Faktor Penyebab Financial Distress
Menurut Damodaran (1997), kesulitan keuangan dapat
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal perusahaan.
Faktor-faktor penyebab kesulitan keuangan perusahaan, yaitu:
1) Faktor internal kesulitan keuangan
Merupakan faktor dan kondisi yang timbul dari dalam
perusahaan yang bersifat mikro ekonomi. Faktor internal dapat
berupa:
a. Kesulitan arus kas
Disebabkan oleh tidak imbangnya antara aliran
penerimaan uang yang bersumber dari penjualan dengan
pengeluaran uang untuk pembelanjaan dan terjadinya
kesalahan pengelolaan arus kas (cash flow) oleh manajemen dalam pembiayaan operasional perusahaan sehingga arus
kas perusahaan berada pada kondisi defisit.
b. Besarnya jumlah utang
Perusahaan yang mampu mengatasi kesulitan keuangan
melalui pinjaman bank, sementara waktu kondisi defisit
arus kas dapat teratasi. Pada masa depan akan menimbulkan
34 bunga pinjaman, sekiranya sumber arus kas dari operasional
perushaan tidak dapat menutupi kewajiban pada pihak bank.
Ketidakmampuan manajemen perusahaan dalam
mengatur penggunaan dana pinjaman akan berakibat
terjadinya gagal pembayaran (default) yang pada akhirnya timbul penyitaan harta perusahaan yang dijadikan sebagai
jaminan pada bank.
c. Kerugian operasional
Kerugian operasional perusahaan selama beberapa
tahun merupakan salah satu faktor utama yang
menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan keuangan
(financial distress). Situasi ini perlu mendapat perhatian manajemen dengan seksama dan terarah.
Sedangkan menurut Kamaluddin dan Pribadi (2011)
faktor-faktor yang mempengaruuhi financial distress antara lain: sensitivitas pendapatan perusahaan terhadap aktivitas ekonomi secara
keseluruhan, proporsi biaya tetap terhadap biaya variabel, likuiditas
dan kondisi pasar dari asset perusahaan, kemampuan kas terhadap bisnis perusahaan. Financial distress dapat ditinjau dari komposisi neraca- jumlah asset dan kewajiban, dari laporan laba rugi – jika perushaan terus menerus rugi, dan dari laporan arus kas – jika arus
35 merupakan hasil akhir dari siklus akuntasi atau pembukuan
perusahaan.
2) Faktor eksternal kesulitan keuangan
Faktor eksternal kesulitan keuangan merupakan
faktor-faktor diluar perusahaan yang bersifat makro ekonomi yang
mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap kesulitan keuangan perusahaan. Faktor eksternal
kesulitan keuangan dapat berupa kenaikan tingkat bunga
pinjaman.
Sumber pendanaan yang berasal dari pinjaman lembaga
keuangan bank atau non-bank, merupakan solusi yang harus
ditempuh oleh manajemen agar proses produksi dan investasi
dapat berjalan lancar. Konsekuensi dari pinjaman, jika terjadi
kenaikan tingkat bunga pinjaman bagi para pelaku bisnis
merupakan suatu resiko dan ancaman bagi kelangsungan usaha.
Financial distress dapat disimpulkan sebagai suatu kondisi yang
dialami oleh sebuah perusahaan sebelum mengalami kebangkrutan. Para
peneliti terdahulu mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam
menafsirkan kondisi financial distress. Kondisi financial distress
mempunyai dampak kegagalan (default) perusahaan dalam menyelesaikan
kewajibannya kepada pihak ketiga. Kegagalan pembayaran ini akan memicu
pihak ketiga untuk mengambil tindakan hukum.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya financial
36 berhubungan dengan kondisi mikro dan kinerja yang ada dalam perusahaan.
Faktor internal merupakan faktor yang perlu diperhatikan lebih ketat karena
banyak perusahaan yang mengalami financial distress yang disebabkan oleh
faktor internal ini. Mekanisme corporate governance yang tidak dijalankan
dengan baik juga bisa menjadi faktor terjadinya financial distress.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar
perusahaan. Kondisi financial distress perusahaan yang disebabkan karena
faktor eksternal biasanya disebabkan oleh keputusan-keputusan yang
diambil oleh para regulator yang berdampak pada operasional perusahaan.
B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis
Hubungan atau keterkaitan antara variabel independen dan variabel
dependen dalam penelitian ini, dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Ukuran komite audit dengan financial distress
Sesuai dengan teori keagenan, kualitas pengawasan yang baik dapat
menurunkan perilaku oportunistik yang dilakukan oleh manajer sebagai
agen. Dalam rangka untuk membuat komite audit yang efektif dalam
pengendalian dan pemantauan atas kegiatan pengelolaan perusahaan,
komite harus memiliki anggota yang cukup untuk melaksanakan
tanggungjawab. Di Indonesia, pedoman pembentukan komite audit yang
efektif (KNKG, 2002) menjelaskan bahwa anggota komite audit yang
dimiliki oleh perusahaan sedikitnya terdiri dari 3 orang, diketuai oleh
komisaris independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang
37 belakang akuntansi dan keuangan. Jumlah anggota komite audit yang
harus lebih dari satu orang ini dimaksudkan agar komite audit dapat
mengadakan pertemuan dan bertukar pendapat satu sama lain. Hal ini
dikarenakan masing-masing anggota komite audit memiliki pengalaman
tata kelola perusahaan dan pengetahuan keuangan yang berbeda-beda.
Menurut Wallace dan Zinkin (2005) komite audit dibentuk untuk
membantu dewan dan direksi secara pribadi untuk melaksanakan tugas
mereka, khususnya yang berhubungan dengan pengendalian internal
perusahaan, melaporkan informasi keuangan, dan standar perilaku
perusahaan. Komite audit harus bisa memahami masalah dasar akuntansi
yang dihadapi perusahaan dan dapat memberi masukan kepada dewan
atas masalah tersebut. Oleh karena itu, semakin banyak anggota komite
audit, maka akan mempermudah komite audit dalam bertukar pikiran
untuk memecahkan masalah yang dihadapi perusahaan.
H1: Ukuran komite audit berpengaruh terhadap financial distress 2. Frekuensi pertemuan komite audit dengan financial distress
Sesuai dengan teori keagenan, pengawasan merupakan salah satu
komponen dalam GCG. Kualitas pengawasan yang baik dapat
menurunkan perilaku oportunistik yang dilakukan oleh manajer sebagai
agen. Efektivitas komite audit dalam melaksanakan peran pengawasan
atas proses pelaporan keuangan dan pengendalian internal memerlukan
pertemuan rutin. Pertemuan yang teratur dan terkendali dengan baik akan
38 sistem pengendalian internal, dan dalam hal menjaga informasi
manajemen (McMullen dan Raghunandan, 1996) dalam Rahmat et al. (2008). Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mewajibkan komite audit untuk mengadakan pertemuan tiga sampai
empat kali dalam satu tahun. Frekuensi pertemuan tersebut harus jelas
terstruktur dan dikontrol dengan baik oleh ketua komite.
Collier dan Gregory (1999) dalam Pembayun dan Januarti (2012),
mengungkapkan bahwa komite audit yang menyelenggarakan frekuensi
pertemuan yang lebih sering memberikan mekanisme pengawasan dan
pemantauan kegiatan keuangan yang lebih efektif, meliputi persiapan dan
pelaporan informasi keuangan perusahaan. Hal ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan McMullen dan Raghunandan (1996), yang
membuktikan bahwa komite audit perusahaan yang mengalami kesulitan
keuangan tidak mengadakan pertemuan sesering perusahaan yang tidak
mengalami kesulitan keuangan (Rahmat et al., 2008). Dengan melakukan pertemuan secara periodik, komite audit dapat mencegah dan mengurangi
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pembuatan keputusan oleh
manajemen karena aktivitas pengendalian internal perusahaan dilakukan
secara terus menerus dan terstruktur sehingga setiap permasalahan dapat
cepat terdeteksi dan diselesaikan dengan baik oleh manajemen.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dirumuskan hipotesis. Semakin
39 H2: Frekuensi pertemuan komite audit berpengaruh terhadap financial distress
3.Proporsi komite audit independen dengan financial distress
Menurut teori keagenan, anggota independen merupakan pengawas
yang dapat menurunkan asimetri informasi dan menjembatani
kepentingan antara pemilik dan manajemen. Anggota independen dapat
dikatakan sebagai pengawas yang baik karena dianggap lebih objektif
dan kritis dalam hubungannya dengan kebijakan yang dibuat oleh
manajemen. Di samping itu, anggota independen memiliki kepentingan
untuk meningkatkan reputasi sebagai pengawas yang baik. Oleh karena
itu, anggota independen akan mengurangi terjadinya financial distress. Peraturan BEI dan ketentuan pedoman corporate governance dalam pembentukan komite audit yang efektif menyatakan bahwa komite audit
terdiri tidak kurang dari tiga anggota yang mayoritas independen, yaitu
kurangnya satu orang komisaris independen dan
sekurang-kurangnya dua orang anggota lainnya berasal dari luar perusahaan.
Anggota komite audit dipersyaratkan berasal dari pihak ekstern
perusahaan yang independen, harus terdiri dari individu-individu yang
independen dan tidak terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen
yang mengelola perusahaan, serta memiliki pengalaman untuk
melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif. Independensi ini
bertujuan untuk memelihara integritas serta pandangan yang objektif