GAYA KEPEMIMPINAN PENGHULU MINANGKABAU
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
NURUL MUKHLISAH
101301117
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul:
Gaya Kepemimpinan Penghulu Minangkabau
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penelitian ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Desember 2014
NURUL MUKHLISAH
Gaya Kepemimpinan Penghulu Minangkabau
Nurul Mukhlisah dan Ari Widiyanta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penghulu Minangkabau. Masyarakat Minangkabau memiliki sistem kepemimpinan yang khas yang disebut dengan sistem kelarasan. Sistem kelarasan ini terdiri dari sistem kelarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang. Kedua kelarasan ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam menjalankan kepemimpinannya. Penelitian ini dilakukan pada empat orang responden yang terdiri dari tiga orang ahli budaya Minangkabau dan satu orang penghulu. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori gaya kepemimpinan kontingensi dari Fiedler. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data yang utama. Teori gaya kepemimpinan kontingensi menyatakan bahwa situasi yang berbeda membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Teori gaya kepemimpinan membagi pemimpin ke dalam dua tipe, yaitu gaya kepemimpinan sosioemosional dan gaya kepemimpinan berorientasi tugas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penghulu dari sistem kelarasan Bodi Chaniago memakai gaya kepemimpinan sosioemosional, yang menyelesaikan permasalahan di dalam masyarakat melalui musyawarah. Sementara itu penghulu dari kelarasan Koto Piliang memakai gaya kepemimpinan berorientasi tugas yang menyelesaikan permasalahan di dalam masyarakat melalui perantara antara penghulu dan masyarakat. Penelitian ini juga menemukan bahwa adanya perubahan pada gaya kepemimpinan Koto Piliang dimana penghulu Koto Piliang melakukan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat.
The Leadership Style of ‘Penghulu’ in Minangkabau
Nurul Mukhlisah and Ari Widiyanta
ABSTRACT
The aim of the research was to know the description of leadership style of ‘Penghulu’ in Minangkabau. Minangkabau people have the unique leadership style was called ‘kelarasan’ system. The ‘kelarasan’ system consists of two types, ‘Bodi Chaniago kelarasan’ system and ‘Koto Piliang kelarasan’ system. The both of ‘kelarasan’ have different characteristic in leadership. Respondents of this research were four persons, consist of three Minangkabau culture expert and one ‘penghulu’. The research use contingency leadership style theory from Fiedler. This research used qualitative approach with depth interview methods as primary data collecting technique. Contingency leadership style suggested that particular situation needs the different leadership style. Contingency leadership style divided leader in two types, socio-emotional leader and task-oriented leader. The result of the research showed that ‘penghulu’ from ‘Bodi Chaniago kelarasan’ system used socio-emotional leadership style, who solved the problem in society through discussion. Meanwhile ‘penghulu’ from ‘Koto Piliang kelarasan’ system used task-oriented leadership style solved the problem in society through mediator between ‘penghulu’ and society. This research also found that there was a change in ‘Koto Piliang’ system which ‘penghulu’ held discussion to solved the prombles in society.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti ucapkan kepada Allah atas karunia, kekuatan dan
kemudahan yang diberikan dalam menyelesaikan proposal penelitian yang
berjudul “Gambaran Gaya Kepemimpinan Penghulu Minangkabau”.
Peneliti telah melalui berbagai tahap dan proses dalam menyelesaikan
proposal penelitian ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan
dukungan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi peneliti untuk melaluinya.
Untuk itu penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Kadua orang tua saya, Pramulia Dalman dan Emiliya Yusri yang dengan
sepenuh hati mendampingi peneliti selama mengerjakan tugas akhir ini
dari awal sampai dengan selesai. Terima kasih untuk segala bentuk
dukungan baik secara moral maupun finansial yang telah diberikan selama
ini.
2. Kepada Oncu Sakinatunnafsih dan Om Rino Masykuri, terimakasih atas
perannya sebagai orang tua kedua selama peneliti berada di Medan.
3. Bapak Ari Widiyanta, M.Si, psikolog, selaku dosen pembimbing yang
dengan segenap hati telah membimbing peneliti mulai dari awal hingga
akhir tugas ini. Terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau karena telah
meluangkan waktu dan memberikan bimbingan dengan sabar, memberikan
masukan, kritik, dan saran yang membuat peneliti mampu menyelesaikan
tugas ini.
4. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Psi, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara, beserta jajaran dekanat.
5. Terimakasih kepada dosen penguji II dan penguji III, Meutia Nauly, M.Si,
psikolog dan Ridhoi Meilona Purba, M.Si yang sudah bersedia menguji dan
6. Terima kasih kepada para responden yang telah bersedia berpartisipasi
dalam penelitian ini dan siap dihubungi setiap saat demi kepentingan
penelitian.
7. Terima kasih kepada seluruh sivitas Psikologi USU, Dosen, Staff pegawai,
dan seluruh mahasiswa terutama angkatan 2010 yang telah memberikan
arti dalam perjalanan kehidupan peneliti.
8. Terima kasih kepada para member PAP Agency, Khairunnisah (Kakak), Fitri Dian Adlina (Bingung Mama), Liliyana Sari (Bule) , Efriyanti Shaila
(Cekis), Zukhrini Khalis, dan Zuhrati Desiana (Maknae Keling) , yang
telah bersedia menemani selama empat tahun perjalanan di masa
perkuliahan dan berbagi momen gila, bodoh, konyol, seru-seruan . Terima
kasih untuk semua yang dilewati bersama. Terimakasih juga kepad Sri
Rizki Amanda yang telah sabar memberikan masukan dan motivasi dalam
pengerjaan skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan
ketidaksempurnaan dalam penyusunann skripsi ini akibat keterbatasan ilmu dan
pengalaman penulis. Oleh karena itu,, semua saran dan kritik akan menjadi
sembangan yang sangat berarti guna menyempurnakan skripsi ini.
Akhirnya peneliti mengharapkan hasil skripsi ini dapat memberikan
sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Psikologi Sumatera Utara, bangsa
dan negara Indonesi serta pengembangan ilmu pengetahuan.
Medan, 23 Desember 2014
Penulis
Nurul Mukhlisah
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Pertanyaan Penelitian ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian... 8
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI ... 11
A.KEPEMIMPINAN ... 12
1. Definisi Kepemimpinan ... 12
3. Gaya Kepemimpinan Situasional ... 14
B. PENGHULU MINANGKABAU ... 16
1. Definisi Penghulu ... 16
2. Sejarah Penghulu Minangkabau ... 17
3. Syarat-syarat Menjadi Penghulu ... 24
4. Kewajiban Penghulu ... 25
C. GAYA KEPEMIMPINAN PENGHULU MINANGKABAU ... 26
D. PARADIGMA TEORITIS ... 30
BAB III METODE PENELITIAN ... 31
A. PENDEKATAN KUALITATIF ... 31
B. RESPONDEN PENELITIAN ... 32
1. Karakteristik Responden Penelitian ... 32
2. Jumlah Responden Penelitian ... 32
3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian ... 33
4. Lokasi Penelitian ... 33
C. METODE PENGUMPULAN DATA ... 33
E. PROSEDUR PENELITIAN ... 35
F. KREDIBILITAS PENELITIAN ... 39
G. METODE ANALISA DATA ... 39
BAB IV HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN... 43
A. HASIL ANALISA DATA ... 43
B. PEMBAHASAN ... 64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A.KESIMPULAN ... 71
B.SARAN ... 71
DAFTAR PUSTAKA
Gaya Kepemimpinan Penghulu Minangkabau
Nurul Mukhlisah dan Ari Widiyanta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penghulu Minangkabau. Masyarakat Minangkabau memiliki sistem kepemimpinan yang khas yang disebut dengan sistem kelarasan. Sistem kelarasan ini terdiri dari sistem kelarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang. Kedua kelarasan ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam menjalankan kepemimpinannya. Penelitian ini dilakukan pada empat orang responden yang terdiri dari tiga orang ahli budaya Minangkabau dan satu orang penghulu. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori gaya kepemimpinan kontingensi dari Fiedler. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data yang utama. Teori gaya kepemimpinan kontingensi menyatakan bahwa situasi yang berbeda membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Teori gaya kepemimpinan membagi pemimpin ke dalam dua tipe, yaitu gaya kepemimpinan sosioemosional dan gaya kepemimpinan berorientasi tugas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penghulu dari sistem kelarasan Bodi Chaniago memakai gaya kepemimpinan sosioemosional, yang menyelesaikan permasalahan di dalam masyarakat melalui musyawarah. Sementara itu penghulu dari kelarasan Koto Piliang memakai gaya kepemimpinan berorientasi tugas yang menyelesaikan permasalahan di dalam masyarakat melalui perantara antara penghulu dan masyarakat. Penelitian ini juga menemukan bahwa adanya perubahan pada gaya kepemimpinan Koto Piliang dimana penghulu Koto Piliang melakukan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat.
The Leadership Style of ‘Penghulu’ in Minangkabau
Nurul Mukhlisah and Ari Widiyanta
ABSTRACT
The aim of the research was to know the description of leadership style of ‘Penghulu’ in Minangkabau. Minangkabau people have the unique leadership style was called ‘kelarasan’ system. The ‘kelarasan’ system consists of two types, ‘Bodi Chaniago kelarasan’ system and ‘Koto Piliang kelarasan’ system. The both of ‘kelarasan’ have different characteristic in leadership. Respondents of this research were four persons, consist of three Minangkabau culture expert and one ‘penghulu’. The research use contingency leadership style theory from Fiedler. This research used qualitative approach with depth interview methods as primary data collecting technique. Contingency leadership style suggested that particular situation needs the different leadership style. Contingency leadership style divided leader in two types, socio-emotional leader and task-oriented leader. The result of the research showed that ‘penghulu’ from ‘Bodi Chaniago kelarasan’ system used socio-emotional leadership style, who solved the problem in society through discussion. Meanwhile ‘penghulu’ from ‘Koto Piliang kelarasan’ system used task-oriented leadership style solved the problem in society through mediator between ‘penghulu’ and society. This research also found that there was a change in ‘Koto Piliang’ system which ‘penghulu’ held discussion to solved the prombles in society.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Minangkabau merupakan satu-satunya budaya yang menganut sistem
kekerabatan matrilineal di Indonesia. Masyarakat Minangkabau merupakan
komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005).
Berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat (2012), Mayoritas
suku Minangkabau tinggal di daerah Provinsi Sumatera Barat yang memiliki
luas 42.297.30 km2. Hasil sensus penduduk tahun 2010 total penduduknya
sebanyak 4.846.909 jiwa.
Budaya Minangkabau dikenal sebagai sebuah budaya yang memiliki
nilai-nilai yang khas. Adat Minangkabau sudah sempurna pada abad ke-5 atau
ke-6 Masehi, dan memiliki ketentuan-ketentuan sendiri yang tercermin dalam
falsafah atau filosofi adat. Salah satu filosofi yang paling terkenal di
masyarakat Minangkabau adalah alam takambang jadi guru (alam terbentang jadi guru). Filosofi ini sering dianggap sebagai pijakan dasar bagi
masyarakatnya dalam mengembangkan diri baik dalam kekinian maupun di
masa yang akan datang (Arifin, 2010). Alam dalam konteks masyarakat
Minangkabau ini tidak hanya dipandang sebagai lingkungan fisik saja, tetapi
juga dipandang sebagai lingkungan sosial budaya dan lingkungan pemikiran.
Jadi, alam lebih dipandang sebagai ranah (dunia) tempat dimana pergulatan
kehidupan dan pemikiran masyarakatnya ditemukan dan disarikan (Arifin,
Pentingnya kedudukan alam bagi masyarakat Minangkabau menjadikan
masyarakat Minangkabau dinamis dan terbuka terhadap perubahan yang
terjadi. Perubahan yang terjadi misalnya ketika ajaran Islam masuk ke
Minangkabau. Masyarakat Minangkabau tidak menutup diri atau menolak
ajaran Islam, tetapi malah menyesuaikannya dengan adat yang sebelumnya
telah dianut, meskipun mengalami proses yang cukup panjang. Jika sebelum
Islam masuk, filosofi masyarakat Minangkabau berdasarkan ketentuan alam,
maka setelah masuknya Islam, filosofi tersebut disempurnakan lagi, bahwa
hukum yang ada di dalam itu merupakan hukum-hukum yang berasal dari
Allah SWT. Hal ini tertuang dalam filosofi adat, adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah. Maksud dari filosofi ini adalah bahwa adat bersendikan
kepada syarak atau ajaran Islam, dan ajaran Islam bersendi kepada kitabullah
atau Al-Qur’an. Jadi ajaran Islam sesuai dengan adat Minangkabau sehingga
saling melengkap satu sama lain. Pencampuran antara ajaran Islam dengan
aturan adat disebut sebagai Islamisasi kultural (Amir, 1997).
Bukti lain mengenai penyesuaian adat Minangkabau dengan ajaran Islam
tercermin dalam filosofi adat anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak
dipangku kemenakan dibimbing). Filosofi ini mengandung maksud bahwa
seorang laki-laki harus bersikap adil dengan anak dan kemenakannya. Sebagai
penganut budaya matrilinialisme, masyarakat Minangkabau hidup di dalam
extended family yang kekerabatannya menurut suku ibu. Laki-laki tertua di
dalam keluarga itu disebut sebagai mamak rumah yang bertanggung jawab
kemenakan. Sedangkan terhadap anak-anaknya sendiri dia tidak mempunyai
tanggung jawab, melainkan saudara laki-laki istrinya atau mamak rumah
istrinyalah yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Setelah Islam
masuk, maka disempurnakan melalui filosofi anak dipangku kamanakan
dibimbiang, yang berarti bahwa seorang laki-laki di Minangkabau
bertanggung jawab kepada anak dan kemenakannya, dimana dia bertanggung
jawab terhadap anaknya dalam hal mata pencaharian dan membimbing
kemenakannya dengan harta pusaka, jadi berlaku adil baik kepada anak
maupun kepada kemenakan.
Karakteristik masyarakat Minangkabau juga terbuka terhadap perubahan
yang membuat mereka dinamis dalam kehidupan. Dinamisme ini kemudian
menjadikan masyarakat Minangkabau adaptif terhadap berbagai perubahan
yang dialaminya. Kemampuan adaptif masyarakat Minangkabau tidak terlepas
dari dari nilai-nilai budaya yang dibangun para nenek moyang pendahulu dulu
untuk kemudian terus diwariskan dari generasi ke generasi sampai sekarang
(Arifin, 2010).
Ada fenomena lain yang unik dari masyarakat Minangkabau. Berbagai
ahli menemukan bahwa adanya ‘dualisme’, khususnya dalam sistem
sosial-politik. Beberapa ahli menyebutkan istilah seperti “gelisah” oleh Marzali
(2004) (dalam Arifin, 2006) “ambigu” (Sairin, 2002 dalam Arifin , 2010),
“dual organization” (Josselin de Jong, 1960 dalam Arifin, 2007) dan
bukan fenomenanya yang bersifat dualisme, namun dualisme itulah yang
sebenarnya yang merupakan budaya Minangkabau.
Bentuk dualisme budaya Minangkabau dalam bidang sosial politik yaitu
adanya dua sistem kepemimpinan yang dikenal dengan sistem kelarasan Bodi
Chaniago yang didirikan oleh Datuak Parpatiah nan Sabatang dan sistem
kelarasan Koto Piliang yang didirikan oleh Datuak Katumanggungan.
Masyarakat Minangkabau dari dulu hingga sekarang mempercayai bahwa
kedua tokoh ini merupakan pendiri dari dua kekuasaan yang sampai sekarang
masih diterapkan di Minangkabau, baik untuk masyarakat Minangkabau di
Sumatera Barat maupun yang ada diperantauan (Mairozasya, 2011).
Kedua kelarasan ini memiliki karakteristik yang berbeda, bahkan bisa
dibilang bertolak belakang. Bodi Chaniago bercirikan demokratis, dimana
kekuasaan tersusun berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat
horizontal, sementara itu Koto Piliang bercirikan aristokratis, dimana
kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan wewenangnya
bersifat vertikal (Arifin, 2008).
Perbedaan nilai yang dianut oleh kedua kelarasan ini tercermin pada
struktur rumah gadangnya. Rumah gadang kelarasan Bodi Chaniago lantainya datar atau tidak memiliki bandua (lantai yang ditinggikan lebih
kurang 60 cm). Posisi lantai rumah yang datar ini adalah cerminan pola
pengambilan keputusan yang diharapkan muncul dari bawah (mambasuik dari
bumi) sehingga sebuah keputusan diharapkan betul-betul berdasarkan aspirasi
bandua. Hal ini memperlihatkan bahwa Koto Piliang pada prinsipnya memang tegas menunjukkan adanya perjenjangan posisi antara pemimpin dengan
masyarakatnya (anak dan kemenakan) sehingga semua aturan dan keputusan
memang titiak dari ateh (berasal dari penghulu). Bahkan perjenjangan pada
Koto Piliang terkadang juga tercermin pada bagian samping rumah gadang yang ditinggikan dari lantai rumah yang lain sehingga terlihat seperti perahu.
Perbedaan-perbedaan ini sering memicu terjadinya perselisihan antara
kedua datuk ini. Terbelahnya landasan adat masyarakat Minangkabau menjadi dua (dualisme) ini dikarenakan kedua tokoh penting Minangkabau ini
memiliki asal usul, kepribadian dan pola pikir yang berbeda. Datuak
Katumanggungan digambarkan sebagai putra mahkota yang akan mewarisi
kerajaan ayahnya yang berpola patrilineal, berwatak keras, dan memiliki pola
pikir yang tegas sebagaimana layaknya seorang raja. Berbeda dengan Datuak
Parpatiah nan Sabatang yang terlahir dari rakyat biasa, suka merantau,
berwatak kerakyataan, dan memiliki pola pikir yang egaliter (Arifin, 2008)
Perbedaan yang dimiliki oleh kedua sistem politik ini tidak
menimbulkan kondisi yang disharmoni pada masyarakat Minangkabau. Hal
ini dikarenakan karakteristik masyarakat Minangkabau yang dinamis dan
mampu beradaptasi sehingga mampu menjadikan dualisme tersebut
terintegrasi. Ini menunjukkan bahwa di dalam sifat yang terbelah itu, terselip
juga nilai-nilai budaya yang mampu mensintesiskannya, sehingga dualisme
tersebut justru menjadi sebuah kesatuan yang saling mendukung satu sama
Penerapan salah satu sistem kelarasan pada suatu nagari disebut adat
salingka nagari. Ternyata dalam aplikasinya banyak bukti yang menunjukkan
bahwa jarang (bahkan tidak ada) sebuah nagari yang menerapkan adat
salingka nagari nya Koto Piliang, tetapi semua sukunya bergeneologis Koto
Piliang, dan begitu pula sebaliknya dengan kelarasan Bodi Chaniago. Artinya
selalu ada keseimbangan suku-suku penyusun didalam sebuah nagari,
walaupun secara tegas mereka menyatakan adat salingka nagari nya dengan
salah satu sistem kelarasan tersebut (Arifin, 2006). Bentuk keseimbangan
lainnya adalah ketika sebuah kesepakatan yang disebut kesepakatan
Marapalam yang menghasilkan aturan dimana setiap permasalahan yang
terjadi di Minangkabau harus dimusyawarahkan yang dilakukan oleh suku
Bodi Chaniago, kemudian untuk mengumumkannya kepada masyarakat
dilakukan oleh suku Koto Piliang.
“Selesai Perang Paderi, itu terjadilah kesepakatan Bukit Marapalam, tahun 1858. Hasil kesepakatan Marapalam adalah diberlakukannya kembali sistem Koto Piliang di Minangkabau, tetapi dengan metoda lain. Metodanya, segala yang sudah diputuskan dan dimusyawarahkan di Bodi Chaniago diserahkan kepada Koto Piliang. jadi setelah Bodi Chaniago bermusyawarah tentang suatu hal, tidak mencapai kesepakatan, maka diantar ke Koto Piliang. Suku Piliang menurunkan perintahnya. Jadi terpakai keduanya di Marapalam. Mufakat terjadi, yang diperintahkan hasil mufakat yang tadi. Hasil mufakat Bodi Chaniago diserahkan ke Koto Piliang. Bagi Koto Piliang namanya perintah, walaupun perintah itu yang dimufakati. Bukit Marapalam itu suatu tempat bermusyawarah datuak-datuak dengan orang syarak.”
(Wawancara personal, 16 Juni 2014)
Adanya keseimbangan antara penerapan kedua kelarasan ini
menandakan bahwa di dalam kepemimpinan Minangkabau terdapat situasi
Minangkabau tidak bersifat kaku dan dapat berubah mengikuti situasi yang
ada. Seperti yang diungkapkan Fiedler (1967) bahwa situasi yang berbeda
membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa ahli menyebutkan
bahwa Bodi Chaniago bersifat demokratis (Kato, 2005; Hasan, 2013; Effendi,
2004; Mauludin, 2010), ada juga yang menyebutkan Bodi Chaniago lebih
egalitarian. Sedangkan Koto Piliang dikatakan lebih otokratis (Kato, 2005;
Effendi, 2004; Mauludin, 2010), namun Hasan (2013) memakai istilah
aristokratis. Ada ahli yang mengatakan bahwa Koto Piliang juga bersifat
demokrasi, karena demokrasi merupakan ciri khas masyarakat Minangkabau.
Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat bahwa kepemimpinan di
Minangkabau itu tidak bersifat kaku dan memiliki keseimbangan di dalamnya,
sehingga dapat berubah menyesuaikan kondisi yang ada. Oleh karena itu hal
ini menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut untuk melihat kedinamisan
kepemimpinan di Minangkabau. Penelitian ini berfokus kepada kepemimpinan
penghulu karena penghulu merupakan pemimpin di dalam sistem kekerabatan
matrilinealisme pada masyarakat Minangkabau. Pendekatan kualitatif
merupakan pendekatan yang sesuai untuk digunakan di dalam penelitian ini,
karena peneliti bertujuan untuk melihat sesuatu yang bersifat dinamis dan
dapat berubah pada saat tertentu, sehingga tidak dapat diukur dengan
pemakaian alat ukur. Seperti yang dinyatakan oleh Purwandari (2007) bahwa
banyak sekali perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, yang mustahil
untuk dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik.
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran
kedinamisan gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
gaya kepemimpinan penghulu Minangkabu.
D. MANFAAT PENELITIAN
Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritis
dan manfaat praktis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi khazanah kajian Psikologi untuk bidang kepemimpinan terutama
mengenai gaya kepemimpinan.
2. Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini diharapkan menambah wawasan serta
informasi bagi penghulu Minangkabau mengenai gaya kepemimpinan
penghulu Minangkabau sehingga dapat membantu dalam menjalankan
kepemimpinan.
Penelitian ini diharapkan diharapkan penelitian ini dapat
memberikan kontribusi kepada Pemerintah Sumatera Barat dalam rangka
Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan bagi pengamat
sosial khususnya mengenai gaya kepemimpinan di Minangkabau.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan pada penelitian ini adalah:
BAB I: Pendahuluan
Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, tujuan penelitian, dan manfaat
penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II: Landasan Teori
Bab ini memaparkan teori-teori yang digunakan untuk pedoman penelitian ini
terdiri dari teori kepemimpinan dan teori adat Minangkabau khususnya mengenai
kepemimpinan.
BAB III: Metode Penelitian
Bab ini berisikan tentang pendekatan yang digunakan, responden penelitian,
merode pengambilan data, alat pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan
prosedur penelitian.
Bab IV : Hasil dan Pembahasan
Pada bab ini dijabarkan hasil temuan lapangan dalam bentuk penjelasan yang
terperinci dan pembahasan yang menghubungkan data temuan lapangan dengan
teori yang telah dijabarkan di bab II.
Bab ini menguraikan kesimpulan yang menjabarkan jawaban dari pertanyaan
penelitian sebagaimana yang dituangkan dalam rumusan masalah penelitian, dan
BAB II
LANDASAN TEORI
Bagian ini menjelaskan mengenai teori kepemimpinan dan gaya
kepemimpinan situasional. Teori yang akan dijelaskan sejalan dengan fokus
penelitian yaitu gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau. Menjawab rumusan
masalah penelitian, maka fokus teori yang akan diuraikan mengenai pengertian
kepemimpinan, dan gaya kepemimpinan situasional yang dikemukakan oleh
Fiedler (dalam Burn, 2004). Teori mengenai penghulu juga akan diuraikan,
mengingat penelitian ini membahas tentang gaya kepemimpinan penghulu oleh
karena itu penting untuk memahami pengertian penghulu beserta tugas dan
fungsinya.
A. KEPEMIMPINAN
1. Definisi Kepemimpinan
Yukl and Fleet (1992) menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai proses
yang meliputi cara mempengaruhi tugas dan strategi kelompok atau
organisasi, mempengaruhi orang di dalam organisasi untuk
mengimplementasikan strategi dan mencapai tujuan, mempertahankan
kelompok, dan mempengaruhi budaya organisasi.
Burn (2004) mengungkapkan bahwa kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi pilihan tujuan dan strategi kelompok atau organisasi,
mempengaruhi orang untuk mencapai tujuan serta mempromosikan identitas
Menurut Veithzal (2003), kepemimpinan adalah proses mengarahkan
dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan
para anggota kelompok.
Definisi lain diungkapkan oleh Daft (2005) yang menyatakan bahwa
kepemimpinan merupakan hubungan pengaruh antara pemimpin dan pengikut
yang menginginkan perubahan nyata dan hasil yang mencerminkan tujuan
bersama.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan itu
adalah proses mempengaruhi dan mengarahkan tugas, tujuan, maupun
orang-orang yang dipimpin untuk mencapai tujuan kelompok.
2. Fungsi Pemimpin
Fungsi seorang pemimpin berhubungan langsung dengan situasi sosial
dalam kehidupan suatu kelompok, yang menandakan bahwa seorang
pemimpinan berada di dalam situasi tersebut. Fungsi pemimpin merupakan
suatu hal yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan aktivitas kelompok,
karena harus diwujudkan melalui interaksi antar individu dalam situasi sosial
suatu kelompok. Menurut Veithzal (2004) fungsi pemimpin dibedakan atas
lima fungsi pokok, yaitu:
a. Fungsi instruktif
Fungsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai
komunikator yang menentukan apa, bagaimana, dan di mana suatu
memerlukan kemampuan untuk menggerakkan dan memotivasi orang
lain agar mau melaksanakan perintah.
b. Fungsi konsultatif
Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Dalam menetapkan
keputusan, pemimpin sering kali memerlukan bahan pertimbangan,
sehingga mengharuskannya untuk berkonsultasi dengan orang-orang
yang dipimpinnya. Kemudian setelah keputusan ditetapkan dan sedang
dalam pelaksanaan perlu adanya konsultasi dari permimpin kepada
anggota. Konsultasi ini berguna untuk memperoleh umpan balik guna
memperbaiki dan menyempurnakan keputusan yang telah dibuat.
c. Fungsi partisipasi
Dalam melaksanakan fungsi ini pemimpin berusaha untuk
mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan
dalam mengambil keputusan maupun dalam menjalankan keputusan
tersebut.
d. Fungsi delegasi
Fungsi ini pada dasarnya berarti kepercayaan. Orang-orang
penerima delegasi itu harus diyakini merupakan orang kepercayaan
pemimpin yang memiliki kesamaan persepsi dan aspirasi.
e. Fungsi pengendalian
Kepemimpinan yang efektif mampu mengatur aktivitas anggota
untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi pengendalian dapat diwujudkan
melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan
3. Gaya Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpinan situasional disebut juga dengan gaya
kepemimpinan kontingensi. Salah satu teori awal kontingensi merupakan
teori kepemimpinan situasional yang dikemukakan oleh Fiedler (dalam Burn,
2004). Model kontingensi Fiedler membagi dua jenis pemimpin, yaitu
pemimpin yang berorientasi pada tugas dan pemimpin yang berorientasi
sosioemosional.
Teori Fiedler merupakan teori kontingensi, dimana situasi yang berbeda
menuntut tipe kepemimpinan yang berbeda. Menurut teori tersebut, pemimpin
yang sosioemosional, akan lebih efektif pada beberapa situasi dibandingkan
situasi yang lainnya dan begitu juga dengan pemimpin dengan orientasi pada
tugas. Hal itu tergantung pada kontrol situasi yang dilakukan pemimpin, yaitu
tingkat dimana pemimpin memiliki pengaruh terhadap perilaku kelompok.
Hughes, dkk (1999) mengemukakan bahwa kontrol situasi ini ditentukan oleh
tiga jenis situasi: (1) hubungan pemimpin dan anggota, yaitu elemen yang paling kuat dari tiga elemen yang membangun kontrol situasi. Tingkatan
dimana anggota dan pemimpin memiliki hubungan yang baik, atau memiliki
hubungang yang sulit (2) struktur tugas, tingkat dimana suatu tugas dapat diselesaikan sesuai dengan deskripsi tugas, prosedur standar tugas dan
memberikan reward atau menghukum anggota. Situasi yang baik atau
‘favorable’ dikarakteristikkan dengan hubungan yang baik antara anggota dan
pemimpin, struktur tugas yang tinggi, dan kekuasaan posisi pemimpin yang
kuat. Sedangkan situasi yang kurang baik atau ‘unfavorable’ adalah ketika
buruknya hubungan antara anggota dan pemimpin, tugas yang tidak
terstruktur, dan kekuasaan pemimpin yang lemah.
Teori Fiedler cukup rumit, tapi intinya adalah bahwa Fiedler percaya
bahwa pemimpin yang berorientasi pada tugas dapat ekfektif pada dua situasi.
Pertama situasi dimana pemimpin berada pada keadaan yang baik dengan
anggota kelompok, tugas terstruktur, dan pemimpin memliki hak otoritas dan
kuasa yang tinggi. Hal ini dikarenakan ketika kelompok bersifat responsif dan
tugas-tugas cukup jelas, gaya yang direktif dan tegas dapat berhasil dan fokus
kepada hubungan interpersonal tidak diperlukan. Situasi kedua dimana
pemimpin yang berorientasi pada tugas akan efektif bila pemimpin memiliki
hubungan yang buruk dengan anggota, tugas ambigu, dan pemimpin memiliki
otoritas dan kekuasaan yang lemah. Fiedler mengemukakan bahwa pada
kondisi yang seperti ini, pemimpin berfokus pada penyelesaian tugas dan tidak
membuang waktu untuk mengkhawatirkan kondisi emosi anggota sehingga
kelompok tersebut dapat berlanjut.
Pemimpin yang sosioemosional tidak efektif pada situasi dimana
hubungan kelompok buruk dikarenakan pemimpin akan menghabiskan waktu
mengkhawatirkan hubungan interpersonal yang tidak bisa diperbaiki kecuali
sosioemosional juga tidak akan efektif ketika tugas sangat ambigu karena
tidak adanya petunjuk pengerjaan tugas. Pemimpin yang sosioemosional dapat
efektif apabila hubungan anggota dengan pemimpin cukup baik atau cukup
buruk, ketika tugas cukup jelas, dan kekuasaan dan otoritas pemimpin sedang.
Gambarannya adalah pemimpin yang lebih perhatian dan sensitif secara
interpersonal dapat menghasilkan keterlibatan dan motivasi yang baik dari
anggota meskipun jika tugas tidak jelas dan kelompok tidak responsif.
Menurut Fiedler (dalam Burn, 2004), gaya kepemimpinan sulit untuk
diubah. Maka dari itu kelompok harus mencari seorang pemimpin yang
memiliki gaya yang sesuai dengan situasi kepemimpinan, atau mencari cara
untuk mengubah situasi agar tidak timbul masalah bagi pemimpin dan
kelompok.
B. PENGHULU MINANGKABAU
1. Definisi Penghulu
Kata penghulu terdiri dari kata peng dan hulu. Kata peng mengandung pengertian pemegang. Sedangkan yang dimaksud dengan hulu adalah tangkai
atau pangkal. Jadi dapat diambil pengertian mengenai kata penghulu sebagai
berikut:
a. Jika diartikan penghulu adalah orang yang memegang hulu, atau
pangkal dari segala-galanya, maka jelas bahwa penghulu itu sebagai
pemegang kekuasaan, sebagai pemimpin yang harus menjadi contoh
b. Jika penghulu sebagai sumber, seperti sumber mata air atau sungai,
maka dia harus jernih, mensucikan dan membersihkan.
Oleh karena itu penghulu membawa beban berat di dunia akhirat. Fisik,
mental dan spiritual harus telah terlatih dengan sebaik-baiknya dalam
menghadapi tantangan yang mungkin terjadi dalam menjalankan
kepemimpinan.
2. Sejarah Penghulu Minangkabau
Minangkabau dikenal dengan ciri khas budayanya yang unik. Sebagai
satu-satunya etnis di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan
matrilineal, Minangkabau mengatur masyarakatnya dibawah sistem
pemerintahan nagari. Nagari adalah unit pemukiman yang paling
sempurna yang diakui oleh adat (Kato, 2005). Suatu pemukiman harus
memiliki berbagai fasilitas umum yang memadai bagi masyarakatnya
seperti balai (balairung), mesjid, jalan raya, tempat pemandian umum,
sawah dan ladang, halaman dan area permainan umum, serta tempat
pemakaman (Effendi, 2004).
Nagari pada dasarnya merupakan perpaduan dari dua sistem, yaitu
sistem pemerintahan dan sistem adat Minangkabau. Sebagai sistem
pemerintahan, nagari merupakan suatu unit teritorial yang mempunyai
struktur politik dan aparat hukumnya tersendiri (Kato, 2005). Menurut
Peraturan Nomor 9 Tahun 2000, nagari adalah kesatuan hukum
suku yang mempunyai wilayah yang tertentu batas-batasnya, mempunyai
kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
dan memiliki pimpinan pemerintahannya. Oleh karena itu masing-masing
nagari bersifat otonom dan tidak memiliki kaitan struktural formal dengan
nagari lainnya, sehingga sering disebut sebagai republik atau negara kecil.
Dilihat dari sudut pandang adat, nagari merupakan kesatuan kekuatan
sosial budaya masyarakat Minangkabau yang telah diwarisi secara turun
temurun berdasarkan ikatan hubungan darah (genealogis) (Effendi, 2004).
Dimensi geneologis nagari bersifat matrilineal yang terorganisasi dalam
tingkatan atau hierarki yang ketat, mulai dari kelompok terkecil.
Struktur kepemimpinan masyarakat Minangkabau memiliki
karakteristik yang berbeda dan memiliki kekhasan dibanding dengan
masyarakat yang ada di Indonesia (Mauludin, 2010). Lebih lanjut lagi
Mauludin menjelaskan bahwa struktur masyarakat adat di Minangkabau
diawali dari rumah tangga. Rumah tangga dipimpin oleh kepala keluarga
(suami) yang disebut dengan urang sumando. Tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu samande (hubungan yang terkait antara rumah tangga-rumah
tangga di antara saudara yang berasal dari ibu yang sama). Struktur ini
dipimpin oleh seorang mamak rumah, yaitu saudara laki-laki dari para
anak perempuan. Di rumah ibunya, laki-laki tadi bertindak sebagai
pemimpin bagi saudara perempuan dan keponakannya, namun di keluarga
Tingkat yang lebih tinggi disebut sajurai, yaitu kumpulan beberapa keluarga yang berasal dari satu ibu, memiliki keturunan hingga generasi
ketiga. Jurai ini dipimpin oleh tungganai yang perannya sama dengan mamak rumah, tetapi dengan cakupan yang lebih luas.
Kumpulan sajurai membentuk hubungan keluarga saparuik yang berasal dari satu ibu kemudian berkembang hingga generasi keempat,
yaitu ibu, anak, cucu, cicit. Pemimpin paruik ini adalah tuo kampuang.
Kumpulan saparuik kemudian berkembang menjadi suku. Suku dipimpin oleh penghulu andiko, yaitu seorang pria yang terbaik yang
dipilih dari mamak-mamak rumah yang ada, diyakini mampu memimpin
dan membawa sukunya menjadi lebih maju dan sejahtera. Penghulu
Andiko ini diangat dengan suatu proses yang disebut Batagak Panghulu.
Kepadanya diberikan sebuah gelar Datuk oleh suku atau kaumnya.
Suku-suku di Minangkabau ini dapat digolongkan ke dalam satu
antara dua kelarasan (tradisi politik) dari Bodi Chaniago dan Koto Piliang.
Kelarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang merupakan dua bentuk dari
sistem pemerintahan di Minangkabau. Effendi (2004) mengungkapkan
bahwa istilah sistem pemerintahan ini sering dipertukarkan dengan sistem
adat, sistem politik, lareh, kelarasan dan lain-lain. Kedua kelarasan ini
tidak hanya merupakan sistem adat dan sistem pemerintahan, namun di
dalam keduanya melekat juga sistem politik, bentuk kekuasaan, norma,
aturan, dan sebagainya. Terdapat beberapa perbedaan antara kedua
pengambilan keputusan sistem pewarisan, adat istiadat, arsitektur rumah
gadang dan balai, serta falsafah adat.
Kelarasan Bodi Chaniago didirikan oleh Datuak Parpatiah nan
Sabatang, sedangkan kelarasan Koto Piliang didirikan oleh Datuak
Katumanggungan. Kedua datuak ini merupakan sosok penghulu Minangkabau yang merupakan saudara satu ibu yang berasal dari latar
belakang yang berbeda sehingga memiliki karakter yang berbeda dalam
menjalankan sistem pemerintahannya, namun tetap berdasarkan kepada
sistem kekerabatan matrilineal.
Berdasarkan legenda yang berkembang di beberapa nagari, Arifin
(2006) mengungkapkan bahwa Datuk Katumanggungan lahir ketika Sri
Maharajo Dirajo dan istrinya Indo Jalito masih di Pariangan Padang
Panjang. Ketika Sri Maharajo Dirajo wafat dan jandanya (Indo Jalito)
kawin dengan Cati Bilang Pandai, lalu terjadi perpindahan “keluarga
kerajaan” ini dari daerah Pariangan Padang Panjang ke daerah Dusun Tuo
(Lima Kaum). Di daerah Dusun Tuo inilah lahir salah seorang anak
mereka yang kemudian dikenal sebagai Datuk Parpatiah Nan Sabatang.
Dalam perkembangan kemudian, Datuk Katumanggungan dan Datuk
Parpatiah Nan Sabatang inilah kemudian yang mengendalikan “kerajaan”
baru di daerah Dusun Tuo tersebut, dimana datuk Katumanggungan
diserahi tugas sebagai “raja” dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang diserahi
tugas sebagai pengendali dan penasehat kerajaan (mungkin bisa kita
Dari tangan duo datuak ini “kerajaan” baru di daerah Dusun Tuo berkembang dengan pesat. Perpaduan kepemimpinan duo datuak ini
dibantu oleh Datuk Bandaro Kayo (sebagai penghulu pucuk Pariangan), Datuk Maharajo Basa (sebagai penghulu pucuk Padang Panjang) serta
kedua orangtuanya (Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito) telah menjadikan
“kerajaan” ini berkembang dengan pesat. Melalui perpaduan
kepemimpinan kedua datuak ini pula lalu dibuatlah aturan-aturan yang
kemudian dikenal dengan sebutan undang-undang nan 22 dan dilakukannya pengelompokan-pengelompokan masyarakat berdasarkan
induak yang sama (satu paruik atau ibu) yang kemudian dikenal dengan
sebutan suku. Melalui Datuk Parpatiah Nan Sabatang misalnya di Dusun Tuo lalu dibentuk 4 suku (pasukuan nan 4 batua) beserta dengan
penghulu-penghulunya, dan mengangkat Datuk Bandaro Kuniang sebagai
penghulu pucuk di daerah Dusun Tuo tersebut.
Dalam perkembangan berikutnya kemudian Datuk Katumanggungan
memerintahkan kepada datuk Bandaro Kayo (penghulu pucuk Pariangan) untuk membentuk suku-suku di daerah Pariangan dan Padang Panjang dan
sekitarnya yang dikenal dengan suku nan 22. Dengan wafatnya Cati Bilang Pandai yang kemudian juga disusul dengan wafatnya Indo Jalito, maka
kekompakan atau perpaduan kepemimpinan duo datuak ini mulai sedikit goyah. Tanda-tanda akan terjadi perpisahan antara duo datuak ini mulai terlihat ketika Datuk Katumanggungan membangun “kerajaan” baru yang
Katumanggungan sekaligus menjadi “Raja” dan Datuk Bandaro Putiah
(penghulu pucuk di Sungai Tarab) diangkat menjadi panungkek (wakil).
Para penghulu dari 22 suku yang dibentuk sebelumnya di daerah
Pariangan dan sekitarnya akhirnya cenderung akhirnya menjadi pengikut
Datuk Katumanggungan. Sementara Datuk Parpatiah Nan Sabatang tetap
bertahan di daerah Dusun Tuo (Lima kaum) dan karena pengaruhnya juga
maka para penghulu nan 4 batu yang ada di Dusun Tuo cenderung
akhirnya menjadi “pengikut” Datuk Parpatiah nan Sabatang. Dengan
berdirinya kerajaan Bunga Setangkai di Sungai Tarab, dan bertahannya
Datuk Parpatiah Nan Sabatang di Dusun Tuo, mulailah percaturan politik
secara terbuka antara kedua datuak ini dimulai. Datuk Katumanggungan kemudian mengembangkan kerajaan Bunga Setangkai seorang diri dengan
membangun kubu-kubu pertahanan sehingga daerah Lima Kaum terjepit
didalamnya. Sebaliknya Datuk Parpatiah Nan Sabatang juga akhirnya
membentuk 17 suku-suku baru yang akhirnya menjadi benteng pertahanan
daerah Lima Kaum.
Puncak dari semua ini, terjadinya pertempuran antara kelompok kedua
datuak ini yang menurut Dobbin (1977) sampai terjadi “perang bedil”
yang memakan banyak korban. Dikarenakan nilai-nilai persaudaraan dan
persahabatan masih relatif kuat, maka perdamaian antara duo datuak kemudian dilakukan. Dengan kebesaran hatinya sebagai saudara muda
(adik), maka Datuk Parpatiah Nan Sabatang menemui Datuk
menyatakan diri mundur dari pertempuran dan menyerahkan semua
penyelesaiannya kepada Datuk Katumanggungan. Sebaliknya, melihat
kebesaran jiwa Datuk Parpatiah Nan Sabatang, maka Datuk
Katumanggungan pun lalu kembali menjalin ulang persaudaran dan
persahabatan yang telah mereka lakukan selama ini. Disini lalu disepakati
bahwa daerah yang telah dipancang Datuk Parpatiah Nan Sabatang selama
ini, akhirnya diserahkan kepada Datuk Parpatiah dan menamai
daerah-daerah tersebut dengan Bodi Chaniago yang bermakna sebagai “budi yang
sangat berharga”. Daerah yang dipancang Datuk Katamenggung diberi
nama dengan Koto Piliang yang bermakna “koto yang dipilih atau koto
yang telah ditentukan”. Sementara daerah Pariangan dan Padang Panjang
sebagai daerah awal duo datuak ini kemudian dikenal dengan sebutan
lareh Nan Panjang yang “bodi chaniago bukan, koto piliang antah”.
Proses politik yang tetap mengandalkan persaudaran dan tidak melupakan
akar budayanya inilah yang kemudian dikenal dalam pepatah adat
Minangkabau sebagai “mancancang indak mamutuihkan, manabang indak
marabahkan, manikam indak mamatikan”.
3. Fungsi Penghulu
Fungsi penghulu dalam tatanan Adat Alam Minangkabau adalah:
a. Penghulu menjadi mamak dari jurainya, yaitu mamak dari seluruh
(senasab), yang sepayung sepatagak yang selingkar cupak adat. Dalam
sehari-sehari penghulu disebut juga sebagai Mamak Kepala Kaum
b. Penghulu adalah penghulu kaumnya yang satu suku dan satu kampung,
walaupun tidak bertali darah (tidak senasab) menurut adat, yaitu
terhadap orang-orang yang mengaku “bermamak” kepadanya.
c. Penghulu menjakankan dan mengendalikan peraturan adat dan syarak
dalam rumah tangganya, dalam korong kampung dan dalam masyarakat
nagarinya.
d. Penghulu menjadi wakil tertinggi dan terpercaya dari seluruh anggota
kaumnya untuk mengambil langkah-langkah atau tindakan yang
diperlukan menurut adat dan syarak dalam menyelesaikan silang
sengketa yang terjadi, baik dalam kaumnya sendiri maupun dalam
korong kampung dalam nagari.
e. Penghulu adalah tempat berlindung dan tempat mengadu sakit dan
senang bagi anak kemenakannya. Penghulu selaku orang tua menurut
adat, pergi tempat bertanya dan pulang tempat berberita bagi kaumnya
dan rakyat di nagari.
4. Syarat-syarat Menjadi Penghulu
Syarat-syarat atau martabat untuk jadi penghulu ada enam perkara, yaitu:
a. Orang yang telah baligh berakal, tahu membedakan antara bentuk
dengan baik, antara yang halal dengan yang haram, atau antara salah
b. Orang yang kaya budi dan basa, membuhul tidak mengulas tidak
mengesan.
c. Orang yang berilmu pengetahuan, terutama dalam bidang Adat dan
Syarak.
d. Orang yang adil dan pemurah.
e. Orang yang selalu ingat dan jaga.
f. Orang yang sabar dan bijaksana, beralam lebar berpadang lapang, dan
pandai bergaul dalam masyarakat.
g. Penghulu merupakan pusat jala himpunan ikan, tempat rakyat mengadu,
kalau kusut menyelesaikan, kalau jernuh menjernihkan.
5. Kewajiban Penghulu
a. Menurut alur yang lurus
Penghulu harus menuruti cara-cara yang benar sesuai dengn peraturan
perundang-undangan yang berlaku, baik hukum adat, hukum syarak,
maupun hukum negara.
b. Menempuh jalan yang pasar
Artinya melalui jalan yang biasa dipakai orang, kalau baik sama-sama
dipakai, kalau enak sama-sama dimakan kalau buruk sama-sama dibuang.
Makna dari jalan adalah sesuatu yang dapat dijalani dengan tubuh dan
c. Mempunyai harta pusaka
Penghulu memiliki harta peninggalan dari orang-orang tuanya terdahulu
yang harus dijaga dan dirawat. Jika tidak akan bertambah
sekurang-kurangnya yang sudah ada itu harus dipertahankan.
d. Memelihara anak kemenakan
Penghulu memiliki kewajiban untuk memelihara dan menjaga
kemenakan. Sesuai dengan pepatah adat anak dipangku, kamanakan
dibimbiang (anak dipangku, kemenakan dibimbing).
C.GAYA KEPEMIMPINAN PENGHULU MINANGKABAU
Sistem pemerintahan adat di Minangkabau dikenal sebagai pemerintahan
nagari, dimana dipimpin oleh pemuka adat yang disebut dengan penghulu.
Pada pemerintahan nagari terdapat dua sistem pemerintahan yang mengatur
kehidupan masyarakat Minangkabau. Sistem ini dikenal dengan sebutan
kelarasan, yang terdiri dari kelarasan Bodi Chaniago dan kelarasan Koto
Piliang.
Kedua kelarasan ini merupakan ciri khas kepemimpinan budaya
Minangkabau yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang
terdahulu. Kedua kelarasan ini memiliki karakteristik yang berbeda, baik dalam
kepemimpinan maupun dalam aspek adat lain, seperti struktur rumah gadang. Perbedaan pada kedua kelarasan ini disebabkan karena perbedaan latar
belakang dan pemikiran pendirinya yang berbeda, yang menyebabkan
Kelarasan Bodi Chaniago dicetuskan oleh Datuak Parpatiah nan Sabatang,
dimana sangat menjunjung tinggi hak-hak dan kesetaraan individu. Nilai-nilai
ini diwujudkan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara
musyawarah. Sedangkan Koto Piliang didirikan oleh Datuak Katumanggungan
yang dalam menjalankan kepemimpinannya menerapkan hirarki antara
penghulu dan masyarakat.
Setiap nagari biasanya akan secara tegas menyatakan dirinya penganut
sistem kelarasan Bodi Chaniago ataupun Koto Piliang. Namun dalam
realitanya, walaupun setiap nagari memutuskan akan menggunakan salah satu
sistem kelarasan, namun keberadaan kelarasan lain tidak dilarang untuk dipakai
pada nagari tersebut. (Arifin dan Gani, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa di
dalam kepemimpinan Minangkabau terdapat sesuatu yang dinamis sehingga
menjadikan kepemimpinan itu tidak bersifat kaku.
Sistem kepemimpinan di Minangkabau dapat dijelaskan dengan teori
kontingensi, dimana kondisi kepemimpinan yang berbeda membutuhkan gaya
kepemimpinan yang berbeda. Teori Kontingensi Fiedler (dalam Burn, 2004)
membagi pemimpin ke dalam dua kategori, yaitu pemimpin yang berorientasi
sosioemosional dan pemimpin yang berorientasi kepada penyelesaian tugas.
Pemimpin yang sosioemosional yaitu pemimpin yang lebih mengutamakan
hubungan yang baik dengan anggotanya dibandingkan dengan penyelesaian
tugas-tugas yang ada. Sementara itu, pemimpin yang berorientasi kepada tugas,
Fiedler kemudian mengungkapkan bahwa ada tiga situasi yang
mempengaruhi gaya kepemimpinan, yaitu hubungan antara pemimpin dan
anggota, struktur tugas, dan kekuasaan posisi. Situasi yang pertama yaitu
leader-member relation atau hubungan antara pemimpin dan anggota, pada
penghulu Minangkabau hubungan tersebut merupakan hubungan penghulu dan
masyarakat, apakah hubungan tersebut baik atau bersifat sulit.
Situasi yang kedua adalah task structure atau struktur tugas, yaitu
bagaimana pemimpin membagi tugas kepada anggotanya. Pada penghlu
Minangkabau situasi ini adalah bagaimana penghulu membagi tugas yang ada
di masyarakat, apakah secara mendetail atau tidak. Situasi yang ketiga adalah
Position power atau kekuasaan posisi, yaitu tingkat dimana pemimpin memiliki
otoritas tertentu terhadap anggota. Pada penghulu Minangkabau, situasi ini
adalah bahwa seberapa besar otoritas penghulu terhadap masyarakatnya.
Berdasarkan ketiga situasi tersebut, dapat diartikan bahwa gaya
kepemimpinan dapat efektif pada suatu situasi, tetapi tidak efektif pada situasi
yang lainnya. Pemimpin sosioemosional dapat efektif pada hubungan antara
pemimpin itu cukup baik, struktur tugas cukup jelas dan kekuasaan dan otoritas
pemimpin sedang. Sementara itu, pemimpin yang berorientasi kepada tugas
akan efektif ketika pemimpin berfokus pada pencapaian tugas, tidak
mementingkan hubungan antara pemimpin dengan anggota.
Karakteristik kepemimpinan kelarasan Bodi Chaniago diantaranya
menjunjung tinggi hak-hak dan kesetaraan masyarakat dalam pencapaian
permasalahan yang terjadi. Hal ini dapat diartikan bahwa, masyarakat Bodi
Chaniago dapat ikut terlibat langsung untuk memutuskan suatu permasalahan
yang terjadi bersama-sama dengan Penghulu mereka. Oleh karena itu,
karakteristik kepemimpinan kelarasan Bodi Chaniago dapat dijelaskan dengan
teori gaya kemimpinan sosioemosional menurut Fiedler (dalam Burn, 2004),
dimana kepemimpinan sosioemosional berfokus pada kualitas hubungan yang
terjalin antara penghulu dengan masyarakat.
Berbeda dengan kepemimpinan Bodi Chaniago, kepemimpinan Koto
Piliang memiliki karakteristik dimana adanya hirarki antara penghulu dengan
masyarakat dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Hal ini dapat diartikan
bahwa adanya perantara yang menghubungkan penghulu dengan masyarakat.
Penghulu Koto Piliang menyampaikan keputusannya melalui perantara yang
kemudian meneruskan keputusan tersebut kepada masyarakat. Proses ini dalam
budaya Minang disebut dengan manitiak dari ateh. Berdasarkan karakteristik
tersebut, kelarasan Koto Piliang dapat dikaitkan dengan gaya kepemimpinan
berorientasi pada tugas menurut Fiedler (dalam Burn 2004), dimana dalam
proses penyelesaian masalah penghulu tidak berfokus pada hubungan
interpersonal yang dijalin antara penghulu dengan masyarakat, tetapi lebih
D.PARADIGMA TEORITIS
Kepemimpinan di Minangkabau
Dinamis sesuai dengan situasi yang ada Bodi Chaniago
Tidak ada ketentuan harus memakai salah satu sistem kelarasan
Sistem Kelarasan
Gaya kepemimpinan situasional Fiedler Koto Piliang
Bersifat demokratis Bersifat aristokratis
Leader-member relation
Task structure
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitif. Jenis penelitian
kualitatif yang digunakan adalah penelitian discourse analysis atau analisis wacana. Penelitian analisi wacana merupakan investigasi mengenai bahasa apa
atau budaya apa yang dicapai seseorang melalui bahasa.
A. PENDEKATAN KUALITATIF
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong , 2005) mendefinisikan metode
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
David dan Williams (dalam Moleong, 2005) menulis bahwa penelitian kualitatif
adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dan dilakukan oleh orang atau
peneliti yang tertarik secara alamiah. Data diperoleh dengan wawancara. Hal ini
dikarenakan tidak cukupnya data teoritis yang mendukung penelitian ini, oleh
karena itu diperlukannya untuk mendapatkan informasi dari para ahli budaya
melalui metode wawancara.
Melalui penelitian kualitatif diharapkan peneliti memperoleh pemahaman
yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti dan akan dapat melihat
permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan
dinamika, perspektif, alasan dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi
Tipe penelitian ini adalah penelitian analisis wacana. Gee et all (dalam
Punch, 1998) menjelaskan ada tiga prinsip yang harus ada pada studi wacana: (1)
wacana manusia bersifat teratur dan terstruktur secara internal, (2) dihasilkan oleh
pembicara yang selalu berada pada matriks sosio-historikal, yang memiliki
budaya, politik, ekonomi, sosial dan realita personal yang membentuk wacana
tersebut, dan (3) wacana tersebut membentuk atau menginformasikan aspek
penting dari matiks sosio-historikal.
B. RESPONDEN PENELITIAN
1. Karakteristik Responden Penelitian
Pemilihan responden didasarkan pada karakteristik tertentu. Adapun
karakteristik responden dalam penelitian ini adalah orang yang mengusasai
pengetahuan mengenai adat Minangkabau dan kepemimpinan penghulu
Minangkabau.
2. Jumlah Responden Penelitian
Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif
luwes. Tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil
untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel pada penelitian kualitatif diarahkan
pada kecocokan konteks (Sarantoks, dalam Poerwandari 2007) dan tergantung
pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan
sumber daya yang tersedia. Responden penelitian ini terdiri dari:
a. 3 orang ahli budaya Minangkabau
3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian
Pada awalnya direncanakan prosedur pengambilan responden dalam
penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (operational construct
sampling). Responden dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya atau
sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Setelah penelitian
berjalan, tidak memungkinkan untuk menggunakan metode konstruk
operasional, dikarenakan peneliti tidak mengenal sampel tersebut, oleh karena
peneliti melakukan pengambilan sampel dengan menggunakan teknik snow ball atau chain sampling, dimana peneliti menanyakan kepada orang yang
diwawancarai siapa kira-kira yang bisa diwawancarai selanjutnya.
Pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan meminta informasi
pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya, demikian
seterusnya (Poerwandari, 2007).
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan memilih responden yang berdomisili
di Sumatera Barat.
C. METODE PENGUMPULAN DATA
Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam,
disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti.
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara.
mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2007). Menurut Banister dkk. (dalam
Poerwandari, 2007) wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud
untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna sujektif yang dipahami
individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud mengadakan
eksplorasi terhadap isu tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti dilengkapi
dengan pedoman wawancara. Pedoman wawancara berisi open-ended question yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian
(Poerwandari, 2007). Berdasarkan teori, pedoman wawancara disusun untuk
memperoleh data tentang gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau.
Wawancara juga dilaksanakan sesuai dengan keadaan di lapangan, dimana
proses wawancara dilakukan menggunakan gabungan bahasa daerah dan
bahasa Indonesia, sehingga peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan
yang diberikan dapat dipahami oleh subjek dan sesuai dengan maksud peneliti.
D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA
Menurut Poerwandari (2007), dalam metode wawancara, alat yang
terpenting adalah peneliti sendiri. Untuk memudahkan pengumpulan data,
peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang digunakan dalam penelitian,
yaitu:
1. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori BAB II, sehingga
peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin ditanyakan.
Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara
berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus
menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas dan dinyatakan (Poerwandari, 2007). Tema-tema yang dapat menjadi
pedoman wawancara adalah bagaimana gaya kepemimpinan penghulu
Minangkabau.
Pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku, karena tidak
tertutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal diluar pedoman
wawancara agar data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.
2. Alat Perekam
Penggunaan alat perekam dilakukan setelah mendapat persetujuan dari
responden. Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara
perlu direkam dan dibuat transkipnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak
bijaksana hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas,
yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi
oleh indera yang dapat mendukung penelitian. Dengan alat perekam peneliti
tidak perlu sibuk mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat
melakukan observasi terhadap partisipan selama wawancara berlangsung.
E. PROSEDUR PENELITIAN
Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap
1. Tahapan Persiapan Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang
diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2005) yaitu sebagai
berikut:
a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat
Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di
masyarakat yang berhubungan dengan kepemimpinan dalam budaya
Minangkabau, baik melalui orang-orang sekitar, teman-teman, artikel dan
informasi dari internet untuk meyakinkan peneliti mengenai gaya
kepemimpinan pemimpin Minangkabau. Selain itu, peneliti merumuskan
masalah yang ingin diteliti sesuai dengan fenomena yang diperoleh.
b. Menyusun rancangan penelitian
Setelah peneliti menemukan fenomena mengenai kepemimpinan
dalam budaya Minangkabau, selanjutnya peneliti menyusun rancangan
penelitian (proposal penelitian) yang berisi latar belakang masalah dan
alasan pelaksanaan penelitian.
c. Mempersiapkan landasan teoritis
Di sini peneliti mengumpulkan informasi dan teori yang
berhubungan dengan kepemimpinan, gaya kepemimpinan, serta literatur
mengenai budaya Minangkabau
d. Menyusun pendoman wawancara
Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka
e. Persiapan untuk pengumpulan data
Peneliti melakukan wawancara awal dengan seorang pemuka adat
via telepon. Dari wawancara tersebut peneliti memutuskan untuk
mengambil topik mengenai gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau.
f. Membangun rapport
Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti
memulai untuk membangun rapport. Menurut Moleong (2002), rapport
adalah hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian yang sudah
melebur sehingga seolah-olah sudah tidak ada lagi dinding pemisah
diantara keduanya. Dengan demikian, responden bisa dengan suka rela
menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti.
2. Tahap pelaksanaan penelitian
Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki
tahap pelaksanaan penelitian.
a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara
Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang
waktu dan tempat sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden.
Konfirmasi ini dilakukan selambat-lambatnya 2 jam sebelum waktu
wawancara yang telah ditentukan. Konfirmasi ini dilakukan guna
memastikan kondisi responden, apakah dalam keadaan yang
memungkinkan untuk melakukan wawancara atau tidak.
Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden
untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang
menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara dan bersedia
menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk
mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa
hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan
penelitian.
c. Memindahkan hasil wawancara dalam bentuk transkip verbatim
Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti melakukan langkah
penting pertama sebelum analisis dilakukan yaitu dengan memindahkan
hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis.
3. Tahap Analisa Data
Setelah proses wawancara selesai, data yang direkam menggunakan alat
bantu perekam akan ditulis kembali dalam bentuk verbatim. Awalnya data
yang diperoleh masih dalam bahasa daerah (bahasa Minang). Hal ini
dikarenakan responden lebih memilih menggunakan bahasa daerah, sehingga
peneliti kemudian melakukan penerjemahan data ke bahasa Indonesia yang
kemudian diverbatimkan.
Setelah seluruh pencatatan data selesai, langkah selanjutnya adalah
membuat koding berdasarkan teori yang digunakan. Hasil koding akan
membantu peneliti dalam menganalisa dan menginterpretasikan data yang
Berikut contoh kode yang digunakan: W3/B3/b.11-17/1. Kode ini
berarti: W1 merupakan wawancara ketiga; B3: ahli budaya ketiga; b.11-17:
baris ke 11 sampai 17, 1 adalah analisa ke-1.
F. Kredibiltas Penelitian
Kualitas penelitian kualitatif tergantung pada kredibilitas dalam
penelitian. Kredibilitas penelitian kualitatif menurut Poerwandari (2009),
terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau
mendekripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang
kompleks.
Kualitas penelitian mengenai gaya kepemimpinan penghulu
Minangkabau sangat dijaga oleh peneliti. Secara praktis, peneliti
mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang didapatkan dari
lapangan sesuai dengan prosedur proses pengumpulan data dan menganalisis
data dengan hati-hati. Adanya profesional judgement mengenai isu-isu budaya juga dilakukan peneliti terkait data-data dan latar belakang budaya
Minangkabau dengan ahli-ahli di bidangnya. Peneliti juga melakukan
pengecekan kembali pada data-data dari hasil wawancara dengan subjek yang
bersangkutan untuk menguji berbagai kemungkinan dan menguji
kekonsistenan data yang diungkapkan oleh subjek. Pengecekan kembali
bertujuan untuk menyamakan persepsi peneliti dengan apa yang dimaksudkan
oleh subjek. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya bias-bias peneliti
G. Metode Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan memahami seluruh data yang ada
dari berbagai sumber seperti wawancara, observasi dan lainnya. menurut
Poerwandari (2009), terdapat beberapa tahapan dalam menganalisa data
kualitatis.
1. Organisasi data
Pengolahan dan analisis data sesungguhnya diawali dengan
mengorganisasikan data. Data kualitatis yang sangat beragam dan banyak,
sehingga peneliti berkewajiban utnuk mengorganisasikan data dengan rapi,
sistematis dan lengkap. Hal yang penting untuk diorganisasikan adalah data
mentah (catatan lapangan, data hasil rekaman), data yang telah diperoleh
diproses sebagian (transkrip wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang
sudah diberikan kode-kode dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai
pengumpulan data dan langkah analitis.
Peneliti melakukan organisasi data setelah semua data mentah terkumpul.
Hal pertama yang peneliti lakukan adalah menuliskan hasil wawancara yang
telah direkam, dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk
2. Koding dan Analisa
Langkah awal sebelum analisis dilakukan adalah memberikan kode-kode
pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat
mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan
mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang gaya
kepemimpinan penghulu Minangkabau. Setelah organisasi data dilakukan,
peneliti kemudian memberikan kode-kode pada transkrip wawancara untuk
menemukan makna dari setiap data yang telah didapatkan dari hasil
wawancara. Proses pengkodingan juga diiringi dengan analisa data dan analisa
tematik yang disesuaikan dengan teori gaya kepemimpinan demokratis dan
otokratis yang telah dipaparkan di Bab II Tinjauan Pustaka. Peneliti juga
membuat pedoman koding untuk lebih memudahkan peneliti menemukan
tema-tema yang muncul berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yaitu
gaya kepemimpinan.
3. Strategi Analisis
Patton (1990) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan
konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subjek sendiri
(indigenous concepts) maupun konsep yang dikembangkan atau dipilih
peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis (sensitizing concepts). Analisa yang dilakukan adalah analisa secara etnografi secara mendalam pada
Peneliti melakukan analisis dengan mencocokkan pola yang muncul saat
pengkodingan dengan konsep teori gaya kepemimpinan demokratis dan
otokratis yang telah disusun dalam pedoman koding sebagai kode yang akan
diberikan pada kode analisa tematik. Menghindari kesalahan analisis, peneliti
juga mengoperasionalkan konsep yang disusun yang sesuai dengan teori. Hal
ini dilakukan agar tidak ada bias-bias dan kesalahan pemaknaan yang bisa
terjadi dikarenakan adanya kalimat-kalimat yang hampir mirip.
4. Tahapan interpretasi
Kvale (dalam Poerwandari, 2009), mengatakan bahwa interpretasi
mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus
mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan
mengisterpretasi data melalui perspektif tersebut.
Peneliti memaknai hasil data berdasarkan pernyataan yang diberikan
subjek dengan teori gaya kepemimpinan demokratis dan otokratis. Hal ini
dilakukan untuk memaknai setiap pernyataan yang diberikan dan menyusun
pernyataan yang memiliki makna yang sama pada suatu konsep yang telah