• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek moral etika dalam penulisan ilmiah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Aspek moral etika dalam penulisan ilmiah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ETIKA DALAM ILMU DAN PENULISAN ILMIAH

ETIKA DALAM ILMU DAN PENULISAN ILMIAH

OLEH :DIRGANTARA WICAKSONO

Etika

Berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, antara lain tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Etika adalah ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan .

Kata yang cukup dekat dengan etika adalah moral. Moral berasal dari kata latin mos yang berarti kebiasaan, adat. Etimologi kata etika sama dengan etimologi kata moral karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya saja bahasa asalnya yang berbeda.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata etika dijelaskan dengan membedakan 3 arti yaitu :

a. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)

b. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak c. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat

Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. kemudian etika juga berarti kumpulan asas atau kode etik.

Etika termasuk filsafat dan dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Sebagai filsafat, etika bukan merupakan suatu ilmu empiris, sedangkan yang diaksud dengan ilmu adalah ilmu empiris yang artinya ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah melepaska diri dari fakta.

Ilmu-ilmu itu bersifat empiris karena seluruhnya berlangsung dalam rangka empiri (pengalaman inderawi), yaitu apa yang dilihat, didengar, dicium dan sebagainya. Ilmu empiris berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta.

Dalam etika selalu berlaku cara berpikir non empiris artinya dengan tidak membatasi diri pada pengalaman inderawi, yang konkret, pada yang faktual dilakukan, tapi ia bertanya tentang yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan , tentang yang baik dan buruk untuk dilakukan. Etika membatasi diri dengan segi normatif atau evaluatif.

(2)

masyarakat itu tidak berpikir lebih jauh. Nilai dan norma masyarakat tradisional umumnya tinggal implisit saja, setiap saat menjadi eksplisit bila ada perkembangan baru terhadap norma yang berlaku di masyarakat tersebut.

Etika dan Ilmu

Peradaban manusia yang semakin berkembang tidak lepas dari kemajuan ilmu dan teknologi. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi kebutuhan hidup manusia dapat dilakukan secara cepat dan lebih mudah. Ragam karya cipta manusia sebagai kemajuan ilmu dalam kenyataan tidak selalu membawa berkah melainkan juga ancaman, baik berupa perang, teknologi yang bersifat memperbudak manusia. Ilmu dan teknologi yang diciptakan dengan tujuan mempermudah hidup manusia, justru menjadi pengabaian faktor manusia. Manusia dikorbankan demi kemajuan teknologi atau manusia harus menyesuaikan diri dengan ilmu dan teknologi. Manusia kehilangan eksistensi dirinya sebagai tuan atas penemuannya.

Dewasa ini kemajuan ilmu dan teknologi menimbulkan gejala dehumanisasi , manusia kehilangan hakekat dirinya . Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, tetapi menciptakan tujuan ilmu itu sendiri.

Pengalaman pahit manusia dengan bayang-bayang perang dunia yang mengerikan , pertanyaan-pertanyaan tentang hakekat keilmuan terus didengungkan dengan berpaling kepada hakekat moralitas.

Pertautan ilmu dengan moral sebenarnya sudah ada sejak gagasan Copernicus pada abad ke 15 masehi tentang kesemestaan alam, bumi berputar mengelilingi matahari yang berupaya mengganti dominasi pandangan theosentris pada masa itu. Gagasan keilmuan pada masa itu berupaya lepas dari dominasi pandangan dogmatis agama. Ilmu ingin berdiri sendiri berdasarkan doktrin ilmiah, metafisik keilmuan., das sein sesuai dengan hakekat keilmuan.

Ilmu mencapai titik puncaknya dengan teknologi yang dihasilkan. Konsep ilmu yang awal berupa konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk nyata/konkret yaitu teknologi. Ilmu tidak hanya menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman saja tetapi juga melakukan manipulasi faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengawasi, mengatur, dan mengarahkan proses alam yang terjadi.

Di dalam tahap manusia melakukan manipulasi inilah , peran moral ditampilkan berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Ungkapan sederhana, dalam tahap pengembangan konsep ilmu,moral tampil pada ontologi keilmuan sedangkan pada tahap penerapannya , moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan .

Ontologi adalah kajian tentang hakekat realitas obyek yang ditelaah menghasilkan pengetahuan. Aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetauan yang diperoleh.Sedangkan epistemologi adalah cara mendapatkan pengetahuan.

(3)

Adanya dualisme dari ilmuwan terhadap ekses ilmu dan teknologi : a. ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik ontologis maupun aksilogi. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi era Galileo yaitu kenetralan ilmu secara total.

b. netralitas ilmu terhadap nilia-nilai hanya terbatas pada metafisik keilmuan saja, sedangkan dalam penggunaannya, pemilihan obyek penelitian kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral, untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat /mengubah hakekat kemanusiaan Golongan ini mendasarkan diri pada pengalaman dua kali perang dunia dimana penggunaan ilmu-ilmu sangat efektif, perkembangan ilmu yang pesat sehingga dapat merubah hakekat kemanusiaan.

Etika Dalam Penulisan Ilmiah

Kode etik adalah seperangkat norma yang perlu diperhatikan dalam penulisan karya ilmiah. Norma ini berkaitan dengan pengutipan dan perujukan, perizinan terhadap bahan yang digunakan, dan penyebutan sumber data atau informan.

Dalam penulisan karya ilmiah, penulis harus secara jujur menyebutkan rujukan terhadap bahan atau pikiran yang diambil dari sumber lain. Pemakaian bahan atau pikiran dari suatu sumber atau orang lain yang tidak disertai dengan rujukan dapat diidentikkan dengan pencurian.

Penulis karya ilmiah harus menghindarkan diri dari tindak kecurangan yang lazim disebut plagiat. Plagiat merupakan tindak kecurangan yang berupa pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain yang diakui sebagai hasil tulisan atau hasil pemikirannya sendiri. Oleh karena itu, penulis skripsi, tesis, dan disertasi wajib membuat dan mencantumkan pernyataan dalam skripsi, tesis atau disertasinya bahwa karyanya itu bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain.

Dalam menulis karya ilmiah, rujuk-merujuk dan kutip-mengutip merupakan kegiatan yang tidak dapat dihindari. Kegiatan ini amat dianjurkan, karena perujukan dan pengutipan akan membantu perkembangan ilmu.

Dalam menggunakan bahan dari suatu sumber (misalnya instrumen, bagan, gambar, dan tabel), penulis wajib meminta ijin kepada pemilik bahan tersebut. Permintaan ijin dilakukan secara tertulis. Jika pemilik bahan tidak dapat dijangkau, penulis harus menyebutkan sumbernya dengan menjelaskan apakah bahan tersebut diambil secara utuh, diambil sebagian, dimodifikasi, atau dikembangkan. Biasanya, sehubungan dengan hal ini, Rektor masing-masing universitas telah menerbitkan Surat Keputusan tentang Pedoman Pembinaan dan Pelaksanaan Hak Cipta yang bisa menjadi pembelajaran bagi para peneliti.

(4)

Sumber Pustaka

* Suriasumantri S. Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,

Jakarta , Penerbit Sinar Harapan , 1985

* Suriasumantri S. Jujun, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan

Karangan tentang Hakekat Ilmu, Jakarta,Yayasan Obor Indonesia,

1978

* Bertens, K. Etika , Jakarta, Gramedia, 1994

* Kattsoff O. Louis, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana

Yogya, 1986

* Schumacher, E.F., Kecil Itu Indah, Jakarta , LP3ES, 1983

Bahan lain :

ETIKA DALAM PENELITIAN

3 01 2010

Etika Dalam Penelitian Oleh : Taman Firdaus

Pengantar

Mendengar kata penelitian, mungkin pertanyaan awal yang ada dalam benak kita dan setiap orang yang merasa terusik dengan istilah “penelitian” adalah mengapa orang melakukan penelitian ? pertanyaan sederhana dan mendasar ini pada dasarnya tidak lepas dari sifat dasar manusia yang serba ingin tahu terhadap sesuatu yang mengusiknya. Disamping itu, minimal ada empat sebab yang melatar belakangi orang melakukan penelitian menurut Sukmadinata (2008 : 2) yaitu Pertama, karena pengetahuan, pemahaman dan kemampuan manusia sangat terbatas dibandingkan dengan lingkungannya yang begitu luas. Banyak hal yang tidak diketahui, dipahami, tidak jelas dan mneimbulkan keraguan dan pertanyaan bagi dirinya. Ketidaktahuan, ketidakpahaman, dan ketidakjelasan seringkali menimbulkan rasa takut dan rasa terancam. Kedua, manusia memiliki dorongan untuk mengetahui atau cariousity. Manusia selalu bertanya, apa itu, bagaimana itu, mengapa begitu dan sebagainya. Bagi kebanyakan orang, jawaban-jawaban sepintas dan sederhana mungkin sudah memberikan kepuasan, tetapi bagi orang-orang tertentu, para ilmuwan, peneliti dan para pemimpin dibutuhkan jawaban yang lebih mendalam, lebih rinci dan lebih komrehensif. Ketiga, manusia di dalam kehidupannya selalu dihadapkan kepada masalah, tantangan, ancaman, kesulitan baik di dalam dirinya, keluarganya, masyarakat sekitarnya serta dilingkungan kerjanya. Masalah, tantangan dan kesulitan tersebut membutuhkan penjelasan, pemecahan dan penyelesaian. Tidak semua masalah dan kesulitan dapat segera dipecahkan. Masalah-masalah yang pelik, sulit dan kompleks membutuhkan penelitian untuk pemecahan dan penyelesaiannya.

(5)

menambah dan meningkatkan “kekayaan” dan fasilitas hidupnya. Berangkat dari landasan berpikir di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya orang melakukan kegiatan penelitian tiada lain disamping untuk memenuhi rasa ingin tahu terhadap sebuah gejala atau peristiwa juga untuk memecahkan masalah secara ilmiah dan dapat diterima dengan logika kemanusiaan. Dari hasil penelitian itu pula maka manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang bermakna bagi kehidupan ilmiah maupun kehidupan sosial. Untuk itulah, dalam kerangka menjaga kemurnian hasil penelitian yang dilakukan serta untuk menjaga timbulnya berbagai persoalan dari hasil penelitian yang dilakukan maka persoalan etika menjadi sebuah keniscayaan yang harus diperhatikan dalam penelitian. Etika yang dimaksud, baik berupa etika sosial maupun etika ilmiah yang berkaitan langsung dengan aspek penelitian.

Makna Etika

Istilah etika sering disamakan dengan moral. Etika berasal dari bahasa yunani “ethos, ethikos”. Dalam bahasa latin istilah “ethos, ethikos” disebut “mos” atau moralitas. Baik ethos maupun moral artinya : adat istiadat, kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia kedua-duanya diterjemahkan dengan kesusilaan (Frans von Magnis, 1975). Tetapi antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut menurut J. Verkuyl (1979 : 15) yaitu “dalam pemakaian di kalangan ilmu pengetahuan kata etika itu telah mendapat arti yang lebih dalam dari pada kata moral. Kata moral telah mendangkal artinya. Kadang-kadang “moral” dan “mos” atau “mores” hanya kelakuan lahir saja, tetapi senantiasa menyinggung juga kaidah dan motif-motif perbuatan seseorang yang lebih dalam. Dari beberapa penulis filsafat mengatakan bahwa atika adalah “filsafat moral”.

Istilah moral biasanya dipergunakan untuk memberikan penilaian atau predikat terhadap tingkah laku manusia. Karena itu, untuk memahami pengertian moral sangat erat hubungannya dengan etika. Etika adalah suatu ilmu cabang filsafat yang objek kajiannya adalah tingkah laku manusia ditinjau dari nilai baik atau buruknya.

Berkenaan dengan hal diatas, dalam ranah kegiatan penelitian “etika” dijadikan ukuran kepatutan tentang boleh atau tidaknya, baik atau buruknya sebuah aspek-aspek tertentu dalam kegiatan penelitian. Hal ini diperlukan karena bagaimanapun juga esensi penelitian adalah untuk mencari kebenaran dari sebuah gejala yang muncul. Kebenaran yang dihasilkan dalam sebuah penelitian adalah kebenaran empirik dan kebenaran logis. Ford dalam Lincoln dan Guba (1985 : 14) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kebenaran empirik yaitu apabila konsisten dengan alam, dalam bentuk menerima atau menolak hipotesis atau prediksi. Sedangkan kebenaran logis yaitu apabila hipotesis atau prediksi konsisten atau sesuai secara logis dengan hipotesis atau prediksi terdahulu yang sudah dinyatakan benar. Untuk itu, dalam rangka melahirkan sebuah kebenaran empirik dan logis sebagai hasil penelitian yang sitematis dan logis pula maka dibutuhkan etika sebagai piranti sekaligus rambu bagi peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian. Berikut etika penelitian yang dimaksud :

1. Penelitian sebagai Pencarian Ilmiah yang berpola

Tujuan akhir dari suatu penelitian adalah mengembangkan dan menguji teori. Oleh karena itu, penelitian harus dilandaskan pada teori-teori yang relevan dengan masalah penelitan yang diangkat. McMilan dan Schumacher mengutip pendapat Walberg (1986), mengatakan bahwa ada lima langkah pengembangan pengetahuan melalui penelitian, yaitu: (1) mengidentifikasi masalah penelitian, (2) melakukan studi empiris, (3) melakukan replikasi atau pengulangan, (4)

menyatukan (sistesis) dan mereviu, (5) menggunakan dan mengevaluasi oleh pelaksana.

(6)

kegiatan-kegiatan terlepas yang dilakukan oleh siswa atau guru umpamanya, peneliti dapat memberikan penjelasan umum tentang hubungan diantara perilaku atau kegiatan pembelajaran. Dari penjelasan-penjelasan umum tersebut terbentuk prinsip-prinsip dasar, dalil konstruk, proposisi yang kesemuanya akan membentuk teori. Mengenai teori ini, lebih jauh Fred N Kerlinger (1986) mengemukakan bahwa “…. a theory as a set of interrelated constructs and proposition that specify relations among variables to explain and predict phenomena”. Dalam rumusan Kerlinger tersebut ada tiga hal penting dalam suatu teori yaitu: (1) suatu teori dibangun oleh seperangkat proposisi dan kontruk, (2) teori menegaskan hubungan di antara sejumlah variabel, (3) teori menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena.

Pencarian Ilmiah

Pencarian ilmiah (scintific inquiry) adalah suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan dengan menggunakan metode-metode yang diorganisasikan secara sistematis, dalam mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data. Pengertian ilmiah berbeda dengan ilmu. Ilmu merupakan struktur atau batang tubuh pengetahuan yang telah tersusun, sedang ilmiah adalah cara mengembangkan pengetahuan.

Metode ilmiah merupakan suatu cara pengkajian yang berisi proses dengan langkah-langkah tertentu. MicMilan dan Schumacher (2001) membaginya atas empat langkah yaitu: (1) define a problem, (2) state the hypotthesis to be tested, (3) colect and analyze data, and (4) interprete the results and draw conclusions obout the problem. Hampir sama dengan McMilan dan

Schumacher, John Dewey membagi langkah-langkah pencarian ilmiah yang disebutnya sebagai “reflective thinking”, atas lima langkah yaitu: (1) mengedentifkasi masalah, (2) merumuskan dan membatasi masalah, (3) menyusun hiotesis, (4) mengumpulkan dan menganalisis data, (5) menguji hipotesis dan menarik kesimpulan.

Pencarian Berpola

Pencarian berpola (disiplined inquiry), merupakan suatu prosedur pencarian dan pelaporan dengan menggunakan cara-cara dan sistemtika tertentu, disertai penjelasan dan alasan yang kuat. Pencarian berpola bukan merupakan suatu pencarian yang bersifat sempit dan mekanistis, tetapi mengikuti prosedur formal yang telah standar. Prosedur pencarian ini pada tahap awalnya

bersifat spekulatif, mencoba menggabungkan de-ide dan metode-metode, kemudian menuangkan ide-ide dan metode tersebut dalam suatu prosedur yang baku. Laporan dari pencarian berpola berisi perpaduan antara argumen-argumen yang didukung oleh data dengan proses nalar, yang disusun dan dipadatkan menghasilkan kesimpulan berbobot.

Pencarian berpola terutama dalam ilmu sosial termasuk pendidikan, bukan hanya menunjukkan pengkajian yang sistematik, tetapi juga pengkajian yang sesuai dengan disiplin ilmunya.

2. Objektivitas

Penelitian harus memiliki objektiviatas (objektivity) baik dalam karakteristik maupun prosedurnya. Objektivitas dicapai melalui keterbukaan, terhindar dari bias dan subjektivitas. Dalam prosedurnya, penelitian menggunakan tekhnik pengumpulan dan analisis data yang memungkinkan dibuat interpretasi yang dapat dipertanggung jawabkan. Objetivitas juga menunjukkan kualitas data yang dihasilkan dari prosedur yang digunakan yang dikontrol dari bias dan subjektivitas.

3. Ketepatan

(7)

pengumpulan datanya harus memimiliki validitas dan reliabilitas yang memadai, desain

penelitian, pengambilan sampel dan tekhnik analisis datanya tepat. Dalam penelitian kuantitatif, hasilnya dapat dilang dan diperluas, dalam penelitian kualitatif memiliki sifat reflektif dan tingkat komparasi yang konstan.

4. Verifikasi

Penelitian dapat diverifikasi, dalam arti dapat dikonfirmasikan, direvisi dan diulang dengn cara yang sama atau berbeda. Verifikasi dalam penelitian kualitatif berbeda dengan kuantitatif. Penelitian kualitatif memberikan interpretasi deskriptif, verifikasi berupa perluasan, pengembangan tetapi bukan pengulangan.

5. Empiris

Penelitian ditandai oleh sikap dan dan pendekatan empiris yang kuat. Secara umum empiris berarti berdasarkan pengalaman praktis. Dalam penelitian empiris kesimpulan didasarkan atas kenyataan-kenyataan yang diperoleh dengan menggunakan metode penelitian yang sistematik, bukan berdasarkan pendapat atau kekuasaan. Sikap empiris umumnya menuntut penghilangan pengalaman dan sikap pribadi. Kritis dalam penelitian berarti membuat interpretasi berdasarkan kenyataan dan nalar yang didasarkan atas kenyataan-kenyataan (evidensi). Evidensi adalah data yang diperoleh dari penelitian, berdasarkan hasil analisis data tersebut interpretasi dibuat.

6. Penjelasan Ringkas

Penelitian mencoba memberikan penjelasan tentang hubungan antar fenomena dan

menyederhanakannya menjadi penjelasan yang ringkas. Tujuan akhir dari sebuah penelitian adalah mereduksi realita yang kompleks kedalam penjelasan yang singkat. Dalam penelitian kuantitatif penjelasan singkat tersebut berbentuk generalisasi, tetapi dalam penelitian kualitatif berbentuk deskriptif tentang hal-hal yang esensial atau pokok.

7. Penalaran Logis

Semua kegiatan penelitian menuntut penalaran logis. Penalaran merupakan proses berpikir, menggunakan prinsip-prinsip logika deduktif atau induktif. Penalaran deduktif, penarikan kesimpulan dari umum ke khusus. Dalam penalaran deduktif, bila premisnya benar maka kesimpulannya otomatis benar. Logika deduktif dapat mengidenfikasi hubungan—hubungan baru dalam pengetahuan yang ada. Dalam penalaran induktif. Peneliti menarik kesimpulan berdasarkan hasil sejumlah pengamatan kasus-kasus (individual, situasi, peristiwa), kemudian peneliti membuat kesimpulan yang bersifat umum.

8. Kesimpulan Kondisional

Kesimpulan hasil penelitian tidak bersifat absolut. Penelitian perilaku dan juga ilmu kealaman, tidak menghasilkan kepastian, sekalipun kepastian relatif. Semua yang dihasilkan adalah pengetahuan probabilistik. Penelitian boleh dikatakan hanya mereduksi ketidaktentuan. Oleh karena demikian, baik kesimpulan kualitatif maupun kuantitatif, bersifat kondisional. Para peneliti seringkali menekankan/menuliskan bahwa hasil penelitiannya “cenderung menunjukkan atau memberikan kecenderungan”.

(8)

1. Meminta kepada orang-orang, panitia, atau yang berwenang persetujuan dan ijin. 2. Ajaklah kawan-kawan sejawat terlibat dan berpartisipasi dalam penelitian. 3. Terhadap yang tidak langsung terlibat, perhatikan pendapat mereka.

4. Penelitian berlangsung terbuka dan transparan, saran-saran diperhatikan, dan kawan sejawat dperbolehkan mengajukan protes.

5. Meminta iizin eksplisit, untuk mengobservasi dan mencatat kegiatan mitra peneliti, tidak termasuk izin dari siswa apabila penelitian bertujuan meningkatkan pembelajaran.

6. Minta izin untuk membuka dan mempelajari catatan resmi, surat menyurat dan dokumen. Membuat fotokopi hanya diperkenankan apabila di ijinkan.

7. Catatan dan deskripsi kegiatan hendaknya relevan, akurat dan adil.

8. Wawancara, pertemuan atau tukar pendapat tertulis hendaknya memperhatikan pandangan lain, relevan, akurat dan adil.

9. Rujukan langsung, rujukan observasi, rekaman, keputusan, kesimpulan, atau rekomendasi hendaknya mendapat izin atau otorisasi kutipan.

10. Laporan disusun untuk kepentingan yang berbeda, seperti laporan verbal pada pertemuan staf jurusan, tertulis untuk jurnal, surat kabar, orang tua murid dan lain-lain.

11. Tanggung jawab untuk hal-hal atau pribadi-pribadi yang sifatnya konfidensial.

12. Semua mitra penelitian mengetahui dan menyetujui prinsip-prinsip kerja di atas, sebelum penelitian berlangsung.

13. Hak melaporkan kegiatan dan hasil penelitian, apabila sudah disetujui oleh para mitra peneliti, dan laporan tidak bersifat melecehkan siapapun yang terlibat, maka laporan tidak boleh diveto atau dilarang karena alasan kerahasiaan.

Penutup

Dari penjelasan panjang yang penulis sajikan dalam resume ini, akhirnya dapat disimpulkan bahwa etika dalam penelitian merupakan sebuah keniscayaan untuk dijadikan sebagai piranti sekaligus pedoman untuk menghindari kegagalan dalam penelitian. Etika yang dimaksud baik yang berkenaan dengan etika ilmiah maupun etika sosial. Mengedepankan etika sebagai sumber kepatutan dalam penelitian tidak lepas dari esensi kegiatan penelitian itu sendiri yaitu untuk menemukan kebenaran dan kemudian mengkontruks kebenaran itu menjadi sebuah teori. Jadi, kebenaran tercapai setelah persetujuan melalui diskusi kritis (Skiner, 1985 : 128-131). Diskusi yang dimaksud dalam konteks penelitian adalah memenuhi kaidah-kaidah etika yang ada dan menjadi kesepakatan tidak tertulis guna memperoleh kebenaran yang bersifat probabilistik.

BAHAN BACAAN

Gall, Meredith D, Gall, Joyce P and Borg, Walter R. 2003 “Educational Research” Boston : Allyn & Bacon.

Hopkins, David. 1993 ”A Teacher’s Guide Classroom Research” . Philadelphia : Open University Press.

Lincoln.I.S & Guba, E.G. 1985, “Naturalistic Inquiry” Baverly Hills, London : Sage Publications

(9)

McMillan, J.H. & Schumacher, Sally. 2001, “Research in Education” New York : Longman.

Sukmadinata, 2008, “Metode Penelitian Pendidikan” Bandung : Remaja Rosdakarya.

Verkuyl, J. 1979, “Etika” Jakarta : Gunung Mulia.

Bahan lain :

MAKALAH ETIKA PROFESI TEKNOLOGI INFORMASI

DAN KOMUNIKASI ( EPTIK )

HUBUNGAN ETIKA DENGAN ILMU PENGETAHUAN

Disusun Oleh :

1. Deny Kurniawan 12114340

2. M. Qowi 12115042

3. M. Ovian Indar 12114838

4. Reni Indrianti 12114340

5. Dian Novita 12118527

6. Mutiara Hany 12114002

Jurusan Manajemen Informatika

Akademi Manajemen Informatika dan Komputer “BSI Cengkareng” Cengkareng

(10)

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah serta ridhoNya, atas terselesaikannya makalah yang berjudul “Hubungan Etika Dengan Ilmu Pengetahuan ” yang merupakan syarat mendapatkan nilai UAS pada mata kuliah Etika Profesi Teknologi Informasi & Komunikasi ( EPTIK ).

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyusun makalah ini tak terlepas dari bantuan berbagai pihak, Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Wahyudin selaku dosen EPTIK

2. Kedua Orang Tua tercinta dan keluarga kami yang selalu mendo’akan dan memberikan semangat.

3. Rekan-rekan mahasiswa BSI yang telah mendukung dan berpartisipasi dalam pembuatan laporan presentasi ini.

4. Dan semua pihak yang telah membantu penulis, namun tak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Dalam penulisan makalah ini, tentunya masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Akhir kata, penulis mohon di bukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya, apabila ada kesalahan dan kekurangan yang penulis lakukan. Dan penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 15 Mei 2013

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang cukup pesat sekarang ini sudah menjadi realita sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat ditawar lagi. Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan manusia yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman. Perkembangan iptek, terutama teknologi informasi (Information Technology) seperti internet sangat menunjang setiap orang mencapai tujuan hidupnya.

(11)

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan ilmiah dan teknologi mengubah banyak sekali kehidupan manusia dan memunculkan masalah-masalah etis yang tidak pernah terduga sebelumnya. Masyarakat modern telah menjadi sebuah tempat di mana tak seorang pun bertanggung jawab untuk berbagai hasil "percobaan" teknologi. Ia bahkan berbicara tentangorganized irresponsibility, yaitu suatu situasi ketika secara sistemik tidak seorang pun dapat bertanggung jawab atas bencana yang terjadi.

Dengan penulisan makalah ini,penulis mengajak agar kita bisa lebih memahami etika dilihat dari sisi hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud penulisan makalah ini adalah : 1. Mengetahui pengertian etika dan ilmu

2. Mengetahui syarat-syarat pengetahuan untuk dapat masuk kedalam kategori ilmu. 3. Untuk lebih mengetahui dan memahami tentang hubungan etika dan ilmu pengetahuan.

Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat memenuhi nilai UAS pada mata kulih EPTIK pada jurusan Manajemen Informatika Akedemi Manajemen Informatika dan Komputer Bina Sarana Informatika.

1.3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan oleh penulis pada penulisan tugas akhir ini adalah : Metode Studi Pustaka (Library Study)

Selain melakukan kegiatan tersebut diatas, penulis merangkum berbagai sumber bacaan dari bahan - bahan pustaka yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas guna mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi yang akan dijadikan bahan makalah.

1.4. Ruang Lingkup

Dalam penyusunan makalah ini, penulis hanya memfokuskan pada etika dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan.

(12)

PEMBAHASAN

A. Pengertian etika

Secara etimologi istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos atau ethikos. Ethos diartikan sifat, watak, sikap, kebiasaan, atau tempat yang biasa. Sedangkan kata ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Jadi, jika dilihat dari asal-usul kata etika, maka etika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.

Selain secara etimologis, pengertian etika dapat dilihat dari kamus, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dirumuskan dalam tiga arti sebagai berikut:

- Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral

- Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan moral

- Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Berikut penulis sajikan beberapa pendapat dari para ahli yang mengemukakan tentang definisi etika menurut persepsi dan pemahaman mereka masing-masing:

Ahmad Yamin, etika diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik-buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Abdullah, etika diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan

memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran.

Ki Hajar Dewantara mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia semuanya, teristimewa mengenai gerak-gerik pikiran.

Surahwadi Lubis mengartikan etika sebagai ilmu filsafat tentang nilai-nilai kesusilaan tentang baik dan buruk.

H. Devos mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan secara ilmiah. Sumaryono mengartikan etika sebagai studi tentang kebenaran dan ketidak benaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia.

B. Pengertian ilmu

Istilah ilmu diambil dari bahasa Arab yaitu “alima, ya’lamu, ‘ilman” yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris istilah ilmu berasal dari kata science, yang berasal dari bahasa Latin scienta dari bentuk kata kerja scire, yang berarti mempelajari dan mengetahui. Menurut The Liang Gie (dalam Surajiyo, 2010: 56) memberikan pengertian ilmu adalah

(13)

(2011: 78) ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya menghasilkan pengetahuan.

Beberapa syarat yang perlu dipenuhi oleh suatu pengetahuan untuk dapat masuk kategori sebagai ilmu, menurut Maufur (dalam A. Susanto, 2011: 45) adalah sebagai berikut:

1.Sistematis, yakni ada urutan dari awal hingga akhir, dan ada hubungan yang bermakna antara bagian-bagian atau fakta yang satu dengan fakta yang lainnya yang tersusun secara runtut. 2.General(Umum), yaitu keumuman sifatnya yang berlaku di manapun (lintas ruang dan waktu) berkaitan dengan kadar mutu yang standar. Dapat juga disebut universal, karena dapat

dikomunikasikan kapan dan di manapun, paling tidak di bumi ini. Semisal hukum-hukum fisika yang berlaku di Amerika, maka berlaku juga di Indonesia, Inggris, Belanda, Afrika dan

sebagainya.

3.Rasional, maksudnya adalah bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Pengujian atas pengetahuan ilmiah adalah penalaran yang betul-betul dan perbincangan yang logis tanpa melibatkan faktor-faktor nonrasional, seperti emosi sesaat dan kesenangan pribadi.

4.Objektif, adalah apa adanya mengungkap realitas yang sahih bagi siapa saja.

5.Menggunakan metode tertentu dalam mempertanyakan objek tertentu, mencari dan

menemukan sesuatu sebagai kebenaran, dan secara terus menerus. Karena ilmu pengetahuan akan terus berkembang ketika ditemukan jawaban sekaligus memunculkan pertanyaan susulan, dan terus dicari jawabannya lagi. Demikian seterusnya.

6.Dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan argumentasi logis rasional, apalagi jika telah melalui eksperimen yang berulang kali

.

Senada dengan itu, ilmu menurut The Liang Gie (dalam Surajiyo, 2010: 59) mempunyai 5 ciri pokok:

1.Empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.

2.Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur.

3.Objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi.

4.Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu.

5.Verikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun.

C. Hubungan antara etika dan ilmu

Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Tanggung jawab etis menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh ekosistem manusia bukan untuk

(14)

Sifat dasar etika adalah kritis, yaitu membuat individu dapat mengambil sikap yang rasional terhadap semua norma. Etika dapat menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggungjawab bagi masyarakat. Artinya, masing-masing bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri.

Etika tidak membahas kebiasaan masyarakat yang didasarkan pada adat -istiadat yang terikat pada pengertian baik dan buruk tingkah laku manusia, karena adat- istiadat terikat pada kondisi daerah, tempat dan geografis kedaerahan.

Hubungan Etika Dengan Berbagai Macam Ilmu Pengetahuan

1. Hubungan Etika dengan Ilmu Sosiologi

Sosiologi merupakan ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat yang meliputi struktur, stratifikasi, serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.

Ilmu sosiologi mempersoalkan tentang kehidupan bermasyarakat. Etika melihat dari sisi tingkah laku manusia.

Persamaan etika dan ilmu sosiologi adalah mempelajari dan mengupas masalah prilaku, perbuatan manusia, yang timbul dari kehendak yang disengaja.

Hubungan kedua ilmu ini sangat erat, karena mempelajari perbuatan manusia yang timbul dari kehendak yang disengaja. Perbuatan manusia menjadi pokok persoalan etika, mendorong untuk mempelajari kehidupan bermasyarakat yang menjadi pokok persoalan sosiologi

Ilmu sosiologi merupakan bagian dari ilmu sosial, yaitu ilmu yang berhubungan dengan masyarakat serta lingkungan sekitarnya. Hubungan etika dengan ilmu sosial bersifat

kemasyarakatan, bukan saja karena etika berkaitan dengan kehidupan sosial, tetapi juga karena etika merupakan hasil dari kehidupan bermasyarakat.

Etika yang tumbuh dari proses kemasyarakatan menentukan batasan dari prilaku dalam kehidupan masyarakat. individu dilahirkan dalam suatu masyarakat disosialisasikan untuk menerima aturan-aturan sebagai standar tingkah laku yang benar dan yang salah.

2. Hubungan Etika dengan Ilmu Hukum

Hukum berkaitan dengan keadilan, yaitu menempatkan sesuatu secara proporsional.

Pokok pembicaraan etika dengan ilmu hukum adalah mengenai perbuatan manusia. Tujuan keduanya adalah mengatur perbuatan manusia untuk kebahagiaan manusia.

Etika memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang berbuat hal-hal yang buruk dan merugikan diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Sedangkan banyak perbuatan yang biasa dilakukan manusia, tidak diatur dalam ilmu hukum.

(15)

3. Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dengan menggunakan pikiran.

Bidang kajian filsafat meliputi berbagai disiplin ilmu, yaitu: Metafisika: penyelidikan di balik alam yang nyata

Kosmologi: penyelidikan tentang alam

Logika: pembahasan tentang cara berpikir cepat Etika: pembahasan tentang tingkah laku manusia Antropologi: pembahasan tentang manusia

Sebagai salah satu komponen dari filsafat, etika menitikberatkan pada pembahasan tentang manusia, sebagai makhluk yang berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat demikian tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya menjalani kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian pada berbagai cara untuk memperoleh makna hidup.

Manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud jika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.sedangkan Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang nilai dan norma dalam prilaku manusia. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu harus dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai cabang filsafat, etika berfungsi menjadi refleksi tingkah laku manusia. Dengan demikian etika tidak bermaksud untuk membuat orang bertindak sesuatu dengan tingkah laku bagus saja. Manusia harus bertindak berdasarkan pertimbangan akal sehat, apakah bertentangan atau membangun tingkah laku baik.

4. Hubungan Etika dengan Ilmu Psikologi

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari manusia sebagai suatu kesatuan jasmani dan rohani. Psikologi juga mempelajari segala sesuatu yang dapat memberikan jawaban tentang apa sebenarnya manusia, mengapa manusia berbuat sesuatu hal, apa yang mendorong melakukan suatu hal tertentu, bagaimana tingkah laku manusia.

Ilmu psikologi membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu psikologi dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimiliki seseorang.

Ilmu psikologi merupakan pendahuluan bagi etika. Etika melihat dari segi apa yang sepatutnya dikerjakan manusia, psikologi meneropong dari segi apakah yang menyebabkan terjadinya perbuatan tersebut.

(16)

BIDANG – BIDANG ETIKA

1. Etika Deskriptif

Etika deskriptif menjelaskan kesadaran manusia melalui pengalaman. Secara deskriptif, pengalaman manusia dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa ada berbagai fenomena tingkah laku yang dapat digambarkan / diuraikan secara ilmiah.

Etika deskriptif melukiskan tingkah laku manusia dalam arti luas, misalnya kebiasaan, anggapan-anggapan baik buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari tingkah laku manusia yang terdapat pada individu-individu tertentu. Menurut George Moore, Etika deskriptif merupakan etika yang menela’ah secara kritis & rasional tentang sikap & prilaku manusia, serta apa yang dikerjakan oleh setiap orang dalam hidupnya, sebagai sesuatu yang bernilai.

2. Etika Normatif / Etika Filsafat

Etika normatif merupakan aturan yang mengarahkan secara nyata bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku. Etika normatif menetapkan berbagai sikap & prilaku yang ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia, serta hal-hal buruk apa yang harus dihindari.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

1. Etika adalah ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan memperlihatkan amal

perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran.

2. Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya menghasilkan pengetahuan.

3. Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

4. Etika dibutuhkan sebagai pertimbangan pemikiran yang kritis, yang dapat membedakan antara apa yang sah dan yang tidak sah, membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar.

2. Saran

Mengingat pentingnya etika dan ilmu pengetahuan, untuk itu diharapkan agar kita dapat memperdalam ilmu pengetahuan dan selalu menjaga etika kita.

(17)

1. Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.

2. Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

3. http://hastuti-wulanningrum.blogspot.com/2009/04/hubungan-etika-dengan-ilmu-pengetahuan.html

Bahan lain :

C. Hubungan antara Ilmu dengan Etika

Pada sub-bagian ini kita akan membahas manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri dari Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani (JRakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).

Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya, dalam pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia dalam menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan. Dari hal tersebut, kebaikan yang diperoleh manusia adalah nihil. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.

Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun,

PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA setuju dan sepakat satu sama lain bahwa apabila dalam masa evaluasi pelaksanaan pekerjaan perawatan taman dan kebersihan lingkungan di Sentul City, PIHAK

Berdasarkan data hasil penelitian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, dengan diterapkannya proses pembelajaran dengan pendekatan CTL menjadikan prestasi belajar

Persyaratan untuk diterima melalui jalur Selnas Bakat Minat berbasis portofolio, jalur Selnas PMB PTKKN berbasis ujian tulis, maupun jalur seleksi nasional berdasarkan

Dari hasil pengujian hipotesis tersebut dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh positif dari penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbatuan macromedia flash

memilih pilihan akademik yang disebut program peminatan, yang dilaksanakan oleh guru BK (Konselor) sekolah/ madrasah. Peminatan yang dilaksanakan di sekolah dilakukan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris pengaruh rasio fundamental perusahaan diproksikan dengan return on equity (ROE), current ratio (CR), dan debt to equity

kebolehan ijtihad yang mereka kemukakan dalam hadits Mu’adz bin Jabal yang diizinkan oleh Rasulullah Saw, maka jelas apa yang boleh diijtihadi adalah bukan saja