• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Emisi CO2 Berdasarkan Kedalaman Drainase Akibat Alih Guna Lahan. (Studi Kasus: Daerah Eks Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar, Kalimantan Tengah).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Emisi CO2 Berdasarkan Kedalaman Drainase Akibat Alih Guna Lahan. (Studi Kasus: Daerah Eks Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar, Kalimantan Tengah)."

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENDUGAAN EMISI KARBON DIOKSIDA BERDASARKAN

KEDALAMAN DRAINASE AKIBAT ALIH GUNA LAHAN

(STUDI KASUS : DAERAH EKS PROYEK LAHAN GAMBUT SEJUTA

HEKTAR, KALIMANTAN TENGAH)

Stevanus Budi Santoso

G24051647

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

ABSTRAK

STEVANUS BUDI SANTOSO. PendugaanEmisi CO2 Berdasarkan Kedalaman Drainase Akibat Alih Guna Lahan. (Daerah Eks Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar, Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh: DANIEL MURDIYARSO.

Proyek Lahan gambut Sejuta Hektar yang dilaksanakan di awal tahun 1990an direncanakan untuk membangun pemukiman transmigrasi dan lahan budidaya padi sawah. Pelaksanaannya melibatkan deforestatsi hutan rawa gambut yang luas dan pembuatan jaringan saluran drainase yang besar. Proses ini telah mengakibatkan hilangnya cadangan karbon, oksidasi tanah organik / gambut, emisi CO2 dan penurunan permukaanl ahan gambut ketika tinggi muka air mengalamipenurunan. Dalam beberapa hal drainase juga diikuti kebakaran sehingga menyebabkan emisi gas rumah kaca yang lebih besar lagi. Pendugaan emisi CO2untuk seluruh areal proyek dilakukan dengan skenario perubahan tutupan lahan dan penurunan tinggi muka air. Skenario perubahan penutupan lahan didasarkan pada perubahan yang terjadi antara 2003 sampai 2006 dan menggunakan persamaan regresi logistik untuk menentukan peubah yang secara nyata paling menentukan. Delapan peubah bebas yang dipilih adalah persen lahan yang terbakar, tinggi muka air, laju deforestasi, persen lahan untuk HTI, nilai ekonomi sektor unggulan, kepadatan penduduk, jarak titik api dari pemukiman, dan jarak titik api dari sungai. Dari tabulasi silang perubahan tutupan lahan 2003-2006 diperoleh 33 persamaan regresi logistik. Dua puluh diantaranya memiliki koefisien determinasi (R2) lebih dari 50% dan 13 sisanya memiliki R2 kurang dari 50%. Berdasarkan uji F ditunjukkan bahwa peubah bebas mempengaruhi perubahan tutupan lahan secara nyata dengan tingkat kepercayaan 95%. Selanjutnya, uji kepekaan menunjukkan bahwa 72% dari tipetutupan lahan dan luasan dugaan sesuai dengan tipe dan luasan pengamatan. Persamaan tersebut kemudian digunakan untuk menduga tutupan lahan pada tahun 2020. Emisi CO2 diduga dari hutan rawa gambut primer, sekunder, semak belukar, dan tanaman pertanian yang tumbuh di lahan gambut yang didrainase dan yang tidak didrainase dengan menggunakan model drainase Hooijer et al. (2006) dan model dugaan eksperimental yang dikemukakan oleh Jauhiainen et al. (2001, 2004, and 2005). Emisi CO2 dari seluruh kawasan Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,80 juta ton CO2/ha/yr jika didrainase, tetapi jika tetap tergenang emisinya adalah 15,14 juta ton CO2/ha/th. Model drainase memberikan dugaan sebesar 17,65 juta ton CO2/ha/th.

Keywords: perubahan tata guna lahan, ekosistem lahan gambut, timggi muka air, emisi CO2s, regresi logistik.

(3)

iii

ABSTRACT

STEVANUS BUDI SANTOSO. Estimates of CO2 emissions based on water table depth changes and land-use change: a case study in ex-Mega Rice Project, Central Kalimantan. Supervised by: DANIELMURDIYARSO.

Mega Rice Project in Central Kalimantan which was implemented in early 1990s was meant for human settlement and rice cultivation. It involved extensive deforestation of peat swamp forests and draining of peatlands by means of massive network of canal drainage. These resulted in loss of carbon stocks, peat oxidation, CO2 emissions, and peat subsidence as water

table depth (WTD) decreased. In some cases peat fires was inevitable causing further emission of greenhouse gases. Estimates of whole system emissions of CO2 were carried out using

land-cover and WTD scenarios. Land-land-cover change scenario was based on chronological land-land-cover in 2003 and 2006 and logistic regression approach was employed to determine the significance of affecting variables. Eight variables selected were percent of forest fire, WTD, deforestation rate, percent of area used for forest plantation, economic value of key commodity, population density, distance of hot spots from to settlement and to river. From the crossed-tabulated land-cover change during 2003-2006 it was derived 33 logistic regression equations, 20 of which have coefficient of determination (R2) more than 50% and the remaining 13 equations have R2 less than 50%. Based on a series of F-test it was found that the independence variables significantly affect land-cover change at confidence level of 95%. Furthermore, the sensitive test was conducted, which demonstrates that 72% of spatially explicit predicted land cover is an agreement with the observed ones. The equations were then used to predict the likely land -cover in 2020 Emission of CO2 is predicted from drained and undrained primary forest, secondary

forest, shrub vegetation and agricultural crops growing on peatlands based on the drainage model derived by Hooijeret al. (2006) and experimental-based estimates proposed by Jauhiainen et al. (2001, 2004, and 2005). It was demonstrated that CO2 emissions from the

whole system of ex-Mega Rice Project in 2020 using experimental model was28.80Mt CO2/ha/yrwhen drained and only15.14 Mt CO2/ha/yr if the landscape was not drained. The

drainage model gave much less estimate of 17.65 Mt CO2/ha/yr.

Keywords:land-cover change, peatland ecosystems, water table depth (WTD), CO2emissions,

(4)

iv

RINGKASAN

STEVANUS BUDI SANTOSO. Peendugaan Emisi CO2 Berdasarkan Kedalaman Drainase Akibat Alih Guna Lahan. ( Daerah Eks Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar, Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh DANIEL MURDIYARSO.

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai hutan gambut tropis terluas di dunia. Fungsi hutan gambut terutama di daerah tropis sangat penting, yaitu selain untuk menjaga keanekaragaman hayati juga menjaga keseimbangan siklus hidrologi dan keseimbangan siklus karbon. Pada kenyataanya, kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengejar target menjadi negara swasembada beras telah mengesampingkan keseimbangan ekosistem hutan gambut. Proyek lahan gambut satu juta hektar di kalimntan Tengah yang dimulai pada tahun 1996, telah menyebabkan kerusakan eksosistem hutan gambut hingga saat ini. Pembuatan saluran-saluran drainase dilakukan untuk menopang sistem pertanian pada lahan gambut agar tanaman-tanaman yang bukan asli ekosistem lahan gambut dapat dibudidayakan. Hal ini diperparah dengan adanya kegiatan penebangan hutan secara legal maupun illegal. Pembuatan saluran drainase pada lahan gambut mengakibatkan kerusakan ekosistem lahan gambut yang lebih besar seperti turunnya permukaan lahan gambut (subsidensi), turunnya tinggi permukaan air, kebakaran hutan akibat kondisi lahan gambut yang tidak jenuh air, perubahan tata guna lahan, serta emisi CO2. Studi ini bertujuan untuk mengetahui potensi pengurangan emisi CO2 yang demisikan dari lahan gambut yang didrainase dengan yang tidak didrainase pada daerah tersebut (terutama blok C dan D) berdasarkan emisi CO2 Jauhiainen et al .(2001), Jauhiainen et al. (2004). dan Jauhiainen et al. (2005). Nilai emisi CO2 Jauhiainen et al. (2001, 2004. 2005) digunakan karena nilai emisi tersebut dapat mewakili jenis tutupan lahan pada daerah kajian dan memang penelitian emisi CO2 dari CO2 Jauhiainen et al. (2001, 2004. 2005) dilakukan di wilayah Kalimantan Tengah. Data yang digunakan untuk menghitung potensi pengurangan emisi CO2 adalah peta digital tutupan lahan tahun 2003 dan 2006 yang diperoleh dari Badan Planologi Kehutanan. Dari peta tutupan lahan tahun 2003 dan 2006 dilakukan proyeksi untuk tahun 2020 atas dasar target penurunan emisi CO2 oleh Pemerintah Indonesia sebesar 26% pada tahun 2020. Proyeksi peta tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan analisis regresi logistik biner, dengan variabel tak bebas adalah nilai kontinyu antara 0 ( tidak terjadi perubahan lahan) dan 1 (terjadi perubahan lahan). Sedangkan variabel bebas yang digunakan yaitu laju deforestasi, sektor unggulan perekonomian daerah, persentase luas hutan yang diberi ijin menjadi HTI (hutan tanaman industri), kedalaman saluran drainase, persentase kebakaran, kepadatan penduduk, jarak ke sungai utama, dan jarak ke permukiman.

Untuk mengetahui variasi perubahan jenis tutupan lahan dari peta tutupan lahan tahun 2003 dan tahun 2006, maka terlebih dahulu dilakukan tabulasi silang antara kedua data tersebut. Dari hasil tabulasi silang, dihasilkan 33 variasi perubahan jenis tutupan lahan yang berarti bahwa, terdapat 33 persamaan regresi logistik yang digunakan untuk memproyeksikan tutupan lahan tahun 2020. Validasi persamaan regresi logistik menggunakan uji-t ( uji pengaruh variabel bebas secara keseluruhan terhadap variabel tak bebas) pada taraf nyata 5% dan nilai koefisien determinasi (Nagelkerke –Square) untuk mengukur proporsi varian di dalam variable tak bebas yang dijelaskan oleh variabel bebas. Selain itu juga dilakukan validasi terhadap luasan tiap jenis tutupan lahan dari peta hasil proyeksi terhadap peta observasi (data observasi Badan Planologi Departemen Kehutanan) menggunakan nilai ketelitian hasil proyeksi, nilai koefisien korelasi, dan nilai MAE (Mean Absolute Error).

Dari hasil validasi persamaan regresi logistik, uji-t menghasilkan bahwa seluruh variabel bebas untuk tiap persamaan regresi logistik signifikan terhadap variabel tak bebas. Dari 33 persamaan regresi logistik, 20 persamaan regresi logistik mempunyai nilai R2 di atas 50%, dan 13 persamaan lainnya mempunyai nilai R2 di bawah 50%. Untuk validasi luasan tiap jenis tutupan lahan menghasilkan bahwa nilai ketelitian peta hasil proyeksi terhadap peta observasi sebesar 72.03%, nilai koefisien korelasi sebesar 97.9%, dan nilai MAE sebesar 1.59%

(5)

v

skenario B (hutan rawa primer dan sekunder yang tidak didrainase) untuk setiap tahun proyeksi (tahun 2020). Jenis tutupan lahan yang dihitung nilai emisinya yaitu hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, sawah, pertanian lahan kering, perkebunan, semak belukar, dan rawa. Perhitungan emisi CO2 dari daerah kajian meliputi data tahun 2003 dan 2006 (data observasi Badan Planologi Departemen Kehutanan) serta tahun 2020 (hasil proyeksi). Dari hasil penerapan dua skenario tersebut terlihat bahwa terdapat potensi pengurangan emisi CO2 dari daerah kajian. Hasil perhitungan emisi CO2 Berdasarkan Hooijer et al. (2006) untuk skenario A pada tahun 2003, 2006, dan 2020, secara berturut-turut adalah 30.55 x 106 ton/tahun, 35.29 x 106 ton/tahun, dan 28.80 x 106 ton/tahun. Berdasarkan skenario B secara berturut-turut untuk tahun 2003. 2006, dan 2020 dihasilkan emisi CO2 sebesar 20.89 x 10

6

ton/tahun, 21.02 x 106 ton/tahun, dan 15.15 x 106 ton/tahun.

(6)

vi

PENDUGAAN EMISI KARBON DIOKSIDA BERDASARKAN

KEDALAMAN DRAINASE AKIBAT ALIH GUNA LAHAN

(STUDI KASUS : DAERAH EKS PROYEK LAHAN GAMBUT SEJUTA

HEKTAR, KALIMANTAN TENGAH)

STEVANUS BUDI SANTOSO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)

vii

Judul Skripsi

:

Pendugaan Emisi CO2 Berdasarkan Kedalaman Drainase Akibat Alih Guna Lahan. (Studi Kasus: Daerah Eks Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar, Kalimantan Tengah).

Nama

: Stevanus Budi Santoso

NIM

: G24051647

Menyetujui:

Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso

NIP. 19550910 197903 1003

Mengetahui :

Ketua Departemen

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

NIP. 19600305 198703 2 002

(8)

viii

PRAKATA

Puji dan Syukur saya haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pendugaan Emisi Karbon Dioksida Berdasarkan Kedalaman Drainase Dari Hasil Alih Guna Lahan (Studi Kasus : Daerah Eks ProyekLahan Gambut, Blok C dan D Kalimantan Tengah)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Daniel Murdiyarso selaku pembimbing yang telah memberi bimbingan, pengarahan, dukungan dan nasehat selama penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Keluargaku yang sangat hebat yang selalu mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak, Ibu, Mbak Ut, Mas Andri, Picul, dan kedua keponakanku tercinta Kristo dan Bree yang selalu memberi semangat.

3. Mbah Karto di Wonogiri dan Mbah Biah di Jambi yang selalu mendoakan cucunya. 4. Bapak I Putu Santikayasa, S. Si, MITyang telah membimbing dan memberikan saran serta

arahan selama penelitian.

5. Sarah Sinta Uli yang selalu memberi dukungan, bantuan, dan menemani dalam suka dan duka, terimakasih atas impian yang telah diberikan, walaupun pada akhirnya harus dijalani masing-masing.

6. Icus dan Nikson yang menjadi teman seperjuangan dan sependeritaan. 7. Gito dan Ari yang telah menjadi sahabat yang baik selama penulis di GFM. 8. Seluruh civitas Departemen Geofisika dan Meteorologi atas segala bantuannya.

9. Teman-teman Teman-teman GFM‟42 : Nancy, Nizar, Hardie, Tumpal, Wahyu, Singgih, Franz, Indra, Victor, Arie, Apit, Ghulam, Dhani, Hengky, Ivan, Dori, Tigin, Zahir, Robert, Yudi, Aan, Ningrum, Anis, Cici, Lisa, Nancy, Dewi, Wita, Veza, Rifa, Indah, Devita, Epi atas semua perhatiannya.

10. Teman-teman Puri Riveria (Ivan “Cipit”, Feriana, Garet, Fenny, Dial, Dika, Rheiner, Martin, Deni, Glen, Goto, Irsha, dan Andre, ) terimakasih atas bantuannya selama ini 11. Bapak dan Ibu Suyatno yang selalu memberikan nasehat tentang hidup dan memberikan

ijin untuk tinggal di puri riveria 99.

12. Mariagnes, Mathias Pratama, Denis Nababan. Ari “de bro”, Martin “coa” , serta teman-teman Orang Muda Katolik Paroki Santa Anna ( wilayah Pondok Kelapa) yang membawa tawa, keceriaan, dan semangat.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik, saran, serta masukan dari para pembaca sebagai bahan perbaikan untuk ke depannya nanti. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya sebagai bahan rujukan atau referensi. Terima kasih.

Bogor, Maret 2012

(9)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1987 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Aloysius Waliman dan Ibu Chatarina Sugiyarti. Pada tahun 1999 penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Strada van Lith II Jakarta Timur dan melanjutkan pendidikan ke SLTP Santo Vincentius Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Santo Antonius dan lulus pada tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis diterima dalam program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (Himagreto) periode 2006-2007 dan 2007-2008. Pada tahun 2007 penulis ikut

dalam kepanitiaan acara Himagreto yang bertemakan lingkungan “Birunya Langitku” menjadi koordinator lapangan. Selain itu sebagai ketua panitia pada acara “Talkshow Praktik Lapang dan Karya Tulis” dan pesta sains “Meteorologi Interaktif” sebagai koordinator pubilkasi, dekorasi, dan

(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Kondisi Daerah Kajian... 4

2.1.1 Kondisi Demografi ... 4

2.1.2 Kondisi Tutupan Lahan ... 6

2.1.3 Kondisi Hidrologi ... 8

2.2 Emisi Karbon Pada Lahan Gambut Terdrainase ... 10

2.3 Perubahan Penggunaan Lahan ... 15

2.4 Kebijakan Pengurangan Emisi Karbon ... 17

III BAHAN DAN METODE ... 20

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

3.2 Alat dan Bahan Penelitian... 20

3.3 Metode Penelitian ... 20

3.3.1 Perhitungan Emisi Karbon ... 20

3.3.2 Regresi Logistik ... 21

3.3.3 Validasi Model Perubahan Lahan... 22

3.3.3.1 Uji F (Uji Pengaruh Variabel Bebas Secara Keseluruhan)... 22

3.3.3.2 Uji Hosmer dan Lemeshow ... 22

3.3.3.3 Nilai Koefisien Determinasi Regresi Logistik (Nagelkerke –Square) ... 22

3.3.3.4 Nilai Ketelitian Prediksi Perubahan lahan Terhadap Data Observasi ... 22

3.3.3.5 Mean Absolute Error (MAE) ... 22

3.3.3.6 Nilai Koefisien Korelasi ... 22

3.3.4 Perhitungan Sebaran Penduduk Secara Spasial ... 23

3.3.5 Skenario Proyeksi Perubahan Lahan ... 23

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1 Analisis Perubahan Lahan ... 28

4.2 Analisis Prediksi Perubahan Lahan (Model Regresi Logistik) ... 30

4.3 Skenario Perubahan Lahan ... 32

4.4 Emisi CO2 Berdasarkan Kedalaman Drainase Untuk Berbagai Jenis Tutupan Lahan ... 35

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

5.1 Kesimpulan ... 39

5.2 Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(11)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perubahan Wilayah Kajian ... 5

2. Jumlah Penduduk Daerah Kajian ... 5

3. Nilai Kedalaman Drainase dan Emisi CO2 Untuk vegetasi Semak belukar dan Sawah ... 12

4. Nilai Kedalaman Drainase dan Emisi CO2 Untuk Berbagai Jenis Vegetasi... 13

5. Skenario Perubahan Lahan ... 22

6. Hasil tabulasi silang tutupan lahan 2003 dengan tutupan lahan 2006 ... 28

7. Persentase Kesesuaian Hasil Prediksi Dengan Data Observasi ... 29

8. Skenario Perubahan Lahan Variabel Bebas ... 32

9. Kedalaman Drainase Dan Emisi CO2 Dari Beberapa Literatur ... 35

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Laju deforestasi periode 1990 - 2006 ... 1

2. Persentase kebakaran hutan rawa gambut periode 1973 - 2005. ... 2

3. Frekuensi kebakaran Lahan rawa gambut blok C periode 1997 - 2005. ... 2

4. Daerah kajian berdasarkan kecamatan. ... 4

5. Daerah eks proyek pengembangan lahan gambut ... 4

6. Konversi Hutan Kerangas Menjadi Ladang Sumber Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007 ... 7

7. Hutan Gambut Bekas Terbakar ... 7

8. Skema Keseimbangan Neraca Air Pada Lahan Gambut Tropis ... 8

9. Skema Proses Emisi Dan Penembatan Karbon Yang Berhubungan Dengan Pembukaan Hutan Gambut Menjadi Lahan Perkebunan ... 9

10. Saluran Drainase Pada Eks- Proyek Lahan Gambut ... 9

11. Bangunan dam pada kanal Kalampangan dan kanal Taruna (Eks PLG blok C) ... 10

12. Ilustrasi proses emisi karbon dari Lahan gambut yangt didrainase. ... 11

13. Hubungan antara kedalaman drainase dengan emisi karbon berdasarkan kedalaman drainse dan tinggi muka air... 12

14. Alat Pengukur Emisi CO2 ... 14

15. Faktor yang mempengaruhi cadangan karbon ... 16

16 Skema Proses Perubahan Lahan ... 16

17. Peta lokasi penambatan saluran indikatif dengan jarak seling (interval) 1,0 meter (ditandai dengan titik-titik merah) dan lokasi tambahan dengan jarak seling 0,5 meter (titik-titik warna biru). ... 18

18. Diagram alir pembentukan persamaan regresi logistik ... 23

19. Diagram alir pembentukan peta prediksi penggunaan lahan ... 24

20. Diagram alir perhitungan cadangan karbon ... 25

21. Diagram alir proses pengolahan data dengan perangkat lunak... 26

22. Perbandingan Peta Prediksi Tutupan Lahan Tahun 2006 (a) Dengan Peta Observasi Tutupan Lahan Tahun 2006 (b) ... 30

23. Hubungan Antara Data Observasi Dan Data Prediksi ... 30

24. Proyeksi Tutupan Lahan tahun 2020 Skenario A (a). Proyeksi Tutupan Lahan tahun 2020 Skenario B (b) Legenda Peta A dan B (c) ... 33

(13)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Tabel Proyeksi jumlah penduduk Kalimantan Tengah ... 45

2. Tabel Jumlah tenaga kerja berdasarkan pada berbagai sektor ekonomi. ... 45

3. Nilai sektor unggulan perekonomian daerah Kalimantan Tengah Tahun 2003-2007. ... 45

4. Tabel Penanaman modal untuk berbagai sektor ekonomi provinsi Kalimantan Tengah. ... 46

5. Hasil Analisis Regresi Linear (Data Observasi dengan Data Prediksi ... 47

6. Tabel model persamaan rgersi Logistik ... 48

7. Hasil Analisis Regresi Logistik Dengan SPSS... 50

8. Tabel Nilai Odds Ratio ... 55

9. Tabel Perubahan Luas Masing-masing Tutupan Lahan Berdasarkan Hasil Proyeksi Skenario A ... 57

10. Tabel Perubahan Luas Masing-masing Tutupan Lahan Berdasarkan Hasil Proyeksi Skenario B ... 57

11. Gambar Daerah Kajian Berdasarkan Pembagian Data Satelit LandsatTM-7 ... 58

12. Grafik Proyeksi Peningkatan CO2 Indonseia ... 58

13. Grafik Proyeksi Peningkatan Emisi CO2 Dari Lahan Gambut. ... 58

14. Grafik Pengurangan Emisi CO2 Berdasarkan Biaya Yang Dibutuhkan ... 59

15. Gambar Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase ... 59

16. Gambar Kanal Saluran Drainase pada Ekosistem Hutan Gambut Tebal Kanal Saluran Drainase pada Ekosistem Hutan Gambut Tebal ……….59

17 Gambar Pintu air tradisional untuk mengatur tinggi muka air. ... 59

18. Gambar Pembuatan Pintu Air Secara Sederhana ... 60

19. Gambar Tanaman Perkebunan Pada lahan Gambut. ... 60

(14)

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejalan dengan makin berkurangnya ketersediaan lahan subur, maka perluasan area pertanian diarahkan antara lain ke tanah podsolik dan tanah gambut. Lahan gambut tidak saja marginal tetapi juga fragile (Lili 2003). Pengembangan pertanian melalui ekstensifikasi ke lahan rawa dan lahan gambut saat ini menjadi alternatif karena terbatasnya lahan kering untuk usaha budidaya tanaman (Bakri 2005).

Keterbatasan lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar, karena relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil. (Agus dan Subiksa 2008).

Langkah ini bermasalah karena mengakibatkan turunnya permukaan air tanah dan menghilangkan air di permukaan tanah. Irigasi di lahan-lahan pertanian sekitarnya juga dapat menyebabkan turunnya permukaan air tanah. Sistem saluran yang ada di kawasan lahan gambut telah menciptakan permasalahan banjir di sejumlah kawasan di sekitarnya selama musim hujan dan kekeringan selama musim kemarau. Deforestasi hutan dan penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang memerlukan drainase dalam (> 30 cm) serta pembakaran atau kebakaran menyebabkan emisi CO2 menjadi sangat tinggi. (Agus dan Subiksa 2008).

Degradasi lahan gambut yang paling cepat saat ini terjadi terutama di Asia Tenggara, dimana lahan gambut mengalami deforestasi, dikeringkan dan dibakar untuk pengembangan kebun kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertanian dan penebangan kayu. Selain berupa emisi CO2, kegiatan pengembangan ini juga menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati yang masih tersisa di Asia Tenggara, dimana lahan gambut merupakan habitat penting bagi berbagai jenis terancam, termasuk Orang utan di Kalimantan

dan Harimau Sumatra di Pulau Sumatra (Hooijer et al. 2006).

Berdasarkan data statistik kehutanan yang dipublikasikan pada tahun 2010, laju deforestasi secara umum meningkat dari 1.080.000 ha/tahun pada rentang 2000 sampai 2003, menjadi 1.170.000ha/tahun pada rentang 2003 sampai 2006. Secara keseluruhan, laju deforestasi dari tahun 1990 sampadi 2006 disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Laju deforestasi periode 1990 - 2006. Sumber : Siswanto Wandoyo (2010)

Kalimantan mempunyai lahan gambut seluas 6,3 juta hektar yang meliputi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (Daryono 2005), dengan 3 juta ha berada pada wilayah Kalimantan Tengah (Boehm dan Siegert 2001). Menurut Boehm dan Siegert (1999), Indonesia mempunyai sejumlah besar lahan gambut yaitu berkisar antara 17 - 27 juta ha. Hutan rawa gambut memainkan fungsi penting dalam perannya dalam pengaturan hidrologi seperti, pengendali banjir, pengatur aliran, pasokan air, dan mencegah intrusi air laut (Noor 2005).

(15)

2

luasan yang digunakan biasanya sangat luas

sekali (Hooijer et al. 2006).

Data untuk Asia Tenggara yang digunakan dalam PEAT-CO2 menunjukkan bahwa lahan gambut mencakup wilayah seluas 27,1 juta hektar di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Papua Nugini), atau 10% dari seluruh luas daratannya dengan ketebalan gambut bervariasi mulai dari 1 sampai dengan 12 meter. Menurut perhitungan PEAT-CO2, jumlah total karbon yang tersimpan di lahan gambut Asia Tenggara setidaknya berjumlah 42.000 Mton (dengan asumsi kandungan karbon adalah sebesar 60 kg/m3) (Hooijer et al. 2006).

Tingkat pelepasan karbon ke atmosfer terus meningkat akibat kebakaran dan pengeringan yang terkait dengan kegiatan perkebunan dan penebangan kayu. Selama tahun 1997 sampai 1998, aktivitas irigasi dan pembersihan lahan secara intensif, ditambah dengan adanya kejadian ENSO yang berhubungan dengan musim kering, mengakibatkan kebakaran hutan selama beberapa bulan di Kalimantan Tengah (Boehm et al. 2001). Peluang terjadinya kebakaran sangat berkaitan dengan (i) sarana dimana akses yang diberikan suatu area memungkinkan, serta (ii) jenis vegetasi dan bahan bakar (Murdiyarso et al. 2002a). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hascilo et al. (2008), kebakaran hutan menjadi pengendali utama proses deforestasi dan degradasi pada ekosistem lahan gambut, dimulai sejak tahun 1973. Proses degradasi lahan gambut yang paling serius terjadi pada kurun waktu 1997-2005 sebagai implementasi MRP (Mega Rice Project) (Hascilo et al. 2008). Selama musim kering tahun 2003/2004 dan 2005, kebakaran hutan mempengaruhi 14.3% dan 12.4 % wilayah blok C eks-MRP dengan mayoritas kejadian kebakaran terjadi pada vegetasi non-hutan (Hascilo et al. 2008). Persentase dan frekuensi kebakaran pada daerah kajian disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2 Persentase kebakaran hutan rawa gambut periode 1973 - 2005. Sumber : Hascilo et al. (2008)

Gambar 3 Frekuensi kebakaran Lahan rawa gambut blok C periode 1997 - 2005. Sumber : Hascilo et al. (2008)

(16)

3

atmosfer juga akan mengalami perubahan

akibat berubahnya tata guna lahan. Perubahan emisi karbon tersebut saat ini menjadi pusat perhatian yang cukup penting karena sangat berhubungan dengan perubahan iklim global. Kalimantan Tengah merupakan daerah yang menjadi kajian penting di dalam pengurangan emisi karbon mengingat proyek konversi lahan gambut sejuta hektar menjadi lahan pertanian pada tahun 1995, meninggalkan dampak kerusakan lingkungan yang signifikan khususnya terhadap besarnya pelepasan karbon ke atmosfer.

Cadangan karbon pada lahan gambut tropis telah terakumulasi lebih dari satu milenium tetapi beresiko tinggi terhadap ketidakstabilan akibat perubahan lahan khususnya konversi ke perkebunan, pertanian, drainase dan kebakaran hutan yang mengubah endapan karbon menjadi sumber emisi karbon dan berdampak positif terhadap pemanasan global (Page et al. 2008). Kebijakan pemerintah daerah di bidang konservasi lahan, khususnya hutan sangat penting sejak adanya proses desentralisasi kebijakan yakni otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2001. Berdasarkan data statistik kehutanan tahun 2008, izin penggunaan lahan yang dijadikan sebagai industri pengolahan kayu di Provinsi Kalimantan tengah meningkat dari tahun ke tahun. Pada wilayah kabupaten Pulang Pisau, ijin penggunaan lahan yang dijadikan sebagai kawasan industri pengolahan kayu seluas 30.020 ha pada tahun 2004 dan menjadi 112.770 ha pada tahun 2006 atau sekitar 12% dari total luas wilayah kabupaten Pulang Pisau. Sedangkan pada kabupaten Kapuas ijin penggunaan lahan untuk industri kayu seluas 61.450 ha pada tahun 2004 dan 125.040 ha pada tahun 2006. Dengan adanya rencana induk rehabilitasi dan revitaslisasi eks- proyek lahan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 2007 dan ditetapkannya provinsi Kalimantan Tengah sebagai daerah percontohan program REDD+ pada tahun 2010 serta target pemerintah untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020, maka diharapkan kebijakan pemerintah daerah, khususnya mengenai

konversi lahan dapat diterapkan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem.

Selama ini para ilmuwan telah menyadari hubungan antara pengembangan lahan gambut dan emisi, akan tetapi para pengambil kebijakan dan pengelola lahan basah masih kurang menyadari akan implikasi global dari strategi dan tindakan pengelolan lahan gambut lokal dan nasional mereka. Akibatnya, emisi CO2 dari lahan gambut yang dikeringkan dan terbakar di Asia Tenggara tidak diperhitungkan dalam debat perubahan iklim global, dan belum dimulai adanya suatu aksi besar berskala internasional yang terkoordinasi untuk membantu negara-negara tersebut dalam mengelola lahan gambutnya dengan lebih baik ( Hooijer et al. 2006). Hasil studi literatur ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai perubahan penggunaan lahan yang dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi serta faktor biofisik lainnya yang berkaitan erat dengan emisi karbon yang disebabkan karena drainase. Angka-angka perhitungan yang dipakai dalam penelitian ini merupakan hasil dari peneltian yang telah dipublikasikan oleh Jauhiainen et al .(2001), Jauhiainen et al. (2004). dan Jauhiainen et al. (2005) serta ketetapan emisi berdasarkan kedalaman drainase Hooijer et al. (2006).

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Memprediksi perubahan tata guna lahan pada tahun 2020 berdasarkan model perubahan lahan tahun 2003 dan 2006 . 2. Menduga emisi CO2 dengan

(17)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Daerah Kajian

2.1.1 Kondisi Demografi

Proyek PLG Satu Juta Hektar di Provinsi Kalimantan Tengah, melalui Instruksi Presiden tanggal 5 Juni 1995 tentang Ketahanan Pangan dan Keputusan Presiden No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Provinsi Kalimantan Tengah, diarahkan untuk mengkonversi hutan rawa gambut (wetland) yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah menjadi sawah guna mempertahankan dan melanjutkan swasembada beras nasional yang telah dicapai Indonesia pada tahun 1984, bahkan diharapkan dapat meningkatkan produksi pertanian yang lebih besar. (Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007) Tetapi karena kondisi tanahnya terbukti kurang cocok untuk penanaman padi, sekitar separuh dari 15.594 keluarga transmigran yang dulu ditempatkan di kawasan tersebut kini telah pergi (Tim Rencana Induk 2008)

Dalam penelitian ini, daerah yang dijadikan objek penelitian adalah daerah eks proyek lahan gambut di kalimantann Tengah khususnya blok C dan D . Total luasan areal Eks PLG adalah seluas 1.567.884 Ha, yang terdiri atas 4 (empat) Blok, masing-masing Blok A seluas 315.894 Ha, Blok B seluas 161.461Ha, Blok C seluas 440.760Ha, Blok D seluas 145.707 Ha, dan Blok E seluas 504.022 ha (Boehm dan Siegert 2001). Berdasarkan data administrasi wilayah provinsi Kalimantan Tengah, daerah yang dijadikan objek kajian termasuk ke dalam 4 wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Pandih Batu, Kahayan Kuala, dan Kahayan Hilir di kabupaten Pulang Pisau, serta kecamatan Basarang di kabupaten Kapuas (BPS 2006). Berdasarkan data administrasi wilayah provinsi Kalimantan Tengah yang diperoleh dari BPS (2006), daerah yang dijadikan objek penelitian meliputi sebagian wilayah kabupaten Pulang Pisau dan sebagian wilayah kabupaten Kapuas. Luas kabupaten Kapuas sebesar

1.500.000 ha dan luas kabupaten Pulang pisau sebsesar 897.700 ha. Gambaran umum wilayah kajian dapat dilihat dari Gambar 4 dan Gambar 5.

Gambar 4 Daerah kajian berdasarkan kecamatan. Sumber: Badan Planologi Kementrian Kehutanan (2003)

Gambar 5 Daerah eks proyek pengembangan lahan gambut. Sumber: Euroconsult Mott MacDonald (2008)

(18)

5

Agustus. Suhu udara pada siang hari berkisar

antara 27 oC - 30 oC dan malam hari sekitar 24 oC. Kelembaban udara rata-rata 84%, sedangkan lama penyinaran matahari rata-rata 5,9 jam/hari (Bappenas 2008).

Provinsi Kalimantan Tengah memiliki angka kepadatan penduduk sebesar 12 jiwa/km2 (BPS 2006). Secara administrasi,

wilayah penelitian yang termasuk di dalam Kabupaten Pulang Pisau, mengalami perubahan pada tahun 2004 yaitu dengan adanya penambahan 2 kecamatan baru yang mengambil sebagian wilayah kecamatan yang sudah ada terlebih dahulu (Tabel 1).

Tabel 1 Perubahan Wilayah Kajian

Kabupaten

Kecamatan

Keterangan sampai tahun 2003 Luas (km2) Tahun 2004

ke atas

Luas (km2) Pulang Pisau Pandih Batu 535.86 Pandih Batu 535.86

daerah kajian

Kahayan Kuala 4956 Kahayan Kuala 1155

Kahayan Hilir 1683 Kahayan Hilir 360

Maliku 413.14 Maliku 413.14

daerah non kajian

Kahayan Tengah 783 Kahayan Tengah 783

Banama Tingang 626 Banama Tingang 626

Jabiren Raya 1323

Sebangau Kuala 3801

TOTAL 8997 TOTAL 8997

Kapuas Basarang 206 Basarang 206 daerah

kajian Sumber : BPS (2006)

Kepadatan penduduk diperoleh dari data jumlah penduduk yang dibagi dengan luas wilayah kajian. Kepadatan penduduk di daerah kajian cenderung menurun dalam rentang tahun 2000 sampai tahun 2007. Hal ini disebabkan karena angka imigrasi ke luar daerah yang cukup tinggi terutama pada

kecamatan Kahayan Kuala yaitu sebanyak 4989 jiwa yang melakukan migrasi keluar daerah (BPS 2006). Selain itu angka kematian yang cukup tinggi sebesar 50% dari angka kelahiran juga mempengaruhi jumlah penduduk di daerah kajian (BPS 2006) (Tabel 2).

Tabel 2 Jumlah Penduduk Daerah Kajian

Kabupaten Kecamatan Jumlah Penduduk (jiwa)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Pulang Pisau

Pandih Batu 21445 21226 21358 20969 21147 21150 21270 21660 Kahayan

Kuala 24689 24465 24372 27335 18867 18840 18980 19160 Kahayan Hilir 26641.5 25807 25972 27596 20383 20600 22500 23905 Kapuas Basarang 15828 16028 16181 16543 16683 16755 15992 17773 Jumlah 88603.5 87526 87883 92443 77080 77345 78742 82498

Sumber : BPS (2007)

Pada daerah kajian terdapat 3 jenis lahan yang mendapatkan investasi dengan nilai yang cukup besar selain pertambangan, yaitu kehutanan, perkebunan dan pertanian,

(19)

6

plywood, sawn timber, dan veneer (Dephut

2008). Pada sektor pertanian dan perkebunan, kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas merupakan daerah penghasil karet, kopi , serta salah satu lumbung padi di Kalimantan (BPS 2006). Hal ini bisa dilihat dari 70% penduduk Kalimantan Tengah yang berprofesi sebagai petani (BPS 2006).

Proyek PLG yang pada awal pelaksanaannya tanpa didahului Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan fisik, biologi, dan sosial. Dampak-dampak negatif tersebut, antara lain :

1. Pembuatan Saluran Primer Induk (SPI) sepanjang 187 kilometer yang menghubungkan Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito serta memotong cukup banyak anak sungainya yang mengakibatkan berubahnya pola tata air dan kualitasnya.

2. Pembukaan lahan dengan penebangan pohon di hutan rawa gambut mengakibatkan daya serap permukaan tanah berkurang. Kondisi ini menyebabkan sering terjadinya banjir di musim penghujan, sebaliknya pada musim kemarau lahan gambut lebih mudah terbakar. Kebakaran lahan gambut pada tahun 1997 merupakan salah satu penyumbang karbon yang cukup besar di udara.

3. Terbukanya akses bagi masyarakat untuk melakukan penebangan liar di kawasan-kawasan hutan dan tersedianya saluran-saluran air untuk membawa kayu hasil tebangan liar, mengakibatkan semakin maraknya penjarahan hutan secara liar (illegal logging) di kawasan Eks PLG. 4. Beberapa spesies tumbuhan langka

yang dilindungi seperti ramin (Gonystylus spp.), jelutung (Dyera

lowii), kempas (Koompassia

malaccensis), ketiau (Ganua

motleyana), dan nyatoh (Dichopsis elliptica) terancam punah.

5. Proyek ini menyisakan berbagai masalah sosial dan lingkungan, seperti nasib yang kurang menguntungkan bagi para transmigran yang pada umumnya

belum menguasai pengolahan lahan basah untuk pertanian, dan masyarakat setempat terpinggirkan dari lahannya. (Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007) 2.1.2 Kondisi Tutupan Lahan

Secara geografis kawasan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah terletak di antara Kota Palangkaraya (Sungai Kahayan) ke arah timur melalui sebuah Saluran Primer Induk (SPI) sepanjang 187 kilometer memotong Sungai Barito di Mangkatip. Pada bagian Barat, membujur dari Kota Palangkaraya ke arah Selatan menyusuri sebelah Timur Sungai Sebangau ke arah Selatan hingga bermuara di Teluk Sebangau di laut Jawa. Sedangkan di sebelah Timur dibatasi oleh Sungai Barito dan menyusuri Sungai Barito, Sungai Kapuas Murung ke arah Selatan melewati Kuala Kapuas hingga muara Sungai Kapuas yang bermuara di Laut Jawa. (Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007)

(20)

7

dan Pengembangan Sumberdaya Lahan

Pertanian 2006)

Gambar 6. Konversi Hutan Kerangas Menjadi Ladang Sumber Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007

Pada kondisi alami, proses pembentukan vegetasi lahan gambut berasal dari akumulasi vegetasi yang tersimpan pada daerah yang tergenang air, yang lebih cepat dari proses pembusukan (Ritzema dan Wosten 2002). Ekosistem hutan gambut tebal di beberapa wilayah telah mengalami gangguan serius berupa kebakaran, penebangan liar, pembuatan saluran drainase dan konversi tegakan hutan menjadi lahan pertanian. (Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007). Tanpa membuat saluran drainase atau kanal pada gambut pedalaman, dipastikan hanya jenis pohon asli setempat (ramin, meranti rawa, jelutung, gemor, dll) yang bisa tumbuh dalam kondisi jenuh air atau daerah yang dominan basah. ( Limin 2006).

Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon berperan dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per tahun (Parish et al. 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2 ha/tahun (Agus et al. 2009). Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organic (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi

lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. (Agus dan Subiksa 2008)

Sejak hidrologi gambut terganggu oleh system drainase, dan biomassa hutan terbakar sebagian, maka resiko kebakaran diperkirakan akan menjadi tinggi di waktu yang akan dating (Boehm dan Siegert 2001). Menurut Limin (2006), ada 9 ciri kebakaran pada lahan gambut berlangsung cepat dan mudah dipadamkan, yaitu :

1. kebakaran vegetasi diatas lapisan gambut,

2. lapisan gambut terbakar tergantung kedalaman air tanah,

3. kebakaran pada lapisan gambut sulit dipadamkan dan bertahan lama, 4. kebakaranmenghasilkan asap tebal

karena terjadi pembakaran tak sempurna,

5. api dapat merambat melalui lapisan bawah, walaupun vegetasi di atasnya belum terbakar atau masih segar, 6. banyak pohon tumbang dan pohon

mati tapi masih berdiri tegak, 7. terdapat jenis vegetasi mudah

terbakar

8. bekas kebakaran gambut ditutupi arang, dan

9. penyemprotan air pada gambut yang sedang terbakar tidak hingga padam total, akan menyebabkan produk asap semakin tebal.

(21)

8

2.1.3 Kondisi Hidrologi

Daerah rawa gambut dataran rendah di pulau Kalimantan merupakan murni tadah hujan, dengan kondisi alami tergenangi oleh air (Ritzema dan Wosten 2002). Kondisi tanah gambut pada daerah kajian yang termasuk ke dalam iklim tropis, merupakan daerah yang memiliki kondisi topografi dan curah hujan yang sangat baik untuk mendukung proses drainase yang rendah, serta genangan air dan substrat pengasaman secara permanen (Jauhiainen dan Vasander 2002).

Lahan gambut, dengan kapasitas menahan air yang tinggi, melakukan fungsi utama dalam mengatur air di dataran rendah tropis ( Rieley 2005) Rawa-rawa gambut mempengaruhi seluruh hidrologi DAS dan berperan sebagai reservoir air tawar, menstabilkan kadar air, mengurangi aliran deras dan mempertahankan aliran rendah sebagai penyangga terhadap intrusi air asin (Safford dan Maltby 1998 dalam Rieley 2005)

.

Bentuk permukaan sebagian besar rawa gambut tropis dataran rendah adalah kubah sehingga menyebabkan air hujan untuk mengalir ke bagian sisi kubah gambut. Fenomena ini membagi daerah rawa gambut ke dalam beberapa mikro DAS. ( Rieley 2005)

Curah hujan baik menguap atau diangkut dari dekat permukaan rawa-rawa sebagai run-off, aliran interflow atau aliran air tanah. Dalam kondisi alami, permukaan air akan meningkat karena curah hujan dan turun sebagai akibat dari evapotranspirasi serta perpindahan arus air yang berlebihan. Selama musim hujan, curah hujan memiliki intensitas yang lebih besar dari penguapan, run-off, dan aliran air tanah sedangkan pada musim kemarau, permukaan air pada rawa gambut akan turun sampai dibawah permukaan tanah dengan penurunan sampai 1 meter atau lebih. ( Rieley 2005) Untuk lebih jelas, keseimbangan neraca air dapat dilihat pada Gambar 8 berikut

Gambar 8. Bagan Keseimbangan Neraca Air Pada Lahan Gambut Tropis. Sumber Rieley 2005

Secara umum, keseimbangan neraca air pada rawa gambut dapat di tuliskan sebagai berikut:

P = E + Q + DS Keterangan :

P = total rainfall (meter)

E = total evapotranspirasi (meter) Q = total pelepasan (meter)

DS = perubahan dalam simpanan (meter)

(22)

9

lahan gambut didrainase, sehingga terjadi

penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume. (Agus dan Subiksa 2008) Permukaan air tanah di wilayah yang didrainase mempengaruhi permukaan air pada daerah yang tidak didrainase menyebar bebrapa kilometer sehingga, kegiatan atau proyek yang berlangsung di salah satu tangkapan akan mempengaruhi kegiatan di lain dan mengakibatkan konflik kepentingan ( Rieley 2005)

Pembuatan saluran drainase atau kanal-kanal melintasi lapisan gambut tebal, tampaknya belum banyak diketahui oleh banyak pihak akan berdampak negatif untuk jangka panjang. Contoh nyata adalah proyek PLG sejuta hektar yang mulai dibangun tahun 1996. Dengan program kanalisasi yang merusak habis hamparan gambut diantara 4 sungai besar (Sabangau, Kahayan, Kapuas dan Barito), sejak itu pula terjadi perubahan drastis neraca air pada 4 (empat) daerah aliran sungai (DAS) tersebut, sehingga kawasan eks PLG merupakan penghasil asap terbesar di Kalimantan Tengah. ( Limin 2006)

Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm/tahun tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase (Agus dan Subiksa 2008). Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan yang dipublikasikan oleh Charman (2002) yaitu dalam kondisi alami laju subsiden pada lahan gambut sebesar 2-5 mm/tahun dan akan meningkat sepluh kali lipat pada kondisi terdrainase (Ritzema dan Wosten 2006). Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunan permukaan (subsiden) dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan gambut akan cepat berkurang dan daya sangganya terhadap air menjadi menurun. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung dan penurunan permukaan gambut (Agus dan Subiksa 2008)

Gambar 9. Skema Proses Emisi Dan Penembatan Karbon Yang Berhubungan Dengan Pembukaan Hutan Gambut Menjadi Lahan Perkebunan. Sumber Agus dan Subiksa 2008

Di balik pembuatan drainase yang menyebabkan penurunan air tanah, terjadi perubahan suhu dan kelembaban di lapisan gambut dekat permukaan, sehingga mempercepat proses pelapukan dan permukaan gambut semakin menurun. ( Limin 2006)

(23)

10

Situasi semacam ini telah menyebabkan

“gambut kering tidak balik” (irreversible drying), sehingga pada saat musim hujan gambut menjadi terkelupas, terjadi banjir di dataran-dataran rendah dan terbentuknya genangan-genangan air di lantai hutan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kebakaran gambut dan kekurangan air, baik bagi pertumbuhan tanaman, kehidupan fauna air maupun bagi keperluan irigasi, air minum dan transportasi air karena debit sungai menjadi kecil. (Badan Planologi Departemen kehutanan 2007; Ritzema dan Wosten 2002)

Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam (Agus dan Subiksa 2008) (Gambar 11).

Gambar 11. Bangunan dam pada kanal Kalampangan dan kanal Taruna (Eks PLG blok C). Sumber: Limin 2006

2.2 Emisi Karbon Pada Lahan Gambut Terdrainase

Dalam keadaan alami, hutan rawa gambut memiliki kemampuan untuk menyerap karbon dari atmosfir selama fotosintesis, serta mempertahankan karbon dalam biomassa tanaman dan sebagian disimpan pada lahan gambut (Rieley et al. 2008) karbon hilang khususnya dalam bentuk CO2 dikarenakan oksidasi pada lahan gambut yang lebih dalam yang disebabkan turunnya permukaan tinggi muka air (Rieley et al. 2008) Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara simultan, namun besaran masing-masingnya tergantung keadaan alam dan campur tangan manusia. Dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya jenuh air (suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi. (Agus dan Subiksa 2008).

Proses emisi pada lahan gambut tidak berhenti sesudah pembukaan hutan. Selama masa budidaya tanaman pertanian, emisi dalam jumlah tinggi tetap terjadi disebabkan dekomposisi gambut oleh mikroorganisme. ( Agus dan Subiksa 2008). Proses emisi diatur berdasarkan proses biofisik yang kompleks, seperti dekomposisi dan pemadatan gambut, ketersediaan nutrisi. Kadar air tanah, tinggi muka air yang keseluruhannya telah terpengaruh oleh pengelolaan air. ( Murdiyarso et al. 2010) Tingkat dekomposisi gambut sangat dipengaruhi oleh kedalaman drainase; semakin dalam drainase, semakin cepat terjadinya dekomposisi gambut. (Agus dan Subiksa 2008) Di Asia Tenggara, hampir keseluruhan gambut dataran rendah berasal dari vegetasi hutan dan memiliki kandungan kayu yang tinggi, namun demikian tingkat dekomposisi berbeda antar satu lahan gambut dengan lahan gambut lainnya dan di dalam lahan gambut itu sendiri. ( Hooijer et al. 2006) Pada saat ini, simpanan karbon sedang mengalami pelepasan ke atmosfer melalui dua mekanisme menurut Hooijer et al. (2006):

(24)

11

(disebut juga dekomposisi

aerobik). Oksidasi material gambut ini (yang tersusun atas 10% sisa tumbuhan dan 90% air) menghasilkan emisi gas CO2. Bahan gambut kering ini sebagian besar adalah Karbon (50% - 60% di Asia Tenggara, tergantung kepada tipe gambutnya).

2. Kebakaran yang terjadi di lahan gambut terdegradasi menghasilkan emisi CO2; kebakaran sangat jarang sekali terjadi di kawasan gambut yang tidak terdegradasi atau yang tidak dikeringkan. Emisi CO2 Permukaan gambut memberikan kontribusi signifikan terhadap total respirasi ekosistem, dan sangat dipengaruhi oleh kedalaman permukaan air. Stabilitas hidrologi, microtopografi lantai hutan dan struktur vegetasi merupakan faktor lain yang mempengaruhi dinamika CO2 gambut di lahan gambut tidak di rainase. Sebaliknya, dinamika CO2 di lahan gambut dikeringkan ditentukan oleh waktu dari drainase awal, tipe vegetasi, dan kedalaman drainase. ( Rieley et al. 2008)

Hooijer et al. (2006) menjelaskan proses emisi dari lahan gambut yang di drainase sabagai berikut: permukaan air pada permukaan gambut memungkinkan akumulasi bahan organik (penyerap karbon). Drainase menurunkan muka air dan mengeringkan permukaan gambut sehingga menyebabkan emisi CO2 melalui dekomposisi (oksidasi) dan kebakaran sehingga menyebabkan penurunan permukaan gambut secara progresif (subsiden) Subsidensi Gambut dan emisi CO2 hanya berhenti ketika gambut dalam kondisi kembali jenuh. Tanpa pembasahan gambut akan menghilang. Proses emisi gambut yang dikeringkan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Ilustrasi Proses Emisi karbon Dari Lahan Gambut Yang di Drainase Sumber Hooijer et al. 2006

(25)

12

Gambar 13. Hubungan antara kedalaman drainase dengan emisi karbon. Sumber: Hooijer et al.

(2006) Untuk mengestimasi kedalaman drainase di Asia Tenggara pada berbagai jenis vegetasi, Hooijer et al. (2006) mengumpulkan dari beberapa literature yang telah dipublikasikan sebelumnya untuk rentang kedalaman drainase 0.5 meter sampai 1 meter

walaupun sebenarnya banyak ditemui daerah dengan kedalaman drainase jauh di atas 3 meter seperti pada perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman (Acacia) dan juga di lahan-lahan tidur (misalnya di kawasan ex. PLG Kalimantan Tengah) ( Tabel 3).

Tabel 3. Nilai Kedalaman Drainase dan Emisi CO2 Untuk vegetasi Semak belukar dan Sawah

Land Use Unit minimum likely maximum

Step A: Drained area

Lahan pertanian besar termasuk perkebunan (Large croplands,

including plantations) % 100 100 100

Lahan pertanian tercampur (mixed cropland) / semak

(shrubland):pertanian berskala kecil

(small-scale agriculture) % 75 88 100

Semak (shrubland); baru saja dibersihkan (recently cleared) & area

terbakar ( burnt areas) % 25 50 75

Step B:

Drainage depth

Lahan pertanian besar termasuk perkebunan (Large croplands,

including plantations) meter 0.8 0.95 1.1

Lahan pertanian tercampur (mixed cropland) / semak

(shrubland):pertanian berskala kecil

(26)

13

Semak (shrubland); baru saja

dibersihkan (recently cleared) & area

terbakar ( burnt areas) meter 0.25 0.33 0.4

Step C: A relation of 0.91 t/ha/y CO2 emission per cm drainage depth in peatland was used in calculation

Step D: CO2

emissions

Lahan pertanian besar termasuk perkebunan (Large croplands,

including plantations) (ton/ha/tahun) 73 86 100

Lahan pertanian tercampur (mixed cropland) / semak

(shrubland):pertanian berskala kecil

(small-scale agriculture) (ton/ha/tahun) 27 48 73

Semak (shrubland); baru saja dibersihkan (recently cleared) & area

terbakar ( burnt areas) (ton/ha/tahun) 6 15 27

Sumber : Hooijer et al. (2006)

Untuk vegetasi hutan tidak dimasukan oleh Hooijer et al. (2006) ke dalam perhitungan emisi CO2 dari lahan gambut yang terdrainase, meskipun sebenarnya telah diketahui bahwa banyak hutan telah dipengaruhi oleh pengeringan: oleh perkebunan dan pertanian disekitarnya, jalan, saluran-saluran yang dibangun untuk mengeluarkan kayu ilegal dan kebakaran hutan yang menciptakan cekungan yang turut

andil dalam mengeringkan sistem hidrologi lahan gambut hutan

Sebagai acuan perhitungan emisi CO2 dari lahan gambut yang dikeringkan, peneliti menggunakan data emisi CO2 dari berbagai vegetasi dengan variasi kedalaman drainase yang berbeda yang dipublikasikan oleh Jauhiainen et al .(2001), Jauhiainen et al. (2004). dan Jauhiainen et al. (2005) (Tabel 4).

Tabel 4. Nilai Kedalaman Drainase dan Emisi CO2 Untuk Berbagai Jenis Vegetasi

Lahan

Kedalaman Drainase

(cm)

Emisi CO2

(ton/ha/tahun) Lokasi Referensi

1. Hutan rawa gambut

(peat swamp forest) 17 35

Daerah Aliran Sungai Sebangau (Sebangau

river catchment), Kalimantan Indonesia

Jauhiainen et al. 2005 2. Tebang pilih

(selectively logged) (dekat pohon (near tree))

21 76

Daerah Aliran Sungai Sebangau (Sebangau

river catchment), Kalimantan Indonesia

Jauhiainen et al. 2004 3. area yang dibersihkan

dan terbakar (cleared burned area) (permukaan

tinggi(high surface)) 19 23 Kalimantan, Indonesia

Jauhiainen et al. 2004

4. area yang dibersihkan dan terbakar (cleared burned area) (depresi

(depression)) 1 28 Kalimantan, Indonesia

Jauhiainen et al. 2004

5. Lahan pertanian (farm

field) 29 19 Kalimantan, Indonesia

Jauhiainen et al. 2004

(27)

14

Data emisi CO2 yang dipublikasikan

oleh Jauhiainen et al .(2001), Jauhiainen et al. (2004). dan Jauhiainen et al. (2005)mencakup lahan gambut kalimantan Tengah yang mengalami berbagai gangguan seperti drainase, kebakaran, dan penebangan hutan sementara dalam Jauhiainen et al. (2004) juga disertakan nilai emisi CO2 dari lahan gambut Kalimantan Tengah yang tidak dikeringkan dan dalam proses penanaman kembali. Dalam penghitungan emisi CO2 dari lahan gambut yang didrainase, Jauhiainen et al .(2001), Jauhiainen et al. (2004). dan Jauhiainen et al. (2005) menggunakan bilik penjerap gas CO2 yaitu EGM-4 infra red gas analyzer (Jauhiaienen et al. 2008) pada Gambar 14.

Gambar 14. Alat Pengukur Emisi CO2 EGM-4 infra red gas analyzer Sumber: Jauhianen et al (2008)

tidak terdrainase (Undrained peat swamp forest)

2004

7. Hutan rawa gambut yang dipengaruhi pengeringan ( Drained affected peat swamp fores)

0 40,0 Kalimantan Tengah Jauhiainen et al. 2004

8. Hutan rawa gambut yang sedang mengalami proses pemulihan setelah ditebang habis (Clear felled recovering peat swamp forest)

0 34,0 Kalimantan Tengah Jauhiainen et al. 2004

9. Lahan pertanian tidak diolah dan terdrainase (Drained uncultivated agricultural land)

0 19,28 Kalimantan Tengah Jauhiainen et al. 2004

10. Gambut terdrainase dan cekungan gambut (Drained peat and Hollow)

0 17 Kalimantan Tengah Jauhiainen et al. 2001

11. Gambut terdrainase

(Drained peat) 50 26 Kalimantan Tengah

Jauhiainen et al. 2001

12. Gundukan gambut

(Hummock) 50 43 Kalimantan Tengah

Jauhiainen et al. 2001

13. Cekungan gambut

(Hollow) 40 52 Kalimantan Tengah

(28)

15

Sebagai gambaran bahwa emisi CO2

dari kehilangan karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan akan lebih besar. Kandungan karbon adalah 50% dari biomassa tanaman ( Murdiyarso dan Adinigsih 2007) Murdiyarso et al. (2002b) melakukan penelitian pada 10 tipe lahan di pulau Sumatera dan untuk berbagai tipe vegetasi yang memiliki rentang kepadatan biomassa dari 39 ton/hektar sampai 254 ton/hektar. Untuk tipe vegetasi dengan kepadatan karbon yang paling tinggi mewakili tipe vegetasi hutan alami yang belum tergangggu oleh kegiatan manusia sementara nilai kepadatan karbon yang kecil mewakili tipe vegetasi tanaman pertanian maupun semak belukar. Untuk mengubah ke dalam bentuk CO2, nilai kepadatan karbon tersebut akan dikalikan dengan faktor konversi yang merupakan perbandingan berat molekul antara CO2 dengan C yaitu 3.7 (Murdiyarso dan Adiningsih 2007) atau 3.67 ( World Bank 2011)

Berbagai faktor seperti kadar air tanah, pemupukan, dan suhu tanah, sangat mempengaruhi jumlah emisi selain kedalaman muka air tanah gambut (Agus dan Subiksa 2008) Kecepatan subsiden tergantung pada banyak faktor, antara lain tingkat kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan gambut, kedalaman drainase, iklim, serta penggunaan lahan (Stewart 1991; Salmah et al. 1994; Wösten et al. 1997 dalam Agus dan Subiksa 2008).

2.3 Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan tutupan lahan secara berkelanjutan akan menyebakan perubahan yang dramatis di dalam struktur dan fungsi ekosistem. (Meyer and Turner 1994 dalam DG Brown 2002). Penggunaan lahan merupakan semua bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memnuhi kebutuhan hidup baik materil maupun spiritual (Arsyad 1989). Sedangkan menurut Lambin (2003), penggunaan lahan didefinisikan sebagai tujuan dari eksploitasi manusia terhadap tutupan lahan ditandai dengan adanya variabilitas yang tinggi, baik secara ruang dan waktu, pada lingkungan

biofisik, kegiatan sosial ekonomi, dan konteks kebudayaan yang berkaitan dengan perubahan tata guna lahan.

Model perubahan lahan dapat menggunakan parameter-parameter sederhana yaitu keadaan daerah urban saat ini, rute utama transportasi, topografi, lahan atau daerah yang dilindungi, peluang kerja, serta harga tanah (USGS 1999). Menurut Lambin (2003), perubahan lahan dikendalikan oleh kombinasi faktor yang saling berhubungan dari kelangkaan sumber daya yang menyebabkan tekanan produksi pada sumberdaya, perubahan peluang yang diciptakan oleh pasar, intervensi kebijakan dari pihak luar, kehilangan kemampuan beradaptasi, serta perubahan kondisi dan tingkah laku sosial.

Jika proses ekologi dihubungkan dengan faktor gangguan, perubahan jumlah penduduk, dan persaingan maka hasilnya berupa perubahan penggunaan lahan. (Brown 2003). Bentuk umum dari hubungan antara perubahan tata guna lahan dan faktor penyebabnya, dapat dituliskan sebagai berikut (APN 2001):

LUCC = f (dinamika populasi, ekonomi, teknologi, institusi politik dan social, budaya)

Model empiris diestimasi mengikuti persamaan sebagai berikut (APN 2001) :

1

b

a

LUCCi

Sedangkan menurut menurut Lambin (2003), hubungan perubahan lahan dan faktor penyebabnya dituliskan dalam bentuk :

Land Use = f ( pressures, opportunities, policies, vulnerability, and social organization)

Dimana:

Tekanan (pressures)

= f [populasi pengguna

sumber daya

(29)

16

availability), jumlah

sumber daya (quantity of resources), dan sensitivitas sumber daya (sensitivity of resources)]

Keuntungan (opportunities)

= f [harga pasar (market prices), biaya produksi (production costs), biaya transportasi ( transportation costs, dan teknologi technology)]

Kebijakan (policies)

= f [subsidi (subsidies), pajak (taxes), hak-hak properti (property rights), infrastruktur (infrastructure), dan penentu kebijakan ( governance)]

Kerentanan (vulnerability)

= f paparan terhadap gangguan luar (exposure to external perturbations),

sensitivitas

(sensitivity), dan kemampuan mengatasi (coping capacity) Organisasi sosial

(social organization)

= f [sarana sumber daya (resource access), distribusi pendapatan (income distribution), household features, dan interaksi antara masyarakat kota dan desa (urban-rural interactions)]

Model perubahan penggunaan lahan biasanya memiliki tiga komponen, yaitu :

1. Peta penutupan lahan pada beberapa tahun.

2. Fungsi perubahan lahan yang memodifikasi nilai dan spasial perubahan tiap penutupan lahan pada peta.

3. Peta hasil prediksi. (Lambin 1999, diacu dalam Schneider 2001).

Komponen kedua yaitu fungsi perubahan lahan dapat dibentuk dengan menggunakan regeresi logistik. Regresi ini

digunakan ketika variable tak bebasnya berbentuk data diskrit (Eastman 1999) dan bersifat dikotomi (Schneider 2001). Berdasarkan model regresi, peluang perubahan dapat dihitung untuk setiap lokasi yang berpotensi mengalami perubahan (Verburg 2003). Struktur regresi logistik dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

1. Variabel respon terdiri dari binomial bebas yang menunjukan perubahan. 2. Peluang perubahan tergantung variable

bebas yang bersifat biner.

3. Fungsi berupa logit transform yang linier dengan variabel bebas untuk memperkirakan nilai binomial (Weisberg 1985).

Model yang dibangun dan diestimasi bermanfaat sedikitnya untuk dua pertimbangan. Pertama, menyediakan suatu kerangka untuk menguji beberapa faktor signifikan yang telah dihipotesakan menjadi valid untuk perubahan. Kedua, dapat memungkinkan peramalan perubahan tata guna lahan di masa depan yang terjadi (APN 2001).

Sebuah

model statistik dapat dikembangkan sebagai model logit binomial dari dua pilihan: mengkonversi i lokasi menjadi lahan k atau tidak. (Verburg 2010)
(30)
[image:30.595.107.515.84.644.2]

17

Gambar 15. Faktor yang mempengaruhi cadangan karbon [image:30.595.111.504.397.618.2]

Sumber: Vasander dan Jauhianien (2008)

Gambar 16. Bagan Proses Perubahan Lahan Sumber Verburg 2010

2.4 Kebijakan Pengurangan Emisi Karbon Pada tahun 1981, deforestasi telah dilegalkan dalam peraturan perundangan yang mencakup 30 Mha hutan konversi ( Murdiyarso dan Adiningsih 2007). Selanjutnya pada awal 2009, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengijinkan pengembangan perkebunan kelapa

(31)

18

(2008) mengarahkan bahwa, lahan gambut

yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada gambut dangkal (< 100 cm) dengan dasar pertimbangan bahwa gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan memiliki risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam. Dasar pemanfaatan lahan gambut yang selama ini hanya mengandalkan KEPPRES No. 32 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa ketebalan gambut lebih dari 3 meter untuk dikonservasi atau untuk kehutanan dan kurang dari 3 meter dapat dijadikan kawasan produksi, tampaknya harus ditinjau kembali (Limin 2006). Kegiatan ini akan dapat menyebabkan terjadinya subsiden pada bagian gambut dalam di kubahnya, suatu proses yang akan terus berlangusng hingga keseluruhan kubah akan lebih rendah dari 3 meter sehingga akhirnya

“layak” untuk direklamasi. (Silvius dan

Suryadiputra 2005).

Lahan gambut tropis merupakan kolam karbon terestrial yang sangat penting namun sangat rentan dan telah menjadi sumber utama emisi karbon sehingga diperlukan perubahan kebijakan untuk melakukan langkah-langkah mitigasi (Murdiyarso et al. 2010). Perubahan cara pengelolaan atau sistem penggunaan lahan kemungkinan memerlukan tambahan biaya atau menurunkan tingkat keuntungan finansial sehingga diperlukan insentif di tingkat lokal untuk merubah sistem penggunaan lahan tersebut (Agus dan Subiksa 2008)

Selama setahun terakhir, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang, peran konservasi, serta pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan karbon hutan (yang dikenal sebagai "REDD +") telah muncul sebagai isu utama dalam negosiasi perubahan iklim pada tingkat internasional dan masuk ke dalam media publik. (World Bank 2011). REDD (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi) adalah istilah umum untuk kebijakan internasional dan mekanisme keuangan yang akan memungkinkan pendanaan konservasi hutan dan pendirian, dan atau pembelian dan penjualan karbon hutan berskala

(32)

19

Emisi dari lahan gambut saat ini

mencakup 38% dari total seluruh emisi CO2 di Indonesia yaitu sebesar 772Mton CO2e pada tahun 2005 dan akan meningkat sebesar 20% yaitu 972 Mton CO2e pada tahun 2030 (berdasarkan skenario BAU) jika tidak ada tindakan utama yang dilakukan. Peningkatan emisi CO2e pada lahan gambut tersaji pada gambar (30)berikut (DNPI 2010)

Perubahan drastis dalam pengelolaan dan konservasi air dan darat sangat diperlukan untuk mengurangi emisi CO2 di lahan gambut. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi CO2 juga harus mengurangi efek-efek negatrif lainnya dari praktek pengelolaan gambut saat ini ( Hooijer et al. 2006) :

a. Kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran gambut, yang mempengaruhi kesehatan publik dan ekonomi (dampak kepada sumber daya alam, wisata dan sektor perhubungan) di seluruh wilayah regional.;

b. Hilangnya produktivitas pada perkebunan di gambut dalam, yang sering kali akan menjadi tidak bisa dikeringkan lagi dalam beberapa dekade akibat terjadinya subsidensi;

c. Hilangnya produksi kayu alam dalam jangka panjang akibat degradasi hutan yang tersisa;

d. Hilangnya keanekaragaman hayati;

e. Masalah banjir di daerah hilir dari lahan gambut yang dikeringkan dan terdegradasi; f. Intrusi air laut dan terbentuknya tanah

sulfat masam di daerah pesisir.

Pengelolaan drainase adalah salah satu aspek kunci dalam pengembangan kawasan Eks-PLG. meskipun drainase di daerah gambut (dan sejumlah daerah mineral) akan menghasilkan perubahan yang tidak dapat dikembalikan dan bertentangan dengan tujuan rehabilitasi lahan. Rehabilitasi fungsi-fungsi hidrologis akan membutuhkan waktu lama, mencapai beberapa dasawarsa, namun prosesnya sebaiknya dimulai sesegera mungkin untuk mengurangi oksidasi gambut, memberi kesempatan untuk regenerasi hutan secara alamiah, dan menyediakan air untuk lahan pertanian di sekelilingnya selama musim kemarau. Di Kawasan Lindung, pendekatan ini menuntut pengembangan suatu sistem berupa lebih dari 700 bendungan kecil (tabat) untuk

penambatan saluran drainase. gambut ( Tim Rencana Induk 2007) ( Gambar 17).

Gambar 17. Peta lokasi penabatan saluran indikatif dengan jarak seling (interval) 1,0 meter (ditandai dengan titik-titik merah) dan lokasi tambahan dengan jarak seling 0,5 meter (titik-titik warna biru). Sumber Tim Rencana Induk 2008

Rehabilitasi lahan basah menggabungkan pemulihan fungsi hidrologi gambut dan penanaman kembali dengan spesies asli. Rehabilitasi lahan gambut dengan menambat saluran-saluran drainase relatif lebih murah dengan biaya di bawah 1 dolar Amerika per ton pengurangan emisi CO2e dibandingkan dengan penanaman kembali lahan gambut yg telah terdegradasi yaitu memerlukan biaya 500 sampai 1100 dolar Amerika per hektar atau 3 sampai 5 dolar Amerika per ton pengurangan emisi CO2e.

[image:32.595.333.504.135.306.2]
(33)

20

sangat berbeda dengan daerah lainnya, dan

memerlukan pemahaman akan sistem hidrologi, dimana pemahaman tersebut biasanya kurang terlihat pada pengelolaan air lahan gambut saat ini (Asia Tenggara). Selain itu, terdapat pemikiran bahwa pemadaman api adalah jawaban bagi kejadian kebakaran gambut yang berulang-ulang; hal tersebut mungkin benar hanya dalam beberapa hal karena A) kebakaran gambut nyaris tidak dapat dipadamkan apabila sudah menyebar ke daerah yang luas dan B) akar penyebab kebakaran adalah keringnya gambut akibat drainase. Lebih jauh lagi, emisi CO2 lahan gambut tidak hanya disebabkan oleh api tetapi juga karena dekomposisi secara lambat. Pengembangan kapasitas pengelolaan air di wilayah gambut sangat krusial dalam mengurangi emsisi CO2 di wilayah tersebut ( Hooijer et al. 2006)

III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor, pada bulan Juni 2010 sampai Juni 2011.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi beberapa pernagkat lunak yaitu :

1. ArcGIS versi 9.3 2. ArcView versi 3.2 3. SPSS versi 17 4. Minitab 15

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu :

1. Peta digital penutupan lahan format shapefile tahun 2003 dan 2006

2. Data demografi Badan Pusat Statistik wilayah Kalimantan Tengah untuk kecamatan Kahayan Kuala, Kahayan Hilir, Pandih Batu, dan Basarang tahun 2003 sampai tahun 2008

3. Data statistik Departemen Kehutanan wilayah Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2008 dan 2010

Berdasarkan kriteria dari faktor-faktor penentu perubahan lahan yang telah disebutkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan data-data dalam bidang

sosial-ekonomi serta faktor biofisik lainnya seperti jarak ke permukiman, jarak ke sungai, jarak ke hutan, dan jarak ke lahan pertanian.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Perhitungan Emisi Karbon Atas Permukaan

Perhitungan emisi CO2 pada penelitian ini menggunakan nilai emisi yang berasal dari beberapa literatur yang telah dipublikasikan yang tertera pada tinjauan pustaka. Persamaan yang digunakan untuk menghitung emisi CO2 Jauhiainen et al .(2001), Jauhiainen et al. (2004). dan Jauhiainen et <

Gambar

Gambar 1 Laju deforestasi periode 1990 -
Gambar 3 Frekuensi kebakaran Lahan rawa
Gambar 4
Tabel 2 Jumlah Penduduk Daerah Kajian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan yang tidak bermakna antara variabel pengetahuan gizi dan pendidikan ibu dengan kemampuan kognitif juga dapat dikarenakan adanya keterbatasan penelitian seperti

Indikator kinerja sasaran yang mengidentifikasi apakah kedua sasaraan strategis yang telah ditetapkan dalam rencana strategis Birosarpras tahun 2015-2019 dan rencana kerja

Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada skala subjective well-being warga binaan pemasyarakatan antara kelompok eksperimen dan kontrol

Tambahan pula, sekiranya berlaku kekangan yang mana akan menyebabkan mereka tidak dapat mengajar para pelajar mereka seperti biasa, mereka boleh menggunakan laman web ini

02 Urusan Wajib Bukan Pelayanan Dasar Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Organisasi

Saran yag dapat diberikan, yaitu: 1) Untuk peneliti selanjutnya melihat hubungan antara perbedaan jenis obat yang digunakan untuk khemoterapi dengan efek mielosupresi,

Teknik Selektif Breeding pada Calon Induk Ikan Nila Pandu dan Kunti (Oreochromis niloticus) di Satuan Kerja Perbenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar Janti,

Karya Tulis Ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian akhir Program Studi D3 Analis Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas