• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Evaluasi Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Ranah Afektif di SMPN 1 Tanara Serang Banten, 2016.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Evaluasi Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Ranah Afektif di SMPN 1 Tanara Serang Banten, 2016."

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM RANAH AFEKTIF DI

SMPN 1 TANARA SERANG BANTEN

TESIS

Oleh

Miftahul Huda

NIM. 21140110000007

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

(2)

AGAMA ISLAM RANAH AFEKTIF DI SMPN 1 TANARA

SERANG BANTEN

TESIS

Dilengkapi sebagai persyaratan untuk mencapai Magister Pendidikan,

Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh

Miftahul Huda

21140110000007

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

(3)

Nama

NIM Prodi

Judul Tesis

Miff.ahul Huda

21140110000007

Magister Pendidikan Agama Islam

Implementasi Evaluasi Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Ranah

Afektif di SMPN 1 Tanara Serang Banten.

Menyatakan bahwa mahasiswa tersebut di atas sudah menjalani

pada hari Selasa, 19 Juli 2016 dan telah diperbaiki sesuai saran dari

itu, disetujui dan telah memenuhi syarat untuk diterima.

ujian Promosi Tesis

penguji. Oleh karena

Jakarta, 23 Agustus 2016

Dr.

(4)

Tesis dengan judul "Implementasi Evaluasi Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Ranah

Afektif di SMPN 1 Tanara Serang Banten" yang ditulis oleh Miftahul fruda dengan NIM 21140110000007 telah diujikan pada ujian Promosi Tesis oleh Fakultas Ilmu Tarfryah dan

Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa, l9 Juli 2016 dan telah

diperbaiki sesuai saran dari penguji sebagai salah satu syarat mengikuti Ujian promosi

Tesis.

Ketua Program Magister

Nama: Dr. Fahriany, M.Pd

NIP. 19700611 199101 2 001

Sekretaris Program Magister

Nama: Dr. Jejen Musfah,

MA

NIP. 19770602 200501 1 004

Penguji 1

Nama: Prof. Dr. Rusmin Tumanggor,

MA

NIP. 19470114 196510 1 001

Penguji 2

Nama: Dr. Jejen Musfah.

MA

NIP. 19770602 200s0t 1 004

Penguji 3

Nanra: Dr. Teuku Ramti Zakaia,MA

NIP. 19520902 t97903

|

001

Dekan Fakultas arbiyah d

Jakarta, 9 Agustus 2016 Ta

A-\Frf

-*

Tanda Tangan

4^t/-Tanggal

*/a/r"

Tanggal

"/6P'c

Tanggal

illw

/g

Tanggal

ttfgl4,

hui oleh

NIP. 195

(5)

Dengan ini saya,

Nama

: Miftahul Huda

NIM

:21740110000007

Menyatakan bahwa:

1.

Tesis dengan

judul,

"Implementasi Evaluasi Hasil Belajar Pendidikan Agama

Islam Ranah Afbktif di SMPN 1 Tanara Serang Banten" adalab, benar karya asli

saya dan bukan jiplakan, kecuali kutipan-kutipan yang dijelaskan sumbernya.

2.

Apabila kemudian hari terbukti bahwa karya

ini

bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi berupa pencabutan gelar akademik.

(6)

MIFTAHUL HUDA, Implementasi Evaluasi Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Ranah Afektif di SMPN 1 Tanara Serang Banten, 2016.

Dalam kegiatan belajar mengajar, para guru sering mengabaikan ranah afektif pada evaluasi pembelajaran. Bahkan para guru sering mengeluhkan karena kesulitan dalam melakukan penilaian pada peserta didik khususnya ranah afektif. Oleh karena itu, wajar kiranya jika tujuan pendidikan telah lama mengorientasikan tujuannya hanya pada ranah kognitif saja. Keadaan seperti ini dapat berakibat terbengkalainya ranah afektif dan psikomotorik. Bahkan sering terjadi ranah afektif hanya dipasang dalam tujuan, namun tidak pernah diupayakan implementasinya, baik dalam kegiatan belajar mengajar maupun dalam evaluasi hasil belajarnya. Terbengkalainya ranah afektif dapat menimbulkan akibat yang cukup serius, sebagaimana terjadinya dekadensi moral para remaja, seperti tawuran, narkoba, pergaulan bebas, bahkan sampai pada tindak kriminalitas. Berdasarkan pemikian demikian, maka kompetensi guru dalam melakukan evaluasi hasil belajar menjadi sangat penting karena kompetensi guru dalam melakukan evaluasi secara baik (menyeimbangkan ketiga ranah; kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam penilaian) menjadi ujung tombak terhadap perbaikan mutu pendidikan. Kondisi demikian akan membantu menyelamatkan moral dan akhlak peserta didik dari dekadensi moral para remaja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan implementasi evaluasi hasil belajar Pendidikan Agama Islam ranah afektif. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif fenomenologis dan metode deskriptif. Untuk memperoleh data kualitatif, peneliti mengumpulkan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Sedangkan hasil penelitian ini adalah guru Pendidikan Agama Islam berprestasi ini melakukan proses penilaian ranah afektif dengan baik. Dengan demikian dapat dikatakan guru PAI berprestasi ini memiliki kompetensi yang tinggi dalam evaluasi hasil belajar, dan sudah sepenuhnya menerapkan sistem evaluasi ranah afektif. Demikian juga, para peserta didik SMPN 1 Tanara memiliki motivasi yang cukup tinggi dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan hasil belajar Pendidikan Agama Islam pada ranah afektif sudah menunjukkan dan menggambarkan hasil belajar psikomotorik siswa.

(7)

MIFTAHUL HUDA, Implementation of Evaluating The Affective Domain of Learning Outcomes of Islamic Education in SMPN 1 Tanara Serang Banten, 2016.

In teaching and learning activities, teachers oftentimes overlook the affective aspect in learning evaluation. Very often, teachers complain about difficulties in assessing, for particular, the affective aspect of the students. Therefore, it seems explainable why the goals of education have long been orientated only in cognitive aspect. Such condition could resulted in negligence of affective and psychomotoric aspects. There have often been the case that the affective aspect was only mentioned as the objective of learning and teaching activities without necessarily being implemented in the actual learning and teaching activities nor in the learning and teaching evaluation. The abandonment of affective aspect could cause serious consequences such as youth moral deterioration, brawl, drug abuse, free sex, and even criminal acts. Hence, teachers' competence in evaluating the learning outcomes became very important because if the teacher could do it well (by being successful in balancing the three domains: cognitive, affective, and psychomotoric in the assesment), it will improve the quality of education. Such effort would be beneficial to improve students' moral and ethics and prevent moral decadence. The purpose of this study are to describe the Implementation of evaluating the affective aspect of learning outcomes of Islamic Education. The research method used is phenomenological qualitative approach and descriptive method. To obtain qualitative data, researchers collected data through interviews, observation, and documentation. The result of this study is the outstanding teacher could integrate the affective aspect well. Thus, it can be said that Islamic education teachers have high competence in evaluation of learning outcomes, and already fully implementing the evaluation system which include affective aspect. Similarly, the students of SMPN 1 Tanara are highly motivated in the subjects of Islamic education. Islamic education learning outcome in affective domain shows and describes the students' psychomotoric learning outcomes.

(8)
(9)

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya, taufik dan hidayah-Nya tesis ini dapat diselesaikan sesuai rencana. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni Rasulallah SAW, para sahabatnya, serta para umatnya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, meskipun telah mengerahkan segala kemampuan dan pengetahuan secara maksimal. Karena memang kesempurnaan hanyalah milik Zat yang Maha Sempurna. Penulis berharap tesis ini memiliki nilai bagi diri pribadi maupun bagi para pembaca. Penulis juga sadar bahwa tanpa bantuan, dukungan, dan bimbingan berbagai pihak tesis ini tidak akan dapat terselesaikan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA.

2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA.

3. Ketua Program Magister FITK, Dr. Fahriany, M. Pd.

4. Sekretatis Program Magister FITK, Dr. Jejen Musfah, MA. Serta seluruh dosen

dan segenap staf Program Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dr. Ahmad Sofyan, M. Pd, selaku pembimbing penulisan tesis yang telah

memberikan bimbingan, petunjuk, dan saran yang sangat berguna dalam tesis ini.

6. Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA dan Dr. Khalimi,MA, yang membantu

memberikan saran dan arahan melalui ujian Komprehensif Tesis.

7. Prof. Dr. Suwito, MA dan Dr. Jejen Musfah, MA yang membantu memberikan

saran dan arahan melalui ujian Work in Progres 1 Tesis.

8. Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA dan Dr. Jejen Musfah,MA, yang membantu

memberikan saran dan arahan melalui ujian Work in Progres 2 Tesis.

9. Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA, Dr. Teuku Ramli Zakaria, MA, dan Dr. Jejen

Musfah, MA, yang membantu memberikan saran dan arahan melalui ujian Promosi Tesis.

10. Drs. H. Jaimudin, M.Pd.I, disela kesibukan beliau masih menyempatkan diri untuk

diwawancarai guna penelitian tesis ini.

11. Bapak Agung Prihantoro, M. Pd, yang telah membantu penulis untuk menemukan

buku sumber utama dalam penyelesaian tesis ini.

12. Sahabat-sahabat angkatan 2014 Magister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta sebagai tempat berkeluh kesah penulis.

(10)

penyelesaian tesis ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk memberikan masukan kepada guru dalam proses penerapan evaluasi ranah afektif. Semoga budi baik dan bantuan dari semua pihak kepada peneliti mendapatkan ganjaran yang berlipat dari Allah, aamiin.

Jakarta, 9 Agustus 2016 Penulis,

(11)

Halaman Sampul ... i

Halaman Judul ... ii

Lembar Pernyataan Keaslian Karya ... iii

Lembar Persetujuan Pembimbing ... iv

Lembar Persetujuan Penguji Promosi Tesis ... vi

Abstrak ... vii

Kata Pengantar... ix

Daftar Isi ... x

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 7

1. Identifikasi Masalah ... 7

2. Pembatasan Masalah... 7

3. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORI ... 9

A. Kompetensi Guru ... 9

B. Taksonomi dalam Proses Belajar ... 10

1. Ranah Kognitif ... 10

2. Ranah Afektif ... 16

3. Ranah Psikomotorik ... 17

C. Ruang Lingkup Evaluasi Pembelajaran ... 18

D. Prinsip-prinsip Evaluasi Pembelajaran ... 19

E. Evaluasi Ranah Afektif ... 20

F. Evaluasi Pembelajaran PAI Ranah Afektif ... 21

G. Karakteristik Ranah Afektif ... 21

H. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Ranah Afektif ... 24

I. Teknik dan Instrumen Evaluasi Ranah Afektif ... 27

J. Aktualisasi Pengembangan Ranah Afektif bagi Psikomotorik terhadap Peserta Didik ... 39

K. Kerangka Konseptual... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42

A. Metode Penelitian ... 42

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

C. Objek Penelitian ... 42

D. Subjek Penelitian ... 42

E. Sumber Data ... 43

F. Teknik Pengumpulan Data ... 43

G. Teknik Analisa Data ... 44

H. Pengecekan Kredibilitas Data ... 44

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN ANALISIS... 46

(12)

2. Temuan Lapangan ... 54

a. Kompetensi Guru ... 54

b. Evaluasi Hasil Belajar Sekolah ... 54

c. Evaluasi Hasil Belajar Afektif ... 56

d. Aktualisasi Hasil Belajar Afektif Terhadap psikomotorik ... 64

e. Faktor Pendukung Melakukan Penilaian Afektif ... 85

f. Kendala Melakukan Penilaian Afektif ... 85

B. Analisis Atas Temuan Lapangan ... 86

1. Kritik Atas Krangka Konseptual ... 86

2. Kerangka Konseptual Hal yang Ditemukan Di Lapangan... 99

3. Perspektif Tentang Hasil Belajar PAI Afektif dan Psikomotorik Siswa ... 100

BAB V PENUTUP ... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ... 105

(13)

Gambar 2. 1. Tingkatan Ranah Afektif Menurut Krathwohl ... 16

Gambar 2. 2. Contoh Halaman Sampul Buku Catatan Harian ... 37

Gambar 4. 1. A Taxonomy of Significant Learning ... 92

Gambar 4. 2. Sifat Interaktif dari Belajar yang Berarti ... 93

Gambar 4. 3. Taksonomi Bloom Versi Lama ... 100

Gambar 4. 4. Taksonomi Bloom Versi Baru ... 101

Gambar 4. 5. Taksonomi Proses Belajar menurut Bloom ... 101

Gambar 4. 6. A Taxonomy of Significant Learning ... 102

Gambar 4. 7. Kerangka Konseptual yang ditemukan di sekolah ... 102

(14)

Tabel 2. 1. Taksonomi Pendidikan ... 12

Tabel 2. 2. Dimensi Proses Kognitif ... 13

Tabel 2. 3. Cakupan Penilaian Sikap ... 26

Tabel 2. 4. Contoh Skala Likert ... 29

Tabel 2. 5. Contoh Skala Thurstone ... 30

Tabel 2. 6. Instrumen Sikap Spiritual (Observasi) ... 33

Tabel 2. 7. Rubrik Sikap Spiritual ... 34

Tabel 2. 8. Instrumen Sikap Sosial (Observasi) ... 34

Tabel 2. 9. Contoh Lembar Penilaian Diri Siswa ... 35

Tabel 2. 10. Contoh Lembar Penilaian Antarpeserta Didik (Likert Scale) ... 36

Tabel 2. 11. Contoh Jurnal Perkembangan Sikap ... 38

Tabel 2. 12 Hasil Belajar Afektif dan Psikomotoris ... 39

Tabel 4. 1. Data Siswa dalam 4 (Lima) Tahun Terakhir ... 48

Tabel 4. 2. Data Keadaan Ruang ... 49

Tabel 4. 3. Data Ruang yang Belum Ada ... 49

Tabel 4. 4. Latar Pendidikan Guru ... 50

Tabel 4. 5. Struktur Kurikulum SMPN 1 Tanara... 51

Tabel 4. 6. Kegiatan Ekstra Kurikuler di SMP Negeri 1 Tanara ... 52

Tabel 4. 7. Instrumen Penilaian Diri Skala Sikap ... 59

Tabel 4. 8. Rekapitulasi Nilai Pengamatan Perkembangan Sikap Siswa Kelas IX-A SMPN 1 Tanara Tahun Pelajaran 2015/2016 ... 68

Tabel 4. 9. Rekapitulasi Nilai Pengamatan Perkembangan Sikap Siswa Kelas IX-A SMPN 1 Tanara Tahun Pelajaran 2015/2016 ... 74

Tabel 4. 10. Rekapitulasi Nilai Pengamatan Perkembangan Sikap Siswa Kelas IX-A SMPN 1 Tanara Tahun Pelajaran 2015/2016 ... 78

Tabel 4. 11. Rekapitulasi Nilai Pengamatan Perkembangan Sikap Siswa Kelas IX-A SMPN 1 Tanara Tahun Pelajaran 2015/2016 ... 82

Tabel 4. 12.

Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) SMPN 1 Tanara ... 89

Tabel 4. 13. Daftar Nilai Pengetahuan Siswa Kelas IX-A SMPN 1 Tanara ... 94

Tabel 4. 14. Daftar Nilai Keterampilan Siswa Kelas IX-A SMPN 1 Tanara ... 95

Tabel 4. 15. Rekapitulasi Nilai Pengamatan Perkembangan Sikap Siswa Kelas IX-A SMPN 1 Tanara Tahun Pelajaran 2015/2016 ... 98

(15)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Selama tiga tahun terakhir ini setelah diberlakukannya kurikulum 2013, khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dalam kurikulum 2013 lebih menekankan kepada aspek sikap, tercakup pada rumusan KI-1 dan KI-2 yaitu sikap spiritual dan sikap sosial. Begitu pula tidak terlepas dalam sistem penilaiannya, guru harus terampil dan memiliki kompetensi dalam melaksanakan penilaian kompetensi sikap ini sikap spiritual menuju sikap sosial.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mumun Maemunah dalam tesis yang berjudul “Evaluasi Ranah Afektif PAI di SMP Bakti Mulya 400 Jakarta” adalah guru Pendidikan Agama Islam mengalami kesulitan dalam melaksanakan evaluasi ranah afektif dan belum sepenuhnya menerapkan sistem evaluasi ranah afektif (Maemunah, 2015: 117). Padahal dalam kurikulum 2013 evaluasinya terutama ranah afektif sudah seragam dari sabang sampai merauke sehingga lebih mudah karena mengarah pada pedoman yang sama, berbeda dengan KTSP yang keragamannya terlalu banyak sehingga mengontrolnya agak sulit dan repot. Dengan demikian, guru hanya fokus mengajar karena semua perangkat sudah disiapkan oleh pemerintah pusat, dengan SOP yang sangat jelas dan rinci maka kerja guru semakin ringan. Namun, penataan penilaiannya terlalu banyak sehingga dalam praktiknya banyak guru yang tidak ada waktu untuk mengisi form instrumen penilaian.

Evaluasi merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan Islam yang harus dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai alat untuk mengukur keberhasilan atau target yang akan dicapai dalam proses pendidikan Islam dan proses pembelajaran (Nata: 2010, h. 23).

Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam, di antaranya sebagai berikut:

Menguji kemampuan manusia yang beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dihadapi (kekurangan harta sebagai ujian). Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 155 dinyatakan:

 



 

 

 

 

 



“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Dalam ayat lain dijelaskan bahwa mengukur sama dengan mengevaluasi pada QS. Al-Isra [17] ayat 35.

 

 

 

 

 

 



(16)

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang lurus. Itulah yang baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya”.

Dan sempurnakanlah secara sungguh-sungguh takaran apabila kamu menakar, untuk

pihak lain, dan timbanglah dengan neraca yang lurus yakni yang benar dan adil. Itulah

yang baik bagi kamu dan orang lain karena dengan demikian orang akan percaya kepada

kamu sehingga semakin banyak yang berinteraksi dengan kamu dan melakukan hal itu

juga lebih bagus akibatnya bagi kamu di akhirat nanti dan bagi seluruh masyarakat dalam

kehidupan dunia ini (Shihab: 2007, 470).

Dalam Tafsir al-Misbah yang merupakan karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab ayat ini menjelaskan untuk mewujudkan keadilan memerlukan tolok ukur yang pasti yaitu neraca/timbangan, dan sebaliknya apabila menggunakan timbangan yang benar dan baik, pasti akan lahir keadilan. Penyempurnaan takaran dan timbangan oleh ayat di atas

dinyatakan baik dan lebih bagus akibatnya. Ini karena penyempurnaan takaran/timbangan

melahirkan rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kesemuanya dapat tercapai melalui keharmonisan hubungan antara anggota masyarakat, yang antara lain bila masing-masing memberi apa yang berlebih dari kebutuhannya dan menerima yang seimbang dengan haknya. Ini tentu saja memerlukan rasa aman yang menyangkut alat ukur, baik takaran maupun timbangan. Menurut Thahir Ibn ‘Asyur tentang penggunaan

bentuk perintah sempurnakanlah. Ini menurutnya untuk mengisyaratkan bahwa dituntut

untuk memenuhi secara sempurna timbangan dan takaran. Apalagi pada saat itu alat-alat ukur masih sangat sederhana. Kurma dan anggur pun diukur bukan dengan timbangan

tetapi takaran. Penggunaan kata idza kultum merupakan penekanan tentang pentingnya

penyempurnaan takaran, bukan hanya sekali dua kali atau bahkan sering kali , tetapi setiap kali melakukan penakaran, kecil atau besar, untuk teman atau lawan (Shihab: 2007, 470-471).

Ajaran Islam menaruh perhatian besar terhadap evaluasi. Penilaian terhadap manusia adalah suatu tugas penting dalam rangkaian proses pendidikan. Dengan demikian sistem evaluasi dalam pendidikan Islam pada hakikatnya adalah bersifat mendidik hamba-Nya, agar sadar terhadap fungsinya selaku hamba-Nya, yaitu menghambakan diri hanya kepada-Nya.

Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam Bab X, Pasal 63-64 menjelaskan sebagai berikut; Pasal 63, Ayat 1:”penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: (a) penilaian hasil belajar oleh pendidik; (b) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan (c) penilaian hasil belajar oleh pemerintah”.

Penilaian hasil belajar oleh guru sebagai pendidik untuk sekolah menengah atas, telah dijelaskan oleh pasal tersebut ayat 1 butir a yang dilakukan secara berkelanjutan untuk mengetahui perkembangan hasil belajar peserta didik.

(17)

akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui: (a) pengamatan terhadap perubahan prilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; serta (b) ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik”.

Penilaian hasil belajar oleh pendidik pada ranah afektif sudah tertuang dalam PP tersebut pada pasal 64 ayat 3. Oleh karena itu, guru PAI dalam melakukan evaluasi hasil belajar pada ranah afektif seharusnya berpegang pada landasan yuridis tersebut yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 pasal 64 ayat 3.

Tuntutan normatif dan yuridis tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi guru dalam melaksanakan evaluasi. Pelaksanaan evaluasi yang dilakukan guru masih jauh dari standar nasional pendidikan. Seperti apa kondisi guru dalam melaksanakan evaluasi yang ada saat ini dijelaskan dalam pemaparan berikut ini, baik dari aspek teoritik maupun praktik.

Hasil penelitian Gito Supriadi tentang “Kemampuan Guru dalam Mengevaluasi Hasil

Belajar Pendidikan Agama Islam di Madrasah Tsanawiyah se-Kota Palangkaraya ” menunjukkan bahwa pengetahuan guru PAI tentang penyekoran di MTs se-Kota Palangkaraya masih rendah. Berdasarkan data dari 46 orang, sebanyak 15 orang (32,61%) tingkat pengetahuannya termasuk dalam kategori tinggi, sebanyak 10 orang (21,74%) tingkat pengetahuannya sedang, dan sebanyak 21 orang (45,65%) tingkat pengetahuannya rendah (Gito Supriadi: 2007, 17).

Hasil penelitian Choirul Fuad Yusuf (editor) tentang “Kajian Peraturan

Perundang-undangan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah” menunjukkan bahwa model penilaian yang selama ini dilakukan untuk menguji mata pelajaran pendidikan agama, sebagian besar responden (65,5%) menyatakan bahwa penilaian yang selama ini dilakukan belum bersifat holistik, dalam artian mencakup penilaian terhadap domain pengetahuan, sikap, dan keterampilan sekaligus. Sebesar 34,8% responden menyatakan penilaian pendidikan agama telah dilakukan secara holistik. Meskipun berdasarkan hasil diskusi kemudian terungkap bahwa penilaian aspek kognisi tetap lebih dominan dan lebih menentukan terhadap keputusan guru menjatuhkan penilaian ke siswa. Ketika ditanyakan lebih lanjut terhadapnya yang tidak melakukan penilaian secara holistik, terungkap bahwa sebagian besar darinya belum memahami apa yang dimaksud dengan penilaian secara holistik, selain itu kesulitan teknis untuk menilai aspek sikap dan keterampilan siswa serta belum adanya model yang dapat dijadikan contoh dan rujukan untuk dapat melakukan penilaian jenis ini menjadi kendala di kalangan guru-guru agama (Choirul Fuad Yusuf : 2008, 150). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Darmadji tentang urgensi ranah afektif dalam evaluasi pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum terabaikannya ranah afektif pada evaluasi PAI disebabkan sejumlah faktor:

a. Perbedaan persepsi tentang batasan materi yang tidak dapat dievaluasi seperti

masalah keimanan.

b. Perumusan tujuan PAI terlalu ideal dan kurang jelas sehingga sulit diukur.

c. Kurangnya sebagian besar dosen PAI dalam mengembangkan instrumen PAI ranah

afektif (Darmadji: 2011, 1).

(18)

Sementara evaluasi hasil belajar merupakan komponen penting dari keseluruhan proses pembelajaran. Di samping evaluasi sebagai alat monitoring terhadap jalannya proses belajar mengajar, evaluasi juga dapat memberi arah yang sangat menentukan dari berbagai keputusan yang di buat dalam dunia pendidikan. Dengan evaluasi akan dapat diketahui relevansi antara kemajuan belajar siswa dengan tujuan atau standar yang telah digariskan. Kemampuan belajar tersebut dapat meliputi kemampuan dalam berpikir, menentukan sikap dan perilaku, serta kemungkinan kepribadian yang dapat terbentuk melalui proses belajar mengajar (Arifin: 2009, 27).

Melihat pentingnya evaluasi dalam dunia pendidikan tersebut, maka kemampuan guru dalam melakukan evaluasi sangat menentukan ketepatan dalam memilih tindakan-tindakan pendidikan yang perlu dilakukan. Kemampuan guru dalam melakukan evaluasi dapat menempati posisi awal bagi peningkatan kualitas belajar mengajar di dalam kelas. Oleh karena itu, kemampuan guru melakukan evaluasi secara baik dapat menjadi ujung tombak terhadap perbaikan mutu pendidikan.

Selain itu tujuan dan hasil pendidikan setidaknya diharapkan mencakup tiga ranah penting, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik semagaimana yang lebih sering dikenal dengan istilah Taksonomi Bloom (Bloom, 1956: 7). Sependapat dengan Bloom, Anderson menyatakan bahwa ketiga ranah tersebut sesuai dengan karakteristik atau tipikal manusia dalam berpikir, berperasaan dan berbuat (Anderson: 1981, 4). Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, yaitu yang berhubungan dengan cara berpikir yang khas, tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif yaitu cara yang khas dalam merasakan atau mengungkapkan emosi, dan mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai dan tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotorik, yaitu yang berhubungan dengan cara bertindak. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dan proses pendidikan pada umumnya. Dalam konteks ini, karakteristik tersebut dipahami sebagai kualitas yang menunjukkan cara-cara khusus manusia dalam berpikir, berperasaan dan bertindak dalam berbagai suasana (Darmadji, 2011: 26).

Pendidikan agama Islam mempunyai misi dan jangkauan yang lebih luas dibandingkan dengan bidang studi lainnya. Bidang studi ini harus mampu bersentuhan dan berkomunikasi secara intens dengan bidang studi lain, serta harus tampil utuh dan mampu mawarnai kehidupan secara menyeluruh. Maka dari itu, bidang studi pendidikan agama Islam tidak boleh terpisahkan dari konteks kehidupan nyata, dan dari berbagai nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Dalam kaitannya dengan program pembelajaran, sebagaimana disebutkan dalam di

dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan

Pendidikan Keagamaan menyatakan bahwa “Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. Serta bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni”.

(19)

kepada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya bahkan kepada sesamanya (Mahmud: 1995, 13). Sedangkan materi pelajarannya meliputi al Quran Hadis, aqidah, akhlak, fiqih serta tarikh dan kebudayaan Islam.

Baik dari segi tujuan maupun materi programnya, mata pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah umum tidak sekedar untuk diketahui oleh peserta didik, tetapi lebih dari itu untuk diyakini, dipahami, dihayati, serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mengandung konsekuensi penting dalam proses pembelajarannya, termasuk segi evaluasi hasil belajarnya. Evaluasi tersebut mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Berbagai macam aspek kejiwaan yang harus diungkap dalam evaluasi hasil belajar pendidikan agama Islam tentu saja tidak mudah dilakukan oleh seorang guru, beberapa kendala masih sering dihadapi, terutama yang berkaitan dengan evaluasi hasil belajar afektif, di mana sebagian besar materinya menyangkut masalah akhlak atau moral para peserta didik.

Sebagaimana dikatakan oleh Hamzah B. Uno bahwa, pengalaman bertahun-tahun memberikan pelatihan kepada guru di lingkungan Dinas Pendidikan Nasional dan Kanwil Kemenag, ternyata diperoleh informasi melalui keluhan para guru yang mengalami kesulitan dalam melakukan penilaian pada siswa khususnya aspek afektif. Umumnya penilaian pada aspek ini dilakukan guru hanya dengan memberikan prediksi bahwa batas perilaku yang diperlihatkan siswa sudah sangat baik (A), baik (B), sedang (C), kurang (D), dan buruk (E). Dapat diketahui karena penilaian pada aspek ini diatur dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang kategori penilaiannya sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dari penjelasan guru, mengalami kesulitan untuk memberika kategori penilaian semacam ini karena tidak memiliki kriteria untuk menetapkan kategori ini (Uno: 2013, 182).

David krathwohl besera kawan-kawannya berpendapat mengenai sulitnya mengembangkan aspek afektif jika dibandingkan dengan aspek lain, seperti kognitif dan psikomotorik (Krathwohl, 1964: 9). Oleh karena itu, wajar kiranya jika tujuan pendidikan telah lama mengorientasikan tujuannya hanya pada aspek kognitif saja. Keadaan seperti ini dapat berakibat terbengkalainya aspek afektif dan psikomotorik. Bahkan sering terjadi aspek afektif hanya dipasang dalam tujuan, namun tidak pernah diupayakan implementasinya, baik dalam kegiatan belajar mengajar maupun dalam evaluasi hasil belajarnya.

(20)

lembaganya, Julianto mengatakan 46% remaja berusia 15-19 tahun sudah berhubungan seksual. Data Sensus Nasional bahkan menunjukkan 48-51% perempuan hamil adalah remaja. Penelitian yang oleh dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2012, mengenai perilaku seks di kalangan remaja SMP dan SMA. Hasilnya, dari 4.726 responden, sebanyak 97% mengatakan pernah menonton pornografi, dan 93,7% mengaku sudah tak perawan. Bahkan, 21,26% sudah pernah melakukan aborsi (BKKBN: 2014, 12 Agustus).

Dengan adanya kasus seperti di atas, yang pertama mendapatkan tudingan adalah guru pendidikan agama, karena mata pelajaran inilah yang paling dekat dengan urusan moral atau akhlak para pelajar. Dengan demikian, seorang guru agama harus terus berupaya untuk menyampaikan misi moral dan perilaku keagamaan yang berada dalam aspek afektif dan psikomotorik daripada sekedar mengisi segenap pengetahuan kepada peserta didik. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah dalam hal evaluasi belajarnya. Jika seorang guru sudah menetapkan standar keberhasilan dari mata pelajaran pendidikan agama Islam lebih mengutamakan aspek afektif dan psikomotorik maka evaluasi hasil belajarnya juga tidak akan hanya bertumpu pada aspek kognitif saja.

Hal ini sejalan dengan kurikulum 2013, yang bentuk penilaiannya adalah penilaian autentik. Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk mengukur kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran (Permendikbud, No. 66 Tahun 2013). Dalam kurikulum 2013 kompetensi sikap, baik sikap spiritual (KI 1) maupun sikap sosial (KI 2) tidak diajarkan dalam proses belajar mengajar (PBM) artinya kompetensi sikap spiritual dan sosial meskipun memiliki kompetensi dasar (KD), tetapi tidak dijabarkan dalam materi atau konsep yang harus disampaikan atau diajarkan kepada peserta didik melalui PBM yang terdiri dari pendahuluan, kegiatan inti dan penutup. Dengan demikian, sikap spiritual dan sosial harus muncul dalam tindakan nyata peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, maka pencapaian kompetensi sikap tersebut harus dinilai oleh guru secara berkesinambungan dengan menggunakan instrumen tertentu. Oleh karena itu, tidak dibenarkan jika seorang guru agama melakukan evaluasi hasil belajar hanya dengan teknik tes saja, mengingat untuk mengukur keberhasilan aspek afektif dan psikomotorik diperlukan teknik yang lain yang sifatnya lebih realistis dan akurat, sebagaimana yang telah dituangkan dalam Permendikbud no. 66 tahun 2013 tentang Standar Penilaian seperti teknik observasi, penilaian diri, penilaian teman sejawat, dan jurnal.

(21)

Penelitian ini dilakukan di SMPN 1 TANARA di Kabupaten Serang Banten, menunjukkan bahwa sekolah ini layak diteliti karena SMPN 1 TANARA merupakan termasuk salah satu sekolah yang memiliki guru Pendidikan Agama Islam berprestasi se-Indonesia. Menurut data dari Kementerian Agama bahwa Drs.H.Jaimudin, M.Pd.I adalah masuk dalam Nominator Pemenang Lomba Apresiasi Guru PAI Berprestasi Tahun 2014 yang telah ditetapkan dengan SK Direktur Pendidikan Agama Islam Nomor : Dt.I.II/5/1780/14 Tanggal 27 Nopember 2014, kemudian menurut Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 197 tahun 2014 Tentang Penetapan Penerimaan Penghargaan Apresisasi Pendidikan Islam Tahun 2014 bahwa Drs. H. Jaimudin, M.Pd.I adalah termasuk kategori Guru PAI berprestasi Tingkat SMP Tahun 2014.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, meyakini perlu untuk

mengadakan penelitian yang berjudul tentang “Implementasi Evaluasi Hasil Belajar

Ranah Afektif Pendidikan Agama Islam di SMPN 1 Tanara Serang Banten”.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Masalah yang diperoleh dari SMPN 1 Tanara adalah sebagai berikut.

a. Tidak teraplikasinya ranah afektif dalam pelaksanaan program belajar

mengajar dapat menimbulkan dekadensi moral para remaja.

b. Kurangnya pemahaman guru tentang proses penentuan nilai akhir dari mata

pelajaran PAI.

c. Kurangnya kompetensi guru PAI dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar

PAI dalam ranah afektif.

d. Guru PAI belum sepenuhnya dalam mengimplementasikan sistem evaluasi

ranah afektif.

2. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas agar penelitian lebih terarah dan fokus, maka

peneliti membatasi hanya pada guru PAI belum sepenuhnya dalam

mengimplementasikan sistem evaluasi ranah afektif. Evaluasi yang dimaksud disini adalah penerapan penilaian yang dilakukan oleh guru PAI berprestasi yang bertugas di SMPN 1 Tanara Serang Banten dalam menilai semua aspek dalam pembelajaran PAI kelas IX, mulai dari kognitif, afektif dan psikomotorik. Dari RPP, soal, dan sistem penilaiannya.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah guru PAI di SMPN 1 Tanara Serang Banten sudah mengimplementasikan evaluasi ranah afektif dengan baik di SMPN 1 Tanara Serang Banten?

C.Tujuan Penelitian 1. Akademis

(22)

2. Terapan

Tujuan terapan dalam penelitian ini adalah untuk mencari dan memaparkan penyebab evaluasi ranah afektif tidak terlaksana.

D.Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis

Menambah pengetahuan dan pemahaman terkait kompetensi guru PAI dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar PAI pada ranah afektif.

2. Bagi Guru

Untuk melakukan inovasi dengan usaha mengoptimalkan peran guru dalam penerapan evaluasi ranah afektif.

3. Bagi Kepala Sekolah

Berguna untuk dijadikan acuan untuk memberikan masukan kepada guru dalam proses penerapan evaluasi ranah afektif

4. Bagi lembaga pendidikan

Berguna untuk dijadikan sebagai bahan sumber diskusi atau seminarium bagi para guru Pendidikan Agama Islam dalam meningkatkan kemampuan akademiknya.

5. Bagi lembaga pemerintah

Menjadikan bahasan ini sebagai dasar lokakarya dan sidang-sidang birokrat bagi pihak yang akan merumuskan kebijakan tentang peningkatan kualitas kemampuan guru Pendidikan Agama Islam.

6. Bagi peneliti lainnya

Sebagai gambaran sekaligus modal awal untuk melakukan penelitian selanjutnya.

7. Bagi keilmuan

(23)

KAJIAN TEORI

A. Kompetensi Guru

Istilah kompetensi guru mempunyai banyak makna, Syaiful Sagala (2013: 29) mengemukakan bahwa “kompetensi adalah kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan.” Sementara Mulyasa (2009: 26) mengemukakan bahwa “kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme.” Sedangkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa “kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.”

Dari uraian di atas, dapat terlihat bahwa kompetensi itu mengarah pada kemampuan melaksanakan tugas atau sesuatu yang didapatkan dari hasil pendidikan. Kompetensi guru mengacu kepada perbuatan yang logis untuk dapat memenuhi hal-hal tertentu dalam melaksanakan tugas pendidikan.

Selanjutnya, kompetensi guru dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar pada ranah afektif yaitu bertolak pada kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh seorang guru. Kompetensi pedagogik Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 Tentang Guru, pada pasal 3 ayat 4 menjelaskan bahwa:

Kompetensi pedagogik sebagaimana dimaksud padaayat (2) merupakan kemampuan

Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya

meliputi: pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; pemahaman terhadap

peserta didik; pengembangan kurikulum atau silabus; perancangan pembelajaran;

pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; pemanfaatan teknologi

pembelajaran; evaluasi hasil belajar; dan pengembangan peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya “PP No. 74 Tahun 2008” (h, 6).

Jadi kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan

pembelajaran (menyusun RPP), evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik

untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Dalam penilaian dan evaluasi, guru mampu menyelenggarakan penilaian proses dan hasil belajar secara berkesinambungan. Guru melakukan evaluasi atas efektivitas proses dan hasil belajar dan menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk

merancang program remedial dan pengayaan. Dalam Pedoman Pelaksanaan Penilaian

Kinerja Guru (PK Guru), yang telah dibuat oleh kemendiknas (2010, 45) Guru mampu menggunakan hasil analisis penilaian dalam proses pembelajarannya, di antara sebagai berikut:

(24)

1. Guru menyusun alat penilaian yang sesuai dengan tujuan pembelajaran untuk mencapai kompetensi tertentu seperti yang tertulis dalam RPP.

2. Guru melaksanakan penilaian dengan berbagai teknik dan jenis penilaian, selain

penilaian formal yang dilaksanakan sekolah, dan mengumumkan hasil serta implikasinya kepada peserta didik, tentang tingkat pemahaman terhadap materi pembelajaran yang telah dan akan dipelajari.

3. Guru menganalisis hasil penilaian untuk mengidentifikasi topik/kompetensi dasar

yang sulit sehingga diketahui kekuatan dan kelemahan masingmasing peserta

didik untuk keperluan remedial dan pengayaan.

4. Guru memanfaatkan masukan dari peserta didik dan merefleksikannya untuk

meningkatkan pembelajaran selanjutnya, dan dapat membuktikannya melalui catatan, jurnal pembelajaran, rancangan pembelajaran, materi tambahan, dan sebagainya.

5. Guru memanfatkan hasil penilaian sebagai bahan penyusunan rancangan

pembelajaran yang akan dilakukan selanjutnya.

Pada kemampuan evaluasi hasil belajar yang harus dilakukan guru antara lain melakukan penilaian kepada peserta didik. Penilaian hasil belajar oleh pendidik pada ranah afektif sudah tertuang dalam PP Nomor 32 Tahun 2013 pasal 64 ayat 3, menyatakan bahwa “penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui: (a) pengamatan terhadap perubahan prilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; serta (b) ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.”

Dengan demikian kompetensi guru dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar ranah afektif adalah sesuatu hal yang harus dikuasi oleh guru PAI di sekolah .

B. Taksonomi dalam Proses Belajar

Proses Belajar Mengajar bukan hanya pemupukan ilmu pengetahuan saja, melainkan merupakan proses interaksi yang kompleks yang bertalian dengan sikap, nilai, ketrampilan, dan juga pemahaman. Anak yang sedang belajar pada dasarnya tidak bereaksi terhadap lingkungan secara intelektual, tetapi juga emosional dan sering juga secara pisik. Rangkaian perubahan dan pertumbuhan fungsi-fungsi jasmani, pertumbuhan watak, pertumbuhan intelektual, dan pertumbuhan sosial, itu semua tercakup di dalam peristiwa yang disebut proses belajar mengajar dan berintikan interaksi belajar mengajar (Ismail: 2013, 241). Ranah ini sebagai tujuan dari pendidikan di dalam pendidikan dikenal menjadi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.

Ketiga tujuan ranah penilaian ini merupakan Taksonomi yang dikembangkan oleh Benyamin S. Bloom beserta pemikir pendidikan lainnya seperti M.D. Englehert, E. Frust, W.H. Hill, David R. Krathwohl dan didukung pula oleh Ralph E. Taylor. Namun Bloom mengkonsentrasikan diri pada ranah kognitif, sementara domain afektif dikembangkan oleh Krathwohl, dan domain psikomotor dikembangkan oleh Simpson.

1. Ranah kognitif

(25)

sederhana sampai dengan hal yang kompleks) (Bloom, 1956:17). Keenam jenjang yang dimaksud adalah:

a. Pengetahuan (knowledge)

b. Pemahaman (comprehension)

c. Penerapan (application)

d. Analisis (analysis) e. Sintesis (synthesis) f. Evaluasi (evaluation)

Knowledge adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali tentang sesuatu

hal. Pengetahuan ini merupakan level berpikir yang paling rendah. Comprehensionadalah

kemampuan seseorang untuk memahami atau mengerti sesuatu, setelah sesuatu tersebut berhasil diketahui. Seseorang dikatakan telah memahami sesuatu apabila dapat memberikan penjelasan secara rinci tentang sesuatu tersebut dengan bahasanya sendiri.

Applicationialah jenjang menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, metode-metode ,

prinsip-prinsip serta teori-teori, dalam situasi konkrit. Analysis adalah kemampuan

seseorang untuk menguraikan suatu hal, bahan, keadaan, menurut bagian-bagian yang

lebih kecil, serta memahami hubungan antara masing-masing bagian tersebut. Synthesis

adalah kemampuan seseorang untuk memadukan dari bagian-bagian atau unsur-unsur

secara logis sehingga dapat terbentuk pola baru. Sedangkan evaluation adalah kemampuan

seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai, atau ide, misalnya jika seseorang dihadapkan suatu pilihan, maka ia berusaha menemukan suatu kriteria untuk menentukan suatu pilihan (Sudijono: 2011, 25).

Keenam jenjang berpikir kognitif ini bersifat tumpang tindih, di mana jenjang berpikir yang lebih tinggi meliputi semua jenjang yang ada di bawahnya.

Pada tahun 1956, telah terbit buku yang membahas mengenai kerangka kategorisasi tujuan-tujuan pendidikan dari sebuah karya Benjamin Samuel Bloom (editor), M. D.

Engelhart, EJ. Furst, W. H. Hill, dan D. R. Krathwohl, yang berjudul Taxonomy of

Educational Objective, The Classification of Educational Objective, Handbook 1: Cognitive Domain. Yang menjadi dasar untuk menyusun tes dan kurikulum, bukan hanya di Amerika Serikat saja melainkan di seluruh dunia (Anderson & Krathwohl: 2001, xxi). Namun, karena adanya kebutuhan untuk memadukan pengetahuan-pengetahuan dan

pemikiran-pemikiran baru dalam sebuah kategorisasi tujuan pendidikan maka Handbook 1:

Cognitive Domain direvisi oleh Anderson & Krathwohl menjadi sebuah buku yang

berjudul A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s

Taxonomy of Educational Objective. Revisi dari taksonomi Bloom ini membagi kategori dalam dimensi pengetahuan ditetapkan empat jenis pengetahuan dan dimensi proses kognitif dibagi enam kategori.

Kategori Dimensi Pengetahuan

Pada kategori dimensi pengetahuan para ahli yang merevisi taksomoni pendidikan

Bloom ini menetapkan empat jenis pengetahuan, yaitu Faktual, Konseptual, Prosedural,

(26)

Tabel 2. 1

Taksonomi Pendidikan

Dimensi Pengetahuan

Dimensi Proses Kognitif

1.

M

eng

inga

t

2.

Mem

ah

am

i

3.

M

enga

pl

ika

si

ka

n

4.

M

enga

na

li

si

s

5.

M

enge

va

lua

si

6.

M

enc

ipt

a

A.Pengetahuan Faktual

B. Pengetahuan Konseptual

C. Pengetahuan Prosedural

D.Pengetahuan Metakognitif

Sumber: (Anderson & Krathwohl: 2001, 28).

Pengetahuan faktual adalah elemen-elemen dasar yang harus diketahui siswa untuk mempelajari satu disiplin ilmu atau untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam disiplin

ilmu tersebut. Pengetahuan konseptual adalah hubungan-hungan antarelemen dalam

sebuah struktur besar yang memungkinkan elemen-elemennya berfungsi secara

bersama-sama. Pengetahuan prosedural adalah bagaimana melakukan sesuatu, mempraktikkan

metode-metode penelitian, dan kriteria-kriteria untuk menggunakan keterampilan,

algoritme, teknik, dan metode. Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang

kognisi secara umum, kesadaran, dan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri (Anderson & Krathwohl: 2001, 29).

Kategori-kategori dalam dimensi proses kognitif

Kategori-kategori dalam dimensi proses kognitif merupakan pengklasifikasian proses-proses kognitif siswa secara komprehensif yang terdapat dalam tujuan-tujuan di bidang pendidikan. Dimensi proses kognitif ini dibagi menjadi enam kategori. Keenam dimensi proses kognitif yang dimaksud adalah:

a. Mengingat (remember)

b. Memahami (understand)

(27)

d. Menganalisis (analyze)

e. Mengevaluasi (evaluate)

f. Mencipta (create) (Anderson & Krathwohl: 2001, 32).

Untuk lebih jelasnya digambarkan pada tabel berikut:

Tabel 2. 2

Dimensi Proses Kognitif

Kategori dan Proses Kognitif

Nama-nama Lain Definisi dan Contoh

1. Mengingat (remember) = mengambil pengetahuan dari memori jangka panjang

Mengenali Mengidentifikasi Menempatkan pengetahuan dalam memori

jangka panjang yang sesuai dengan pengetahuan tersebut (seperti, mengenali tanggal terjadinya peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Indonesia)

Mengingat kembali Mengambil Mengambil pengetahuan yang relevan dari

memori jangka panjang (misalnya, mengingat kembali tanggal peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Indonesia)

2. Memahami (understand) = mengkontruksi makna dari materi pembelajaran,

termasuk apa yang diucapkan, ditulis, dan digambar oleh guru.

Menafsirkan Mengklarifikasi,

memparafrasakan

Mengubah satu bentuk gambaran (misalnya, angka) jadi bentuk lain (misalnya, kata-kata) (misalnya, memparafrasakan ucapan dan dokumen penting)

Mencontohkan Mengilustrasikan,

memberi contoh

Menemukan contoh atau ilustrasi tentang konsep atau prinsip (misalnya, memberi contoh tentang aliran-aliran seni lukis)

Mengklasifikasikan Mengategorikan,

mengelompokan

Menentukan sesuatu dalam satu kategori (misalnya, mengklasifikasikan kelainan-kelaianan mental yang telah diteliti atau dijelaskan)

Merangkum Mengabstraksi,

menggeneralisasi

(28)

Menyimpulkan

Membandingkan

Menjelaskan

Menyarikan, mengekstrapolasi, menginterpolasi, memprediksi

Mengontraskan, memetakan, mencocokan

Membuat model

Membuat kesimpulan yang logis dari informasi yang diterima (misalnya, dalam belajar bahasa asing, menyimpulkan tata bahasa berdasarkan contoh-contohnya)

Menentukan hubungan antara dua ide, dua objek, dan semacamnya (misalnya, membandingkan peristiwa-peristiwa sejarah dengan keadaan sekarang)

Membuat model sebab-akibat dalam sebuah sistem (misalnya, menjelaskan sebab-sebab terjadinya peristiwa-peristiwa penting pada abad ke-18 di Indonesia)

3. Mengaplikasikan (apply) = menerapkan atau menggunakan suatu prosedur dalam

keadaan tertentu.

Mengeksekusi

Mengimplementasikan

Melaksanakan

Menggunakan

Menerapkan suatu pada tugas yang familier (misalnya, membagi satu bilangan dengan bilangan lain, kedua bilangan ini terdiri dari beberapa digit.

Menerapkan suatu prosedur pada tugas yang tidak familier (misalnya, menggunakan hukum Newton kedua pada konteks yang tepat)

4. Menganalisis (analyze) = memecah-mecah materi jadi bagian-bagian penyusunya

dan menentukan hubungan-hubungan antarbagian itu dan hubungan antara bagian-bagian tersebut dari keseluruhan struktur atau tujuan

Membedakan Menyendirikan,

memilah, memfokuskan, memilih

Membedakan bagian materi pelajaran yang relevan dari yang tidak relevan, bagian yang yang penting dari yang tidak penting (membedakan antara bilangan yang relevan dari bilangan yang tidak relevan dalam soal cerita matematika)

Mengorganisasi Menemukan

koherensi, memadukan, membuat garis besar,

mendeskripsikan

Menentukan bagaimana elemen-elemen bekerja atau berfungsi dalam sebuah struktur (misalnya, menyusun bukti-bukti dalam cerita sejarah jadi bukti-bukti yang

(29)

peran,

menstrukturkan

penjelasan historis)

Mengatribusikan Mendekontruksi Menentukan sudut pandang, bias, nilai,

atau maksud di balik materi penjelasan (misalnya, menunjukan sudut pandang penulis suatu esai sesuai dengan pandangan politik penulis)

5. Mengevaluasi (evaluate)= mengambil keputusan berdasarkan kriteria dan/atau

standar

Memeriksa Mengoordinasi

mendeteksi, memonitor, menguji

Menemukan inkonsistensi atau kesalahan dalam suatu proses atau produk, menetukan apakah suatu proses atau produk memilki konsistensi internal; meneukan efektivitas suatu prosedur yang sedang dipraktikan (misalnya, memeriksa apakah kesimpulan-kesimpulan seorang ilmuwan sesuai dengan data-data amatan atau tidak)

Mengkritik Menilai Menemukan inkonsistensi antara suatu

produk dari kriteria eksternal; menentukan apakah suatu produk memilki konsistensi eksternal; menemukan ketepatan suatu prosedur untuk menyelesaikan masalah (misalnya, menentukan satu metode terbaik dari dua metode untuk menyelesaikan suatu masalah)

6. Mencipta (create) = memadukan bagian-bagian untuk membentuk sesuatu yang

baru dan koheren atau untuk membuat suatu produk yang orisinil

Merumuskan Membuat hipotesis Membuat hipotesi-hipotesis berdasarkan

kriteria (misalnya, membuat hipotesis tentang sebab-sebab terjadinya suatu fenomena)

Merencanakan Mendesain Merencanakan prosedur untuk

(30)

Memproduksi Mengkonstruksi Menciptakan suatu produk (misalnya, membuat habitat untuk spesies tertentu demi satu tujuan)

Sumber: (Anderson & Krathwohl: 2001, 67-68).

Tabel di atas menjelaskan kerangka enam kategori pada dimensi proses kognitif:

mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Pengetahuan yang dibutuhkan ini boleh jadi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif.

2. Ranah afektif

Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Bloom dan koleganya menggarisbawahi lima kategori utama dalam ranah afektif (Krathwohl: 1980, 95). Ranah afektif ini lalu kembangkan oleh Krathwohl sebagaimana yang dikemukakan lima jenjang afektif, yaitu

a. Pengenalan (receiving),

b. Pemberian respon (responding),

c. Penghargaan (valuing),

d. Mengorganisasikan (organization), dan

e. Pengamalan (characterization by a value or value complex) (Krathwohl: 1980,

95).

Kemudian ranah ini dikenal dengan istilah (A1) penerimaan (A2) tanggapan, (A3) penilaian, (A4) organisasi dan (A5) karakter. Sehingga gambaran hirarki afektif yang disajikan oleh krathwohl dkk sebagai berikut:

characterization

organization

valuing

responding

[image:30.516.59.460.254.523.2]

receiving

Gambar 2. 1 Tingkatan Ranah Afektif Menurut Krathwohl

(31)

Responding atau menanggapi mengandung arti adanya partisipasi aktif. Kemampuan ini bertalian dengan partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respon, berkeinginan memberi respon, atau kepuasan dalam memberi respon. Tingkat tertinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus. Misalnya senang membaca al-Quran dan mendalami petunjuk di dalamnya, senang membantu, senang terhadap kebenaran dan sebagainya (Darmadji: 2011, 5).

Valuing yaitu memberikan penghargaan atau nilai pada suatu kegiatan, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian. Dalam penilaian ini termasuk di dalamnya kesediaan menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Dalam tujuan pembelajaran PAI, penilaian ini diklasifikasikan ke dalam sikap keberagamaan (Darmadji: 2011, 6).

Organization artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup yang Islami secara subtansial (tidak fanatisme buta terhadap mazhab atau golongan tertentu) (Darmadji: 2011, 6).

Jenjang ranah afektif tertinggi Characterization by a value or value complex

(pengamalan) ialah keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Dalam hal ini, proses internalisasi nilai telah menduduki tempat tertinggi dalam suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan mempengaruhi emosinya. Pada jenjang ini peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial atau membentuk karakter pribadi muslim yang utuh sebagaimana pribadi Rasulullah Muhammad SAW (Darmadji: 2011, 6).

Berdasarkan penjelasan di atas maka penilaian afektif harus dikembangkan oleh guru dalam proses belajar mengajar tentunya sangat bergantung kepada mata pelajaran dan jenjang kelas, namun yang pasti setiap mata pelajaran memiliki indikator afektif dalam kurikulum.

3. Ranah psikomotorik

Taksonomi ranah psikomotorik tidak diterbitkan menjadi handbook oleh Bloom

sendiri, melainkan melalui topik dari berbagai analisis dan perbaikan oleh psikolog pendidikan lainnya. Mengikuti kepada Simpson (1972: 25), kategori di bawah ini dapat dirinci sebagai berikut:

a. Tanggapan (perception)

b. Kumpulan (set)

c. Tanggapan terpandu (guided response)

d. Mekanisme (mechanism)

e. Tanggapan jelas kompleks (complex overt response)

(32)

C. Ruang Lingkup Evaluasi Pembelajaran

Zainal Arifin (2011, h. 21-30) mengemukakan ruang lingkup evaluasi pembelajaran terdapat empat bagian:

1. Ruang lingkup dalam perspektif domain hasil belajar, yang dikelompokkan

menjadi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dimana ketiga domain ini disusun menjadi beberapa jenjang kemampuan mulai dari hal yang sederhana sampai dengan hal yang kompleks, mulai dari hal yang mudah sampai dengan hal yang abstrak.

2. Ruang lingkup dalam perspektif sistem pembelajaran, yang mencakup: a) program

pembelajaran yang meliputi: tujuan pembelajaran umum atau kompetensi dasar, materi, metode, media, lingkungan dan penilaian pembelajaran; b) proses pelaksanaan pembelajaran yang meliputi kegiatan guru dan peserta didik; c) hasil pembelajaran (jangka pendek, menengah, dan panjang).

3. Ruang lingkup dalam perspektif penilaian proses dan hasil belajar, terdiri dari: a)

sikap dan kebiasaan , motivasi, minat, bakat; b) pengetahuan dan pemahaman peserta didik terhadap bahan pelajaran; c) kecerdasan peserta didik; d) perkembangan jasmani/ kesehatan ; dan e) keterampilan.

4. Ruang lingkup dalam perspektif penilaian berbasis kelas, terdiri dari: a)

kompetensi dasar mata pelajaran; b) kompetensi rumpun pelajaran; c) kompetensi lintas kurikulum; d) kompetensi tamatan; e) pencapaian keterampilan hidup; f) keterampilan vokasional (Arifin: 2011, 21-30).

Adapun ruang lingkup penilaian hasil belajar peserta didik dalam kurikulum 2013 mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan (Permendikbud no. 66 tahun 2013: h. 3). Salah satu bentuk dari penilaian itu adalah penilaian otentik. Penilaian otentik dalam permendikbud no. 66 tahun 2013 adalah “penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai

mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran”. Dengan kata

lain, penilaian otentik adalah model penilaian yang dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung berdasarkan tiga kompetensi di atas, yakni:

a. Penilaian kompetensi sikap

Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian diri,

penilaian “teman sejawat”(peer evaluation) oleh peserta didik dan jurnal. Instrumen yang

digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan penilaian antarpeserta didik adalah daftar

cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa

catatan pendidik.

b. Penilaian Kompetensi Pengetahuan

Pendidik menilai kompetensi pengetahuan melalui tes tulis, tes lisan, dan penugasan. c. Penilaian Kompetensi Keterampilan

Pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, projek, dan penilaian portofolio. Instrumen yang digunakan

berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang dilengkapi rubrik (Permendikbud

no. 66 tahun 2013: h. 4).

(33)

pendekatan saintifik. Saintifik merupakan sikap yang didasari oleh cara berpikir yang mengikuti metode ilmiah dalam menghadapi suatu persoalan atau fenomena (Anas: 2014, 165). Pada pendekatan ini siswa diarahkan untuk mengelaborasikan, menemukan, dan menjelaskan fenomena yang terjadi di lapangan berdasarkan hasil temuannya. Dengan demikian, pendekatan ini mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa siswa akan memahami pengetahuan berdasarkan apa yang ia rasakan dan temukan.

D. Prinsip-prinsip Evaluasi Pembelajaran

Dalam pelaksanaan evaluasi perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai dasar pelaksanaan penilaian. Prinsip-prinsip sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Permendikbud No. 53 Tahun 2015 tentang penilaian hasil belajar oleh pendidik dan satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah, pada pasal 4 ialah:

1. Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan

yang diukur.

2. Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak

dipengaruhi subjektivitas penilai.

3. Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena

berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.

4. Terpadu, berarti penilaian merupakan salah satu komponen yang tidak terpisahkan

dari kegiatan pembelajaran.

5. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan

keputusan dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

6. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian mencakup semua aspek

kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.

7. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara terencana dan bertahap dengan

mengikuti langkah-langkah baku.

8. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi

yang ditetapkan. Dan

9. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik,

prosedur, maupun hasilnya.

Pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan kriteria (PAK). PAK merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang didasarkan pada kriteria ketuntasan minimal (KKM). KKM merupakan kriteria ketuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh satuan pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik Kompetensi Dasar yang akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik peserta didik (Permendkibud No. 66 Tahun 2013, h. 3).

Sementara Anas Sudijono (2011) menyatakan bahwa, “evaluasi hasil belajar dapat dikatakan terlaksana dengan baik apabila dalam pelaksanaannya berpegang teguh pada tiga prinsip dasar, yaitu (1) prinsip keseluruhan, (2) prinsip kesinambungan, dan (3) prinsip objektivitas” (h, 5).

(34)

pembelajaran yakni; sahih, objektif, adil, terpadu, terbuka, komprehensif dan kontinu, sistematis, beracuan kriteria, dan akuntabel.

E. Evaluasi Ranah Afektif

Anas Sujiono (2011: 54) berpendapat bahwa “ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai”. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Seperti: perhatiannya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti mata pelajaran agama di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan agama Islam dan sebagainya.

Hingga dewasa ini, ranah afektif merupakan kawasan pendidkan yang masih sulit untuk digarap secara operasional. David Krathwohl beserta para kawan-kawannya yang merupakan para pakar dengan reputasi akademik mengeluhkan betapa sulit mengembangkan kawasan afektif terutama jika dibandingkan dengan kawasan kognitif (Krathwohl, 1964:22). Kawasan afektif seringkali tumpang tindih dengan kawasan kognitif dan psikomotor. Teoritik bisa membedakannya, praktiknya tidak demikian. Oleh karena itu David R. Krathwohl (Krathwohl, 1964: 7), mendefinisikan ranah afektif sebagai berikut: “affective: objectives which emphasize a feeling tone, an emotion, or a degree of acceptance or rejection, affective objectivies vary from simple attention to selected phenomena to complex but internally consistent qualities of character and conscience. We found a large number of such objectivies in the literature expressed as interest, attutides, appreciations, values, and emotional sets or biases.” Afektif ialah perilaku yang menekankan perasaan. Emosi atau derajat tingkat penolakan atau penerimaan terhadap suatu objek. Tujuan afektif mengubah dari yang sederhana menuju fenomena yang komplek (lebih rumit) serta menanamkan fenomena yang sesuai dengan karakter dan kata hatinya. Kita menemukan sejumlah besar tujuan yang tampak melalui sikap, minat, apresiasi, nilai dan emosi atau prasangka.”

Istilah “afektif” sendiri sebenarnya mempunyai makna yang sangat luas. Walaupun banyak tokoh, termasuk para pakar pendidikan yang menyadari betapa pentingnya ranah afektif ini dalam proses pendidikan, namun belum ada definisi yang dapat disepakati bersama tentang afektif ini. Maka kaitannya dengan pembelajaran terutama pendidikan agama Islam, bahwa aspek afektif sering disamakan dengan akhlak. Padahal antara sikap dan akhlak adalah berbeda sekali. Meskipun demikian sebutan untuk ranah afektif merupakan bahasan yang sangat luas sejak diterbitkannya taksonomi tujuan pendidikan oleh Benyamin S. Bloom dan kawan-kawan (Bloom: 1956, 16).

Pada kurikulum 2013 lingkup penilaian ranah afektif merupakan dominan yang utama sehingga urutannya sangat berbeda dengan kurikulum sebelumnya yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan. Dan masalah sikap pada kurikulum ini dibagi menjadi dua

kompetensi yakni, kompetensi sikap spiritual yang terkait dengan pembentukan peserta

didik yang beriman dan bertakwa, dan sikap sosial yang terkait dengan pembentukan

(35)

Dengan demikian penilaian ranah afektif adalah penilaian terhadap perilaku atau sikap siswa untuk mengetahui sejauh mana perilaku atau sikap siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan.

F. Evaluasi Pembelajaran PAI Ranah Afektif

Salah satu kompetensi yang harus dikuasai guru adalah evaluasi pembelajaran. Kompetensi ini sejalan dengan tugas dan tanggung jawab guru dalam pembelajaran, yaitu mengevaluasi pembelajaran termasuk di dalamnya melaksanakan penialaian proses dan hasil belajar.

Selanjutnya, yang dimaksud evaluasi pendidikan agama Islam adalah suatu cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental dan spiritual, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakat (Arifin: 2009, 162). Sedangkan Armai arief (2002) berpendapat yang dimaksud dengan “evaluasi pendidikan agama Islam adalah suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu aktivitas di dalam pendidikan Islam, evaluasi ini diterapkan dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode, fasilitas dan sebagainya” (h. 67).

Dengan demikian dapat disimpulkan maksud dari evaluasi pendidikan agama Islam adalah pengambilan sejumlah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam guna melihat sejauh mana keberhasilan pendidik yang selaras dengan nilai-nilai Islam sebagai tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.

G. Karakteristik Ranah Afektif

Dalam melakukan penilaian agar tidak terjadi kesalahan, baik dalam instrumen yang digunakan maupun langkah-langkah proses penilaiannya, maka seorang guru perlu mengetahui karakteristik ranah afektif dalam pembelajaran yang dilaksanakan. Di antara karakteristik ranah afektif yang penting adalah:

1. Sikap

Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal maupun nonverbal. Perubahan sikap dapat diamati mulai dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu (Darmadji, 2011: 6).

(36)

Sikap tidak identik dengan respon dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respon reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau situasi (Asrori: 2011, 141).

Dengan demikian bahwa sikap merupakan salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting, karena sikap merupakan suatu kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang. Dan sikap terdiri dari tiga komponen yakni, komponen afektif, kognitif, dan konatif (Zakaria: 2008, 1-3). Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan individu, mendorong psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk mengukur sikap manusia. Pengukuran sikap ini dapat dilakukan dengan cara observasi perilaku, pertanyaan langsung, laporan peribadi, dan penggunaan skala sikap (Asrori: 2011, 141-143).

Selanjutnya, perubahan sikap dapat diamati mulai dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap ini merupakan penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap objek di atas, bahkan termasuk mata pelajaran PAI dan sub-sub pokok bahasan yang ada di dalamnya. Dan sikap siswa akan tampak setelah mereka dihadapkan suatu kejadian yang timbul di hadapan mereka, sehingga sikap bisa menyikapi sesuai dengan pengalamannya dan hasilnya akan berbeda-beda.

Pertanyaan tentang sikap, meminta responden menunjukkan perasaan yang positif atau negatif terhadap suatu objek tertentu. Kata-kata yang sering digunakan dalam pertanyaan sikap antara lain dengan menyatakan arah perasaan seseorang, misalnya menerima – menolak, menyenangi-tidak menyenangi, baik – buruk, dan lain sebagainya ((Darmadji, 2011: 7).

Dengan demikian untuk mencapai hasil aspek sikap ini maka perlu pembentukan sikap melalui pola pembiasaan dan modeling (dilakukan melalui contoh). Hal ini diperlukan agar sikap tertentu muncul benar-benar didasari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.

2. Minat

Gilbert Sax (1980: 397) dalam bukunya yang berjudul Principle of Educational

Measurement and Evaluation mengemukakan pengertian minat adalah “an interest is a preference for one activity over another”. Minat adalah kesukaan terhadap suatu aktivitas dibanding aktifitas yang lain.

(37)

Dalam proses pembelajaran, penilaian minat dalam konteks PAI digunakan untuk:

a. Mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dan

pembelajarannya.

b. Menggambarkan keadaan langsung antara pokok bahasan tertentu dalam PAI

dengan kondisi nyata di masyarakat.

c. Mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat yang sama.

d. Acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih

model, metode pembelajaran yang tepat.

e. Meningkatkan motivasi belajar peserta didik dan menerapkan nilai-nilai agama

dalam kehidupan nyata di dalam kehidupan (Darmadji: 2011, 7).

Indikator minat pada mata pelajaran PAI dapat dilihat dari memiliki catatan pelajara

Gambar

Gambar 4. 4. Taksonomi Bloom Versi Baru ...................................................................
Tabel 2. 1
Tabel 2. 2
Gambar 2. 1 Tingkatan Ranah Afektif Menurut Krathwohl
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut wilkinson, selain terapi keluarga dan terapi kelompok, meningkatnya tingkat depresi pada lansia di panti wredha atau penampungan-penampungan yang bersifat

Sebagai I mplementasi dari kerjasama tersebut maka pada lanjutan dari proses penyusunan Evaluasi dan Revisi RTRW Kota Batu ini disampaikan naskah Laporan Rencana

Hasil penelitian bahwa, (i) dalam komunitas banyak hal yang terjadi termaksud dari interaksi antar anggota dan pengusaha lain yang mana sangat mempengaruhi

member ikan penawar an sesuai dengan Dokumen Pengadaan Al at Labor atori um Balai POM Kendar i BAB III, Bagian C, Poin 15, ayat a3. Sur at

[r]

Hal ini ditinjau dari ciri-ciri guru yang profesional yang meliputi: (1) mampu menunjukan sikap dan pengetahuan yang berkualitas dalam menjalankan tugas-tugas

Berdasarkan observasi penulis saat melakukan kegiatan PPL. Anak terlihat cenderung pasif melakukan kegiatan bercerita di depan kelas, bahkan dalam satu pertemuan

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dengan menggunakan media papan flanel untuk meningkatkan kemampuan mengenal konsep pola matematika pada