• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unggah-Ungguh Dalam Etika Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Unggah-Ungguh Dalam Etika Jawa"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

UNGGAH-UNGGUH DALAM ETIKA JAWA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I.)

Oleh: Sri Handayani NIM.102033124739

JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

UNGGAH-UNGGUH DALAM ETIKA JAWA

Skripsi

Oleh: Sri Handayani NIM.102033124739

JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, tak lupa Shalawat dan Salam penulis haturkan kepada beliau Nabi Muhammad saw, sebagai sumber inspirasi sehingga skripsi sederhana ini bisa terselesaikan dengan baik.

Dengan segala daya upaya telah dicurahkan meskipun melalui dengan berbagai halangan dan rintangan yang akhirnya telah sampai pada titik penutupannya. Hanya kemauan dan kerja keras manusia mampu merubah dirinya sendiri menjadi lebih baik. Begitu pula tatanan unggah-ungguh yang menerapkan sikap yang santun sehingga menjadi manusia yang berakhlaqul karimah.

Sungguh suatu tidak disangka penulis bisa mencapai penghargaan bisa kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tapi Alhamdulillah dengan berjalannya waktu, dalam kemudahan dan kesulitan dengan cara tertatih-tatih dan penuh kesabaran, lembar demi lembar mampu terurai dengan kata-kata hingga pada ujungnya. Sungguh suatu penantian dan perjalanan yang panjang. Untuk itu tanpa mengurangi rasa hormat, penulis menghaturkan mohon maaf kepada yang tersayang tiada henti mae pae, karena tidak bisa tepat waktu dalam menyelesaikan study ini dikarenakan berbagai kendala.

(4)

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

2. Dr. Amin Nurdin, MA, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

3. Bapak Prof. Dr. Suwarno Imam S, selaku pembimbing penulis yang telah banyak menyisihkan waktu, dan sabar mendampingi penulis selama proses srikpsi berlangsung.

4. Bapak Drs. Agus Darmaji, Mfils, selaku ketua jurusan, beserta Bapak Drs. Ramlan A.Gani, MA, selaku sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat yang baik dan sabar dalam melayani mahasiswa Aqidah Filsafat, serta seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Seluruh Pegawai perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah menyediakan fasilitas yang sempurna. Semoga Perpustakaan FUF semakin lengkap dan tambah maju.

6. Kepada kedua Orang tua; Bapak Munawir dan Ibu Aslamiyah. Dengan segala curahan kasih sayangnya baik lahir maupun batin, yang tak henti-hentinya ada doa dalam setiap hirup nafasnya, sehingga menjadi sumber inspirasi dan motivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Doaku selalu menyertaimu.

(5)

hidupku, tanpa dorongan dan dukunganmu penulis tidak mungkin seperti ini. Hanya doa dan ucapan terima kasih yang bisa terucapkan. Serta Adik, M. Irkham Fadloli dan Siti Khoiril Baridah (dind), Teruskan perjuanganmu dengan sabar, tabah dan kuat. Tak lupa ponakan kecil dan lucu Humam Sya’bani Sukma Nurdjati, semoga cepat sembuh dan jangan nakal ya….

8. Segenap Keluarga Besar di Bekasi; Keluarga Lek Set dan bulek, Terima kasih tak terhingga untuk sopport dan perhatiannya selama ini semoga cepat dikaruniai momongan. Keluarga kang Jadi dan mbak Tatik yang selalu baik, semoga selalu dalam kemudahan dan kelancaran. Keluarga mbak siroh, keluarga mbak Mus, Morin, Brian dan Keluarga Bu Keni; Mas Iwan, Yayan, Yoni, semoga kita selalu menjalin tali Silaturrahmi. Untuk keluarga baru yudah, dan tak lupa keluarga besar yang ada di Doreng.

9. Untuk sahabat-sahabat seperjuangan Jurusan Aqidah Filsafat 2002; Nova, terima kasih atas editannya, Wardah, Iput, Arif, ka’ Oby (roby), Ucup, Soim, Asep, Felix, hadi, saudi dan yang tak bisa disebutkan, semoga kita semua sukses. Dan untuk temen-temen FUF.

(6)

tempat penulis belajar mengajar; ka ika, ka iing, ka jay, ka sarim, ka oni, ka, asep, ka taufiq, ka supra, semoga kita sukses.

Teruntuk “teman sejati” Isna Spanyole. Engkau adalah pelangi cinta dalam mengarungi samudra hidup, sumber kekuatan dalam suka dan duka. Dalam ruang dan waktu penulis doakan semoga diberi kemudahan dan kelancaran untuk cita-cita kita. Terima kasih engkau telah memberikan mutiara-mutiara yang indah.

Serta semua pihak yang tak bisa disebutkan semuanya terima kasih atas bantuan nya, semoga Allah SWT membalasnya dengan setimpal. Kiranya penulis mohon maaf jika ada kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga bermanfaat bagi semuanya. Amin.

Ciputat, Penulis

Sri Handayani NIM. 102033124739

(7)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. ETIKA JAWA A. Pengertian Umum Etika ... 9

B. Pengertian Etika Jawa... 13

C. Karakteristik Manusia Jawa... 15

D. Unggah-Ungguh dalam Etika Jawa... 21

BAB III. ETIKA JAWA TENTANG UNGGAH-UNGGUH A. Pengertian Unggah-Ungguh... 26

B. Unggah-Ungguh dalam Beberapa Aspek... 30

C. Perkembangan Unggah-Ungguhing Basa... 34

D. Ragam Unggah-Ungguh dalam Sikap dan Tindakan... 44

E. Pemakaian Bentuk Hormat dalam Bahasa Jawa... 66

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA... 73

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia tidak dapat lepas dari hubungan dengan sesamanya. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan orang lain demikian juga sebaliknya proses sosial tersebut dalam sosialisasi disebut sebagai interaksi sosial.1 Interaksi yang berlangsung dalam masyarakat berkaitan dengan komunikasi. Melalui perjalanan hidup manusia dari zaman ke zaman, sistem komunikasi dalam masyarakat mengalami perkembangan dan lambat laun sistem komunikasi mengalami kemajuan yang lebih praktis dari sebelumnya.

Komunikasi yang dilakukan manusia sedikit banyak membawa pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Manusia dalam berkomunikasi mengalami berbagai bentuk fenomena, baik berupa konflik, kerja sama dan sebagainya. Hidup seakan terentang dalam suatu jaringan norma2 yang berupa ketentuan, kewajiban, larangan dan lain sebagainya. Jaringan itu seolah-olah membelenggu manusia, mencegah manusia dari bertindak sesuai dengan segala keinginannya, yang mengikat manusia untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya dibenci atau sebaliknya. Menghadapi semacam ini, nampaknya

1

Abdulsyani, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 153.

2

(9)

manusia membutuhkan solusi dan orientasi yang tepat dalam menjalani hidup. Dalam hal ini etika memiliki peranan yang sangat besar dan vital.

Etika yang berlaku di Indonesia berbagai ragam. Ada daerah yang kuat sekali etikanya yang berpangkal pada adat aslinya, ada yang berpangkal kuat pada agama yang sangat berpengaruh di daerah itu, ada juga daerah yang sama kuat etikanya berpangkal pada adat maupun agama sehingga terjadi akulturasi.3 Berbagai ragam dalam bidang etika ini dibawa oleh sejarah daerah masing-masing dalam menerima dan menyerap etika yang datang kesana.

Bangsa Indonesia dari zaman purba telah mempunyai kumpulan norma-norma dan nilai-nilai etikanya, yang mengatur tata kehidupan mereka. Masuknya agama dan kebudayaan Hindhu kemudian ke Indonesia membawa etika yang bersumber dari agama Hindhu. Di dalam epos Mahabharata misalnya digambarkan perbuatan-perbuatan kepahlawanan dari tokoh-tokoh sejarah Hindhu, yang kemudian dijadikan teladan yang dimasukkan dalam ceritera atau lakon wayang di Jawa.4 Demikian juga Islam yang disebarkan oleh Walisongo, sangat mendominasi hampir semua tanah di Jawa. Selain itu, Barat juga membawa etika yang bersumber dari Katolik, dan dipakai didaerah-daerah yang penduduknya memeluk agama ini. Sejalan dengan ini mulai pula dibawa etika filosofis, yang berpangkal pada filsafat Yunani Kuno.5 Etika filosofis inipun dipelajari pula oleh orang Indonesia, lebih-lebih di perguruan tinggi.

3

Sahat Simamora, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: PT. Bina Aksara,1987), h. 11

4

Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, (Semarang: Dahara Prize, 1992), h. 24. Selanjutnya ditulis Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa ... .

5

(10)

Masuknya etika tersebut sedikit banyak mewarnai masyarakat baik dalam hal pandangan hidup, prilaku, pola hidup bahkan ideologi. Di Indonesia khususnya suku Jawa memiliki corak budaya yang khas sehingga menarik perhatian para sarjana lokal bahkan tidak sedikit sarjana asing yang melakukan penelitian tentang Jawa. Sebagai orang Suku Jawa, penulis juga merasa terpanggil dengan eksistensi budaya Jawa tersebut. Namun untuk meneliti secara sistematis dan kronologis membutuhkan waktu dan biaya tidak sedikit.

Etika secara umum mencakup hampir semua yang berkaitan dengan aktifitas manusia. Di samping itu pembahasan etika sangat luas, sehingga Frans Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi. Dalam hal ini manusia berusaha menggunakan akal budi dan daya pikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ingin menjadi lebih baik.6

Disebut etika secara umum karena cakupannya sangat luas, sedangkan yang lingkupnya lebih terbatas adalah etika khusus. Yang terakhir ini seperti etika Barat, etika Timur, etika Islam, dan sebagainya termasuk etika Jawa yang cakupannya lebih spesifik atau khusus pada daerah tertentu yaitu Jawa.

Etika Jawa merupakan usaha lahir batin orang Jawa untuk mencari solusi terbaik dalam menelusuri jalan hidup. Bicara etika Jawa tidak terlepas

6

(11)

dari sifat dan prilaku orang Jawa. Orang Jawa memiliki pola hidup yang unik. Mereka mempunyai baik dan buruk yang khas sebagai orang Timur.7

Tingkah laku dan sifat orang Jawa dalam hidup bermasyarakat sulit dipahami bahkan tidak dapat ditebak dengan pasti. Pada kehidupan sehari-hari sering dijumpai bahwa ketika orang Jawa merasa sungkan malu-malu ketika disuguhi hidangan. Hal ini sulit dipastikan apakah dia tidak suka atau pantangan terkait dengan kesehatannya ataukah dia merasa sudah kenyang dan sebagainya. Jelasnya, orang Jawa sangat pandai dalam hal menyembunyikan maksud hatinya. Selain itu yang tidak kalah menariknya adalah cara mereka memegang prinsip hidup seperti: saiyeg saeka praya, patembayan, pasrah, narimo ing pandum,8manunggaling kawula-gusti9 dan sebagainya, adalah prinsip yang bermakna filosofis bagi orang Jawa.

Prinsip seperti ini menunjukkan bahwa orang Jawa selalu merendah hati, sangat hormat kepada orang lain bahkan rela berkorban apapun demi orang lain sehingga terwujud hidup rukun dan damai.10 Jika demikian yang terjadi adalah sesuatu yang sangat positif dan mulia. Akan tetapi yang kurang baik apabila terjadi sebaliknya, dimana orang Jawa yang selalu atau memang seharusnya memberi hormat di depan orang yang lebih tua atau lebih tinggi derajatnya tetapi di belakang ada dendam dan sakit hati. Karena sikap yang

7

Frans Magnis Suseno dan S. Reksosusilo C.M., Etika Jawa Dalam Tantangan Sebuah Bunga Rampai, (Yogyakarta: Kanisius, 1983). Selanjutnya ditulis Frans Magnis Suseno dan S. Reksosusilo C.M., Etika Jawa Dalam Tantangan Sebuah Bunga Rampai ... .

8

H. Ridin Sofwan, “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan Ritual,” dalam H.M. Darori Amin, ed., Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h. 125.

9

Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 28.

10

(12)

demikian, dimana orang Jawa meskipun hatinya tidak rela bahkan dendam kepada orang lain yang lebih tua atau derajatnya lebih tinggi dia harus memberi hormat pada orang lain yang lebih tinggi baik usia, derajat maupun kedudukannya. Hal inilah yang membuat penulis tertarik pada sikap orang Jawa terutatama masalah unggah-ungguh.

(13)

Unggah-ungguh sebagai salah satu unsur pokok tata krama dalam etika jawa dapat memberikan warna disetiap tindakan yang lebih baik tanpa adanya unsur pamrih atau agar mendapat pujian dari orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka sangatlah perlu untuk diuraikan dan dijelaskan tentang pemaknaan dan pengetahuan secara mendalam unggah-ungguh sehingga dapat diaktualisasikan dalam penerapan kehidupan pada saat ini yang nilai-nilai dan norma-normanya telah mulai pudar eksistensinya. Tentu saja hal ini sangat menarik dan penulis merasa tertantang untuk mengkajinya, yang kemudian akan ditulis dalam sebuah tulisan ilmiah yang diberi judul ”Unggah-Ungguh DalamEtika Jawa”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, untuk mempermudah dalam penelitian ini, maka penulis membatasi masalah yang diteliti yaitu:

1. Pengertian unggah-ungguh dalam etika Jawa. 2. Perkembangan unggah-ungguhing basa. 3. Unggah-ungguh dalam beberapa aspek.

4. Ragam unggah-ungguh dalam sikap dan tindakan.

(14)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian skripsi ini tidak terlepas dari permasalahan yaitu untuk:

1. Mengetahui makna unggah-ungguh dalam etika Jawa. 2. Mengetahui perkembangan unggah-ungguhing basa.

3. Mengetahui ragam unggah-ungguh dalam sikap dan tindakan.

D. Metode Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode diantaranya:

1. Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu menelaah buku-buku pustaka tertulis yang ada kaitannya dengan masalah yang dikaji.

2. Metode Deskriptif

Yakni seluruh data penelitian yang terkumpul, kemudian disusun dalam bentuk paparan yang bersifat deskriptif.

(15)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I membahas Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian, tujuan penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II membahas Memuat etika Jawa yang mencakup tentang gambaran umum etika, baik menurut bahasa maupun istilah.

Bab III membahas Penulis mencoba memaparkan tinjauan tentang unggah-ungguh yang mengandung isi: pengertian umggah-ungguh baik secara etimologi maupun terminologi, perkembangan unggah-ungguh yang dilihat dari segi perkembangan dialektika Jawa dan karya sastra Jawa dan ragam unggah-ungguh yang dilihat dari segi kedudukan, usia, dan status sosial.

(16)

BAB II

ETIKA JAWA

A. Pengertian Umum Etika

1. Pengertian Etimologi

Etika sering kali disebut sebagi filsafat moral. Secara etimologi kata ”etika” berasal dari dua kata Yunani: ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Etikhos berarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik.1 Istilah moral berasal dari kata latin mores, yang merupakan bentuk jama’ dari mos, yang berarti adat istiadat atau kebiasaan watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup.2 Sedangkan dalam bahasa Arab kata etika di kenal dengan istilah akhlak, artinya budi pekerti. Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut tata susila.3 Selanjutnya dalam sejarah filsafat, etika merupakan cabang yang berpengaruh sejak zaman Sokrates (470-399 SM). Etika membahas baik buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak.4 Etika bisa juga diartikan dengan ilmu yang membahas mengenai moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan

1

Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2000), h. 217. Selanjutnya ditulis Lorens Bagus, Kamus Filsafat ... .

2

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 672, Lihat juga pada Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 62.

3

Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat (Jakarta: Wijaya, 1978), h. 9.

4

(17)

moralitas.5 Jadi awalnya etika adalah masalah sifat pribadi yang meliputi apa yang disebut menjadi manusia baik tetapi juga merupakan masalah sifat keseluruhan masyarakat.

Jadi, yang membedakan arti kata etika, moral, dan akhlak dalam pemakaiannya, yaitu sebagimana diungkapkan oleh M. Said sebagai berikut:

Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penggunaannya ada sedikit perbedaan. Moral dan moralitas dipaki untuk perbuatan yang sedang dinilai seperti baik dan buruk. Sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai dan kode. Orang menyebut perbuatan yang bermoral dan immoral, atau orang menyebut sistem nilai, norma etik atau kode etik. Yang membedakan ialah kata akhlak yang berarti tabiat, watak, budi pekerti.6

Dengan demikian, apabila ingin mempelajari etika Jawa secara umum dan unggah-ungguh yang lebih sempitnya, berarti mengkaji tentang nilai-nilai dan norma-norma unggah-ungguh dalam etika Jawa menurut filsafat etika. Oleh karena itu sesuai dengan tujuan dari pokok karya tulis ini, bahwa etika Jawa tentang uggah-ungguh mengandung nilai atau norma tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik mempelajarinya.

2. Pengertian Terminologi

Secara terminologi, para tokoh intelektual mendefinisikan etika berfariatif dan cenderung menekankan pada yang didominasi oleh disiplin ilmu yang didalaminya. Ada yang menekankan aspek historik,7 aspek

5

K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1999), h. 15.

6

M. Said, Etika Masyarakat Indonesia (Jakarta: Pradya Pramita, 1976), h. 23.

7

(18)

deskriptif,8 dan menekankan pada sifat dasar etika sebagai ilmu yang normatif dan bercorak kefilsafatan.9 Berikut definisi yang diberikan oleh beberapa tokoh diantaranya adalah Frans Magnis Suseno. Menurut F.M. Suseno, etika adalah suatu ilmu yang mencari solusi dan merupakan bagian dari filsafat, yakni usaha manusia yang menggunakan akal dan daya pikirannya untuk mencari solusi, agar hidupnya menjadi baik dan benar.10 Berkaitan dengan hal ini nampaknya F.M. Suseno tidak mau lepas dari sosio-historis munculnya ilmu etika.

Adapun pendapat Ahmad Amin menjelaskan bahwa etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.11

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan membedakan menjadi tiga arti yaitu: 1). Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), 2).

8

Etika dipandang sebagai ilmu yang membicarakan masalah baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama, sedikit mengabaikan realita keragaman norma karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan bersifat sosiologi.

9

Etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, evaluatif, yang hanya memberikan nilai baik buruk terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup memberikan informasi, mengajukan dan merefleksikan. Ahmad Kharis Zubair, Kuliah Etika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, h. 17.

10

Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 15.

11

(19)

Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan akhlak, 3). Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.12

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang arti baik dan buruk, benar dan salah kemudian manusia menggunakan akal dan hati nuraninya untuk mencapai tujuan hidup yang baik dan benar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Jadi manusia dapat melakukan apa saja yang dikehendaki yang dianggap baik dan benar, meskipun hati nuraninya menolak dan yang terpenting tujuannya dapat tercapai.

Lapangan penelitian etika adalah sangat luas sehingga pembahasannya perlu pembagian. Pembagian yang umum adalah etika umum atau disebut etika dasar yakni penguraian prinsip-prinsip luas yang harus mengatur semua perbuatan kemanusiaan. Sedangkan etika khusus menguraikan pengeterapan dari pada prinsip-prinsip dasar pada pola-pola atau bentuk-bentuk perbuatan kemanusiaan yang utama. Selanjutnya etika khusus terbagi menjadi etika perorangan dan etika sosial. Etika umum merupakan tema yang bersifat umum dan cenderung bersifat teoritis, sedangkan etika khusus merupakan implementasi dari tema dan teori yang bersifat umum tersebut terhadap perilaku manusia yang khusus. Khusus di sini dapat berarti pula bersifat indifidual dan juga bersifat lebih spesifik cakupannya. Berkaitan dengan lingkup yang spesifik ini etika Jawa termasuk didalamnya.

12

(20)

B. Pengertian Etika Jawa

Setelah diuraikan di atas tentang gambaran etika secara umum, maka disini akan diulas pengertian etika Jawa. Etika Jawa terbentuk dari dua kata yaitu kata ”etika” dan ”Jawa”. Etika sebagaimana tersebut di atas yaitu suatu ilmu yang membahas tentang arti baik dan buruk, benar dan salah kemudian manusia menggunakan akal dan hati nuraninya untuk mencapai tujuan hidup yang baik dan benar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.

Sedangkan yang dimaksud Jawa di sini memiliki banyak pengertian. Bisa berarti orang Jawa, masyarakat Jawa, bahasa Jawa, dan sebagainya. Karena berkaitan dengan etika dimana obyek dan sasarannya adalah manusia, maka pembahasan ini difokuskan pada pengertian Jawa dalam arti orang Jawa. Menurut Budiono Herususanto yang mengutip istilah dari Koentjaraningrat, suku Jawa adalah orang-orang yang memakai bahasa Jawa secara turun-temurun dengan beberapa macam dialek dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berasal dan bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.13 Mayoritas orang Jawa itu berbudaya satu. Mereka berperasaan dan berfikir seperti nenek moyangnya, di Jawa Tengah dengan kota Yogyakarta dan Solo sebagai pusat kebudayaan. Meskipun mereka telah hengkang dari pulau Jawa, dalam menghayati budaya hidup mereka tetap berkiblat pada Solo dan Yogyakarta.14

Menurut Clifford Geertz, orang Jawa dikategorikan dalam bentuk tiga golongan, yaitu santri, abangan dan priyayi. Santri dikonotasikan sebagai

13

Budiono Herususanto, Simbolisme Manusia Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2001), h. 37.

14

(21)

pemeluk agama Islam yang taat, sedangkan abangan adalah pemeluk agama yang kurang taat, dan priyayi merupakan golongan konglomerat, para pegawai dan pejabat pemerintah atau kelas ekonominya kelas menengah ke atas.15

Sedangkan menurut Frans Magnis Suseno, orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa yakni mencakup Jawa Tengah dan Jawa Timur. F.M. Suseno membedakan orang Jawa menjadi dua golongan sosial yaitu: 1). Wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota, 2). Kaum priyayi, di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual, dan kelompok kecil tetapi tetap mempunyai prestise yang cukup tinggi, yaitu kaum ningrat (ndara) yaitu kaum yang tidak berbeda dari kaum priyayi sebagai dasar lapisan-lapisan sosial-ekonomis dan keagamaan.16

Dengan demikian kata etika dan Jawa merupakan bentuk kata yang mempunyai makna yang padu dan membentuk suatu aturan dalam masyarakat Jawa. Apabila digabungkan arti etika Jawa mengandung makna filosofis yang mendalam. Jadi etika Jawa dapat diartikan sebagai usaha lahir batin orang Jawa untuk mencari solusi terbaik dalam menelusuri jalan hidup demi tercapainya tujuan yang diinginkan berdasarkan adat, faham dan keyakinan masyarakat Jawa menurut golongan dan kedudukannya asing-masing. Orang

15

Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), h. 480.

16

(22)

Jawa dapat dilihat dari segi kebudayaan atau adat, dari segi kenikmatan hidup dan dari segi keyakinan atau kepercayaan Jawa.

C. Karakteristik Orang Jawa

Seperti yang telah ditegaskan di atas, bahwa orang Jawa di sini adalah mereka yang dikategorikan sebagai abangan. Dalam hal ini orang Jawa yang demikian dapat dilihat dari beberapa segi antara lain:

1. Orang Jawa Dilihat dari Segi Kebudayaan atau Adat

Menurut Simuh kebudayaan terdiri atas dua komponen yaitu komponen isi dan komponen wujud. Dimana komponen wujud mengandung; sistem budaya, ide dan gagasan, sistem sosial, tingkah laku dan tindakan, termasuk juga benda-benda yang bersifat materiel. Sedangkan komponen isi meliputi: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial ilmu pengetahuan, agama dan kesenian.17 Sehingga nilai budaya selalu diwarnai tindakan-tindakan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Wayang merupakan salah satu budaya Jawa meskipun ada yang mengatakan wayang awal mulanya dari India. Wayang merupakan simbol dari budaya masyarakat Jawa, dimana tokoh-tokoh dalam pewayangan menjadi teladan masyarakat Jawa.18 Ini berarti bahwa etika Jawa juga dapat dilihat dalam dunia pewayangan yang telah lama berkembang sebagai kesenian rakyat dan menyatu dengan kehidupan masyarakat Jawa.

17

Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), h. 110.

18

(23)

Menurut Sudirman Tebba yang mengutip istilah dari Hazim Amir, nilai etis wayang harus dimulai dari pembicaraan tentang nilai kesempurnaan.19 Dalam wayang nilai kesempurnaan sejati merupakan nilai kesempurnaan yang serba lengkap, utuh dan tanpa cacat, karena ia merangkum semua nilai luhur seperti: nilai-nilai kesatuan, kebenaran, kesucian, keadilan, keagungan, kebijaksanaan, kekasihsayangan, keberanian, semangat dan pengabdian, kekuatan, kekuasaan, keamandirian dan kemerdekaan, kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan dan kesentosan sejati.

Dalam wayang, orang Jawa juga dapat melihat sejumlah watak dan kepribadian yang amat banyak. Ada dewa dan orang brahmana, ksatria, buto (raksasa) dan para punakawan. Mereka semua meski termasuk salah satu dari dua kubu yang saling berlawanan,20 yakni antara simbol baik dan buruk. Sebenarnya ada dua siklus dalam wayang yakni Ramayana dan Mahabarata. Namun dikalangan Jawa siklus Mahabaratalah yang paling populer. Biasanya pagelaran atau pementasan wayang difungsikan sebagai nulak balak (menghindari malapetaka) yang dikeramatkan atau untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting yang mengandung nilai-nilai sakral.

Jadi dengan wayang sebagai simbol masyarakat Jawa mengandung makna filosofis, di mana wayang yang selalu menampilkan konflik antara

19

Sudirman Tebba, Etika dan Tasawuf Jawa; Untuk Meraih Ketenangan Hati (Tangerang: Pustaka, 2007), h. 102.

20

(24)

yang benar dan salah, baik dan buruk, demikian seterusnya tanpa ada yang menang dan yang kalah. Budaya semacam inilah yang dipahami oleh masyarakat Jawa sebagai sesuatu realitas hidup, dimana adanya keburukan disitulah kebaikan muncul, atau dengan kata lain baik-buruk akan selalu mewarnai hidup manusia.

Menurut Sujamto ada lima karakteristik yang esensial dalam budaya Jawa yaitu religius, non doktriner, toleran, akomodatif dan optimistik.21 Namun kecenderungan yang paling karakteristik dalam budaya Jawa adalah perpaduan dari lima karakteristik tersebut yang disebut tantularisme, yaitu wejangan dari Empu Tantular yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Sifat dasar dari semangat tantularisme adalah penghormatan yang tulus kepada semua agama dan nilai-nilai kebenaran hakiki. Pancaran dari padanya adalah berupa lima karakteristik tersebut.

2. Orang Jawa Dilihat dari Segi Kenikmatan Hidup

Orang Jawa cenderung menyukai hidup yang mereka sebut nglaras yaitu menyukai kenikmatan hidup atau menikmati hidup. Untuk mendapatkannya mereka bersedia mengabaikan kepentingan-kepentingan lainnya, sehingga dapat dikonotasikan sebagai makhluk hedonis, yang

21

(25)

memuja atau mengedepankan kenikmatan.22 Dengan menikmati hidup semacam ini orang Jawa terkesan malas, meskipun dalam kenyataannya mereka merupakan pekerja berat yang bersemangat tinggi.

Keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Di dalam keluarga sikap sepi ing pamrih benar-benar dialami. Yaitu suatu sikap yang tidak egois dan selalu memperhatikan kepentingan yang lain. Keluarga terdekat itulah yang dengan tegur sapanya lewat peragaan konkrit dalam sikap keseharian mereka, menjaga agar anggota keluarga tidak terlalu jauh menyeleweng dari rel kaidah-kaidah budaya mereka (budaya Jawa).

Di samping keluarga sebagai pusat sarang keamanan dan sumber perlindungan, bentuk kemasyarakatan Jawa terdapat juga pada bentuk-bentuk kebersamaan atau paguyuban seperti kekeluargaan dan bentuk-bentuk masyarakat gotong-royong.23 hidup kekeluargaan itu sungguh-sungguh mewujudkan hidup bersama dalam masyarakat yang paling kecil yaitu masyarakat desa atau yang lebih luas dengan sebutan masyarakat daerah. Sistem hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam hukum adatnya. Adat istiadat dimana setiap orang laki-laki bekerja membantu keluarga yang lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan sawah, membantu membuat rumah, hajatan (slametan) dan kepentingan-kepentingan lainya. Hal ini merupakan landasan masyarakat gotong royong.

22

Maria A., Sardjono, Paham Jawa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h. 26.

23

(26)

Semboyan-semboyan seperti ”saiyeg saika praya”, ”gotong royong”, merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga atau keluarga. Hal ini merupakan ciri dari kepribadian orang Jawa semuanya. Oleh arena itu masyarakat Jawa bukanlah merupakan persekutuan individu-individu, melainkan suatu kesatuan bentuk ”satu untuk semua dan semua untuk satu”. Hal inilah yang disebut dengan rasa saling membutuhkan antara lainnya, rasa kekeluargaan yang dipupuk oleh sikap gotong royongan merupakan kenikmatan bersama, sehingga membentuk kerukunan hidup yang selaras dan harmonis.

3. Orang Jawa Dilihat dari Segi Keyakinan atau Kepercayaan

Pemikiran orang Jawa berdasar pada sikap batin yag tepat, dalam arti orang Jawa selau berusaha agar tepat dalam bersikap. Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang berketuhanan. Sejak zaman prasejarah mereka menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah suatu keyakinan yang menganggap bahwa setiap benda yang hidup atau benda mati memiliki jiwa dan roh, sedangkan dinamisme yaitu suatu kepercayaan yang meyakini bahwa setiap benda hidup atau mati memiliki kekuatan gaib.24

Dalam memahami hidup faktor terpenting dalam keyakinan masyarakat Jawa adalah cara mereka memandang dunia dan jagad seisinya. Dalam hal ini orang Jawa memandang adanya jagad gedhe (tata kosmos) dan jagad cilik (manusia), di mana keduanya merupakan satu

24

(27)

kesatuan yang menjadi unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam alam adikodrati (supranatural).25 Sebagaimana tujuan hidup orang Jawa, mereka mengungkap hidup ini akan sempurna apabila sudah manunggal dengan Tuhan (manunggaling kawulagusti).26

Manusia Jawa juga menganggap bahwa hidup adalah abadi artinya sebelum lahir, roh atau jiwa sudah ada, kemudian ketika lahir didunia roh atau jiwa tersebut bersatu dengan jasad, sehingga manusia memiliki sifat-sifat kasar seperti hawa nafsu, iri, dengki dan sebagainya. Untuk mengembalikan agar roh manusia kembali suci atau halus seperti sebelumnya maka manusia harus berusaha keras membersihkan batinnya.27 Demi mencapai tujuan hidup yang sempurna manusia mengembangkan cara-cara yang sekarang disebut kebatinan.

Unsur inti dari filsafat hidup kebatinan adalah tercapainya kemanunggalan dengan tujuan kosmos dengan cara mengatasi diri dan dengan demikian menolak tujuan duniawi. Yang penting adalah pembebasan personal dan bukannnya menyelamatkan dunia, meski pembebasan itu dimulai dengan langkah-langkah duniawi yakni menghormati para orang tua, raja dan tatanan sosial. Itu semua merupakan langkah-langkah awal untuk melatih sikap tanpa pamrih.

Praktek mistik bertujuan untuk mengabaikan hidup keduniaan. Kita tahu bahwa akibat-akibat duniawi dari usaha mistik dianggap bermanfaat

25

Ahmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 43.

26

Abdullah Ciptoprawira, Filsafat Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 50.

27

(28)

namun andaikata itu bukan halnya, etika mistik tetap tidak akan berubah. Manusia baik adalah manusia yang sejalan dengan Tuhan dan dengan tatanan masyarakat yang ditentukan oleh Tuhan.28 Hidup yang selaras, damai tanpa konflik menandakan masyarakat Jawa yang mampu mengolah batin secara tepat, dan sebaliknya jika terjadi bencana alam, kekacauan dimana-mana serta seringnya muncul konflik-konflik sekecil apapun menandakan sikap batin yang tidak tepat bahkan orang Jawa sudah mengabaikan sikap batinnya.

D. Unggah-Ungguh dalam Etika Jawa

Unggah-Ungguh merupakan bagian dari etika atau disebut sebagai etika terapan. Karena lebih cenderung pada perilaku atau merupakan salah satu implementasi dari teori-teori etika secara umum, maka unggah-ungguh disebut sebagai etika. Di depan telah disinggung bahwa etika pada umumnya dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Untuk menghindari kesalahpahaman perlu dijelaskan terlebih dahulu perbedaan antara etika dengan etiket.

Etika sebagaimana telah dijelaskan di muka yaitu suatu ilmu yang membahas tentang arti baik dan buruk, benar dan salah kemudian manusia menggunakan akal dan hati nuraninya untuk mecapai tujuan hidup yang baik dan benar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Sedangkan etiket berasal dari bahasa Perancis yaitu ’etiquette’ semula artinya kartu undangan. Kartu

28

(29)

undangan yang berlaku dikalangan raja-raja atau bangsawan. Dalam kartu itu disebutkan tata cara atau tata tertib, duduk di mana, mengenakan pakaian apa, bertempat duduk di sebelah mana dan sebagainya dalam sebuah pesta.

Pengertian etiket makin lama berubah bukan hanya kartu undangan melainkan sebagai cara bicara, cara berpakaian, cara duduk dan seterusnya, sehingga menjadi kumpulan cara-cara sikap bergaul yang baik diantara orang-orang yang telah beradab. Dengan begitu etiket tidak sama dengan etika. Seorang yang membiasakan diri beretiket akan mencapai hidup yang etis, yang dapat dibenarkan dari segi etika.29 Menilai seseorang dapat berdasarkan etiket orang itu, maka etiket dapat dipakai sebagai ukuran (alat pengukur) moral seseorang. Etika ilmu yang membahas masalah etiket, dan etika merupakan filsafat tentang etiket, lebih tepatnya dalam Jawa disebut tata krama atau unggah-ungguh.

Paling tidak, ada dua kaidah pokok yang terkandung di dalam pengertian unggah-ungguh tersebut yang lebih lengkapnya akan dibahas dalam bab berikutnya. Dua kaidah itu adalah pertama, cara bertutur atau berbahasa dan kedua adalah tingkah laku dalam masyarakat. Namun sebelum itu perlu dipaparkan terlebih dahulu gambaran secara umum sebagai pengantar kepada pokok pembahasan lebih mendalam. Menurut Frans Magnis Suseno, dalam bersosialisasi etika Jawa menanamkan dua kaidah, pertama disebut prinsip kerukunan dan yang kedua disebut prinsip hormat. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat agar dalam keadaan harmonis.

29

(30)

Rukun yang dimaksud adalah suatu keadaan dimana suasana ada dalam keadaan selaras, tenang dan tenteram tanpa ada konflik, bersatu dengan satu tujuan untuk saling membantu. Mereka berusaha tidak saling mengganggu demi keselarasan. Dengan kata lain diharapkan bahwa prinsip ini diterapkan dalam segala bidang kehidupan. Suatu keutamaan yang sangat dihargai orang Jawa adalah kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung. Sikap ethok-ethok (pura-pura) nampaknya sangat berharga demi menutup aib, dengan harapan keselarasan dan menghindari terjadinya konflik.30 Nampaknya inilah salah satu ciri khas orang Jawa sehingga bersikap tertutup tidak transparan apa adanya.

Kaidah kedua disebut prinsip hormat. Prinsip ini memainkan peran penting dalam hal pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Prinsip hormat ini mengatakan bahwa setiap orang dalam bersikap dan membawa diri serta dalam caranya berbicara, hendaknya selalu harus memperhatikan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Dalam prinsip ini, bahasa memiliki peranan yang sangat penting, khususnya dalam unggah-ungguh. Dalam etika Jawa, F.M. Suseno mengutip pandangan Hildred Geertz, yang mengatakan bahwa sikap hormat itu tercapai melalui tiga perasaan yaitu wedi, isin dan sungkan.31 Ketiga sifat wedi (takut), isin (malu) dan sungkan (enggan) merupakan satu kesatuan sifat yang harus dimiliki oleh orang Jawa dalam menghadap kepada orang lain.

30

Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, h. 43.

31

(31)

Dalam hal ini F.M. Suseno merumuskan ke dalam etika kebijaksanaan Jawa yang mengutamakan rasa, sebab menurut kesadaran Jawa, bertindak sesuai dengan norma-norma moral bukanlah perkara kehendak, melainkan pengertian. Siapa yang berhasil mengambil jarak terhadap unsur-unsur lahiriah dan menenangkan batinnya, ia telah mencapai rasa yang benar, dan dengan sendirinya akan bertindak benar. Dengan demikian etika Jawa memperlihatkan diri sebagai etika kebijaksanaan.32 Motivasi bertindak betul atau benar secara moral, tidak terletak pada sikap-sikap bagimana yang diungkapkan dalam istilah-istilah seperti kesungguhan moral atau rasa tanggung jawab, melainkan dalam suatu pertimbangan kebijaksanaan. Jadi pokok etika Jawa terdiri dalam petunjuk bahwa orang bijaksana akan bertindak sesuai dengan kodrat.

Seorang yang sungguh-sungguh bijaksana, yaitu orang yang telah sampai pada ”rasa” yang sebenarnya dapat dikenali karena kehalusannya. Apa yang semula kasar pada dirinya, telah berhasil dijinakkan dan menjadi sesuatu yang sifatnya serba halus. Hal tersebut dilandasi oleh pandangan orang Jawa yang selalu menempatkan segala apa yang dilihatnya menurut ”kasar-alus”. Semakin alus perbuatan yang dilakukan orang Jawa maka semakin baik dan benar pula jalan yang dilaluinya sebagai orang Jawa. Demikian juga sebaliknya apabila semakin kasar maka jalan hidupnya semakin jelek dan pantas disayangkan. Sikap yang halus secara batiniah tersebut maksudnya, apabila seseorang yang mempunyai sifat-sifat luhur, mampu mengendalikan

32

(32)

hawa nafsunya, berbudi, kuat tapa dan mati raganya. Kehalusan semacam itu menampakkan diri dalam unggah-ungguh, dalam sikap pergaulan dan dalam aspek kehidupan lainnya.

Dari uraian tersebut telah mengantarkan pada kita bahwa pokok etika Jawa terletak pada tindakan atau tata kelakuan orang Jawa yang sesuai dengan kodrat. Tata kelakuan orang Jawa selalu dilihat menurut ukuran kasar-alus. Ukuran kasar-alus dapat direalisasikan ke dalam unggah-ungguh yang dapat dilihat dari dua aspek. Dimana kedua aspek berikut merupakan kaidah yang terkandung dalam pengertian unggah-ungguh.

(33)

BAB III memanjat.1 Maka kecenderungan orang Jawa dalam menghormati orang lain didasarkan pada tingkat kedudukan atau derajat yang lebih tinggi. Sedangkan ungguh dengan tingkat bahasa Jawa ngoko yang artinya berada, bertempat, pantas, cocok sesuai dengan sifat-sifatnya.2 Dalam hal ini mayoritas orang Jawa menghormati orang lain selalu melihat atau memperhatikan keadaan, selalu berhati-hati dalam membawa diri. Sikap berhati-hati dan waspada bermaksud agar tingkah lakunya sesuai, pantas dan tidak mengganggu orang lain atau menimbulkan konflik dalam masyarakat. Kedua kata tersebut jika digabung menjadi unggah-ungguh artinya sopan santun, basa basi atau tata krama.3 Ini menunjukkan bahwa orang Jawa dalam bergaul dalam masyarakat selalu memperhatikan aturan sopan santun dan tata krama demi menjaga keselarasan sosial dan tercapainya hidup rukun, aman, damai dan sentausa tanpa ada konflik.

(34)

2. Secara Terminologi

Ada beberapa tokoh yang mendefinisikan unggah-ungguh secara langsung maupun tidak langsung. Tokoh tersebut diantaranya adalah Frans Magnis Suseno, S. Soemiati Soetjipto, Clifford Geertz dan Maryono Dwiraharjo.

Menurut Franz Magnis Suseno, unggah-ungguh identik dengan prinsip hormat yaitu suatu sikap dimana orang Jawa dalam cara bicara dan membawa diri selalu atau harus menunjukkan sikap hormat kepada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya.4 Menurutnya masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu diakui oleh semua manusia dengan menempatkan diri sesuai dengan tuntutan tata krama sosial. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus dihormati dan mereka yang berkedudukan lebih rendah adalah memakai sikap kebapaan atau keibuan dan rasa tangung jawab. Orang Jawa dalam menyapa orang lain menggunakan bahasa keluarga dan menggunakan bahasa krama yang terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika, yaitu krama sebagai bentuk sikap hormat, dan ngoko sebagai bentuk sikap keakraban, dan krama inggil sebagai pengungkapan sikap hormat yang paling tinggi. Tatanan dalam tingkat bahasa krama inilah merupakan suatu sarana ampuh untuk mencegah timbulnya konflik, sehingga tatanan ngoko-krama mempunyai fungsi yaitu untuk mengatur semua bentuk interaksi langsung di luar lingkungan keluarga inti dan

4

(35)

lingkungan teman-teman akrab maupun orang yang tidak dikenal sekalipun. Tatanan krama ini menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi dan bentuk suatu pembicaraan.

Dengan demikian, unggah-ungguh dalam pandangan F.M. Suseno merupakan bentuk manifestasi dari bentuk prinsip rukun dan prinsip hormat.

Begitu juga S. Soemiati Soetjipto mengartikan unggah-ungguh sebagai pola tingkah laku manusia yang beradab, dan menyamaartikannya dengan istilah sopan santun, yaitu suatu peradaban lahiriah yang mencakup semua tindakan manusia yang keluar dari kesadaran dan selera baik.5 Dalam hal ini sama dengan pemahaman dalam pandangan Islam, konsep ini merupakan sikap tawadhu’.

Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul abangan santri dan priyayi, istilah unggah-ungguh disebut juga dengan andap-asor yaitu suatu sikap merendahkan diri dengan sopan dan merupakan kelakuan yang benar yang harus ditunjukkan kepada setiap orang yang sederajat atau lebih tinggi.6

Maryono Dwiraharjo mendefinisikan unggah-ungguh sebagai berikut: unggah-ungguh adalah tingkah laku berbahasa menurut adat

5

S. Soemiati Soetjipto, Sikap Kita dalam Pergaulan I (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), h. 11.

6

(36)

sopan santun masyarakat yang menyatakan rasa menghargai atau menghormati orang lain.7

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian unggah-ungguh adalah sikap yang ditunjukkan oleh orang Jawa dalam membawa diri di masyarakat yang selalu memperhatikan ucapan atau bahasa dan tingkah laku untuk menghargai dan menghormati orang lain dengan memperhatikan derajat atau usia demi terwujudnya kehidupan lebih baik dan selaras. Pada dasarnya makna unggah-ungguh yang dikonotasikan dalam berbagai bentuk tersebut berupa tatanan yang mengandung makna yang sama dan mempunyai tujuan yang sama pula.

Terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam definisi tersebut, diantaranya ialah menunjukkan sikap dalam masyarakat. Sikap yang ditunjukkan biasanya hanya sebatas basa-basi terkadang mereka saling menawari untuk singgah, tetapi hal itu bukan tawaran yang serius. Hal ini ditunjukkan orang Jawa untuk memupuk rasa kerukunan dan keakraban.

Ada beberapa literatur yang menyebutkan kepada siapa saja orang harus melaksanakan unggah-ungguh (berprilaku dan berbicara) halus, biasa dan kasar. Di mana dari keseluruhan hal tersebut terbagi dalam beberapa kriteria atau kelompok yaitu, berunggah-ungguh kepada orang yang mempunyai kedudukan, kepada orang yang lebih tua, kepada orang asing, kepada orang yang setara, kepada orang yang lebih muda atau

7

(37)

bawahan. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan lebih rinci mengenai sikap berbicara maupun sikap berperilaku.

Sebelum pembahasan diperdalam, tidak ada salahnya apabila disinggung lebih dahulu sedikit mengenai unggah-ungguh dalam berbagai aspek yaitu aspek berbahasa dan aspek tindakan atau tingkah laku.

B. Unggah-Ungguh Dalam Beberapa Aspek

1. Unggah-Ungguh dalam Aspek Berbahasa

Dalam unggah-ungguh atau sopan santun berbahasa orang Jawa menggunakan bahasa yang dipilih secara tepat. Pemilihan kata-kata yang tepat dan sesuai, dipergunakan untuk berbicara dan berhadapan dengan orang lain. Dalam bahasa Jawa, ada tingkatan pokok yang menjadi landasan untuk menerapkan ketepatan pemakaian bahasa tersebut. Tingkatan itu adalah bahasa Jawa ngoko, madya dan krama.8 Ngoko merupakan tingkat kesopanan berbahasa rendah yang biasa digunakan oleh raja terhadap rakyat biasa atau priyayi kepada wong cilik (orang kecil), maupun orang tua kepada anak yang lebih muda. Tingkatan yang lebih tinggi dari ngoko adalah madya, yakni menyatakan kesopanan berbahasa tingkat menengah. Tingkatan madya biasanya digunakan oleh orang yang memiliki kedudukan atau usia yang setara. Tingkat selanjutnya adalah krama, yaitu menyatakan tingkat kesopanan berbahasa paling tinggi. Kesopanan berbahasa tingkat tinggi ini biasanya digunakan oleh rakyat

8

(38)

biasa kepada sang raja maupun pejabat-pejabat kerajaan atau oleh anak muda terhadap orang yang lebih tua dan sebagai bahasa pengungkapan sikap hormat.

Kemudian ditambah lagi sesuai dengan tingkatannya yaitu krama inggil, yang mengenai pribadi, tindakan-tindakan dan beberapa benda yang amat erat hubungannya dengan pribadi manusia serta mengungkapkan sikap hormat yang amat tinggi, dan yang dikombinasikan baik dengan bahasa krama maupun dengan bahasa ngoko. Oleh karena itu penggunaan bahasa Jawa mengandaikan kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing.9

Kedudukan (status) oleh banyak hal _ kekayaan, keturunan, pendidikan, pekerjaan, usia, kekeluargaan dan kebangsaan. Tetapi yang penting adalah pilihan bentuk bahasa dua gaya; yaitu gaya bicara dalam semua hal ditentukan untuk sebagian oleh status relatif (atau keakraban) para pembicara. Perbedaannya tidak kecil, seperti perbedaan kata du dan sie. Untuk menyapa orang yang lebih rendah dari diri sendiri (atau seorang yang dikenal dekat) orang mengatakan ’apa pada slamet’? Tetapi orang menyapa mereka yang lebih tinggi (atau seseorang yang dikenal tapi tak

9

(39)

begitu dekat) dengan bentuk ’menapa sami sugeng _ kedua-duanya berarti ”apakah anda sehat?”. Begitu juga kata dalam kalimat berikut ini ’Panjenengan saking tindak pundhi?’ Dan kowe saka endi? Adalah pertanyaan yang sama (”Dari mana anda?”), kalimat yang pertama ditujukan kepada orang yang lebih tinggi, dan yang kedua kepada yang orang yang lebih rendah. Pada dasarnya apa yang berlaku di sini adalah bahwa pola berbahasa orang Jawa mengikuti sumbu alus sampai kasar, di sekitar mana pada umumnya mereka mengorganisasi tingkah laku sosial mereka.

2. Unggah-Ungguh dalam Aspek Pergaulan

(40)

horisontal” kepala) ke arah lutut orang yang lebih tinggi atau malahan ke arah kakinya. Demikian juga adat tuan rumah untuk tidak duduk pada meja tamu kalau seorang tamu penting berkunjung, tetapi duduk di kursi yang rendah ke arah samping belakang tamu. Mempersilahkan yang lain untuk lebih dulu duduk di tempat yang paling baik dan memperkecil arti kemampuan, kekayaan dan keberhasilan sendiri, adalah bagian dari pola yang sama. Orang Jawa akan merasa malu apabila tidak mampu melakukan sikap yang utama tersebut.

Maka bagi orang Jawa pengembangan sikap moral yang benar adalah masalah pengertian yang tepat. Orang Jawa akan selalu tahu diri dan tidak egois mencari kepuasan sendiri dan menuruti hawa nafsunya. Seandainya hal ini terjadi pada orang Jawa, tidak berarti ia melanggar moral, akan tetapi dianggap bersikap kasar, semacam ini patut disayangkan. Karena masyarakat Jawa menganggap orang yang demikian disebut durung Jawa (belum menjawa), durung ngerti (belum mengerti) atau durung dadi wong (belum jadi orang).10 Demikian juga sebaliknya, apabila orang Jawa yang sudah belajar dan berlatih, sehingga tidak kaku dalam bergaul dan bertutur kata serta mampu menempati tempat yang tepat, maka orang tersebut dapat disebut orang Jawa yang tulen.

10

(41)

C. Perkembangan Unggah-UngguhingBasa

Pada dasarnya angoko-krama mengalami perkembangan dan perubahan. Terkait dengan terbatasnya literatur yang mengungkap munculnya tataran ngoko-krama, sebenarnya tidak begitu banyak literatur yang mencatat secara sistematis mengenai kronologis munculnya ngoko-krama. Namun ada beberapa bukti secara tidak langsung yang dapat dijadikan sumber pijakan, diantaranya adalah:

1. Perkembangan Dialektika Jawa

a. Kutipan yang menggambarkan percakapan antara Cakuntala dengan Ducwanta oleh Adiparwa sebagai berikut:

Cakuntala : ”sajna haji, samaa ni nghulun nguni mwang maharaja, anmanaka ngulun lawan haji ring dlaha, mangalilirana kadatwan rahadyan sanghulun. An mangkana ling patik haji, umon ta sang natha, yumogyani samya mami. Hetu mi nghulun manggan kaharasa de rahadyan sanghulun. Ike kari de Cri maharaja ri dalem weteng, yataki sarwadamana ngaranya...yogya ta rahadyansanghulun umabhiseka ri samangkana ... maweha ng kayuwarajan ring saputra rumuhun.”

(42)

prabhu? Arah laku mur ta ko saka ngkel! Aparan tatan kaharepa mwan pakastri dening prabhu cakrawarti.”11 Untuk mengenali adanya unggah-ungguhing basa dari kutipan di atas masih sulit, meskipun seharusnya Cakuntala menggunakan bahasa krama. Kutipan di atas merupakan bahasa Jawa kuna sebelum tahun 1400 M, dan pada masa ini belum ditemukan adanya tatanan ngoko-krama.

b. Percakapan antara tunggul Ametung sebagai Akuwu Tumapel dengan ayah angkat Ken Angrok sebagai pendeta Lohgawe:

Tunggul Ametung : ” Bhageya pukulan sang brahmana, saking punend sira hanar katinghalan.”

Lohgawe : ”Eh kaki sang akuwu, hanar saking sabrang ingsun, ati ingsun asewakaha maring sang akuwu ingsun kaki, lawan akon-akoningsun anak puneki ayun sumewakaha ring sang akuwu.”

Tunggul Ametung : ”Lah suka ingsun sira danghyang yen sira santosa wontena ring siranarika.”

c. Percakapan antara Ken Angrok dengan ayah angkatnya, Lohgawe: Ken Angrok : ”Bapa danghyang, hana wong istri murub rahasyane,

punapa laksananing stri lamun mangkana, yen hala rika yen hayu rika laksananipun”.

11

(43)

Lohgawe : ”Sapa iku kaki”

Ken Angrok : ”Wonten, bapa, wong wadon katinghalan rahasyanipun”. Lohgawe : ”Yen hana istri mangkana, kaki, iku stri nariswari arane, adikmukyaning istri iku, kaki, yadyan wong papa angalapa ring wong wadon iku, dadi ratu anakrawati”.

Ken Angrok : ”Bapa danghyang, kang murub rahasyanipun punika rabinira sang akuwu ring tumapel; lamun mangkana manirabahud angeris sirakuwu, kapasti mati de mami, lamun pakanira angadyani”.

Lohgawe : ”Mati, bapa kaki, Tunggul Ametung denira, anghing ta ingsun tanyogya yan angadyanana ring kaharepira, tan ulahaning pandita ahingan sakaharepira”. d. Percakapan antara Ken Dedes dengan putranya, Anusapati:

Anusapati : ”Ibu ingsun ataken ing sira, punapa kelinganira bapa yen tuminghal ing ingsun, pahe tinghalira kalawan sanakingsun kabeh, tan ucapen lawan putranira ibu anom, mangkin pahe tinghalira bapa”.

(44)

Anusapati : ”Kalingane, ibu dudu bapaningsun sang Amurwabhumi, punapita ibu pademanira bapa”.

Ken Dedes : ”Sang Amurwabhumi, kaki, amateni”.

Anusapati : ”Ibu, wanten duhungipun bapa antukipun Gandring akarya, ingsun-tedanipun ibu”.12

Dari kutipan tersebut, pada poin b, c dan d merupakan dialog Jawa kuno yang lebih muda. Menurut Poerbatjaraka, kitab yang mengutip percakapan tersebut termasuk sastra Jawa Tengahan. Meskipun penggunaan bahasa Jawa lebih mudah dipahami dan nampak adanya unsur-unsur baru, seperti kata hana menjadi wonten, akhiran ne menjadi ipun dan sebagainya. Hal ini seolah-olah merupakan embrio yang menuju jalan lahirnya tataran ngoko-krama.

2. Perkembangan Sastra Jawa

Penggunaan bahasa tersebut akan terasa beda kalau kita bandingkan dengan bahasa Jawa dalam bentuk sastra yang dimuat dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Sultan Agung atau Mangku Rat II yang dikeluarkan pada tahun 1632 M.

a. Penget: ”Kang surat piagem saking insun sultan Mataram, kagadhuh deneng si wanda, Wedana Surakarta kang satja marang isun, lahiring surat piyagem: si wanda sun pradikakensarta wewengkone. Mandala Tjipiniha-Bodjongeren, iku kang

12

(45)

kawerat, deneng si wanda iku adja ana kang nganisiku, disakarepe, angulon watas Banten ngalor ing Tjarebon, pitung pandjenengan adja temu maranginsun. Ana dene tingkahe si Wanda milu ngangklakoning gaweng lurug maring Ukur (angklakoni gawe anglurug maring Ukur) iki sun sedhahi prajangan kalih welas sarta sun djenengaken mantri. Ana dene patut si Wanda iku kakange Wirawangsa kang djeneng taumenggung Wiradada nata prajangan, wadana kalih welas. Titi ing surat piyagem, kala nurat dina senen tanggal ping sanga sasi Mukarram tahun Djimakir.” b. Penget: ”Layangingsun Singaprabangsa kacekel deneng ki

Astrawardana kalayan Wanayuda. Mila manira kacekel layang sawios manira angjuput pari kagengan Susuhunan kang kagadheh dening kirangga Sumedhang, lumbung kalaphadhuwa kang tininggu dening ki Astrawadana kalih Wanayuda. Isine kang manira juput pari limang tangkes punjul tiga welas jahi bobot; kala manira juput arawahe ki Yudabangsa. Titi kala nulis ing dina jamaat tanggal pisan sasi Mukarram, tahun Alip.”13

Bahasa dalam prasasti tersebut sudah hampir sama dengan bahasa Jawa sekarang (abad 20), meskipun masih terdapat kata-kata kuna. Lebih dari itu kutipan prasasti di atas juga menunjukkan adanya tatanan ngoko

13

(46)

yang dapat di mengerti dan nampaknya telah ada kata-kata krama yang dipakai untuk memuliakan raja dan untuk menghormati orang yang lebih tua atau status sosial nya lebih tinggi.

Dari uraian di atas nampak bahwa sampai tahun 1500 M. unggah-ungguhing basa atau tataran ngoko-krama belum ada dan baru nampak jelas setelah tahun 1600 M. Sedangkan pada pertengahan antara tahun 1500-1600 M ini merupakan masa proses ke arah munculnya unggah-ungguhing basa. Pada masa tersebut di Jawa merupakan rezim Mataram. Jadi dapat dikatakan bahwa munculnya unggah-ungguhing basa tersebut pada masa kerajaan Mataram.14

3. Latar Belakang Munculnya Unggah-Ungguhing Basa

Berabad-abad lamanya kebudayaan Hindu-Budha yang berasal dari India itu mempengaruhi tanah Jawa. Salah satu kebudayaannya yang disebarkan adalah melalui sarana bahasa yaitu bahasa Sansekerta. Bahasa Sansekerta ini mempengaruhi terhadap perkembangan sastra Jawa Kuna. Namun Kejayaan Hindu-Budha berangsur-angsur menyusut setelah kekuasaan kerajaan Majapahit berakhir.

Sejak abad ke-15 dan 16, peradaban Islam Jawa mulai berkembang sejak berdirinya kerajaan Demak. Peradaban Hindu-Jawa Kuno dilanjutkan oleh peradaban Islam. Pada masa ini, Islam berkembang sangat pesat dan menjadi maju. Suatu kenyataan bahwa mistik, bahkan mistik

14

(47)

yang heterodoks dan panteistik, telah mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam.15

Dalam masyarakat Jawa Kuna, yang terpengaruh oleh kebudayaan Hindu-Budha tadi ternyata unggah-ungguhing basa belum ada. Dalam abad ke-16 terjadi perkembangan kerajaan Islam di Jawa, seperti Demak dan Pajang. Namun tidak berlangsung lama, karena pada abad ke-17 berubah menjadi kabupaten yang dibawahkan Mataram. Oleh karena itu baik Demak maupun Pajang tidak meninggalkan banyak sumbangan dalam pengembangan kebudayaan, khususnya yang berupa karya sastra yang dapat mendukung studi kita tentang kebudayaan Jawa dalam masa itu. Tidak juga kita temukan kraton maupun babad. Karena itu kita tidak menemukan zaman kasusasteraan Demak atau Pajang, meskipun ada zaman kasusasteraan Islam.

Setelah pemanahan Mataram berkembang menjadi negara dan Demak menjadi modelnya, barulah kemudian masa-masa Mataram mengembangkan kebudayaan sesuai dengan kepentingan politiknya. Sebaliknya Demak dan Pajang tidak memanfaatkan sastra yaitu bahasa untuk mencapai tujuan politiknya. Tidak mustahil bahwa unggah-unggahing basa pun merupakan alat politik. Sebagai pengarang, para pujangga kraton tidak hanya dapat memanfaatkan karya sastra yang ditulisnya, tetapi segala bentuk kekuasaan.

15

(48)

Fakta tersebut bisa dilihat pada masa permulaan tumbuhnya kerajaan Islam. Di mana pengaruh para wali demikian besar, sehingga para raja (Demak dan Pajang dan permulaan Mataram) sangat memerlukan restu bantuannya. Dalam penghormatannya mereka (Mataram) menyembah para wali, yang nampak dalam sikap dan tutur katanya. Raja-raja menggunakan basa krama, sedang para wali basa ngoko.16 Tetapi sejak mulai zaman Sultan Agung, sikap raja Mataram berubah yaitu ingin menundukkan para wali dengan cara mengirimkan ekspedisi penyerangan ke Giri pada tahun 1635, dan kemudian Mangku Rat II menghancurkan pada tahun 1680. Tataran bahasa yang dipakai juga berubah. Seperti penaklukkan pangeran pekik, penguasa Surabaya keturunan Sunan Ngampel, yang diakuinya juga sebagai adik, sehingga Sultan Agung dari berbagai segi boleh basa ngoko terhadapnya.

Begitu juga pemakaian gelar dalam keluarga kraton. Gelar panembahan, pangeran dan susuhan adalah gelar-gelar yang semula hanya dipakai para wali. Para raja dahulu menyebut diri prabu, karena para wali adalah pemimpin agama dan negara (daerahnya) sekaligus, maka mereka menyebut dirinya juga raja- Pandita, misalnya Sunan Giri. Keturunan Sultan Agung selalu berusaha menguasai dan mengungguli para wali atau pemimpin agama, setelah tindakan mangku Rat I yang melakukan pembunuhan terhadap para ulama. Pada Mangku Rat II ini, Giri dihancurkan.

16

(49)

Seperti percakapan yang dipakai Mangkurat II dengan Panembahan Natapraja (Adilangu) keturunan Kalijaga. Keduanya Basa Krama, tetapi untuk Mangkurat II dipakai krama inggil (tinggi) sementara untuk Panembahan Nata Praja yang diangkat sebagai sesepuh Mataram dipakai krama andhap (rendah). Suatu hal yang tidak berlaku pada para wali zaman dahulu. Perubahan ini mengandung arti kalau keagungbinataraan Raja Mataram diakui oleh keturunan para wali. Raja Mataram dianggap lebih kuasa dan mulia dari pada keturunan para wali.17

Namun dalam pengembangan tataran bahasa yang digunakan tersebut, jelas unggah-ungguhing basa merupakan alat politik untuk menghancurkan Islam sekaligus sebagai perumusan pemakaian unggha-ungguing basa. Dalam penulisannya faktor tabu dan dong-ding memegang peranan, para pujangga menghindari kata-kata tertentu yang bagi orang biasa boleh, tetapi bagi kalangan atas tidak.18 Seperti kata gadhing untuk umbel (ingus), semprit untuk sisi, grana untuk irung (hidung). Aturan dong-ding yaitu menyesuaikan bunyi suku terakhir dengan tuntutan nama tembang, merupakan jalan kearah pembentukan tatanan bahasa juga, misalnya: udan-jawah-jawuh, jati-jatos, Tegalwangi-Tegalarum-Tegal ganda, Kaliwungu-Lepentengi, Mataram-Matawis-Matarum-Ngeksi-Ganda.

17

Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa, h. 97.

18

(50)

Contoh kata-kata krama yang diambil dari bahasa asing

Ngoko Krama Bahasa Asing Indonesia

Omah Griya Sanskrit Rumah

Wadon Putri/setri Sanskrit Perempuan

Anak Putra/Atmaja Sanskrit Anak

Ratu Nata Sanskrit Ratu

Batur Abdi Arab/Parsi Teman

Kata-kata krama diambil dari Bahasa Jawa Kuna.

Ngoko Krama Indonesia

Kuping Talingan Telinga

Endhog Tigan Telur

Cangkem Tutuk Mulut

Katon Katingal Kelihatan

Omah Dalem Rumah

(51)

Pada akhir abad ke-17 unggah-ungguhing basa sudah muncul dan kemudian mengalami perkembangan yang memberikan bentuk tetap berupa tataran ngoko-krama. Dalam perkembangannya, Kerajaan Mataram melakukan pembinaan-pembinaan kekuasaan yang merupakan tradisi kraton dalam penulisan-penulisan babad tanah djawi, salah satu diantaranya adalah mengembankan budaya kraton yang bercorak halus19 diantaranya:

1. Cara berpakaian dan macam pakaian yang serba indah, yang hanya boleh dipilih oleh mereka yang termasuk trah: kain parang (bergaris miring), kain yang bermotif garuda, cara wanita menggelung rambut. 2. Cara mengambil sikap: semua orang yang lebih rendah harus

menyembah.

3. Cara berbicara: yang status sosialnya lebih rendah, lebih muda usia atau lebih muda dilihat dari hubungan kekeluargaan harus basa krama (berbahasa hormat) Dikembangkan kemudian tataran ngoko-krama.

D. Ragam Unggah-Ungguh dalam Sikap dan Tindakan

1. Unggah-Ungguh dalam Keluarga

Keluarga merupakan bagian terkecil dalam masyarakat. Secara umum keluarga terdiri dari paling tidak suami dan istri. Keluarga kecil biasanya terdiri dari suami istri dan anak, sedangkan keluarga yang terdapat ibu dan ayah, kakek, nenek dan seterusnya ke atas juga terdapat

19

(52)

anak, cucu dan seterusnya. Ke bawah disebut keluarga besar. Disinilah kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga

Keluarga merupakan pusat keamanan dan kedamaian dalam masyarakat Jawa,20 sehingga untuk mewujudkannya harus didukung dengan aturan-aturan yang sesuai dengan nilai-nilai adat yang berlaku di Jawa. Salah satu aturan yang masih berlaku adalah aturan sopan santun yang disebut dengan unggah-ungguh. Suami dalam keluarga mempunyai kedudukan paling tinggi dari istri dan anak, sehingga suami disebut sebagai kepala rumah tangga. Suami istri tidak hanya mempunyai kewajiban untuk mendapat anak, mereka juga harus mengurus kesejahteraannya, mendidik mereka untuk menjadi manusia, yaitu menjadi orang Jawa, sambil memperlengkapi mereka dengan bekal-bekal yang diperlukan untuk perjalanan melintasi kehidupan.21 Mengurus kesejahteraan anak di sini maksudnya adalah mulai menyambut kelahiran anak dengan memasuki keadaan prihatin, dimana suatu kesadaran yang dipertinggi mengenai peristiwa-peristiwa yang mengganggu. Slametan mitoni yang diadakan pada bulan ketujuh dari kelahiran. Setelah delapan bulan dari kelahiran diadakan slametantedhak siti, yakni ”turun ke tanah” dan akan diperbolehkan menapakkan kakinya di atas tanah. Siklus

20

Maria A. Sardjono, Paham Jawa (Jakarta: Pusat Sinar Harapan, 1992), h. 14.

21

Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, (Jakarta : Ikapi, 1996), h. 36.

(53)

slametan tidak berhenti sampai di sana, melainkan akan diteruskan untuk merayakan semua krisis kehidupan sampai masa perkawinan.

Orang tua berperan penting dalam menerapkan sikap-sikap isin (malu) yang dapat memberi sumbangan kepada perkembangan rasa hormat kepada orang-orang lain dan keinginan untuk menghindari pertikaian dan konfrontasi. Malu adalah rasa kekuatiran mengenai penampilan seseorang, kekuatiran untuk jangan dikritik atau ditertawakan, singkatnya suatu rasa rikuh dan kekuatiran akan mata, telinga dan pendapat orang-orang lain. Sikap yang setara dikenal sebagai sungkan. Sikap ini berkembang pertama kali dari pertumbuhan hubungan yang segan-segan dengan ayahnya sendiri, yang setelah umur sepuluh atau dua belas, cenderung kearah menghindarkan diri. Pada saat itu anak diharapkan untuk berbahasa Jawa halus (krama) yang resmi untuk berbicara dengan ayahnya, dan memakai bahasa keluarga yaitu bahasa untuk memanggil kepada seluruh anggota keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besarnya menggunakan bahasa krama seperti: Embah, Mbak, Kakang, mbakyu, paklek, budhe. Sejak saat itu dan seterusnya anak diharapkan untuk mengenal lebih banyak lagi adat-istiadat, tatanan dan sopan santun yang mengatur bermasyarakat.

Gambar

gambaran umum etika, baik menurut bahasa maupun istilah.

Referensi

Dokumen terkait

salah bisa menjadi subjektif tergantung selera dan nilai-nilai yang berlaku. Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang. Semua perilaku

Selain sebagai cabang filsafat, etika dpandang pula sebagai sebuah ilmu, yaitu ilmu yang membahas tentang perbuatan atau perilaku manusia dari sudut pandangan baik

Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima oleh masyarakat sebagai baik (good) atau buruk (bad)..

Etika (Yunani Kuno: “ethikos“, berarti “timbul dari kebiasaan”) adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas

Etika adalah ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan memperlihatkan amal..

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dipahami bahwa etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbutan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik,

Mitra tidak menguasai etika dan kesantunan berbahasa Inggris dalam memandu wisatawan berbahasa Inggris sehingga terjadi kesalahpahaman antara para tukang kuda dengan wisatawan berbahasa

Etika merupakan cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan buruk yang berkaitan dengan tindakan seseorang, yang dilakukan dengan penuh kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya. Untuk mengetahui definisi dari etika bisnis Islam tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu apa definisi dari etika menurut Islam yang sering kali disebut dengan kata akhlak. Kata “Akhlak” berasal dari bahasa Arab yang sudah di Indonesiakan yang juga diartikan sebagai perangai dan kesopanan, yang mencakup dengan watak, kesopanan, tingkah laku atau tabiat. Di samping istilah akhlak, juga dikenal dengan istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar