• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia dengan Penerapan Metode Vector Auto Regression

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia dengan Penerapan Metode Vector Auto Regression"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

INTERAKSI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

DI INDONESIA DENGAN PENERAPAN METODE

VECTOR AUTO REGRESSION

OLEH

SOFYAN HUSEIN LUBIS

100501091

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini menganalisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia, terutama setelah guncangan kebijakan moneter dan fiskal. Metode penelitian yang digunakan adalah vector autoregresi (var). VAR biasa digunakan untuk memproyeksikan variabel sistem koheren dan waktu menganalisis dampak dinamis faktor gangguan yang terdapat dalam variabel sistem. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat suku bunga sebagai proxy untuk instrumen kebijakan moneter, pengeluaran pemerintah sebagai proxy untuk kebijakan fiskal, inflasi dan pendapatan nasional.

Hasil penelitian menunjukkan shocks kebijakan fiskal memberikan pengaruh positif terhadap tingkat inflasi, dan direspon negatif oleh penggunaan instrumen tingkat bunga atau kebijakan moneter. Adanya inovasi kebijakan moneter menyebabkan menurunnya tingkat PDB, dan direspon positif oleh instrumen kebijakan fiskal.

(3)

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the interaction of fiscal and monetary policy in Indonesia, especially after the introduction of fiscal and monetary policy shocks. The research method used is the vector autoregression (VAR). VAR is usually used for projecting coherent system variables and time to analyze the dynamic impact of disturbance factorscontained in the system variables. Variables used in this study is the level of interest rates as a proxy for monetary policy instruments, government expenditures as a proxy for fiscal policy, inflation rates and national income.

The results show that fiscal policy is a positif shock to inflation and responded negatif with interest rate instrument or monetary policy,. The inovation of monetery policy maked gross national product down and responded positif with fiscal policy.

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan Karunia-Nya sehingga panulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ―analisis tingkat pemahaman masyarakat Kota medan terhadap produk-produk perbankan syariah studi kasus: Kecamatan Medan Petisah‖. Berkat karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir yang harus di tempuh untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonimi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang ssebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik berupa dukungan materil, sumbangan pemikiran dan doa dalam penyusunan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Orang tua penulis, Ayahanda Aminuddin Lubis dan Ibunda Rahma Nasution yang senantiasa memberi saya kasih sayang, doa, dukungan semangat dan materil selama ini. Terima kasih tak terhingga penulis ucapkan untuk abang saya Anwar Saleh Lubis, yang telah memberikan beberapa bantuan kepada saya selama kuliah, untuk adik saya Nur Adilah Lubis yang memberikan dukungan dan doa kepada penulis selama penyusunan skripsi ini, Untuk adik saya yang lucu Harun Al Rasyid Lubis yang memberikan kecerian membantu menghibur dalam pengerjaan skripsi ini

2. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, SE, M.Ec, Ak. Selaku dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

(5)

Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unversitas Sumatera Utara, Sekaligus dosen pembanding I.

6. Bapak Kasyful Mahali, SE, M.Si selaku dosen pembanding II, yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Dosen dan pegawai Fakultas Ekonomi dan Bisnis Sumatera Utara khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan yang telah memberikakn ilmu dan perhatiannya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersoifat membangun untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membacanya.

Medan, Agustus 2014 Penulis

(6)

DAFTAR ISI

2.5.2 Bentuk-Bentuk Kebijakan Fiskal ... 18

2.5.3 Jenis-Jenis Kebijakan Fiskal... 19

2.5.4 Efek Kebijakan Fiskal ... 21

2.6 Kebijakan Moneter ... 24

2.6.1 Instrumen Kebijakan Moneter ... 24

2.6.2 Tujuan Kebijakan Moneter ... 25

2.6.3 Jenis-Jenis Kebijakan Moneter ... 26

2.6.4 Teori Kebijakan Moneter ... 28

2.7 Efektivitas Kebijakan Fiskal dan Moneter ... 31

2.8 Penelitian Terdahulu ... 33

3.3 Batasan Operasional ……….. 36

3.4 Defenisi Operasional ………. 37

3.5 Pengolahan Data ………... ... 37

3.6 Model Analisis Data ... 37

(7)

3.7.1 VAR ………. 38

3.7.2 Uji Akar Unit ………... 40

3.7.3 Penentuan Lag Optimum ... 42

3.7.4 Pengujian Stabilitas Data………... 42

3.7.4 Impulse Respone ………. 43

3.7.5 Variance Decomposition ……….. 43

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Periodisasi Kebijakan Moneter di Indonesia ... 44

4.2 Periodisasi Kebijakan Fiskal di Indonesia ... 47

4.3 Hasil Uji Akar Unit ... 50

4.4 Uji penentuan Lag Optimum ... 52

4.5 Estimasi Var ... 53

4.6 Pengujian Stabilitas Model ... 55

4.7 Impuls Respons ... 56

4.8 Variance Decompositin ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 62

5.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1 PDB dan Pengeluaran Pemerintah………. 5

4.1 Periodisasi dan Evaluasi Kebijakan Moneter.... …… 45

4.2 Periodisasi Kebijakan Fiskal Indonesia 1990-2011… 49 4.3 Uji Akar Unit Tingkat Level ... …… 51

4.4 Uji Akara Unit Tingkat First Difference ... …… 52

4.5 Uji Lag Optimum ……….. ... …… 52

4.6 Estimasi Var……….. 54

4.7 Uji Stabilitas Model ………... 55

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

1.1 Inflasi dan Suku bunga 2006 s/d 2012……… 5

2.1 Kebijakan fiskal ekspansif ... ………. 20

2.2 Kebijakan fiskal kontarkstif ... ………. 21

2.3 Kebijakan Moneter Ekspansi ... 28

2.4 Kebijakan Moneter Kontraktif ... 29.

2.5 Kurva LM……….. ... 30

2.6 Efektivitas kebijakan fiskal ………. ... 31

2.7 Efektivitas kebijakan Moneter ………. 32

2.8 Kerangka penelitian ………... 35

3.1 Proses Pembentuka VAR ……… 40

4.1 Inflasi 1980-2012………..46

4.2 Uji Stabilitas Model………..56

4.3 Impuls Respons Inf, Y Terhadap i, G………...58

4.4 Impuls Respons i, G Terhadap inf, Y………...59

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

1 Data……… 67

2 Uji Akar Unit………..68

3 Uji Kointegrasi ... ………. 76

4 Estimasi Vector Auto Reggresion ... 77

5 Impuls Respons ... 78

(11)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini menganalisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia, terutama setelah guncangan kebijakan moneter dan fiskal. Metode penelitian yang digunakan adalah vector autoregresi (var). VAR biasa digunakan untuk memproyeksikan variabel sistem koheren dan waktu menganalisis dampak dinamis faktor gangguan yang terdapat dalam variabel sistem. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat suku bunga sebagai proxy untuk instrumen kebijakan moneter, pengeluaran pemerintah sebagai proxy untuk kebijakan fiskal, inflasi dan pendapatan nasional.

Hasil penelitian menunjukkan shocks kebijakan fiskal memberikan pengaruh positif terhadap tingkat inflasi, dan direspon negatif oleh penggunaan instrumen tingkat bunga atau kebijakan moneter. Adanya inovasi kebijakan moneter menyebabkan menurunnya tingkat PDB, dan direspon positif oleh instrumen kebijakan fiskal.

(12)

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the interaction of fiscal and monetary policy in Indonesia, especially after the introduction of fiscal and monetary policy shocks. The research method used is the vector autoregression (VAR). VAR is usually used for projecting coherent system variables and time to analyze the dynamic impact of disturbance factorscontained in the system variables. Variables used in this study is the level of interest rates as a proxy for monetary policy instruments, government expenditures as a proxy for fiscal policy, inflation rates and national income.

The results show that fiscal policy is a positif shock to inflation and responded negatif with interest rate instrument or monetary policy,. The inovation of monetery policy maked gross national product down and responded positif with fiscal policy.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebijakan fiskal dan moneter adalah bagian integral dari kebijakan makroekonomi yang diharapkan saling berinteraksi secara baik dan saling mendukung guna memberi efek yang positif bagi pasar serta menjaga stabilitas perekonomian. Dengan kata lain proses interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter sangat menentukan terjadinya keseimbangan dan kinerja perekonomian secara agregat yang ditunjukkan dengan tercapainya target pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga secara optimal.

Sejauh ini pemerintah selaku pemangku kebijakan fiskal dan Bank Indonesia selaku otoritas kebijakan moneter telah berupaya melakukan fungsi koordinasi melalui berbagai paket regulasi dan konsolidasi untuk menjamin terselenggaranya proses interaksi yang efektif bagi terwujudnya stabilitas dan kinerja perekonomian. Namun dalam realitanya fungsi koordinasi yang dimaksud terlihat belum optimal akibat sering tidak sempurna oleh berlangsungnya trade-off

(14)

Berbagai studi menunjukkan bahwa sinergi kebijakan moneter dan fiskal

akan mendorong tercapainya tujuan optimal (Oudiz dan Sachs, 1984). Sementara Rogoof dan Keanth (1985) mengemukakan bahwa hasil interaksi kebijakan moneter dan fiskal tergantung dari besarnya distorsi perekonomian. Semakin besar

distorsi dalam perekonomian, maka semakin kecil hasil dari proses interaksi dari kedua kebijakan. Sebaliknya, kajian Beetsma dan Bovenberg (1998) menunjukkan bahwa tidak terdapat manfaat dari koordinasi kebijakan moneter dan fiskal jika

terdapat pertentangan tujuan kedua kebijakan dan nominal upah telah ditetapkan. Pengalaman empiris negara-negara di Amerika Latin pada akhir tahun 1980-an menunjukk1980-an bahwa pembiaya1980-an fiskal defisit y1980-ang besar d1980-an terjadi terus

menerus melalui penciptaan uang baru oleh bank sentral (quasi fiscal) telah mengakibatkan negara-negara tersebut mengalami hiper inflasi dan resesi ekonomi yang dalam. Pengalaman Indonesia pada tahun 1960-an juga menunjukkan kejadian yang sama dan bahkan akibat tingginya laju inflasi uang

rupiah dipotong (sanering) nilainya. Pengalaman beberapa negara termasuk Indonesia menyadarkan pembuat kebijakan untuk melakukan koordinasi. Koordinasi kedua kebijakan tersebut secara harmonis dapat meningkatkan social welfare masyarakat. Dengan koordinasi, defisit pengeluaran pemerintah dapat

terkendali sehingga laju inflasi dapat dicapai pada tingkat yang rendah dan

pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dapat dicapai.

(15)

stabilisasi tingkat harga. Target dalam kerangka kerja inflation targeting adalah tercapainya tingkat inflasi yang rendah dan stabil dengan salah satu karakteristik yang harus dipenuhi adalah adanya independensi bank sentral. Tetapi menurut pendapat pakar ekonomi, bahwa penerapan ITF yang terlalu kaku akan membahayakan kelanjutan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Kebijakan moneter yang hanya memperhatikan target inflasi dapat menekan pertumbuhan ekonomi

dan pada lanjutannya akan meningkatkan pengangguran khususnya di Indonesia yang menerapkan ITF tersebut. Dengan demikian, diperlukan adanya keseimbangan pencapaian tujuan dari masing-masing kebijakan (striking the balance) agar hasil yang dicapai menjadi optimal.

Permasalahan interaksi kebijakan fiskal dan moneter terletak pada terjadinya trade-off antara pencapaian stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi terutama dalam jangka pendek (Champbell dan Lewis, 2000). Dampak defisit fiskal yang tinggi dapat menyebabkan kenaikan tingkat inflasi, begitu halnya perekonomian dengan tingkat inflasi yang tinggi juga memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi (Bank Indonesia, 2003).

Permasalahan lainnya dalam interaksi kebijakan moneter dan fiskal berkaitan dengan perbedaan aktivitas fiskal dan moneter, karena secara alami

otoritas fiskal dan moneter merupakan entitas yang berbeda dengan instrumen,

tujuan dan preferensi yang berbeda, (Fry, 1995:399). Interaksi tidak dapat terjadi dengan sendirinya, namun dibutuhkan koordinasi antara otoritas moneter dan fiskal. Masalah ketidakjelasan penugasan, kedudukan bank sentral, perbedaan

(16)

menjadi sumber inkoordinasi moneter dan fiskal (Marszalek, 2003, Djojosubroto,

2004).

Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter melalui koordinasi yang baik akan memberikan sinyal positif bagi pasar dan menjaga stabilitas makro ekonomi. Stabilitas makro ekonomi dapat dilihat dari adanya penurunan variabel makro ekonomi pada saat krisis menyebabkan variabel makro ekonomi lainnya juga akan terpengaruh. Penurunan nilai tukar rupiah sebagai imbas pasar keuangan global yang mengalami krisis sehingga mempengaruhi variabel makro ekonomi seperti inflasi dan tingkat suku bunga. Perpaduan antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sangat diperlukan untuk menetapkan dan mencapai target-target moneter dan defisit fiskal secara konsisten untuk mencapai pembangunan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil (Claeys, 2005).

(17)

Sumber : World Bank

Gambar 1.1

Inflasi dan Suku bunga 2006 s/d 2012

Inflasi tersebut lebih tinggi dari tahun sebelumnya pada tahun 2007 sebesar 6,4% dengan suku bunga 2,3%, sehingga dari grafik tersebut kita mengetahui tingkat suku bunga sebagai kebijakan moneter berpengaruh secara langsung terhadap terhadap tingkat inflasi, dan seiring inflasi yang terus meningkat dengan dorongan belanja pemerintah yang juga meningkat maka PDB akan sulit untuk mencapai tingkat yang diinginkan.

Dari tabel 1.1 dapat dijelaskan pengeluaran pemerintah mempuyai hubungan yang tegak lurus dengan PDB. Apabila pengeluaran pemerintah meningkat akan menyebabkan meningkatnya PDB, hal tersebut dapat kita lihat mulai dari tahun 2006 sampai tahun 2012 terkecuali pada tahun 2009. Dimana pengeluaran pemerintah menurun, hal tersebut disebabkan krisis ekonomi yang terjadi di Amerika sehingga berdampak negara lain termasuk Indonesia meskipun dampak nya tidak terlalu besar, sehingga menyebabkan naiknya inflasi yang cukup tinggi pada tahun 2008.

(18)

Tabel 1.1

PDB dan Belanja Pemerintah

Tahun PDB (Milyar RP) Belanja Pemerintah

(Milyar Rp)

2006 1.847.126,00 667.128

2007 1.963.091,00 757.649

2008 2.082.103,00 985.27

2009 2.178.850,00 937.38

2010 2.314.458,00 1042.11

2011 2.464.676,00 1294.99

2012 2.618.139,00 1491.41

Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia

Oleh sebab itu pemerintah perlu mengurangi jumlah uang yang beredar untuk mengurangi inflasi dengan cara mengurangi pengeluaran pemerintah, karena pengeluaran pemerintah secara langsung mempengaruhi jumlah uang beredar yang juga mempengaruhi tingkat inflasi, yang merupakan targer dari kebijakan moneter. Pada tahun 2008 Bank Indonesia sebagai otoritas kebijakan moneter meningkatkan tingkat suku bunga. Hal tersebut dilakukan untuk merespon kenaikan inflasi yang terjadi akibat krisis yang berdampak ke Indonesia. Bank Indonesia melakukan kebijakan monster ketat agar masyarakat lebih tertarik untuk menabung atau menyimpan uang nya daripada berinvestasi, sehingga mengakibatkan jumlah uang yang beredar pun berkurang. Dari hal tersebut kita mengetahui terjadi suatu interakasi kebijakan fiskal dengan moneter.

Walaupun demikian masih terjadi perdebatan mengenai pentingnya interaksi antar kebijakan moneter dan fiskal terkait dengan adanya perbedaan penekanan

tujuan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Perbedaan penekanan pada kedua

(19)

mengakibatkan terjadinya peningkatan laju inflasi yang sangat tinggi (hyper

inflation). Sebaliknya, kebijakan moneter yang terlalu ketat dapat memperlambat

pertumbuhan ekonomi

Oleh sebab itu, dari latar belakang yang telah di sampaikan di atas maka penulis mengambil judul skripsi ―Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter Di Indonesia Dengan Penerapan Metode Vector Auto Regression” untuk mengetahui bagaimana interaksi yang terjadi antara kebijakan fiskal dan monter yang terjadi di Indonesia, dalam menjaga stabilitas harga dengan mengendalikan inflasi yang merupakan target dari kebijakan moneter dan meningkat nya pertumbuhan ekonomi yang merupakan target dari kebijakan fiskal.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas sehingga menimbulkan berapa pertanyaan penelitian :

1. Bagaimana interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia dengan melihat respon inflasi terhadap shocks (kejutan) kebijakan fiskal dan moneter yang terjadi di Indonesia kurun waktu 1986-2013?

2. Bagaimana interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia dengan melihat respon PDB terhadap shocks (kejutan) kebijakan fiskal dan moneter yang terjadi di Indonesia kurun waktu 1986-2013?

1.3 Tujuan Penelitian

(20)

2. Menganalisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia dengan melihat respon PDB terhadap shocks (kejutan) kebijakan fiskal dan moneter yang terjadi di Indonesia kurun waktu 1986-2013.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi bagi akademis, diharapkan dapat menambah cakrawala berpikir, mengembangkan kemampuan analisis, mengaplikasikan teori ke dalam fakta yang terjadi dalam perekonomian, dan upaya pemecahan masalah kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia.

2. Memberikan informasi bagi pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau sumbangan saran sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang sesuai untuk mengatasi masalah yang timbul dalam kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia.

3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya untuk menganalisis hal-hal yang

berkenaan dengan interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tingkat Suku Bunga

Tingkat suku bunga adalah harga dari penggunaan dana investasi (loanable funds). Tingkat suku bunga merupakan salah satu indikator dalam menentukan apakah seseorang akan melakukan invesatasi atau menabung (Boediono, 1994 :76). Suku Bunga Menurut Karl dan Fair (2001:635) suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman, dalam bentuk persentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun dibagi dengan jumlah pinjaman.

Pengertian suku bunga menurut Sunariyah (2004:80) adalah harga dari pinjaman. Suku bunga dinyatakan sebagai persentase uang pokok per unit waktu. Pengertian lain tentang suku bunga adalah sebagai harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu.

Ada beberapa teori yang membahas tentang tingkat suku bunga, beberapa teori tersebut adalah sebagai berikut:

a) Teori Suku Bunga Klasik

(22)

dianggap mempunyai hubungan subtitusif. Semakin langka modal, semakin tinggi suku bunga. Sebaliknya, semakin banyak modal semakin rendah tingkat suku bunga (Nasution dalam Badriah Sappewali,2001).

b) Teori Suku Bunga Keynes

Keynes mempunyai pandangan yang berbeda dengan klasik. Tingkat bunga itu merupakan suatu fenomena moneter. Artinya, tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan uang (ditentukan dalam pasar uang). Uang akan mempengaruhi kegiatan ekonomi (GNP), sepanjang uang ini mempengaruhi tingkat bunga. Perubahan tingkat bunga selanjutnya akan mempengaruhi keinginan untuk mengadakan investasi dengan demikian akan mempengaruhi GNP (Nopirin,1992).

c) Teori Suku Bunga Hicks

Hicks mengemukakan teorinya, bahwa tingkat bunga berada dalam keseimbangan pada suatu perekonomian bila tingkat bunga ini memenuhi keseimbangan sektor moneter dan sektor rill. Pandangan ini merupakan gabungan dari pendapat klasik dan keynesian, dimana mashab klasik mengatakan bahwa bunga timbul karena uang adalah produktif artinya bahwa bila seseorang memiliki dana maka mereka dapat menambah alat produksinya agar keuntungan yang diperoleh meningkat. Jadi uang dapat meningkatkan produktivitas sehingga orang ingin membayar bunga.

2.2 Pengeluaran Pemerintah

(23)

rutin dan sebagian lainnya untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan atau pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin pemerintah terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, angsuran pinjaman/ hutang dan bunga, ganjaran subsidi dan sumbangan pada daerah, pensiun dan bantuan, pengeluaran yang tidak termasuk bagian lain, dan pengeluaran tak terduga.

Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Mangkoesoebroto, 1993; 169). Hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi secara teori diterangkan dalam Keynesian Cross (Mankiw, 2003; 263).

Bailey (1995; 43) dalam Mangkoesoebroto (1997) membagi teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah menjadi dua, yaitu teori makro dan teori mikro. Model makro dapat menjelaskan perhitungan jangka panjang pertumbuhan pengeluaran pemerintah, sedangkan model mikro menjelaskan perubahan secara particular komponen-komponen pengeluaran pemerintah. Teori makro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu (Mangkoesoebroto, 1993; 169).

1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut.

(24)

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB yang semakin besar, yaitu dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan

“The Law of Expanding State Expenditure”.

3. Teori Peacock & Wiseman

Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah; dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Peningkatan PDB dalam keadaan normal menyebabkan penerimaan pemerintah menjadi semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.

3.3 Inflasi

Inflasi menurut Mc. Eachern (2000 : 132) Kenaikan terus-menerus dalam tingkatt harga. Ahli yang lain yaitu Ackley memberi pengertian inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat).

Sedangkan menurut Boediono (1991:155) , inflasi sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang-barang lain.

(25)

1. Indeks harga konsumen/IHK (consumer price index)

Indeks ini mengukur biaya/pengelaran untuk membeli sejumlah barang dan jasa yang dibeli rumah tangga untuk keperluan hidup. Banyaknya barang dan jasa yang dihitung bermacam-macam. Laju inflasi dihitung dengan cara menghitung persentase kenaikan atau penurunan indeks harga ini dari tahun ke tahun.

2. Indeks harga perdagangan (whole sale price index)

Indeks perdagangan besar menitikberatkan pada sejumlah barang pada tingkat perdagangan besar. Termasuk didalamnya harga bahan mentah, bahan baku atau setengah jadi. Indeks ini sejalan atau searah dengan indeks harga konsumen.

3. GNP deflator

GNP deflator mencakup jumlah barang dan jasa yang masuk dalam perhitungan GNP dan jumlahnya lebih banyak dibanding dua indeks lainnya. GNP deflator diperoleh dengan membagi GNP nominal (atas harga dasar yang berlaku) dengan GNP riil (atas dasar harga konstan) atau :

GNP deflator = GNP nominal x 100 GNP Riil

Ada empat teori mengenai Inflasi :

a. Teori Inflasi Klasik, teori ini berpendapat bahwa tingkat harga terutama ditentukan oleh jumlah uang beredar, yang dapat dijelaskan melalui hubungan antara nilai uang dengan jumlah uang, serta nilai uang dan harga. b. Teori inflasi Keynes, teori ini mengasumsikan bahwa perekonomian sudah

(26)

berpengaruh terhadap tingkat permintaan total, karena suatu perekonomian dapat mengalami inflasi walaupun tingkat kuantitas uang tetap konstan. c. Teori inflasi Moneterisme, Teori ini berpendapat bahwa, inflasi disebabkan

oleh kebijatsanaan moneter dan fiskal yang ekspansif, sehingga jumlah uang beredar di masyarakat sangat berlebihan. Kelebihan uang beredar di masyarakat akan menyebabkan terjadinya kelebihan permintaan barang dan jasa di sektor riil.

d. Teori Ekspektasi, menurut Dornbusch, bahwa pelaku ekonomi membentuk ekspektasi laju inflasi berdasarkan ekspektasi adaptif dan ekspektasi rasional. Ekspektasi rasional adalah ramalan optimal mengenai masa depan dengan menggunakan semua informasi yang ada.

3.4 Produk Domestik Bruto

Produk Domestik Bruto (PDB)/Gross Domestic Product (GDP) Produk Domestik Bruto (PDB) atau dalam bahasa inggris Gross Domestic Product

menurut Mankiw (2006 : 7) adalah nilai pasar dari semua barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksi dalam sebuah negara, negara tersebut dan warga negara asing yang tinggal di negara tersebut dalam periode waktu tertentu (biasanya satu tahun).

PDB dapat dihitung dengan memakai dua pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan. Rumus umum untuk PDB dengan pendekatan pengeluaran adalah:

PDB = C + I + G + ( X – M )

(27)

negeri. Sementara pendekatan pendapatan menghitung pendapatan yang diterima factor produksi :

PDB = R + W + I + P

Di mana R adalah pendapatan pemilik faktor produksi tetap seperti tanah, W untuk tenaga kerja, I untuk pemilik modal, dan P untuk pengusaha. Secara teori, PDB dengan pendekatan pengeluaran dan pendapatan harus menghasilkan angka yang sama. Namun karena dalam praktek menghitung PDB dengan pendekatan pendapatan sulit dilakukan, maka yang sering digunakan adalah dengan pendekatan pengeluaran.

3.5 Kebijakan Fiskal

Menurut Sadono Sukirno (2003) Kebijakan Fiskal adalah langkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam perbelanjaannya dengan maksud untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi.

Sedangkan Menurut Tulus TH Tambunan, kebijakan memiliki dua prioritas, yang pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan masalah-masalah APBN lainnya. Defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil dari pengeluarannya. Dan yang kedua adalah mengatasi stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain ; pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja dan neraca pembayaran.

(28)

Disamping itu melalui kebijakan fiskal, pemerintah juga dapat melakukan campur tangan melalui pembuatan-pembuatan peraturan, pembuatan usaha negara dan kebijakn yang lainnya. Dengan kata lain kebijaka fiskal erat berhubungn dengan APBN.

Kebijakan fiskal juga berpengaruh langsung terhadap tingkat permintaan. Peningkatan pengeluaran (anggaran belanja) pemerintah akan bersifat ekspansioner dengan meningkatnya permintaan. Pertama-tama pada sektor pemerintah dan kemudian menjalar ke sektor swasta. Sejalan dengan itu , pengurangan-pengurangan pajak bisa juga bersifat ekspansione karena para wajib pajak akan mempunyai pendapatan disposabel yang lebih besar sehingga diharapkan akan membelanjakan jumlah pendapatan yang lebih besar.

2.5.1 Tujuan kebijakan fiskal

Adapun kebijakan fiskal sebagai sarana menggalakan pembangunan ekonomi bermaksud mencapai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk meningkatkan laju investasi.

Kebijakan fiskal bertujuan meningkatkan dan memacu laju investasi disektor swasta dan sektor Negara. Selain itu, kebijakan fiskal juga dapat dipergunakan untuk mendorong dan menghambat bentuk investasi tertentu.

2. Untuk mendorong investasi optimal secara sosial.

(29)

pembentukkan pasar yang lebih luas, peningkatan produktivitas dan pengurangan biaya produksi.

3. Untuk meningkatkan kesempatan kerja.

Untuk merealisasikan tujuan ini, kebijakan fiskal berperan dalam hal pengelolan pengeluaran seperti dengan membentuk anggaran belanja untuk mendirikan perusahaan Negara dan mendorong perusahaan swasta melalui pemberian subsidi, keringanan dan lain-lainnya sehingga dari pengupayaan langkah ini tercipta tambahan lapangan pekerjaan. Namun, langkah ini harus juga diiringi dengan pelaksanaan program pengendalian jumlah penduduk.

4. Untuk meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah ketidak stabilan internasional

Kebijaksanaan fiskal memegang peranan kunci dalam mempertahankan stabilitas ekonomi menghadapi kekuatan-kekuatan internal dan eksternal. Dalam rangka mengurangi dampak internasional fluktuasi siklis pada masa boom, harus diterapkan pajak ekspor dan impor. Pajak ekspor dapat menyedot rejeki nomplok yang timbul dari kenaikkan harga pasar. Sedangkan bea impor yang tinggi pada impor barang konsumsi dan barang mewah juga perlu untuk menghambat penggunaan daya beli tambahan.

5. Untuk menanggulangi inflasi

Kebijakan fiskal bertujuan untuk menanggulangi inflasi salah satunya adalah dengan cara penetapan pajak langsung progresif yang dilengkapi dengan pajak komoditi, karena pajak seperti ini cendrung menyedot sebagian besar tambahan pendapatan uang yang tercipta dalam proses inflasi.

(30)

Kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendistribusikan pendapatan nasional terdiri dari upaya meningkatkan pendapatan nyata masyarakat dan mengurangi tingkat pendapatan yang lebih tinggi, upaya ini dapat tercipta apabila adanya investasi dari pemerintah seperti pelancaran program pembangunan regional yang berimbang pada berbagai sektor perekonomian.

2.5.2 Bentuk-Bentuk Kebijakan Fiskal

Jika ditinjau dari sisi teori, ada tiga macam kebijakan anggaran yaitu:

a. Kebijakan anggaran pembiayaan fungsional (functional finance) kebijakan

yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat berbagai akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional dan bertujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja.

b. Kebijakan pengelolaan anggaran (the finance budget approach) kebijakan

untuk mengatur pengeluaran pemerintah, perpajakan, dan pinjaman untuk mencapai ekonomi yang mantap.

c. Kebijakan stabilisasi anggaran otomatis (the stabilizing budget) kebijakan

yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat besarnya biaya dan manfaat dari berbagai program.

Jika dilihat dari perbandingan jumlah penerimaan dengan jumlah pengeluaran, kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :

a. KebijakanAnggaranSeimbang

Kebijakan anggaran seimbang, adalah kebijakan anggaran yang menyusun pengeluaran sama besar dengan penerimaan.

(31)

Kebijakan anggaran defisit yaitu kebijakan anggaran dengan cara menyusun pengeluaran lebih besar daripada penerimaan.

c. KebijakanAnggaranSurplus

Kebijakan anggaran surplus, yaitu kebijakan anggaran dengan cara menyusun pengeluaran lebih kecil dari penerimaan.

d. KebijakanAnggaranDinamis

Kebijakan anggaran dinamis, yaitu kebijakan anggaran dengan cara terus menambah jumlah penerimaan dan pengeluaran sehingga semakin lama semakin besar (tidak statis).

2.5.4 Jenis-jenis kebijakan fiskal

Kebijakan ekspansif dilakukan dengan cara menaikkan pengeluaran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output (Y). Gambar (2.1) dapat dijelaskan bahwa disaat pengeluaran pemerintah (ΔG) naik atau selisih pajak (ΔT) turun maka akan menggeser kurva pengeluaran agregat

keatas sehingga pendapatan akan naik dari (Y

1) menjadi (Yf

)

.

Dan juga akan menyebabkan tingkat bunga (i) pun akan naik. Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak.

(32)

Tingkat Bunga

LM

i1 E1

i0 E0 IS0

IS1

Y0 Y1 Output

Gambar 2.1

Kebijakan Fiskal Ekspansif

Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. pada saat munculnya ekpansionary gap. Ekspansionary gap

adalah suatu kondisi dimana output potensial (Y

f) lebih kecil dibandingkan

dengan output Actual .

Apabila Pemerintah melakukan kebijakan untuk menurunkan pengeluaran pemerintah (G) yang artinya pemerintah menjalankan kebijakan fiskal kontraktif, maka menyebabkan kurva IS bergeser ke kiri dan menyebabkan pendapatan (Y) dan tingkat bunga mengalami penurunan.

(33)

Tingkat Bunga

LM

i0 E0

i1 E1 IS0

IS1

Y1 Y0 Output

Gambar 2.2 Kebijakan Fiskal Kontratif 2.5.5 Efek Kebijakan Fiskal

1. Pengaruh Kebijakan Fiskal dari Sisi Permintaan.

Pengaruh kebijakan fiskal dari sisi permintaan ini lebih lanjut diklasifikasikan ber- dasarkan perspektif mainstream utama dalam teori ekonomi, yaitu Keynesian dan Non-Keynesian.

a) Pendekatan Keynesian.

Model Keynesian yang paling sederhana mengasumsikan adanya kekakuan harga (price rigidity) dan perekonomian mengalami kelebihan kapasitas (excess capacity), sehingga output ditentukan oleh permintaan agregat (aggregate demand). Dalam model ini, ekspansi fiskal mempunyai efek pengganda (multiplier effect) terhadap permintaan agregat dan output. Ekspansi fiskal mendorong peningkatan permintaan agregat melalui salah satu dari dua saluran, yaitu:

(34)

transfer payments, maka pendapatan masyarakat yang dapat dibelanjakan

(disposable income) akan bertambah, dan masyarakat cenderung menambah konsumsi.

Apabila peningkatan belanja diimbangi dengan peningkatan pajak, maka hasilnya adalah nilai pengganda anggaran berimbang (balanced budget multiplier) persis sama dengan satu.

Apabila pemerintah menjalankan defisit anggaran, sejumlah pembiayaan akan dipenuhi dengan menerbitkan obligasi, sehingga pemerintah berkompetisi dengan sektor swasta untuk mendapatkan dana masyarakat. Hal ini akan mendrong naiknya suku bunga dan memungkinkan terjadinya "crowding out" investasi swasta.

Suku bunga yang lebih tinggi merangsang masuknya modal dari luar negeri (capital inflows) yang pada gilirannya menyebabkan nilai tukar mengalami apresiasi (penguatan). Apresiasi ini menyebabkan barang-barang yang diimpor menjadi lebih murah dan ekspor menjadi lebih mahal. Implikasinya, karena terjadinya peningkatan permintaan domestik yang berasal dari ekspansi fiskal, maka kondisi neraca transaksi berjalan (current accounts) menjadi lebih buruk. (Nizar, 2010).

b) Pendekatan Non-Keynesian.

(35)

depan dan sangat sadar tentang konstrain anggaran antarwaktu pemerintah (government's intertemporal budget constraint), maka konsumen beranggapan bahwa pemotongan pajak sekarang akan dibiayai melalui utang oleh pemerin tah. Akibatnya di masa yang akan datang pajak yang dikenakan lebih tinggi. Argumen ini dikenal dengan Ricardian equivalence.

2. Pengaruh Kebijakan Fiskal dari Sisi Penawaran

Selain pengaruhnya terhadap permintaan agregat dan tabungan, kebijakan fiskal juga mempengaruhi perekonomian melalui perubahan insentif. Pengenaan tarif pajak marjinal yang tinggi atas pendapatan berpotensi mengu rangi insentif untuk menghasilkan pendapatan. Para ekonom "supply-side" menyatakan bahwa pengurangan tarif pajak akan berpengaruh besar terhadap jumlah tenaga kerja yang ditawarkan, dan juga terhadap output. Pengaruh insentif terhadap pajak juga memainkan peranan pada sisi permintaan.

(36)

2.6 Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter menurut Bodieno (1991 : 96 ) tindakan pemerintah (Bank Sentral) untuk mempengaruhi situasi makro yang dilaksanakan. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi).

2.6.1 Instrumen Kebijakan Moneter

1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar terbuka

(37)

dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan

jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib

adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio. 4. Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan

moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

2.6.2 Tujuan Kebijakan Moneter

a. Mengedarkan mata uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange)

(38)

b. Mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan likuiditas perekonomian

dan stabilitas tingkat harga.

c. Distribusi likuiditas yang optimal dalam rangka mencapai pertumbuhan

ekonomi yang diinginkan pada berbagai sektor ekonomi.

d. Membantu pemerintah melaksanakan kewajibannya yang tidak dapat

terealisasi melalui sumber penerimaan yang normal.

e. Menjaga kestabilan Ekonomi,artinya pertumbuhan arus barang dan jasa

seimbang dengan pertumbuhan arus barang dan jasa yang tersedia.

f. Menjaga kestabilan Harga, Harga suatu barang merupakan hasil interaksi

antara jumlah uang yang beredar dengan jumlah uang yang tersedia di pasar. g. Meningkatkan kesempatan kerja, Pada saat perekonomian stabil pengusaha

akan mengadakan investasi untuk menambah jumlah barang dan jasa sehingga adanya investasi akan membuka lapangan kerja baru sehingga memperluas kesempatan kerja masyarakat.

h. Memperbaiki neraca Perdagangan Kerja Masyarakat. Dengan jalan

meningkatkan ekspor dan mengurangi impor dari luar negeri yang masuk ke dalam negeri atau sebaliknya.

2.6.3 Jenis-jenis Kebijakan Moneter

a. Kebijakan moneter ketat (tight money policy) untuk mengurangi/membatasi jumlah uang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi.

(39)

meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi.

2.6.4 Teori Kebijakan Moneter

Analisis mengenai uang bukanlah di dalam menelaah peranan uang tersebut dalam melancarkan kegiatan perdagangan, tetapi kepada peranan uang tersebut dalam mempengaruhi tingkat harga-harga dan tungkat kegiatan ekonomi Negara dinamakan teori moneter. Teori moneter dibedakan dalam dua bentuk :

1. Teori kuantitas uang

Dalam teori ini yang diperhatikan adalah berapa kalikah uang yang ada dalam masyarakat berpindah tangan dalam satu tahun? Teori ini dikembangkan oleh Irving Fisher – seorang ahli ekonomi Amerika, yang berpendapat bahwa pada hakekatnya perubahan dalam uang beredar akan menimbulkan perubahan yang sama cepatnya ke atas harga-harga. Sedangkan Keynes berpendapat bahwa pertambahan dalam uang beredar dapat menaikkan harga-harga, tetapi kenaikan harga-harga itu tidak selalu sebanding dengan kenaikan dalam uang beredar. Lagipula kenaikan dalam uang beredar tidak selalu menimbulkan perubahan ke atas harga. Selanjutnya Keynes juga berpendapat bahwa kenaikan harga-harga bukan saja dipengaruhi oleh kenaikan dalam uang beredar tetapi juga oleh kenaikan dalam ongkos produksi.

2. Teori sisa tunai

(40)

Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu

1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy. Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar

Tingkat Bunga (i) LM1 (Ms0)

LM2 (Ms1)

i0 Eo

i1 E1

Y0 Y1 Output (Y)

Gambar 2.3

Kebijakan moneter ekspansif

Dalam kerangka model IS-LM, naiknya permintaan agregat (AD) yang disebabkan oleh kenaikan di dalam jumlah uang beredar tadi, akan mendorong kurva LM bergeser ke kanan. Sebagai akibatnya, tingkat bunga (i) akan turun, namun pendapatan (Y) sebaliknya mengalami kenaikan.Dimana dengan adanya kenaikan jumlah uang beredar (Ms) dari dari Ms0 menjadi Ms1, telah menyebabkan kurva LM bergeser ke kanan dari LM1 (Ms0) menjadi LM2 (Ms1).

(41)

tingkat bunga (1) turun dari l0 menjadi 11, moneter pendapatan (Y) akan naik dari Y0 ke Y1.

2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy/ Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)

Tingkat Bunga (i) LM2 (Ms1)

LM1 (Ms0)

i1 E1

io E0

Y1 Y0 Output (Y)

Gambar 2.4

Kebijakan moneter kontraktif

Dalam kerangka model IS-LM, menurunya permintaan agregat (AD) yang disebabkan oleh menurunya jumlh uang beredar, akan mendorong kurva LM bergeser ke kiri. Sebagai akibatnya, tingkat bunga (i) akan naik, namun pendapatan (Y) sebaliknya mengalami penurunan .

Dimana dengan adanya menurunya jumlah uang beredar (Ms) dari dari Ms0 menjadi Ms1, telah menyebabkan kurva LM bergeser ke kanan dari LM1 (Ms0) menjadi LM2 (Ms1).

2.7 Efektifitas Kebijakan Fiskal Dan Moneter

(42)

Jika digambarkan, maka bentuk kurva LM menjadi seperti berikut ini : LM

i Daerah Klasikk

Liquidity trap Intermediate range Daerah Keynesian

Y Gambar 2.5

Kurva LM

Daerah liquidity trap merupakan daerah yang idenya pertama sekali dikemukakan oleh Keynes. Keynes menganggap ada satu daerah pada kurva LM yang memiliki tingkat bunga yang sangat rendah dan tidak mungkin turun lagi. Daerah inilah yang disebut daerah liquidity trap. Sementara itu daerah klasik memiliki kurva LM yang tegak lurus.

(43)

Untuk melihat keefektifan fiskal dan moneter dalam kebijakan ekonomi dapat kita lihat pada gambar berikut:

i Is0 Is0 LM

Is1

Is0

Is0 Is1

Yo Y1 Y0a Y1b Y0c=Y1d Y

Gambar 2.6

Efektivitas kebijakan fiskal

Gambar di atas menunjukkan apabila kurva IS bergeser ke kanan berarti kebijakan fiskal ekspansif. Jika kita perhatikan pada masing-masing daerah, kebijakan fiskal sangat efektif pada daerah Keynesian dan efektif pada daerah

intermediate range.

(44)

i LM0 LM1

IS

IS IS

Yo=Y1 Y0a Y1b Y0c Yod

Gambar 2.7

Efektivitas kebijakan Moneter

Kebijakan moneter yang espansif ditandai dengan bergesernya kurva LM dari LM0 ke LM1. Apabila dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter sangat efektif di daerah klasik dan efektif pada daerah

intermediate.Sementara itu, kebijakan moneter sama sekali tidak efektif pada daerah Keynesian.

2.8 Penelitian Terdahulu

Sebagian besar masalah mendasar dalam interaksi kebijakan moneter dan fiskal berkaitan dengan perbedaan aktivitas fiskal dan moneter, karena secara

alami otoritas fiskal dan moneter merupakan entitas yang berbeda dengan

instrumen, tujuan dan preferensi yang berbeda, (Fry, 1995:399).

(45)

negatif pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Instrumen kebijakan fiskal memiliki kontribusi cukup besar terhadap tingkat inflasi, begitu halnya dengan tingkat suku bunga terhadap output.

Hal tersebut juga di ungkapkan andrian,etty (2012) menunjukkan bahwa kebijakan fiskal merupakan guncangan negatif terhadap inflasi dan direspon dengan kebijakan moneter ketat, sedangkan guncangan kebijakan moneter akan mengurangi pendapatan nasional. Penerapam kebijakan moneter dan fiskal akan menaikkan pertumbuhan ekonomi secara efektif.

Dan secara spesifik Bhattacharya dan Haslag (1999) mengatakan bahwa kebijakan moneter memiliki efek terhadap kondisi fiskal dan demikian juga

sebaliknya, karena pemerintah bertindak seperti agen swasta yang menghadapi kendala anggaran. Tindakan moneter dan fiskal berinteraksi dalam satu kendala

anggaran pemerintah yang sama.

Kelompok peneliti yang melihat bahwa sebetulnya kebijakan moneterlah yang akan mempengaruhi kondisi fiskal juga cukup banyak. Pergeseran kebijakan

moneter memiliki efek yang penting bagi pemerintah dan tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini bank sentral memiliki komitmen baru terhadap inflasi yang rendah (Shapiro, 2004).

Fenomena ini akan mempengaruhi pendapatan dari penciptaan uang (seigniorage) sehingga perlu dilakukan penyesuaian kesimbangan fiskal pada

(46)

Hasil simulasi stokastik Hostland (2001) menunjukkan bahwa semakin agresif kebijakan moneter akan menaikkan variabilitas suku bunga jangka pendek, tetapi akan menurunkan variabilitas output, inflasi dan biaya utang. Penelitian Dellas dan Slayer (2003) menemukan bahwa kebijakan moneter kaidah yang kontra siklis menyebabkan suku bunga riil yang lebih tinggi, tingkat pajak rata-rata yang lebih tinggi, output yang lebih rendah, variabilitas tingkat pajak dan konsumsi yang lebih rendah dibandingkan dengan kebijakan yang pro siklis.

Penelitian interaksi moneter-fiskal yang dilakukan oleh Sargent dan Wallace (1975) menyatakan bahwa defisit anggaran yang didanai melalui sistem

perbankan (bank sentral), akan mengakibatkan peningkatan jumlah uang beredar, dan selanjutnya akan mempengaruhi peningkatan harga, yang berarti, pembiayaann defisit anggaran akan memiliki konsekuensi negatif ke tingkat harga

(Marszalek, 2003, Moreno,2003).

Kebijakan fiskal dapat mempengaruhi kebijakan moneter dalam berbagai

(47)

2.9 Kerangka Penelitian

Konsep kerangka berpikir dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.8 kerangka penelitian

2.10 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan penelitian sebelumnya, dapat ditarik hipotesis yaitu:

1. Adanya shocks kebijakan fiskal memberikan pengaruh positif terhadap tingkat inflasi.

2. Inflasi direspon negatif oleh penggunaan instrumen kebijakan moneter. 3. Adanya shocks kebijakan moneter menyebabkan menurunnya tingkat PDB 4. PDB direspon positif oleh instrumen kebijakan fiskal

.

PDB

INFLASI

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

2.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah interaksi kebijakan fiskal dan moneter, perkembangan tingkat suku bunga sebagai instrumen kebijakan moneter, pengeluaran pemerintah sebagai instrumen kebijakan fiskal, inflasi, dan PDB selama kurun waktu 1986-2013.

2.2 Jenis Dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dalam bentuk kurun waktu (time series) yang bersifat kuantitatif yaitu berbentuk angka-angka yang tercatat dari World Bank, Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik Indonesia pada kurun waktu 1986-2013, adapun yang data diperlukan dalam penelitian ini adalah data pengeluaran pemerintah, tingkat suku bunga, inflasi dan PDB.

2.3 Batasan Operasional

Dalam penelitian interaksi kebijakan fiskal dan moneter ini, ada beberapa batasan, yaitu penulis menggunakan metode analisis Vector Auto Regression

(VAR), dimana semua variabel sama. Sehingga tidak ada variabel endogen dan eksogen.

(49)

2.4 Defenisi Operasional

1. Tingkat suku bunga yang mewakili instrumen moneter adalah harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu, dalam kurun waktu 1986-2013.

2. Pengeluaran pemerintah yang memawakili instrument fiskal adalah pengeluaran oleh pemerintah untuk membeli barang dan jasa, dalam kurun waktu 1986-2013.

3. Inflasi adalah tingkat kenaikan harga-harga secara umum, dalam kurun waktu 1986-2013.

4. PDB adalah faktor- faktor produksi milik warga negara, negara tersebut dan warga negara asing yang tinggal di negara tersebut dalam dalam kurun waktu 1986-2013.

2.5 Pengolahan Data

Dalam pengolahan data penulis menggunakan program E-Views 7.0 dan excel sebagai software pembantu dalam mengkonversi data kedalam bentuk baku yang disediakan oleh sumber kedalam bentuk yang lebih resprentatif untuk digunakan pada software e-views nantinya.

2.6 Model Analisis Data

Model Analisis yang akan digunakan oleh peneliti adalah model ekonometrika yaitu Analisis Vector auto regression (VAR). Model Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Persamaan sebagai berikut:

Y1t= β01 + ∑ip=1 βi1 Y1t-i + ∑ip=1 αi1 Y2t-1 + ∑ip=1 πi1 Y3t-1 + ∑ip=1 φi1 Y4t-1 +e1t

(50)

Y3t= β01 + ∑ip=1 βi3 Y1t-i + ∑ip=1 αi3 Y2t-1 + ∑ip=1 πi3 Y3t-1 + ∑ip=1 φi3 Y4t-1 +e1t

Y4t = β01 + ∑ip=1 βi4 Y1t-i + ∑ip=1 αi4 Y2t-1 + ∑ip=1 πi4 Y3t-1 + ∑ip=1 φi4 Y4t-1 +e1t

Dimana : Y1t = Tingkat Suku bunga

Y2t = Pengeluaran Pemerintah

Y3t = Inflasi

Y4t = PDB

Keempat persamaan tersebut diatas dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih ringkas dengan mengunakan notasi matrik sebagai berikut :

Yt = Ao + A1Yt-1 + A2Yt-2 +… + ApYt-p + et

Dimana : Yt = Vektor yang berisi n variabel di dalam system SVAR (n x 1)

Ao = Vektor intersep (n x1)

A1 = Matriks koefisien (n x n)

et = Vektor ganguan (n x 1) 2.7 Metode Analisis Data

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, peneliti dalam menganilisis data yang telah diperoleh menggunakan metode VAR.

2.7.1 Vector Auto Regression

VAR merupakan salah satu model yang mampu menganalisis hubungan saling ketergantungan variabel time series. VAR dikembangkan oleh Christoper Sim (1980), VAR hanya memperhatikan dua hal yaitu,

(51)

2. Untuk melihat hubungan antar variabel di dalam VAR, kita membutuhkan sejumlah kelambanan variabel tersebut terhadap yang lain di model. Selain kedua hal tersebut, model VAR adalah model linear sehingga kita tidak perlu khawatir tentang bentuk model serta model VAR mudah di estimasi dengan metode OLS.

Model VAR menganggap bahwa semua variabel ekonomi saling bergantung dengan yang lain. Model VAR adalah persamaan regresi yang menggunakan data time series. Persoalan yang muncul di dalam data time series berkaitan dengan stasionaritas data time series dan kointegrasi. Pembentukan model VAR ini juga sangat terkait erat dengan masalah stasionaritas data dan kointegrasi antar variabel di dalamnya.

Langkah pertama pembentukan model VAR adalah melakukan uji stasionaritas data. Jika data adalah stasioner pada tingkat level maka kita mempunyai VAR biasa (unrestricted VAR). Sebaliknya jika data tidak stasioner pada tingkat level tetapi stasioner pada proses diferensiasi data, maka kita harus menguji apakah data mempunyai hubungan dalam jangka panjang atau tidak dengan melakukan kointegrasi.

(52)

kointegrasi,bila nantinya dalam pengujian di misalkan dilakukan uji akar unit tingkat diferensiasi itu dilakukan hanya untuk menghindari reggresi lancung.

Gambar 3.1 Proses Pembentuka VAR

2.7.2 Uji Akar Unit

Uji akar unit digunakan untuk mengetahui ada tidaknya stasioneritas data. Pengertian stasioneritas terkait erat dengan konsistensi pergerakan data time

Data Time series

Uji Stasionaritas Data

Stasioner

VAR Bentuk Level

Tidak Stasioner

Stasioner diferensi Data

Terjadi kointegrasi

VCM VAR Bentuk

(53)

series. Suatu data dikatakan stasioner apabila memenuhi tiga kriteria, yaitu jika nilai rata-rata dan varians konstan sepanjang waktu dan kovarians antara dua runtut waktu/periode waktu hanya tergantung dari kelambanan antara dua periode waktu tersebut. Estimasi model ekonometrik time series akan menghasilkan kesimpulan yang tidak berarti, ketika data yang digunakan mengandung akar unit (tidak stasioner). (Gujarati, 2004).

Uji yang biasa digunakan adalah uji augmented Dickey–Fuller. Uji lain

yang serupa yaitu Uji Phillips–Perron. Keduanya mengindikasikan keberadaan akar unit sebagai hipotesis null. Perlu diketahui bahwa data yang dikatakan stasioner adalah data yang bersifat flat, tidak mengandung komponen trend, dengan keragaman yang konstan, serta tidak terdapat fluktuasi periodik.

Untuk diketahui adanya akar unit, maka dilakukan pengujian Dickey-Fuller (DF-test) sebagai berikut: Jika variabel Yt sebagai variabel dependen, maka akan diubah menjadi : Yt = ρ Yt-1 + Ut ………(1)

Jika koefisien Yt-1 (ρ) adalah = 1 dalam arti hipotesis diterima, maka

variabel mengandung unit root dan bersifat non-stasioner. Untuk mengubah trend yang bersifat non-stasioner menjadi stasioner dilakukan uji orde pertama (first difference) ΔYt= (ρ-1) (Yt– Yt-1 ) ………..(2)

Koefisien ρ akan bernilai 0, dan hipotesis akan ditolak sehingga model

menjadi stasioner.Hipotesis yang digunakan pada pengujian augmented dickey fuller adalah:

(54)

Kesimpulan hasil root test diperoleh dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel pada tabel Dickey-Fuller.

2.7.3 Penetuan Lag Optimum

Salah satu tahapan yang krusial di dalam estimasi VAR adalah masalah penentuan kelambanan atau penentuan lag optimum. Dalam penentuan lag optimum terdapat beberapa kriteria yang seringkali digunakan, namun dalam penelitian ini akan digunakan Akaike Information Criterion (AIC),Schwartz Information Criterion (SIC), LR (squential modified LR test statistisc), FPE (Final Prediction Error), dan HQ (Hannan-Quinn information criterion), dengan tetap mempertimbangkan adjusted R2 sistem VAR. Panjang kelambanan optimal terjadi jika nilai Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwartz Information Criterion (SIC) LR (squential modified LR test statistisc), FPE (Final Prediction Error), dan HQ (Hannan-Quinn information criterion) bernilai absolut paling kecil dan nilai adjusted R2 paling tinggi.

2.7.4 Pengujian Stabilitas Data

(55)

Sebuah model dikatakan mempunyai stabilitas yang tinggi jika inverse akar karakteristiknya mempunyai modulus tidak lebih dari satu Dan semuanya berda dalam unit circle. Jika kebanyakan modulusnya berada dalam lingkaran maka bisa dikatakan model cukup stabil. Namun sebaliknya, jika kebanyakan modulus berada di luar lingkaran maka dkhawatikan model kurang stabil. Jika AR tersebut memiliki tingkat stabilitas yang rendah atau semua inverse akar karakteristiknya berada di luar unit circle, maka hasil dari estimasi VAR tersebut meragukan. 2.7.5 Impulse Response

Analisis impulse response ini melacak respon dari variabel endogen di dalam system VAR karena adanya goncangan (shocks) atau perubahan di dalam variabel gangguan pada saat sekarang atau yang akan datang. Dengan kata lain, uji Impulse Response berguna untuk melacak respon saat ini dan masa depan setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel. Impulse response merupakan salah satu analisis yang penting didalam VAR, karena secara individual koefisien di dalam VAR sulit di interprestasikan.

2.7.6 Variance Decompositon

(56)

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan dipaparkan hasil perhitungan dan analisis interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia berdasarkan metodologi penelitian yang telah dikemukakan pada Bab 3. Pembahasan diawali dengan analisis perkembangan dan periodisasi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia. Pada tahap berikutnya, akan di analisis hasil dari pengolahan data menggunakan analisis VAR.

4.1 Periodisasi Kebijakan Moneter di Indonesia

Di Indonesia yang memegang otoritas kebijakan moneter adalah Bank Indonesia, karakteristik kebijakan sektor moneter di bawah otorisasi BI menunjukkan kecenderungan bahwa sektor moneter bukanlah sektor yang pasif. Kebijakan moneter yang diambil tidak hanya semata-mata ditujukan untuk mempertahankan kondisi anggaran pemerintah, namun juga untuk kepentingan stabilisasi sektor moneter dan perekonomian secara keseluruhan.

(57)

pemerintah. Kondisi ini tentunya akan membawa perubahan dalam interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia.

Tabel 4.1

Periodisasi dan Evaluasi Kebijakan Moneter

Periode Kebijakan moneter Evaluasi berdasarkan optimal policy rule Suku bunga inti

1980-1982 Deregulasi dan liberalisasi Cenderung ketat Cenderung finansial ketat

(58)

Pada tahun 1980-1982 kebijakan moneter melalui tingkat suku bunga cendrung ketat, hal tersebut dilakukan Bank Indonesia untuk menurukan inflasi yang cukup tinggi pada tahun tersebut, dimana inflasi pada tahun 1980 sebesar 18%. Agar inflasi tersebut tidak semakin naik dan iklim perekonomian tetap terjaga, maka Bank Indonesia melakukan kebijakan cendrung ketat terhadap suku bunga. Dan hal tersebut berhasil, dimana inflasi pada tahu 1981 menurun menjadi 12,2%, semakin menurun pada tahun 1982 sebesar 9,4%.

Tahun 1985 dan 1986 kebijakan moneter Bank Indonesia cukup optimal, diamana fokus kebijakan moneter pada saat itu adalah penguatan perbankan dan pertumbuhan ekonomi.

Gambar 4.1 Inflasi 1980-2012

Sumber : World Bank

Dikarenakan kebijakannya cukup optimal sehingga inflasi terjaga dengan baik, meskipun terjadi kenaikan tetapi kenaikkan nya masih dianggap stabil. Namun pada tahun 1987 kebijakan moneter terlalu longgar sehingga terjadinya

(59)

kenaikan inflasi menjadi 9.2%. Kebijakan moneter yang cukup optimal juga terjadi di tahun 1993 dan 1994, meskipun inflasi cukup tinggi sebesar 9,6%. Tetapi 1994 inflasi menurun, tetapi penurunan nya tidak langsung secara cepat dan drastis, sehingga tetap menjaga iklim perekonomian.

Pada tahun 2000 kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia terlalu longgar, dengan cara menurunkan tingkat suku bunga sehingga masyarakat lebih senang menginvestasikan uangnya dari pada menyimpannya, sehingga akibat yang terjadi adalah terjadi kenaikan inflasi yang cukup cepat dari 5,7% menjadi 11.5% di Indonesia. Namun pada tahun setelah nya Bank Sentral sebagai otoritas kebijakan moneter di Indonesia melakukan kebijakan monster yang cukup optimal, sehingga menjaga inflasi tidak terlalu turun dan terlalu naik.

4.2 Periodisasi Kebijakan Fiskal di Indonesia

(60)

Jadi peneliti dalam melihat perkembangan kebijakan fiskal di Indonesia menggunakan dengan cara memperhatikan defisit/ surplus anggaran belanja dengan penerimaan pemerintah. Dikatakan kebijakan fiskal berpengaruh kontraktif, apabila anggaran periode sebelumnya mempunyai surplus atau defisit yang lebih besar dari tahun berjalan. Begitu pulak sebaliknya dikatakan kebijkan fiskal yang berpengaruh ekspansif, apabila anggaran periode sebelumnya mempunyai surplus atau defisit yang lebih kecil dari tahun berjalan.

Dalam periode 1993 anggaran aktual mengalami defisit sebesar 1,72%, tetapi defisit yang terjadi lebih kecil dari defisit sebelumnya pada tahun 1992 yaitu sebesar 3,18%. Dengan demikian kebijakan fiskal yang di ambil lebih mengarah kebijakan fiskal yang kontrakif. Pada tahun 1994 Indonesia mengalami surplus anggaran sebesar 3,81%. Hal tersebut juga menyatakan kebijakan fiskal yang di ambil pemerintah pada tahun tersebut adalah kebijakan fiskal yang kontraktif. Jika dikaitkan kan kebijakan fiskal pemerintah pada tahun 1993-1994 indonesia yang lebih kontraktif dengan inflasi, maka hal tersebut dapat kita lihat dengan menurunnya tingkat inflasi pada tahun 1993 sebesar 9,6% menjadi 8,5% pada tahun 1994. Hal tersebut terjadi salah satunya menurunnya jumlah uang beredar yang berada di masyarakat, dengan adanya kebijakan kontraktif.

(61)

Tabel 4.2

Periodisasi kebijakan fiskal Indonesia 1990-2011 Tahun Surplus/defisit kebijakan fiskal

(62)

atau investor mengalami krisis kepercayaan akibat gejolak politik yang terjadi di Indonesia.

Hal yang serupa pun terjadi ada tahun 2009 dimana terjadi kenaikan defisit anggaran pemerintah yang sangat tinggi. Kebijakan fiskal yang di ambil pemerintah pada saat itu adalah kebijakan fiskal ekspansif yaitu menambah pengeluaran pemeritah. Dikarenakan pada tahun 2008 terjadi krisis ekonomi global di akibatkan terjadi nya krisis ekonomi di amerika, sehingga dampaknya juga dirasakan di Indonesia. Sehingga untuk merespon hal tersebut pemerintah meningkatkan pengeluaran pemerintah, namun pada tahun setelah nya pemerintah menggunakan kebijakan fiskal kontraktif untuk mengurangi defisit anggaran tersebut, dengan cara menurunkan pengeluaran pemerintah

4.3 Hasil Uji Akar Unit

Untuk menguji stasioner atau tidak nya data suku bunga yang mewakili proxy kebijakan moneter, dan pegeluaran pemerintah yang mewakili proxy kebijakan fiskal, inflasi dan PDB, maka peneliti menggunakan uji akar unit

Augmented Dickey-Fuller Test. Berdasarkan hasil pengujian akar unit tingkat level pada tingkat suku bunga, data tingkat suku bunga tidak stasioner pada level 1% dan 5 %. Karena nilai ADF sebesar 2,756 lebih kecil dari nilai kritis Mackinnon pada level 1%, 5%, dan hanya stasioner pada level 10%.

(63)

semua level. Tetapi berbeda dengan GDP, data GDP tidak stasioner disemua level, hanya stasioner di level 5% dan 10%.

Tabel 4.3

Uji Akar Unit Tingkat Level

Variabel ADF Level t-Statictic

(Level) tersebut harus sama-sama stasioner. Sehingga dilakukan uji akar unit pada tingkat

firstdifference

(64)

Tabel 4.4

Uji Akar Unit Pada Tingkat First Difference

Variabel ADF Level t-Statictic

(Level)

Gambar

Gambar 1.1 Inflasi dan Suku bunga 2006 s/d 2012
Tabel 1.1  PDB dan Belanja Pemerintah
Gambar 2.2
Gambar 2.3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dan tingkat signifikansi antara suku bunga deposito, nilai tukar, penerimaan pajak dan pengeluaran

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh inflasi, suku bunga, investasi dan jumlah uang beredar terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data inflasi, suku bunga, investasi, jumlah uang beredar dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun 1999-2014.

Pertumbuhan ekonomi tersebut tidak terlepas dari pengaruh tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah, pertumbuhan ekonomi terendah yang terjadi pada tahun 2014 dan 2015

“Pertama, suku bunga BI Rate naik sebesar 25 bps menjadi 7,75%, dengan suku bunga Lending Facility naik sebesar 50 bps menjadi 8,00% dan suku bunga Deposit Facility tetap

Uji kausalitas Granger dimaksudkan untuk melihat hubungan antar variabel yang menjadi obyek penelitian dalam men- jelaskan pengaruh nilai tukar, suku bunga SBI dan

Inflasi merupakan suatu masalah ekonomi yang dapat menimbulkan dampak yang sangat luas. Apabila inflasi berada pada angka yang tinggi, akan menyebabkan pertumbuhan

ditentukan oleh faktor-faktor: suku bunga, tingkat pengembalian modal, kemajuan teknologi dan.. 4, November 2014 ramalan mengenai ekonomi masa datang dan tingkat