• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Sosial Ekonomi Orang Tua Dan Perilaku Membersihkan Gigi Dengan Pengalaman Karies Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun Di Sekolah Luar Biasa C (Slb-C) Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Sosial Ekonomi Orang Tua Dan Perilaku Membersihkan Gigi Dengan Pengalaman Karies Pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun Di Sekolah Luar Biasa C (Slb-C) Kota Medan"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA SOSIAL EKONOMI ORANG TUA

DAN PERILAKU MEMBERSIHKAN GIGI DENGAN

PENGALAMAN KARIES PADA ANAK

SINDROMA DOWN USIA 6-18 TAHUN

DI SEKOLAH LUAR BIASA C (SLB-C)

KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: IKA MARLINA NIM : 080600052

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Tahun 2013

Ika Marlina

Hubungan antara sosial ekonomi orang tua dan perilaku membersihkan gigi dengan pengalaman karies pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di sekolah luar biasa C (SLB-C) kota Medan

x + 43 halaman

Sindroma Down adalah kelainan kromosom yang menyebabkan terbentuknya karakteristik tertentu diantaranya adalah keterbatasan mental dan keterbatasan fungsi motorik. Keterbatasan ini mengakibatkan anak sukar dalam membersihkan giginya sehingga dapat menyebabkan terjadinya karies gigi. Selain itu, faktor lain yang berperan dalam terjadinya karies gigi yaitu karena kurangnya kesadaran tentang kunjungan ke dokter gigi, kebiasaan makan yang tidak teratur, ketersediaan makanan yang mengandung sukrosa tinggi, dan juga

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik observasi dengan menggunakan rancangan cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling dengan jumlah sampel 79 orang. Pengambilan data

(3)

dilakukan dengan melakukan pemeriksaan klinis dan wawancara orang tua dengan kuesioner. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Mann Whitney dan uji Kruskal Wallis karena data tidak terdistribusi normal.

Hasil penelitian didapat ada hubungan yang bermakna antara perilaku membersihkan gigi dengan pengalaman karies deft pada gigi bercampur dan DMFT pada gigi permanen. Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, ekonomi orang tua, pendidikan ibu dan DMFT pada gigi bercampur dengan pengalaman karies DMFT+deft maupun DMFT.

Dapat disimpulkan bahwa anak yang memiliki perilaku membersihkan gigi buruk menunjukkan nilai karies yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan peranan orang tua dalam menanamkan kedisiplinan kepada anak mereka dalam membersihkan rongga mulut.

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 6 Februari 2013

Pembimbing: Tanda Tangan

(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 6 Februari 2013

TIM PENGUJI

KETUA : Taqwa Dalimunthe, drg., Sp.KGA. ANGGOTA : 1. Yati Roesnawi, drg.

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa skripsi ini selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Yati Roesnawi, drg selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan selaku tim penguji, atas keluangan waktu, saran, dukungan dan bantuan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Siti Salmiah, drg., Sp.KGA selaku dosen pembimbing, atas keluangan waktu, saran, dukungan dan bantuan, motivasi serta bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Taqwa Dalimunthe, drg., Sp.KGA selaku tim penguji, atas keluangan waktu dan saran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. Prof. Ismet Danial Nasution, drg., Ph.D., Sp.Pros(K) selaku penasehat akademik yang telah banyak memberikan motivasi, nasihat, arahan selama penulis menjalani masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

6. Rasa hormat dan terima kasih yang tiada terhingga penulis persembahkan kepada orang tua penulis H. Muslim dan Hj. Armiana, adik-adik penulis atas segala kasih sayang, doa, dan dukungan serta segala bantuan baik berupa moril maupun materil yang tidak akan terbalas oleh penulis.

(7)

disebutkan satu persatu atas dukungan dan bantuan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan ilmu yang penulis miliki menjadikan skripsi ini kurang sempurna, tetapi penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu pengetahuan, dan masyarakat.

Medan, 6 Februari 2013 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.4 Hipotesis ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Down ... 5

2.2 Keadaan Fisik dan Sistemik pada Sindroma Down ... 6

2.2.1 Retardasi Mental Ringan... 7

2.2.2 Retardasi Mental Sedang ... 8

2.2.3 Retardasi Mental Berat ... 8

2.2.4 Retardasi Mental Sangat Berat... 8

2.3 Keadaan Rongga Mulut pada Sindroma Down ... 9

2.4 Karies pada Anak Sindroma Down... 10

2.5 Gambaran Klinis Karies ... 11

2.6 Faktor Etiologi Karies ... 12

2.6.1 Faktor Host atau Tuan Rumah ... 12

2.6.2 Faktor Agen atau Mikroorganisme ... 12

(9)

2.6.4 Faktor Waktu ... 13

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian... 21

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden Anak ... 28

4.2 Karakteristik Responden Ibu... 28

4.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Pengalaman Karies .. 29

4.4 Hubungan Antara Ekonomi Orang Tua dengan Pengalaman Karies ... 30

4.5 Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Pengalaman Karies 31

(10)

4.7 Rerata Pengalaman Karies di Masing-Masing SLB-C Kota

Medan ... 34

BAB 5 PEMBAHASAN ... 36

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Defenisi Operasional Sosial Ekonomi Orang Tua ... 23

2 Defenisi Operasional Perilaku Membersihkan Gigi ... 24

3 Karakteristik Responden Anak ... 28

4 Karakteristik Responden Ibu ... 29

5 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Rerata Pengalaman Karies (DMFT+deft) ... 29

6 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Rerata Pengalaman Karies (DMFT) 30 7 Hubungan Antara Ekonomi Keluarga dengan Rerata Pengalaman Karies (DMFT+deft) ... 30

8 Hubungan Antara Ekonomi Keluarga dengan Rerata Pengalaman Karies (DMFT) ... 31

9 Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Rerata Pengalaman Karies (DMFT+deft) ... 31

10 Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Rerata Pengalaman Karies (DMFT) ... 32

11 Hubungan Antara Perilaku Membersihkan Gigi dengan Rerata Pengalaman Karies (DMFT+deft) ... 33

12 Hubungan Antara Perilaku Membersihkan Gigi dengan Rerata Pengalaman Karies (DMFT) ... 33

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Gambaran Kromosom pada Sindroma Down ... 5

2. Gambaran Keadaan Tubuh Anak Sindroma Down... 6

3. Gambaran Palatum pada Sindroma Down ... 9

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Kuesioner Orang Tua Hubungan antara Sosial Ekonomi Orang Tua dan Perilaku Membersihkan Gigi dengan Pengalaman Karies pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun di Sekolah Luar Biasa C (SLB-C) Kota Medan.

2. Lembar Pemeriksaan Gigi.

3. Informasi kepada Orang tua/ Wali Subjek Penelitian. 4. Surat Pernyataan Kesediaan Menjadi Subjek Penelitian. 5. Data Hasil Penelitian

6. Output Analisis Perhitungan Statistik.

7. Surat Persetujuan Komisi Etik tentang Penelitian Bidang Kesehatan. 8. Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB Santa Lusia.

9. Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB Negeri Pembina. 10. Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB Markus.

11. Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB Muzdalifah. 12. Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB Al-Azhar. 13. Surat Keterangan Melakukan Penelitian di YPAC.

(14)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Tahun 2013

Ika Marlina

Hubungan antara sosial ekonomi orang tua dan perilaku membersihkan gigi dengan pengalaman karies pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di sekolah luar biasa C (SLB-C) kota Medan

x + 43 halaman

Sindroma Down adalah kelainan kromosom yang menyebabkan terbentuknya karakteristik tertentu diantaranya adalah keterbatasan mental dan keterbatasan fungsi motorik. Keterbatasan ini mengakibatkan anak sukar dalam membersihkan giginya sehingga dapat menyebabkan terjadinya karies gigi. Selain itu, faktor lain yang berperan dalam terjadinya karies gigi yaitu karena kurangnya kesadaran tentang kunjungan ke dokter gigi, kebiasaan makan yang tidak teratur, ketersediaan makanan yang mengandung sukrosa tinggi, dan juga

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik observasi dengan menggunakan rancangan cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling dengan jumlah sampel 79 orang. Pengambilan data

(15)

dilakukan dengan melakukan pemeriksaan klinis dan wawancara orang tua dengan kuesioner. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Mann Whitney dan uji Kruskal Wallis karena data tidak terdistribusi normal.

Hasil penelitian didapat ada hubungan yang bermakna antara perilaku membersihkan gigi dengan pengalaman karies deft pada gigi bercampur dan DMFT pada gigi permanen. Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, ekonomi orang tua, pendidikan ibu dan DMFT pada gigi bercampur dengan pengalaman karies DMFT+deft maupun DMFT.

Dapat disimpulkan bahwa anak yang memiliki perilaku membersihkan gigi buruk menunjukkan nilai karies yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan peranan orang tua dalam menanamkan kedisiplinan kepada anak mereka dalam membersihkan rongga mulut.

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindroma Down adalah anomali kromosom autosomal yang paling sering terjadi pada satu dari 600-1000 kelahiran hidup.1-2 Sindroma Down disebut juga sebagai trisomi 21 dan mongolism.2 Angka kejadian di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8 juta jiwa, sedangkan di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak penderita sindroma Down.4 Anak sindroma Down memiliki karakteristik keadaan rongga mulut yang paling umum terjadi yaitu bernafas melalui mulut, openbite,

macroglossia, bibir dan lidah yang berfisur, angular cheilitis, microdonsia, bruxism, kebersihan mulut yang buruk, periodontitis dan karies.

Dalam bidang kesehatan gigi dan mulut, terdapat beberapa pendapat mengenai karies pada anak sindroma Down. Terjadinya karies pada anak sindroma Down dapat disebabkan karena kurangnya kesadaran tentang kunjungan ke dokter gigi, tindakan kesehatan mulut yang kurang memadai, kebiasaan makan tidak teratur, ketersediaan makanan yang mengandung sukrosa yang tinggi, kurangnya flour, kelalaian orang tua dan kurangnya inisiatif terhadap pencegahan.

1

1

Karies gigi merupakan penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan jaringan, dimulai dari permukaan gigi (pit, fisur, dan daerah interproksimal) meluas kearah pulpa.5 Gambaran klinis karies dapat dilihat dari daerah demineralisasi (white spot) atau pit yang mencurigakan atau fisur.6 Karies juga terlihat berwarna coklat kehitaman.

Johnson dan Young dalam tulisan ilmiahnya menyebutkan karies gigi yang sangat rendah pada anak sindroma Down, baik dalam pertumbuhan gigi sulung maupun permanen. Selain itu, Stabholz, dkk menyatakan bahwa prevalensi karies gigi pada anak sindroma Down usia 8-13 tahun adalah 84% bebas karies.

5

1

(17)

29,4%. Penelitian di Indonesia, anak sindroma Down yang datang ke rumah sakit anak dan bersalin Harapan Kita mengalami karies dengan def-t rata-rata 4,65.7 Dan hasil penelitian di kota Makassar menunjukkan angka prevalensi karies gigi yang cukup tinggi pada anak sindroma Down yaitu sebesar 82,6% dengan nilai DMF-T rata-rata 3,69.

Oleh karena masih sedikitnya penelitian yang dilakukan dan juga belum tersedianya data lengkap mengenai rerata pengalaman karies pada anak sindroma Down di Indonesia khususnya di kota Medan, maka penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai pengalaman karies pada anak sindroma Down. Sampel yang diambil adalah seluruh anak penderita sindroma Down yang berada di SLB-C kota Medan, dikarenakan pendataan anak penderita sindroma Down di SLB-C lebih mudah jika dibandingkan dengan pendataan dari rumah ke rumah.

8

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara sosial ekonomi orang tua dan perilaku membersihkan gigi dengan pengalaman karies pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C kota Medan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian untuk menganalisis hubungan antara sosial ekonomi orang tua dan perilaku membersihkan gigi dengan pengalaman karies pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C kota Medan.

Tujuan khusus penelitian:

1. Menganalisis hubungan antara jenis kelamin dengan pengalaman karies pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C kota Medan.

2. Menganalisis hubungan antara sosial ekonomi orang tua dengan pengalaman karies pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C kota Medan.

(18)

4. Menganalisis hubungan antara perilaku membersihkan gigi dengan pengalaman karies pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C kota Medan.

1.4 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan pengalaman karies pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C kota Medan.

2. Ada hubungan antara sosial ekonomi orang tua dengan pengalaman karies pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C kota Medan.

3. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pengalaman karies pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C kota Medan.

4. Ada hubungan antara perilaku membersihkan gigi dengan pengalaman karies pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C kota Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat untuk masyarakat:

Memberikan informasi kepada orang tua mengenai adanya hubungan antara kebersihan rongga mulut dengan terjadinya karies pada anak sindroma Down dan memotivasi orang tua untuk memperhatikan, menjaga dan memberikan pengarahan kepada anak sejak dini untuk menjaga kebersihan mulut. Disamping itu juga dapat memberikan informasi pada orang tua mengenai faktor risiko yang menyebabkan terjadinya karies.

Manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan:

1. Untuk mendapatkan data mengenai pengalaman karies pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun.

2. Sebagai penelitian pendahuluan agar dapat menjadi salah satu acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya di bidang kedokteran gigi anak.

(19)

Manfaat kebutuhan klinis:

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindroma Down

Sindroma Down adalah kelainan kromosom yang disebabkan oleh kesalahan dalam pembelahan sel yang mengakibatkan adanya kromosom tambahan 21 atau trisomi 21.9 Pada saat itu, diagnosis sindrom ini hanya berdasarkan pada temuan fisik. Pada tahun 1956, ditemukan bahwa komplemen normal manusia 46 kromosom dan pada tahun 1959 ditemukan bahwa sindroma Down dikaitkan dengan kromosom ekstra 21, dengan total 47 kromosom.3

Gambar 1. kromosom pada sindroma Down11

(21)

usia ayah yang lebih tua juga menyebabkan tingginya kemungkinan memperoleh bayi dengan sindoma Down.11

2.2 Keadaan Fisik dan Sistemik pada Sindroma Down

Gejala yang muncul akibat sindroma Down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Anak dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar, lehernya agak pendek. Mempunyai paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol. Tampak pangkal hidung yang lebar dan datar, ukuran mulut kecil, letak telinga agak rendah. Jarak diantara 2 mata berjauhan sehingga mata menjadi sipit. Tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics).3,10,12

Gambar 2. Keadaan tubuh anak sindroma down12

(22)

sindroma Down tertunda dan terbatas, namun akan meningkat seiring dengan pertambahan usia.15

Masalah pengucapan pada anak sindroma Down umumnya lebih lambat dibandingkan dengan penerimaan bahasa. Hal ini terkait dengan defisit motorik pusat dan derajat keterbelakangan mental bukan karena masalah artikulasi perifer. Lambatnya berbicara dan kualitas suara serak yang umumnya ditemukan pada anak sindroma Down.

Anak sindroma Down mengalami penggolongan tingkat IQ. Adapun beberapa penggolongan tingkat IQ pada anak sindroma Down yang sama seperti penggolongan tingkat IQ pada anak retardasi mental. Penggolongan tingkat retardasi mental lazim didasarkan pada hasil pengukuran inteligensi. Tes inteligensi sendiri sering dimaksudkan untuk mengukur kemungkinan keberhasilan orang dibidang akademik. Maka pembagian tingkat retardasi mental pada dasarnya merupakan pembagian tingkat kemampuan mengikuti dan menyelesaikan pendidikan formal di sekolah. Selain itu, pembagian tingkat retardasi tersebut mengandung penilaian tentang kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, khususnya menyangkut kemandirian dan tanggung jawab sosial. Pada umumnya dikenal empat tingkat retardasi mental yaitu, retardasi mental ringan, sedang, berat, dan sangat berat.

3

14

2.2.1 Retardasi Mental Ringan

(23)

2.2.2 Retardasi Mental Sedang

Golongan ini memiliki IQ 36-51. Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak-anak usia 4-7 tahun. Secara fisik mereka tampak “wagu” dan biasanya memiliki sejumlah cacat fisik. Koordinasi motoriknya buruk, sehingga gerakan tangan-kaki maupun tubuhnya tidak luwes. Ada yang agresif dan menunjukkan sikap bermusuhan terhadap orang yang belum mereka kenal. Mereka lamban belajar dan kemampuan mereka membentuk konsep sangat terbatas. Namun mereka trainable atau dapat dilatih. Artinya, bila kasus mereka diketahui secara dini, selanjutnya didampingi oleh orang tua dan mendapatkan latihan secukupnya, mereka dapat cukup mandiri dalam mengurus dirinya, termasuk bisa produktif secara ekonomi, baik dalam perawatan di rumah atau di panti asuhan.14

2.2.3 Retardasi Mental Berat

Golongan ini memiliki IQ 20-35. Mereka sering disebut “dependent retarded” atau penderita lemah mental yang tergantung. Perkembangan motorik dan bicara mereka sangat terbelakang, sering disertai gangguan penginderaan dan motorik. Mereka dapat dilatih untuk menolong diri sendiri secara terbatas. Mereka juga dapat dilatih untuk melakukan tugas-tugas sederhana, sedangkan untuk semua hal lain yang lebih kompleks mereka sangat tergantung pada pertolongan orang lain.14

2.2.4 Retardasi Mental Sangat Berat

(24)

2.3

Terdapat beberapa karakteristik keadaan rongga mulut yang ada pada anak dengan sindroma Down. Karakteristik tersebut yaitu anomali kerangka utama yang mempengaruhi struktur orofacial antara lain hipoplasia di pertengahan wajah, dengan jembatan hidung, tulang-tulang wajah pertengahan dan rahang atas yang relatif kecil ukurannya, palatum sempit dan tinggi. Lidah pada anak sindroma Down memiliki masalah seperti makroglossia, lidah yang berfisur, dan pembesaran papilla lidah sehingga pasien mengalami kesulitan berbicara dan pengunyahan.

Keadaan Rongga Mulut pada Sindroma Down

Bibir bawah tebal, kering, dan pecah-pecah.13

Gambar 3. Palatum pada sindroma down15

(25)

2.4 Karies pada Anak Sindroma Down

Karies gigi adalah penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan jaringan, dimulai dari permukaan gigi (pit, fisur, dan daerah interproksimal) meluas kearah pulpa.5 Proses karies ditandai dengan terjadinya demineralisasi pada jaringan keras gigi, diikuti dengan kerusakan bahan organiknya, sehingga terjadinya invasi bakteri dan kerusakan pada jaringan pulpa serta penyebaran infeksi ke jaringan periapikal dan menimbulkan rasa nyeri.

Rendahnya prevalensi karies gigi atau kerusakan gigi pada pertumbuhan gigi sulung dan permanen pada anak sindroma Down telah banyak dilaporkan oleh Cutress, 1971; Orner, 1975; Barnett dkk, 1986; Vigild, 1986; Ulseth dkk, 1991; Gabre dkk, 2001; Bradley & McAlister, 2004; Cheng dkk, 2007; Dellavia dkk, 2009; Davidovich dkk, 2010. Cutress (1971) melakukan penelitian pada 416 penderita sindroma Down dan menemukan prevalensi karies gigi yang lebih rendah daripada populasi normal, tetapi setelah melakukan penyesuaian dengan usia erupsi gigi, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara penderita sindroma Down dengan populasi normal. Selain itu, penelitian Orner pada tahun 1975 mengatakan bahwa penderita dengan sindroma Down memiliki tingkat karies lebih rendah yaitu 1:3 dari saudara kandungnya.

16

2,15

Penelitian Barnett dkk. (1986) dalam New Jersey, AS, menyatakan bahwa penderita sindroma Down memiliki prevalensi karies yang lebih rendah bila dibandingkan dengan usia penderita cacat mental. Vigild (1986) juga melaporkan bahwa terdapatnya lesi karies pada penderita sindroma Down lebih sedikit, demikian juga pada gigi permanennya dibandingkan dengan orang-orang cacat mental.

Penderita sindroma Down yang bebas karies memiliki jumlah Streptococcus mutans yang jauh lebih rendah dan peningkatan saliva streptococcus mutans

khususnya konsentrasi IgA. 15

15,17

(26)

menunjukkan bahwa saliva yang berbeda pada lingkungan elektrolit dan pH pada anak sindroma Down menyebabkan tingkat karies yang lebih rendah.15 Menurut penelitian Putri (2011) nilai DMF, viskositas, serta jumlah S.mutans pada anak sindroma Down lebih rendah daripada anak normal sedangkan pH, jumlah elektrolit dan IgA yang lebih tinggi daripada anak normal sehingga dapat disimpulkan bahwa rendahnya karies gigi pada anak sindroma Down dapat dihubungkan dengan pH basa, viskositas dan jumlah S.mutans yang rendah, serta konsentrasi elektrolit dan IgA yang tinggi pada saliva mereka.

Hasil penelitian Thamer A Al- Khadra (2011) pengalaman karies pada penderita sindroma Down pada pria 11,99 ± 3,91 dan wanita 12,07 ± 4,22. Dan pengalaman DMFT menurut usia dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: 3-6 tahun adalah 4,71 ± 1,27; 7-14 tahun adalah 6,09 ± 2,34; dan 15-21 tahun adalah 3,93 ± 1,64.

18

17

Penelitian di Indonesia, anak sindroma Down yang datang ke rumah sakit anak dan bersalin Harapan Kita mengalami karies dengan def-t rata-rata 4,65.7 Dan hasil penelitian di kota Makasar menunjukkan angka prevalensi karies gigi yang cukup tinggi pada anak sindroma Down yaitu sebesar 82,6% dengan nilai DMF-T rata-rata 3,69.8

2.5 Gambaran Klinis Karies

Gambaran klinis karies secara visual dapat dilihat pada pit atau fisur dan dengan penggunaan sonde gigi untuk menentukan adanya kehilangan kontinuitas atau kerusakan dalam enamel dan menilai kelembutan atau ketahanan dari enamel dan terlihat berwarna coklat.5-6

(27)

2.6 Faktor Etiologi Karies

2.6.1 Faktor Host atau Tuan Rumah

Ada beberapa faktor yang dihubungkan dengan gigi sebagai tuan rumah terhadap karies yaitu faktor morfologi gigi (ukuran dan bentuk gigi), struktur enamel, faktor kimia dan kristalografis. Pit dan fisur pada gigi posterior sangat rentan terhadap karies karena sisa-sisa makanan mudah menumpuk di daerah tersebut terutama pit dan fisur yang dalam. Permukaan gigi yang kasar juga dapat menyebabkan plak mudah melekat dan membantu perkembangan karies gigi.5,16 Bentuk fisur yang terdapat pada anak sindroma Down merupakan fisur yang dangkal.15

2.6.2 Faktor Agen atau Mikroorganisme

Plak gigi memegang peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies. Plak merupakan suatu lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan. Mikroorganisme yang paling banyak dijumpai pada plak seperti streptococcus mutans, streptococcus sanguis,

streptococcus mitis dan streptococcus salivarius. Streptococcus mutans mempunyai sifat asidogenik (memproduksi asam) dan asidurik (resisten terhadap asam).16 Jumlah

Streptococcus mutans pada anak sindroma Down jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak normal.15

2.6.3 Faktor Substrat atau Diet

(28)

2.6.4 Faktor Waktu

Karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi, diperkirakan 6-48 bulan.16 Bakteri dalam plak memanfaatkan substrat untuk menghasilkan zat asam yang terus diproduksi selama mengkonsumsi makanan kariogenik. Asam ini akan menyerang permukaan enamel selama 20 menit, hal ini umumnya disebut acid attack. Acid attack yang berulang dan berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan enamel secara terus menerus hingga membentuk sebuah kavitas.19

2.7 Faktor Risiko Terjadinya Karies

Selain faktor etiologi karies, juga terdapat beberapa faktor resiko terhadap karies, diantaranya sebagai berikut :

2.7.1 Pengalaman Karies

Penelitian epidemiologis telah membuktikan adanya hubungan antara pengalaman karies dengan perkembangan karies di masa mendatang. Tingginya skor pengalaman karies pada gigi sulung dapat memprediksi terjadinya karies pada gigi permanennya.16

2.7.2 Penggunaan Flour

Pemberian flour yang teratur baik secara sistemik maupun lokal merupakan hal yang penting diperhatikan dalam mengurangi terjadinya karies oleh karena dapat meningkatkan remineralisasi. Jumlah kandungan flour dalam air minum dan makanan harus diperhitungkan pada waktu memperkirakan kebutuhan tambahan flour, karena pemasukan flour yang berlebihan dapat menyebabkan flourosis.16

2.7.3 Oral Hygiene

(29)

efektif.16 Oral hygiene pada anak sindroma Down buruk jika orang tua tidak memperhatikan dengan baik dan kurangnya inisiatif orang tua terhadap pencegahannya.

Pemakaian sikat gigi elektrik lebih ditekankan pada anak yang mempunyai masalah khusus. Pasta gigi yang mengandung 1000-2800 ppm menunjukkan hasil yang baik dalam pencegahan karies tinggi pada anak di antara umur 6-16 tahun. Anak sebaiknya tiga kali sehari menyikat gigi segera sesudah makan dan sebelum tidur malam.

1

Pemakaian benang gigi dianjurkan pada anak yang berumur 12 tahun ke atas di mana selain penyakit periodontal meningkat pada umur ini, flossing juga sulit dilakukan dan memerlukan latihan yang lama sebelum benar-benar menguasainya. Profesional profilaksis (skeling, aplikasi flour) dilakukan oleh dokter gigi atau tenaga kesehatan anak. Pada anak cacat dan keterbelakangan mental, hal ini harus lebih ditekankan.20

2.7.4 Jumlah Bakteri

Kolonisasi bakteri didalam mulut disebabkan transmisi antar manusia, yang paling sering dari ibu.16 Pada waktu bayi masih dalam kandungan, di dalam mulut tidak dijumpai bakteri tetapi bakteri mulai berdiam di dalam mulut begitu bayi melewati vagina sewaktu proses kelahiran.5 Penelitian Nuraini menunjukkan adanya korelasi antara level S. mutans ibu dengan anak. Jika ibu mempunyai level S. mutans

yang tinggi maka level S. mutans pada anak juga tinggi. Bayi yang memiliki jumlah

S. mutans yang banyak, maka usia 2-3 tahun akan mempunyai resiko karies yang lebih tinggi pada gigi sulungnya.16 Anak sindroma Down memiliki jumlah

Streptococcus mutans yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak normal.15

2.7.5 Saliva

(30)

penderita xerostomia.5,16 Pada anak sindroma Down sering terjadi xerostomia yang disebabkan karena mengkonsumsi obat dan dapat juga terjadi karena pernafasan melalui mulut.

2.7.6 Pola Makan

Pengaruh pola makan dalam proses karies biasanya lebih bersifat lokal daripada sistemik, terutama dalam hal frekuensi mengkonsumsi makanan. Setiap kali seseorang mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung karbohidrat, maka beberapa bakteri penyebab karies di rongga mulut akan mulai memproduksi asam sehingga terjadi demineralisasi yang berlangsung selama 20-30 menit setelah makan. Di antara periode makan, saliva akan bekerja menetraliser asam dan membantu proses remineralisasi. Apabila makanan dan minuman yang mengandung karbohidrat terlalu sering dikonsumsi, maka enamel gigi tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan remineralisasi dengan sempurna sehingga terjadi karies.16 Anak sindroma Down memiliki pola makan yang terkontrol dan paparan dengan lingkungan yang kariogenik lebih kecil. Hal ini sangat baik untuk menghindari terjadinya karies gigi.

2.7.7 Umur

Peningkatan prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya umur. Gigi yang paling akhir erupsi lebih rentan terhadap karies. Kerentanan ini meningkat karena sulitnya membersihkan gigi yang sedang erupsi sampai gigi tersebut mencapai dataran oklusal dan beroklusi dengan gigi antagonisnya. Anak-anak mempunyai resiko karies paling tinggi ketika gigi mereka baru erupsi.16

2.7.8 Jenis Kelamin

(31)

kebersihan mulut pria dan wanita, maka dijumpai kebersihan mulut wanita lebih baik daripada pria. Oleh karena itu, tidak dijumpai perbedaan yang signifikan bila dibuat perbandingan antara pria dan wanita dengan status kebersihan mulut yang sama.16

2.7.9 Sosial Ekonomi Keluarga

Faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan kejadian karies gigi pada masyarakat adalah pendapatan dan tingkat pendidikan. Pendapatan dan tingkat pendidikan sangat berkaitan dengan konsumsi makanan kariogenik dan kebiasaan merawat gigi.21 Banyak penelitian menunjukkan bahwa prevalensi karies lebih tinggi pada anak yang berasal dari status sosial ekonomi rendah. Hal ini dikarenakan konsumsi makanan yang bersifat kariogenik lebih banyak, rendahnya pengetahuan akan kesehatan gigi, status karies yang tinggi pada keluarga (karies aktif pada ibu), dan juga jarang melakukan kunjungan ke dokter gigi sehingga banyak karies gigi yang tidak dirawat.22

2.7.10 Pendidikan Orang Tua

Menurut Tirthankar (cit Sondang dan Hamada), pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status kesehatan. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan sehingga akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat.16 Di dalam bidang kesehatan peranan ibu juga sangat menentukan kesehatan anak dan peranan ibu sangat ditentukan oleh pengetahuan, sikap dan praktek ibu tentang kesehatan gigi serta tingkat pendidikan ibu.21

2.7.11 Perilaku Membersihkan Gigi

(32)

tua harus menanamkan kedisiplinan dalam membersihkan rongga mulut kepada anaknya. Bila sejak dini sang anak terbiasa membersihkan rongga mulut, dia tidak akan berontak atau teriak sekuat tenaga jika suatu hari dibawa ke pelayanan kesehatan gigi, memang tak bisa sekaligus berhasil dalam menanamkan kebiasaan tersebut, namun orang tua harus gigih dan terus menerus memperkenalkan hal itu kepada anak, terlebih lagi memberi pengertian pada anak yang menderita sindroma Down bukanlah hal yang mudah. Orang tua harus tetap tekun dan bersabar mengajari cara bersikat gigi yang baik dan benar kepada seorang anak sindroma Down, sebab pada intinya mereka harus paham bahwa rongga mulutnya harus selalu sehat.24

2.8 Indeks Karies

Indeks karies adalah ukuran yang dinyatakan dengan skala dari keadaan suatu golongan/kelompok terhadap suatu penyakit gigi tertentu. Ukuran-ukuran ini dapat digunakan untuk mengukur derajat keparahan suatu penyakit mulai dari yang ringan sampai berat. Ada beberapa indeks karies yang biasa digunakan yaitu: indeks Klein, indeks WHO dan belakangan ini diperkenalkan indeks Significant Caries (SiC) untuk melengkapi indeks WHO sebelumnya.16 Pada penelitian ini akan digunakan indeks Klein yaitu DMFT untuk gigi permanen dan deft untuk gigi sulung.

2.8.1 Indeks DMF, Klein

Indeks ini di perkenalkan oleh Klein H, Palmer CE, Knutson JW pada tahun 1938 untuk mengukur pengalaman seseorang terhadap karies gigi. Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan pada gigi permanen (DMFT) dan pemeriksaan pada gigi sulung (deft). Indeks ini tidak menggunakan skor, pada kolom yang tersedia langsung diisi kode D (gigi yang karies), M (gigi yang hilang), dan F (gigi yang ditumpat) kemudian dijumlahkan sesuai kode.

DMFT

16

Beberapa hal yang perlu diperhatikan: 16

(33)

2. Karies sekunder yang terjadi pada gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam kategori D.

3. Gigi dengan tumpatan sementara dimasukkan dalam kategori D.

4. Semua gigi yang hilang atau dicabut karena karies dimasukkan dalam kategori M.

5. Gigi yang hilang akibat penyakit periodontal, dicabut untuk kebutuhan perawatan ortodonti tidak dimasukkan dalam kategori M.

6. Semua gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam kategori F. 7. Gigi yang sedang dalam perawatan saluran akar dimasukkan dalam kategori F.

8. Pencabutan normal selama masa pergantian gigi geligi tidak dimasukkan dalam kategori M.

deft

Beberapa hal yang perlu diperhatikan: 16

1. Semua gigi yang mengalami karies dimasukkan ke dalam kategori d. 2. Semua gigi yang hilang atau dicabut karena karies dimasukkan dalam kategori e.

3. Semua gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam kategori f.

2.9 Pendekatan pada Anak Sindroma Down

Untuk memberikan perawatan gigi pada anak yang berkebutuhan khusus, kita harus mampu untuk menyesuaikan dengan keadaan sosial, intelektual, dan emosional. Kurangnya perhatian, gelisah, hiperaktif, dan perilaku emosional yang tidak menentu merupakan ciri anak dengan berkebutuhan khusus dalam menjalani perawatan gigi. Dokter gigi harus mengetahui tingkatan anak berkebutuhan khusus dengan melakukan konsultasi bersama dokter yang merawat anak atau pengasuh lain jika anak tidak tinggal bersama orang tua.

(34)

1. Berikan keluarga penjelasan singkat mengenai praktek gigi sebelum mencoba pengobatan. Perkenalkan pasien dan keluarga pada pekerja di praktek gigi. Hal ini akan membiasakan pasien dengan para pekerja dan fasilitas yang ada serta akan mengurangi rasa takut pasien terhadap ketidaktahuannya. Perbolehkan pasien untuk membawa benda yang disenanginya (boneka binatang, selimut, atau mainan) pada saat berkunjung

2. Lakukan berulang-ulang; berbicara perlahan dan dalam istilah yang sederhana. Kepastian penjelasan akan dipahami dengan menanyakan kepada pasien jika ada pertanyaan. Jika pasien memiliki sistem komunikasi alternatif, seperti papan gambar atau perangkat elektronik, pastikan itu tersedia untuk membantu penjelasan mengenai instruksi gigi.

.

3. Berikan hanya satu instruksi pada satu waktu. Hargai pasien dengan pujian setelah berhasil menyelesaikan setiap prosedur.

4. Dengarkan pasien secara aktif. Pasien yang berkebutuhan khusus sering mengalami masalah dengan komunikasi, dan dokter gigi harus sangat sensitif terhadap gerakan dan permintaan lisan.

5. Ajak orang tua untuk melihat proses perawatan dan untuk membantu dalam komunikasi dengan pasien.

6. Buatlah jadwal perawatan secara berkala. Tingkatkan secara bertahap ke prosedur yang lebih sulit (misalnya anestesi dan restoratif gigi) setelah pasien menjadi terbiasa dengan lingkungan klinik gigi.

7. Jadwalkan kunjungan pasien di pagi hari, pada saat dokter gigi, staf, dan pasien belum merasa lelah.

(35)

Kerangka Teori

Kerangka Konsep

Sindroma Down

Karies

-Gigi bercampur (Indeks DMFT+deft) -Gigi permanen

(Indeks DMFT) - Jenis kelamin

- Sosial ekonomi - Pendidikan ibu

- Perilaku kebersihan gigi Anak sindroma Down

Karakteristik fisik

Manifestasi oral

Gigi Jaringan lunak

Gigi bercampur (Indeks DMFT+deft)

(36)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik observasi dengan menggunakan rancangan cross sectional.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

1. SLB-C YPAC Medan 2. SLB-C Abdi Kasih Medan

3. SLB-C Taman Pendidikan Islam Medan 4. SLB-C ST. LUSIA Medan

5. SLB-C Musdalifah Medan 6. SLB-C Al-Azhar Medan 7. SLB-C Pembina Negeri Medan 8. SLB-C Markus Medan

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian berlangsung selama 2 bulan yaitu bulan September-Oktober 2012. Pengumpulan data 3 minggu, pengolahan dan analisis data 3 minggu, serta penyusunan laporan 2 minggu.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

(37)

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan adalah seluruh populasi (total sampling) pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di seluruh SLB-C kota Medan.

Kriteria Inklusi:

1. Anak sindroma Down yang bersekolah di SLB-C kota Medan. 2. Usia 6-18 tahun.

3. Diizinkan orangtuanya untuk diperiksa rongga mulutnya. Kriteria Eksklusi:

1. Anak yang tidak kooperatif.

3.4 Variabel Penelitian

a) Variabel terikat/dependen : pengalaman karies.

b) Variabel bebas : ekonomi orang tua, pendidikan ibu, perilaku membersihkan gigi. c) Variabel terkendali : usia anak 6-18 tahun.

3.5 Defenisi Operasional

a) Anak sindroma Down adalah anak tunagrahita yang didiagnosis menderita sindroma Down dan bersekolah di SLB-C kota Medan.

b) Pengalaman karies adalah jumlah deft atau DMFT dengan indeks kriteria Klein yaitu:

D/d : decayed = gigi yang mengalami karies M/e : missing/extracted = gigi yang indikasi pencabutan F/f : filling = gigi sudah ditambal karena karies T/t : tooth = satuan gigi sulung maupun permanen Cara pengukurannya:

Semua gigi diperiksa dengan satu gigi hanya memiliki satu nilai kategori D/d, M/e, atau F/f.

(38)

belum mencapai usia 6 tahun, atau telah melewati usia 18 tahun pada saat penelitian dilakukan, maka sampel tidak digunakan.

- Usia gigi bercampur adalah usia anak sindroma Down yang bersekolah di SLB-C kota Medan yang mempunyai gigi sulung dan gigi permanen dengan menggunakan indeks DMFT+deft.

- Usia gigi permanen adalah usia anak sindroma Down yang bersekolah di SLB-C kota Medan yang mempunyai keseluruhan gigi permanen dengan menggunakan indeks DMFT.

Tabel 1. Defenisi Operasional Sosial Ekonomi Orang Tua

Variabel Defenisi Operasional Hasil Ukur Skala Ukur Pendidikan

orang tua

Pendidikan formal terakhir tertinggi yang ditamatkan oleh orang tua (ibu) responden

(39)

Tabel 2. Defenisi Operasional Perilaku Membersihkan Gigi

Variabel Defenisi Operasional Hasil Ukur Skala Ukur Frekuensi

anak menyikat gigi

Berapa kali dalam sehari anak ibu menyikat gigi

- Tidak setiap hari/tidak pernah (1)

- Bukan waktu yang tepat tapi setiap hari (2)

- Setelah makan pagi dan sebelum tidur tua ketika anaknya sikat gigi

Jenis sikat gigi yang digunakan

- Biasa (1) - Elektrik (2)

Ordinal

Nilai Total Maksimum 14

Kriteria perilaku membersihkan gigi: A. Baik : 11-14

(40)

3.6 Alat dan Bahan

3.6.1 Alat :

- Pinset - Sonde - kaca mulut - Senter - Masker - Sarung tangan - Gelas plastik - Semprotan udara

3.6.2 Bahan :

- Alkohol 70% - Air bersih - Tisu - Kapas

3.7 Teknik Pengambilan Data

(41)

3.8 Pengolahan dan Analisis Data

3.8.1 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer. Pengolahan data meliputi:

1. Editing (Pengeditan Data). Editing adalah memeriksa dan meneliti kembali kelengkapan kuesioner dan hasil pemeriksaan gigi.

2. Coding (Pengkodean Data). Pengisian kotak dalam daftar pertanyaan untuk pengkodean yang berdasarkan jawaban yang telah diisikan dalam kuesioner.

3. Entry Data (Pemasukan Data). Data yang selesai di coding selanjutnya dimasukkan dalam tabulasi untuk dianalisis.

4. Cleaning Data (Pembersihan Data). Tahap ini data yang ada ditandai diperiksa kembali untuk mengkoreksi kemungkinan suatu kesalahan yang ada.

3.8.2 Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan uji T (T-test) tidak berpasangan dan one way annova untuk analisis hubungan faktor risiko dengan terjadinya karies dengan nilai kemaknaan p < 0,05. Uji T (T-test) untuk analisis hubungan faktor risiko dengan pengalaman karies yang memiliki dua variabel dan

one way annova untuk data lebih dari dua variabel. Syarat untuk uji tersebut yaitu data harus terdistribusi normal. Jika syarat tidak terpenuhi, maka dilakukan uji alternatif. Uji T-test diganti dengan Mann Whitney dan One Way annova dengan

(42)

3.9 Skema Penelitian

Meminta kesediaan sampel untuk mengikuti penelitian dengan memberikan lembar persetujuan kepada orang tua/wali

Melakukan pemeriksaan klinis

Analisis data

Pencatatan hasil pemeriksaan

(43)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada 79 orang anak sindroma Down usia 6-18 tahun beserta ibunya di delapan Sekolah Luar Biasa (SLB-C) seluruh Kota Medan. Pengambilan data dilakukan selama 2 bulan yaitu bulan September-Oktober 2012.

4.1 Karakteristik Responden Anak

Karakteristik responden anak meliputi jenis kelamin dan usia. Berdasarkan jenis kelamin, persentase anak laki-laki 59,49 % dan perempuan 40,51 %. Berdasarkan usia, persentase gigi bercampur 63,30% dan gigi permanen 36,70% (tabel 3).

Tabel 3. Karakteristik Responden Anak

Karakteristik Jumlah (n) %

4.2 Karakteristik Responden Ibu

(44)

Tabel 4. Karakteristik Responden Ibu

4.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Pengalaman Karies

Berdasarkan jenis kelamin, rerata pengalaman karies pada gigi bercampur yaitu DMFT untuk anak laki-laki adalah 2,42 dengan SD 2,450 dan anak perempuan adalah 1,59 dengan SD 2,002. Rerata pengalaman karies deft untuk anak laki-laki adalah 4,58 dengan SD 3,905 dan anak perempuan adalah 3,94 dengan SD 2,861. Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan pengalaman karies DMFT (p=0,309) dan deft (p=0,762) (tabel 5).

Tabel 5. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Rerata Pengalaman Karies (DMFT+deft)

(45)

Tabel 6. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Rerata Pengalaman Karies (DMFT)

4.4 Hubungan Antara Ekonomi Orang Tua dengan Pengalaman Karies

Berdasarkan ekonomi orang tua, rerata pengalaman karies pada gigi bercampur yaitu DMFT untuk anak yang berasal dari ekonomi rendah adalah 2,84 dengan SD 2,609 dan anak yang berasal dari ekonomi tidak rendah adalah 1,71 dengan SD 2,053. Rerata pengalaman karies deft untuk anak yang berasal dari ekonomi rendah adalah 4,32 dengan SD 3,497 dan anak yang berasal dari ekonomi tidak rendah adalah 4,39 dengan SD 3,667. Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara ekonomi keluarga dengan pengalaman karies DMFT (p=0,106) dan deft (p=0,935) (tabel 7).

Tabel 7. Hubungan Antara Ekonomi keluarga dengan Rerata Pengalaman Karies (DMFT+deft)

(46)

Tabel 8. Hubungan Antara Ekonomi Keluarga dengan Rerata Pengalaman Karies

4.5 Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Pengalaman Karies

Berdasarkan pendidikan ibu, rerata pengalaman karies pada gigi bercampur yaitu DMFT pada anak yang pendidikan ibunya rendah adalah 2,00 dengan SD 2,000, anak yang pendidikan ibunya sedang 2,70 dengan SD 2,439 dan anak yang pendidikan ibunya tinggi 1,63 dengan SD 2,203. Rerata pengalaman karies deft pada anak yang pendidikan ibunya rendah adalah 4,33 dengan SD 3,786, anak yang pendidikan ibunya sedang 4,52 dengan SD 3,591 dan anak yang pendidikan ibunya tinggi 4,21 dengan SD 3,671. Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan pengalaman karies DMFT (p=0,200) dan deft (p=0,893) (tabel 9).

Tabel 9. Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Rerata Pengalaman Karies (DMFT+deft)

(47)

dengan SD 2,923. Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan pengalaman karies DMFT (p=0,684) (tabel 10).

Tabel 10. Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Rerata Pengalaman Karies DMFT

Pendidikan Ibu N

Pengalaman DMFT Hasil Analisis

4.6 Hubungan Antara Perilaku Membersihkan Gigi dengan Pengalaman

Karies

(48)

Tabel 11. Hubungan Antara Perilaku Membersihkan Gigi dengan Rerata Pengalaman

Untuk mengetahui kelompok mana yang mempunyai perbedaan, dilakukan analisis Mann-Whitney (alternatif uji Post-Hoc). Dari uji tersebut diperoleh hasil sebagai berikut yaitu kelompok perilaku buruk dan sedang pada deft memiliki nilai p=0,006, kelompok perilaku buruk dan baik pada deft memiliki nilai p=0,063, dan kelompok perilaku sedang dan baik pada deft memiliki nilai p=0,248. Dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan antara perilaku buruk, sedang dan baik dengan rerata pengalaman karies deft.

Rerata pengalaman karies pada gigi permanen yaitu DMFT pada anak yang berperilaku buruk adalah 10,67 dengan SD 5,508, anak yang berperilaku sedang 3,09 dengan SD 2,091 dan anak yang berperilaku baik 1,00 dengan SD 0,816. Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara perilaku membersihkan gigi dengan pengalaman karies DMFT (p=0,003) (tabel 12).

Tabel 12. Hubungan Antara Perilaku Membersihkan Gigi dengan Rerata Pengalaman Karies DMFT

Perilaku

Membersihkan Gigi N

Pengalaman DMFT Hasil Analisis

(49)

nilai p=0,008, kelompok perilaku buruk dan baik pada DMFT memiliki nilai p=0,032 dan kelompok perilaku sedang dan baik pada DMFT memiliki nilai p=0,020. Dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan antara perilaku buruk, sedang dan baik dengan rerata pengalaman karies DMFT.

4.7 Rerata Pengalaman Karies di masing-masing SLB-C Kota Medan

(50)

Tabel 13. Rerata Pengalaman Karies di Masing-Masing SLB-C Kota Medan

SLB-C

Pengalaman Karies

(51)

BAB 5

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data pengalaman karies pada seluruh anak penderita sindroma Down usia 6-18 tahun yang bersekolah di SLB-C Kota Medan adalah sebanyak 79 orang dengan rerata pada gigi bercampur (DMFT + deft) adalah 2,14 dengan SD 2,321 dan 4,36 dengan SD 3,567 dan rerata pada gigi permanen (DMFT) adalah 3,59 dengan SD 3,469. Nilai DMFT pada anak sindroma Down di kota Medan pada 79 orang sebesar 2,67 sementara nilai DMFT pada anak sindroma Down di kota Makasar pada 46 orang yaitu sebesar 3,69.8

Penelitian yang dilakukan oleh Thamer A Al-Khadra, menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin laki-laki maupun perempuan terhadap pengalaman karies pada anak sindroma Down.

17

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

ekonomi orang tua dengan pengalaman karies pada gigi bercampur (DMFT+deft)

(p=0,126+0,935) dan pada gigi permanen (DMFT) (p=0,276). Hasil penelitian ini

kemungkinan terjadi karena tingkat sosial ekonomi tidak rendah dan rendah

mempunyai sikap yang sama terhadap anaknya dan mereka lebih mementingkan

perawatan pada penyakit kongenital yang diderita oleh anak daripada penyakit mulutnya. Kebanyakan orang tua menghabiskan uang mereka untuk merawat penyakit kongenital pada anaknya dan tidak memperhatikan kesehatan rongga mulut anaknya.

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan pengalaman karies pada gigi bercampur (DMFT+deft) (p=0,309+0,762) maupun pada gigi permanen (DMFT) (p=0,756). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Thamer A Al-Khadra. Hal ini kemungkinan terjadi karena perlakuan orang tua terhadap anak sindroma Down laki-laki maupun perempuan adalah sama.

(52)

pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan sehingga akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat.16 Hasil penelitian Jain M, et al menyatakan bahwa persentase DMFT yang paling tinggi pada anak cacat mental berasal dari ibu yang berpendidikan rendah dibandingkan dengan anak-anak yang lain.25

Penelitian pada anak cacat mental yang dilakukan oleh Jain M, et al menyatakan terdapat hubungan antara perilaku membersihkan gigi dengan kebersihan rongga mulut. Semakin buruk perilaku membersihkan gigi maka semakin buruk kebersihan rongga mulutnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan pengalaman karies pada gigi bercampur (DMFT+deft) (p=0,200+0,893) maupun pada gigi permanen (DMFT) (0,684). Hal ini bertentangan dengan teori dan penelitian di atas. Kemungkinan pada penelitian ini ibu yang memiliki pendidikan tinggi, sedang maupun rendah mempunyai pengetahuan dan sikap yang sama terhadap perilaku membersihkan gigi. Selain itu, kita juga dapat melihat jumlah tambalan yang sedikit pada gigi anak, ini menunjukkan kurangnya perhatian ibu terhadap masalah kesehatan gigi anak.

25

(53)
(54)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Karies merupakan salah satu penyakit gigi dan mulut yang banyak ditemukan di masyarakat. Pengalaman karies pada seluruh anak penderita sindroma Down usia 6-18 tahun yang bersekolah di SLB-C Kota Medan adalah sebanyak 79 orang dengan rerata pada gigi bercampur (DMFT+deft) adalah 2,14 dengan SD 2,321 dan 4,36 dengan SD 3,567 dan rerata pada gigi permanen (DMFT) adalah 3,59 dengan SD 3,469.

2. Berdasarkan hasil penelitian tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, sosial ekonomi, pendidikan ibu dan perilaku membersihkan gigi (DMFT) pada gigi bercampur dengan pengalaman karies pada gigi bercampur (DMFT+deft) maupun pada gigi permanen (DMFT), tetapi terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku membersihkan gigi dengan pengalaman karies pada gigi bercampur (deft) dan pada gigi permanen (DMFT).

3. Rerata pengalaman karies tertinggi pada gigi bercampur (DMFT+deft) didapat pada SLB Muzdalifah dengan rerata 4,80 dan 8,40, pada gigi permanen (DMFT) didapat pada SLB TPI dengan rerata 7,20. Sedangkan rerata pengalaman karies terendah pada gigi bercampur (DMFT+deft) didapat pada SLB Al-azhar dengan DMFT 0,60 dan deft didapat pada SLB Pembina dengan 2,60 dan pada gigi permanen (DMFT) didapat pada SLB Santa Lusia, Muzdalifah dan Al-Azhar dengan rerata 0,00.

6.2 Saran

(55)

dan membawa anak untuk mendapatkan perawatan gigi di klinik agar kesehatan gigi dan mulut anak terjaga.

2. Perlu dilakukan pembinaan kesehatan oleh guru secara rutin di sekolah, khususnya mengenai pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut agar siswa mampu memelihara kesehatan gigi dan mulutnya.

(56)

DAFTAR PUSTAKA

1. Asokan S, Muthu MS, Sivakumar N. Dental caries prevalence and treatment needs of Down syndrome children in Chennai, India. Indian J Dent Res 2008; 19(3): 224-9.

2. Desai SS. Down syndrome: a review of the literature. Oral Surg, Oral Med, Oral Radiol, Oral Pathol and Endodontics 1997; 84(3): 279-85.

3. Southern Association of Institutional Dentists. Down Syndrome: a review for dental professionals. In Self-Study Course Module 3, 1994: 1-9.

4. Palupi J. Down syndrome dan terapi gen. (30 Maret 2012).

5. Tarigan R. Karies gigi. Ed 1. Jakarta: Hipokrates, 1990: 1-24.

6. McDonald RE, Avery DR, Dean JA. Dentistry for the child and adolescent. 9th

7. Ali I. Status kesehatan gigi dan mulut anak sindroma down dan non sindroma ed. China: Mosby Elsevier, 2011: 186, 471-4.

down kajian pada anak yang berkunjung di klinik khusus tumbuh kembang Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.

(Abstrak).

8. Wijaya S. Prevalensi karies gigi dan relasi gigi anterior pada anak sindroma Down

di kota Makassar.

(Abstrak).

9. Khan R, Abdallah I, Antony VV. Down syndrome : a case report. Orthodontic Cyber J 2009: 1-11.

10. Barlow K, Stewart. Trisomy 21-Down Syndrome. 8th

11. Lubis WH, Sitepu MOH. Prinsip penanggulangan gigi dan mulut penderita sindroma down. Dentika Dent J 2006; 11(1): 62-5.

ed. The Australasian

(57)

12. Children grow up clinic. Down syndrome: Deteksi dini, pencegahan dan penatalaksanaan sindrom down

(6 Februari

2012).

13. Ford D. Children with down syndrome Paediatric Dentistry 2009: 1-6.

14. Supratiknya A. Mengenal perilaku abnormal. Kanisius, 2012 : 77-78.

15. Cheng RHW, Yiu CKY, Leung WK. Oral health in individuals with down syndrome. China: Faculty of Dentistry University of Hong Kong 2000: 59-75. 16. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi & mulut sehat pencegahan dan pemeliharaan.

Medan: USU Press, 2008: 4-18.

17. Al-Khadra T. Prevalence of dental caries and oral hygiene status among Down’s Syndrome patients in Riyadh-Saudi Arabia. Pakistan Oral & Dent J 2011; 31(1): 113-5.

18. Putri CF. Hubungan antara komposisi saliva dan karies gigi pada kelompok anak-anak sindrom down Mesir.

19. Ehrlich A. Nutrition and dental health. Delmar Publisher Inc, 1982: 163-70, 181-95.

Program studi kedokteran gigi universitas sriwijaya, 2011.

20. Pilcher ES. Dental care for the patient with down syndrome. Down Syndrome Research and Practice 1998; 5(3): 111-6.

21. Suwelo. Karies gigi pada anak dengan pelbagai faktor etiologi. Jakarta: EKG, 1986: 28-30.

22. Angela A. Pencegahan primer pada anak yang berisiko karies tinggi. Dent J 2005; 38 (3): 130-4.

23. Suyuti M. Hubungan faktor sosial ekonomi, perilaku dan oral hygiene terhadap karies gigi pada anak usia remaja umur 15-16 tahun di SMA negeri 1 Galesong Utara. Media kesehatan gigi; 2010: 32-42.

(58)

Gambar

Gambar 1. kromosom pada sindroma Down11
Gambar 2. Keadaan tubuh anak sindroma down 12
Gambar 3. Palatum pada sindroma down15
Gambar 4. Karies pada anak sindroma Down15
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pembuatan Web Pariwisata menggunakan bahasa pemrograman PHP dan MySQL dengan web server Apache, dibuat tidak saja hanya menampilkan gambar tempat wisata tetapi juga

Khusus untuk wilayah laut kedaulatan suatu negara tidak bersifat mutlak artinya kedaulatan atas kekuasan negara atas wilayah laut dalam pengelolaan dan pemanfaatannya

Dengan mengamati gambar, membaca teks dan berdiskusi, siswa mampu menjelaskan informasi pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam di lingkungan sekitar mereka

As proved by the historical overview of the dome surveys, it is worthy to note that a survey characterized by high density and adequate precision was not available as well as a

KELOMPOK KERJA GURU (KKG) MADRASAH IBTIDAIYAH KECAMATAN GENUK KOTA

[r]

Medium quality point cloud for deep waters dataset from the original imagery (a), the imagery corrected with Adobe Photoshop (b), the imagery corrected by the algorithm of Bianco