PERBANDINGAN EFEK TERAPI FLUTICASONE FUROATE SEMPROT HIDUNG DAN METILPREDNISOLON ORAL PADA POLIP HIDUNG DINILAI DARI
PERUBAHAN JUMLAH SEL RADANG DAN STADIUM POLIP HIDUNG
Tesis
Oleh:
EDWARD SURYANTA SEMBIRING
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERBANDINGAN EFEK TERAPI FLUTICASONE FUROATE SEMPROT HIDUNG DAN METILPREDNISOLON ORAL PADA POLIP HIDUNG DINILAI DARI
PERUBAHAN JUMLAH SEL RADANG DAN STADIUM POLIP HIDUNG
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher
Oleh:
EDWARD SURYANTA SEMBIRING
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Medan, 6 Oktober 2014
Tesis dengan judul
PERBANDINGAN EFEK TERAPI FLUTICASONE FUROATE SEMPROT HIDUNG DAN METILPREDNISOLON ORAL PADA POLIP HIDUNG DINILAI DARI
PERUBAHAN JUMLAH SEL RADANG DAN STADIUM POLIP HIDUNG Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing
Ketua
NIP. 140202219
dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL
Anggota
NIP. 19790620 200212 2 003
Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL
Diketahui oleh
Ketua Departemen Ketua Program Studi
dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL(K)
NIP: 19471130 198003 1 002 NIP: 19790620 200212 2 003 dr. Farhat, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K)
Dekan Fakultas Kedokteran USU Ketua TKP-PPDS
Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD, KGEH
KATA PENGANTAR
Salam sejahtera, saya sampaikan rasa sukur kepada Tuhan Yesus
Kristus karena dengan rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis
ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk
memperoleh gelar Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari
sempurna, baik isi maupun bahasannya. Walaupun demikian, mudah-mudahan
tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian tentang Perbandingan
Efek Terapi Fluticasone furoate Semprot Hidung dan Metilprednisolon Oral
pada Polip Hidung Dinilai dari Perubahan Jumlah Sel-sel Radang dan
Stadium Polip Hidung.
Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus
hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
Dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL atas kesediaannya sebagai ketua
pembimbing penelitian ini, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL(K) dan dr. Farhat, M.Ked
(ORL-HNS), Sp.THT-KL(K) sebagai anggota pembimbing serta dr. Stephen
Udjung, Sp.PA dan Prof. Dr. Albiner Siagian, MSi sebagai pembimbing ahli. Di
tengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak
memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat
Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang
berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr.
Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen
THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang
diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis
THT-KL di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah
mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di rumah sakit yang beliau
pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa
pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.
Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman
Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr. Tengku Siti
Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU sebelumnya Prof. dr.
dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis
THT-KL sampai selesai.
Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan,
KL(K), dr. Yuritna Haryono, KL (K), Prof. dr. Askaroellah Aboet,
Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir
Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T. Sofia Hanum,
Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin,
Sp.THT-KL, almh dr. Hafni, Sp.THT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati Harahap,
SpTHT-KL, dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr.
Siti Nursiah, Sp.THT-KL(K), dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry
Agustaf Asroel, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Farhat, M.Ked (ORL-HNS),
Sp.THT-KL(K), Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri,
Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira, M.Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Devira
Zahara, M.Ked HNS), Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked
(ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL, dr. Ferryan
Sofyan, M.Kes, SpTHT-KL dan dr. Ramlan Sitompul, Sp.THT-KL. Terima kasih
atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.
Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL atas
bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.
Yang mulia dan tercinta Ayahanda Drs. Dolin Sembiring dan Ibunda
Lompoh Pinem, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak
terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang
telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan,
tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi
kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kepada Bapa di Surga agar dengan
umur panjang, kesehatan dan kesejahteraan, Engkau memberkati kedua orang
tua kami.
Kepada Abang dan Adik, Antonius Wilson Sembiring dan Hesty Meitaria
Sembiring dan kakak ipar penulis mengucapkan terima kasih atas dorongan
serta doa kepada penulis.
Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
Akhirnya ijinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala
kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga
segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama
mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Bapa di
Surga, Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amen.
Medan, Juni 2014
Penulis
ABSTRAK
Pendahuluan : Polip hidung adalah penyakit inflamasi berat saluran nafas atas
dengan berbagai faktor predisposisi dan patogenesis yang berkaitan sehingga
kortikosteroid merupakan pilihan terapi. Kortikosteroid menginduksi apoptosis
dalam mengurangi jumlah sel-sel radang. Proses ini akan berdampak pada
berkurangnya ukuran polip. Kortikosteroid semprot hidung bersifat lipofilik
sehingga mudah memasuki sitoplasma sel target dan berikatan dengan reseptor
glukokortikoid yang banyak di saluran nafas. Efektfitas terapi dapat dinilai dari
perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium polip.
Tujuan : Mengetahui perbandingan efektifitas terapi kortikosteroid semprot
hidung dan kortikosteroid oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah
sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) dan stadium.
Metode : Populasi adalah penderita polip hidung yang dibiopsi dan diobati di
RSUP. H. Adam Malik periode Januari 2013 s.d. Juni 2014. Perubahan jumlah
sel-sel radang dinilai dengan tehnik pewarnaan Haemathoxylin eosin. Gambaran
histopatologi berdasarkan klasifikasi Hellquist, 1996. Penentuan stadium
berdasarkan Lund and Mackay, 1995. Semua data yang diperoleh dianalisis dan
diuji statistik menggunakan t-test dengan tingkat kemaknaan 5%.
Hasil penelitian : Dari 30 sampel penelitian, laki-laki 63,33%, terbanyak kelompok
usia ≥ 40 tahun (66,67%). Stadium terbanyak adalah stadium dua. Dominan polip
neutrofilik (60%) sedangkan polip eosinofilik 40%. Sebanyak 16 sampel diterapi
dengan Fluticason furoate semprot hidung. Neutrofil, limfosit dan sel plasma
menunjukkan penurunan jumlah yang bermakna namun tidak pada eosinofil.
Stadium menurun bermakna setelah terapi. Sementara pada kelompok yang
diterapi Metilprednisolon oral, seluruh sel radang menunjukkan penurunan jumlah
yang bermakna. Stadium menurun bermakna setelah terapi. Tidak ada
perbedaan yang bermakna pada penurunan jumlah sel-sel radang dan stadium
pada kedua kelompok sampel.
Kesimpulan : Tidak ada perbedaan efek terapi yang bermakna antara Fluticason
furoate semprot hidung dan Metilprednisolon oral pada polip hidung dinilai dari
perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium.
Kata kunci : Polip nasi, polipektomi medikamentosa, fluticason furoate,
ABSTRACT
Background: Nasal polyps (NP) is the ultimate inflammation of the nose and paranasal sinuses predisposed by multiple risk factors of various overlapping pathogenesis so corticosteroid form the mainstay of conservative therapy. Corticosteroids promote apoptosis in reducing inflammatory cells to shrinkage of NP. Lipophilicity also correlates with easier to enter cytoplasmic target cells and bounded with glucocorticoids receptors that found in respiratory tract. Therapeutic effectivity can be observed from the decrease of inflammatory cells dan NP stadium.
Purpose: To compare the therapeutic effectivity of Fluticasone furoate (FF) nasal spray with oral metilprednisolon that abserve from decreasing of inflammatory cells and shrinkage of NP.
Material and Methods: Population is patients with NP that biopsied and treated in Adam Malik general hospital since January 2013 until June 2014. Inflammatory cells counted below microscope with Haematoxylin eosin staining. Histopathologic classified based on Hellquist 1996 classification. Stagiung of NP based on Mackay and Lund 1995.
Results: from 30 patients, male 63,33%, mostly ≥ 40 years old (66,67%) and 2nd
Conclusion: There is no differencies significantly between FF nasal spray and metilprednisolon in decreasing inflammatory cells and down staging of NP. stage. Neuthropylic polyp 60% and eosinophilic polyp 40%. Patients classified into group in 16 subjects treated with FF nasal spray and 14 subjects treated with oral methylprednisolon. Neutrophil, lymphocite and plasma cell were decreased significantly after treated FF nasal spray, but not for eosinophil. Staging of NP decreased significantly. All of inflammatory cells were decreased significantly after treated with oral methylprednisolone. Staging of NP decreased significantly. There is no differencies significantly in decreasing inflammatory cells and staging of NP between patients treated with FF nasal spray or oral methylprednisolone.
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN …….……….... xiii
BAB 1 : PENDAHULUAN ……….…………... 1
2.1.6. Klasifikasi histopatologi polip hidung ...……. 9
2.1.7. Histomorfologi dan patomekanisme polip ... 12
2.1.8. Diagnosis ………... 15
2.1.8.1. Anamnesis ………... 15
2.1.8.2. Pemeriksaan fisik ………... 15
2.1.8.3. Pemeriksaan radiologi ………... 15
2.1.9. Stadium polip...……… 15
2.1.10.Penatalaksanaan polip ………... 16
2.2. Fisiologi Kortikosteroid ………….………... 19
2.3. Kortikosteroid ...……….. 19
2.3.1. Kortikosteroid semprot hidung ..…………... 22
2.3.2. Kortikosteroid oral ...………. 27
2.4. Kerangka Teori Penelitian ……... 28
2.5. Kerangka Konsep Penelitian …….………... 29
2.6. Anatomi Hidung .………... 29
2.7. Fisiologi Hidung .………... 31
BAB 3 : METODOLOGI PENELITIAN ……….. 32
3.1. Jenis Penelitian ………...…….. 31
3.3. Populasi, Subjek penelitian dan Tehnik pengambilan subjek ...31
3.3.1. Populasi ……….……..………...…… 31
3.3.2. Subjek penelitian …….………...… 31
3.3.3. Tehnik pengambilan subjek ...………….. 33
3.4. Variabel Penelitian …...……… 33
3.5. Definisi Operasional ……...………. 33
3.6. Alat dan Bahan Penelitian ……...……….. 38
4.1. Hasil Analisis Univariat ...………... 41
4.1.1. Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan jenis kelamin ...……... 41
4.1.2. Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan usia ……….42
4.1.3. Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan stadium ... 42
4.1.4. Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan tipe histopatologi ...….…... 43
4.1.5. Gambaran rerata jumlah neutrofil sebelum dan sesudah terapi …...……….. 43
4.1.6. Gambaran rerata jumlah eosinofil sebelum dan sesudah terapi ………...………. 43
4.1.7. Gambaran rerata jumlah limfosit sebelum dan sesudah terapi ...……….. 44
4.1.8. Gambaran jumlah rerata sel plasma sebelum dan sesudah terapi ………. 44
4.2. Hasil Analisis Bivariat ……….. 44
4.2.1. Gambaran rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi FF....……….. 44
4.2.2. Gambaran rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi metilprednisolon ..……… 45
4.2.3. Perbandingan rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi ...……… 45
4.2.4. Gambaran penurunan stadium polip setelah terapi FF ... 45
4.2.6. Perbandingan penurunan stadium polip setelah
terapi……... 46
BAB 5 : PEMBAHASAN ….………... 47
BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN ………….………... 56
6.1. Kesimpulan ………... 56
6.2. Saran ………...… 57
DAFTAR PUSTAKA ………. 58
PERSONALIA PENELITIAN ………... 64
LAMPIRAN : 1. Status Penelitian ………...……… 66
2. Lembar Penjelasan Agar Ikut Serta dalam Penelitian …..71
3. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan …... 73
4. Ethical Clearence ……….. 74
5. Rekapitulasi hasil penelitian ………... 75
6. Out put statistic ……….. 77
7. SK Pembimbing ………..…… 102
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Komponen polip hidung …...……… 13
Tabel 2 Teori pembentukan polip hidung …...……….. 14
Tabel 3 Stadium polip menurut Mackay and Lund 1995 ……… 15
Tabel 4 Stadium polip menurut Yamada et al 2000 ………. 15
Tabel 5 Mediator Proinflamasi yang ditekan Kortikosteroid Intranasal ... 21
Tabel 6 Kortikosteroid Intranasal………. 22
Tabel 7 Perkiraan Bioafibilitas Kortikosteroid Semprot Hidung …... 23
Tabel 8 Cara pemakaian kortikosteroid semprot hidung yang disarankan 25 Tabel 9 Perbandingan Kortikosteroid Semprot Hidung ... 26
Tabel 4.1.1 Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan jenis kelamin ……… 41
Tabel 4.1.2 Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan usia . 42 Tabel 4.1.3. Distribusi frekuensi penderita polip hidung rongga hidung berdasarkan stadium 42
Tabel 4.1.4 Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan terapi yang diberikan ………. 42
Tabel 4.1.5 Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan tipe histopatologi ……… 43
Tabel 4.1.6 Gambaran rerata jumlah neutrofil sebelum dan sesudah terapi. 43 Tabel 4.1.7 Gambaran rerata jumlah eosinofil sebelum dan sesudah terapi 43 Tabel 4.1.8 Gambaran rerata jumlah limfosit sebelum dan sesudah terapi … 43 Tabel 4.1.9 Gambaran rerata jumlah sel plasma sebelum dan sesudah Terapi……… 43
Tabel 4.2.1 Gambaran rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi FF ….…….……….. 44
Tabel 4.2.2 Gambaran rerata jumlah sel radang sebelum dan sesudah terapi Metilprednisolon ……… 44
Tabel 4.2.3 Perbandingan rerata jumlah sel radang sesudah terapi ……… 44
Tabel 4.2.4 Gambaran penurunan stadium polip setelah terapi FF …. 45
Tabel 4.2.5 Gambaran penurunan stadium polip setelah terapi Metilprednisolon ………. 46
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1A Edematous, Eosinophilic polyp ………. 7
Gambar 1B Edematous polyp dengan hyperplasia sel goblet ………... 7
Gambar 2A Jumlah sel goblet di epitel saluran nafas yang hyperplasia.. 7
Gambar 2B Polip dimana sebagian epitel saluran nafas menggantikan sel goblet ……… ….. 7
Gambar 3 Polip edematous dengan infiltrasi sel-sel inflamasi yang padat ………. 7
Gambar 4 Polip tipe inflamasi ……… 8
Gambar 5 Polip hidung dengan hiperplasia kelenjar seromusin …… 8
Gambar 6A Polip dengan stroma atipik ……… 9
Gambar 6B Tipe lain dari polip dengan stroma atipik ……… 9
Gambar 7 Algoritma penatalaksanaan polip hidung dan sinus paranasal ….. 15
Gambar 8 Metabolisme 200 μg MF, FP, Bud dan TAA ………...20
Gambar 9 Kerangka teori penelitian ……….. 24
Gambar 10 Kerangka konsep penelitian ……… 24
Gambar 11 Dinding lateral hidung ……… 25
DAFTAR SINGKATAN
BD : Beclomethasone dipropionate
bFGF : Basic fibroblast growth factor
BUD : Budesonide
CIC : Ciclesonide aqueous
CYP3A4 : Cytokhrom P3A4
EP3OS : European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps
FDA : Food and Drug Administration
FF : Fluticasone furoate
FLU : Flunisolide
FP : Fluticasone propionate
ICAM : Intercelluler adhesion molecule
Ig : Immunoglobulin
IL : Interleukin
MF : Mometasone furoate
TAA : Triamcinolone acetonide
TGF-β1 : Transforming Growth Factor- β1
ABSTRAK
Pendahuluan : Polip hidung adalah penyakit inflamasi berat saluran nafas atas
dengan berbagai faktor predisposisi dan patogenesis yang berkaitan sehingga
kortikosteroid merupakan pilihan terapi. Kortikosteroid menginduksi apoptosis
dalam mengurangi jumlah sel-sel radang. Proses ini akan berdampak pada
berkurangnya ukuran polip. Kortikosteroid semprot hidung bersifat lipofilik
sehingga mudah memasuki sitoplasma sel target dan berikatan dengan reseptor
glukokortikoid yang banyak di saluran nafas. Efektfitas terapi dapat dinilai dari
perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium polip.
Tujuan : Mengetahui perbandingan efektifitas terapi kortikosteroid semprot
hidung dan kortikosteroid oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah
sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) dan stadium.
Metode : Populasi adalah penderita polip hidung yang dibiopsi dan diobati di
RSUP. H. Adam Malik periode Januari 2013 s.d. Juni 2014. Perubahan jumlah
sel-sel radang dinilai dengan tehnik pewarnaan Haemathoxylin eosin. Gambaran
histopatologi berdasarkan klasifikasi Hellquist, 1996. Penentuan stadium
berdasarkan Lund and Mackay, 1995. Semua data yang diperoleh dianalisis dan
diuji statistik menggunakan t-test dengan tingkat kemaknaan 5%.
Hasil penelitian : Dari 30 sampel penelitian, laki-laki 63,33%, terbanyak kelompok
usia ≥ 40 tahun (66,67%). Stadium terbanyak adalah stadium dua. Dominan polip
neutrofilik (60%) sedangkan polip eosinofilik 40%. Sebanyak 16 sampel diterapi
dengan Fluticason furoate semprot hidung. Neutrofil, limfosit dan sel plasma
menunjukkan penurunan jumlah yang bermakna namun tidak pada eosinofil.
Stadium menurun bermakna setelah terapi. Sementara pada kelompok yang
diterapi Metilprednisolon oral, seluruh sel radang menunjukkan penurunan jumlah
yang bermakna. Stadium menurun bermakna setelah terapi. Tidak ada
perbedaan yang bermakna pada penurunan jumlah sel-sel radang dan stadium
pada kedua kelompok sampel.
Kesimpulan : Tidak ada perbedaan efek terapi yang bermakna antara Fluticason
furoate semprot hidung dan Metilprednisolon oral pada polip hidung dinilai dari
perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium.
Kata kunci : Polip nasi, polipektomi medikamentosa, fluticason furoate,
ABSTRACT
Background: Nasal polyps (NP) is the ultimate inflammation of the nose and paranasal sinuses predisposed by multiple risk factors of various overlapping pathogenesis so corticosteroid form the mainstay of conservative therapy. Corticosteroids promote apoptosis in reducing inflammatory cells to shrinkage of NP. Lipophilicity also correlates with easier to enter cytoplasmic target cells and bounded with glucocorticoids receptors that found in respiratory tract. Therapeutic effectivity can be observed from the decrease of inflammatory cells dan NP stadium.
Purpose: To compare the therapeutic effectivity of Fluticasone furoate (FF) nasal spray with oral metilprednisolon that abserve from decreasing of inflammatory cells and shrinkage of NP.
Material and Methods: Population is patients with NP that biopsied and treated in Adam Malik general hospital since January 2013 until June 2014. Inflammatory cells counted below microscope with Haematoxylin eosin staining. Histopathologic classified based on Hellquist 1996 classification. Stagiung of NP based on Mackay and Lund 1995.
Results: from 30 patients, male 63,33%, mostly ≥ 40 years old (66,67%) and 2nd
Conclusion: There is no differencies significantly between FF nasal spray and metilprednisolon in decreasing inflammatory cells and down staging of NP. stage. Neuthropylic polyp 60% and eosinophilic polyp 40%. Patients classified into group in 16 subjects treated with FF nasal spray and 14 subjects treated with oral methylprednisolon. Neutrophil, lymphocite and plasma cell were decreased significantly after treated FF nasal spray, but not for eosinophil. Staging of NP decreased significantly. All of inflammatory cells were decreased significantly after treated with oral methylprednisolone. Staging of NP decreased significantly. There is no differencies significantly in decreasing inflammatory cells and staging of NP between patients treated with FF nasal spray or oral methylprednisolone.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polip hidung adalah penyakit inflamasi yang berat pada saluran nafas atas dengan berbagai faktor predisposisi dan jalur patogenesis yang saling berkaitan (Wardani 2011).
Prevalensi polip hidung sekitar 0,2-4,3%. Prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi polip hidung dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%. Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip hidung sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3%. Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Maret 2004 sampai Februari 2005 kasus polip hidung sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita (35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus polip hidung sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21 perempuan (48,8%) (Bachert 2011; Dewi 2011; Munir 2008; Fokkens, Lund and Mullol 2007; Storms, Yawn & Fromer 2007; Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005; Akerlund, Melen, Holmberg, Bende 2003).
Lund (1995) melaporkan bahwa histopatologi polip khas dengan stroma yang oedem, hiperplasia sel goblet dan infiltrasi sel-sel inflamasi. Fibroblas, sel-sel epitel, dan sel-sel endotelial adalah sel-sel lain yang ikut membentuk polip. Ferguson & Orlandi (2006) mengatakan bahwa Eosinofil memegang peranan penting dalam patofisiologi polip hidung. Berdasarkan histopatologi, sekitar 85-90% adalah polip eosinofilik, ditandai dengan hiperplasia sel goblet dan penipisan membran basal dengan infiltrasi eosinofil yang dominan. Menurut Hellquist, ada empat tipe histopatologi polip hidung, antara lain : Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp), Chronic
Atypia. Berbeda dengan Ferguson & Orlandi, Pearlman dkk (2010) melaporkan bahwa di Asia, gambaran histopatologi polip hidung dominan neutrofilik.
Polip hidung merupakan manifestasi proses inflamasi. Pengobatan polip hidung dengan kortikosteroid semprot hidung dan kortikosteroid oral jangka pendek. Sejak Januari 2005, FDA hanya menerima kortikosteroid semprot hidung sebagai terapi polip hidung Kortikosteroid semprot hidung atau sistemik bekerja dengan mengurangi konsentrasi mediator inflamasi dan sel-sel inflamasi dengan cara inhibisi proliferasi sel dan meng-induksi apoptosis. Efek anti inflamasi ini tidak hanya berdampak pada sel-sel inflamasi seperti limfosit dan eosinofil tetapi juga sel-sel-sel-sel epitel dan fibroblas. Efikasi klinis kortikosteroid sebagai anti inflamasi dapat dilihat dari kemampuannya mengurangi infiltrasi eosinofil di saluran nafas dengan cara mencegah peningkatan kemampuan hidup dan mencegah aktifasi eosinofil. Kortikosteroid merupakan terapi konservatif pilihan untuk polip baik sebagai terapi utama maupun untuk mencegah kekambuhan. Tujuan penggunaan kortikosteroid adalah untuk mengurangi ukuran dan jumlah polip, membuka jalan nafas melalui hidung, memperbaiki kemampuan menghidu, mengurangi inflamasi, untuk mengurangi intensitas operasi, menunda operasi atau bahkan menghilangkan polip sehingga tidak perlu dioperasi lagi. Fokkens et al mendapati angka kekambuhan sekitar 5%-10% setelah operasi. Dalziel et al mendapati angka kekambuhan sekitar 28% setelah bedah sinus endoskopi fungsional dan sekitar 35% setelah polipektomi semprot hidung ((Bachert 2011; VLckova et al 2009; Newton & Ah-See 2008; Ferguson & Orlandi 2006; Watanabe, Kanaizumi, Shirasaki, Himi 2004).
tidak hanya berdampak pada sel-sel radang seperti limfosit, eosinofil, neutrofil dan sel plasma tetapi juga sel-sel epitel dan fibroblas. Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator. Kortikosteroid mengurangi penguatan reaksi peradangan dengan mengurangi pengikatan sel-sel radang dan juga menghambat proliferasi fibroblas dan sintesa matrix protein ekstraseluler. Hal ini mengakibatkan berkurangnya sitokin dan sel-sel radang. Kortikosteroid mengurangi pelepasan mediator seperti histamine, prostanoid dan leukotrien sehingga jumlah sel-sel radang berkurang di mukosa
(Bachert,Watelet,Gevaert,Cauwenberge 2005; Yariktas et al 2005).
Kortikosteroid semprot hidung bersifat lipofilik sehingga dapat dengan mudah memasuki sitoplasma sel target dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid yang banyak terdapat di mukosa saluran nafas. Sifat lipofilik berhubungan dengan besarnya deposit kortikosteroid di jaringan jalan nafas, besarnya afinitas ikatan, lamanya masa kerja dan rendahnya kadar obat bebas yang berpotensi berikatan dengan reseptor kortikosteroid sistemik yang dapat menimbulkan efek samping serta lambatnya pelepasan kortikosteroid dari jaringan jalan nafas. Berkurangnya ukuran polip karena sekresi protein dan ekspresi gen inflamasi pada fibroblast berkurang. Fluticasone furoate secara bermakna menghambat translokasi NF-ĸB di fibroblas dan menekan aktifitas sitokin proinflamasi TNF-α. Berbeda dengan metilprenisolon yang mengurangi inflamasi eosinofil dan retensi albumin sehingga ukuran polip berkurang. (Sastre & Mosges 2012; Valera et al 2011; Bachert et al 2000).
Hidung Dinilai dari Perubahan Jumlah Sel-sel Radang dan Stadium Polip”. Pada penelitian ini peneliti tidak mengikutsertakan polip stadium 3 karena menurut kelompok studi Rinologi bahwa polip hidung stadium 3 di tatalaksana dengan operasi dengan pemberian kortikosteroid oral dosis tinggi (dosis maksimum 60 mg perhari) jangka pendek (9 hari) sebelum operasi.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, rumusan masalah penelitian adalah bagaimana perbandingan efek terapi kortikosteroid semprot hidung (FF) dan kortikosteroid oral (metilprednisolon) pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang dan stadium polip.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui perbandingan efek terapi FF semprot hidung dan metilprednisolon oral pada polip hidung dinilai dari perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) dan stadium polip.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) setelah terapi dengan FF semprot hidung.
2. Mengetahui perubahan jumlah sel-sel radang (neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma) setelah terapi dengan metilprednisolon oral.
4. Mengetahui perubahan stadium polip hidung setelah terapi metilprednisolon oral.
5. Mengetahui tipe histopatologi polip hidung di RSUP.H.Adam Malik Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Polip Hidung
2.1.1 Definisi
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Bentuk menyerupai buah anggur, lunak dan dapat digerakkan. Polip timbul dari dinding lateral hidung. Polip yang diakibatkan proses inflamasi biasanya bilateral (Schlosser & Woodworth 2009; Mangunkusumo & Wardani 2007).
2.1.2 Epidemiologi
Polip hidung biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun. Laki-laki lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1. Prevalensi polip hidung dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%. Prevalensi pada anak-anak jauh lebih rendah. Prevalensi polip hidung di Swedia sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia, prevalensi polip hidung sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa, prevalensi polip 2,1-4,3% (Storms, Yawn, Fromer 2007; Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005; Kirtsreesakul 2005; Akerlund, Melen, Holmberg, Bende 2003).
Yogyakarta, melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe 1 sekitar 20,8%, tipe 2 sekitar 58,3%, tipe 3 sekitar 16,7% dan tipe 4 sekitar 4,2%. (Dewi 2011; Munir 2008).
Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip hidung. Sekitar 14% penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip hidung. Etnis dan geografis memiliki peranan dalam patofisiologi polip. Pada populasi Caucasian dominan polip eosinofilik sementara di Asia dominan neutrofilik (Aaron, Chandra, Conley & Kern 2010).
2.1.3 Patogenesis polip hidung
Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada hubungan polip hidung dengan asthma dan pemeriksaan hidung menunjukkan tanda dan gejala alergi. Suatu meta-analisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa hidung (Kirtsreesakul 2005).
Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang dapat mencetuskan alergi. Polip hidung biasanya mengandung sangat sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak baik dan meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan pembentukan polip hidung (Kirtsreesakul 2005).
Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul 2005).
Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus atau Bacteroides fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada rhinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang sering ditemukan pada cystic fibrosis (Lund 1995).
2.1.4 Makroskopis
Secara makroskopik polip hidung tampak sebagai lesi non-neoplastik yang merupakan edema mukosa sinonasal, yang prolaps ke dalam rongga hidung (Choi et al 2006).
2.1.5 Mikroskopis
Secara mikroskopik didapatkan perubahan struktur epitel yaitu hiperplasia sel goblet, metaplasia skuamosa serta infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil, limfosit dan sel plasma. Selain itu terdapat pula edema hebat lamina propria disertai dengan akumulasi matriks protein dan penebalan membran basal. Pada tingkat seluler, proses inflamasi akan melibatkan epitel, sel dendritik, sel endothelial dan sel inflamasi seperti limfosit, eosinofil, neutrofil dan sel mast. Pada tingkat molekular banyak sekali gen-gen pro-inflamasi yang sudah dapat diidentifikasi (Liu et al 2004).
2.1.6 Klasifikasi histopatologi polip hidung (Hellquist 1996)
1. Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp)
Gambaran histopatologi berupa edematous stroma, hyperplasia goblet cells di epitel respiratori, didapatinya sejumlah besar eosinofil dan
dimana terdapat juga sejumlah sel inflamasi. Stroma yang edema sebagian terisi cairan yang membentuk rongga seperti pseudokista. Infiltrasi sel inflamasi dapat sangat tegas. Polip edematous biasanya bilateral.
A B
Gambar 1. A. Edematous, Eosinophilic Polyp. Terdapat banyak sel-sel inflamasi, paling banyak adalah eosinofil dan sel mast. Terlihat adanya penipisan membran basal (tanda
panah). B. Edematous polyp dengan hiperplasia sel goblet, penipisan membran basal (tanda panah) dan stroma longgar yang mengandung pseudocystic berisi cairan.
A B
Gambar 2. A. Adanya sejumlah sel goblet di epitel saluran nafas yang mengalami
hiperplasia. Kebanyakan sel-sel inflamasi tidak jelas, stroma yang edema didominasi
Gambar 3. Polip edematous dengan infiltrasi sel-sel inflamasi yang padat.
2. Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp)
Tidak adanya edema stroma dan hiperplasia sel goblet adalah tanda khas tipe histopatologi polip ini. Dijumpai sel goblet tetapi epitel devoid hiperplasia sel goblet. Sering terlihat adanya epitel squamous dan metaplasia epitel cuboidal. Terdapat penipisan membran basal walaupun tidak sejelas penipisan membran basal pada tipe eosinofilik. Sering terlihat adanya infiltrasi sel inflamasi dengan dominasi limfosit yang sering bercampur dengan eosinofil. Stroma mengandung sejumlah fibroblast dan tidak jarang terdapat fibrosis. Pada tipe ini sering kali terlihat adanya hiperplasia minimal kelenjar seromusin dan dilatasi pembuluh darah sering terlihat.
Gambar 4. Polip tipe inflamasi. Terdapat sebagian daeran epitel permukaan saluran
nafas yang mengalami metaplasia kuboidal tetapi tidak terdapat hiperplasia sel goblet.
Membran basal menunjukkan tidak adanya hialinisasi. Stroma mengandung jaringan ikat
dengan beberapa pembuluh darah yang mengalami dilatasi dan sejumlah besar dengan
infiltrasi limfosit. Terdapat banyak kelenjar seromusin, lebih banyak daripada polip
edematous.
3. Polyp with Hyperplasia of Seromucinous Glands
sebagai tubulocytic adenoma. Polip disusun oleh banyak kelenjar dengan sel silindris dengan inti sel ganjil terletak didepan bagian basal sel. Kelenjar biasanya berhubungan dengan overlying epitel dan menunjukkan ketiadaan atypia. Perbedaan dengan tumor kelenjar, pada tipe ini kelenjar terletak terpisah satu sama lain, berbeda dengan tumor dimana kelenjar sering kali saling bersentuhan bahkan lengket pada bagian leher satu sama lain. Tipe polip ini sangat jarang, hanya sekitar 5% dari seluruh polip.
Gambar 5. Polip hidung dengan hiperplasia kelenjar seromusin. Namun tidak terdapat
atipik.
4. Polyp with Stromal Atypia
Tipe ini adalah tipe yang paling jarang. Dapat dengan mudah dianggap sebagai suatu neoplasma jika ahli patologi anatomi tidak familiar dengan gambaran histopatologi ini. Secara makroskopis sama dengan polip hidung yang lain tetapi gambaran histopatologi ditandai dengan stroma yang atypik.
A
Gambar 6. A. Polip dengan stroma atipik. Stroma lebih gembur dengan sel-sel inflamasi
tetapi terdapat sejumlah sel bizarre dan sebagian berbentuk seperti bintang berselubung.
lain dari polip dengan stroma atipik. Sel-sel atipik terlihat berada di tengah gambar.
Terlihat inflamasi tegas di gambar A dan edema di gambar B.
2.1.7 Histomorfologi dan patomekanisme polip
Peradangan merupakan prinsip utama dalam patogenesis pembentukan dan pertumbuhan polip. Karakteristik polip hidung yang matang ditandai dengan proses peradangan yang tampak seperti pembentukan pseudokista yang kosong dan penumpukan sel-sel radang di subepitel, dimana eosinofil adalah sel yang dominan. Banyak penelitian yang fokus terhadap rekruitmen dan usia eosinofil di polip hidung. Sitokin dan kemokin bertindak sebagai mediator dalam proses ini. Pada polip yang kecil yang tumbuh dari mukosa meatus media yang normal pada penderita polip hidung bilateral, dijumpai sejumlah eosinofil pada masa awal pertumbuhan polip. Dari sini diduga ada penumpukan protein plasma yang diatur oleh eosinofil. Albumin dan protein plasma yang lain menumpuk didalam pseudokista bersama infiltrasi eosinofil. Histomorfologi polip didominasi oleh epitel yang rusak, membran basal yang menipis dan meradang dan terdapat sedikit jaringan stroma yang mengalami fibrosis, dengan minimal pembuluh darah dan kelenjar serta tidak adanya struktur saraf.
Peradangan eosinofil pada polip diatur oleh sel T yang teraktivasi. IL-5 memegang peranan penting dalam proses rekruitmen, aktivasi dan inhibisi apoptosis eosinofil.
TGF-β1, suatu sitokin dengan kerja menginhibisi sintesis IL-5. Produksi IL-5 yang tinggi dan tidak adanya TGF-β1 diduga menjadi penyebab utama lamanya usia eosinofil dan menfasilitasi degradasi jaringan matrix, kedua hal tersebut merupakan karakteristik struktur polip.
densitas eosinofil serta ekspresi VCAM-1 pada polip (Bachert, Watelet, Gevaert & Cauwenberge 2005).
Tabel 1. Komponen Polip Hidung.
Albumin dan protein plasma yang lain Histamin IL-1β, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8 Interferon-γ Faktor stimulasi koloni Granulosit-makrofag RANTES Faktor pertumbuhan fibroblas dasar EOTAXIN Faktor pertumbuhan endotel vaskular Selectin-P Faktor stimulasi koloni Granulosit-makrofag Selectin-E Faktor pertumbuhan pentransfer α-1 and β
-1
MMP-7, MMP-9 Faktor pertumbuhan turunan Keratinosit CD 4+, CD 8+
Adhesi intersel molekul-1 Makrofag
Adhesi sel vaskular molekul-1 Sel Mast
Faktor nekrosis tumor α
Sumber: Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005; Shun et al 2005; Bateman,
Fahy, Woolford 2002.
Tabel 2. Teori pembentukan polip hidung
Penelitian Mekanisme pembentukan
Ramanathan et al1 ↓ Respon imun lokal berbasis Th-1 ↑ Aktivitas berbasis Th-2
↑ Eosinofil
Qiu et al ↑ Ekspresi surviving Kowalski et al ↓ Apoptosis eosinofil Meyer et al ↑ Ekspresi eotaxin
Olze et al ↑ RANTES
↑ Eosinofil
Rudack et al ↑ Eosinofil yang berhubungan dengan sitokin IL-5 Ohori et al ↑ VCAM-1 yang diperkuat oleh TNF-α
Kim et al Ketiadaan limfangiogenesis pada inflamasi mukosa hidung
↑ Edem stroma dan pembentukan polip
Lechapat-Zalcman Meningkatnya regulasi MMP-9 di kelenjar dan pembuluh darah
Bernstein et al ↑ Produksi super antigen stapilokokus aureus Van Zele et al Aktivasi sitokin Th-1 dan Th-2
Cannady et al Abnormalitas metabolisme NO Sumber: Aouad & Chiu 2011.
2.1.8 Diagnosis
2.1.8.1 Anamnesis
Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung tersumbat. Rinore mulai yang jernih sampai purulen atau post nasal drips, gangguan penghidu, suara sengau serta rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala (Lund 1995).
2.1.8.2 Pemeriksaan fisik
sangat membantu diagnosis kasus polip stadium dini (Mangunkusumo dan Wardani 2007).
2.1.8.3 Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas penegakan diagnosa polip hidung. Menurut Hellquist (1996), ada empat tipe histopatologi polip hidung, antara lain : Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp) dan Polyp with
Stromal Atypia.
2.1.8.4 Pemeriksaan radiologi
CT scan diindikasikan pada kasus polip yang gagal terapi medikamentosa, ada komplikasi sinusitis dan rencana tindakan bedah terutama bedah sinus endoskopi fungsional (Mangunkusumo dan Wardani 2007).
2.1.9 Stadium polip
Tabel 3. Stadium Polip Menurut Mackay and Lund 1995.
Kondisi Polip Stadium
Tidak ada polip 0
Polip terbatas pada meatus media 1
Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi rongga hidung
2
Polip yang massif (memenuhi rongga hidung) 3 Sumber: Assanasen & Naclerio 2001.
Tabel 4. Stadium Polip Menurut Yamada et al 2000.
Tidak ada polip 0 Polip di meatus media dan belum mencapai batas bawah
konka media
1
Polip belum mencapai titik tengah antara batas bawah konka media dan batas atas konka inferior
2
Polip belum melewati batas bawah konka inferior 3 Polip melewati batas bawah konka inferior 4 Sumber: Yamada et al 2000.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan naso-endoskopi untuk menilai polip hidung dan menentukan stadium berdasarkan stadium polip menurut Mackay and Lund.
2.1.10 Penatalaksanaan polip hidung
Penatalaksanaan polip hidung dengan medikamentosa, operasi atau kombinasi. Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut Mackay and Lund) dapat diterapi dengan medikamentosa (polipektomi medikamentosa), untuk stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk dioperasi (Aouad & Chiu 2011; PERHATI-KL 2007).
Tujuan Penatalaksanaan Polip Hidung.
1. Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar mungkin. 2. Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.
3. Meredakan gejala.
4. Penciuman kembali normal.
5. Mencegah kekambuhan polip hidung. 6. Mencegah komplikasi
Sarat Terapi Polip Hidung yang Ideal.
1. Kepatuhan pasien (dipengaruhi rasa nyeri atau ketidaknyamanan, biaya pengobatan, lamanya pengobatan dan lamanya efek pengobatan.
2. Tidak ada efek samping yang berbahaya.
Sumber: Perhati (2007).
Gambar 7. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung & Sinus Paranasal. Keluhan
Sumbatan hidung dengan 1/> gejala:
Rinore purulen, anosmia/hiposmia, post nasal drips, sakit kepala frontal Tampak massa dgn rinoskopi / naso-endoskopi
Massa polip hidung
Jika mungkin: biopsi untuk tentukan tipe polip (eosinofilik/netrofilik) dan/lakukan polipektomi reduksi pada polip stadium 2 dan 3 untuk memperbaiki airway.
1. Steroid topikal dan/atau
2. Polipektomi medikamentosa (HDST)
Tidak ada perbaikan:
Tindak lanjut dengan steroid topikal
Pemeriksaan berkala dengan naso-endoskopi Sembuh
Polip rekuren:
- Cari faktor alergi - Kaustik /ekstraksi polip kecil - Steroid topikal - Operasi ulang
2.2 Fisiologi Kortikosteroid
Steroid adalah hormon yang dibuat dari kolesterol di kortex adrenal. Kelenjar adrenal adalah organ kecil yang terletak diatas ginjal. Kelenjar ini mengandung banyak pembuluh darah yang mengalirkan darah dari dan menuju kelenjar. Kelenjar ini menghasilkan epinefrin yang mengatur tekanan darah dan fungsi saraf. Kortex adrenal menghasilkan dua jenis steroid yakni androgen adrenal dan kortikosteroid. Kortikosteroid memiliki banyak fungsi, antara lain mengatur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit, mengatur system kardiovaskular dan saraf, ginjal, otot rangka dan fungsi organ yang lain. Jika seseorang mendapat kortikosteroid diatas kemampuan kelenjar adrenal memproduksi kortikosteroid maka akan menyebabkan insufisiensi kelenjar adrenal. Penderita akan menderita demam, keletihan, tidak bertenaga dan tekanan darah rendah. Gejala ini sangat mirip dengan penderita infeksi yang berat. Tergantung berapa lama dan besarnya dosis steroid yang didapat, penurunan dosis bertahap mutlak dilakukan dan dapat berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu (Beck 2004).
2.3 Kortikosteroid
Tujuan penggunaan kortikosteroid adalah untuk mengurangi ukuran dan jumlah polip, membuka jalan nafas melalui hidung, memperbaiki kemampuan menghidu, mengurangi inflamasi, untuk mengurangi intensitas operasi, menunda operasi atau bahkan menghilangkan polip sehingga tidak perlu dioperasi lagi (Bachert 2011; VLckova et al 2009).
Polip hidung adalah manifestasi proses inflamasi maka kortikosteroid adalah terapi yang efektif. Kortikosteroid semprot hidung atau sistemik bekerja dengan mengurangi konsentrasi mediator inflamasi dan sel-sel inflamasi dengan cara inhibisi proliferasi sel dan meng-induksi apoptosis. Efek anti inflamasi ini tidak hanya berdampak pada sel-sel inflamasi seperti limfosit dan eosinofil tetapi juga sel-sel-sel-sel epitel dan fibroblas. Efikasi klinis kortikosteroid sebagai anti inflamasi dapat dilihat dari kemampuannya mengurangi infiltrasi eosinofil di saluran nafas dengan cara mencegah peningkatan kemampuan hidup dan mencegah aktifasi eosinofil. Kortikosteroid merupakan terapi konservatif pilihan untuk polip baik sebagai terapi utama maupun untuk mencegah kekambuhan. Fokkens et al mendapati angka kekambuhan sekitar 5%-10% setelah operasi. Dalziel et al mendapati angka kekambuhan sekitar 28% setelah bedah sinus endoskopi fungsional dan sekitar 35% setelah semprot hidung polipektomi (Newton & Ah-See 2008; Ferguson & Orlandi 2006; Watanabe, Kanaizumi, Shirasaki, Himi 2004).
mempunyai pengaruh terhadap makrofag dan neutrofil. Hal ini mungkin yang menjadi alasan bahwa kortikosteroid topikal tidak menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi (Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005).
Konsentrasi Metilprednisolon intravena di plasma lebih tinggi jika diberikan pada pukul 08.00 daripada diberikan pada pukul 16.00. Bersihan metilprednisolon lebih tinggi 28% jika diberikan pada sore hari daripada jika diberikan pada pagi hari. Efek klinis menjadi lebih adekuat dan gangguan pada sirkardian cortisol akan lebih minimal jika kortikosteroid diberikan pada pagi hari (Fisher et al 1992).
Beberapa penderita polip hidung tidak menunjukkan adanya perbaikan dengan steroid. Hal ini mungkin dikarenakan jenis polip yang tidak respon terhadap glukokortikoid seperti cystic fibrosis atau primary ciliary dyskinesia, yang khas dengan infiltrasi lokal neutrofil bukan
eosinofil. Penyebab lain adalah adanya infeksi purulen sehingga polip tidak respon secara temporer terhadap steroid atau dikarenakan distribusi steroid semprot hidung yang tidak adekuat oleh karena hidung yang dipenuhi massa polip (Mygind & Lildholdt 1996).
Tabel 5. Mediator Proinflamasi yang ditekan Kortikosteroid Intranasal
Mediator Komponen
Sitokin IL-6, IL-8; sintesis antibodi IgE Sel-sel Langerhan Sintesis IgE dan stimulasi sel T
Limfosit Aktifasi sel T seperti CD 3+,CD 4+,CD8+ dan CD 25+ Sel Mast Pelepasan IgE tergantung histamin
Basofils Produksi IL-4 dan IL-13 dan pelepasan IgE bergantung histamin
2.3.1 Kortikosteroid semprot hidung
Food and Drug Administration sejak Januari 2005 hanya menerima
kortikosteroid semprot hidung sebagai terapi polip hidung. Sediaan steroid nasal topikal dapat berupa drops atau spray. Tidak ada penelitian yang membandingkan efikasi kedua sediaan ini (Aouad & Chiu 2011; Ferguson & Orlandi 2006).
Bioavailabilitas adalah sejumlah obat yang masuk ke sirkulasi sistemik. Rasio terapetik adalah potensi pencapaian efek yang diinginkan dibandingkan dengan efek sistemik yang tidak diinginkan. Tujuan pemberian kortikosteroid semprot hidung adalah untuk mencapai perbandingan tertinggi antara efek lokal dengan efek sistemik. Kortikosteroid semprot hidung adalah terapi terbaik pada polip hidung meskipun mekanisme kerjanya pada polip hidung sampai saat ini belum dapat dipahami dengan baik (Pornsuriyasak & Assanasen 2008; Jankowski, Bouchoua, Coffinet, Vignaud 2002).
Tabel 6. Kortikosteroid Intranasal
Kortikosteroid Generasi
Triamcinolone acetonide ( TAA ) I
Flunisolide ( FLU ) I
Beclomethasone dipropionate ( BD ) I
Budesonide ( BUD ) I
Mometasone furoate ( MF ) II
Fluticasone propionate ( FP ) II
Ciclesonide aqueous ( CIC ) II
Fluticasone furoate ( FF ) II
Tabel 7. Perkiraan Bioafibilitas Kortikosteroid Semprot Hidung
Kortikosteroid Bioavibilitas sistemik
Dexamethasone (oral) 76 %
Flunisolide 49 %
Triamcinolone acetonide 46 %
Beclomethasone dipropionate 44 %
Budesonide 34 %
Fluticasone propionate < 1 %
Fluticasone furoate 0,5 %
Mometasone furoate < 0,1 %
Ciclesonide aqueous Sangat rendah
Gambar 8. Metabolisme 200 μg MF, FP, Bud dan TAA.
Sumber: Demoly 2007. Oleh karena aktifitas mukosiliar hidung maka sekitar 70% steroid semprot hidung akan masuk ke saluran cerna. TAA lebih sedikit mengalami metabolisme di hati sehingga bioavibilitas sistemiknya menjadi jauh lebih tinggi daripada MF dan FP.
Mometasone furoate dan FP adalah kortikosteroid lipofilik yang memiliki banyak reseptor di mukosa. Keduanya sangat efisien, dimetabolisme di hati dan bioavibilitas sistemik minimal sehingga potensi efek samping sistemik sangat rendah. Triamcinolone adalah kortikosteroid sintetis yang memiliki struktur yang sama dengan hydrocortison, fludrocortison dan dexametason; adalah anti inflamasi dengan efek mineralkortikoid yang minimal. Dibandingkan dengan mometasone, TAA lebih nyaman digunakan, efek iritasi lebih kecil, aroma lebih lembut, lebih terasa nyaman saat mengenai mukosa hidung serta rasa yang lebih ringan. Fluticasone furoate adalah kortikosteroid sintetis terbaru yang diperkenalkan pada tahun 2007. Fluticasone furoate mempunyai cakupan yang luas terhadap reseptor glukokortikoid dengan efek anti inflamasi yang sangat kuat. Fluticasone furoate semprot hidung tersedia dalam
Intranasal Kortikosteroid 200 μg
Nose 30%
Gut 70% Nasociliary clearance
140 μg Deposition 60 μg
77% hepatic first-pass 99 % hepatic first-pass No first-pass
14 μg e.g. TAA 1,4 μg e.g. MF/FP 60 μg
bentuk suspensi mikro FF 27,5 μg FF dalam 50 μg suspensi tiap semprot. Mula kerja FF sangat cepat, 8 jam setelah semprotan pertama, berbeda dengan FP pada hari kedua setelah pemberian pertama. FF mempunyai afinitas terbesar terhadap reseptor glukokortikoid jika digunakan semprot hidung dan berikatan dengan reseptor paling lama. Masa kerja lebih lama (24 jam) dengan dosis sekali semprot setiap hari. Pemberian FF sekali semprot sehari menunjukkan efektifitas yang sama dengan pemberian FP dua kali semprot sehari. Dosis yang dianjurkan 110 μg sekali sehari terbagi dalam dua kali semprot (27,5 μg/semprot) tiap hidung/polip. Fluticasone furoate yang masuk kedalam saluran cerna akan metabolisme di hati oleh isozim P450, CYP3A4, sehingga efek sistemik sangat minimal (< 0,5 %). Harus dipertimbangkan pemberian FF pada penderita gangguan fungsi hati. Fluticasone Furoate tidak diidentifikasi di urin orang yang mendapat semprot hidung sehingga tidak perlu penyesuaian dosis pada penderita dengan gangguan ginjal. Pemberian bersama ketokonazole atau obat lain yang bersifat inhibitor kuat CYP3A4 seperti ritonavir sebaiknya dihindari. Efek samping yang timbul umumnya ringan serta dapat sembuh sendiri dan paling sering timbul adalah epistaksis, faringitis, mukosa hidung terasa kering dan panas (Sastre and Mosges 2012; Kumar, Kumar, Parakh 2011; Djupesland 2010; Pornsuriyasak & Assanasen 2008; Doggrell & Sheila 2003; Mann 2003).
Tabel 8. Cara pemakaian kortikosteroid semprot hidung yang disarankan.
1. Posisi kepala netral, menatap keatas. 2. Rongga hidung bersih.
3. Masukkan nozzle kedalam rongga hidung. 4. Semprotkan kearah lateral
5. Gunakan atas saran dokter.
6. Bernafas lembut saat rongga hidung disemprot. 7. Bernafas melalui hidung.
Tabel 9. Perbandingan Kortikosteroid Semprot Hidung. Sumber: Kumar,Kumar,Parakh (2011). Keterangan: F= feses, U= urin.
Naclerio and Mackay (2001) melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid semprot hidung selama 4-6 minggu, efektif mengurangi ukuran polip hidung. Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan Fluticasone furoate 110 μg sekali sehari yang diberikan dalam dua kali semprot (27,5 μg/semprot) untuk tiap polip hidung.
2.3.2 Kortikosteroid oral
Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbaikan gejala yang cepat dan perubahan ukuran polip hidung dengan penggunaan steroid oral. Pemberian kortikosteroid oral jangka pendek preoperatif diikuti kortikosteroid semprot hidung postoperatif menunjukkan penurunan angka kekambuhan setelah operasi yang bermakna. Adapun steroid oral yang sering digunakan pada terapi polip hidung antara lain: Metilprednisolon, Dexametason dan Prednisone. Lildholdt mendapatkan polipektomi dengan steroid oral jangka pendek menunjukkan hasil yang sama dengan polipektomi dengan menggunakan snare. Komplikasi yang dapat timbul berupa imunosupresi, gangguan penyembuhan luka, ulkus peptikum, mudah memar, meningkatnya kadar gula darah, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya tekanan intra ocular, supresi adrenal, katarak, perubahan distribusi lemak tubuh, retensi cairan, kehilangan potassium dan calcium, menurunnya kepadatan tulang, kelemahan otot, hirsutism, emosi yang labil hingga psychosis (Bachert 2011; Kowalski 2011; Al-Husban, Nawasreh, Al-Raggad 2010; Perhati 2007; Ferguson & Orlandi 2006; Jankowski, Bouchoua, Coffinet, Vignaud 2002)
Pemberian kortikosteroid oral harus dengan dosis yang diturunkan secara bertahap. Penurunan dosis dapat dilakukan dengan mengurangi setengahnya setiap 5 hari sekali hingga mencapai dosis 8 mg. Pemberian seperti ini dapat dilakukan sampai 4 kali dalam setahun jika tidak ada kontra indikasi pada individu tersebut (Bachert, Watelet, Gevaert, Cauwenberge 2005).
Pada penelitian ini peneliti menggunakan Metilprednisolon 64 mg tappering off selama kurang lebih 3 minggu sebagai terapi. Dosis
2.4 Kerangka Teori Penelitian.
Gambar 9. Kerangka Teori Penelitian Kortikosteroid
Sel T
TGFβ-1 Ekspresi ICAM-1
dan VCAM-1 Sekresi Sitokin
dan Kemokin
Pelepasan Mediator
Proliferasi Fibroblast
Interleukin 5 Influx Basofil
dan Sel Mast Jumlah sel-sel
radang
2.5 Kerangka Konsep
Gambar 10. Kerangka Konsep Penelitian.
2.6 Anatomi Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksil a dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
Kortikosteroid
Fluticasone furoate semprot hidung
Metilprednisolon oral
Polip hidung Polip hidung
Sel-sel inflamasi Sel-sel inflamasi
Apoptosis Apoptosis
Jumlah sel radang polip hidung
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat ostium duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Pada konka superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Gambar 11. Dinding lateral hidung (Ballenger 2003).
Kompleks Ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal (Soetjipto 2007).
Epitel yang melapisi vestibulum adalah keratinized, squamous cell epithelium dan ditumbuhi rambut hidung serta mengandung kelenjar
sebasea. Dari tepi konka inferior menuju posterior, epitel berubah menjadi cuboidal epithelium dan pseudostratified ciliated columnar respiratory
epithelium. Pada bagian posterior nasofaring, epitel berubah lagi menjadi
nonkeratinized, squamous cell epithelium (Hwang and Abdalkhani 2009). Keterangan gambar dari - Meatus nasi media - Konka inferior - Meatus nasi
2.7 Fisiologi Hidung
Menurut Corey dan Yilmaz (2009), ada lima fungsi hidung: 1. Fungsi respirasi.
2. Fungsi pertahanan lokal.
Adanya rambut hidung dan klirens mukosiliar adalah bagian terpenting dalam mekanisme pertahanan terhadap patogen dan toxin yang terhirup bersama udara.
3. Sebagai pengatur suhu dan kelembaban udara.
Hidung sangat berperan penting dalam mengatur suhu dan kelembaban udara yang akan memasuki pari-paru.
4. Fungsi penghidu.
Di rongga hidung terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu.
5. Fungsi resonansi suara
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian Quasi Eksperimen.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan dan dilakukan pada periode Januari 2013 sampai Juni 2014.
3.3 Populasi, Sampel Penelitian dan Tehnik Pengambilan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah penderita polip hidung yang datang berobat ke Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan selama periode Januari 2013 sampai Juni 2014 dan mendapat pengobatan steroid.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian pada penelitian ini adalah penderita polip hidung yang datang berobat ke Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan selama periode Januari 2013 sampai Juni 2014 dan mendapat pengobatan steroid, sebanyak 36 orang. Pengelompokan berdasarkan nomor urut pasien. Setiap pasien dengan nomor urut ganjil
dikelompokkan kedalam kelompok I dan mendapat terapi fluticasone furoate semprot hidung. Sementara pasien dengan nomor urut genap dikelompokkan kedalam kelompok II dan mendapat terapi
metilprednisolon oral. Kriteria Seleksi Sampel Kriteria Inklusi
1. Penderita polip hidung stadium 1 dan 2.
biopsi adalah stadium 2.
2. Laki-laki dan perempuan, usia ≥ 18 tahun belum pernah mendapat
pengobatan dengan steroid semprot hidung dan oral maupun operasi.
Kriteria Eksklusi
1. Perempuan hamil dan menyusui. 2. Penderita hipertensi.
3. Penderita diabetes mellitus. 4. Penderita gangguan fungsi hati. 5. Penderita gangguan fungsi ginjal. 3.3.3 Tehnik Pengambilan Subjek
Tehnik pengambilan subjek dilakukan secara total sampling. 3.4 Variabel Penelitian
Variabel yang diteliti yaitu : polip hidung, eosinofil, neutrofil, limfosit, plasma sel dan stadium polip.
3.5 Definisi Operasional
- Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabua-abuan.
- Stadium polip adalah ukuran polip yang dinilai dengan naso-endoskopi menurut ketentuan Mackay and Lund, 1995.
Kondisi Polip Stadium
Tidak ada polip 0
Polip terbatas pada meatus media 1 Polip sudah keluar dari meatus media tetapi
belum memenuhi rongga hidung
2
Penentuan stadium sebelum terapi dilakukan setelah polip di biopsi. Sementara stadium setelah terapi ditentukan sebelum biopsi kedua dilakukan.
- Klasifikasi histopatologi polip hidung ada empat tipe (Hellquist, 1996), antara lain :
1. Edematous, Eosinophilic Polyp (Allergic Polyp)
Adalah tipe histopatologi polip terbanyak, sekitar 86%. Gambaran histopatologi berupa edematous stroma, hyperplasia goblet cells di epitel respiratori, didapatinya
sejumlah besar eosinofil dan sel mast di stroma polip dan penipisan bahkan adanya hialinisasi minimal pada membran basalis yang terlihat jelas membatasi stroma yang edema dengan epitel. Pada stroma terlihat sejumlah fibroblast yang jarang dimana terdapat juga sejumlah sel inflamasi. Stroma yang edema sebagian terisi cairan yang membentuk rongga seperti pseudokista. Infiltrasi sel inflamasi dapat sangat tegas. Polip edematous biasanya bilateral.
A
B
Gambar 1. A. Edematous, Eosinophilic Polyp. Terdapat banyak sel-sel inflamasi, paling banyak adalah eosinofil dan sel-sel mast. Terlihat
(tanda panah) dan stroma longgar yang mengandung pseudocystic
berisi cairan.
A
B
Gambar 2. A. Adanya sejumlah sel goblet di epitel saluran nafas
yang mengalami hiperplasia. Kebanyakan sel-sel inflamasi tidak
jelas, stroma yang edema didominasi eosinofil. B. Sebuah polip
dimana sebagian epitel saluran nafas menggantikan sel goblet.
Gambar 3. Polip edematous dengan infiltrasi sel-sel inflamasi yang
padat.
sering terlihat. Tipe ini sekitar 10% dari seluruh kasus polip sinonasal.
Gambar 4. Polip tipe inflamasi. Terdapat sebagian daeran epitel
permukaan saluran nafas yang mengalami metaplasia kuboidal
tetapi tidak terdapat hiperplasia sel goblet. Membrane basal
menunjukkan tidak adanya hialinisasi. Stroma mengandung jaringan
ikat dengan beberapa pembuluh darah yang mengalami dilatasi dan
sejumlah besar dengan infiltrasi limfosit. Terdapat banyak kelenjar
seromusin, lebih banyak daripada polip edematous.
3. Polyp with Hyperplasia of Seromucinous Glands
Gambar 5. Polip hidung dengan hiperplasia kelenjar seromusin. Namun tidak terdapat atipik.
4. Polyp with Stromal Atypia
Tipe ini adalah tipe yang paling jarang. Dapat dengan mudah dianggap sebagai suatu neoplasma jika ahli patologi anatomi tidak familiar dengan gambaran histopatologi ini. Secara makroskopis sama dengan polip hidung yang lain tetapi gambaran histopatologi ditandai dengan stroma yang atipik. Sel-sel cenderung berbentuk seperti bintang dan hiperkromatik tetapi dapat juga lebih irregular dan gembur dengan sitoplasma vesicular. Biasanya hanya daerah tertentu pada polip yang menunjukkan sel-sel atipik dengan fibroblast yang reaktif. Seringkali polip mengandung stroma yang atipik. Tidak adanya mitosis adalah gambaran khas yang membedakan polip dengan stroma atipik dengan neoplasma. Lebih lanjut, juga tidak ada cytoplasmic cross-striations dan kandungan glikogen minimal pada
A
B
Gambar 6. A. Polip dengan stroma atipik. Stroma lebih gembur
dengan
sel-sel inflamasi tetapi terdapat sejumlah sel bizarre dan sebagian
berbentuk seperti bintang berselubung. Inti sel-sel tersebut atipik
dan
cenderung hiperkromatik. Tidak adanya mitosis. B. Tipe lain dari
polip
dengan stroma atipik. Sel-sel atipik terlihat berada di tengah gambar.
Terlihat inflamasi tegas di gambar A dan edema di gambar B.
- Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Usia dihitung dalam tahun menurut ulang tahun terakhir.
- Jenis kelamin adalah ciri biologis yang membedakan orang yang satu dengan lainnya, terdiri atas laki-laki dan perempuan.
3.6 Alat dan Bahan Penelitian 3.6.1 Alat penelitian
Penelitian ini membutuhkan beberapa peralatan sebagai berikut: 1. Status penelitian
2. Forward cutting forceps, mesin pemotong jaringan (microtome), silanized slide, mikroskop cahaya (Olympus®).
3.6.2 Bahan penelitian
2. Bahan untuk pemeriksaan histopatologi.
Formalin 10%, blok parafin, aqua destilata, hematoxyllin-eosin. 3.7 Kerangka Kerja
Gambar 12. Kerangka Kerja Penelitian.
*
Sel-sel radang : neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma. Anamnese
Naso-endoskopi : massa polip
Tentukan stadium polip
Kelompok I: fluticasone furoate semprot hidung 55 μg sekali sehari selama 4 minggu
Kelompok II: Metilprednisolon oral 64 mg tappering off selama 3 minggu
Data diproses dengan SPSS Stadium 1 & 2
Hitung jumlah sel-sel radang*
Histopatologi
Hitung jumlah sel-sel radang* Biopsi
Nasoendoskopi Tentukan stadium polip paska terapi
3.8 Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh dari pemeriksaan langsung polip hidung sebelum dan sesudah mendapat terapi kortikosteroid oral maupun semprot hidung dengan naso-endoskopi dan pemeriksaan histopatologi.
3.9 Cara Analisis Data
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan rancangan Quasi. Pengambilan sampel penelitian didapat dari ronga hidung penderita pada saat dilakukan biopsi untuk menentukan diagnosa polip hidung. Data penelitiannya adalah seluruh kasus polip hidung yang dilakukan tindakan biopsi dan pengobatan di RSUP H. Adam Malik Medan sejak Januari 2013 sampai Juni 2014 yaitu sebanyak 36 subjek. Dari 36 subjek yang mendapat terapi steroid tersebut semua memenuhi kriteria untuk subjek penelitian, dan semuanya dimasukkan kedalam kelompok intervensi (semprot hidung 18 orang dan oral 18 orang). Akan tetapi ada 6 orang (2 orang dari kelompok fluticasone furoate dan 4 orang dari kelompok metilprednisolon) tidak datang kembali untuk biopsi kedua sehingga dinyatakan drop out.
Gambaran histopatologi polip nasi diperiksa dengan teknik pewarnaan Haemathoxylin eosin yang dilakukan oleh seorang Spesialis Patologi Anatomi di Departemen Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan.
4.1 Hasil analisis univariat
Berdasarkan pemeriksaan didapat gambaran umum subjek penelitian sebagai berikut:
Tabel 4.1.1 Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan jenis kelamin.
Jenis kelamin n %
Laki-laki 19 63,33
Perempuan 11 36,67
30 100
Tabel 4.1.2 Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan usia.
Usia n %
< 40 10 33,33
≥ 40 20 66,67
30 100
Usia terbanyak pada kelompok usia ≥ 40 tahun sebanyak 20 (66,67 %) penderita, sementara kelompok usia < 40 tahun sebanyak 10 (33,33 %) penderita. Usia termuda 18 tahun sedangkan usia tertua 78 tahun. Rerata usia penderita adalah 43,3 tahun.
Tabel 4.1.3 Distribusi frekuensi penderita polip hidung berdasarkan stadium*.
Stadium n %
0 4 6,67
1 3 5
2 35 58,33
3 18 30
60 100
*) Penetapan stadium polip hidung sebelum terapi ditentukan setelah biopsi.