ABSTRAK
KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI
(Capsicum annuum L) DAN BERBAGAI JENIS GULMA
Oleh
Kristina Hayu Herwidyarti
Cabai merah (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas sayuran penting. Rendahnya produksi cabai antara lain disebabkan oleh penyakit antraknosa dan gulma yang tumbuh disekitar pertanaman cabai. Gulma selain menjadi tanaman pesaing cabai, sekaligus dapat sebagai tanaman inang alternatif jamur penyebab antraknosa Colletotrichum capsici L. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui apakah gulma dapat terserang penyakit antraknosa (2) mengetahui perbedaan masa inkubasi penyakit antraknosa pada cabai dan gulma. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan di lahan cabai di Kecamatan Kemiling, Kelurahan Langkapura Bandar Lampung pada bulan Juni hingga Agustus 2012. Penelitian ini disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Data dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil pada taraf kepercayaan 5%. Perlakuan terdiri dari (a) cabai, (b) Cleome rutidosperma, (c) Cyperus kyllingia, (d) Synedrella nodiflora, (e) Paspalum distichum, dan (f) Ageratum conyzoides yang diinokulasikan dengan jamur Colletotrichum capsici pada saat tingginya berkisar antara 9-12 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) Keparahan penyakit antraknosa berbeda-beda, pada cabai 0,3% hingga 44,0% %, Cleome rutidosperma sebesar 7,5% hingga 51,0%, Cyperus kyllingia dan Paspalum distichum 0%, Synedrella nodiflora 9,3% hingga 47,0%. dan Ageratum conyzoides 12,8% menjadi 9,1%, (2) Masa inkubasi jamur Colletotrichum capsici berbeda-beda yaitu tersingkat pada gulma Cyperus kyllingia (0 hari), dan masa inkubasi terpanjang pada dan Paspalum conjugatum (27 hari). Pertumbuhan tinggi dan persentase jumlah daun tanaman cabai dan gulma yang diinokulasi dengan Colletotrichum capsici berbeda-beda dari minggu ke- 1 hingga minggu ke- 4. Pertumbuhan paling tinggi terjadi pada gulma Ageratum conyzoides sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada gulma Cleome rutidosperma. Persentase jumlah daun sakit paling besar adalah pada cabai dan Persentase jumlah daun paling kecil pada Cyperus kyllingia.
ABSTRACT
DISEASE SAVERITY OF ANTHRACNISE ON RED CHILI
(Capsicum Annuum L) AND VARIOUS TYPES OF WEEDS
By
Kristina Hayu Herwidyarti
Red chili (Capsicum annuum L) known as one of favorit vegetables in our society. The low production of red chili caused by Anthracnose and weeds that grow around the plant. Weeds as unwanted plant competing the main plant red chili, and as alternative hosts for Anthracnose Colletotrichum capsici L. This study is aims to (1) determine if weeds can be infected by anthracnose disease (2) observe the differences of the incubation period of anthracnose disease on red chili and weeds. The research was conducted in Laboratory of Plant Pathology Faculty of Agriculture, Lampung University and on red chili plantation in the District of Kemiling, Langkapura in Bandar Lampung. From June to August 2012. The treatment was organized in a Rendomized Block Design (RBD) and 4 replications. The treatments consists of (a) chili, (b) Cleome rutidosperma, (c) Cyperus kyllingia, (d) Synedrella nodiflora, (e) Paspalum distichum, and (f) Ageratum conyzoides were inoculated with Colletotrichum capsici on high ranged between 9-12 cm. The results showed that (1) The disease severity of anthracnose in red chili 0,3% to 44,0%, Cleome rutidosperma of 7,5% to 51,0%, Cyperus kyllingia and Paspalum distichum 0%, Synedrella nodiflora 9,3% to 47,0% and Ageratum conyzoides 12,8% to be 9,1%, (2) The incubation of Colletotrichum capsici may vary from the shortest on Cyperus kyllingia (0 days), to the longest incubation period on Paspalum distichum (27 days). Growth rate is high and the percentage of leaves of red chili plants and weeds were inoculated with Colletotrichum capsici vary from first week to forth week. The highest occurred in Ageratum conyzoides while the lowest occurred in the Cleome rutidosperma. The highest percentage of infected leaves are red chili, and the smallest percentage of the infected leaves are in Cyperus kyllingia.
KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI
(Capsicum annuum L) DAN BERBAGAI JENIS GULMA
(Skripsi)
Oleh
KRISTINA HAYU HERWIDYARTI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI
(Capsicum annuum L) DAN BERBAGAI JENIS GULMA
Oleh
KRISTINA HAYU HERWIDYARTI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN
Pada
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
Trust in LORD with all you heart and
lean not on your own understanding (Proverbs 3:5)
Kesenangan terbesar dalam hidup ini adalah melakukan hal, dimana orang lain mengangap bahwa kita tidak mampu
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... vi
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 2
1.3 Kerangka Pemikiran ... 3
1.4 Hipotesis ... 4
II. Tinjauan Pustaka 2.1 Tanaman Cabai ... 5
2.1.1 Botani Tanaman Cabai ... 5
2.1.2 Penyakit Antraknosa ... 7
2.2 Gulma ... 9
2.2.1 Gulma Berdaun Lebar ... 9
2.2.2 Gulma Rerumputan ... 11
ii
3.4.5 Inokulasi Isolat Colletotrichum Pada Tanaman Cabai dan Gulma ... 19
IV. Hasil dan Pembahasan 4.1 Isolat C. capsici ... 22
4.2 Tinggi Tanaman dan persentase Daun Sakit Cabai dan Gulma .. 23
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Tinggi Tanaman Cabai dan Gulma Yang Menunjukkan Gejala
Sakit Setelah Perakuan ... 24
2. Tinggi Tanaman Cabai dan Beberapa Jenis Gulma Yang Tetap Sehat ... 24
3. Persentase Jumlah Daun Tanaman Cabai dan Beberapa Jenis Gulma (%) ... 26
4. Keparahan Penyakit Pada Cabai dan Beberapa Jenis Gulma ... 27
5. Masa Inkubasi Jamur C. capsici Pada Cabai dan Gulma ... 29
6. Hasil Pengamatan Tinggi Tanaman Minggu ke- 1 ... 36
7. Uji Homogenitas Ragam Tinggi Tanaman Minggu ke- 1 ... 37
8. Analisis Ragam Untuk Tinggi Tanaman Minggu ke-1 ... 38
9. Hasil Pengamatan Tinggi Tanaman Minggu Ke- 2 ... 39
10. Uji Homogenitas Ragam Tinggi Tanaman Minggu ke- 2 ... 40
11. Analisis Ragam Untuk Tinggi Tanaman Minggu ke-2 ... 41
12. Hasil Pengamatan Tinggi Tanaman Minggu ke- 3 ... 42
13. Uji Homogenitas Ragam Tinggi Tanaman Minggu ke- 3 ... 43
14. Analisis Ragam Untuk Tinggi Tanaman Minggu ke- 3 ... 44
15. Hasil Pengamatan Tinggi Tanaman Minggu ke- 4 ... 45
16. Uji Homogenitas Ragam Tinggi Tanaman Minggu ke- 4 ... 46
iv
18. Hasil Pengamatan Tinggi Tanaman Cabai dan Gulma
Yang Sehat ... 48
19. Uji Homogenitas Ragam Tinggi Tanaman Cabai dan Gulma Yang Sehat ... 49
20. Analisis Ragam Untuk Tinggi Tanaman Cabai dan Gulma Yang Sehat ... 50
21. Total Jumah Daun Yang Diamati Pada Tanaman Cabai dan Beberapa Jenis Gulma ... 51
22. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-1 ... 52
23. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-1 Dengan Transformasi ... 52
24. Uji Homogenitas Ragam Keparahan Penyakit Minggu ke- 1 ... 53
25. Analisis Ragam Untuk Keparahan Penyakit Minggu ke- 1 ... 54
26. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-2 ... 55
27. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-2 Dengan Transformasi ... 56
28. Uji Homogenitas Ragam Keparahan Penyakit Minggu ke- 2 ... 56
29. Analisis Ragam Untuk Keparahan Penyakit Minggu ke- 2 ... 57
30. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-3 ... 58
31. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-3 Dengan Transformasi ... 58
32. Uji Homogenitas Ragam Keparahan Penyakit Minggu ke-3 ... 59
33. Analisis Ragam Untuk Keparahan Penyakit Minggu ke- 3 ... 60
34. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-4 ... 61
35. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-4 Dengan Transformasi ... 61
v
37. Analisis Ragam Untuk Keparahan Penyakit Minggu ke- 2 ... 63
38. Hasil Pengamatan Masa Inkubasi Jamur Colletotrichum capsici
Pada Cabai dan Beberapa Jenis Gulma ... 64
39. Uji Homogenitas Ragam Masa Inkubasi Jamur Colletotrichum capsici Pada Cabai dan Beberapa Jenis Gulma ... 65
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Denah Unit Percobaan Keparahan Penyakit Antraknosa
Pada Cabai dan Berbagai Jenis Gulma ... 16
2. Tata Letak Percobaan Penanaman Cabai dan Berbagai Jenis Gulma Yang Diinokulasikan Dengan Colletotrichum capsici ... 17
3. Inokulasi Suspensi Colletotrichum capsici Pada Gulma A. conyzoides ... 19
4. Isolat C. capsici 7 Hari Setelah Inkubasi ... 22
5. Konidia C. capsici ... 23
6. Tinggi Tanaman Cabai dan Beberapa Jenis Gulma ... 25
33
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Produksi Terung, Ketimun dan Cabe Merah Menurut Kabupaten/Kota. http:/lampung.bps.go.id/tabel/pertanian1.pdf. diakses pada tanggal 17 April 2012.
Herwidyarti, K.H. 2011. Pengamatan Keparahan Penyakit Bercak Daun Ungu
(Alternaria pori (Ell.)Cif) Tanaman Bawang Daun Di Balai Peneitian Tanaman Sayuran Lembang Bandung. Laporan Praktik Umum. Fakultas Pertanian Universitas Lampung : Bandar Lampung. 44 hlm.
Johnson, L.A., P.J.White, dan R.Galloway. 2008. Soybeans Chemistry, Production, Processing and Utilization. AOCS Press. USA. 842 Hlm.
Korlina, E. dan Baswarsiati, 1995. Uji Ketahanan Beberapa Kultivar Bawang Merah Terhadap Penyakit Layu Fusarium. Prosiding Konggres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Mataram. 535-539.
34
Rubatzky, V.E., dan Mas Yamaguchi. 1999. Sayuran Dunia 3 Prinsip Produksi dan Gizi. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung. 320 hlm.
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 850 hlm.
Sembodo, D.R.J. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu : Yogyakarta. 166 hlm.
Soerjani, M., A.J.G.H.Koestermans, dan G. Tjitrosoepomo. 1987. Weeds Of Rice In Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. 716 hlm.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Cabai
2.1.1 Botani Tanaman Cabai
Cabai merah merupakan suatu komoditas sayuran yang tidak dapat ditinggalkan
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan asal-usulnya, cabai (hot
pepper) berasal dari Peru. Ada yang menyebutkan bahwa bangsa Meksiko kuno
sudah menggemari cabai semenjak tahun 700, jauh sebelum Colombus
menemukan Benua Amerika (1492). Christophorus Colombus kemudian
menyebarkan dan mempopulerkan cabai dari Benua Amerika ke Spanyol pada
tahun 1492. Pada awal tahun 1500-an, bangsa Portugis mulai memperdagangkan
cabai ke Makao dan Goa, kemudian masuk ke India, Cina, dan Thailand. Sekitar
tahun 1513 kerajaan Turki Usmani menduduki wilayah Portugis di Hormuz,
Teluk Persia (Prajnata, 2001). Cabai adalah tanaman asli wilayah tropika dan
subtropika Amerika. Cabai merah (Capsicum annuum L.) adalah spesies yang
paling banyak dibudidayakan dan paling penting secara ekonomis (Rubatzky,
1999).
Secara lengkap cabai merah diklasifikasikan (Prajnanta, 2001) berikut ini
Divisi : Spermatophyta
Cabai bermanfaat sebagai penyedap masakan dan juga mengandung zat gizi yang
sangat diperlukan untuk kesehatan. Cabai mengandung protein, lemak,
karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin-vitamin, dan mengandung
senyawa-senyawa alkaloid, seperti capsaicin, flavenoid, dan minyak esensial
(Prajnanta, 2001).
Cabai adalah tanaman herba, dengan pangkal batang berkayu. Pada umumnya,
tanaman tumbuh tegak, bercabang banyak, dan tinggi 50-150 cm. Tanaman cabai
berakar tunggang yang kuat dan masuk ke dalam tanah. Daun relatif halus, daun
tunggal dan tipis, dengan ukuran yang bervariasi, dengan helaian daun lanset dan
bulat telur lebar (Rubaztky, 1999).
Cabai dapat hidup pada daerah yang memiliki ketinggian antara 0-1200 m dpl.
Tanaman ini toleran terhadap dataran tinggi maupun dataran rendah.
Jenis tanah ringan maupun berat dapat menjadi media tumbuh tanaman cabai
terbaik sebaiknya cabai ditanam pada tanah berstruktur remah/gembur dan kaya
bahan organik. pH tanah yang dikehendaki tanaman cabai antara 6,0-7,0
(Nazarudin, 1999).
Tanaman cabai peka terhadap suhu rendah dan lebih sesuai dengan cuaca panas,
dengan periode panjang untuk dapat menjadi tanaman cabai yang produktif. Suhu
siang yang ideal rata-rata 20-25oC, pertumbuhan tanaman meningkat pada suhu
malam tidak melebihi 20oC. Suhu rendah cenderung membatasi perkembangan
aroma dan warna, serta tanaman dan buah rentan terhadap kerusakan suhu dingin.
Bunga cabai tidak terbuahi pada suhu ekstrim di bawah 16oC atau di atas 32oC
karena produksi tepung sari cabai rusak. Penyerbukan dan pembuahan optimum
pada suhu antara 20oC dan 25oC. Umumnya, kultivar berbuah kecil lebih rentan
terhadap suhu ekstrim tinggi atau rendah. Cabai harus ditanam dalam tanah yang
berdrainase baik, karena tanaman sangat peka terhadap genagan. Tanaman yang
tergenang cenderung mengalami kerontokan daun, dan terserang penyakit akar.
Cabai tanggap terhadap pemupukan, dan biasanya pupuk nitrogen tambahan
diberikan sebelum tanam dan diberikan lagi sebelum pembungaan pertama
(Rubaztky, 1999).
2.1.2 Penyakit Antraknosa
Penyakit penting yang dijumpai pada pertanaman cabai adalah bercak daun
cercospora, antraknosa, layu bakteri, layu fusarium, dan penyakit mosaik.
Tingkat serangan yang berat menyebabkan kegagalan panen buah cabai
Penyakit antraknosa sangat merugikan karena dapat menghancurkan seluruh
pertanaman di lapang. Pengamatan terhadap perkembangan penyakit antraknosa
harus dilakukan setiap hari pada musim hujan. Penyakit antraknosa juga terbawa
hingga pascapanen buah cabai. Cabai segar yang dipanen kemudian disimpan 1-2
hari dapat menunjukkan gejala penyakit ini karena antraknosa dapat menginfeksi
biji dan bertahan di dalam biji selama 9 bulan. Penyakit ini berkembang pada kondisi kelembapan relatif tinggi (> 95%) pada suhu sekitar 32˚ C dan lingkungan
pertanaman yang kurang bersih serta banyak terdapat genangan air (Prajnanta,
2001).
Gejala kerusakan buah cabai mula-mula berupa bercak coklat kehitaman,
kemudian meluas dan akhirnya menyebabkan buah menjadi busuk dan lunak.
Pada pusat bercak terlihat titik-titik hitam terdiri dari kumpulan seta dan konidia
(Nawangsih, 1995).
Penyebab penyakit ini adalah Colletotrichum capsici (Syd) Butl. Et Bisby .
Cendawan C. capsici menginfeksi dengan membentuk bercak coklat kehitaman
yang kemudian meluas menjadi busuk lunak. Serangan berat menyebabkan buah
mengering dan keriput seperti jerami. Jika cuaca kering jamur hanya membentuk
bercak kecil yang tidak meluas, tetapi setelah buah dipetik karena kalembaban
udara yang tinggi selama di simpan dan diangkut, jamur akan berkembang dengan
cepat (Semangun, 2000).
Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan manusia sehingga manusia berusaha untuk mengendalikannya. Kepentingan manusia ini sangat
beragam, bisa ditinjau baik dari segi ekonomi, estetika, kesehatan, maupun
lingkungan. Dengan demikian, masalah gulma tidak hanya ditemui pada proses
budidaya tanaman, tetapi juga pada aspek kehidupan lainnya seperti kebersihan
trotoar dan lapangan parkir, gedung-gedung permukiman, jalan raya, jalan kereta
api, kelestarian lingkungan, dan sebagainya. Gulma merupakan bagian dari
organisme pengganggu tanaman (OPT) yang terdiri dari hama, penyakit, dan
gulma (Sembodo, 2010).
Gulma pada suatu saat menjadi tidak berguna karena keberadaannya tidak
dikehendaki. Hal itu mungkin saja karena tumbuhnya salah tempat dimana tempat
yang ada diperuntukkan tanaman yang dibutuhkan oleh petani (Moenandir, 1993).
Beberapa gulma yang biasa dijumpai pada budi daya cabai hibrida dapat
dibedakan dalam golongan gulma berdaun lebar, rerumputan, dan teki.
2.2.1 Gulma Berdaun Lebar
Gulma berdaun lebar (broadleaves) memiliki ciri-ciri yang beragam tergantung
dari familinya. Secara umum bentuk daun gulma golongan ini adalah lonjong,
bulat, menjari atau berbentuk hati. Akar yang dimilikinya berupa akar tunjang,
beberapa gulma yang termasuk dalam jenis paku-pakuan atau pakis memiliki
perakaran serabut. Batang umumnya bercabang, berkayu atau sukulen. Bunga
gulma golongan ini ada yang majemuk atau komposit dan ada yang tunggal
Gulma berdaun lebar yang banyak ditemukan pada pertanaman cabai hibrida yaitu
Legetan (Synedrella nodiflora), Nama spesies : Synedrella nodiflora (L) Gaertn,
nama umum/daerah : Legetan (Jawa), Jukut Berak kambing, Jotang kuda, Jukut
gendreng (sunda), Beruan (bruwan). Gulma ini memiliki perakaran tunggang,
daun berbentuk melebar oval atau elips, batang tumbuh tegak, bunga majemuk
berada di ketiak daun tangkai panjang 0.5 cm, kelopak berambut, berwarna
kuning, mahkota berbentuk tabung. Termasuk gulma berdaun lebar, merupakan
tumbuhan berkeping dua dan gulma ini sangat tergantung pada jenis tanaman
utama, seperti iklim dan pola tanam.
Wedusan (Ageratum conyzoides),
Nama Spesies : Ageratum conyzoides L, nama umum : berokan, wedusan (Jawa).
Gulma ini tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 120 cm, bentuk daunnya
bulat telur atau oval dengan ukuran 2-10 x 0.5-5 cm (Soerjani, 1987). Pada
bagian pangkal membulat atau meruncing, tepinya bergerigi. Bunga berbentuk
seperti lonceng dengan warna bunga putih atau ungu.
Cabai-cabaian (Cleome rutidosperma)
Nama Spesies : Cleome rutidosperma, nama umum : cabai-cabaian
Gulma ini tumbuh tegak, dapat merambat, dan tinggi gulma ini dapat mencapai
100cm (Soerjani, 1987). Berbunga sepanjang tahun, daun berbentuk bulat telur
hinga lonjong, terdapat batang berbentuk kapsul yang berada diantara daun yang
Beberapa jenis gulma berdaun lebar lainnya yang terdapat pada pertanaman cabai
seperti krokot (Portulaca oleraceae), gendong anak (Euphorbia hirta), bayam
duri (Amaranthus lividus), sawi liar (Capsella bursa-pastoris), tolod
(Alternanthera philoxeriodes), dan anakan pisang liar (Mulsa sp) (Prajnanta,
2001).
2.2.2 Gulma Rerumputan
Gulma rerumputan (grasses), semua jenis gulma yang termasuk dalam famili
poaceae atau gramineae adalah kelompok rerumputan. Ciri utama gulma
kelompok ini yaitu tulang daun sejajar dengan tulang daun utama, berbentuk pita,
dan terletak berselang seling pada ruas batang. Batang berbentuk silindris, beruas,
dan berongga. Akar gulma golongan ini tergolong dalam akar serabut (Sembodo,
2010).
Jenis gulma rerumputan yang sering dijumpai yaitu jenis rumput pahit (Paspalum
distichum)
Nama Spesies : Paspalum distichum, nama umum : rumput pahit, lamhani
(Sunda). Gulma ini dapat tumbuh pada daerah tropis maupun subtropis, terdapat
pada ketinggian 0-1500m dpl (Soerjani, 1987). Batang atau tangkainya panjang,
membentuk stolon dan berwarna hijau. Daun pada bagian pangkal meruncing,
permukaan halus dengan rambut halus dan berwarna hijau.
Selain rumput pahit, terdapat juga rumput belulang (Eleusine indica), tuton
gangsir (Digitaria ciliaris) yang terdapat pada pertanaman cabai (Prajnanta,
2001).
2.2.3 Teki
Gulma golongan teki (seddges) termasuk family cyperaceae memiliki ciri utama
letak daun berjejal pada pangkal batang, bentuk daun seperti pita, tangkai bunga
tidak beruas dan berbentuk silindris, segi empat atau segitiga. Untuk jenis tertentu
seperti Cyperus rotundus, batangnya membentuk umbi. Antar umbi yang berasal
dari satu individu dihubungkan dengan sulur-sulur (Sembodo, 2010).
Teki juga merupakan salah satu gulma dominan pada lahan pertanaman cabai
hibrida. Jenis teki yang biasa ditemukan yaitu Cyperus kyllingia.
Nama spesies : Cyperus kyllingia, nama daerah : teki, teki badot, teki rawa, jukut
pendul bodas (Sunda), melaran, suket wudelan, udel-udelan alit, teki Pendul
(Jawa). Gulma ini tumbuh pada tanah lembab dan berair, terutama pada tanah
yang sedikit ternaungi. Batangnya tegak atau melengkung, berbentuk segitiga dan
permukaannya licin. Daun terdapat pada pangkal batang, helai daun berbentuk
garis memanjang dan agak kaku dibagian tengah, bagian ujungnya agak runcing
atau runcing dan lebarnya 2-5 mm. merupakan teki tahunan, ciri khasnya adalah
umumnya masa tumbuh pendek. perbungaan terdapat di ujung batang, warnanya
keputih-putihan, kepala bunga tengah berbentuk bulat atau elips. Gulma jenis ini
umumnya tergolong tanaman monokotil, perakarannya serabut berdaun pita,
umumnya pada batang berbentuk segitiga atau bulat tidak berongga (Soerjani,
teki), C. compressus, dan C. distans yang terdapat pada pertanaman cabai
(Prajnanta, 2001).
Pada dasarnya pengolahan tanah juga dimaksudkan untuk menghilangkan
keberadaan gulma. Aktivitas gulma antara lain berkompetisi dalam memperoleh
unsur hara dengan tanaman inang, menjadi inang bagi serangga vektor dan
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Selain itu penelitian dilakukan pada tanaman cabai (in planta) yang ditanam di polibag dan diletakkan di lahan cabai di Kecamatan Kemiling, Kelurahan Langkapura Bandar Lampung pada bulan Juni hingga Agustus 2012.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: polibag, cangkul, kawat kasa untuk mengayak tanah, kertas lakmus untuk mengukur pH tanah, cawan petri, spatula, bor gabus, hand sprayer, gelas ukur, timbangan, ajir dan alat tulis. Bahan- bahan yang digunakan dalam peneliitian ini meliputi: tanah, pupuk kandang, benih cabai hibrida F1 Belinda (rentan) terhadap penyakit antraknosa dan gulma Cleome rutidosperma (Cabai-cabaian), Cyperus kyllingia (Teki), Synedrella nodiflora (Legetan), Paspalum distichum (Rumput pahit), dan Ageratum conyzoides (Wedusan)
3.1 Rancangan Percobaan
Keenam tumbuhan yang diinokulasi dengan penyebab antraknosa adalah : a. Cabai
b. Gulma Cleome rutidosperma (Cabai-cabaian) c. Gulma Cyperus kyllingia (Rumput teki) d. Gulma Synedrella nodiflora (Legetan)
e. Gulma Paspalum distichum (Rumput pahit) f. Gulma Ageratum conyzoides (Wedusan)
Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Adapun denah unit percobaan disajikan pada gambar 1.
I II III IV
C A F E
D E E C
E F C D
F C A F
Gambar 1. Denah unit percobaan keparahan penyakit antraknosa pada cabai dan berbagai jenis gulma
Keterangan: a. Cabai
b. Gulma Cleome rutidosperma (Cabai-cabaian) c. Gulma Cyperus kyllingia (Rumput teki) d. Gulma Synedrella nodiflora (Legetan)
e. Gulma Paspalum distichum (Rumput pahit) f. Gulma Ageratum conyzoides (Wedusan)
Gambar 2. Tata letak percobaan penanaman cabai dan berbagai jenis gulma yang diinokulasi dengan Colletotrichum capsici
Keterangan I, II, III, IV adalah ulangan penelitian.
3.2 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Penyiapan Media Tanam
Penyiapan media tanam dimulai dengan mengayak tanah, setelah itu dikeringanginkan selama 3 hari. Selanjutnya tanah dicampur dengan pupuk kandang dan dimasukkan ke dalam polibag. Setiap polibag diisi dengan 9 kg tanah yang terdiri dari 7 kg tanah
ditambah 1 kg pupuk kandang (kotoran kambing) dan 1 kg kompos ( 7 : 1 : 1 ).
3.4.2 Penyemaian Cabai
Benih cabai hibrida F1 Belinda di rendam dalam air selama 24 jam. Benih cabai yang mengapung dibuang. Benih yang baik disemaikan langsung ke dalam polibag sebanyak 3 benih per polibag.
3.4.3 Penanaman Gulma
3.4.4 Penyiapan Isolat C. capsici
Penyiapan isolat dilakukan di laboratorium dengan mengisolasi jamur C. capsici dari buah cabai yang bergejala antraknosa. Isolat ditumbuhkan di atas media Agar Glukosa Kentang (AGK) dalam cawan petri. Isolat C. capsici diperoleh dari buah cabai yang terserang antraknosa, kemudian dilakukan pembiakan jamur pada media AGK. Setelah jamur tumbuh pada media AGK, kemudian dilakukanpemurnian jamur dengan mengisolasi kembali pada media AGK.
3.4.5 Inokulasi Isolat Colletotrichum Pada Tanaman Cabai dan Gulma
C. capsici yang tumbuh dalam cawan petri umur 7 hari setelah inkubasi dipanen dan disuspensikan dalam 100 ml aquades.
Selanjutnya isolat diinokulasikan pada tanaman cabai dan gulma dengan cara
disemprotkan menggunakan handsprayer sebanyak 5 ml dengan kerapatan
4.750 x 106 spora/ml, tiap polibag tanaman cabai dan gulma, kemudian diamati
Gambar 3. Inokulasi Suspensi C. capsici pada gulma A. conyzoides
Pengamatan masa inkubasi dilakukan sejak inokulasi hingga munculnya gejala.
Pengamatan keparahan penyakit dilakukan setiap satu minggu dimulai sejak
sehari setelah inokulasi C.capsici, dihitung dengan rumus (Zadoks dan Schein,
1979) sebagai berikut:
Keterangan:
I = Intensitas tanaman terserang
n = Jumlah tanaman terserang
v = Nilai numerik tanaman yang diamati
N = Jumlah tanaman yang diamati
Nilai kategori serangan (skor) untuk penyakit antraknosa didasarkan pada skala
kerusakan tanaman yang tereserang penyakit (Herwidyarti, 2011 dimodifikasi).
Nilai kategori serangan (skor) sebagai berikut:
0 = Tidak ada kerusakan 1 = Bercak seluas 1 – 20% 2 = Bercak seluas 21 – 40% 3 = Bercak seluas 41 – 60% 4 = Bercak seluas > 60%
Data yang diperoleh kemudian dihitung menggunakan analisis ragam dan
dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 95%. Selain itu
diamati pula tinggi tanaman dan persentase jumlah daun sakit. Jumlah daun sakit
dihitung dengan rumus menurut Korlina dan Baswarsiati (1995) :dimodifikasi
Keterangan : I: Persentase jumlah daun sakit
a: Jumlah daun sakit
Judul Skripsi : Keparahan Penyakit Antraknosa Pada Cabai (Capsicum annuum L) dan Berbagai Jenis Gulma
Nama Mahasiswa : Kristina Hayu Herwidyarti
Nomor Pokok Mahasiswa : 0714041038
Program Studi : Agroteknologi
Jurusan : Agroteknologi
Fakultas : Pertanian
MENYETUJUI
1.Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Suskandini Ratih D, M.P. Ir. Dad Resiworo J. Sembodo, M.S. NIP 19610502 198707 2 001 NIP 19620422 198603 1 001
2.Ketua Jurusan Agroteknologi
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. Ir. Suskandini Ratih D, M.P.
Sekretaris : Ir. Dad Resiworo J. Sembodo, M.S.
Penguji
Bukan Pembimbing : Ir. Muhammad Nurdin, M.Si.
2. Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 19610826 198702 1 001
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 5 Desember 1989, anak ketiga dari tiga
bersaudara dari pasangan Bapak Widojo Sapardi dan Ibu Esterica Herning
Kuswinarni.
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak kanak di Xaverius No 3 Rawa
Laut Pahoman Bandar Lampung tahun 1995; kemudian melanjutkan pendidikan
Sekolah Dasar di SD Fransiskus 2 Rawa Laut Pahoman Bandar Lampung lulus
pada tahun 2001; pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan menengah
pertama di SMP Xaverius 2 Pahoman Bandar Lampung; dan menyelesaikan
pendidikan menengah atas di SMA Dharma Wanita Surabaya pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Hama dan
Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun 2008 penulis diintegrasikan
pada Program Studi Agroteknologi yang merupakan penggabungan dari empat
program studi, yaitu: Agronomi, Hortikultura, HPT, dan Ilmu Tanah.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menjadi anggota sebuah organisasi
sosial di luar kampus. Penulis mengikuti Praktik Umum ( PU ) pada bulan Juli -
SANWANCANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah
mencurahkan kasih dan karuniaNya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Suskandini Ratih D, M.P., selaku Pembimbing I atas segala ide,
pengarahan, bimbingan, motivasi, perhatian serta pengertian yang telah
diberikan kepada penulis selama penelitian dan penulisan skripsi hingga
selesai;
2. Bapak Ir. Dad Resiworo Jekti Sembodo, M.S., selaku Pembimbing II atas
segala saran, motivasi, pengarahan, bimbingan dan kesabaran yang telah
diberikan kepada penulis selama penelitian dan penulisan skripsi ini;
3. Bapak Ir. Muhammad Nurdin, M.Si., selaku Dosen Penguji atas saran dan
koreksi selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. F.X. Susilo, M.Sc., selaku Pembimbing Akademik atas
pengarahan dan bimbingannya selama penulis menjadi mahasiswa
Universitas Lampung.
5. Bapak Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., selaku Ketua Program Studi
Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas
7. Papa dan Mama yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan,
dan sarana dan prasarana kepada penulis demi kesuksesan penulis.
8. Kedua kakak ku Angga dan Bogi yang senantiasa memberikan motivasi,
kasih sayang dan telah menjadi tempat kegembiraan dan mengeluh selama
ini.
9. Teman-teman yang telah membantu penulis dalam penelitian Lusia Yuli
Hastiti,S.P., Hanna Banuarea, Madya Dwi Aji H, Christin Natalia M,
Kristin S.M, Nani Octavia I, Sri Purwanti S.P, Yulyanti, S.P, Septya Eka
P.R, S.P terima kasih atas segala kerja sama dan bantuan kepada penulis
dan teman-teman HPT 2007.
10. Mbak Widyaningrum, S.P., Mas Iwan, Pak Paryadi, yang telah banyak
membantu penulis selama penelitian.
Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi yang membaca dan
penulis berharap semoga Tuhan membaas kebaikan semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Bandar Lampung, Desember 2012
Kristina Hayu Herwidyarti
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cabai merah (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas sayuran
penting. Buah cabai digunakan sebagai bahan penyedap dan pelengkap berbagai
menu masakan khas Indonesia, oleh karena itu cabai diperlukan setiap hari. Kian
hari, kebutuhan cabai meningkat karena semakin bervariasinya jenis dan menu
makanan yang memanfaatkan produk ini, juga karena semakin banyaknya
konsumen yang membutuhkan (berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduk)
(Nawangsih,1995).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2009) produksi cabai merah di
Provinsi Lampung mencapai 203.680 kuintal, dengan sentra produksi utama di
Lampung Barat (38.287 ha), Tanggamus (54.464 ha), Lampung Selatan (35.230
ha), dan Pesawaran (25.392 ha).
Rendahnya produksi cabai disebabkan banyak faktor. Salah satu faktor yang
sangat berpengaruh di dalam budidaya tanaman cabai, terutama cabai hibrida
adalah sifat rentan terhadap serangan organisme pengganggu tanaman (OPT)
meliputi hama, penyakit dan gulma. Gulma selain menjadi tanaman pesaing cabai
dibutuhkan cabai), sekaligus dapat sebagai tanaman inang alternatif beberapa
patogen seperti antraknosa.
Penyakit yang sering terdapat pada pertanaman cabai adalah penyakit antraknosa
(patek) yang disebabkan oleh patogen Colletotrichum spp. Penyakit ini bergejala
mati pucuk yang berlanjut ke bagian tanaman sebelah bawah. Daun, ranting dan
cabang menjadi kering berwarna coklat kehitam-hitaman. Pada batang cabai
aservulus cendawan terlihat seperti tonjolan (Duriat, et al.2007). Patogenitas
Colletotrichum sangat kuat sehingga dapat menurunkan produksi cabai. Diduga
bahwa penyakit antraknosa dapat menyerang gulma yang berada di sekitar
tanaman cabai sehingga keberadaan gulma dapat menjadi sumber penularan
penyakit antraknosa terhadap tanaman cabai
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi dan peruumusan masalah, maka tujuan dari penelitian
ini adalah:
1. Mengetahui apakah gulma dapat terserang oleh jamur Colletotrichum capsici
dan menyebabkan seperti antraknosa yang pada umumnya menyerang
tanaman cabai.
2. Mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan masa inkubasi penyakit
1.3 Kerangka Pemikiran
Keberhasilan pertumbuhan tanaman cabai dipengaruhi oleh hama, penyakit
tanaman, dan gulma. Menurut Raid dan Pennypacker (1987) dalam Bartz (2002)
gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman tomat dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman tomat sekaligus dapat menjadi inang Colletotrichum
coccodes.
Gulma pada suatu saat menjadi tidak berguna karena keberadaannya tidak
dikehendaki. Hal itu mungkin saja karena tumbuhnya salah tempat dimana tempat
yang ada diperuntukkan tanaman yang dibutuhkan oleh petani (Moenandir, 1993).
Beberapa gulma yang biasa dijumpai pada budi daya cabai hibrida dapat
dibedakan dalam golongan gulma berdaun lebar, rerumputan, dan teki.
Beberapa jenis gulma berdaun lebar lainnya yang terdapat pada pertanaman cabai
seperti krokot (Portulaca oleraceae), gendong anak (Euphorbia hirta), bayam
duri (Amaranthus lividus), sawi liar (Capsella bursa-pastoris), tolod
(Alternanthera philoxeriodes), dan anakan pisang liar (Mulsa sp) (Prajnanta,
2001).
Selain rumput pahit, terdapat juga rumput belulang (Eleusine indica), tuton
(Echinochloa colona), rumput grintingan (Cynodon dactilon), dan rumput sunduk
gangsir (Digitaria ciliaris) yang terdapat pada pertanaman cabai (Prajnanta,
Selain itu terdapat gulma jenis teki seperti Cyperus rotundus (rumput teki), C.
compressus, dan C. distans yang terdapat pada pertanaman cabai (Prajnanta,
2001).
Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh cendawan
Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. Et Bisby. Gejala umum antraknosa cabai
tampak pada daun berupa nekrosis, jaringan mati yang tidak beraturan pada
pinggiran daun dimulai dari bagian ujung melebar ke seluruh daun. Selain itu,
antraknosa juga menimbulkan kerusakan pada ranting, bunga, dan buah cabai.
Pada cabai, buah cenderung kering dan mengerut (Trubus info kit, vol.09).
1.4Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian adalah:
1. Keparahan penyakit antraknosa berbeda pada cabai dan gulma.
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap rasa syukur kepada Tuhan Yesus Kristus
Penulis ingin mempersembahkan Karya kecil ini
Sebagai ungkapan rasa cinta kasih, hormat dan sayangku kepada: Papa, Mama, Kak Angga, Kak Bogi dan Seluruh keluarga besar
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut:
1. Keparahan penyakit antraknosa berbeda-beda, berurutan pada cabai 0,3%
hingga 44,0 %, pada gulma C. rutidosperma sebesar 7,5% hingga 51,0%,
gulma C. kyllingia 0%, untuk gulma S. nodiflora 9,3% hingga 47,0%, gulma
P. distichum 0% , dan gulma A. conyzoides 12,8% menjadi 9,1% (menurun).
2. Masa inkubasi jamur C. capsici berbeda-beda pada cabai dan gulma. Masa
inkubasi terpendek terjadi pada gulma C. kyllingia (teki) yaitu 0 hari (tidak
memiliki masa inkubasi), sedangkan masa inkubasi terpanjang terjadi pada
dan P. conjugatum (rumput pahit) yaitu 27 hari (yang hanya terjadi pada dua
ulangan).
3. Pertumbuhan tinggi dan persentase jumlah daun tanaman cabai dan gulma
yang diinokulasi dengan C. capsici berbeda-beda dari minggu ke- 1 hingga
minggu ke- 4. Pertumbuhan paling tinggi terjadi pada gulma A. conyzoides
sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada gulma C. rutidosperma.
Persentase jumlah daun sakit paling besar adalah pada cabai, dan Persentase
jumlah daun sakit paling kecil pada C. kyllingia.
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kebertahanan (survival) C. capsici
pada serasah cabai dan gulma. Dengan mengetahui bahwa serasah-serasah
tersebut masih mengandung Colletotrichum, maka dapat dianjurkan cara