• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning siswa SMA Negeri 2 Kota Tanggerang Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning siswa SMA Negeri 2 Kota Tanggerang Selatan"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN STRATEGI SELF-REGULATED LEARNING

SISWA SMA NEGERI 2 KOTA TANGERANG SELATAN

Disusun Oleh:

SYIFA NADLIFAH

105070002260

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i (C) Syifa Nadlifah

(D) Hubungan Persepsi Tentang Iklim Kelas dengan Penggunaan Strategi Self-regulated Learning (E) 80 hal, 14 tabel, 5 gambar dan 7 lampiran (F)

Belajar adalah suatu kebutuhan yang vital bagi setiap individu dalam rentang panjang kehidupannya. Dalam pembelajaran siswa di sekolah, ada beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku belajar siswa, salah satunya adalah persepsi siswa tentang iklim belajar. Siswa yang secara positif mempersepsikan iklim kelas akan melakukan serangkaian strategi belajar yang efektif untuk meningkatkan kemampuan. Dalam penelitian oleh Marsh, Cheng dan Martin, terdapat perbedaan antara siswa putra dan siswa putri dalam penggunaan strategi self-regulated learning.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan, melihat perbedaan strategi self-regulated

learning antara siswa putra dan siswa putri, dan besar sumbangan yang

diberikan persepsi tentang iklim kelas terhadap strategi self-regulated

learning. Jumlah responden 90 siswa dipilih secara random dari 360 siswa

kelas XI program IPA dan IPS.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dimana data yang dihasilkan berupa data yang berbentuk bilangan. Metode yang digunakan adalah metode korelasional yaitu penelitian yang dirancang untuk menemukan hubungan antara variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi. Teknik statistik adalah Pearson Product Momen dalam SPSS 16 for Windows.

Dari hasil uji korelasi didapatkan nilai r hitung 0,450 dengan derajat kebebasan 89 signifikan pada level 0,05 maka diperoleh kesimpulan ada hubungan antara persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi

self-regulated learning. Dari hasil uji t-test juga didapat hasil ada perbedaan

(3)
(4)

iii

(D) Correlation Between The Perception of Classroom Climate and The Using of Self-regulated Learning Strategy

(E) 80 pages, 14 tables, 5 pictures, and 7 enclosures (F)

Learning is a vital need for everybody as long as he/she lives. In learning process at school, there are several factors correlating with students learning behavior, one of them is the students’s perception of learning climate. The student who positively perceive the classroom climate will do some effective strategies to improve his/her ability. In the research by Marsh, Cheng, and Martin, there is a difference between girl students and boy students in using the strategy of self-regulated learning.

The aim of this research is to find the correlation between the perception of classroom climate and the using of self-regulated learning strategy at SMAN 2 Kota Tangerang Selatan, to find the differences between boy students and girl students in using self-regulated learning strategy and perception of the classroom climate’s contribution to self-regulated learning strategy . 90 respondents randomly selected from 360 students grade XI program Science and Social.

The research used quantitative approach that produces countable data. It used correlational method, to find the relationship between different variables in population. The statitical technique using Pearson Product Moment, by SPSS 16 for Windows.

The results of study show that r value is 0,450 with degree of freedom 89 (significant) in level 0,05. Therefore it can be concluded that there is a significant relationship between the perception of classroom climate and the using of self-regulated learning strategy. The result from t-test is also shows that there is a difference between boy students and girl students with t-test value 0,014. The girl students use self-evaluation, seeking social assistance (peer and teacher), keeping record and monitoring, goal setting and planning, organizing and transforming, rehearsing and memorizing, and reviewing record (notes, test/work and text books) more than boy students. The result from linear regresion test shows the contribution of perception of classroom climate to self-regulated learning is 20,3%.

For further research, the writer suggests to find other factors which influence the using of self-regulated learning such as self-efficacy and metacognitive process.

(5)

iv

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa mencurahkan rahmat dan kasih sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW, keluarganya, para sahabat dan pengikutnya.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu dan berperan serta dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Jahja Umar Ph.D dan juga seluruh staf pengajar dan administrasi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dra. Netty Hartati, M.Si dan Ibu Solicha, M.Si, pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dan saran yang sangat bemanfaat dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Diana Muti’ah, M.Si selaku pembimbing akademik.

4. Bapak Drs. H. P. Akhmad Sopandy, M.Pd dan Ibu Dra. Hj. Cucu Rostika, M.Pd. Serta seluruh staf pengajar dan administrasi SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

(6)

v

kebersamaan yang tak tergantikan. Teman-teman angkatan 2005 kelas A: Fika Ratna Yuliati, Ida Isnani, Romi Oktaviardi, dan teman-teman lainnya atas segala keceriaan dan kebersamaan. Special thank to Rahmi Mulia atas bimbingan SPSS-nya, Rizki Kurnia Putri atas panduan skripsi-nya, dan Abang Zainal “Iding” Abidin atas power point-nya. Semoga silaturahim ini selalu terjaga.

7. Adik-adik siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan kontribusi yang tak ternilai sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga kesuksesan selalu menyertai kalian semua.

Serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga Allah senantiasa membalas kebaikan semuanya dengan berlipat ganda dan penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, amin.

Setu, 4 Juni 2010

(7)

ABSTRACT... .. iii

KATA PENGANTAR... .. iv

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... . vii

DAFTAR ISI... viii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

1.2.1 Pembatasan masalah... 7

1.2.2 Perumusan masalah... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9

1.3.1 Tujuan Penelitian... 9

1.3.2 Manfaat Penelitian... 10

1.4 Sistematika Penulisan... 10

1.5 Teknik Penulisan... 11

BAB 2 KAJIAN TEORI... 12

2.1 Self-Regulated Learning... 12

2.1.1 Definisi self-regulated learning... 14

2.1.2 Strategi-strategi self-regulated learning... 15

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning... 19

2.1.4 Peran self-regulated learning dalam belajar... 25

2.2 Persepsi Tentang Iklim Kelas... 28

2.2.1 Definisi persepsi... 28

2.2.2 Definisi iklim kelas... 29

(8)

2.4 Kerangka Berpikir... 40

2.5 Hipotesis... 42

BAB 3 METODE PENELITIAN... 43

3.1 Pendekatan Penelitian... 43

3.2 Variabel Penelitian... 44

3.3 Definisi Variabel dan Definisi Operasional Variabel... 44

3.3.1 Definisi variabel... 44

3.3.2 Definisi operasional variabel... 45

3.4 Populasi dan Sampel... 45

3.4.1 Jumlah populasi dan sampel... 45

3.4.2 Teknik pengambilan sampel... 47

3.5 Instrumen Penelitian... 47

3.6 Proses Uji Coba Instrumen... 50

3.7 Analisis Data... 50

3.8 Prosedur Penelitian... 51

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 52

4.1 Gambaran Subjek Penelitian... 52

4.2 Hasil Uji Instrumen Penelitian... 52

4.3 Uji Persyaratan... 54

4.3.1 Uji normalitas... 54

4.3.2 Uji homogenitas... 61

4.4 Uji Korelasi... 62

4.5 Uji t-test... 63

4.6 Uji Regresi Linear... 65

(9)

x

(10)

vi

3. Tabel 3.3 Blue Print skala self-regulated learning uji coba... 49

4. Tabel 3.4 Skor skala... 49

5. Tabel 4.1 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin... 52

6. Tabel 4.2 Blue Print skala persepsi tentang iklim kelas... 53

7. Tabel 4.3 Blue Print skala self-regulated learning... 53

8. Tabel 4.4 Hasil uji normalitas persepsi tentang iklim kelas... 55

9. Tabel 4.5 Hasil uji normalitas self-regulated learning... 58

10. Tabel 4.6 Hasil uji homogenitas... 61

11. Tabel 4.7 Hasil uji korelasi... 62

12. Tabel 4.8 Hasil uji t-test... 63

13. Tabel 4.9 Hasil F... 65

14. Tabel 4.10 Hasil R square... 66

15. Gambar 2.1 Aspek self-regulated learning... 12

16. Gambar 4.1 Scatterplot persepsi tentang iklim kelas... 56

17. Gambar 4.2 Histogram persepsi tentang iklim kelas... 57

18. Gambar 4.3 Scatterplotself-regulated learning... 59

(11)

vii

2. Hasil skoring skala self-regulated learning saat penelitian

3. Validitas dan reliabilitas skala persepsi tentang iklim kelas dan skala self-regulated learning saat try out

4. Skala persepsi tentang iklim kelas dan self-regulated learning saat penelitian 5. Hasil crosstabs perbedaan self-regulated learning

6. Surat izin penelitian

(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berdasarkan kesadaran mengenai peranan belajar dalam perkembangan anak, masyarakat modern mulai mendirikan lembaga-lembaga yang secara khusus bertugas mengatur pengalaman-pengalaman belajar sedemikian rupa, sehingga menunjang perkembangan anak didik. Lembaga tersebut biasanya disebut “sekolah” atau “institusi pendidikan formal”. Sekolah menyelenggarakan suatu program pendidikan yang, untuk sebagian, tertuangkan dalam kurikulum pengajaran dan, untuk sebagian tersalurkan melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler.

(13)

kognitif, sensorik-motorik serta dinamik-afektif. Baru setelah itu, guru mampu merencanakan dan menyelenggarakan proses belajar-mengajar di dalam kelas. Mengetahui dan menguasai materi pelajaran, berbagai prosedur didaktis, penggunaan alat-alat peraga dan cara-cara mengadakan evaluasi hasil belajar, tidak mencukupi untuk menunaikan tugas sebagai guru yang baik, guru pun harus mengenal siswa yang belajar dengan baik.

Dalam Ames dan Archer (1988) disebutkan bahwa ada dua kategori orientasi tujuan (achievement goal) yaitu mastery goal dan performance goal. Diantara dua kategori tersebut, siswa yang belajar dengan baik adalah siswa yang memiliki

mastery goal atau siswa yang memiliki fokus pada proses belajar, bukan sekedar

hasil yang dicapai. Karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa siswa lebih berkemauan mengerjakan tugas, memiliki perasaan yang positif terhadap situasi, dan menunjukkan pola perilaku yang adaptif ketika siswa memiliki tujuan menguasai sesuatu yang baru (mastery orientation). Ames dan Archer (1988) juga menyebutkan bahwa situasi kelas yang terbentuk dapat mempengaruhi orientasi tujuan dan selanjutnya mendorong perilaku yang berbeda pada siswa sesuai dengan orientasi tujuan yang diadopsi.

(14)

Church, Elliot dan Gable juga disebutkan bahwa lingkungan kelas atau biasa disebut iklim kelas dan seluruh aspek yang ada di dalamnya ikut mempengaruhi persepsi siswa dan pada akhirnya mempengaruhi orientasi tujuan dan selanjutnya mempengaruhi perilaku belajar siswa. Menurut McCombs dan McCombs dan Quiat (dalam Santrock, 2008) bahwa dalam sebuah studi, persepsi siswa terhadap lingkungan pembelajaran yang positif dan hubungan interpersonal dengan guru merupakan faktor paling penting yang memperkuat motivasi siswa dan prestasi siswa.

Iklim kelas merupakan kumpulan dari keadaan di lingkungan tersebut dan diasumsikan bahwa keadaan itu akan mempengaruhi individu. Proses pembelajaran adalah salah satu hal yang dipersepsi oleh siswa di dalam kelas, selain pengajar itu sendiri. Disinilah peran pengajar untuk membuat situasi kelas menjadi daya tarik bagi siswa. Aspek lingkungan kelas (environment) ini dapat dikatakan sebagai salah satu aspek dalam analisis mengenai self-regulated

learning. Lingkungan kelas yang telah dipersepsi oleh siswa akan mempengaruhi

(15)

Dalam Pintrich dan Schunk (1996) disebutkan bahwa dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lewin, Lippit dan White dijelaskan pengaruh kepemimpinan seorang guru terhadap motivasi dan perilaku siswa. Bagaimanapun iklim suatu kelas, selalu memiliki pengaruh tertentu terhadap siswa di dalamnya. Sebagai contoh adalah penelitian oleh Lewin, Lippit dan White (1939) yang menjelaskan bahwa iklim kelas yang demokratis memiliki pengaruh yang paling baik dibandingkan iklim kelas otoriter dan permisif. Iklim kelas demokratis merupakan iklim kelas yang dapat menciptakan siswa yang berusaha menyelesaikan tugas, kooperatif, dan ramah. Siswa juga menunjukkan kemandirian dan inisiatif yang tinggi, tetap mengerjakan tugas walau tidak ada guru, dan tidak mudah jenuh. Dari uraian di atas, dapat dilihat pengaruh iklim kelas terhadap perilaku siswa. Walaupun iklim kelas yang ada adalah iklim kelas otoriter, tetap memiliki pengaruh tertentu. Karenanya, sangat penting bagi pendidik mengetahui bagaimana menciptakan iklim kelas yang dapat memacu semangat siswa dalam belajar agar siswa dapat mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan, salah satunya dengan menerapkan strategi self-regulated learning.

Self-regulated learning didefinisikan sebagai suatu cara yang dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan dalam belajar. Sejumlah peneliti telah menemukan bahwa siswa dengan prestasi yang tinggi merupakan siswa-siswa yang memiliki

(16)

Self-regulated learning memiliki peran yang penting dalam menunjang keberhasilan studi siswa. Self-regulated learning merupakan suatu terminologi yang membuka wacana baru tentang faktor-faktor determinan keberhasilan siswa dalam belajar. Konsep tentang self-regulated learning telah merubah perspektif fokus analisis keberhasilan belajar dari kemampuan belajar siswa atau potensi belajar siswa dan lingkungan belajar di sekolah atau di rumah sebagai suatu entitas yang “fixed”, kini digantikan oleh kesanggupan siswa secara personal untuk merancang sendiri strategi belajar dalam upaya meningkatkan pencapaian hasil belajar dan kesanggupannya untuk mengelola lingkungan yang kondusif untuk belajar (Zimmerman, 1989). Karenanya, sangat penting bagi siswa mengerti bahwa dirinyalah yang sesungguhnya memiliki peranan utama dalam keberhasilan dalam belajar. Dengan memahami konsep self-regulated learning, siswa diasumsikan akan memiliki prestasi yang tinggi seperti yang telah ditemukan dari beberapa penelitian para ahli.

Zimmerman (1989) menekankan bahwa untuk dapat dikatakan self-regulated, proses belajar siswa harus melibatkan penggunaan strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan akademiknya. Strategi self-regulated learning adalah aksi dan proses mendapatkan informasi dan keterampilan secara langsung yang mengandung unsur melakukan aksi, tujuan, dan implementasi persepsi oleh pelajar.

(17)

self-regulated learning, siswa akan mampu mengoptimalkan kemampuan yang mereka miliki dan melakukan sesuatu karena mereka menginginkan yang terbaik bagi diri mereka sendiri.

Uraian mengenai iklim kelas dimana iklim kelas ini mempengaruhi orientasi tujuan yang selanjutnya mempengaruhi perilaku individu, termasuk perilaku belajarnya, maka diharapkan siswa memiliki persepsi iklim yang bagus sehingga memiliki orientasi tujuan penguasaan (mastery goal) yang kemudian strategi-strategi self-regulated learning akan semakin sering digunakan karena siswa mempersepsikan suasana belajar di dalam kelas sebagai suasana yang menyenangkan dan memunculkan perilaku belajar yang positif.

Dalam hal self-regulated learning, perbedaan jenis kelamin juga menjadi catatan tersendiri mengingat penelitian yang dilakukan oleh Marsh, Cheng dan Martin (2008) menyebutkan bahwa siswa putri lebih mudah termotivasi dibanding siswa putra. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Zimmerman dan Martinez-Pons (1990) yang menyebutkan bahwa siswa putri lebih sering menunjukkan strategi goal setting and planning, keeping records and monitoring,

dan environmental structuring daripada siswa putra. Namun siswa putra lebih

sering menggunakan respon other daripada siswa putri.

(18)

Karena itu, penulis tertarik untuk membuktikan adanya “Hubungan Persepsi Tentang Iklim Kelas Dengan Penggunaan Strategi Self-Regulated Learning Siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan”.

Dengan judul tersebut penulis berharap dapat mengetahui strategi

self-regulated learning yang digunakan siswa yang disebabkan oleh persepsi iklim

kelas.

Berdasarkan judul diatas maka permasalahan yang mungkin muncul adalah gambaran persepsi siswa mengenai iklim kelas dimana siswa tersebut belajar, hubungan persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated

learning, self-regulated learning sebagai dampak dari persepsi tentang iklim

kelas, perbedaan strategi self-regulated learning antara siswa putra dan siswa putri, perbedaan penggunaan self-regulated learning berdasarkan persepsi tentang iklim kelas, dan sumbangan persepsi tentang iklim kelas kepada penggunaan strategi self-regulated learning.

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini dibatasi dalam ruang lingkup :

1. Persepsi tentang iklim kelas

(19)

dan metode pengajaran yang dilakukan guru (kategori Task), persepsi siswa mengenai evaluasi yang diberikan guru (kategori

Evaluation), dan persepsi siswa mengenai pencapaian nilai dalam

evaluasi yang diberikan guru (kategori Recognition dan

Evaluation). Dibatasi hanya pada tiga hal dikarenakan ketiga hal

tersebut merupakan hal yang paling mempengaruhi orientasi tujuan siswa dan selanjutnya mempengaruhi strategi belajar siswa (Church, Elliot & Gable, 2001).

2. Strategi self-regulated learning

(20)

1.2.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara persepsi siswa mengenai iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan ?

2. Apakah ada perbedaan penggunaan strategi self-regulated learning antara

siswa putra dan siswa putri ?

3. Berapa besar sumbangan persepsi tentang iklim kelas kepada penggunaan strategi self-regulated learning ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

(21)

learning antara siswa putra dan siswa putri serta melihat berapa besar sumbangan yang diberikan persepsi tentang iklim kelas terhadap strategi self-regulated learning.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam psikologi pendidikan. Bagi pengembangan keilmuan diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan pustaka untuk mengkaji masalah iklim kelas dan strategi self-regulated learning siswa SMA.

Secara praktis diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi para pendidik, siswa, serta umumnya bagi masyarakat pemerhati masalah pendidikan.

1.4 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, sistematika penulisan adalah sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, sistematika penulisan, dan teknik penulisan.

BAB II : Kajian teori yang meliputi self-regulated learning, persepsi tentang iklim kelas, penelitian-penelitian terdahulu, kerangka berpikir, dan hipotesis.

(22)

populasi dan sampel, instrumen penelitian, proses uji coba instrumen, prosedur penelitian, dan analisis data.

BAB IV : Presentasi dan analisa data yang meliputi gambaran umum subjek penelitian, kategorisasi subjek, uji persyaratan, hasil penelitian, dan analisis tambahan.

BAB V : Kesimpulan, diskusi, dan saran.

1.5 Teknik Penulisan

(23)

BAB 2

KAJIAN TEORI

Dalam bab 2 ini akan dibahas tentang self-regulated learning, persepsi mengenai iklim kelas, penelitian-penelitian terdahulu, kerangka berpikir, dan diakhiri dengan perumusan hipotesis.

2.1 Self-Regulated Learning

Menurut ahli teori sosial kognitif, self-regulated learning tidak hanya dipengaruhi oleh proses personal saja. Proses personal ini diasumsikan dipengaruhi oleh lingkungan dan perilaku dalam hubungan timbal balik antara kesemuanya.

Person (self)

Environment Behavior

Gambar 2.1 tiga aspek yang saling berhubungan dalam proses self-regulated learning (diadaptasi dari Zimmerman, 1989).

Self-regulation dalam perilaku digambarkan pada gambar 2.1. Siswa yang

(24)

matematika), akan menyediakan informasi mengenai keakuratan dan memeriksa tugas diteruskan melalui umpan balik secara langsung. Dalam penggambaran hubungan timbal balik ini, penyebab utamanya adalah inisiatif dari diri sendiri (self-initiated), yang diimplementasikan melalui serangkaian strategi, dan secara langsung diatur melalui persepsi atas kemampuan. Dengan demikian, self-efficacy

memainkan peranan seperti alat pengatur yang mengatur usaha strategi untuk mendapatkan pengetahuan dan kemahiran melalui umpan balik.

Self-regulation dalam hal lingkungan juga demikian, siswa secara proaktif

melakukan strategi manipulasi lingkungan (misalnya menyusun area untuk belajar yang tenang guna mengerjakan pekerjaan rumah) akan melakukan serangkaian usaha untuk menghalangi respon dalam ruangan seperti mengurangi kebisingan, mengatur pencahayaan yang baik, dan menyusun tempat untuk mengerjakan tugas.

Self-regulation dalam individu diindikasikan sebagai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi satu sama lain. Banyak ahli teori sosial kognitif tertarik pada pengaruh proses metakognitif terhadap proses dalam diri seseorang seperti dasar pengetahuan.

Bandura (1986 dalam Zimmerman, 1989) menyimpulkan bahwa proses dalam diri ini saling berhubungan timbal balik dengan faktor lain dalam self-regulated learning ini. Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa self-regulated learning

(25)

2.1.1 Definisi self-regulated learning

Santrock (2008) mendefinisikan self-regulatory learning sebagai self-generation and self-monitoring of thoughts, feelings, and behaviors in order to

reach a goal (mengatur dan memonitor pikiran, perasaan, dan perilaku guna

meraih suatu tujuan).

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan Zimmerman (dalam Schunk, dalam Zaenah, 2007) self-regulation (self-regulated learning) adalah suatu proses dimana siswa secara aktif dan menopang pikiran, perilaku dan pengaruh yang diarahkan secara sistematis untuk mencapai tujuan.

Jadi, self-regulated learning merupakan sebuah cara yang digunakan siswa dalam mencapai tujuan belajar. Zimmerman (1989) juga menyebutkan bahwa siswa yang memiliki self-regulated adalah siswa yang secara metakognitif, motivasi, dan perilakunya aktif dalam proses belajarnya.

Zimmerman (1989) menyatakan ada tiga hal mendasar dalam self-regulated

learning yaitu strategi self-regulated learning, keyakinan terhadap kemampuan

diri sendiri, dan komitmen terhadap tujuan akademik.

(26)

melakukan evaluasi diri selama proses mencapai kemahiran berlangsung (Zimmerman, 1989).

Menurut Schunk (1998, dalam Zaenah, 2007), self-regulated learning bukan kemampuan mental seperti inteligensi atau kemampuan akademik, tetapi lebih kepada proses mengarahkan diri untuk mengubah kemampuan mental menjadi kemampuan akademik. Woolfolk (2004) mendefinisikan self-regulated learner

adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam belajar dan disiplin diri yang membuat mereka lebih mudah dalam belajar dan motivasinya selalu terpelihara. Siswa yang memiliki pengaturan diri dalam belajar (self-regulated learners) melihat kemampuan atau kemahiran sebagai proses yang terkontrol dan terstruktur, dan mereka menerima tanggung jawab yang lebih demi pencapaian tujuan akademiknya (Zimmerman & Martinez-Pons, 1990). Dapat dikatakan bahwa kemahiran itu merupakan tujuan belajar seseorang, sehingga dari pernyataan tersebut dapat diperkuat lagi dengan pernyataan bahwa seseorang yang

self-regulated memiliki karakteristik yang salah satunya memiliki tujuan.

Maka, self-regulated learning merupakan suatu aktivitas terstruktur dalam belajar yang dilakukan oleh siswa guna mencapai tujuan belajar dengan melakukan serangkaian strategi.

2.1.2 Strategi-strategi self-regulated learning

(27)

Siswa melakukan serangkaian strategi belajar (strategi self-regulated learning) sebagai langkah nyata mencapai tujuan belajarnya. Zimmerman dan Martinez-Pons (1988) mengembangkan wawancara terstruktur (structured interview) untuk melihat strategi self-regulated learning siswa dan menemukan empat belas strategi self-regulated learning yang biasa dilakukan siswa di kelas ditambah satu respon jawaban yang bukan merupakan strategi self-regulated learning yang diberi label other . Kelima belas strategi tersebut adalah:

1. Evaluasi diri (Self-evaluation)

Self-evaluation adalah inisiatif siswa untuk melihat kualitas atau kemajuan

pekerjaan yang dikerjakannya, pemahaman akan situasi kerja yang berhubungan dengan tugas, atau usaha yang terkait dengan tugas.

2. Pengaturan (Organizing and transforming)

Inisiatif siswa dalam mengatur ulang materi instruksional baik secara overt

atau covert untuk meningkatkan proses belajar.

3. Penetapan dan perencaan tujuan (Goal setting and planning)

Siswa menetapkan tujuan atau sub-tujuan dan merencanakan untuk mengurutkan, memperhitungkan waktu, dan menyelesaikan aktivitas yang berkaitan dengan mencapai tujuan tersebut.

4. Pencarian informasi (Seeking information)

Usaha siswa dalam mencari informasi pada sumber yang tidak biasa ketika menyelesaikan sebuah tugas.

5. Pencatatan (Keeping record and monitoring)

(28)

6. Pengaturan lingkungan (Environmental structuring)

Inisiatif siswa dalam usaha untuk mengatur lingkungan belajar dengan cara tertentu sehingga membantu mereka belajar lebih baik.

7. Konsekuensi diri (Self consequences)

Siswa membayangkan rewards atau punishment bila ia sukses atau gagal dalam menyelesaikan suatu tugas atau ujian.

8. Pengulangan dan Mengingat (Rehearsing and memorizing)

Peserta didik berusaha mengingat bahan bacaan dengan menggunakan perilaku yang overt maupun covert.

9-11. Mencari bantuan dari orang sekitar (Seeking social assistance)

Siswa berusaha meminta bantuan kepada orang lain. Strategi ini berbeda dengan kategori satu yang dimana siswa secara khusus bertanya kepada seseorang untuk memeriksa tugasnya.

9. Meminta bantuan teman (Seek peer assistance)

Meminta bantuan kepada teman sebaya jika menghadapi masalah dengan tugas.

10. Meminta bantuan guru (Seek teacher assistance)

Bertanya kepada pengajar di kelas maupun di luar kelas dengan tujuan agar dapat membantu dalam menyelesaikan tugas.

11. Meminta bantuan orang dewasa (Seek adult assistance)

(29)

12-14. Peninjauan ulang (Reviewing record)

Siswa berusaha untuk memperbaiki atau meninjau ulang tugas yang dikerjakannya.

12. Mengulang catatan (Reviewing notes)

Siswa memeriksa ulang catatan sehingga ia tahu topik yang akan diujikan sebelum mengikuti ujian.

13. Mengulang ujian atau tugas (Review test/work)

Menjadikan ujian-ujian yang telah lewat dan tugas-tugas yang telah dikerjakan sebagai sumber informasi untuk belajar.

14. Membaca buku teks (Review text books)

Menjadikan buku teks sebagai sumber informasi dalam belajar. 15. Lain-lain (Other)

Mengindikasikan penyelesaian masalah yang tetap dilakukan oleh siswa untuk berhasil dalam tugasnya atau untuk menggunakan sumber dari dalam dirinya. Other merupakan respon non strategi yang muncul berdasarkan beberapa konteks lingkungan belajar dalam penelitian yang dilakukan Zimmerman dan Martinez-Pons (1988).

Dalam Zimmerman (1989) disebutkan bahwa strategi-strategi di atas digunakan untuk mengatur tiga aspek yang terdapat dalam self-regulated learning. Sebagai contoh, strategi organizing and transforming, rehearsing and

memorizing, dan goal setting and planning berfokus pada pengoptimalan

(30)

didesain untuk meningkatkan fungsi perilaku. Strategi environmental structuring,

seeking information, reviewing, dan seeking assistance dimaksudkan untuk

mengoptimalkan pemanfaatan siswa akan lingkungan belajarnya.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning

Menurut Zimmerman dan Schunk (2001) dan Pintrich dan Schunk (2002) (dalam Santrock, 2008) menyebutkan bahwa perkembangan self-regulated learning dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya modelling dan self-efficacy. Sedangkan jika mengacu pada teori sosial kognitif, self-regulated learning

dipengaruhi oleh tiga faktor besar, yaitu: 1. Faktor individu (Personal influences)

Personal siswa merupakan salah satu faktor penting dalam self-regulated learning. Salah satu bagian dalam personal siswa ini adalah self-efficacy (rasa mampu diri). Self-efficacy ini sangat berkaitan dengan bagian-bagian lainnya dalam personal siswa, yaitu pengetahuan siswa (student’s knowledge), proses metakognitif (metacognitive process), tujuan (goals), dan afeksi (affects).

a. Kemampuan diri (Self-efficacy)

Para ahli teori sosial kognitif mengasumsikan bahwa self-efficacy merupakan variabel kunci dalam self-regulated learning (Bandura, 1986, dalam Zimmerman, 1989). Zimmerman (1989), mendefinisikan self-efficacy

(31)

2007) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan akan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengorganisasikan dan melakukan tindakan yang dibutuhkan untuk menghadapi dan mengatasi situasi tertentu yang akan dihadapi serta berpengaruh pada bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan memotivasi dirinya.

Sedangkan dalam Santrock (2008) Bandura menyebutkan self-efficacy dapat mempengaruhi siswa dalam memilih suatu tugas, usahanya, ketekunannya, dan prestasinya. Dibandingkan dengan siswa yang meragukan kemampuan belajarnya, siswa yang merasa mampu menguasai suatu keahlian atau melaksanakan suatu tugas akan lebih siap untuk berpartisipasi, bekerja keras, lebih ulet dalam menghadapi suatu kesulitan, dan mencapai level yang lebih tinggi.

Bandura (1995, dalam Zaenah, 2007) juga mengungkapkan ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan self-efficacy seseorang. Keempat faktor tersebut adalah mastery experience, vicarious experience, social persuasion, serta

physiological and emotional states. Mastery experience adalah pengalaman

keberhasilan seseorang dalam menghadapi tugas sebelumnya. Vicarious

experience adalah pengalaman seseorang dalam melihat keberhasilan orang lain

(32)

dalam menghadapi tugas tersebut. Tinggi rendahnya self-efficacy seseorang ditentukan oleh keempat faktor di atas. Sedangkan menurut Kurt dan Borkowski (1984, dalam Zimmerman, 1989) mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki

self-efficacy yang tinggi menunjukkan strategi belajar yang lebih baik. b. Pengetahuan siswa (student’s knowledge)

Dua jenis pengetahuan yang saling mempengaruhi dalam self-regulated

learning menurut Zimmerman (1989) yaitu:

• Pengetahuan deklaratif (declarative knowledge)

Menurut Siegler (1982, dalam Zimmerman, 1989) pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan yang dikelola dalam bagian subjek dan predikat, memiliki hubungan yang jelas dengan kejadian di dunia luar, terpisah dari struktur pengawasan (proses metakognitif), dan tidak dipengaruhi oleh konteks kondisi.

• Pengetahuan regulasi diri (self-regulative knowledge)

Yaitu pengetahuan yang mengandung pengetahuan procedural

dan pengetahuan kondisional. Pengetahuan procedural adalah pengetahuan tentang bagaimana seseorang memakai strategi sedangkan pengetahuan kondisional berkaitan dengan kapan dan mengapa strategi yang dipakai dapat efektif.

(33)

c. Tujuan (goal)

Menetapkan sebuah tujuan, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang dalam sebuah proses belajar merupakan hal yang sangat penting. Penetapan tujuan jangka panjang merupakan langkah awal dalam mengambil keputusan metakognitif. Hal ini sesuai dengan Zimmerman (1989) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan metakognitif ini bergantung pada tujuan jangka panjang dari siswa.

d. Proses metakognitif (metacognitive process)

Proses metakognitif adalah proses pengambilan keputusan yang mengatur penyeleksian dan penggunaan berbagai bentuk pengetahuan. Pengambilan keputusan metakognitif ini bergantung pada tujuan jangka panjang dari siswa (Zimmerman, 1989). Dalam proses metakognitif, seseorang yang melakukan pengaturan diri dalam belajar (self-regulated learning) itu merencanakan, menetapkan tujuan, mengelola, memonitor diri sendiri, dan melakukan evaluasi diri selama proses kemahiran itu berlangsung (Corno, 1986, 1989; Ghatala, 1986; Pressley, Borkowski, & Schneider, 1987 dalam Zimmerman, 1990, dalam Zaenah, 2007).

e. Afeksi (affect)

(34)

2. Faktor perilaku (Behavioral influences)

Tiga kategori tindakan siswa terutama bagian yang relevan dalam melakukan analisis self-regulated learning adalah: self-observation, self-judgement, dan

self-reaction.

a. Observasi diri (Self-observation)

Self-observation merupakan respon siswa yang melibatkan pemantauan yang

sistematis terhadap performanya. Self-observation dipengaruhi oleh beberapa proses dalam diri (personal process) seperti self-efficacy, penetapan tujuan, dan perencanaan metakognitif, seperti halnya perilaku mempengaruhinya. Dua metode perilaku self-observation antara lain: (a) laporan dalam bentuk lisan atau tulisan dan (b) data kuantitatif akan aksi dan reaksinya.

b. Penilaian diri (Self-judgement)

Self-judgement adalah respons yang melibatkan pembandingan yang sistematis

antara performa (hasil kerjanya) dengan standar atau tujuan yang ditetapkan. Dua cara yang dapat digunakan dalam melakukan self-judgement adalah dengan meneliti kembali prosedur dan membandingkan hasil yang diperoleh dengan hasil orang lain atau dengan standar tertentu. Self-judgement berkaitan dengan proses self-regulated learning personal seperti persepsi akan efficacy. c. Reaksi diri (Self-reaction)

Self-reaction melibatkan proses dalam diri seperti penetapan tujuan,

self-efficacy, dan perencanaan metakognitif, seperti halnya perilaku

(35)

self-reaction yang digunakan siswa untuk mengoptimalkan respons belajar yang spesifik, (b) personal self-reaction yang digunakan untuk meningkatkan proses-proses dalam dirinya selama belajar, dan (c) environmental

self-reaction dimana siswa meningkatkan lingkungan-lingkungannya.

3. Faktor lingkungan (Environmental influences)

Para ahli teori sosial kognitif telah banyak memberikan perhatian pada pengaruh pengalaman sosial dan pengalaman enactive (langsung). Dalam Zimmerman (1989) diungkapkan bahwa dua jenis lingkungan yang mempengaruhi

self-regulated learning adalah pengalaman sosial dan struktur dari lingkungan

belajar. Salah satu bagian dari pengalaman sosial yang berpengaruh dalam

self-regulated learning adalah belajar melalui pengamatan secara langsung terhadap

perilakunya sendiri dan hasil yang diperoleh dari perilaku tersebut.

Bandura (1986, dalam Zimmerman, 1989) mengungkapkan akan pentingnya pengalaman enactive (langsung) dalam memberikan umpan balik mengenai kemampuan diri sendiri sekaligus pengetahuan deklaratif dan pengetahuan

self-regulative pada siswa. Perasaan mampu untuk mempelajari sesuatu ini

diasumsikan memotivasi pemilihan dari penerapan strategi selanjutnya. Bagian lain dari pengalaman sosial ini adalah modeling.

Modelling merupakan sebuah proses dimana observer menampilkan

(36)

Model merupakan sumber untuk menampilkan keterampilan dalam

self-regulatory. Yang dapat ditiru dari model diantaranya adalah dalam merencanakan

dan mengelola waktu secara efektif, menampilkan dan menetapkan, mengelola dan mengkodekan informasi secara strategis, membangun lingkungan kerja/belajar yang produktif, dan menggunakan sumber-sumber sosial. Modelling

dari strategi-strategi self-regulated learning yang efektif dapat meningkatkan

self-efficacy siswa, baik bagi siswa yang merasa kurang memiliki kemampuan maupun

siswa yang yakin akan kemampuannya (Zimmerman, 1989).

2.1.4 Peran self-regulatedlearning dalam belajar

Self-regulated learning memiliki peran yang penting dalam menunjang

keberhasilan studi siswa. Peran self-regulated learning dapat dilihat dari batasan-batasan sebagai berikut ini.

Zimmerman (1989) mendefiniskan self-regulated learning sebagai derajat metakognitif, motivasional, dan perilaku individu di dalam proses belajar yang dijalani untuk mencapai tujuan belajar. Sedangkan Winne dan Wolters (dalam Nugroho, 2003) mengatakan bahwa self-regulated learning adalah kemampuan seseorang untuk mengelola secara efektif pengalaman belajarnya sendiri di dalam berbagai cara sehingga mencapai hasil belajar yang optimal. Sementara itu Frank dan Robert (1988, dalam Nugroho, 2003) mengatakan bahwa self-regulation

(37)

dan sejenisnya. Dikatakan pula bahwa self-regulated learning mencakup tiga tahap kegiatan yakni sebelum, selama, dan sesudah melaksanakan tugas belajar. Dari batasan-batasan yang diberikan diatas jelaslah terlihat bagaimana peran

self-regulated learning dalam pencapaian tujuan belajar. Dengan melakukan self-regulated learning serta strategi-strategi self-regulated learning, siswa akan mampu mengoptimalkan kemampuannya dengan mengefektifkan pengalaman belajarnya.

Markus & Wurf (1989, dalam Nugroho, 2003) mendeskripsikan bahwa dalam pandangan umum yang dapat diterima, self-regulated learning selalu mengarah pada beberapa tujuan. Dalam hal ini Markus & Wurf (1989) mencatat beberapa tahapan kerja pencapaian tujuan yang berlangsung dalam konteks self-regulated learning sebagai berikut:

™ Tahap pertama yakni pemilihan atau penentuan tujuan belajar yang mana

ditentukan oleh 1) Harapan tentang self-competencies dan luaran yang didapat dari pelaksanaan tugas, 2) Faktor-faktor afektif seperti kebutuhan-kebutuhan, motivasi dan nilai-nilai, 3) Keinginan dalam self-conception

sebagai yang digambarkan dalam tujuan umum kehidupan yang telah dirumuskan sesuai selera pribadinya ke dalam tujuan-tujuan sementara dan perilaku-perilakunya.

™ Tahap kedua dalam self-regulated learning yaitu berupa membuat

(38)

™ Tahap pelaksanaan dan evaluasi yang berisi monitoring,

self-evaluation processes untuk membantu memelihara atau mempertahankan

perhatian, membandingkan tujuan-tujuan yang aktual dengan tujuan-tujuan yang diharapkan dan berupaya untuk mengurangi adanya kesenjangan penampilan bagi keberhasilan individu dalam belajar, memecahkan masalah dan melakukan transfer of learning serta keberhasilan akademik secara umum (Winne, 1997, dalam Nugroho, 2003).

Konsep tentang self-regulated learning telah merubah perspektif fokus analisis keberhasilan belajar dari kemampuan belajar siswa atau potensi belajar siswa dan lingkungan belajar di sekolah atau di rumah sebagai sesuatu yang

“fixed”, kini digantikan oleh kesanggupan siswa secara personal untuk merancang

sendiri strategi belajar dalam upaya meningkatkan pencapaian hasil belajar dan kesanggupannya untuk mengelola lingkungan yang kondusif untuk belajar (Zimmerman, 1989).

Konsep self-regulated learning membalikkan semua paradigma lama yang menempatkan potensi belajar siswa dan lingkungan sebagai sesuatu yang “fixed”

(39)

yang signifikan dalam memilih bentuk dan aktivitas belajar sesuai dengan kebutuhannya.

Teori self-regulated learning berusaha menjelaskan dan mendeskripsikan bagaimana siswa-siswa tertentu akan tetap dapat belajar dan berprestasi meskipun memiliki keterbatasan dalam mental ability, latar belakang lingkungan sosial, atau kualitas sekolah. Teori self-regulated learning juga memberikan penjelasan dan deskripsi tentang mengapa kadang ada siswa yang mengalami kegagalan dalam studi meskipun mereka memiliki keunggulan dalam mental ability, latar belakang lingkungan sosial, dan kualitas sekolah yang baik.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bagaimana peran self-regulated learning

dalam belajar. Self-regulated learning merupakan cara siswa meningkatkan keberhasilan belajar dengan melakukan serangkaian strategi yang menuntut siswa proaktif selama mencapai kemahiran atau keberhasilan yang ditetapkan. Strategi yang dijalankan meliputi pengaturan terhadap diri sendiri, perilaku, dan lingkungan dimana siswa itu berada.

2.2 Persepsi Tentang Iklim Kelas

2.2.1 Definisi persepsi

(40)

stimulus yang diterima oleh indera. Persepsi terhadap suatu objek dapat dijelaskan melalui teori pemrosesan dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah (

bottom-up-top-down processing). Dalam memproses suatu stimulus, seseorang akan

mencatat stimulus dalam resptor sensoris. Hadirnya stimulus akan menggerakkan proses pengenalan objek. Informasi yang diterima oleh reseptor akan “bergerak” dari tingkat pengenalan yang paling rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi dalam korteks sehingga objek dapat dikenali. Bersamaan dengan terjadinya proses

bottom-up terjadi juga proses top down. Proses ini menekankan bagaimana konsep yang sudah dimiliki seseorang dan proses mental tingkat tinggi mempengaruhi pengenalan objek. Dapat dikatakan bahwa konsep yang sudah dimiliki, harapan, dan ingatan akan membantu seseorang dalam mengidentifikasi suatu objek. Harapan ini terbentuk berdasarkan pengalaman di masa lalu.

Persepsi terhadap stimulus akan berdampak terhadap beberapa hal. Dalam kaitannya dengan iklim kelas, guru merupakan objek yang sangat penting yang akan dipersepsi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku siswa.

2.2.2 Definisi iklim kelas

(41)

pendengaran, dan sebagainya. Sedangkan faktor psikisnya adalah inteligensi dan non inteligensi seperti misalnya motivasi, cara belajar, minat, ataupun tingkat aspirasi. Adapun faktor di luar individu antara lain adalah pengaturan proses belajar di sekolah, faktor sosial maupun iklim belajar mengajar.

Tahun 1970 di Amerika Serikat dilakukan serangkaian studi observasi terhadap lingkungan kelas. Dari studi ini disimpulkan bahwa prinsip pengajaran, praktek pengajaran dan profil tingkah laku berhubungan dan mempengaruhi prestasi siswa (Anderson, 1987, dalam Ramelan, 1989). Dengan demikian, peristiwa yang terjadi di dalamnya dan iklim psikologis yang tercermin di dalamnya berkaitan erat dengan tingkah laku individu yang berada dalam lingkungan tersebut.

Reilly dan Lewis (1983) memberikan batasan mengenai iklim kelas yaitu yang mengarah pada dimensi psikologis dan sosial seperti tingkat kedisiplinan, fleksibilitas, kecemasan, kontrol guru, aktivitas dan stimulasi.

Sedangkan Engel dan Tannenbaum (1973 dalam Ramelan, 1989) memberikan batasan mengenai iklim kelas yaitu iklim psikologis yang dapat dijelaskan dalam istilah harapan, sangsi, dan kode yang terdapat dalam pertukaran individu-sosial, seperti kegiatan belajar yang spesifik, metode pengajaran oleh guru, perlengkapan dan penilaian (evaluasi).

(42)

yang ada dalam lingkungan kelas itu seperti faktor administratif, disiplin, formalitas, emosi, sosial, di mana kesemuanya tidak terpisahkan dan saling berinteraksi sehingga mempengaruhi individu di dalamnya. Disini terlibat juga proses persepsi yaitu bagaimana seseorang melihat, mendengar atau merasakan lingkungan di sekitarnya, atau apa saja yang dialami oleh orang tersebut (Morgan, King & Robinson, 1979, dalam Ramelan, 1989). Dengan demikian bagaimana iklim kelas dalam suatu lingkungan kelas adalah sebagaimana yang dipersepsi individu.

2.2.3 Karakteristik lingkungan kelas

Woolfolk (1987, dalam Ramelan, 1989) berpendapat bahwa lingkungan kelas dan penghuni lingkungan tersebut, pengajar dan pelajar, saling berhubungan. Masing-masing aspek dalam lingkungan tersebut saling mempengaruhi dan membentuk karakteristik tertentu dan bagaimana sifat-sifat atau karakteristik yang ada selanjutnya akan mempengaruhi “atmosphere” atau iklim psikologis lingkungan kelas tersebut.

Doyle (dalam Woolfolk, 1987) mengemukakan enam karakteristik yang ada dalam lingkungan kelas yaitu:

a. Lingkungan kelas bersifat multidimensional

(43)

Dengan demikian tingkah laku-tingkah laku individu yang ada pun dipengaruhi dan mempengaruhi berbagai faktor.

b. Lingkungan kelas bersifat berkesinambungan

Segala sesuatu dalam lingkungan kelas terjadi secara bersamaan. Pengajar yang menerangkan pelajaran, pelajar yang memperhatikan, menulis atau membaca terjadi dalam waktu berkesinambungan.

c. Lingkungan kelas bersifat “immediacy” (kesegeraan)

Sifat ini berkaitan dengan “langkah-langkah” yang cepat dalam kehidupan di lingkungan kelas tersebut. Apa saja yang terjadi di lingkungan kelas selalu bersamaan dan cepat. Interaksi pengajar dan pelajar, interaksi antar pelajar itu sendiri terjadi berpuluh-puluh kali dalam satu hari dan dalam tempo yang cepat. d. Lingkungan kelas bersifat tidak dapat diramalkan (unpredictable)

Segala kejadian-kejadian dalam lingkungan kelas dapat berlangsung secara cepat dan tidak diduga. Proses belajar mengajar dapat saja terganggu bila ada pelajar yang datang terlambat atau listrik tiba-tiba padam. Kejadian-kejadian tersebut akan mempengaruhi proses belajar itu sendiri.

e. Lingkungan kelas bersifat umum (public)

(44)

f. Lingkungan kelas memiliki nilai sejarah (historis)

Arti dari tingkah laku pengajar dan pelajar tergantung dari apa yang telah terjadi pada saat-saaat sebelumnya. Bagaimana tingkah laku individu saat ini adalah juga tergantung dari pengalaman-pengalamannya yang ia dapatkan di lingkungan itu.

2.2.4 Dimensi-dimensi iklim kelas

Beberapa peneliti motivasi memfokuskan pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi orientasi tujuan penguasaan (mastery goal orientation). Walaupun hal tersebut dipengaruhi oleh teori tujuan (goal theory), namun relevan dengan struktur di dalam kelas. Epstein (1989 dalam Pintrich dan Schunk, 1996) mengidentifikasi enam faktor yang terdapat di dalam kelas yang mempengaruhi motivasi atau orientasi tujuan siswa, umumnya disingkat TARGET. Keenam faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tugas yang harus dikerjakan oleh siswa (Task)

(45)

2. Otonomi yang diberikan pada siswa ketika mereka sedang mengerjakan

tugas (Authority)

Dimensi Authority memperlihatkan kesempatan yang dapat siswa gunakan untuk memainkan peran kepemimpinan dan mengembangkan rasa kemandirian dan mengontrol aktivitas belajar. Authority sangat menunjang dengan memperbolehkan siswa untuk berparisipasi dalam pengambilan keputusan, memberikan siswa pilihan-pilihan dan peran kepemimpinan, dan mengajarkan siswa kemampuan agar dapat memiliki tanggung jawab dalam belajar. Persepsi siswa terhadap kompetensi akan meningkat di dalam kelas yang memberikan kemandirian dalam kadar yang lebih besar. 3. Pemberian penghargaan bagi prestasi siswa (Recognition)

Dimensi Recognition berhubungan dengan penggunaan hadiah, insentif, dan penghargaan yang memiliki konsekuensi penting terhadap motivasi siswa dalam belajar. Untuk meningkatkan orientasi tujuan penguasaan, Ames (1992 dalam Pintrich dan Schunk, 1996) merekomendasikan agar guru menghargai usaha, peningkatan, dan hasil belajar siswa; memberikan kesempatan bagi seluruh siswa untuk mendapatkan hadiah; dan menggunakan bentuk penghargaan yang berbeda.

4. Pengorganisasian kelas sehingga siswa dapat saling bekerja sama dan

berinteraksi (Grouping)

(46)

guru sebaiknya menyediakan kesempatan bagi siswa untuk bekerja sama dalam kelompok dan interaksi antar sesama siswa di dalam kelas.

5. Pelaksanaan evaluasi (Evaluation)

Dimensi Evaluation meliputi metode yang digunakan untuk memonitor dan menghitung pembelajaran yang siswa lakukan. Beberapa strategi evaluasi yang efektif untuk meningkatkan kualitas motivasi siswa adalah dengan mengevaluasi peningkatan dan penguasaan siswa, memberikan kesempatan bagi siswa untuk meningkatkan pekerjaan mereka, metode evaluasi yang berbeda, dan menggunakan evaluasi khusus.

6. Penggunaan waktu di kelas yang berkaitan dengan penentuan waktu penyelesaian tugas oleh siswa dan fleksibilitas jadwal kegiatan (Time) Dimensi Time mengarah pada ketepatan dari suatu tugas yang harus dikerjakan, tahapan instruksi, dan waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi tugas. Dimensi Time ini berhubungan erat dengan desain dari tugas itu sendiri.

2.2.5 Persepsi siswa mengenai iklim kelas

(47)

mendalam, dan pada akhirnya akan membuat siswa lebih terlibat dalam proses belajar mengajar.

Church, Elliot dan Gable (2001) menyebutkan dari keenam faktor yang telah disebutkan sebelumnya, ada tiga hal yang paling penting yang sangat mempengaruhi pembentukan orientasi tujuan. Yang pertama diambil dari “kategori siswa”, yaitu persepsi siswa terhadap kemampuan guru untuk menyampaikan materi ajar secara menarik, sehingga mendorong siswa melakukan pemikiran kritis dalam belajar dan menunjukkan aktivitas belajar yang membutuhkan pemikiran tingkat tinggi. Guru yang dipersepsi mampu menyampaikan materi ajar dengan menarik akan mendorong terbentuknya orientasi tujuan penguasaan. Selain itu, dalam persepsi terhadap pengajaran guru ini juga terlihat adanya metode pengajaran yang bersifat pemusatan terhadap siswa, yaitu metode yang menjadikan siswa sebagai pusat perhatian, guru memiliki harapan tinggi terhadap siswa, guru mampu menciptakan suasana belajar yang menarik, dan mendorong peserta didik untuk berpikir sendiri serta melakukan organisasi materi ajar sehingga mendorong siswa untuk lebih termotivasi dalam belajar. Metode pengajaran ini akan mendorong terbentuknya orientasi tujuan penguasaan. Sebaliknya, metode lain bersifat pemusatan terhadap guru, yaitu metode yang menjadikan guru sebagai pusat, tidak memiliki harapan tinggi terhadap siswa dan tidak mendorong siswa untuk berpikir mandiri dan mengorganisasikan materi ajar (McCombs & Whisler, 1997).

(48)

pembelajaran. Persepsi terhadap evaluasi akan mendorong siswa untuk mengadopsi orientasi tujuan performa. Ames dan Archer (1988) menemukan bahwa situasi kelas yang terbentuk dapat mempengaruhi orientasi tujuan dan selanjutnya mendorong perilaku yang berbeda pada siswa sesuai dengan orientasi tujuan yang diadopsi. Berdasarkan evaluasi yang diberikan guru, ada dua macam situasi kelas yang dapat dipersepsi siswa, yaitu situasi kelas yang menekankan pada perbandingan kemampuan kognitif secara sosial dan situasi kelas yang menekankan pada peningkatan diri, partisipasi, usaha dan pendekatan belajar yang dilakukan siswa. Persepsi situasi kelas yang menekankan partisipasi, usaha dan pendekatan belajar yang dilakukan peserta didik akan mendorong siswa untuk mengadopsi orientasi tujuan penguasaan, sedangkan persepsi terhadap situasi kelas yang menekankan perbandingan secara kognitif akan mengarahkan siswa pada orientasi tujuan performa.

Hal ketiga yang diambil dari kategori “pengenalan kembali dan evaluasi”, yaitu persepsi siswa mengenai pencapaian nilai dalam evaluasi yang diberikan. Persepsi akan sulitnya memperoleh nilai yang baik akan berdampak negatif terhadap prestasi belajar karena akan mendorong timbulnya orientasi tujuan performa dan menimbulkan kecemasan.

(49)

secara tak langsung mempengaruhi penggunaan strategi belajar (strategi self-regulated learning).

2.3 Penelitian-penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai strategi self-regulated learning yang dilakukan oleh Zimmerman dan Martinez-Pons (1988) pada siswa sekolah menengah menghasilkan empat belas kategori strategi self-regulated learning yang meliputi

self-evaluation, organizing and transforming, goal-setting and planning, seeking

information, keeping records and monitoring, environmental structuring,

self-consequences, rehearsing and memorizing, seeking peer, teacher, and adult

assistance, and reviewing notes, tests, or textbooks, ditambah satu respon yang

tidak termasuk strategi self-regulated learning yang diberi label other.

Dalam Santrock (2008) para peneliti telah menemukan bahwa siswa berprestasi tinggi sering kali merupakan siswa yang juga mampu melakukan pengaturan diri sendiri (Paris & Paris, 2001; Pintrich, 2000; Pintrich & Schunk, 2002; Zimmerman, 1998, 2000, 2001; Zimmerman & Schunk, 2001). Misalnya, dibandingkan dengan siswa berprestasi rendah, siswa berprestasi tinggi menentukan tujuan yang lebih spesifik, menggunakan lebih banyak strategi belajar, memonitor sendiri proses belajar mereka, dan lebih sistematis dalam mengevaluasi kemajuan mereka sendiri.

(50)

dijelaskan bahwa dibutuhkan faktor lain disamping kecerdasan, yaitu faktor motivasi dan self-regulated learning (Hawadi, 2004).

Zimmerman dan Martinez-Pons (1988) menyebutkan bahwa faktor lingkungan dan motivasi mempengaruhi siswa dalam menggunakan strategi self-regulated

learning. Hal ini dikarenakan siswa juga menggunakan strategi self-regulated

learning yang didasarkan pada faktor lingkungan seperti environmental

structuring, seeking social assistance from teacher, dan seeking or reviewing

information. Karenanya, faktor lingkungan atau dalam penelitian ini lebih

diarahkan pada lingkungan iklim kelas ini memiliki pengaruh tersendiri terhadap strategi yang akan digunakan oleh siswa. Karena dalam teori sosial kognitif, ketiga faktor yang terdapat di dalamnya saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain, meskipun akan berbeda kadarnya sesuai dengan konteks (kondisi) yang terjadi.

(51)

2.4 Kerangka Berpikir

Lingkungan kelas dan iklim yang tercipta di dalamnya merupakan salah satu aspek dalam konsep self-regulated learning, yaitu aspek environment.

Lingkungan kelas akan mempengaruhi aspek lain dalam konsep self-regulated learning, yaitu person dan behavior. Dimensi-dimensi dalam lingkungan kelas ini akan mempengaruhi aspek person, yaitu bagaimana siswa memproses dimensi-dimensi dalam lingkungan kelas itu sehingga menghasilkan persepsi dan selanjutnya persepsi itu sendiri akan menjadi penggerak dari perilaku siswa tersebut. Bila ia mempersepsi lingkungan kelasnya dengan baik, maka orientasi belajar yang diadopsi adalah orientasi tujuan penguasaan yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku belajarnya, salah satunya dengan menggunakan strategi

self-regulated learning.

Strategi self-regulated learning merupakan implementasi dari persepsi yang dihasilkan oleh siswa itu sendiri terhadap dimensi-dimensi lingkungan kelas. Strategi self-regulated learning ini sangat berguna bagi siswa, karena dengan menggunakan strategi self-regulated learning, akan membantu siswa dalam mencapai prestasi belajar yang memuaskan.

Dalam Church, Elliot dan Gable (2001) disebutkan bahwa persepsi iklim kelas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tujuan belajar yang bersifat penguasaan terhadap kompetensi yang diharapkan dan penguasaan terhadap tugas-tugas yang diberikan (mastery goals). Hal ini sesuai dengan strategi

(52)

tujuan belajar yang telah ditetapkan dengan melakukan serangkaian usaha yang aktif.

Serangkaian strategi self-regulated learning ini juga merupakan implementasi dari persepsi siswa. Sehingga apa yang siswa persepsi akan lingkungan kelasnya akan mempengaruhi strategi yang akan digunakannya.

Berdasarkan hal tersebut, diduga ada hubungan antara persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning. Jika persepsi tentang iklim kelas positif maka akan muncul perilaku-perilaku belajar yang baik, dan sebaliknya jika persepsi tentang iklim kelas negatif maka kemungkinan siswa tidak menunjukkan perilaku belajar yang baik.

Kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Persepsi Positif

Dimensi-dimensi iklim kelas berupa persepsi siswa mengenai kemampuan guru menyampaikan materi dan persepsi siswa mengenai metode pengajaran guru (kategori Task), persepsi siswa mengenai evaluasi yang diberikan guru (kategori

Evaluation), dan persepsi siswa mengenai pencapaian nilai dalam evaluasi yang

diberikan guru (kategori Recognition dan Evaluation). Dimensi-dimensi

Iklim Kelas

Persepsi Negatif

12 Strategi Self-regulated

(53)

2.5 Hipotesis

Dari kerangka berpikir di atas, penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: H1: “Ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan.”

H0: “Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi tentang iklim kelas dengan penggunaan strategi self-regulated learning siswa SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan.”

H2:”Ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan strategi self-regulated

learning siswa putra dan siswa putri.”

H02:”Tidak ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan strategi

(54)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, variabel penelitian, definisi variabel dan definisi operasional variabel, populasi dan sampel, instrumen penelitian, proses uji coba instrumen, analisis data, dan prosedur penelitian.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kuantitatif. Dalam Santoso (2007) penelitian kuantitatif (pendekatan rasional-empiris) dimulai dengan problematik yang dihadapi penulis. Problematik atau permasalahan tersebut dikaji secara teoritis dan dicari dasar-dasar rasionalitasnya. Berdasarkan kajian teoritis yang ada, dirumuskan hipotesis atau jawaban sementara atau dugaan atas masalah tersebut. Kemudian dilakukan pengumpulan data empiris, untuk menguji hipotesis tersebut. Atas dasar pengujian atau analisa data diambil kesimpulan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak.

(55)

3.2 Variabel Penelitian

Kerlinger (2000) membagi variabel ke dalam dua macam yaitu variabel bebas

(independent variable) yaitu variabel yang dipandang sebagai sebab kemunculan

varians. Variabel lainnya ialah terikat (dependent variable) yaitu konsekuensi atau yang dipandang sebagai akibat. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu: Variabel bebas (independent variable) : Persepsi tentang iklim kelas

Variabel terikat (dependent variable) : Penggunaan strategi self- regulated learning

3.3 Definisi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

3.3.1 Definisi variabel

a. Mengacu pada Matlin (2002), persepsi didefinisikan sebagai penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk mengolah dan menginterpretasikan stimulus yang diterima oleh indera. Stimulus dalam iklim kelas dapat berupa kegiatan belajar yang spesifik, metode pengajaran oleh guru, perlengkapan dan penilaian (evaluasi). Konsep ini mengacu pada definisi iklim kelas yang dikemukakan oleh Engel dan Tannenbaum (1973 dalam Ramelan, 1989).

(56)

3.3.2 Definisi operasional variabel

Persepsi tentang iklim kelas yang dimaksud adalah skor yang diperoleh melalui pengukuran terhadap tiga hal yang paling mempengaruhi orientasi tujuan yaitu persepsi siswa mengenai kemampuan guru menyampaikan materi dan metode pengajaran oleh guru (kategori Task), persepsi siswa mengenai evaluasi yang diberikan guru (kategori Evaluation), dan persepsi siswa mengenai pencapaian nilai dalam evaluasi yang diberikan guru (kategori Recognition dan Evaluation).

Sedangkan strategi self-regulated learning yang dimaksud adalah skor yang diperoleh melalui pengukuran terhadap dua belas strategi self-regulated learning

yang disusun oleh Zimmerman dan Martinez-Pons yang meliputi evaluasi diri

(self-evaluation), pengaturan (organizing and transforming), penetapan dan

perencanaan tujuan (goal setting and planning), pencarian informasi (seeking information), pencatatan (keeping records and monitoring), konsekuensi diri (self

consequences), pengulangan dan mengingat (rehearsing and memorizing),

meminta bantuan teman (seeking peer assistance), meminta bantuan guru (seeking teacher assistance), mengulang catatan (reviewing notes), mengulang ujian atau tugas (review test/work), dan membaca buku teks (review text book).

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Jumlah populasi dan sampel

(57)

(sebelas) SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan yang berjumlah 360 orang sebagai populasi target karena siswa kelas XI dianggap sudah melakukan proses adaptasi dengan lingkungan sekolah dan lingkungan kelas selama kurang lebih satu tahun, dengan sebaran sebagai berikut:

Tabel 3.1

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi (Hasan, 2002).

Slovin dalam Sevilla (2006) menjelaskan bahwa dalam menentukan ukuran sampel dari suatu populasi dapat menggunakan rumus:

n = ukuran sampel

N = ukuran populasi

e = nilai kritis yang diinginkan (persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel)

n = N

1 + Ne2

(58)

3.4.2 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

random sampling technique yaitu metode pengambilan sampel dimana setiap

individu dalam populasi tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih (Nasution, 1982). Setelah melakukan pengundian, yang menjadi sampel adalah kelas XI IPA 2 (42 siswa) dan kelas IPS 2 (38 siswa).

3.5 Instrumen Penelitian

Untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini penulis menggunakan angket yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Bagian pertama berisi data subjek.

(59)

Tabel 3.2

Blue print skala persepsi tentang iklim kelas (uji coba) No Indikator Favorable Unfavorable Jumlah

1 Kemampuan dan

c. Bagian ketiga berisi skala penggunaan strategi self-regulated learning

yang didasarkan pada dua belas strategi yang dikembangkan oleh Zimmerman dan Martinez-Pons (1988). Kedua belas strategi tersebut adalah evaluasi diri (self-evaluation), pengaturan (organizing and

transforming), penetapan dan perencanaan tujuan (goal setting and

planning), pencarian informasi (seeking information), pencatatan (keeping

records and monitoring), konsekuensi diri (self consequences),

pengulangan dan mengingat (rehearsing and memorizing), meminta bantuan teman (seeking peer assistance), meminta bantuan guru (seeking

teacher assistance), mengulang catatan (reviewing notes), mengulang

(60)

Tabel 3.3

Blue print skala strategi self-regulated learning (uji coba) No Indikator Favorable Unfavorable Jumlah

1 Evaluasi diri 1, 3, 4, 5, 7, 9,

7 Pengulangan dan Mengingat

30, 31, 45. 38, 44, 46. 6 8 Mencari Bantuan dari

Teman

32, 39. 43, 74. 4

9 Mencari Bantuan dari Guru

33, 76. 40, 73. 4

10 Peninjauan Ulang Catatan

20, 71. 34, 72. 4

11 Peninjauan Ulang Ujian atau Tugas

21, 75. 42, 70. 4

12 Peninjauan Ulang Buku Teks

67, 68. 41, 69. 4

Jumlah 45 33 78

Kedua skala di atas menggunakan skala Likert dengan jenjang lima pilihan, agar lebih jelas dapat dilihat pada tabel di bawah berikut ini:

Tabel 3.4 Skor skala

Favorable Skor Unfavorable Skor

Sangat sesuai 5 Sangat sesuai 1

Sesuai 4 Sesuai 2

Netral 3 Netral 3

Tidak sesuai 2 Tidak Sesuai 4

(61)

3.6 Proses Uji Coba Instrumen

Dalam menentukan instrumen penelitian dilakukan beberapa tahapan yaitu:

1. Menentukan teori yang akan digunakan sebagai dasar penentuan instrumen kedua skala yaitu teori dimensi iklim kelas yang dikemukakan oleh Epstein (1988 dalam Pintrich dan Schunk, 1996) serta memfokuskan pada tiga hal yang paling mempengaruhi orientasi tujuan dan selanjutnya berkaitan erat dengan perilaku belajar siswa dan untuk skala penggunaan strategi self-regulated learning digunakan strategi-strategi yang dikembangkan oleh Zimmerman dan Martinez-Pons (1988).

2. Membuat item pernyataan untuk skala persepsi iklim kelas dan strategi self-regulated learning.

3.7 Analisis Data

(62)

3.8 Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Subjek penelitian: (1) meminta izin kepada Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Tangerang Selatan, (2) menentukan tanggal penelitian dengan Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Tangerang Selatan.

b. Alat: (1) membuat skala persepsi tentang iklim kelas dan skala penggunaan strategi self-regulated learning serta (2) melakukan uji coba dengan menyebar kuesioner kepada 77 siswa dengan kriteria yang sama dengan sampel penelitian, (3) menganalisa item yang telah diuji coba, (4) menyusun dan merapikan kembali skala yang telah diuji coba untuk kemudian disebarkan kepada subjek penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

(63)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Subjek Penelitian

Berikut ini akan diuraikan gambar responden dalam penelitian ini berdasarkan

jenis kelamin.

Tabel 4.1

Responden berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki 35 39%

Perempuan 55 61%

Total 90 100%

Berdasarkan data pada tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa dari 90

responden penelitian ini, 55 orang (61%) berjenis kelamin perempuan, dan 35

orang (39%) berjenis kelamin laki-laki. Dalam penelitian ini jumlah responden

berjumlah 90 siswa yaitu 25% dari keseluruhan jumlah siswa kelas XI sebanyak

360 siswa.

4.2 Hasil Uji Instrumen Penelitian

Setelah dilakukan uji instrumen penelitian pada tanggal 5 Maret 2010 terhadap

77 orang siswa kelas XI SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan, maka dilakukan

Gambar

Gambar 2.1 tiga aspek yang saling berhubungan dalam proses self-regulated learning (diadaptasi dari Zimmerman, 1989).
Tabel 3.3
Tabel 4.1 Responden berdasarkan jenis kelamin
BlueprintTabel 4.2  Skala Persepsi Tentang Iklim Kelas
+7

Referensi

Dokumen terkait