• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaya Kepemimpinan Penghulu Minangkabau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gaya Kepemimpinan Penghulu Minangkabau"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

GAYA KEPEMIMPINAN PENGHULU MINANGKABAU

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

NURUL MUKHLISAH

101301117

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gaya Kepemimpinan Penghulu Minangkabau

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penelitian ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Desember 2014

NURUL MUKHLISAH

(3)

Gaya Kepemimpinan Penghulu Minangkabau

Nurul Mukhlisah dan Ari Widiyanta

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penghulu Minangkabau. Masyarakat Minangkabau memiliki sistem kepemimpinan yang khas yang disebut dengan sistem kelarasan. Sistem kelarasan ini terdiri dari sistem kelarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang. Kedua kelarasan ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam menjalankan kepemimpinannya. Penelitian ini dilakukan pada empat orang responden yang terdiri dari tiga orang ahli budaya Minangkabau dan satu orang penghulu. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori gaya kepemimpinan kontingensi dari Fiedler. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data yang utama. Teori gaya kepemimpinan kontingensi menyatakan bahwa situasi yang berbeda membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Teori gaya kepemimpinan membagi pemimpin ke dalam dua tipe, yaitu gaya kepemimpinan sosioemosional dan gaya kepemimpinan berorientasi tugas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penghulu dari sistem kelarasan Bodi Chaniago memakai gaya kepemimpinan sosioemosional, yang menyelesaikan permasalahan di dalam masyarakat melalui musyawarah. Sementara itu penghulu dari kelarasan Koto Piliang memakai gaya kepemimpinan berorientasi tugas yang menyelesaikan permasalahan di dalam masyarakat melalui perantara antara penghulu dan masyarakat. Penelitian ini juga menemukan bahwa adanya perubahan pada gaya kepemimpinan Koto Piliang dimana penghulu Koto Piliang melakukan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat.

(4)

The Leadership Style of ‘Penghulu’ in Minangkabau

Nurul Mukhlisah and Ari Widiyanta

ABSTRACT

The aim of the research was to know the description of leadership style of ‘Penghulu’ in Minangkabau. Minangkabau people have the unique leadership style was called ‘kelarasan’ system. The ‘kelarasan’ system consists of two types, ‘Bodi Chaniago kelarasan’ system and ‘Koto Piliang kelarasan’ system. The both of ‘kelarasan’ have different characteristic in leadership. Respondents of this research were four persons, consist of three Minangkabau culture expert and one ‘penghulu’. The research use contingency leadership style theory from Fiedler. This research used qualitative approach with depth interview methods as primary data collecting technique. Contingency leadership style suggested that particular situation needs the different leadership style. Contingency leadership style divided leader in two types, socio-emotional leader and task-oriented leader. The result of the research showed that ‘penghulu’ from ‘Bodi Chaniago kelarasan’ system used socio-emotional leadership style, who solved the problem in society through discussion. Meanwhile ‘penghulu’ from ‘Koto Piliang kelarasan’ system used task-oriented leadership style solved the problem in society through mediator between ‘penghulu’ and society. This research also found that there was a change in ‘Koto Piliang’ system which ‘penghulu’ held discussion to solved the prombles in society.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti ucapkan kepada Allah atas karunia, kekuatan dan

kemudahan yang diberikan dalam menyelesaikan proposal penelitian yang

berjudul “Gambaran Gaya Kepemimpinan Penghulu Minangkabau”.

Peneliti telah melalui berbagai tahap dan proses dalam menyelesaikan

proposal penelitian ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan

dukungan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi peneliti untuk melaluinya.

Untuk itu penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Kadua orang tua saya, Pramulia Dalman dan Emiliya Yusri yang dengan

sepenuh hati mendampingi peneliti selama mengerjakan tugas akhir ini

dari awal sampai dengan selesai. Terima kasih untuk segala bentuk

dukungan baik secara moral maupun finansial yang telah diberikan selama

ini.

2. Kepada Oncu Sakinatunnafsih dan Om Rino Masykuri, terimakasih atas

perannya sebagai orang tua kedua selama peneliti berada di Medan.

3. Bapak Ari Widiyanta, M.Si, psikolog, selaku dosen pembimbing yang

dengan segenap hati telah membimbing peneliti mulai dari awal hingga

akhir tugas ini. Terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau karena telah

meluangkan waktu dan memberikan bimbingan dengan sabar, memberikan

masukan, kritik, dan saran yang membuat peneliti mampu menyelesaikan

tugas ini.

4. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Psi, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara, beserta jajaran dekanat.

5. Terimakasih kepada dosen penguji II dan penguji III, Meutia Nauly, M.Si,

psikolog dan Ridhoi Meilona Purba, M.Si yang sudah bersedia menguji dan

(6)

6. Terima kasih kepada para responden yang telah bersedia berpartisipasi

dalam penelitian ini dan siap dihubungi setiap saat demi kepentingan

penelitian.

7. Terima kasih kepada seluruh sivitas Psikologi USU, Dosen, Staff pegawai,

dan seluruh mahasiswa terutama angkatan 2010 yang telah memberikan

arti dalam perjalanan kehidupan peneliti.

8. Terima kasih kepada para member PAP Agency, Khairunnisah (Kakak), Fitri Dian Adlina (Bingung Mama), Liliyana Sari (Bule) , Efriyanti Shaila

(Cekis), Zukhrini Khalis, dan Zuhrati Desiana (Maknae Keling) , yang

telah bersedia menemani selama empat tahun perjalanan di masa

perkuliahan dan berbagi momen gila, bodoh, konyol, seru-seruan . Terima

kasih untuk semua yang dilewati bersama. Terimakasih juga kepad Sri

Rizki Amanda yang telah sabar memberikan masukan dan motivasi dalam

pengerjaan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan

ketidaksempurnaan dalam penyusunann skripsi ini akibat keterbatasan ilmu dan

pengalaman penulis. Oleh karena itu,, semua saran dan kritik akan menjadi

sembangan yang sangat berarti guna menyempurnakan skripsi ini.

Akhirnya peneliti mengharapkan hasil skripsi ini dapat memberikan

sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Psikologi Sumatera Utara, bangsa

dan negara Indonesi serta pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, 23 Desember 2014

Penulis

Nurul Mukhlisah

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A.KEPEMIMPINAN ... 12

1. Definisi Kepemimpinan ... 12

(8)

3. Gaya Kepemimpinan Situasional ... 14

B. PENGHULU MINANGKABAU ... 16

1. Definisi Penghulu ... 16

2. Sejarah Penghulu Minangkabau ... 17

3. Syarat-syarat Menjadi Penghulu ... 24

4. Kewajiban Penghulu ... 25

C. GAYA KEPEMIMPINAN PENGHULU MINANGKABAU ... 26

D. PARADIGMA TEORITIS ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

A. PENDEKATAN KUALITATIF ... 31

B. RESPONDEN PENELITIAN ... 32

1. Karakteristik Responden Penelitian ... 32

2. Jumlah Responden Penelitian ... 32

3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian ... 33

4. Lokasi Penelitian ... 33

C. METODE PENGUMPULAN DATA ... 33

(9)

E. PROSEDUR PENELITIAN ... 35

F. KREDIBILITAS PENELITIAN ... 39

G. METODE ANALISA DATA ... 39

BAB IV HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN... 43

A. HASIL ANALISA DATA ... 43

B. PEMBAHASAN ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A.KESIMPULAN ... 71

B.SARAN ... 71

DAFTAR PUSTAKA

(10)

Gaya Kepemimpinan Penghulu Minangkabau

Nurul Mukhlisah dan Ari Widiyanta

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penghulu Minangkabau. Masyarakat Minangkabau memiliki sistem kepemimpinan yang khas yang disebut dengan sistem kelarasan. Sistem kelarasan ini terdiri dari sistem kelarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang. Kedua kelarasan ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam menjalankan kepemimpinannya. Penelitian ini dilakukan pada empat orang responden yang terdiri dari tiga orang ahli budaya Minangkabau dan satu orang penghulu. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori gaya kepemimpinan kontingensi dari Fiedler. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data yang utama. Teori gaya kepemimpinan kontingensi menyatakan bahwa situasi yang berbeda membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Teori gaya kepemimpinan membagi pemimpin ke dalam dua tipe, yaitu gaya kepemimpinan sosioemosional dan gaya kepemimpinan berorientasi tugas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penghulu dari sistem kelarasan Bodi Chaniago memakai gaya kepemimpinan sosioemosional, yang menyelesaikan permasalahan di dalam masyarakat melalui musyawarah. Sementara itu penghulu dari kelarasan Koto Piliang memakai gaya kepemimpinan berorientasi tugas yang menyelesaikan permasalahan di dalam masyarakat melalui perantara antara penghulu dan masyarakat. Penelitian ini juga menemukan bahwa adanya perubahan pada gaya kepemimpinan Koto Piliang dimana penghulu Koto Piliang melakukan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat.

(11)

The Leadership Style of ‘Penghulu’ in Minangkabau

Nurul Mukhlisah and Ari Widiyanta

ABSTRACT

The aim of the research was to know the description of leadership style of ‘Penghulu’ in Minangkabau. Minangkabau people have the unique leadership style was called ‘kelarasan’ system. The ‘kelarasan’ system consists of two types, ‘Bodi Chaniago kelarasan’ system and ‘Koto Piliang kelarasan’ system. The both of ‘kelarasan’ have different characteristic in leadership. Respondents of this research were four persons, consist of three Minangkabau culture expert and one ‘penghulu’. The research use contingency leadership style theory from Fiedler. This research used qualitative approach with depth interview methods as primary data collecting technique. Contingency leadership style suggested that particular situation needs the different leadership style. Contingency leadership style divided leader in two types, socio-emotional leader and task-oriented leader. The result of the research showed that ‘penghulu’ from ‘Bodi Chaniago kelarasan’ system used socio-emotional leadership style, who solved the problem in society through discussion. Meanwhile ‘penghulu’ from ‘Koto Piliang kelarasan’ system used task-oriented leadership style solved the problem in society through mediator between ‘penghulu’ and society. This research also found that there was a change in ‘Koto Piliang’ system which ‘penghulu’ held discussion to solved the prombles in society.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Minangkabau merupakan satu-satunya budaya yang menganut sistem

kekerabatan matrilineal di Indonesia. Masyarakat Minangkabau merupakan

komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005).

Berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat (2012), Mayoritas

suku Minangkabau tinggal di daerah Provinsi Sumatera Barat yang memiliki

luas 42.297.30 km2. Hasil sensus penduduk tahun 2010 total penduduknya

sebanyak 4.846.909 jiwa.

Budaya Minangkabau dikenal sebagai sebuah budaya yang memiliki

nilai-nilai yang khas. Adat Minangkabau sudah sempurna pada abad ke-5 atau

ke-6 Masehi, dan memiliki ketentuan-ketentuan sendiri yang tercermin dalam

falsafah atau filosofi adat. Salah satu filosofi yang paling terkenal di

masyarakat Minangkabau adalah alam takambang jadi guru (alam terbentang jadi guru). Filosofi ini sering dianggap sebagai pijakan dasar bagi

masyarakatnya dalam mengembangkan diri baik dalam kekinian maupun di

masa yang akan datang (Arifin, 2010). Alam dalam konteks masyarakat

Minangkabau ini tidak hanya dipandang sebagai lingkungan fisik saja, tetapi

juga dipandang sebagai lingkungan sosial budaya dan lingkungan pemikiran.

Jadi, alam lebih dipandang sebagai ranah (dunia) tempat dimana pergulatan

kehidupan dan pemikiran masyarakatnya ditemukan dan disarikan (Arifin,

(13)

Pentingnya kedudukan alam bagi masyarakat Minangkabau menjadikan

masyarakat Minangkabau dinamis dan terbuka terhadap perubahan yang

terjadi. Perubahan yang terjadi misalnya ketika ajaran Islam masuk ke

Minangkabau. Masyarakat Minangkabau tidak menutup diri atau menolak

ajaran Islam, tetapi malah menyesuaikannya dengan adat yang sebelumnya

telah dianut, meskipun mengalami proses yang cukup panjang. Jika sebelum

Islam masuk, filosofi masyarakat Minangkabau berdasarkan ketentuan alam,

maka setelah masuknya Islam, filosofi tersebut disempurnakan lagi, bahwa

hukum yang ada di dalam itu merupakan hukum-hukum yang berasal dari

Allah SWT. Hal ini tertuang dalam filosofi adat, adat basandi syarak, syarak

basandi kitabullah. Maksud dari filosofi ini adalah bahwa adat bersendikan

kepada syarak atau ajaran Islam, dan ajaran Islam bersendi kepada kitabullah

atau Al-Qur’an. Jadi ajaran Islam sesuai dengan adat Minangkabau sehingga

saling melengkap satu sama lain. Pencampuran antara ajaran Islam dengan

aturan adat disebut sebagai Islamisasi kultural (Amir, 1997).

Bukti lain mengenai penyesuaian adat Minangkabau dengan ajaran Islam

tercermin dalam filosofi adat anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak

dipangku kemenakan dibimbing). Filosofi ini mengandung maksud bahwa

seorang laki-laki harus bersikap adil dengan anak dan kemenakannya. Sebagai

penganut budaya matrilinialisme, masyarakat Minangkabau hidup di dalam

extended family yang kekerabatannya menurut suku ibu. Laki-laki tertua di

dalam keluarga itu disebut sebagai mamak rumah yang bertanggung jawab

(14)

kemenakan. Sedangkan terhadap anak-anaknya sendiri dia tidak mempunyai

tanggung jawab, melainkan saudara laki-laki istrinya atau mamak rumah

istrinyalah yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Setelah Islam

masuk, maka disempurnakan melalui filosofi anak dipangku kamanakan

dibimbiang, yang berarti bahwa seorang laki-laki di Minangkabau

bertanggung jawab kepada anak dan kemenakannya, dimana dia bertanggung

jawab terhadap anaknya dalam hal mata pencaharian dan membimbing

kemenakannya dengan harta pusaka, jadi berlaku adil baik kepada anak

maupun kepada kemenakan.

Karakteristik masyarakat Minangkabau juga terbuka terhadap perubahan

yang membuat mereka dinamis dalam kehidupan. Dinamisme ini kemudian

menjadikan masyarakat Minangkabau adaptif terhadap berbagai perubahan

yang dialaminya. Kemampuan adaptif masyarakat Minangkabau tidak terlepas

dari dari nilai-nilai budaya yang dibangun para nenek moyang pendahulu dulu

untuk kemudian terus diwariskan dari generasi ke generasi sampai sekarang

(Arifin, 2010).

Ada fenomena lain yang unik dari masyarakat Minangkabau. Berbagai

ahli menemukan bahwa adanya ‘dualisme’, khususnya dalam sistem

sosial-politik. Beberapa ahli menyebutkan istilah seperti “gelisah” oleh Marzali

(2004) (dalam Arifin, 2006) “ambigu” (Sairin, 2002 dalam Arifin , 2010),

dual organization” (Josselin de Jong, 1960 dalam Arifin, 2007) dan

(15)

bukan fenomenanya yang bersifat dualisme, namun dualisme itulah yang

sebenarnya yang merupakan budaya Minangkabau.

Bentuk dualisme budaya Minangkabau dalam bidang sosial politik yaitu

adanya dua sistem kepemimpinan yang dikenal dengan sistem kelarasan Bodi

Chaniago yang didirikan oleh Datuak Parpatiah nan Sabatang dan sistem

kelarasan Koto Piliang yang didirikan oleh Datuak Katumanggungan.

Masyarakat Minangkabau dari dulu hingga sekarang mempercayai bahwa

kedua tokoh ini merupakan pendiri dari dua kekuasaan yang sampai sekarang

masih diterapkan di Minangkabau, baik untuk masyarakat Minangkabau di

Sumatera Barat maupun yang ada diperantauan (Mairozasya, 2011).

Kedua kelarasan ini memiliki karakteristik yang berbeda, bahkan bisa

dibilang bertolak belakang. Bodi Chaniago bercirikan demokratis, dimana

kekuasaan tersusun berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat

horizontal, sementara itu Koto Piliang bercirikan aristokratis, dimana

kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan wewenangnya

bersifat vertikal (Arifin, 2008).

Perbedaan nilai yang dianut oleh kedua kelarasan ini tercermin pada

struktur rumah gadangnya. Rumah gadang kelarasan Bodi Chaniago lantainya datar atau tidak memiliki bandua (lantai yang ditinggikan lebih

kurang 60 cm). Posisi lantai rumah yang datar ini adalah cerminan pola

pengambilan keputusan yang diharapkan muncul dari bawah (mambasuik dari

bumi) sehingga sebuah keputusan diharapkan betul-betul berdasarkan aspirasi

(16)

bandua. Hal ini memperlihatkan bahwa Koto Piliang pada prinsipnya memang tegas menunjukkan adanya perjenjangan posisi antara pemimpin dengan

masyarakatnya (anak dan kemenakan) sehingga semua aturan dan keputusan

memang titiak dari ateh (berasal dari penghulu). Bahkan perjenjangan pada

Koto Piliang terkadang juga tercermin pada bagian samping rumah gadang yang ditinggikan dari lantai rumah yang lain sehingga terlihat seperti perahu.

Perbedaan-perbedaan ini sering memicu terjadinya perselisihan antara

kedua datuk ini. Terbelahnya landasan adat masyarakat Minangkabau menjadi dua (dualisme) ini dikarenakan kedua tokoh penting Minangkabau ini

memiliki asal usul, kepribadian dan pola pikir yang berbeda. Datuak

Katumanggungan digambarkan sebagai putra mahkota yang akan mewarisi

kerajaan ayahnya yang berpola patrilineal, berwatak keras, dan memiliki pola

pikir yang tegas sebagaimana layaknya seorang raja. Berbeda dengan Datuak

Parpatiah nan Sabatang yang terlahir dari rakyat biasa, suka merantau,

berwatak kerakyataan, dan memiliki pola pikir yang egaliter (Arifin, 2008)

Perbedaan yang dimiliki oleh kedua sistem politik ini tidak

menimbulkan kondisi yang disharmoni pada masyarakat Minangkabau. Hal

ini dikarenakan karakteristik masyarakat Minangkabau yang dinamis dan

mampu beradaptasi sehingga mampu menjadikan dualisme tersebut

terintegrasi. Ini menunjukkan bahwa di dalam sifat yang terbelah itu, terselip

juga nilai-nilai budaya yang mampu mensintesiskannya, sehingga dualisme

tersebut justru menjadi sebuah kesatuan yang saling mendukung satu sama

(17)

Penerapan salah satu sistem kelarasan pada suatu nagari disebut adat

salingka nagari. Ternyata dalam aplikasinya banyak bukti yang menunjukkan

bahwa jarang (bahkan tidak ada) sebuah nagari yang menerapkan adat

salingka nagari nya Koto Piliang, tetapi semua sukunya bergeneologis Koto

Piliang, dan begitu pula sebaliknya dengan kelarasan Bodi Chaniago. Artinya

selalu ada keseimbangan suku-suku penyusun didalam sebuah nagari,

walaupun secara tegas mereka menyatakan adat salingka nagari nya dengan

salah satu sistem kelarasan tersebut (Arifin, 2006). Bentuk keseimbangan

lainnya adalah ketika sebuah kesepakatan yang disebut kesepakatan

Marapalam yang menghasilkan aturan dimana setiap permasalahan yang

terjadi di Minangkabau harus dimusyawarahkan yang dilakukan oleh suku

Bodi Chaniago, kemudian untuk mengumumkannya kepada masyarakat

dilakukan oleh suku Koto Piliang.

“Selesai Perang Paderi, itu terjadilah kesepakatan Bukit Marapalam, tahun 1858. Hasil kesepakatan Marapalam adalah diberlakukannya kembali sistem Koto Piliang di Minangkabau, tetapi dengan metoda lain. Metodanya, segala yang sudah diputuskan dan dimusyawarahkan di Bodi Chaniago diserahkan kepada Koto Piliang. jadi setelah Bodi Chaniago bermusyawarah tentang suatu hal, tidak mencapai kesepakatan, maka diantar ke Koto Piliang. Suku Piliang menurunkan perintahnya. Jadi terpakai keduanya di Marapalam. Mufakat terjadi, yang diperintahkan hasil mufakat yang tadi. Hasil mufakat Bodi Chaniago diserahkan ke Koto Piliang. Bagi Koto Piliang namanya perintah, walaupun perintah itu yang dimufakati. Bukit Marapalam itu suatu tempat bermusyawarah datuak-datuak dengan orang syarak.”

(Wawancara personal, 16 Juni 2014)

Adanya keseimbangan antara penerapan kedua kelarasan ini

menandakan bahwa di dalam kepemimpinan Minangkabau terdapat situasi

(18)

Minangkabau tidak bersifat kaku dan dapat berubah mengikuti situasi yang

ada. Seperti yang diungkapkan Fiedler (1967) bahwa situasi yang berbeda

membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa ahli menyebutkan

bahwa Bodi Chaniago bersifat demokratis (Kato, 2005; Hasan, 2013; Effendi,

2004; Mauludin, 2010), ada juga yang menyebutkan Bodi Chaniago lebih

egalitarian. Sedangkan Koto Piliang dikatakan lebih otokratis (Kato, 2005;

Effendi, 2004; Mauludin, 2010), namun Hasan (2013) memakai istilah

aristokratis. Ada ahli yang mengatakan bahwa Koto Piliang juga bersifat

demokrasi, karena demokrasi merupakan ciri khas masyarakat Minangkabau.

Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat bahwa kepemimpinan di

Minangkabau itu tidak bersifat kaku dan memiliki keseimbangan di dalamnya,

sehingga dapat berubah menyesuaikan kondisi yang ada. Oleh karena itu hal

ini menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut untuk melihat kedinamisan

kepemimpinan di Minangkabau. Penelitian ini berfokus kepada kepemimpinan

penghulu karena penghulu merupakan pemimpin di dalam sistem kekerabatan

matrilinealisme pada masyarakat Minangkabau. Pendekatan kualitatif

merupakan pendekatan yang sesuai untuk digunakan di dalam penelitian ini,

karena peneliti bertujuan untuk melihat sesuatu yang bersifat dinamis dan

dapat berubah pada saat tertentu, sehingga tidak dapat diukur dengan

pemakaian alat ukur. Seperti yang dinyatakan oleh Purwandari (2007) bahwa

banyak sekali perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, yang mustahil

untuk dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik.

(19)

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran

kedinamisan gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

gaya kepemimpinan penghulu Minangkabu.

D. MANFAAT PENELITIAN

Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritis

dan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

bagi khazanah kajian Psikologi untuk bidang kepemimpinan terutama

mengenai gaya kepemimpinan.

2. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan menambah wawasan serta

informasi bagi penghulu Minangkabau mengenai gaya kepemimpinan

penghulu Minangkabau sehingga dapat membantu dalam menjalankan

kepemimpinan.

Penelitian ini diharapkan diharapkan penelitian ini dapat

memberikan kontribusi kepada Pemerintah Sumatera Barat dalam rangka

(20)

Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan bagi pengamat

sosial khususnya mengenai gaya kepemimpinan di Minangkabau.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan pada penelitian ini adalah:

BAB I: Pendahuluan

Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, tujuan penelitian, dan manfaat

penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II: Landasan Teori

Bab ini memaparkan teori-teori yang digunakan untuk pedoman penelitian ini

terdiri dari teori kepemimpinan dan teori adat Minangkabau khususnya mengenai

kepemimpinan.

BAB III: Metode Penelitian

Bab ini berisikan tentang pendekatan yang digunakan, responden penelitian,

merode pengambilan data, alat pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan

prosedur penelitian.

Bab IV : Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini dijabarkan hasil temuan lapangan dalam bentuk penjelasan yang

terperinci dan pembahasan yang menghubungkan data temuan lapangan dengan

teori yang telah dijabarkan di bab II.

(21)

Bab ini menguraikan kesimpulan yang menjabarkan jawaban dari pertanyaan

penelitian sebagaimana yang dituangkan dalam rumusan masalah penelitian, dan

(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

Bagian ini menjelaskan mengenai teori kepemimpinan dan gaya

kepemimpinan situasional. Teori yang akan dijelaskan sejalan dengan fokus

penelitian yaitu gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau. Menjawab rumusan

masalah penelitian, maka fokus teori yang akan diuraikan mengenai pengertian

kepemimpinan, dan gaya kepemimpinan situasional yang dikemukakan oleh

Fiedler (dalam Burn, 2004). Teori mengenai penghulu juga akan diuraikan,

mengingat penelitian ini membahas tentang gaya kepemimpinan penghulu oleh

karena itu penting untuk memahami pengertian penghulu beserta tugas dan

fungsinya.

A. KEPEMIMPINAN

1. Definisi Kepemimpinan

Yukl and Fleet (1992) menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai proses

yang meliputi cara mempengaruhi tugas dan strategi kelompok atau

organisasi, mempengaruhi orang di dalam organisasi untuk

mengimplementasikan strategi dan mencapai tujuan, mempertahankan

kelompok, dan mempengaruhi budaya organisasi.

Burn (2004) mengungkapkan bahwa kepemimpinan adalah proses

mempengaruhi pilihan tujuan dan strategi kelompok atau organisasi,

mempengaruhi orang untuk mencapai tujuan serta mempromosikan identitas

(23)

Menurut Veithzal (2003), kepemimpinan adalah proses mengarahkan

dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan

para anggota kelompok.

Definisi lain diungkapkan oleh Daft (2005) yang menyatakan bahwa

kepemimpinan merupakan hubungan pengaruh antara pemimpin dan pengikut

yang menginginkan perubahan nyata dan hasil yang mencerminkan tujuan

bersama.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan itu

adalah proses mempengaruhi dan mengarahkan tugas, tujuan, maupun

orang-orang yang dipimpin untuk mencapai tujuan kelompok.

2. Fungsi Pemimpin

Fungsi seorang pemimpin berhubungan langsung dengan situasi sosial

dalam kehidupan suatu kelompok, yang menandakan bahwa seorang

pemimpinan berada di dalam situasi tersebut. Fungsi pemimpin merupakan

suatu hal yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan aktivitas kelompok,

karena harus diwujudkan melalui interaksi antar individu dalam situasi sosial

suatu kelompok. Menurut Veithzal (2004) fungsi pemimpin dibedakan atas

lima fungsi pokok, yaitu:

a. Fungsi instruktif

Fungsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai

komunikator yang menentukan apa, bagaimana, dan di mana suatu

(24)

memerlukan kemampuan untuk menggerakkan dan memotivasi orang

lain agar mau melaksanakan perintah.

b. Fungsi konsultatif

Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Dalam menetapkan

keputusan, pemimpin sering kali memerlukan bahan pertimbangan,

sehingga mengharuskannya untuk berkonsultasi dengan orang-orang

yang dipimpinnya. Kemudian setelah keputusan ditetapkan dan sedang

dalam pelaksanaan perlu adanya konsultasi dari permimpin kepada

anggota. Konsultasi ini berguna untuk memperoleh umpan balik guna

memperbaiki dan menyempurnakan keputusan yang telah dibuat.

c. Fungsi partisipasi

Dalam melaksanakan fungsi ini pemimpin berusaha untuk

mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan

dalam mengambil keputusan maupun dalam menjalankan keputusan

tersebut.

d. Fungsi delegasi

Fungsi ini pada dasarnya berarti kepercayaan. Orang-orang

penerima delegasi itu harus diyakini merupakan orang kepercayaan

pemimpin yang memiliki kesamaan persepsi dan aspirasi.

e. Fungsi pengendalian

Kepemimpinan yang efektif mampu mengatur aktivitas anggota

(25)

untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi pengendalian dapat diwujudkan

melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan

3. Gaya Kepemimpinan Situasional

Gaya kepemimpinan situasional disebut juga dengan gaya

kepemimpinan kontingensi. Salah satu teori awal kontingensi merupakan

teori kepemimpinan situasional yang dikemukakan oleh Fiedler (dalam Burn,

2004). Model kontingensi Fiedler membagi dua jenis pemimpin, yaitu

pemimpin yang berorientasi pada tugas dan pemimpin yang berorientasi

sosioemosional.

Teori Fiedler merupakan teori kontingensi, dimana situasi yang berbeda

menuntut tipe kepemimpinan yang berbeda. Menurut teori tersebut, pemimpin

yang sosioemosional, akan lebih efektif pada beberapa situasi dibandingkan

situasi yang lainnya dan begitu juga dengan pemimpin dengan orientasi pada

tugas. Hal itu tergantung pada kontrol situasi yang dilakukan pemimpin, yaitu

tingkat dimana pemimpin memiliki pengaruh terhadap perilaku kelompok.

Hughes, dkk (1999) mengemukakan bahwa kontrol situasi ini ditentukan oleh

tiga jenis situasi: (1) hubungan pemimpin dan anggota, yaitu elemen yang paling kuat dari tiga elemen yang membangun kontrol situasi. Tingkatan

dimana anggota dan pemimpin memiliki hubungan yang baik, atau memiliki

hubungang yang sulit (2) struktur tugas, tingkat dimana suatu tugas dapat diselesaikan sesuai dengan deskripsi tugas, prosedur standar tugas dan

(26)

memberikan reward atau menghukum anggota. Situasi yang baik atau

favorable’ dikarakteristikkan dengan hubungan yang baik antara anggota dan

pemimpin, struktur tugas yang tinggi, dan kekuasaan posisi pemimpin yang

kuat. Sedangkan situasi yang kurang baik atau ‘unfavorable’ adalah ketika

buruknya hubungan antara anggota dan pemimpin, tugas yang tidak

terstruktur, dan kekuasaan pemimpin yang lemah.

Teori Fiedler cukup rumit, tapi intinya adalah bahwa Fiedler percaya

bahwa pemimpin yang berorientasi pada tugas dapat ekfektif pada dua situasi.

Pertama situasi dimana pemimpin berada pada keadaan yang baik dengan

anggota kelompok, tugas terstruktur, dan pemimpin memliki hak otoritas dan

kuasa yang tinggi. Hal ini dikarenakan ketika kelompok bersifat responsif dan

tugas-tugas cukup jelas, gaya yang direktif dan tegas dapat berhasil dan fokus

kepada hubungan interpersonal tidak diperlukan. Situasi kedua dimana

pemimpin yang berorientasi pada tugas akan efektif bila pemimpin memiliki

hubungan yang buruk dengan anggota, tugas ambigu, dan pemimpin memiliki

otoritas dan kekuasaan yang lemah. Fiedler mengemukakan bahwa pada

kondisi yang seperti ini, pemimpin berfokus pada penyelesaian tugas dan tidak

membuang waktu untuk mengkhawatirkan kondisi emosi anggota sehingga

kelompok tersebut dapat berlanjut.

Pemimpin yang sosioemosional tidak efektif pada situasi dimana

hubungan kelompok buruk dikarenakan pemimpin akan menghabiskan waktu

mengkhawatirkan hubungan interpersonal yang tidak bisa diperbaiki kecuali

(27)

sosioemosional juga tidak akan efektif ketika tugas sangat ambigu karena

tidak adanya petunjuk pengerjaan tugas. Pemimpin yang sosioemosional dapat

efektif apabila hubungan anggota dengan pemimpin cukup baik atau cukup

buruk, ketika tugas cukup jelas, dan kekuasaan dan otoritas pemimpin sedang.

Gambarannya adalah pemimpin yang lebih perhatian dan sensitif secara

interpersonal dapat menghasilkan keterlibatan dan motivasi yang baik dari

anggota meskipun jika tugas tidak jelas dan kelompok tidak responsif.

Menurut Fiedler (dalam Burn, 2004), gaya kepemimpinan sulit untuk

diubah. Maka dari itu kelompok harus mencari seorang pemimpin yang

memiliki gaya yang sesuai dengan situasi kepemimpinan, atau mencari cara

untuk mengubah situasi agar tidak timbul masalah bagi pemimpin dan

kelompok.

B. PENGHULU MINANGKABAU

1. Definisi Penghulu

Kata penghulu terdiri dari kata peng dan hulu. Kata peng mengandung pengertian pemegang. Sedangkan yang dimaksud dengan hulu adalah tangkai

atau pangkal. Jadi dapat diambil pengertian mengenai kata penghulu sebagai

berikut:

a. Jika diartikan penghulu adalah orang yang memegang hulu, atau

pangkal dari segala-galanya, maka jelas bahwa penghulu itu sebagai

pemegang kekuasaan, sebagai pemimpin yang harus menjadi contoh

(28)

b. Jika penghulu sebagai sumber, seperti sumber mata air atau sungai,

maka dia harus jernih, mensucikan dan membersihkan.

Oleh karena itu penghulu membawa beban berat di dunia akhirat. Fisik,

mental dan spiritual harus telah terlatih dengan sebaik-baiknya dalam

menghadapi tantangan yang mungkin terjadi dalam menjalankan

kepemimpinan.

2. Sejarah Penghulu Minangkabau

Minangkabau dikenal dengan ciri khas budayanya yang unik. Sebagai

satu-satunya etnis di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan

matrilineal, Minangkabau mengatur masyarakatnya dibawah sistem

pemerintahan nagari. Nagari adalah unit pemukiman yang paling

sempurna yang diakui oleh adat (Kato, 2005). Suatu pemukiman harus

memiliki berbagai fasilitas umum yang memadai bagi masyarakatnya

seperti balai (balairung), mesjid, jalan raya, tempat pemandian umum,

sawah dan ladang, halaman dan area permainan umum, serta tempat

pemakaman (Effendi, 2004).

Nagari pada dasarnya merupakan perpaduan dari dua sistem, yaitu

sistem pemerintahan dan sistem adat Minangkabau. Sebagai sistem

pemerintahan, nagari merupakan suatu unit teritorial yang mempunyai

struktur politik dan aparat hukumnya tersendiri (Kato, 2005). Menurut

Peraturan Nomor 9 Tahun 2000, nagari adalah kesatuan hukum

(29)

suku yang mempunyai wilayah yang tertentu batas-batasnya, mempunyai

kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

dan memiliki pimpinan pemerintahannya. Oleh karena itu masing-masing

nagari bersifat otonom dan tidak memiliki kaitan struktural formal dengan

nagari lainnya, sehingga sering disebut sebagai republik atau negara kecil.

Dilihat dari sudut pandang adat, nagari merupakan kesatuan kekuatan

sosial budaya masyarakat Minangkabau yang telah diwarisi secara turun

temurun berdasarkan ikatan hubungan darah (genealogis) (Effendi, 2004).

Dimensi geneologis nagari bersifat matrilineal yang terorganisasi dalam

tingkatan atau hierarki yang ketat, mulai dari kelompok terkecil.

Struktur kepemimpinan masyarakat Minangkabau memiliki

karakteristik yang berbeda dan memiliki kekhasan dibanding dengan

masyarakat yang ada di Indonesia (Mauludin, 2010). Lebih lanjut lagi

Mauludin menjelaskan bahwa struktur masyarakat adat di Minangkabau

diawali dari rumah tangga. Rumah tangga dipimpin oleh kepala keluarga

(suami) yang disebut dengan urang sumando. Tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu samande (hubungan yang terkait antara rumah tangga-rumah

tangga di antara saudara yang berasal dari ibu yang sama). Struktur ini

dipimpin oleh seorang mamak rumah, yaitu saudara laki-laki dari para

anak perempuan. Di rumah ibunya, laki-laki tadi bertindak sebagai

pemimpin bagi saudara perempuan dan keponakannya, namun di keluarga

(30)

Tingkat yang lebih tinggi disebut sajurai, yaitu kumpulan beberapa keluarga yang berasal dari satu ibu, memiliki keturunan hingga generasi

ketiga. Jurai ini dipimpin oleh tungganai yang perannya sama dengan mamak rumah, tetapi dengan cakupan yang lebih luas.

Kumpulan sajurai membentuk hubungan keluarga saparuik yang berasal dari satu ibu kemudian berkembang hingga generasi keempat,

yaitu ibu, anak, cucu, cicit. Pemimpin paruik ini adalah tuo kampuang.

Kumpulan saparuik kemudian berkembang menjadi suku. Suku dipimpin oleh penghulu andiko, yaitu seorang pria yang terbaik yang

dipilih dari mamak-mamak rumah yang ada, diyakini mampu memimpin

dan membawa sukunya menjadi lebih maju dan sejahtera. Penghulu

Andiko ini diangat dengan suatu proses yang disebut Batagak Panghulu.

Kepadanya diberikan sebuah gelar Datuk oleh suku atau kaumnya.

Suku-suku di Minangkabau ini dapat digolongkan ke dalam satu

antara dua kelarasan (tradisi politik) dari Bodi Chaniago dan Koto Piliang.

Kelarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang merupakan dua bentuk dari

sistem pemerintahan di Minangkabau. Effendi (2004) mengungkapkan

bahwa istilah sistem pemerintahan ini sering dipertukarkan dengan sistem

adat, sistem politik, lareh, kelarasan dan lain-lain. Kedua kelarasan ini

tidak hanya merupakan sistem adat dan sistem pemerintahan, namun di

dalam keduanya melekat juga sistem politik, bentuk kekuasaan, norma,

aturan, dan sebagainya. Terdapat beberapa perbedaan antara kedua

(31)

pengambilan keputusan sistem pewarisan, adat istiadat, arsitektur rumah

gadang dan balai, serta falsafah adat.

Kelarasan Bodi Chaniago didirikan oleh Datuak Parpatiah nan

Sabatang, sedangkan kelarasan Koto Piliang didirikan oleh Datuak

Katumanggungan. Kedua datuak ini merupakan sosok penghulu Minangkabau yang merupakan saudara satu ibu yang berasal dari latar

belakang yang berbeda sehingga memiliki karakter yang berbeda dalam

menjalankan sistem pemerintahannya, namun tetap berdasarkan kepada

sistem kekerabatan matrilineal.

Berdasarkan legenda yang berkembang di beberapa nagari, Arifin

(2006) mengungkapkan bahwa Datuk Katumanggungan lahir ketika Sri

Maharajo Dirajo dan istrinya Indo Jalito masih di Pariangan Padang

Panjang. Ketika Sri Maharajo Dirajo wafat dan jandanya (Indo Jalito)

kawin dengan Cati Bilang Pandai, lalu terjadi perpindahan “keluarga

kerajaan” ini dari daerah Pariangan Padang Panjang ke daerah Dusun Tuo

(Lima Kaum). Di daerah Dusun Tuo inilah lahir salah seorang anak

mereka yang kemudian dikenal sebagai Datuk Parpatiah Nan Sabatang.

Dalam perkembangan kemudian, Datuk Katumanggungan dan Datuk

Parpatiah Nan Sabatang inilah kemudian yang mengendalikan “kerajaan”

baru di daerah Dusun Tuo tersebut, dimana datuk Katumanggungan

diserahi tugas sebagai “raja” dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang diserahi

tugas sebagai pengendali dan penasehat kerajaan (mungkin bisa kita

(32)

Dari tangan duo datuak ini “kerajaan” baru di daerah Dusun Tuo berkembang dengan pesat. Perpaduan kepemimpinan duo datuak ini

dibantu oleh Datuk Bandaro Kayo (sebagai penghulu pucuk Pariangan), Datuk Maharajo Basa (sebagai penghulu pucuk Padang Panjang) serta

kedua orangtuanya (Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito) telah menjadikan

“kerajaan” ini berkembang dengan pesat. Melalui perpaduan

kepemimpinan kedua datuak ini pula lalu dibuatlah aturan-aturan yang

kemudian dikenal dengan sebutan undang-undang nan 22 dan dilakukannya pengelompokan-pengelompokan masyarakat berdasarkan

induak yang sama (satu paruik atau ibu) yang kemudian dikenal dengan

sebutan suku. Melalui Datuk Parpatiah Nan Sabatang misalnya di Dusun Tuo lalu dibentuk 4 suku (pasukuan nan 4 batua) beserta dengan

penghulu-penghulunya, dan mengangkat Datuk Bandaro Kuniang sebagai

penghulu pucuk di daerah Dusun Tuo tersebut.

Dalam perkembangan berikutnya kemudian Datuk Katumanggungan

memerintahkan kepada datuk Bandaro Kayo (penghulu pucuk Pariangan) untuk membentuk suku-suku di daerah Pariangan dan Padang Panjang dan

sekitarnya yang dikenal dengan suku nan 22. Dengan wafatnya Cati Bilang Pandai yang kemudian juga disusul dengan wafatnya Indo Jalito, maka

kekompakan atau perpaduan kepemimpinan duo datuak ini mulai sedikit goyah. Tanda-tanda akan terjadi perpisahan antara duo datuak ini mulai terlihat ketika Datuk Katumanggungan membangun “kerajaan” baru yang

(33)

Katumanggungan sekaligus menjadi “Raja” dan Datuk Bandaro Putiah

(penghulu pucuk di Sungai Tarab) diangkat menjadi panungkek (wakil).

Para penghulu dari 22 suku yang dibentuk sebelumnya di daerah

Pariangan dan sekitarnya akhirnya cenderung akhirnya menjadi pengikut

Datuk Katumanggungan. Sementara Datuk Parpatiah Nan Sabatang tetap

bertahan di daerah Dusun Tuo (Lima kaum) dan karena pengaruhnya juga

maka para penghulu nan 4 batu yang ada di Dusun Tuo cenderung

akhirnya menjadi “pengikut” Datuk Parpatiah nan Sabatang. Dengan

berdirinya kerajaan Bunga Setangkai di Sungai Tarab, dan bertahannya

Datuk Parpatiah Nan Sabatang di Dusun Tuo, mulailah percaturan politik

secara terbuka antara kedua datuak ini dimulai. Datuk Katumanggungan kemudian mengembangkan kerajaan Bunga Setangkai seorang diri dengan

membangun kubu-kubu pertahanan sehingga daerah Lima Kaum terjepit

didalamnya. Sebaliknya Datuk Parpatiah Nan Sabatang juga akhirnya

membentuk 17 suku-suku baru yang akhirnya menjadi benteng pertahanan

daerah Lima Kaum.

Puncak dari semua ini, terjadinya pertempuran antara kelompok kedua

datuak ini yang menurut Dobbin (1977) sampai terjadi “perang bedil”

yang memakan banyak korban. Dikarenakan nilai-nilai persaudaraan dan

persahabatan masih relatif kuat, maka perdamaian antara duo datuak kemudian dilakukan. Dengan kebesaran hatinya sebagai saudara muda

(adik), maka Datuk Parpatiah Nan Sabatang menemui Datuk

(34)

menyatakan diri mundur dari pertempuran dan menyerahkan semua

penyelesaiannya kepada Datuk Katumanggungan. Sebaliknya, melihat

kebesaran jiwa Datuk Parpatiah Nan Sabatang, maka Datuk

Katumanggungan pun lalu kembali menjalin ulang persaudaran dan

persahabatan yang telah mereka lakukan selama ini. Disini lalu disepakati

bahwa daerah yang telah dipancang Datuk Parpatiah Nan Sabatang selama

ini, akhirnya diserahkan kepada Datuk Parpatiah dan menamai

daerah-daerah tersebut dengan Bodi Chaniago yang bermakna sebagai “budi yang

sangat berharga”. Daerah yang dipancang Datuk Katamenggung diberi

nama dengan Koto Piliang yang bermakna “koto yang dipilih atau koto

yang telah ditentukan”. Sementara daerah Pariangan dan Padang Panjang

sebagai daerah awal duo datuak ini kemudian dikenal dengan sebutan

lareh Nan Panjang yang “bodi chaniago bukan, koto piliang antah”.

Proses politik yang tetap mengandalkan persaudaran dan tidak melupakan

akar budayanya inilah yang kemudian dikenal dalam pepatah adat

Minangkabau sebagai “mancancang indak mamutuihkan, manabang indak

marabahkan, manikam indak mamatikan”.

3. Fungsi Penghulu

Fungsi penghulu dalam tatanan Adat Alam Minangkabau adalah:

a. Penghulu menjadi mamak dari jurainya, yaitu mamak dari seluruh

(35)

(senasab), yang sepayung sepatagak yang selingkar cupak adat. Dalam

sehari-sehari penghulu disebut juga sebagai Mamak Kepala Kaum

b. Penghulu adalah penghulu kaumnya yang satu suku dan satu kampung,

walaupun tidak bertali darah (tidak senasab) menurut adat, yaitu

terhadap orang-orang yang mengaku “bermamak” kepadanya.

c. Penghulu menjakankan dan mengendalikan peraturan adat dan syarak

dalam rumah tangganya, dalam korong kampung dan dalam masyarakat

nagarinya.

d. Penghulu menjadi wakil tertinggi dan terpercaya dari seluruh anggota

kaumnya untuk mengambil langkah-langkah atau tindakan yang

diperlukan menurut adat dan syarak dalam menyelesaikan silang

sengketa yang terjadi, baik dalam kaumnya sendiri maupun dalam

korong kampung dalam nagari.

e. Penghulu adalah tempat berlindung dan tempat mengadu sakit dan

senang bagi anak kemenakannya. Penghulu selaku orang tua menurut

adat, pergi tempat bertanya dan pulang tempat berberita bagi kaumnya

dan rakyat di nagari.

4. Syarat-syarat Menjadi Penghulu

Syarat-syarat atau martabat untuk jadi penghulu ada enam perkara, yaitu:

a. Orang yang telah baligh berakal, tahu membedakan antara bentuk

dengan baik, antara yang halal dengan yang haram, atau antara salah

(36)

b. Orang yang kaya budi dan basa, membuhul tidak mengulas tidak

mengesan.

c. Orang yang berilmu pengetahuan, terutama dalam bidang Adat dan

Syarak.

d. Orang yang adil dan pemurah.

e. Orang yang selalu ingat dan jaga.

f. Orang yang sabar dan bijaksana, beralam lebar berpadang lapang, dan

pandai bergaul dalam masyarakat.

g. Penghulu merupakan pusat jala himpunan ikan, tempat rakyat mengadu,

kalau kusut menyelesaikan, kalau jernuh menjernihkan.

5. Kewajiban Penghulu

a. Menurut alur yang lurus

Penghulu harus menuruti cara-cara yang benar sesuai dengn peraturan

perundang-undangan yang berlaku, baik hukum adat, hukum syarak,

maupun hukum negara.

b. Menempuh jalan yang pasar

Artinya melalui jalan yang biasa dipakai orang, kalau baik sama-sama

dipakai, kalau enak sama-sama dimakan kalau buruk sama-sama dibuang.

Makna dari jalan adalah sesuatu yang dapat dijalani dengan tubuh dan

(37)

c. Mempunyai harta pusaka

Penghulu memiliki harta peninggalan dari orang-orang tuanya terdahulu

yang harus dijaga dan dirawat. Jika tidak akan bertambah

sekurang-kurangnya yang sudah ada itu harus dipertahankan.

d. Memelihara anak kemenakan

Penghulu memiliki kewajiban untuk memelihara dan menjaga

kemenakan. Sesuai dengan pepatah adat anak dipangku, kamanakan

dibimbiang (anak dipangku, kemenakan dibimbing).

C.GAYA KEPEMIMPINAN PENGHULU MINANGKABAU

Sistem pemerintahan adat di Minangkabau dikenal sebagai pemerintahan

nagari, dimana dipimpin oleh pemuka adat yang disebut dengan penghulu.

Pada pemerintahan nagari terdapat dua sistem pemerintahan yang mengatur

kehidupan masyarakat Minangkabau. Sistem ini dikenal dengan sebutan

kelarasan, yang terdiri dari kelarasan Bodi Chaniago dan kelarasan Koto

Piliang.

Kedua kelarasan ini merupakan ciri khas kepemimpinan budaya

Minangkabau yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang

terdahulu. Kedua kelarasan ini memiliki karakteristik yang berbeda, baik dalam

kepemimpinan maupun dalam aspek adat lain, seperti struktur rumah gadang. Perbedaan pada kedua kelarasan ini disebabkan karena perbedaan latar

belakang dan pemikiran pendirinya yang berbeda, yang menyebabkan

(38)

Kelarasan Bodi Chaniago dicetuskan oleh Datuak Parpatiah nan Sabatang,

dimana sangat menjunjung tinggi hak-hak dan kesetaraan individu. Nilai-nilai

ini diwujudkan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara

musyawarah. Sedangkan Koto Piliang didirikan oleh Datuak Katumanggungan

yang dalam menjalankan kepemimpinannya menerapkan hirarki antara

penghulu dan masyarakat.

Setiap nagari biasanya akan secara tegas menyatakan dirinya penganut

sistem kelarasan Bodi Chaniago ataupun Koto Piliang. Namun dalam

realitanya, walaupun setiap nagari memutuskan akan menggunakan salah satu

sistem kelarasan, namun keberadaan kelarasan lain tidak dilarang untuk dipakai

pada nagari tersebut. (Arifin dan Gani, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa di

dalam kepemimpinan Minangkabau terdapat sesuatu yang dinamis sehingga

menjadikan kepemimpinan itu tidak bersifat kaku.

Sistem kepemimpinan di Minangkabau dapat dijelaskan dengan teori

kontingensi, dimana kondisi kepemimpinan yang berbeda membutuhkan gaya

kepemimpinan yang berbeda. Teori Kontingensi Fiedler (dalam Burn, 2004)

membagi pemimpin ke dalam dua kategori, yaitu pemimpin yang berorientasi

sosioemosional dan pemimpin yang berorientasi kepada penyelesaian tugas.

Pemimpin yang sosioemosional yaitu pemimpin yang lebih mengutamakan

hubungan yang baik dengan anggotanya dibandingkan dengan penyelesaian

tugas-tugas yang ada. Sementara itu, pemimpin yang berorientasi kepada tugas,

(39)

Fiedler kemudian mengungkapkan bahwa ada tiga situasi yang

mempengaruhi gaya kepemimpinan, yaitu hubungan antara pemimpin dan

anggota, struktur tugas, dan kekuasaan posisi. Situasi yang pertama yaitu

leader-member relation atau hubungan antara pemimpin dan anggota, pada

penghulu Minangkabau hubungan tersebut merupakan hubungan penghulu dan

masyarakat, apakah hubungan tersebut baik atau bersifat sulit.

Situasi yang kedua adalah task structure atau struktur tugas, yaitu

bagaimana pemimpin membagi tugas kepada anggotanya. Pada penghlu

Minangkabau situasi ini adalah bagaimana penghulu membagi tugas yang ada

di masyarakat, apakah secara mendetail atau tidak. Situasi yang ketiga adalah

Position power atau kekuasaan posisi, yaitu tingkat dimana pemimpin memiliki

otoritas tertentu terhadap anggota. Pada penghulu Minangkabau, situasi ini

adalah bahwa seberapa besar otoritas penghulu terhadap masyarakatnya.

Berdasarkan ketiga situasi tersebut, dapat diartikan bahwa gaya

kepemimpinan dapat efektif pada suatu situasi, tetapi tidak efektif pada situasi

yang lainnya. Pemimpin sosioemosional dapat efektif pada hubungan antara

pemimpin itu cukup baik, struktur tugas cukup jelas dan kekuasaan dan otoritas

pemimpin sedang. Sementara itu, pemimpin yang berorientasi kepada tugas

akan efektif ketika pemimpin berfokus pada pencapaian tugas, tidak

mementingkan hubungan antara pemimpin dengan anggota.

Karakteristik kepemimpinan kelarasan Bodi Chaniago diantaranya

menjunjung tinggi hak-hak dan kesetaraan masyarakat dalam pencapaian

(40)

permasalahan yang terjadi. Hal ini dapat diartikan bahwa, masyarakat Bodi

Chaniago dapat ikut terlibat langsung untuk memutuskan suatu permasalahan

yang terjadi bersama-sama dengan Penghulu mereka. Oleh karena itu,

karakteristik kepemimpinan kelarasan Bodi Chaniago dapat dijelaskan dengan

teori gaya kemimpinan sosioemosional menurut Fiedler (dalam Burn, 2004),

dimana kepemimpinan sosioemosional berfokus pada kualitas hubungan yang

terjalin antara penghulu dengan masyarakat.

Berbeda dengan kepemimpinan Bodi Chaniago, kepemimpinan Koto

Piliang memiliki karakteristik dimana adanya hirarki antara penghulu dengan

masyarakat dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Hal ini dapat diartikan

bahwa adanya perantara yang menghubungkan penghulu dengan masyarakat.

Penghulu Koto Piliang menyampaikan keputusannya melalui perantara yang

kemudian meneruskan keputusan tersebut kepada masyarakat. Proses ini dalam

budaya Minang disebut dengan manitiak dari ateh. Berdasarkan karakteristik

tersebut, kelarasan Koto Piliang dapat dikaitkan dengan gaya kepemimpinan

berorientasi pada tugas menurut Fiedler (dalam Burn 2004), dimana dalam

proses penyelesaian masalah penghulu tidak berfokus pada hubungan

interpersonal yang dijalin antara penghulu dengan masyarakat, tetapi lebih

(41)

D.PARADIGMA TEORITIS

Kepemimpinan di Minangkabau

Dinamis sesuai dengan situasi yang ada Bodi Chaniago

Tidak ada ketentuan harus memakai salah satu sistem kelarasan

Sistem Kelarasan

Gaya kepemimpinan situasional Fiedler Koto Piliang

Bersifat demokratis Bersifat aristokratis

Leader-member relation

Task structure

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitif. Jenis penelitian

kualitatif yang digunakan adalah penelitian discourse analysis atau analisis wacana. Penelitian analisi wacana merupakan investigasi mengenai bahasa apa

atau budaya apa yang dicapai seseorang melalui bahasa.

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong , 2005) mendefinisikan metode

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

David dan Williams (dalam Moleong, 2005) menulis bahwa penelitian kualitatif

adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dan dilakukan oleh orang atau

peneliti yang tertarik secara alamiah. Data diperoleh dengan wawancara. Hal ini

dikarenakan tidak cukupnya data teoritis yang mendukung penelitian ini, oleh

karena itu diperlukannya untuk mendapatkan informasi dari para ahli budaya

melalui metode wawancara.

Melalui penelitian kualitatif diharapkan peneliti memperoleh pemahaman

yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti dan akan dapat melihat

permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan

dinamika, perspektif, alasan dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi

(43)

Tipe penelitian ini adalah penelitian analisis wacana. Gee et all (dalam

Punch, 1998) menjelaskan ada tiga prinsip yang harus ada pada studi wacana: (1)

wacana manusia bersifat teratur dan terstruktur secara internal, (2) dihasilkan oleh

pembicara yang selalu berada pada matriks sosio-historikal, yang memiliki

budaya, politik, ekonomi, sosial dan realita personal yang membentuk wacana

tersebut, dan (3) wacana tersebut membentuk atau menginformasikan aspek

penting dari matiks sosio-historikal.

B. RESPONDEN PENELITIAN

1. Karakteristik Responden Penelitian

Pemilihan responden didasarkan pada karakteristik tertentu. Adapun

karakteristik responden dalam penelitian ini adalah orang yang mengusasai

pengetahuan mengenai adat Minangkabau dan kepemimpinan penghulu

Minangkabau.

2. Jumlah Responden Penelitian

Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif

luwes. Tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil

untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel pada penelitian kualitatif diarahkan

pada kecocokan konteks (Sarantoks, dalam Poerwandari 2007) dan tergantung

pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan

sumber daya yang tersedia. Responden penelitian ini terdiri dari:

a. 3 orang ahli budaya Minangkabau

(44)

3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian

Pada awalnya direncanakan prosedur pengambilan responden dalam

penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (operational construct

sampling). Responden dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan

berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya atau

sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Setelah penelitian

berjalan, tidak memungkinkan untuk menggunakan metode konstruk

operasional, dikarenakan peneliti tidak mengenal sampel tersebut, oleh karena

peneliti melakukan pengambilan sampel dengan menggunakan teknik snow ball atau chain sampling, dimana peneliti menanyakan kepada orang yang

diwawancarai siapa kira-kira yang bisa diwawancarai selanjutnya.

Pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan meminta informasi

pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya, demikian

seterusnya (Poerwandari, 2007).

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan memilih responden yang berdomisili

di Sumatera Barat.

C. METODE PENGUMPULAN DATA

Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam,

disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti.

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara.

(45)

mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2007). Menurut Banister dkk. (dalam

Poerwandari, 2007) wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud

untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna sujektif yang dipahami

individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud mengadakan

eksplorasi terhadap isu tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti dilengkapi

dengan pedoman wawancara. Pedoman wawancara berisi open-ended question yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian

(Poerwandari, 2007). Berdasarkan teori, pedoman wawancara disusun untuk

memperoleh data tentang gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau.

Wawancara juga dilaksanakan sesuai dengan keadaan di lapangan, dimana

proses wawancara dilakukan menggunakan gabungan bahasa daerah dan

bahasa Indonesia, sehingga peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan

yang diberikan dapat dipahami oleh subjek dan sesuai dengan maksud peneliti.

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Menurut Poerwandari (2007), dalam metode wawancara, alat yang

terpenting adalah peneliti sendiri. Untuk memudahkan pengumpulan data,

peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang digunakan dalam penelitian,

yaitu:

1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori BAB II, sehingga

peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin ditanyakan.

(46)

Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara

berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus

menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas dan dinyatakan (Poerwandari, 2007). Tema-tema yang dapat menjadi

pedoman wawancara adalah bagaimana gaya kepemimpinan penghulu

Minangkabau.

Pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku, karena tidak

tertutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal diluar pedoman

wawancara agar data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.

2. Alat Perekam

Penggunaan alat perekam dilakukan setelah mendapat persetujuan dari

responden. Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara

perlu direkam dan dibuat transkipnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak

bijaksana hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas,

yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi

oleh indera yang dapat mendukung penelitian. Dengan alat perekam peneliti

tidak perlu sibuk mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat

melakukan observasi terhadap partisipan selama wawancara berlangsung.

E. PROSEDUR PENELITIAN

Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap

(47)

1. Tahapan Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang

diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2005) yaitu sebagai

berikut:

a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat

Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di

masyarakat yang berhubungan dengan kepemimpinan dalam budaya

Minangkabau, baik melalui orang-orang sekitar, teman-teman, artikel dan

informasi dari internet untuk meyakinkan peneliti mengenai gaya

kepemimpinan pemimpin Minangkabau. Selain itu, peneliti merumuskan

masalah yang ingin diteliti sesuai dengan fenomena yang diperoleh.

b. Menyusun rancangan penelitian

Setelah peneliti menemukan fenomena mengenai kepemimpinan

dalam budaya Minangkabau, selanjutnya peneliti menyusun rancangan

penelitian (proposal penelitian) yang berisi latar belakang masalah dan

alasan pelaksanaan penelitian.

c. Mempersiapkan landasan teoritis

Di sini peneliti mengumpulkan informasi dan teori yang

berhubungan dengan kepemimpinan, gaya kepemimpinan, serta literatur

mengenai budaya Minangkabau

d. Menyusun pendoman wawancara

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka

(48)

e. Persiapan untuk pengumpulan data

Peneliti melakukan wawancara awal dengan seorang pemuka adat

via telepon. Dari wawancara tersebut peneliti memutuskan untuk

mengambil topik mengenai gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau.

f. Membangun rapport

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti

memulai untuk membangun rapport. Menurut Moleong (2002), rapport

adalah hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian yang sudah

melebur sehingga seolah-olah sudah tidak ada lagi dinding pemisah

diantara keduanya. Dengan demikian, responden bisa dengan suka rela

menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti.

2. Tahap pelaksanaan penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki

tahap pelaksanaan penelitian.

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang

waktu dan tempat sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden.

Konfirmasi ini dilakukan selambat-lambatnya 2 jam sebelum waktu

wawancara yang telah ditentukan. Konfirmasi ini dilakukan guna

memastikan kondisi responden, apakah dalam keadaan yang

memungkinkan untuk melakukan wawancara atau tidak.

(49)

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden

untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang

menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara dan bersedia

menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk

mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa

hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan

penelitian.

c. Memindahkan hasil wawancara dalam bentuk transkip verbatim

Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti melakukan langkah

penting pertama sebelum analisis dilakukan yaitu dengan memindahkan

hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis.

3. Tahap Analisa Data

Setelah proses wawancara selesai, data yang direkam menggunakan alat

bantu perekam akan ditulis kembali dalam bentuk verbatim. Awalnya data

yang diperoleh masih dalam bahasa daerah (bahasa Minang). Hal ini

dikarenakan responden lebih memilih menggunakan bahasa daerah, sehingga

peneliti kemudian melakukan penerjemahan data ke bahasa Indonesia yang

kemudian diverbatimkan.

Setelah seluruh pencatatan data selesai, langkah selanjutnya adalah

membuat koding berdasarkan teori yang digunakan. Hasil koding akan

membantu peneliti dalam menganalisa dan menginterpretasikan data yang

(50)

Berikut contoh kode yang digunakan: W3/B3/b.11-17/1. Kode ini

berarti: W1 merupakan wawancara ketiga; B3: ahli budaya ketiga; b.11-17:

baris ke 11 sampai 17, 1 adalah analisa ke-1.

F. Kredibiltas Penelitian

Kualitas penelitian kualitatif tergantung pada kredibilitas dalam

penelitian. Kredibilitas penelitian kualitatif menurut Poerwandari (2009),

terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau

mendekripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang

kompleks.

Kualitas penelitian mengenai gaya kepemimpinan penghulu

Minangkabau sangat dijaga oleh peneliti. Secara praktis, peneliti

mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang didapatkan dari

lapangan sesuai dengan prosedur proses pengumpulan data dan menganalisis

data dengan hati-hati. Adanya profesional judgement mengenai isu-isu budaya juga dilakukan peneliti terkait data-data dan latar belakang budaya

Minangkabau dengan ahli-ahli di bidangnya. Peneliti juga melakukan

pengecekan kembali pada data-data dari hasil wawancara dengan subjek yang

bersangkutan untuk menguji berbagai kemungkinan dan menguji

kekonsistenan data yang diungkapkan oleh subjek. Pengecekan kembali

bertujuan untuk menyamakan persepsi peneliti dengan apa yang dimaksudkan

oleh subjek. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya bias-bias peneliti

(51)

G. Metode Analisis Data

Proses analisis data dimulai dengan memahami seluruh data yang ada

dari berbagai sumber seperti wawancara, observasi dan lainnya. menurut

Poerwandari (2009), terdapat beberapa tahapan dalam menganalisa data

kualitatis.

1. Organisasi data

Pengolahan dan analisis data sesungguhnya diawali dengan

mengorganisasikan data. Data kualitatis yang sangat beragam dan banyak,

sehingga peneliti berkewajiban utnuk mengorganisasikan data dengan rapi,

sistematis dan lengkap. Hal yang penting untuk diorganisasikan adalah data

mentah (catatan lapangan, data hasil rekaman), data yang telah diperoleh

diproses sebagian (transkrip wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang

sudah diberikan kode-kode dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai

pengumpulan data dan langkah analitis.

Peneliti melakukan organisasi data setelah semua data mentah terkumpul.

Hal pertama yang peneliti lakukan adalah menuliskan hasil wawancara yang

telah direkam, dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk

(52)

2. Koding dan Analisa

Langkah awal sebelum analisis dilakukan adalah memberikan kode-kode

pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat

mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan

mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang gaya

kepemimpinan penghulu Minangkabau. Setelah organisasi data dilakukan,

peneliti kemudian memberikan kode-kode pada transkrip wawancara untuk

menemukan makna dari setiap data yang telah didapatkan dari hasil

wawancara. Proses pengkodingan juga diiringi dengan analisa data dan analisa

tematik yang disesuaikan dengan teori gaya kepemimpinan demokratis dan

otokratis yang telah dipaparkan di Bab II Tinjauan Pustaka. Peneliti juga

membuat pedoman koding untuk lebih memudahkan peneliti menemukan

tema-tema yang muncul berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yaitu

gaya kepemimpinan.

3. Strategi Analisis

Patton (1990) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan

konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subjek sendiri

(indigenous concepts) maupun konsep yang dikembangkan atau dipilih

peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis (sensitizing concepts). Analisa yang dilakukan adalah analisa secara etnografi secara mendalam pada

(53)

Peneliti melakukan analisis dengan mencocokkan pola yang muncul saat

pengkodingan dengan konsep teori gaya kepemimpinan demokratis dan

otokratis yang telah disusun dalam pedoman koding sebagai kode yang akan

diberikan pada kode analisa tematik. Menghindari kesalahan analisis, peneliti

juga mengoperasionalkan konsep yang disusun yang sesuai dengan teori. Hal

ini dilakukan agar tidak ada bias-bias dan kesalahan pemaknaan yang bisa

terjadi dikarenakan adanya kalimat-kalimat yang hampir mirip.

4. Tahapan interpretasi

Kvale (dalam Poerwandari, 2009), mengatakan bahwa interpretasi

mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus

mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan

mengisterpretasi data melalui perspektif tersebut.

Peneliti memaknai hasil data berdasarkan pernyataan yang diberikan

subjek dengan teori gaya kepemimpinan demokratis dan otokratis. Hal ini

dilakukan untuk memaknai setiap pernyataan yang diberikan dan menyusun

pernyataan yang memiliki makna yang sama pada suatu konsep yang telah

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian gaya kepemimpinan menunjukkan tidak terdapat pengaruh antara gaya kepemimpinan terhadap sistem akuntansi manajemen pada Kementerian di Indonesia dengan tingkat

Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa: (1) Gaya kepemimpinan instruktif berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi kerja. (2) Gaya kepemimpinan

Penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan pada karyawan AJB Bumiputera 1912 kantor wilayah malang gaya kepemimpinan direktif, gaya kepemimpinan suportif, gaya

Setelah melakukan proses penelitian ini, menunjukan bahwa gaya kepemimpinan konduktor baik ketika memimpin maupun dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul

Kemudian hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi dengan motivasi kerja sebagai variabel mediasi (intervening)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelima faktor gaya kepemimpinan : gaya partisipatif, gaya orientasi prestasi, gaya direktif, gaya supportif, dan gaya

Penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan pada karyawan AJB Bumiputera 1912 kantor wilayah malang gaya kepemimpinan direktif, gaya kepemimpinan suportif, gaya

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa 1 kepala sekolah menerapkan gaya kepemimpinan instruktif telling dalam meningkatkan kedisiplinan, 2 kepala sekolah menerapkan gaya kepemimpinan