• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Gaya Kepemimpinan Penghulu Minangkabau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Gaya Kepemimpinan Penghulu Minangkabau"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Minangkabau merupakan satu-satunya budaya yang menganut sistem kekerabatan matrilineal di Indonesia. Masyarakat Minangkabau merupakan komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005). Berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat (2012), Mayoritas suku Minangkabau tinggal di daerah Provinsi Sumatera Barat yang memiliki luas 42.297.30 km2. Hasil sensus penduduk tahun 2010 total penduduknya sebanyak 4.846.909 jiwa.

(2)

Pentingnya kedudukan alam bagi masyarakat Minangkabau menjadikan masyarakat Minangkabau dinamis dan terbuka terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan yang terjadi misalnya ketika ajaran Islam masuk ke Minangkabau. Masyarakat Minangkabau tidak menutup diri atau menolak ajaran Islam, tetapi malah menyesuaikannya dengan adat yang sebelumnya telah dianut, meskipun mengalami proses yang cukup panjang. Jika sebelum Islam masuk, filosofi masyarakat Minangkabau berdasarkan ketentuan alam, maka setelah masuknya Islam, filosofi tersebut disempurnakan lagi, bahwa hukum yang ada di dalam itu merupakan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT. Hal ini tertuang dalam filosofi adat, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Maksud dari filosofi ini adalah bahwa adat bersendikan

kepada syarak atau ajaran Islam, dan ajaran Islam bersendi kepada kitabullah atau Al-Qur’an. Jadi ajaran Islam sesuai dengan adat Minangkabau sehingga saling melengkap satu sama lain. Pencampuran antara ajaran Islam dengan aturan adat disebut sebagai Islamisasi kultural (Amir, 1997).

Bukti lain mengenai penyesuaian adat Minangkabau dengan ajaran Islam tercermin dalam filosofi adat anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan dibimbing). Filosofi ini mengandung maksud bahwa seorang laki-laki harus bersikap adil dengan anak dan kemenakannya. Sebagai penganut budaya matrilinialisme, masyarakat Minangkabau hidup di dalam extended family yang kekerabatannya menurut suku ibu. Laki-laki tertua di

(3)

kemenakan. Sedangkan terhadap anak-anaknya sendiri dia tidak mempunyai tanggung jawab, melainkan saudara laki-laki istrinya atau mamak rumah istrinyalah yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Setelah Islam masuk, maka disempurnakan melalui filosofi anak dipangku kamanakan dibimbiang, yang berarti bahwa seorang laki-laki di Minangkabau

bertanggung jawab kepada anak dan kemenakannya, dimana dia bertanggung jawab terhadap anaknya dalam hal mata pencaharian dan membimbing kemenakannya dengan harta pusaka, jadi berlaku adil baik kepada anak maupun kepada kemenakan.

Karakteristik masyarakat Minangkabau juga terbuka terhadap perubahan yang membuat mereka dinamis dalam kehidupan. Dinamisme ini kemudian menjadikan masyarakat Minangkabau adaptif terhadap berbagai perubahan yang dialaminya. Kemampuan adaptif masyarakat Minangkabau tidak terlepas dari dari nilai-nilai budaya yang dibangun para nenek moyang pendahulu dulu untuk kemudian terus diwariskan dari generasi ke generasi sampai sekarang (Arifin, 2010).

(4)

bukan fenomenanya yang bersifat dualisme, namun dualisme itulah yang sebenarnya yang merupakan budaya Minangkabau.

Bentuk dualisme budaya Minangkabau dalam bidang sosial politik yaitu adanya dua sistem kepemimpinan yang dikenal dengan sistem kelarasan Bodi Chaniago yang didirikan oleh Datuak Parpatiah nan Sabatang dan sistem kelarasan Koto Piliang yang didirikan oleh Datuak Katumanggungan. Masyarakat Minangkabau dari dulu hingga sekarang mempercayai bahwa kedua tokoh ini merupakan pendiri dari dua kekuasaan yang sampai sekarang masih diterapkan di Minangkabau, baik untuk masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat maupun yang ada diperantauan (Mairozasya, 2011).

Kedua kelarasan ini memiliki karakteristik yang berbeda, bahkan bisa dibilang bertolak belakang. Bodi Chaniago bercirikan demokratis, dimana kekuasaan tersusun berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat horizontal, sementara itu Koto Piliang bercirikan aristokratis, dimana kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan wewenangnya bersifat vertikal (Arifin, 2008).

Perbedaan nilai yang dianut oleh kedua kelarasan ini tercermin pada struktur rumah gadangnya. Rumah gadang kelarasan Bodi Chaniago lantainya datar atau tidak memiliki bandua (lantai yang ditinggikan lebih kurang 60 cm). Posisi lantai rumah yang datar ini adalah cerminan pola pengambilan keputusan yang diharapkan muncul dari bawah (mambasuik dari bumi) sehingga sebuah keputusan diharapkan betul-betul berdasarkan aspirasi

(5)

bandua. Hal ini memperlihatkan bahwa Koto Piliang pada prinsipnya memang

tegas menunjukkan adanya perjenjangan posisi antara pemimpin dengan masyarakatnya (anak dan kemenakan) sehingga semua aturan dan keputusan memang titiak dari ateh (berasal dari penghulu). Bahkan perjenjangan pada Koto Piliang terkadang juga tercermin pada bagian samping rumah gadang yang ditinggikan dari lantai rumah yang lain sehingga terlihat seperti perahu.

Perbedaan-perbedaan ini sering memicu terjadinya perselisihan antara kedua datuk ini. Terbelahnya landasan adat masyarakat Minangkabau menjadi dua (dualisme) ini dikarenakan kedua tokoh penting Minangkabau ini memiliki asal usul, kepribadian dan pola pikir yang berbeda. Datuak Katumanggungan digambarkan sebagai putra mahkota yang akan mewarisi kerajaan ayahnya yang berpola patrilineal, berwatak keras, dan memiliki pola pikir yang tegas sebagaimana layaknya seorang raja. Berbeda dengan Datuak Parpatiah nan Sabatang yang terlahir dari rakyat biasa, suka merantau, berwatak kerakyataan, dan memiliki pola pikir yang egaliter (Arifin, 2008)

(6)

Penerapan salah satu sistem kelarasan pada suatu nagari disebut adat salingka nagari. Ternyata dalam aplikasinya banyak bukti yang menunjukkan

bahwa jarang (bahkan tidak ada) sebuah nagari yang menerapkan adat salingka nagari nya Koto Piliang, tetapi semua sukunya bergeneologis Koto Piliang, dan begitu pula sebaliknya dengan kelarasan Bodi Chaniago. Artinya selalu ada keseimbangan suku-suku penyusun didalam sebuah nagari, walaupun secara tegas mereka menyatakan adat salingka nagari nya dengan salah satu sistem kelarasan tersebut (Arifin, 2006). Bentuk keseimbangan lainnya adalah ketika sebuah kesepakatan yang disebut kesepakatan Marapalam yang menghasilkan aturan dimana setiap permasalahan yang terjadi di Minangkabau harus dimusyawarahkan yang dilakukan oleh suku Bodi Chaniago, kemudian untuk mengumumkannya kepada masyarakat dilakukan oleh suku Koto Piliang.

“Selesai Perang Paderi, itu terjadilah kesepakatan Bukit Marapalam, tahun 1858. Hasil kesepakatan Marapalam adalah diberlakukannya kembali sistem Koto Piliang di Minangkabau, tetapi dengan metoda lain. Metodanya, segala yang sudah diputuskan dan dimusyawarahkan di Bodi Chaniago diserahkan kepada Koto Piliang. jadi setelah Bodi Chaniago bermusyawarah tentang suatu hal, tidak mencapai kesepakatan, maka diantar ke Koto Piliang. Suku Piliang menurunkan perintahnya. Jadi terpakai keduanya di Marapalam. Mufakat terjadi, yang diperintahkan hasil mufakat yang tadi. Hasil mufakat Bodi Chaniago diserahkan ke Koto Piliang. Bagi Koto Piliang namanya perintah, walaupun perintah itu yang dimufakati. Bukit Marapalam itu suatu tempat bermusyawarah datuak-datuak dengan orang syarak.”

(Wawancara personal, 16 Juni 2014)

(7)

Minangkabau tidak bersifat kaku dan dapat berubah mengikuti situasi yang ada. Seperti yang diungkapkan Fiedler (1967) bahwa situasi yang berbeda membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa ahli menyebutkan bahwa Bodi Chaniago bersifat demokratis (Kato, 2005; Hasan, 2013; Effendi, 2004; Mauludin, 2010), ada juga yang menyebutkan Bodi Chaniago lebih egalitarian. Sedangkan Koto Piliang dikatakan lebih otokratis (Kato, 2005; Effendi, 2004; Mauludin, 2010), namun Hasan (2013) memakai istilah aristokratis. Ada ahli yang mengatakan bahwa Koto Piliang juga bersifat demokrasi, karena demokrasi merupakan ciri khas masyarakat Minangkabau.

Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat bahwa kepemimpinan di Minangkabau itu tidak bersifat kaku dan memiliki keseimbangan di dalamnya, sehingga dapat berubah menyesuaikan kondisi yang ada. Oleh karena itu hal ini menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut untuk melihat kedinamisan kepemimpinan di Minangkabau. Penelitian ini berfokus kepada kepemimpinan penghulu karena penghulu merupakan pemimpin di dalam sistem kekerabatan matrilinealisme pada masyarakat Minangkabau. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang sesuai untuk digunakan di dalam penelitian ini, karena peneliti bertujuan untuk melihat sesuatu yang bersifat dinamis dan dapat berubah pada saat tertentu, sehingga tidak dapat diukur dengan pemakaian alat ukur. Seperti yang dinyatakan oleh Purwandari (2007) bahwa banyak sekali perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, yang mustahil untuk dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik.

(8)

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran kedinamisan gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gaya kepemimpinan penghulu Minangkabu.

D. MANFAAT PENELITIAN

Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi khazanah kajian Psikologi untuk bidang kepemimpinan terutama mengenai gaya kepemimpinan.

2. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan menambah wawasan serta informasi bagi penghulu Minangkabau mengenai gaya kepemimpinan penghulu Minangkabau sehingga dapat membantu dalam menjalankan kepemimpinan.

(9)

Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan bagi pengamat sosial khususnya mengenai gaya kepemimpinan di Minangkabau.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan pada penelitian ini adalah: BAB I: Pendahuluan

Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II: Landasan Teori

Bab ini memaparkan teori-teori yang digunakan untuk pedoman penelitian ini terdiri dari teori kepemimpinan dan teori adat Minangkabau khususnya mengenai kepemimpinan.

BAB III: Metode Penelitian

Bab ini berisikan tentang pendekatan yang digunakan, responden penelitian, merode pengambilan data, alat pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan prosedur penelitian.

Bab IV : Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini dijabarkan hasil temuan lapangan dalam bentuk penjelasan yang terperinci dan pembahasan yang menghubungkan data temuan lapangan dengan teori yang telah dijabarkan di bab II.

(10)

Referensi

Dokumen terkait

Pimpian pada Dinas Bina Marga Provinsi Sulawesi Tengah perlu memberikan perhatian yang merata kepada pegawai dalam memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam

Dengan menggunakan path analysis hasil penelitian menunjukkan bahwa kemudahan penggunaan, sikap penggunaan teknologi, persepsi manfaat ( perceived usefulness)

Kebutuhan akan bahan galian seperti pasir tampak semakin meningkat seiring dengan semakin berkembangnya pembangunan berbagai sarana maupun prasarana fisik di

menggunakan model regresi parsial, terdeteksi adanya gejala flypaper e ff ect pada belanja da- erah kabupaten dan kota di Sulawesi yang bersumber dari dana bagi hasil pajak /

524/K3/KP/2011 tanggal 1 Juli 2011 tentang pemutakhiran data dosen, dengan ini kami mohon bantuan Saudara untuk menugaskan 2 (dua) orang staf yang telah menangani pemutakhiran

Kelebihan utama proses metal injection molding dibandingkan dengan teknik kompaksi lainnya terletak pada kemampuan membuat produk dengan kompleksitas geometri yang tinggi,

Sediaan CC cream disimpan dalam climatic chamber pada suhu 40 o C dan RH 75% selama 30 hari, kemudian diuji parameter stabilitas fisika, yaitu organoleptis, ukuran