• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEKWENSI YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN TANPA MEMUAT PERINTAH PENAHANAN (Studi Kasus Putusan PN. Tanjung Karang No.1289/Pid/B(A)/Pn.Tk)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSEKWENSI YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN TANPA MEMUAT PERINTAH PENAHANAN (Studi Kasus Putusan PN. Tanjung Karang No.1289/Pid/B(A)/Pn.Tk)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………... 8

D. Kerangka Teori dan Konseptual ………... 9

E. Sistematika Penulisan………... 17

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA ……….…... 19

A. Pengertian Penahanan………... 16

B. Pengertian tindak pidana………..…... 23

C. Tugas dan wewenang hakim dalam proses peradilan pidana ... 25

D. Tugas dan wewenang jaksa ..………... 31

E. Pemidanaan ………. 38

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN ...……….…… 44

A. Pendekatan Masalah ……… 44

B. Sumber dan Jenis Data ………....……... 44

C. Penentuan Populasi dan Sampel ………....………... 46

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data …………... 47

(2)

B. Dasar pertimbangan hakim terhadap putusan pidana tanpa memuat perintah penahanan……… 51 C. Konskwensi yuridis terhadap putusan pidana tanpa memuat perintah

penahanan…………... 68 DAFTAR PUSTAKA

(3)

KONSEKWENSI YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN TANPA MEMUAT PERINTAH PENAHANAN

(Studi Kasus Putusan PN. Tanjung Karang No.1289/Pid/B(A)/Pn.Tk)

(Skripsi)

Oleh

ANDAN PEBRIANSAH 0542011026

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

KONSEKWENSI YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN TANPA MEMUAT PERINTAH PENAHANAN

(Studi Kasus Putusan PN. Tanjung Karang No.1289/Pid/B(A)/Pn.Tk)

(Skripsi)

Oleh

ANDAN PEBRIANSAH 0542011026

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………... 8

D. Kerangka Teori dan Konseptual ………... 9

E. Sistematika Penulisan………... 17

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA ……….…... 19

A. Pengertian Penahanan………... 16

B. Pengertian tindak pidana………..…... 23

C. Tugas dan wewenang hakim dalam proses peradilan pidana ... 25

D. Tugas dan wewenang jaksa ..………... 31

E. Pemidanaan ………. 38

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN ...……….…… 44

A. Pendekatan Masalah ……… 44

B. Sumber dan Jenis Data ………....……... 44

C. Penentuan Populasi dan Sampel ………....………... 46

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data …………... 47

(6)

B. Dasar pertimbangan hakim terhadap putusan pidana tanpa memuat perintah penahanan……… 51 C. Konskwensi yuridis terhadap putusan pidana tanpa memuat perintah

penahanan…………... 68 DAFTAR PUSTAKA

(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum. Pernyataan ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan Ketiga yang disahkan 10 November 2001. Menurut Penjelasan Umum UUD 1945, khususnya penjelasan tentang Sistem Pemerintahan Negara dinyatakan ”Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)” (Barda Nawawi Arief, 2001 : 9).

Berdasarkan pernyataan di atas, kemudian muncul istilah ”Supremasi Hukum”

dengan tatanan hukum inilah membawa suatu konsekwensi, bahwa pembangunan hukum di Indonesia diarahkan agar mampu berperan dalam menunjang pembangunan segala bidang. Hukum didayagunakan tidak hanya untuk ketertiban sarana sosial, tetapi juga untuk penegak keadilan.

Perubahan sosial kaitannya dengan fungsi hukum dalam masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Antonoc AG. Peters bahwa ada tiga perspektif dari fungsi hukum dalam masyarakat, yaitu; perspektif kontrol sosial, perspektif social

(8)

Hukum juga sangat berperan dalam mengatur serta mengawasi pemerintahan negara dan kehidupan bangsa, untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sebagaimana yang dicita–citakan dan tercantum dalam UUD 1945 bertujuan agar tercipta suatu ketertiban, keamanan, keadilan dan kepastian hukum.

Kemudian hukum juga sebagai pengatur, pengawas, dan penyelesai konflik yang timbul antara manusia sebagai warga negara, antara warga negara dengan penguasanya.

Berbicara mengenai negara hukum, tentunya harus dicari dahulu persepsi tentang apa yang dimaksud/disebut negara hukum atau apa yang menjadi ciri-ciri sebagai negara berdasarkan atas hukum. Adapun ciri-ciri negara berdasarkan atas hukum itu sendiri adalah:

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan;

2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga;

3. Legalitas dalam arti, dalam segala bentuknya.

(Soekanto, Soerjono. 1986.)

(9)

kepastian hukum yang menjadi hak masyarakat, sebagaimana yang termuat dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi; Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Keinginan memperoleh suatu kepastian hukum serta perlakuan yang sama dihadapan hukum maka perlu dilaksanakannya suatu peradilan, sebagaimana yang dirmuat dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan; kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum keadilan.

Kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti kekuasaan mengadili (kekuasaan menegakkan hukum dibadan-badan pengadilan), tetapi juga mencakup kekuasaan menegakkan hukum dalam sebuah proses penegakan hukum. Kekuasaan kehakiman dibidang hukum pidana dalam proses penegakan hukum juga mencakup kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili, dan kekuasaan pelaksana putusan pidana, maka ke-empat kekuasaan tersebutlah dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana terpadu, ini berarti dalam

perspektif Sistem Peradilan Pidana criminal justice system (Barda Nawawi Arief, 2001 : 28).

(10)

Berbicara mengenai penegakan hukum, maka pembangunan terhadap hukum itu dapat mendorong perubahan sosial dan pembangunan pada umumnya. Sebagai konsekwensi jika pembangunan direncanakan dan dijalankan dengan baik, maka akan menghasilkan suatu kemajuan yang lebih baik pula. Namun sebaliknya dapat pula berimplikasi buruk terhadap pembangunan itu sendiri.

Sejalan dengan kemajuan pembangunan itu, selain di dapat suatu hal yang positif ada juga beberapa dampak negatif baik bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, dan sosial politik dalam pembangunan itu, yakni berupa penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan upaya memperkaya diri sendiri maupun pelanggaran hukum lainnya.

Paradigma dalam bidang penegakan hukum memandang bahwa pertumbuhan tingkat kejahatan dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan pembangunan sebagai suatu hubungan yang positif atau berbanding searah. Setiap adanya perkembangan dan pencapaian kemajuan menegenai penegakan hukum, tidak dapat disangkal, bahwa terdapat pula perkembangan dan peningkatan penyimpangan serta kejahatan baru atau tindak pidana itu sendiri, sebagaimana yang dialami negara-negara berkembang maupun negara maju sekalipun.

(11)

pengetahuan yang baru disalahgunakan, dimana perwujudan dari suatu perbuatan itu merupakan salah satu dari berbagai macam tindak pidana yang menimbulkan gangguan ketentraman, ketenangan, bahkan seringkali mendatangkan kerugian baik materil maupun immateril yang cukup besar bagi masyarakat, bahkan kehidupan negara.

Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi mungkin tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Masalah tindak pidana ini nampaknya akan terus berkembang dan tidak pernah surut baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya, perkembangan ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan pemerintah.

Tindak kejahatan atau tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat, dalam arti bahwa tindak pidana akan selalu ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.

(12)

pidana merupakan salah satu faktor penunjang bagi penegakan hukum pidana, khususnya penanggulangan tindak kejahatan.

Masalah pencegahan dan penanggulangan tindak kejahatan atau tindak pidana merupakan upaya yang termasuk dalam bidang kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (social policy). Sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan atau tindak pidana ini dapat dilakukan dengan menggunakan sarana penal dan Non – penal dengan tujuan yang sama untuk mencapai kesejahteraan sosial (social-welfare

policy) dan untuk perlindungan Masyarakat (social-defence policy) (Barda Nawawi Arief, 2001 : 73).

Pencegahan kejahatan atau tindak pidana itu harus ditempuh dengan kebijakan integral/sistematik (jangan simplistik dan fragmenteir), terlebih lagi pada tindak pidana yang memanfaatkan suatu kesempatan dan yang dapat dilakukan baik secara terorganisir/berkelompok, maupun dilakukan secara perorangan atau secara individu. Adapun salah satu tindak pidana yang dilakukan dengan penjatuhan hukuman atas perbuatan yang dilakukan seseorang akan tetapi tidak memuat perintah penahanan.

(13)

demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana dengan frekuensi yang cukup tinggi.

Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggungjawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan atas terdakwa yang dinyatakan bersalah atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan bentuk skripsi yang berjudul konsekwensi Yuridis Terhadap Putusan Pemidanaan Tanpa Memuat Perintah Penahanan.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas atau pada halaman sebelumnya, maka masalah yang diangkat atau diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Apakah dasar pertimbangan hakim atau dasar penilaian hakim tidak menahan seorang terdakwa yang diputus bersalah?

(14)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan masalah skripsi ini dibatasi pada putusan perkara No.1289/Pid/B(A)/Pn.TK. yang berlokasi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang, dikaji dari aspek kebijakan hukum dan dibatasi pada kebijakan kriminal dan Terjadinya vonis hakim yang menjatuhkan hukuman atas terdakwa tanpa memuat perintah penahanan terhadap pelaku, hal ini dapat disebabkan adanya Pasal 193 ayat (2)a KUHAP yang menyebutkan bahwa pengadilan dalam menjatuhkan putusan jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana bedasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana.

3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah:

(15)

b. Untuk mengetahui konsekwensi yuridis terhadap putusan pemidanaan tanpa

memuat perintah penahanan perkara Nomor: 1289/Pid/B(A)/Pn.TK.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

a. Secara teoritis kegunaan penulisan skripsi ini digunakan untuk menambah pengetahuan dalam pengkajian ilmu hukum dan memberikan sumbang pemikiran bagi khasanah ilmu hukum mengenai konsekwensi yuridis terhadap putusan pemidanaan tanpa memuat perintah penahanan.

b. Secara praktis kegunaan penulisan skripsi ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbang saran dan pemikiran pada penegakan hukum khususnya serta mencari kebijakan/upaya hukum secara konsekwensi yuridis terhadap putusan pemidanaan tanpa memuat perintah penahanan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relavan untuk penelitian (Soerjono Soekanto, 1985 : 2).

(16)

Kata teoritis adalah bentuk adjective dari kata “teori”. Teori adalah anggapan yang teruji kebenarannya atau pendapat/cara/aturan untuk melakukan sesuatu, atau asas hukum umum yang menjadi dasar ilmu pengetahuan, atau keterangan mengenai suatu peristiwa/kejadian.

Menurut Moeljatno, ada 3 cara untuk merumuskan tindak pidana yang terkandung dalam perundang-undangan, ke-3 cara tersebut antara lain adalah :

1. Menentukan unsur.

Rumusan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP khususnya dalam buku Ke-2, adalah mengandung maksud agar diketahui dengan jelas bentuk perbuatan tindak pidana yang dilarang. Untuk mengetahui maksud rumusan tersebut, perlu menentukan unsur-unsur atau syarat-syarat yang terdapat dalam rumusan tindak pidana itu.

2. Menurut ilmu pengetahuan dan praktek peradilan.

Apabila rumusan pasal tindak pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya, maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan kepada ilmu pengetahuan dan praktek peradilan.

3. Menentukan kualifikasi.

Untuk merumuskan tindak pidana, selain dengan menentukan unsur-unsur tindak pidana yang dilarang, juga ditentukan kualifikasi hakikat dari tindak pidana tersebut.

(17)

1. Unsur subjektif.

Unsur subjektif adalah unsur yang yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas

hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”.

Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld).

Pada umumnya para pakar hukum telah menyetujui bahwa “kesengajaan“ terdiri

dari 3 bentuk, yaitu :

a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk).

b. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zakerheids bewustzijn). c. Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus evantulis).

2. Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku, yang terdiri atas : a. Perbuatan manusia, berupa :

1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif.

2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.

b. Akibat (result) perbuatan manusia. Akibat tersebut membahayakan atau merusak bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan sebagainya.

(18)

d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum

berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

konsekwensi yuridis terhadap putusan pemidanaan tanpa memuat perintah penahanan. tidak hanya berfokus pada yuridis normatif semata, melainkan perlu kebijakan yang integral komprehensif dari berbagai kondisi sosial lainnya. Dengan maksud adalah untuk mengungkapkan beberapa kasus tindak pidana yang diputuskan oleh seorang hakim tanpa adanya perintah penahanan. Hal ini demi kebijakan penegakan hukum atau “law enforcement” sehingga tindak pidana yang dilakukan dan diproses dalam aturan hukum pidana Indonesia yaitu KUHAP memiliki unsur pemidanaan akan tetapi tidak memuat perintah penahanan.

Proses penegakan hukum yang rasional melibatkan empat hal/faktor yang saling terkait. Adapun empat hal/faktor tersebut, yaitu :

1. Adanya ketentuan hukum yang akomodatif, yaitu ketentuan hukum yang ada harus mampu memecahkan masalah yang terjadi.

2. Adanya penegak hukum yang tangguh, terampil, dan bermoral dalam hal penegakan hukum.

3. Adanya fasilitas/sarana yang mendukung kearah penegakan hukum itu sendiri. 4. Budaya hukum partisipasi masyarakat dalam mendukung penegakan hukum

yang dilakukan.

(19)

Semua unsur delik diatas merupakan satu kesatuan pembuktian. Apabila Salah satu unsur saja tidak dapat terbukti maka dapat menyebabkan terdakwa dibebaskan oleh pengadilan karena tidak terpenuhinya Unsur pembuktian.

Teori-teori yang digunakan antara lain, sebagai berikut :

a. Teori absolut atau teori pembebasan (retributive/vergeldings theorien). Menurut teori absolut, dijatuhkannya pidana pada orang yang melakukan kejahatan adalah sebagai konsekwensi logis dari dilakukannya kejahatan. Jadi siapa yang melakukan kejahatan, harus dibahas pula dengan penjatuhan penderitaan pada orang itu. Dengan demikian, adanya pidana itu didasarkan pada alam pikiran

untuk “PEMBALASAN”. Oleh karena itu teori ini dikenal pula

dengan nama : “teori pembalasan”. (Tri Andrisman , 2006 : 25) b. Teori relatif atau teori tujuan (untilitariandoeltheorien). Menurut

teori ini “tujuan dari pidana itu terletak pada tujuan pidana itu sendiri”. Oleh sebab itu teori ini disebut juga dengan “TEORI TUJUAN”. Selajutnya oleh teori tersebut, tujuan dari pidana itu untuk : “perlindungan masyarakat atau pemberantasan kejahatan”.

Jadi menurut teori ini, pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu, tidak semata-mata untuk pembalasan. (Tri Andrisman , 2006 : 26) c. Teori gabungan (verenegings theorieen). Dasar hukum dari teori

gabungan ini, pada jalan pikiran bahwa pidan itu hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tidak pidana yang dilakukan dan keadaan si pembuatnya. (Tri Andrisman , 2006 : 27)

Masalah pemberian pidana beserta perumusan pedomannya berkaitan dengan aliran-aliran dengan hukum pidana. Sebenarnya masalah pemberian pidana itu adalah masalah itu adalah kebebasan hakim. Tokoh dari aliran klasik, Jeremy Bentham salah satu teorinya yang sangat penting adalah mengenai “Folicipikc Calculus”, yaitu :

(20)

kesusahan. Oleh karena itu, suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan yang ditimbukan akan lebih berat dari pada kesenangan yang ditimbulkan kejahatannya”.

(Muladi dan Barda nawawi arif, 1998 ; 30)

Aliran klasik kemudian menitikberatkan kepada pengimbalan dari kesalahan si pembuat. Adapun dalam persoalan pemberian pidana tercantum dalam Memory van Teolichting dari Wetbook van Strat Rehct (WvS). Belanda tahun 1886, adapun terjemahannya adalah sebagai berikut :

“Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejahatan harus memperhatikan keadaan objektuf dan subjektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatnya. Hak-hak apa saja yang dilanggar dengan adanya tindak pidana itu? kerugian apa yang ditimbulkan? bagaimanakah sepak terjang kehidupan si pembuat dulu? apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama kearah jalan sesat ataukah suatu perbuatan yang merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah tampak? batas antara minimum dan maksimum harus ditetapkan seluas-luasnya, sehingga semua pertanyaan diatas itu dijawab dengan merugikan terdakwa, maksimum pidana yang biasa itu sudah memadai”. (Sudarto, 1986 ; 55-56)

Jadi meskipun didalam Wetbook van Strat Rehct (WvS) tidak terdapat pasal yang memberikan pedoman atas pemberian pidana, namun dengan adanya penjelasan di atas dapat juga dikatakan sebagai pedoman yang memberikan ukuran kepada hakim dan serta penentuan pidana.

2. Konseptual

(21)

maupun empiris. Biasanya telah merumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau telah menjalankan lebih lanjut dari konsep tertentu (Sanusi Husin, 1991 : 9).

Kemudian kerangka konseptual juga, merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah (Soerjono Soekanto, 1986 : 32).

Upaya memudahkan pengertian yang terkandung dalam kalimat judul penelitian ini, maka penulis dalam konseptual ini menguraikan pengertian-pengertian yang berhubungan erat dengan penulisan skripsi ini, agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemahaman atau penafsiran yang ditujukan untuk memberikan kesatuan pemahaman, maka akan dijelaskan beberapa istilah yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

a. Pertanggungjawaban pidana adalah Perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik /tindak pidana dalam undang-undang belum tentu dapat di pidana. Karena harus dilihat dulu si pelaku tindak pidana tersebut. Dengan demikian, tentang pertanggungjawaban pidana yaitu menyangkut pada diri si pelaku. (Tri Andrisman,2006:76)

b. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum yang dapat berupa pemidanaan atau bebas serta lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir (11) KUHAP).

c. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh

(22)

d. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir (6) huruf a dan b KUHAP).

e. Pengadilan merupakan sebuah forum publik resmi, dimana kekuasaan publik ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan pencarian keadilan dalam hal sipil, buruh, administratif, dan kriminal di bawah hukum. Dalam negara dengan sistem common law, pengadilan merupakan cara utama untuk penyelesaian perselisihan dan umumnya dimengerti bahwa semua orang memiliki hak untuk membawa klaimnya ke pengadilan. Dan juga pihak tertuduh kejahatan memiliki hak untuk meminta perlindungan di pengadilan. ( Sudarsono,1999: 84)

f. Tindak pidana pada tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat dari pakar

hukum mengenai definisi tindak pidana, namun sebagai dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif) adalah perbuatan yang terwujud in-abstracto dalam

peraturan pidana. Serta menurut pendapat moeljatno; “perbuatan pidana

adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa melanggar

larangan tersebut” (Tri Andrisman, 2006 : 54).

E. Sistematika Penulisan

(23)

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang yang terdiri dari uraian mengenai situasi atau keadaan dan kondisi dari masalah yang timbul, apa yang di teliti, bagaimana menelitinya, menegapa penulis memilih masalah tersebut, dan hal-hal yang telah di ketahui atau belum di ketahui tentang masalah yang di teliti.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar yang berisikan tentang pengertian-pengertian umum, kebijakan, politik kriminal baik upaya penal maupun upaya non – penal, pengertian tindak pidana yang dilakukan dalam keadaan bencana baik bencana alam, non-alam, maupun bencana sosial, serta hal-hal yang mempengaruhi dan landasan hukumnya.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat dan membahas tentang metode penelitian yang meliputi pendekatan masalah, langkah-langkah dalam penelitian, sumber dan jenis data yang digunakan, penentuan populasi dan sampel, pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(24)

V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil akhir yang memuat kesimpulan dan saran penulis. Kesimpulan diambil berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis. Sedangkan saran diberikan berdasarkan hasil penelitian yang merupakan tindak lanjut dalam pembenahan dan perbaikan.

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penahanan 1. Penahanan

Pengertian penahanan menurut KUHAP dapat dilihat dalam Pasal 1 Butir 21 jo Pasal 20 KUHAP Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini.

Sedangkan pada masa berlakunya Het Herzien Islands Reglement tidak memberikan pengertian penahanan secara singkat, tetapi hanya di jelaskan Pada Pasal 75 ayat HIR bahwa :

(1) kalau keterangan-keterangan cukup memberikan menunjukan bahwa si tertuduh itu bersalah dan ia perlu sekali ditahan untuk kepentingan pemeriksaan atau menjaga supaya melakukan perbuatan jangan di ulanginya lagi atau menjaga untuk ia jangan lari, maka dalam hal yang di tentukan pada ayat 2 pasal 62 pegawai penuntut umum atau pembantu jaksa yang melakukan pemeriksaan itu dapat mengeluarkan perintah untuk menahan sementara.

(2) Peraturan dalam Pasal 62, 71 ayat 2 dan72 berlaku untuk perintah ini.

(26)

pambantu jaksa selama dua puluh hari. Sedangkan penahanan yang sudah lewat dua puluh hari beserta perpanjangan-perpanjangan dari hakim atau ketua pengadilan negeri Selama tiga puluh hari dan seterusnya sudah merupakan penahanan saja tanpa kata sementara ( Pasal 75 (1) jo Pasal 72 (1) jo 62 (1) jo Pasal 83 c (4) HIR).” Penahanan saja tanpa ada kata sementara adalah penahanan

yang dapat berjalan seterusnya tanpa ada batas yang konkret”.

2. Pengertian Pidana

Secara harfiah kata pidana diartikan sebagai derita atau nestapa. Sedangkan dalam kata pidana terkandung makna, yaitu penderitaan yang sengaja dijatuhkan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. (Heni Siswanto, 2007 : 9)

Bentuk pidana berupa sanksi pidana dan tindakan tata tertib. Oleh karena itu, pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebenkan kepada orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Pidana dapat berbentuk “punishment” (pidana) atau “treadtment” (tindakan). Pidana dijatuhkan sebagai pembalasan (pertimbangan) terhadap kesalahan si pembuat. Sedangkan tindakan diberikan untuk melindungi kepentingan masyarakat dan pembinaan/perawatan terhadap pelaku tindak pidana.

Pengertian pidana terkandung makna :

a. Pengenaan derita atu nestapa yang tidak menyenangkan.

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang berkuasa

(27)

c. Pidana itu dikenakan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana

menurut undang-undang.

3. Pengertian Sistem Pemidanaan

Hulsman pernah mengemukakan, bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undang yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanctions and punishment). (Heni Siswanto, 2007 : 11)

Bila pengertian pemidanaan diartikan sebagai suatu pemberian atau penjatuhan pidana, maka pengertian sistem pemidanaan dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pandangan :

a. Dalam arti luas (fungsional), yaitu berkerjanya atau prosesnya :

1) Keseluruhan sistem (aturan perundang-undang), untuk fungsionalisasi/ operasionalisasi/konkretisasi pidana.

2) Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur cara hukum pidana itu ditegakan/dioperasionalisasikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.

(28)

pemidanaan karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakan secara konkret hanya dengan salah satu sub-sistem di atas.

b. Dalam arti sempit (sudut normatif/ substantif), yaitu hanya dilihat dari norma hukum pidana substantif.

1) Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan.

2) Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemberian/

penjatuhan dan pelaksanaan pidana.

4. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dalam Konsep KUHP baru (RUU KUHP)

Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, didalam konsep dirumuskan tentang tujuan dari pedoman pemidanaan yang bertolak dari pokok pemikiran sebagai berikut :

a. Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (purposive system) dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan.

b. Tujuan pidana merupakan bagian integral (sub-sistem) dari keseluruhan sistem

pemidanaan (sistem hukum pidana) disamping sistem lainnya, yaitu sub-sistem tindak pidana, pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan pidana. c. Perumusan tujuan dan pedoman pemindahan dimaksudkan sebagai fungsi

(29)

d. Dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu

rangkaian proses melalui tahap formulasi (kebijakan legeslatif), tahap aplikasi (kebijakan judicial/judikatif), dan tahap eksekusi (kebijakan administrative/ eksekutif), oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai suatu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.

Sebagaimana termuat dalam Pasal 51 RUU KUHP 2008 disebutkan tujuan pemidanaan :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

b. Masyarakat terpidana dengan mengadakan pemidanaan sehingga menjadi

orang baik dan berguna.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. dan, d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. (Heni Siswanto, 2007 : 12)

B. Pengertian Tindak Pidana

(30)

kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat secara konkret.

Mengenai pengertian tindak pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut :

a. Pompe :

Memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu :

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. (Bambang Poernomo, 1981 : 86)

b. Simons :

Tindak pidana adalah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan

oleh orang yang mampu bertanggungjawab” (Moeljatno, 1987 : 56).

c. Vos :

Tindak pidana adalah “suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan

perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana” (Bambang Poernomo, 1981 : 86).

d. Van Hamel :

Tindak pidana adalah “kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yan bersifat

(31)

e. Moeljatno :

Perbuatan pidana (tindak pidana-pen) adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut” (Moeljatno, 1987 : 54).

f. Wirjono Prodjodikoro :

Tindak pidana adalah “suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman

pidana” (Wirjono Prodjodikoro, 1986 : 56).

Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar di atas, dapat diketahui bahwa tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat diantara para pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana.

(Tri Andrisman, 2006 : 53-54)

C. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UU No. 4/2004). Jo UU No.48 Th 2009.

(32)

1. Hakim

Istilah Hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau Mahkamah. Hakim juga berarti pengadilan, jika orang berkata “perkaranya telah

diserahkan kepada hakim”. Berhakim artinya minta diadili perkaranya. menghakimi artinya berlaku sebagai Hakim terhadap seseorang, kehakiman artinya urusan hukum dan pengadilan, adakalanya istilah Hakim dipakai terhadap orang budiman, ahli, dan orang bijaksana (Hilman Hadikusuma, 1983: 144).

Didalam hukum acara Hakim berarti Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 ayat (8) KUHAP). Dalam melaksanakan peradilan, memeriksa dan memutus perkara Hakim itu terjamin kebebasannya, ia tidak boleh berada dibawah pengaruh kekuasaan siapapun. Bahkan Ketua Pengadilan tidak berhak ikut campur dalam soal peradilan yang dilakukannya. Hakim bertanggung jawab sendiri dan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa atas putusan yang telah diambilnya (Abdulkadir Muhammad, 1978: 48, dalam Hilman Hadikusuma, 1983: 144).

2. Kewajiban Hakim

(33)

dianggap mengetahui hukum CuriaIus Novit. Jika aturan hukum tidak ada ia harus menggalinya dengan ilmu pengetahuan hukum, jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkannya dan jika tidak ada aturan hukum tertulis ia dapat menggunakan hukum adat.

Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan mamahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib mampertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 UU N0.4/2004).

Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 29 UU No. 4/2004).

Sebelum melakukan jabatannya hakim wajib bersumpah atau berjanji menurut agama dan keyakinannya (Pasal 30 ayat (1) UU No. 4/2004).

Hakim ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus menggunakan bahasa Indonesia yang dimengerti oleh para penggugat dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHAP). Di dalam prakteknya adakalanya hakim menggunakan bahasa daerah, jika yang bersangkutan masih kurang paham terhadap apa yang diucapkan atau ditanyakan hakim.

(34)

memeriksa perkara menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh terdakwa atau saksi dan mereka tidak bebas memberikan jawaban, dapat berakibat putusan batal demi hukum (Hilman Hadikusuma, 1983: 145).

3. Peranan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat lain, ia harus benar-benar menguasai hukum sesuai dengan sistem yang dianut di Indonesia dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, Hakim harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak Terdakwa yang diwakili oleh Penasehat Hukum untuk bertanya pada saksi-saksi begitu pula Penuntut Umum. Semua itu dimaksudkan untuk menemukan kebenaran materil dan pada akhirnya Hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya (Andi Hamzah, 1996: 101).

Ada lima hal yang menjadi tanggung jawab Hakim (Nanda Agung Dewantoro 1987: 149) yaitu :

a. Justisialis Hukum; yang dimaksud justisialis adalah meng-adilkan. Jadi putusan hakim yang dalam prakteknya memperhitungkan kemanfaatan doel matigheid perlu di-adilkan. Makna dari hukum de zin van het recht terletak dalam gerechtigheid keadilan. Tiap putusan yang diambil dan dijatuhkan dan berjiwa keadilan, sebab itu adalah tanggung jawab jurist yang terletak dalam justisialisasi dari pada hukum.

b. Penjiwaan Hukum; dalam berhukum recht doen tidak boleh merosot menjadi suatu adat yang hampa tanpa berjiwa, melainkan harus senantiasa diresapi oleh jiwa untuk berhukum. Jadi Hakim harus memperkuat hukum dan harus tampak sebagai pembela hukum dalam memberi putusan.

c. Pengintegrasian Hukum; hukum perlu senantiasa sadar bahwa hukum dalam kasus tertentu merupakan ungkapan dari pada hukum pada umumnya. Oleh karena itu putusan Hakim pada kasus tertentu tidak hanya perlu diadakan dan dijiwakan melainkan perlu diintegrasikan dalam sistem hukum yang sedang berkembang oleh perundang-undangan, peradilan, dan kebiasaan. Perlu dijaga supaya putusan hukum dapat diintegrasikan dalam hukum positif sehingga semua usaha berhukum senantiasa menuju ke pemulihan pada posisi asli restitutio in integrum.

(35)

kepada Hakim agar keputusannya menperhitungkan situasi dan pengaruh kenyataan sosial-ekonomis.

e. Personalisasi Hukum; personalisasi hukum ini mengkhususkan keputusan kepada personal (kepribadian) dari para pihak yang mencari keadilan dalam proses. Perlu diingat dan disadari bahwa mereka yang berperkara adalah manusia sebagai pribadi yang memepunyai keluhuran. Dalam personalisasi hukum ini memunculkan tanggung jawab Hakim sebagai pengayom (pelindung), disini Hakim dipanggil untuk bisa memberikan pengayoman kepada manusia-manusia yang wajib dipandangnya sebagai pribadi yang mencari keadilan.

Ketika Hakim dihadapakan pada suatu perkara, dalam dirinya berlangsung suatu proses pemikiran untuk kemudian memberikan putusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :

1. keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya;

2. keputusan mengenai hukumannya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah serta dapat dipidana;

3. keputusan mengenai pidananya, yaitu terdakwa memang dapat dipidana. (Soedarto, 1981 : 74)

Sebelum menjatuhkan putusan, Hakim akan menilai dengan arif dan bijaksana serta penuh kecermatan kekuatan pembuktian dari pemeriksaan dan kesaksian dalam sidang pengadilan (Pasal 188 ayat (3) KUHAP), sesudah itu Hakim akan mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan yang didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang.

(36)

dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya (Pasal 182 ayat (2) sampai (5) KUHAP).

Bila dalam pelaksaanaan musyawarah tersebut tidak tercapai mufakat maka keputusan diambil dengan suara terbanyak, apabila tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan bagi Terdakwa. Pelaksanaan putusan ini dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut rahasia sifatnya.

Terdakwa akan diputus bebas jika pengadilan berpendapat bahwa dari pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Terdakwa akan dituntut lepas dari segala tuntutan hukum apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Tetapi jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).

D. Tugas dan Wewenang Jaksa

(37)

padu, yaitu perkara mengenai kepentingan perseorangan yang tidak dapat lagi didamaikan secara kekeluargaan oleh Hakim desa setempat (Tresna, 1977: 15 dalam Hilman Hadikusuma, 1983: 169). Di masa sekarang istilah Jaksa hanya dipakai untuk perkara pidana tidak lagi untuk perkara perdata.

Menurut KUHAP Jaksa adalah pejabat yang diberikan wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Jadi Jaksa sebagai penuntut umum berwenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (Pasal 1 ayat (6) jo Pasal 13 KUHAP).

Jaksa sebagai penuntut umum berwenang untuk menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu, mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan, memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan setelah perkara dilimpahkan oleh penyidik, membuat surat dakwaan, melimpahkan perkara ke pengadilan, menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada hari sidang yang telah ditentukan, melaksanakan penuntutan, menutup perkara, mengadakan tindakan lain; dan melaksanakan penetapan Hakim (Pasal 14 KUHAP).

(38)

Dalam melaksanakan penuntutan maka Jaksa setelah menerima hasil penyidikan dari Polisi selaku penyidik segera mempelajari dan menelitinya serta dalam waktu tujuh hari wajib memberi tahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum. Jika belum lengkap berkas perkaranya dikembalikan kepada penyidik, yang dalam waktu 14 hari telah dikembalikan lagi kepada Jaksa penuntut umum (Pasal 138 KUHAP).

Berkas perkara yang telah memenuhi persyaratan dalam waktu secepatnya dibuatkan surat dakwaan untuk dilimpahkan ke pengadilan. Surat dakwaan itu diberi tanggal dan ditandatangani serta diberi nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan tersangka. Surat dakwaan itu harus menguraikan secara jelas tentang tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat dilakukan, jika tidak demikian maka surat dakwaan itu batal demi hukum.

Setelah Jaksa selesai dengan surat dakwaan maka perkara tersebut dapat dilimpahkan dengan surat dakwaan disampaikan pula kepada tersangka atau kuasanya atau penasehat hukumnya serta penyidik. Surat dakwaan itu masih dapat dirubah selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang pengadilan dimulai, turunan perubahan itu juga disampaikan kapada tersangka, penasehat hukumnya dan penyidik (Pasal 143-144 KUHAP).

(39)

1. Menentukan Unsur

Rumusan tindak pidana yang terdapat didalam KUHP khususnya dalam Buku Ke-II adalah mengandung maksud agar diketahui dengan jelas bentuk perbuatan tindak pidana yang dilarang. Untuk mengetahui maksud rumusan tersebut, perlu ditentukan unsur-unsur atau syarat-syarat yang terdapat didalam rumusan tindak pidana itu. Dalam Pasal 335 Ayat (1) KUHP :

(1) “diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah” ;

ke-1 “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang

tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”.

Rumusan tindak pidana didalam pasal ini menentukan unsur-unsur antara lain sebagai berikut :

1. Barang siapa, dalam hal ini orang atau pelaku tindak pidana.

2. Dengan melawan hukum memaksa orang untuk :

a. Melakukan sesuatu

b. Tidak melakukan sesuatu

c. Membiarkan sesuatu

3. Paksaan itu dilakukan dengan memakai :

a. Kekerasan

(40)

c. Perlakuan yang tak menyenangkan, atau

d. Ancaman kekerasan

e. Ancama sesuatu perbuatan lain

f. Ancaman perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu maupun orang lain.

2. Menurut Ilmu Pengetahuan dan Praktek Peradilan

Apabila rumusan pasal tindak pidana tidak mungkin ditentuka unsur-unsurnya, maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan kepada Ilmu Pengetahuan dan Praktek Peradilan. Misalnya pada tindak pidana penganiayaan, yang terdapat

dalam Pasal 351 Ayat (1) KUHP yang berbunyi “Penganiayaan diancam dengan

pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga

ratus rupiah”.

Rumusan dalam pasal tersebut adalah rumusan umum, batas-batasnya tidak ditentukan dalam rumusan itu dan dalam KUHP tidak dijelaskan apa arti dari penganiayaan itu sendiri, maka dari itu ilmu pengetahuan telah menetapkan bahwa arti dari penganiayaan adalah dengan sengaja menimbulkan nestapa (leed) atau rasa sakit pada orang lain.

3. Menentukan Kualifikasi

(41)

memenuhi unsur penadahan, seperti yang diatur dalam Pasal 480 KUHP, namun karena kualifikasi kejahatan sebagai pencuri, maka ia tetap melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian dan bukan selaku penadah.

Menentukan atau menerangkan makna atau arti dari suatu kata atau suatu rumusan dalam Undang-undang, dikenal juga dengan istilah interpretasi atau yang secara

umum disebut dengan “penafsiran”. Dalam menginterpretasikan peru ndang-undangan, dikenal dengan beberapa metode, yang antara lain dijelaskan sebagai berikut :

a. Metode Gramatika atau Tata Bahasa.

Menurut metode ini, kata dalam rumusan perundang-undangan ditafsirkan berdasarkan pemakaian bahasa sehari-hari atau pemakaian sebagai istilah. Jika arti kata dalam rumusan perundang-undangan telah jelas, maka arti kata tersebut tidak boleh disimpangi.

b. Metode Sistematika.

(42)

c. Metode Historis.

Menurut metode ini, makna suatu kata dalam rumusan undang-undang dapat diketahui dengan menelusuri sejarah pembentukan undang-undang tersebut, terutama dari pembahasannya pada saat pembentukannya.

d. Metode Teleologis.

Menurut metode ini, penafsiran kata dalam rumusan suatu undang-undang dilakukan dengan meneliti maksud pembentukan undang-undang tersebut dan keadaan masyarakat pada saat pembentukannya, sehingga dapat diketahui mengapa pada saat itu undang-undang tersebut dibutuhkan. Dengan demikian, dapat diketahui maksud dan tujuan pembentukannya.

e. Metode Analogi.

(43)

Selain metode-metode penafsiran diatas, maka dikenal suatu metode yang mirip dengan metode anologi, yaitu penafsiran “a contrario”, suatu penafsiran dengan cara berpikir secara kebalikannya.

E. Pemidanaan

Mengenai unsur-unsur tindak pidana (pemidanaan), pendapat Sudarto yang dikutif oleh Heni Siswanto juga mengemukakan suatu pendapat mengenai hal itu yang digambarkan dalam suatu skema, (lihat skema dibawah)

Syarat pemidanaan Pidana

Perbuatan Orang

1. memenuhi rumusan UU 3. kesalahan/pertang- 2. bersifat melawan hukum gungjawaban (tidak ada alasan pembenar) a. Mampu bertang-

gungjawab b. dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf)

(Heni Siswanto, 2005 : 36)

Perlu diperhatikan menurut Sudarto mengenai unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan diatas. Meski berbeda pandangan dalam merumuskan hal tersebut antara yang satu dengan yang lainnya, namun hendaknya memegang pendirian itu secara konsekwen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian dan pasti bagi orang lain. Mengenai istilah perbuatan pidana atau tindak pidana, yakni meskipun kata

(44)

suatu peristiwa dengan perbedaan bahwa tidak ada kelakuan, tingkahlaku, gerakan, atau gerak-gerik dari sikap jasmani seseorang, melainkan sering kali lebih dikenal sebagai tindak-tanduk, tindakan dan bertindak, yang belakangan

dipakai dengan kata “bertindak”. Karena itu “tindak” tidak begitu dikenal dalam perundang-undangan namun digunakan atau dikenal dalam pasalnya sendiri, begitu juga penjelasan kata perbuatan. Istilah “perbuatan pidana” tindak pidana dan sebagainya, sama dengan istilah belanda “strafbaarfeit”.

Jika melihat pengertian-pengertian dibawah ini, maka pada intinya kedua istilah tersebut, adalah :

a. Bahwa perbuatan dalam pidana berarti kelakuan atau tingkahlaku. Berbeda dengan pengertian perbuatan dalam perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah kelakuan atau kejadian yang timbul oleh kelakuan atau dengan kata lain sama dengan kelakuan dan akibat, bukan kelakuan saja. Sebetulnya bahwa perbuatan pidana itu sendiri terdiri dari kelakuan dan akibat.

(45)

c. Kelakuan dan akibat

d. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. Hal ikhwal yang disebut oleh Van Hamel dibagi menjadi 2 golongan:

1. yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan. 2. yang mengenai hal-hal diluar si pembuat.

e. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

f. Unsur melawan hukum yang objektif sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung pada apa yang diperbuat atau suatu perbuatan yang dilakukan. g. Unsur melawan hukum yang subjektif yaitu sifat melawan hukumnya

perbuatan tergantung dari pada bagaimana sikap batin terdakwa.

Kemudian ada beberapa macam istilah mengenai tindak pidana yang dipergunakan oleh para pakar/sarjana hukum pidana indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang. Pada dasarnya kesemua istilah itu secara harafiah

merupakan terjemahan dari bahasa Belanda ”strafbaarfeit”. Adapun istilah-istilah tindak pidana yang dipakai, yaitu :

1. Strafbaarfeit; 2. Delik (delic);

3. Peristiwa pidana (pendapat E. Utrech); 4. Perbuatan pidana (pendapat Moeljatno); 5. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum; 6. Hal yang diancam dengan hukum;

(46)

8. Tindak pidana (merupakan pendapat Sudarto dan diikuti oleh pembentuk

undang-undang sampai sekarang). (Tri Andrisman, 2006 : 52)

1. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana Menurut Para pakar

Tindak pidana merupakan dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud secara in-abstracto dalam peraturan pidana. Mengenai pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) para sarjana hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda. Adapun beberapa pengertian dari para sarjana hukum mengenai tindak pidana, yaitu sebagai berikut :

a. Van Hamel

Tindak pidana adalah ”kelakuaan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan

kesalahan”.

b. Simons

Tindak pidana ialah ”kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang

dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”.

c. Wirjono Prodjodikoro

(47)

d. Moeljatno

Perbuatan pidana (tindak pidana – pen) adalah ”perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.

e. Pompe

Memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh

peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

(Tri Andrisman, 2006 : 53-54)

Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar diatas, dapat diketahui bahwa pada tataran teoritis tidak adanya kesatuan pendapat diantara para pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana. Dalam memberikan definisi mengenai pengertian tindak pidana terlihat terbagi dalam 2 (dua) pandangan/aliran, baik Aliran Monistis maupun Aliran Dualistis yang saling bertolak belakang.

(48)

pakar itu pun terdapat perbedaan pandangan, baik dari Pandangan/Aliran Monistis dan Pandangan/Aliran Dualistis.

Menurut Aliran Monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana maka sudah dapat dipidana. Sedangkan Aliran Dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana.

Menurut pakar hukum Simon, seorang penganut Aliran Monistis dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

1. Perbuatan hukum (positif/negatif; berbuat/tidak berbuat atau membiarkan); 2. Diancam dengan pidana;

3. Melawan hukum;

4. Dilakukan dengan kesalahan;

5. Orang yang mampu bertanggungjawab.

(Sudarto dalam Tri Andrisman, 2006 : 55)

Sedangkan menurut pakar hukum Moeljatno, seorang penganut Aliran Dualistis merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut:

1. Perbuatan (manusia);

2. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil); 3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materil).

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman Tri. 2007 Buku Ajar Sistem Peradilan Indonesia. Fakultas hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sapta Artha Jaya. Jakarta. _____________2005, KUHP dan KUHAP. PT. Rineka Cipta: Jakarta.

Siswanto, Heni.2007. Delik tertentu dalam KUHP Fakultas hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Soerjono. Soekanto 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press: Jakarta.

Tresna, R. 1975. Asas-Asas Hukum Pidana. Pradnya Paramita. Jakarta.

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung,,2005, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2007. Buku Ajar Sistem Peradilan Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bandar lampung.

Muladi dan Barda Nawawi A. 2001. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Siswanto, Heni. 2007. Delik tertentu dalam KUHP. Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bandar lampung.

Tresna, R. 1975. Asas-Asas Hukum Pidana. Pradnya Paramita. Jakarta.

________________ Asas-asas dan dasar aturan umum hukum pidana Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bandar lampung.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

(51)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penulis menggunakan dua pandekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dalam menyusun skripsi ini, untuk menganalisis konsekwensi yuridis terhadap putusan pemidanaan tanpa memuat perintah penahanan.

Pendekatan Normatif adalah menelaah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan pendidikan hukum tertulis. Pendekatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari berbagia hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas hukum konsepsi, pandangan peraturan hukum serta sistem hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Adapun pendekatan empiris dengan menelaah hukum dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian di lapangan untuk melihat fakta-fakta yang berkaitan dengan hukum pembuktian

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Data Primer

(52)

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari bahan kepustakaan (soerjono soekanto, 1986 : 52) dengan cara menelusuri literatur yang berhubungan dengan masalah yang sesuai dengan pokok- pokok permasalahan yang terdapat pada skripsi ini yaitu konsekwensi yuridis terhadap putusan pemidanaan tanpa memuat perintah penahanan.

a. Bahan hukum primer, yaitu :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 3. UU No.4/2004 jo UU No.48 Th.2008

4. UU No.3/1997

b. Bahan hukum sekunder, meliputi :

Bahan-bahan yang memberikan penjelasan serta sebagai penunjang bahan hukum primer seperti literatur- literatur ilmu pengetahuan hukum dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

c. Data Hukum Tersier

(53)

C. Penentuan Populasi dan Sampel 1. Penentuan Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan objek pemeliharaan yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwa (bagai sumber data yang dimiliki, karakteristik tertentu didalam suatu penelitian), sedangkan sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu (Hadari Nawawi : 1987 : 144), Populasi adalah jumlah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau pristiwa-pristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik didalam suatu penelitian. Untuk penulisan skripsi ini penulis mengambil populasi penelitian yang ada kaitannya dengan masalah-masalah yang dibahas. Adapun populasi dalam penelitian bertempat di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.

2. Penentuan Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu (Hadari Nawawi, 1987: 141).

(54)

a. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang b. Jaksa pada kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang c. SAT SERSE Reskrim Poltabes Bandar Lampung : 1 orang d. Dosen bagian hukum Fakultas Hukum UNILA : 1 orang

Jumlah : 4 orang

A. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, adalah sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan ini dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, mengutip, menelaah, serta mempelajari dan merangkum data yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang berasal dari peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan penelitian ini.

b. Studi Lapangan

(55)

2. Metode Pengolahan Data

Setelah data yang dikehendaki terkumpul, baik data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dan studi lapangan. Maka data yang telah diperoleh tersebut diolah melalui prosedur sebagai berikut:

a. Editing dan evaluating, dalam hal ini data yang masuk akan diperiksa kelengkapannya, kejelasannya, serta relavansinya dengan penelitian. Kemudian memeriksa dan meneliti data tersebut guna memberikan penilaian apakah data tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

b. Klasifikasi data, yakni menempatkan data sesuai dengan kelomnpok-kelompok yang telah ditetapkan dalam bagian-bagian pada pokok bahasan yang akan dibahas.

(56)

E. Analisis Data

(57)

ABSTRAK

Aktivitas hukum sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah tindakan

disebut perbuatan hukum jika mempunyai akibat yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau diakui oleh negara. Hukum atau ilmu

hukum sendiri adalah suatu sistem aturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas melalui lembaga atau institusi hukum. Banyak sekali dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, mulai dari yang ringan hingga yang berat khususnya di Kota Bandar Lampung yang merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. konskwensi yuridis terhadap putusan pemidanaan tanpa memuat perintah penahanan. tidak hanya berfokus pada yuridis normatif semata, melainkan perlu kebijakan yang integral komprehensif dari berbagai kondisi sosial lainnya. Dengan maksud adalah untuk mengungkapkan beberapa kasus tindak pidana yang di putuskan oleh seorang hakim tanpa adanya surat perintah penahanan. Hal i i de i kebijaka pe egaka huku atau law enforcement sehi gga tindak pidana yang dilakukan dan diproses dalam aturan hukum pidana Indonesia yaitu KUHAP memiliki unsur pemidanaan akan tetapi tidak memuat perintah penahanan.

(58)

konsekwensi yuridis terhadap putusan pemidanaan tanpa memuat perintah penahanan. adalah 1). Pertimbangan atas pengambilan keputusan dengan pertimbangan terhadap aturan hukum yang berlaku sesuai dengan kebijakan keputusan yang di putuskan seorang hakim tentang permasalahan tentang mengapa tidak dilakukan tindak penahanan. Hal ini dikarenakan tersangka tersebut masih di bawah umur dan berdasarkan Pasal 67 Undang- Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Perlindungan Anak. 2). Konsekwensi yuridis hakim terhadap putusan dipersidangan bagi terdakwa yang tidak dilakukan perintah penahanan mengakibatkan keputusan yang diambil hakim tersebut disebabkan karena faktor usia pelaku yang masih dibawah umur dan bukan Karena ketetapan peraturan perundang undangan yang berlaku.

(59)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Karakteristik diuraikan oleh penulis dalam rangka memberikan gambaran jelas mengenai karakteristik responden yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian lapangan (Field Research). Penentuan responden didasari pertimbangan bahwa responden berkompeten, sehingga keterangan yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan secara legal. Adapun responden yang diwawancarai dalam penelitian sebagai berikut:

1. Nama : Sri Widiastuti, S.H., K.N.

Umur : 49 Tahun

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang

2. Nama : Andi Marpaung

Umur : 38 Tahun Pendidikan : S1

(60)

3. Nama : Heni Siswanto, SH., M.H

Umur : 46 Tahun Pendidikan : S2

Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum UNILA bagian Pidana 4. Nama : Adriana. S, SH.

Umur : 29 Tahun Pendidikan : S1

Pekerjaan : Jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

B. Dasar pertimbangan hakim dan Dasar penilaian hakim untuk tidak menahan seorang terdakwa yang di putus bersalah

(61)

belaka dan mengabaikan kebijakan non penal. Sehubungan dengan kebijakan penal dalam (ius constitutum dan ius operatum) untuk penanggulangan anak nakal di Indonesia, ternyata masih menimbulkan permasalah dalam perlindungan terhadap anak. Telah terhadap hukum positif yang terkait dengan anak nakal adalah meliputi pengaturan yang tersebar dalam undang-undang pidana yang mengatur masalah anak, yaitu Pasal 45, 46, dan 47 KUHP, Pasal 50 s/d 68 KUHAP selaian Pasal 64 KUHAP. UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Keppres No.36 tahun 1990 tentang pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak, dan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 16,17, 59, 64 Anak baik secara fisik maupun mental membutuhkan perlindungan serta perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum sebelum maupun sesudah mereka dilahirkan.

(62)

Majelis Umum PPB menghimbau agar pemerintah negara-negara untuk mengakui mengakui dan memperjuangkan pelaksanaan hak-hak anak melaui undang-undang maupun peraturan lainnya yang sesuai dengan asas-asas perlindungan terhadap hak-hak anak. UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dibuat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan perlindungan khusus kepentingan hukum anak yang terlibat tindak pidana, yang sebelumnya dalam perundang-undangan yang ada dirasa tidak banyak memberikan perlindungan terhadap anak baik secara fisik maupun mental.

(63)

KUHP secara expresis verbis dinyatakan tidak berlaku lagi oleh ketentuan Pasal 67 UU No.3 Tahun 1997.

Karena UU No. 3 Tahun 1997 hanya menyatakan, bahwa Pasal 45 s/d 47 KUHP

saja yang “dinyatakan tidak berlaku”. Ini berarti, secara juridis pasal-Pasal lain di

dalam KUHP tetap berlaku, antara lain ketentuan tentang “pidana” (Psl. 10 s/d 43), termasuk di dalam-nya tentang “strafmodus” (seperti “pidana bersyarat” dan

pelepasan bersyarat”), ketentuan tentang “percobaan” (Psl. 53 dan 54), tentang “penyertaan” (Psl. 55-56 dst.), tentang “concursus”, “alasan penghapus pidana”,

“alasan hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana” dsb.

Bahkan aturan khusus di dalam Buku II dan III KUHP juga masih berlaku untuk anak, termasuk di dalamnya ketentuan tentang “pengulangan” (recidive).Sebagian besar ketentuan KUHP tetap berlaku, karena ketentuan-ketentuan itu memang tidak diatur di dalam UU No. 3/1997 dan juga tidak ada ketentuan di dalam

“Ketentuan Peralihan” (Bab VII) maupun dalam “Ketentuan Penutup” (Bab VIII)

(64)

ide/filosofi pidana bersyarat sebagai salah satu bentuk alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan atau sebagai salah satu bentuk “non-custodial measures”, dan juga sebagai salah satu bentuk “strafmodus”, maka seharusnya juga dapat diberikan untuk pidana kurungan dan jenis-jenis pidana lainnya. Dengan kata lain, peluang untuk memberikan pidana bersyarat kepada anak itu seharusnya lebih diperbesar sesuai dengan ide dibuatnya ketentuan pidana khusus untuk anak serta amanat pada konsiderans UU No.3/1997 itu sendiri. Dirasakan janggal, kalau terhadap orang dewasa saja peluang yang lebih besar itu tersedia (seperti yang diatur dalam KUHP), sedangkan peluang untuk anak dipersempit. Disisi lain beberapa formulasi ketentuan hukum ajektif dari UU No.3/1997 telah menentukan sendiri mengenai batas-batas yang menjadi kompetensi khusus dalam mengadili anak, yaitu:

1. Pembatasan umur orang yang dapat diperiksa tahap penyidikan hingga

disidangkan dalam acara persidangan anak, yaitu berumur kurang dari 8 tahun hingga 18 tahun, sebagaimana diatur Pasal 1 butir 1 dan Pasal 4 ayat (1) UU No.3/1997.

2. Kekhususan dari ruang lingkup pembatasan yang masuk kompetensi dalam perkara anak nakal ditentukan Pasal 1 ayat 2.

3. Kekhususan aparat penegak hukum yang menangani perkara anak nakal, mulai ditingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan, sebagaimana ditentukan Pasal 1 ayat 5, 6, dan 7.

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan tehnologi informasí yang semakin cepat, temyata belum seluruhnya dimanfaatkan, dan masih banyak proses transaksi penjualan dan pembelí an yang dilakukan secara

In the process, the final project of digital image system was implemented to capture object pixels from the camera to the captured object, and then compared with the distance of

Menambah data empiris tentang pengaruh sistem pembiayaan kesehatan terhadap persepsi kualitas pelayanan pasien rawat inap di Rumah Sakit Medika Mulya Wonogiri. Data yang

produksi dapat menghasilkan produk dengan kualitas yang diinginkan dengan.. biaya yang serendah

Sebagaimana telah dijelaskan pada aspek peluang usaha dan keterkaitan dengan produk lain termasuk perolehan bahan baku berupa biji pepaya yang terdapat di wilayah

[r]

The Russian Federation has the biggest number of casinos and slot machines in Eastern Europe. The best casinos for tourists are obviously the ones located in hotels. Casino Metropol

The results revealed that the hypothesis testing for this study is acceptable because STAD is a more effective teaching technique compared to the traditional lecture method in