TINJAUAN TERHADAP PELAKSANAAN SELF ASSESMENT SYSTEM SESUAI DENGAN UNDANG UNDANG NO. 6 TAHUN 1983 DALAM
PEMUNGUTAN PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA KEBUMEN
SKRIPSI
Sekripsi ini diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 di Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh :
NAMA : FAISAL IBNU HASNAN
NIM : 20130610025 JURUSAN : Ilmu Hukum BAGIAN : HAN
FAKULTAS HUKUM
TINJAUAN TERHADAP PELAKSANAAN SELF ASSESMENT SYSTEM SESUAI DENGAN UNDANG UNDANG NO. 6 TAHUN 1983 DALAM PEMUNGUTAN
PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA KEBUMEN SKRIPSI
Sekripsi ini diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh :
NAMA : FAISAL IBNU HASNA NIM : 20130610025
JURUSAN : Ilmu Hukum BAGIAN : HAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2017
HALAMAN MOTTO
“ Gunakan Waktumu Dengan Baik, Seb
elum Waktu Itu Tidak
Ada Untuk
mu”
“ Masalah Hukum Tidak Mengenal Kiamat Sebab Hukum Harus
Ditegakan Walaupun Suatu Hari Menjelang Kiamat”
(Baharudin Lopa)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Seiring dengan rasa syukur dan sebagai ungkapan rasa cinta, kasih sayang serta terima kasihku yang tulus. Karya ini kupersembahkan kepada:
Allah SWT, terimakasih karena akhirnya Engkau izinkan aku menyelesaikan skripsi ini dengan cara terbaik yang aku mampu, semua titian kenangan ditiap celah hidupku adalah ajaran yang Engkau berikan untuk proses kedewasaanku. Setiap hal yang aku alami adalah untuk membuatku semakin dekat dengan-Mu.
Bapak dan ibu tercinta, yang telah memberikan doa, kasih sayang, bimbingan, motivasi, yang selalu berjuang untuk membiayaiku, yang selalu menantikan kelulusan dan keberhasilanku.
Kakakku Devi Rahmalia dan adikku Dianing Irma Pradita, cepat wisuda dan menjadi kembanggaan bagi keluarga.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur yang tidak ada habisnya penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sepanjang kehidupan. Atas petunjuk-Nya pula penulis dapat menyelesaikan karya tulis (skripsi) ini.
Adapun mengenai pengambilan judul skripsi “Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Self
Assesment System Sesuai Dengan Undan Undang No. 6 Tahun 1983 Dalam Pemungutan Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kebumen”, tidak lain merupakan salah satu bentuk aktualisasi penulis dalam mendalami dan mempelajari ilmu hukum administrasi negara.
Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam memberikan ide maupun semangat dalam menjalani proses perkuliahan hingga sampai terselesaikannya skripsi ini, terimakasih sebesar-besarnya untuk Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebagai naungan dalam belajar dan secara khusus penulis berterimakasih kepada:
1. Bapak DR. Ir Gunawan Budiyanto, M. P., sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Bapak DR. Trisno Raharjo S.H., M.H., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Bapak Suwarno S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembinbing Sekripsi I yang telah memberikan bimbingannya kepada penulis.
4. Bapak Beni Hidayat S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II yang dengan kesabarannya telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dan petunjuk pada penulisan.
5. Bapak dan ibu staf pengajar Fakultas Hukum UMY yang telah memberikan wawasan dan ilmu pengetahuan kepada penulis.
6. Ibu Woro, yang telah mengizinkan dan membantu penulis untuk melakukan penelitian.
7. Bapak Hargo Nugroho, selaku Kasi Pengawasan dan Konsultasi I yang telah mengizinkan dan membantu penulis untuk melakukan penelitian.
8. Bapak dan Ibu staf KPP Kebumen yang telah banyak membantu penulis untuk melakukan penelitian.
9. My sweetie Niken Angkylina, terimakasih telah memberikan kenyamanan dan kebahagian yang tersembunyi, serta teman-teman kamekameha dan teman-teman sebaya yang memberikan dukungan dan motivasi.
10.Semua pihak yang telah membantu memberikan dorongan sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.
Untuk itu dalam hal berdialektika penulis berharap adanya respon positif yang kemudian dapat memberikan masukan berupa saran-saran maupun kritik yang bersifat membangun dan membentuk wacana ilmiah, akhir kata dengan segenap keyakinan penulis, skripsi ini dibuat agar dapat memberikan kontribusi dalam upaya penegembangan suatu ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat positif sebagai bacaan bagi masyarakat pada umumnya dalam mencari suatu keadilan dalam lintas penegakkan hukum. Amin
Yogyakarta, 11 April 2017
Faisal Ibnu Hasnan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv
HALAMAN MOTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xii
ABSTRACT ... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalaha ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKSANAAN SELFASSESMENT SYSTEM SESUAI DENGAN UNDANG UNDANG NO. 6 TAHUN 1983 A. Pengertian Pajak ... 9
1. Fungsi Pajak ... 9
2. Sistem Pemungutan Pajak ... 18
3. Syarat Pemungutan Pajak ... 23
B. Tinjauan Pelaksanaan Self Assesment Sytem ... 26
1. Penegertian Pelaksanaan Self assessment system ... 26
2. Sistem dan Syarat Pelaksanaan Self Assesment ... 27
3. Pelaksanaan Self Assesment sytem ... 29
4. Konsekuensi Pelaksanaan Self Assesment System ... 31
5. Prinsip Self Assessment system ... 32
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ... 35
B. Data Penelitian ... 35
1. Data Primer ... 36
2. Data Sekunder ... 36
C. Lokasi Penelitian ... 38
D. Responden dan Narasumber ... 39
E. Alat Pengambilan Sampel ... 40
F. Teknik Analisis Data ... 41
G. Jalannya Penelitian ... 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Penerapan Selft Assesmen System di KPP Pratama Kebumen ... 43
B. Hambatan Penerapan Self Assesment Sistem di KPP Pratama Kebumen ... 52
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68
B. Saran-saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Perbedaan Officia assessment sistem dan self assessment sistem ...45
Tabel 2 Tingakat Pendidikan Wajib Pajak ...54
Tabel 3 Tingkat Kesadaran dan Kepatuhan Wajib Pajak ...59
ABSTRAK
Sistem pemungutan Pajak di Indonesia adalah Self assessment system sebagai pengganti sistem Official assessment. Upaya untuk mendapatkan penerimaan pajak yang optimal dengan sistem pemungutan pajak secara Self assessment system, tidak hanya mengandalkan pemerintah tapi juga diperlukan sikap baik dari para wajib pajak, yaitu kesadaran dan kepatuhan diri terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Dengan begitu pelaksanaan Self assessment system dapat berjalan dengan baik. Meskipun demikian, pemeriksaan tetap harus dilakukan, karena ternyata masih banyak wajib pajak yang tingkat kepatuhannya masih rendah setelah dilakukan pemeriksaan berdasarkan norma-norma pengukuran tertentu, yaitu dengan sistem kriteria seleksi. Selanjutnya menyusul pemeriksaan yang dilakukan terhadap wajib pajak tertentu dan wajib pajak yang tingkat kepatuhannya masih rendah.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pelaksanaan Self assessment system dan hambatan pelaksanaan Self assessment system . Serta berapa besar pengaruh Self assessment system terhadap Penerimaan Pajak. Penelitian ini dilakukan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kebumen., pengumpulan data diambil dari laporan wajib pajak yang terdaftar.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara parsial pelaksanaan Self assessment system berpengaruh positif terhadap Penerimaan Pajak dan hambatan pelaksanaan Self assessment system yaitu faktor Pendidikan, Citra Pajak, Kesadaran dan Kepatuhan Masyarakat, Kejujuran dan Lemahnya Penegakan Hukum.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan Nasional seperti termaksud dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, alinea keempat yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum,
mencerdasarkan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Disini
pemerintah hendak mewujudkan kesejahteraan baik jasmani maupun rohaniah bagi warga negaranya yang mencakup kepentingan perseorangan, golongan, sesama warga negara dan atara warga negara dan pemerintah. Sedangkan
untuk terciptanya kesejahteraan umum dan mencerminkan kehidupan bangsa ini, berarti adanya keinginan terciptanya suatu pemerintahan yang mana
pemerintahannya mampu menyusun dan membangun suatu masyarakat yang sejahtera baik materil maupun spirituil. 1
Tugas pemerintah dalam memenuhi kesejahteraan rakyat harus sesuai
dengan tujuan pembangunan nasional dan Garis-gasris Besar Haluan Negara. Dan untuk tercapainya tujuan pembangunan nasional juga Garis-garis Besar
Haluan Negara, pemerintah bersungguh-sungguh bekerja keras dan berpegang
teguh pada disiplin yang dapat menjamin keberhasilan dalam meletakkan
kerangka landasaan untuk memacu pembangunan menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasrkan Pancasila, yang semuanya ingin
membutuhkan dana yang besar. Dana tersebut dapat dihimpun dari masyarakat sendiri, khususnya melalui pajak. Demikian pentingnya pajak bagi negara, maka para pendiri Negara Republik Indonesia telah memasukan unsur pajak
sebagai pendapatan negara ke dalam Undang-undang Dasar 1945 pada Pasal 23 ayat (2). Adapun bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut: “Segala pajak
untuk keperluan negara berdasarkan undang - undang “. Setelah kita teliti dari ketiga puluh tujuh pasal, hanya Pasal 23 ayat (2) saja yang berbunyi berdasarkan Undang-undang, selebihnya menggunakan kata-kata dengan
undang-undang“. Dengan menggunakan kata berdasarkan Undang-undang yang dimaksudkan agar ketentuan perpajakan tidak hanya diatur dengan
bentuk Undang-undang saja, tetapi dapat pula diatur dalam bentuk peraturan-peraturan lainnya. Adapun maksud yang terkandung dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, agar supaya peraturan perundang-undangan
perpajakan senantiasa cepat mengikuti dinamika masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan perkembangan perekonomian.
Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat (2), maka dibentuklah berbagai bentuk peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak. Upaya tersebut diwujudkan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, Peraturan Pemerintah Nomor. 35 Tahun
1983 tentang Pendaftaran Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Undang-undang Nomor. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, serta Peraturan
Pemerintah Nomor. 36 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan 1984, dan berbagai ketentuan lain yang berkaitan dengan perpajakan. Dengan disyahkannya beberapa perundang-undangan dibidang perpajakan ini terlihat
dengan nyata, bahwa pemerintah dengan sungguh-sungguh ingin mewujudkan suatu Undang-undang di bidang perpajakan yang dilandasi Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, sekaligus mengganti Undang-undang perpajakan yang dibuat pada jaman kolonial. Meskipun terhadap berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan pada jaman kolonial tersebut telah beberapa
kali dilakukan upaya perubahan dan penyesuaian, namun dengan perbedaan falsafah yang melatar belakangi, serta sistenm yang melekat pada
Undang-undang tersebut, belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana yang dapat menunjang cita-cita bangsa dan pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan sekarang.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang pajak tersebut dan sekaligus merupakan ketentuan yang mengikat. Sudah selayaknya
apabila kita mengenal ketentuan-ketentuan umum perpajakan yang berlaku di negara Indonesia. Sedikitnya menyangkut Sistem dan Tata Cara Perpajakan sesuai dengan Undang-undang Nomor. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
berhasil jika didukung dengan keikut sertaan dan kesungguhan dari
masyarakat dalam mensukseskan Pembangunan Nasional, melalui partisipasi aktif dengan kewajiban membayar pajak.
Salah satu wujud mengikut sertakan masyarakat secara aktif untuk berpartisipasi dalam pembangunan yaitu dengan diterapkan sistem “self assesment “ dalam perhitungan dan pembayaran pajak. Sistem self assesment
ini memberikan kepercayaan sepenuhnya dari pemerintah kepada wajib pajak untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang harus disetor atau
dibayarkan kepada negara. Penerapan self assesment dalam perpajakan di Indonesia, disatu pihak dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam membayar pajak, dan dilain pihak dapat membuat peluang atau kesempatan
untuk menyelewengkan pembayaran pajak. Oleh karena itu, keberhasilan penerapan atau pelaksanaan sistem self assesment ini sangat dipengaruhi oleh
kesadaran yang tinggi serta kejujuran dari wajib pajak sendiri. Disamping itu, penerapan sistem self assesment ini akan dapat berjalan dengan baik jika didukung dengan pengetahuan tentang perpajakan. Tanpa pengetahuan yang
memadai dan faktor kejujuran serta kesadaran dari wajib pajak maka sistem self assesment tersebut sulit untuk dilaksanakan.
Sistem self assesment ini terkandung, beberapa hal penting yang diharapkan ada dalam diri wajib pajak, antara lain:
b. Kejujuran wajib pajak.
c.Tax mindedness wajib pajak, hasrat untuk membayar pajak.
d.Tax discipline/disiplin dari wajib pajak terhadap pelaksanaan peraturan
perpajakan, sehingga pada waktunya wajib pajak dengan sendirinya memenuhi kewajiban -kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Undang-undang seperti memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pada
waktunya dan sebagainya tanpa diperingatkan untuk melakukan pembayaran pajak. 2 Karena di Indonesia salah satu penerimaan negara yang sangat
penting, artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional serta bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, oleh karenanya, pajak perlu dikelola secara seksama dengan
meningkatkan peran serta seluruh lapisan masyarakat dan dari aparat perpajakan sendiri. Pajak merupakan merupakan alat bagi pemerintah dalam
mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Sistem perpajakan
selalu mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Negara, baik dalam bidang kenegaraan maupun bidang dalam
pelaksanaannya diatur dalam Undang-undang dan peraturan untuk tujuan
kesejahteraan bangsa dan Negara.
Penetapan pajak di Indonesia selalu didasarkan atau UU, sesuai amanat
UUD 1945 dan amandemennya, dalam pasal 23 ayat (2). Beberapa teori menentukan pajak dapat dihitung dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat, atau pihak lain, atau juga oleh pemerintah. Reformasi perpajakan (tax reform)
1983, telah membuat perubahan mendasar ke arah pembaruan dalam sistem perpajakan nasional. Masyarakat ditempatkan dalam posisi utama dalam
pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Hal ini sangat sejalan dengan tuntutan social oriented, di mana masyarakat yang menentukan kehidupan dan
berfungsi dan kegiatannya, sedangkan pemerintah lebih berfungsi sebagai
pengawas, pembina dan penyedia fasilitas. Salah satu tonggak penting dalam sejarah perpajakan Indonesia adalah penerapan sistem pemungutan pajak self
assessment sebagai pengganti official assessment.
Perubahan sistem pemungutan pajak dari offcial assessment menjadi self assessment, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan
kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dari penerimaan dalam negara berasal dari pajak, karean penerimaan dari migas tidak dapat diandalkan lagi,
sementara sumber dana dalam negeri hanya sebagai pelengkap. Sejak diterpkannya sistem self assessment dalam Undang-undang perpajakan Indonesia, peranan positif wajib pajak dalam memenuhi seluruh kewajiban
sistem self assessment berjalan secara efektif, keterbukaan dan pelaksanaan
penegak hukum merupakan hal yang palin penting. Penegakan hukum ini dapat dilakukan dengan adanya pemeriksaan/penyidikan pajak dan penagihan
pajak. Pemeriksaan pajak merupakan instrumen yang baik untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, baik formal maupun material dari peraturan perpajakan, yang tujuannya untuk menguji dan meningkatkan
kepatuhan perpajakan seorang wajib pajak. Kepatuhan ini akan sangat berdampak baik secara langsung maupun tak langsung pada penerimaan pajak.
Hal-hal yang diharapkan ada pada diri wajib pajak tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor penting yang sangat mempengaruhi kesuksesan penerapan sistem self assesment ini adalah kondisi
sosial kemasyarakatan dimana wajib pajak berada. Berdasarkan keadaan yang demikian inilah maka penulis tertarik sekali mengetahui pelaksanaan
pemungutan pajak ke dalam suatu karangan ilmiah yang berbentuk skripsi berdasarkan Undang-undang Nomor. 6 Tahun 1983 dengan judul:“Tinjauan terhadap pelaksanaan Self Assesment sistym sesuai Undang -undang Nomor. 6
Tahun 1983 dalam pemungutan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kebumen”.
B. Perumusan Masalah
permasalahan tersebut diatas adalah sebagai berikut:
a) Bagaimana penerapan self assesment system di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kebumen?
b) Apa hambatan dalam penerapan self asessmen system di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kebumen?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian yang hendak dicapai adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan self asessment system di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kebumen.
2. Untuk menentukan hambatan-hambatan pelaksanaan self asessment system
di kantor Pelayanan Pajak Pratama Kebumen.
D. Manfaat Penelitian
a) Manfaat Teoritis:
Yaitu memberikan sumbangsih pada ilmu pengetahuan hukum
b) Manfaat Praktis:
Yaitu memberikan pengetahuan yang lebih jelas menngenai
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKSANAAN SELF ASSESMENT
SYSTEM SESUAI DENGAN UNDANG UNDANG NO. 6 TAHUN 1983
A. Pengertian Pajak
Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.1
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya Undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak. 2
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''.3 Banyak para ahli dalam bidang perpajakan yang
memberikan batasan atau defenisi yang berbeda–beda tentang pajak, namun perlulah disadari bahwa batasan–batasan atau definisi–definisi tentang pajak tersebut memnpunyai tujuan yang sama. Diantara pendapat sarjana tersebut yang sampai kini masih banyak pendukungnya Prof. Dr.
1 Soemitro, Rochmat (1988), Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: Eresco. ISBN 979-8020-23-5, hlm. 15
P.J.A. Andriana, beliau memberikan definisi yang berbunyi iuran terhadap negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan–peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tegas pemerintahannya.4 Kesimpulan yang dapat ditarik dari definisi tersebut kekuasaan politik tersebut.6 Pungutan ini dapat dibagi menjadi:
a) Pajak; b) Retribusi; c) Sumbangan; 7
Untuk memudahkan membedakan satu sama lainnya perlu penulis uraikan pengertian retribusi dan sumbangan.
“Retribusi adalah pembayaran–pembayaran kepada negara, yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa–jasa negara“.8 Sedangkan
“Sumbangan adalah biaya–biaya yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tertentu, tidak boleh dikeluarkan dari kas umum. Karena prestasi–prestasi itu tidak ditunjukan kepada penduduk seluruhnya“.9
4 Bohari, Pengantar Perpajakan, Ghalis Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 31.
5Ibid. Hlm. 31.
6Ibid. hlm. 31.
7Ibid. hlm. 31.
8 H. Rochmat Soemitro. Dasar – dasar hukum pajak dan pajak pendapatan, 1994. Eresco. Bandung, 1979, hlm. 17.
Dengan memperhatikan unsur–unsur yang melekat pada pajak, retribusi dan sumbangan, maka akan mudah untuk membedakan antara pajak, retribusi dan sumbangan, maka akan mudah untuk membedakan antara pajak, retribusi dan sumbangan. Adapun perbedaanya sebagai berikut : 1. Pada pajak sifatnya berlaku umum, artinya berlaku bagi setiap orang
yang memenuhi syarat untuk dapat dikenakan pajak; pada retribusi hanya berlaku bagi orang – orang tertentu yang langsung ditunjuk; sedangkan pada sumbangan hanya berlaku bagi golongan tertentu saja.
2. Pada pajak unsur paksaanya bersifat pidana dan administratif; pada retribusi unsur paksaanya bersifat ekonomis, artinya kalau tidak membayar iuran maka orang yang bersangkutan tidak diperkenankan menikmati jasa dari negara. Misalnya retribusi pasar, bagi mereka yang tidak membayar iuran pajak, maka kepadanya tidak akan diperkenankan masuk di pasar untuk menjual barang dagangannya; sedangkan pada sumbangan golongan tertentu diwajibkan membayar sumbangan (tidak bisa menghindari).
3. Pada pajak; jasa timbal baliknya bersifat tidak langsung dalam arti bahwa meskipun kita bayar pajak belum tentu kita bisa menikmati jasa dari negara; pada retribusi, jasa timbal baliknya adalah bersifat langsung, artinya manakala membayar iuran mereka langsung memperoleh jasa sedangkan kepada sumbangan golongan tertentu saja yang dapat menikmatinya.
pajak, sedangkan pajak masih mempunyai fungsi lain yang tidak kala pentingnya, yaitu fungsi “mengatur“. 10
Menurut Prof. Dr. M.J.H Smeets, beliau memberikan definisi pajak adalah pretasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma–norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditujukan dalam hal yang individuil, maksudnya adalah membiayai pengeluaran pemerintah.11 Definisi tersebut, hanya menonjolkan
“budgetair”, yaitu mengisi kas negara sebanyak – banyaknya. Sedangkan fungsi pajak yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi “ regulerend “ yaitu fungsi mengatur.
Dr. Soeparman Soemahamidjaja (dalam desertasinya berjudul: Pajak Berdasarkan Azas Gotong Royong), memberikan definisi sebagai berikut: Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma–norma barang dan jasa–jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. 12
Definisi pajak menurut Soeparman Soemahamidjaja, mempunyai kesan yang lebih baik, yaitu tidak adanya istilah paksaan dengan alasan bahwa dengan perkataan “iuran wajib berarti bahwa pembayaran pajak itu merupakan kewajiban, dan pembayaran pajak itu dilaksanakan karena adanya Undang–undang, bila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan maka kewajiban dalam Undang–undang tersebut telah ditentukan pula cara pelaksanaan yang lain. Mengenai kontraprestasi itulah perlu dipungut biaya atau pajak. Penyelenggaraan keamanan, Kehakiman, Kesejahteraan, Pembangunan dan hal–hal yang lainnya justru merupakan maniprestasi
10 Santoso Brotodiharjo. Op.cit. hlm. 2.
11Ibid. hlm. 4.
pemberian kontraprestasi bagi pembayaran pajak selaku anggota masyarakat. Jadi kewajiban pembayaran pajak harus timbul dari kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya dan bukan karena paksaan. 13
Prof. Dr. Rocmat Soemitro, SH. Memberikan definisi pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang–undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi), yang langsun dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pembangunan umum.14
Dari keempat definisi pajak tersebut, penulis lebih condong pada definisi pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja, definisi tersebut mempunyai kesan yang lebih baik dari pada definisi–definisi yang lain. Karena definisi pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja tidak terdapat istilah “paksaan“, dengan alasan bahwa perkataan “iuran wajib“ brarti pembayaran pajak harus timbul dari kesadaran masyarakat untuk untuk melakukan kewajiban dan bukan karena terpaksa. Namun bukan berarti, penulis menganggap definisi pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja sudah mendekati sempurna. Masih terdapat kekurangan, yakni beliau menitikberatkan pada fungsi “budgetair“ dari pajak, sedangkan dalam pajak masih terdapat fungsi lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu fungsi mengatur.
Dari definisi–definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan oleh penulis tentang ciri – ciri yang melekat pada pengertian pajak sebagai berikut:
a) Pajak dipungut oleh negara berdasarkan kekuatan Undang–undang. Dalam pembayaran pajak tidak ada kontraprestasi secara langsung.
b) Tujuan yang utama dari pemungutan pajak adalah sebagai sumber keuangan negara (fungsi budgetair).
c) Pajak dipungut disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang.
Selain dari fungsi yang bersifat budgetair dari pendapat para sarjana tersebut, seharusnya pajak juga memuat fungsi regulair (fungsi mengatur) dimana fungsi ini digunakan untuk mengatur kebijaksanaan– kebijaksanaan dibidang sosial, kultural, ekoni dan lain–lain, demi tercapainya kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
1. Fungsi Pajak
Pada umumnya fungsi pajak dibebankan menjadi dua fungsi
budgetair dan regulair. Fungsi budgetair ialah fuingsi yang meletakkan atau yang letaknya disektor publik dan pajak–pajaknya merupakan suatu sumber atau alat untuk memasukkan uang masyarakat sebanyak– banyaknya ke kas Negara untuk membiayai pengeluaran Negara.15
Sedangkan fungsi regulair ialah pajak yang digunakan sebagai alat untuk mengatur atau untuk mencapai tujuan–tujuan tertentu yang pada umumnya terlibat pada sektor swasta atau dapat dikatakan fungsi mengatur yang ditujukan keareah kebijakasanaan perpajakan dibidang sosial, kultural, ekonomi dan lain–lain.16
Diantara para sarjana diantaranya, Dr. D.J.A. Andriani, Prof. Soeparman Soemahamidjaja dan Prof. Dr Rocmat Soemitro S.H berpendapat bahwa pajak haruslah ditujukan semata–mata untuk menutupi biaya–biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk
15 R. Tobias Soebekti – Asroni. Dasar – dasar Perpajakan. Karunia, Jakarta, Universitas Terbuka. 1985. Hlm. 24.
menunaikan tugasnya. Maka dari itu menurut prndapat mereka bahwa pengenaan pajak harus diatur sebaik–baiknya dan tidak boleh diarahkan untuk tujuan–tujuan lain dari padanya. Sebaiknya banyak sarjana diantaranya Salamun A.T, yang menentang keras adanya pendapat diatas itu, dan mereka mengajarkan bahwa fungsi pajak disamping bertugas mengisi kas negara, maka pajak mempunyai fungsi, yang mereka ajarkan selain bertugas untuk mengisi kas Negara juga mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu fungsi mengatur sebagai usaha pemerintah untuk turut campur dalam segala lapangan guna menyelenggarakan tujuan– tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah yang letaknya di luar bidang keuangan. Fungsi mengatur ini banyak ditujukan kepada sektor swasta. Fungsi mengatur dewasa ini sangat penting peranannya sebagai alat kebijaksanaan perpajakan dibidang sosial, kultural, ekonomi dan lain– lain. Disini pajak di jadikan sebagai alat oleh pemerintah untuk mencapai tujuan–tujuan tertentu baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun kultural.
jangkau oleh sebagian besar masyarakat, dibandingkan dengan harga barang–barang industri dalam negeri yang mungkin jauh lebih murah. Dari segi teori maka hasil barang–barang industri dalam negeri akan lebih digemari, sehingga bangsa Indonesia yang sudah minded dengan barang buatan luar negeri itu semakin berkurang. Jadi tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah lewat pengenaan tarif yang tinggi ini adalah untuk melindungi industri dalan negeri kita, terhadap persaingan dengan industri dari luar negeri. 17
b. Dalam Bidang Sosial, kecenderungan dalam masyarakat yaitu adanya keinginan untuk “hidup mewah “sehingga mungkin akan terjadi gangguan sosial. Untuk itu terhadap barang mewah seperti mobil dan barang–barang yang sifatnya mewah akan dikenakan pajak yang tinggi, sehingga konsumen yang ingin bergaya hidup mewah pasti akan memikul beban yang tinggi. Dengan demikian secara teoritis maka terjadilah redistribusi pendapatan dalam masyarakat. Selain itu juga sesuai dengan anjuran pemerintah untuk hidup sederhana. 18
c. Cukai minuman yang mengandung alkohol (minuman keras) seperti vodka, bir, dan lain–lain akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 20%, maka dari pemerintah agar supaya masyarakat tidak membeli minuman keras tersebut, selain karena minuman tersebut dapat menganggu kesehatan, juga harga minuman relatif mahal. 19
17 Bohari. Op.cit. hlm.79.
18 Bohari. Op.cit. hlm. 82.
d. Dalam Bidang Kultural (Budaya) peraturan atau tarif pajak pendapatan terhadap para penulis buku ilmiah yang berbobot, karena mengingat penulis ini sangat memerlukan perangsang untuk memperkaya perpustakaan nasional kita.
2. Sistem Pemungutan Pajak
a. Pada dasarnya ada 4 (empat) sistem pemungutan pajak yang
dapat digunakan, yaitu: 21) I. Official assesment systim
Yaitu suatu sistim pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak berada pada pemungut pajak (fiskus). Dalam sistim ini wajib pajak bersifat pasif yaitu menunggu ketetapan dari aparatur pajak atau pemungut pajak. Utang pajak baru timbul kalau sudah ada Surat Ketetapan Pajak (SKP) dari aparatur pajak. Ciri–cirinya:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak ada pada fiskus. b) Wajib pajak bersifat pasif
c) Hutang pajak timbul setelah SKP (Surat Keputusan Pajak) dikeluarkan oleh fiskus.
II. Semi Self Assesment systim
tahun pajak yang sesungguhnya besarnya pajak ditentukan oleh
c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
III. Full Self Assesment Systim
Yaitu suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak terhutang oleh wajib pajak berada pada wajib pajak itu sendiri. Dalam sistim ini harus aktif menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri pajaknya. Fiscus tidak turut campur tangan dalam menentukan besarnya pajak yang terhutang (kecuali wajib pajak menyalahi aturan yang
untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Menurut Rimsky K. Judisseno menjelaskan bahwa, self assesment system
diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat dalam menyetorkan pajaknya. Konsekuensinya, masyarakat harus benar-benar mengetahui tata cara perhitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan pemenuhan perpajakan.
Adapaun pengertian Self assesment system menurut Waluyo dan Wirawan adalah pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Sedangkan menurut Zain, mengatakan Self assesment system merupakan tipe keenam dari tipe administrasi perpajakan banyak ditentukan oleh kerja sama atau tingkat partisipasi wajib pajak atau pemotong/pemungut pajak dan respons wajib pajak terhadap pengenaan pajak tersebut.
Berdasarkan definisi dapat disimpulkan bahwa self assesment system adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Dalam hal ini dikenal:
1. Mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak.
2. Menghitung dan atau memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terhitung.
3. Menyetor pajak tersebut ke Bank persepsi/kantor pos.
4. Melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak. 5. Menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian
c. Ciri-ciri Self Assesment
Adapun ciri-ciri Self Assesment System yaitu:
1. Wajib pajak (dapat dibantu oleh konsultan pajak) melakukan peran aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
2. Wajib pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas kewajiban perpajakannya sendiri.
3. Pemerintah dalam hal ini instansi perpajakan, melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan, bagi wajib pajak, melalui pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang pajak sesuai peraturan yang berlaku.
Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa pemberian kepercayaan sepenuhnya pada wajib pajak (dapat dibantu konsultan pajak) untuk menentukan penetapan besarnya pajak yang terutang sendiri dan kemudian melaporkan pembayaran pajak dan penghitungan pajak secara teratur jumlah pajak terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Syarat Pemungutan Pajak
a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)20. Hukum pajak adalah
kumpulan peraturan–peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak sebagai wajib pajak, yang antara lain mengatur siapa–siapa saja yang sebenarnya sebagai wajib pajak atau subyek pajak, obyek pajak, timbul kewajiban pajak, cara penagihan dan sebagainya. Disamping itu memuat pula tentang kewajiban– kewajiban dan hak–hak wajib pajak serta sanksi–sanksinya pidana maupun secara administratif sehubungan dengan adanya pelarangan atas hukum yang dilakukan oleh wajib pajak.
b. Tujuan setiap hukum adalah untuk menegakkan keadilan. Demikian pula dalam hukum pajak juga mepunyai tujuan–tujuan yang sama derngan tujuan–tujuan hukum lainnya, yaitu menegakkan adanya keadilan dalam hal pemungutan pajak baik adil dalam perundang– undangan maupun adil dalam hal pelaksanaanya antara lain diwujudkan adanya hak bagi wajib pajak untuk mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak atau lembaga peradilan lainya. Salah satu jalan yang harus di tempuh dalam mencari keadilan dalam hal pemungutan pajak adalah mengusahakan agar pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan merata. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang–undang (syarat Yuridis) 21. Hukum pajak harus dapat
memberikan jaminan hukum yang perlu menegakkan keadilan yang tegas, baik untuk Negara maupun untuk warga negara negaranya. Bagi negara–negara hukum, segala sesuatunya harus diatur dalam Undang–
undang termasuk dalam hal pemungutan pajak. Pemungutan pajak di Indonesia diatur juga dalam Undang–undang termasuk dalam hal pemungutan pajak. Pemungutan pajak di Indonesia diatur juga dalam Undang–undang Dasar 1945, yaitu pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa “Pengenaan dan Pemungutan Pajak (termasuk didalamnya bea dan cukai) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan Undang-undang“. Disamping itu untuk menyusun Undang–undangnyapun harus diusahakan agar dapat tercapainya keadilan dalam pemungutan pajak. Dalam menyusun Undang–undang secara umum tidak boleh dulupakan hal–hal sebagai berikut :
Hak–hak negara sebagai pemungut pajak (fiskus) yang telah diberikan oleh pembuat Undang–undang harus dijamin supaya lancar.
Para wajib pajak harus mendapat jaminan hukum yang tegas supaya tidak diperlakukan dengan semena–mena oleh fiskus
dengan segala peraturannya.
Adanya jaminan hukum terhadap tersimpannya rahasia–rahasia mengenai diri atau perusahaan–perusahaan wajib pajak yang telah dituturkan kepada instansi pajak, dan rahasia itu tidak boleh disalahgunakan.
penghalang perdagangan ekonomi luar negeri yang mengakibatkan merugikan bukan saja pengusaha tetapi juga negara. Dengan adanya kebijaksanaan Menteri Perdagangan dimana beberapa pungutan terhadap barang–barang komoditi non migas dihapuskan, maka keluhan pengusaha tersebut oleh pemerintah.
d. Pungutan pajak harus efisien (syarat finansial)22. Dimana pajak yang
dipungut cukup pengeluarkan negara dan hendaknya pemungutan pajak tidak memakan biaya yang terlalu besar. Dalam hal ini diartikan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pemungutan penetapan pajak hendaknya lebih kecil dari uang yang masuk ke kas Negara. Azas finansial ini sudah diterapkan dalam Undang–undang Pajak Nasional dimana wajib pajak sendiri diharuskan oleh Undang–undang untuk datang sendiri mengambil Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kekantor pelayanan pajak.
e. Sistim pemungutan pajak harus sederhana23. Untuk mengetahui efesien
pemungutan pajak serta untuk memudahkan warga masyarakat untuk menghitung dan memperhitungkan pajaknya, maka harus diterapkan sistim pajak yang sederhana dan mudah untuk dilaksanakan akan mengingatkan kesadaran masyarakat dalam pembayaran pajak.
B. Tinjauan Pelaksanaan Self Assesment Sytem
1. Penegertian Pelaksanaan Self assesment system
Sejak reformasi perpajakan tahun 1983, sistem pemungutan pajak di Indonesia mengalami perubahan. Sejak saat itu Indonesia menganut sistem perpajakan Self assesment. Sangat berbeda dari masa sebelumnya, mulai
saat itu wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung pajaknya sendiri. Keberhasilan sistem ini sangat ditentukan oleh kepatuhan sukarela wajib pajak dan pengawasan yang optimal dari aparat pajak. Mereka menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Pajak yang disetor oleh wajib pajak tersebut dianggap benar, sampai pemerintah dapat membuktikannya salah.
Fakta menujukan bahwa sebagian besar wajib pajak masih enggan membayar pajak dengan benar. Mereka akan selalu berusaha untuk mengelak dari pembayaran pajak. Oleh karena itu, dalam sistem Self assesment ini keberadaan basis data perpajakan yang lengkap dan akurat sangat penting bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Data ini akan digunakan untuk membuktikan bahwa penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajak yang dilakukan sendiri oleh wajib pajak sudah benar. Apabila diketahui masih salah, maka data tersebut akan digunakan sebagai dasar tindakan koreksi.
2. Sistem dan Syarat Pelaksanaan Self Assesment System
Februari 2012 mengatur mekanisme pemberian data dan informasi dari pihak lain ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Di samping itu, peraturan ini juga memberikan wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menghimpun data dan informassi tambahan secara rahasia, misalnya melalui kegiatan intelijen.
Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan PP tersebut, bahwa tujuan pemberian dan penghimpunan data dan informasi ini adalah untuk:
a) Membangun data perpajakan sebagai dasar pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh masyarakat. b) Meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
c) Meminimalkan kontak antara aparat pajak dengan wajib pajak. d) Meningkatkan profesionalisme aparat pajak dan wajib pajak.
Dengan demikian inti dari PP tersebut adalah untuk mendukung keberhasilan sistem perpajakan kita, intansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pemberian tersebut dilakukan secara berkala dalam bentuk elektronik. Pihak yang wajib memberikan rincian data dan informasi yang wajib diberikan, mekanisme pemberian, dan jangka waktu pemberian, diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
3. Pelaksanaan Self Assesment Sytem
Self assesment system menyebabkan wajib pajak mendapat beban berat karena semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Kewajiban wajib pajak dalam self assesment system menurut Siti Kurnia Rahayu menjelaskan bahwa:
a. Mendaftarkan Diri ke Kantor Pelayanan Pajak.
(KP4) yang wilayah meliputi tempat tinggal atau kedudukan wajib pajak, dan dapat melalui e-register (media elektronik online) untuk deberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
b. Menghitung pajak oleh Wajib Pajak
Menghitung pajak penghasilan adalah menghitung besarnya pajak terutang yang dilakukan pada setiap akhir tahun pajak, dengan cara mengalikan tarif pajak dengan pengenaan pajaknya. Sedangkan, memperhitungkan adalah mengurangi pajak yang terutang tersebut dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan yang dikenal sebagai kredit pajak (prepayment).
c. Membayar Pajak Dilakukan Sendiri oleh Wajib Pajak
I. Membayar Pajak
a. Membayar sendiri pajak yang terutang, angsuran PPh pasal 29 pada akhir tahun
b. Melalui pemotongan dan pemungutan pihak lain (PPh pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, 23, dan 26). Pihak lain disini berupa pemberi penghasilan, pemberi kerja, dan pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
d. Pembayaran pajak-pajak lainnya seperti PBB, BPHTB, bea materai.
II. Pelaksanaan Pembayaran Pajak
Pembayaran pajak dapat dilakukan di bank-bank pemerintah maupun swasta dan kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil di Kantor Pelayanan Pajak atau KP4 terdekat, atau dengan cara lain melalui pembayaran pajak secara elektronik (e-payment).
III. Pemotongan dan Pemungutan
Jenis pemotongan /pemungutan adalah PPh Pasal 21,22, 23, 26, PPh final pasal 4 (2), PPh Pasal 15, dan PPN dan PPnBM merupakan pajak. Untuk PPh dikreditkan pada akhir tahun, sedangkan PPN dikreditkan pada mas diberlakukannya pemungutan dengan mekanisme pajak keluar dan pajak masukan.
IV. Pelaporan Dilakukan oleh Wajib Pajak
pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran dari pemotongan atau pemungutan tentang pemotongan dan pemungutan pajak yang telah dilakukan.
4. Konsekuensi Pelaksanaan Self Assesment System
Azas pemungutan ini membawa konsekuensi tersendiri bagi wajib pajak. Konsekuensi yang ditimbulkan oleh self assesment system ini, wajib pajak diwajibkan untuk mendaftarkan diri, menghitung, melaporkan dan menyetorkan pajaknya yang dilakukan sendiri oleh wajib pajak tersebut. Sarana penghitungan, pelaporan, serta penyetoran tersebut sebagaimana yang dilakukan, anatara lain:
a) Surat Pemberitahuan (SPT), adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b) Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat oleh wajib pajak digunakan untuk
melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara atau ke tempat pembayaran lain yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
c) Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bungan dan atau denda.
e) Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak.
f) Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang dilakukan oleh wajib pajak.
5. Prinsip Self Assessment system
Sebelum Undang-undang No. 6 Tahun 1983 lahir, penghitungan pajak dilakukan oleh fiskus (aparat pajak). Sistem pemungutannya dikenal dengan istilah official assessment system. Perpindahan dari official assessment ke
self assessment inilah yang kemudian ditandai sebagai reformasi perpajakan. Prinsip self assessment ini tampak pada Pasal 12 UU KUP. Berikut kutipannya,
1) Setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian
Penelitian hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan suatu kegiatan
ilmiah didasarkan kepada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan
jalan menganalisanya serta melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap
fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan. Dalam penulisan
hukum ini peneliti mengunakan peneliyian yang dapat dikategorikan sebagai
suatu penelitian hukum empiris atau sosiologis, yaitu pada awalnya yang
diteliti data sekunder, kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data
primer yang diperoleh dilapangan.
B. Data Peneltian
Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum empiris terdapat 3 (tiga)
maupun digunakan secara bersama–sama sekaligus. Ketiga teknik tersebut
adalah wawancara, angket atau kuisoner dan observasi.1
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 2 jenis data, yaitu:
1. Data primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lapangan
berdasar dari narasumber. Pengumpulan data dilapangan yang dilakukan
oleh peneliti dengan cara wawancara dan kuisioner berupa daftar pertanyaan
yang telah disususn terlebih dahulu, sehingga subyek dapat menjawab
pertanyaan secara terbuka dan terfokus pada permasalahan yang diteliti.
Kemudian jawaban-jawaban tersebut dilakukan pencatatan, pengelompokan,
dan penulisan secara sistematis.
2. Data sekunder
Pengumpulan data dalam studi pustaka ini dilakukan penelitian dengan
cara mempelajari dan mengumpulkan data yang berhubungan dengan
objek penelitian. Data-data tersebut diperoleh dari buku-buku kepustakaan,
peraturan perundang-undangan, browsing internet, dan dokumen-dokumen
lainya. Dalam hal ini peneliti mencari buku-buku yang dibutuhkan.
Data sekunder dikelompokan menjadi 3 jenis bahan hukum, yaitu:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat atau
bahan hukum yang berkait erat dengan permasalahan yang diteliti,
meliputi:
1) Undang–undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 Ayat (1) sampai dengan
(3).
2) Undang-undang Perpajakan sebagai turunan dari UUD 1945 Pasal
23 yang telah mengalami beberapa kali penyempurnaan, dan terakhir
dengan Undamg-undang No.16 Tahun 2009.
3) Undang-undang No.16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
4) Undang-undang No.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.
5) Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Sebagaimana Telah diubah dengan Undang-undang No.36 Tahun
2008.
6) Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaiamana telah diubah
7) Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12
Tahun 1994.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, yaitu:
1) Buku-buku yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang
akan dikaji dalam penulisan sekripsi ini;
2) Hasil penelitian dan karya tulis ilmiah yang berkaitan
dengan-dengan penulisan skripsi ini;
3) Makalah– makalah seminar terkait dengan penulisan
sekripsi ini;
4) Jurnal hukum dan literatul yang terkait dengan
penulisan sekripsi ini.
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yaitu:
1) Kamus Hukum
2) Kamus Bahasa Indonesia
3) Kamus Bahasa Inggris
4) Ensiklopedia terkait
C. Lokasi Penelitian
Menurut Mukti Fajar dan Yulianto,2 lokasi penelitian sangat diperlukan
bagi penelitian hukum terutama bagi penelitian hukum empiris. Berbeda halnya
dengan penelitian hukum yang bersifat normatif yang lokasi penelitiannya jelas
dilakukan di berbagai perpustakaan. Lokasi penelitian dalam penelitian hukum
empiris harus disesuaikan dengan judul dan permasalahan.
Penelitian hukum dengan judul “Tinjaua Terhadap Pelaksanaan Self Assesment
System Sesuai Dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1983 dalam Pemungutan
Pajak di Kabupaten Kebumen. Data dan informasi yang diperlukan dalam
Wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kebumen, yang terdiri atas 26
kecamatan, 449 desa dan 11 kelurahan. Batas-batas Kabupaten Kebumen
adalah:
Sebelah Barat : Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas.
Sebelah Timur : Kab. Purworejo.
Sebelah Utara : Kab. Banjarnegara dan Kab. Wonosobo.
Sebelah Selatan : Samudera Indonesia.
Luas Wilayah Kabupaten Kebumen secara administratif terdiri dari 26
kecamatan dengan luas wilayah 128. 111, 50 hektar atau 1.1211,74 km2 ,
dengan kondisi beberapa wilayah merupakan daerah pantai dan pegunungan
sebagai besar merupakan daerah dataran rendah. Dari luas wilayah Kabupaten
Kebumen, tercatat 39.768 hektar atau sekitar 45,02% sebagai lahan sawah dan
88.343,50 hektar atau 54,98% merupakan lahan kering.3
D. Responden dan Narasumber
Dalam penelitian ini, peneliti mencari dan mendapatkan informasi dari
responden dan narasumber, yaitu:
1. Responden adalah seseorang yang akan memberikan respon terhadap
pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Responden ini merupakan orang
atau pertanyaan yang terkait secara langsung dengan data yang
dibutuhkan.
2. Sedangkan narasumber adalah seseorang yang memberikan pendapat atas
obyek yang kita teliti. Dia bukan bagiain dari unit analisis, tetapi
ditempatkan sebagai pengamat. Hubungan narasumber dengan obyek yang
kita teliti disebabkan kompetensi keilmuan yang dimiliki, hubungan
struktual dengan person – person yang diteliti.4
Subyek penelitian ini terdiri dari para narasumber yang memiliki
kapasitas dan kompetisi sesuai dengan permasalahan yang diajukan dalam
penelitian ini. Narasumber dalam penelitian ini yaitu:
a) Bapak Hargo Nugroho S.Ak, Bagian Pengawasan dan Konsultasi
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kebumen.
b) Ibu Westri Wijayanti, Bagian Pusat Data dan Informasi Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Kebumen.
E. Alat Pengambilan Sampel
Sempel adalah suatu himpunan bagian (subset) dari unit populasi yang
diharapkan dapat mewakili populasi penelitian. Sampel dari suatu penelitian
harus mewakili karakteristik populasi yang diwakilinya, agar informasi yang
diperoleh dari sampel tersebut benar-benar mewakili populasi tersebut.
Informasi dari sampel yang baik akan dapat mencerminkan informasi dari
Penelitian ini mengambil sampel dengan menggunakan metode random
sampling. Random sampling merupakan metode pengambilan data dengan
maksud atau tujuan tertentu secara acak. Seseorang atau sekelompok orang
diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau
sekelompok orang tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi
penelitiannya. Sampel dalam penelitian ini adalah para wajib pajak yang
berada di daerah Kebumen. Menurut Gay dan Diehl jumlah sampel minimal
yang dapat diterima adalah:
a. Untuk studi deskriptif, jumlah sampel 10% dari populasi adalah jumlah
yang sangat minimal. Untuk populasi yang lebih kecil diperlukan 20% dari
populasi.
b. Untuk studi skripsi dibutuhkan minimal 30 sampel/orang untuk menguji ada
tidaknya keterkaitan.
c. Untuk studi kuasal komperatif, minimal 30 subyek per grup
d. Untuk studi eksperimen, minimal 15 subyek per grup.
F. Teknik Analisis Data
Penelitian ini, bersifat kulitatif dengan metode diskriptif, data hasil penelitian,
dianalisis secara kualitatif diskriptif, yaitu menggabungkan data sekunder
wawancara dengan para narasumber, kemudian dikaji dan menganalisinya
sehingga memberikan jawaban terhadap permaslahan yang diteliti secara
komprehensif. Dari hasil analisis tersebut kemudian dapat ditarik kesimpulan
untuk menjawab permasalahan.
G. Jalannya Penelitian
Penelitian hukum ini dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu :
a) Tahap Persiapan
Tahap persiapan dimulai dengan menelaah fenomena hukum yang
berkembang di masyarakat. Pemahaman terhadap kasus–kasus tertentu
mengantarkan penulis kepada permasalahan yang perlu mendapat kritisi
maupun solusi hukum. Selain melihat fenomena yang terjadi. Sebelum
penulis masuk pada tahap pelaksanaan penelitian, penulis terlebih dahulu
penulis masuk pada tahap pelaksanaan penelitian, penulis terlebih dahulu
melakukan pra penelitian.
b) Pelaksanaan
Dalam tahap ini, ada beberapa kegiatan yang harus dilaksanakan
dengan baik. Diantara kegiatan dalam pelaksanaan penelitian antara
c) Penyelesaian
Dalam tahap ini, data yang telah terkumpul dan telah di analisis
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan Selft Assesmen System di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kebumen.
Di Indonesia memang belum ada petunjuk tahun yang pasti sejak kapan
kerajaan-kerajaan di Indonesia mulai memperlakukan pajak dalam bentuk
apa, hanya saja sebelum kedatangan bangsa Eropa, kerajaan-kerajaan yang
ada di Indonesia sudah mengenal adanya pajak yang berupa pajak tanah
(terutama di wilayah-wilayah agraris)1 dalam bentuk tenaga dari rakyat yang
ditarik sebagai pajak oleh raja dengan istilah kerja bakti dan kadang-kadang
gotong royong, dan berbagai jenis barang atau barang dagangan dan
berbagai bentuk kewajiban yang harus dibayar. Kerajaan-kerajaan yang ada
di Jawa sekitar abad XIX, seperti kerajaan di Mataram, Majapahit, Padang
yang merupakan wilayah agraris, tradisi pembayaran pajak dan kerja rodi
merupakan suatu aspek tradisioanal, berbeda dengan negara martitim yang
memberlakukan pajak secara tidak langsung terhadap barang-barang. Diluar kewajiban pajak yang diperuntukan untuk pusat, terdapat juga
upeti-upeti setempat, dimana setiap pejabat pada kerajaan-kerajaan
tradisioanal berfungsi sebagai pemungut pajak. Karena setiap pejabat
tersebut tidak digaji oleh kerajaan melainkan hanya diseraihi wewenang dan
memungut pajak, upeti dan berbagai pungutan lain, maka seringkali para
pejabat tadi menerapkan pajak yang berlebihan, sehingga menyengsarakan
rakyat. Terhadap penyalahgunaan wewenang tadi biasanya Raja
mengenakan denda bahkan menyita harta kekayaan pejabat tersebuut. Disamping itu, jabatan sebagai penarik pajak seperti damang dan
jengkel ada juga yang diperjual belikan dengan harga tinggi, sehingga para
pemungut pajak tersebut kerap kali memungut pajak berlipat ganda yang
akan mennimbulkan berbagai pemberontakan anti pemungutan pajak dan
kerja rodi. Namun demikian, pemungutan pajak yang dilakukan bukan pada
masa atau pada saat itu tidak selalu memberi hasil atau dana yang besar bagi
pemasukan kerajaan tersebuuut, mungkin karena organisasinya yang belum
sempurna ataupun sitem pemungutan pajaknya sendiri yang memungkinkan
untuk itu.2
Self assessment system sebagai sistem penetapan pajak di Indonesia
telah diterapkan sejak tax reform tahun 1983, setelah sebelumnya pernah
diberlakukan official assessment system. Self assessment system merupakan
sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan, tanggung jawab
kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan
melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Official assessment
system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada fiskus untuk menentukan besarnya pajak terutang. Perbedaan antara
official assessment system dan self assessment system dapat dilihat pada
tabel 1 sebagai berikut:
Perbedaan Official Assesment System dan Self Assessment System
Official Assessment Peran Wajib Pajak Wajib Pajak bersifat
pasif
Wajib Pajak bersifat aktif
Peran Fiskus Fiskus bertindak aktif Fiskus hanya bertindak sebagai
memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya
pajak terutang. Wajib pajak diberi tanggung jawab atas kewajiban
pelaksanaan pajak sebagai penerimaan kewajiban di bidang perpajakan.
Wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan
yang berlaku. Fungsi penghitungan memberi hak kepada wajib pajak untuk
menentukan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan
dan atas dasar fungsi penghitungan wajib pajak berkewajiban untuk
membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor
Pos. Fungis terakhir dari wajib pajak adalah melaporkan pembayaran dan
berapa besar pajak yang telah dibayar ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sistem pemungutan yang berlaku di Indonesia atau di Kebumen saat ini
adalah self assessment system yaitu ketetapan pajak yang ditetapkan oleh
wajib pajak sendiri yang dilakukannya dalam SPT. Self assessment system
administrasi perpajakan banyak ditentukan oleh bentuk kerjasama atau
tingkat partisipasi wajib pajak atau pemotong/pemungut pajak dan respon
wajib pajak terhadap pengenaan pajak tersebut. Pada tipe ini wajib pajak
mendapat beban yang sangat berat karena:
1) Wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT. 2) Menghitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
3) Mengkalkulasi jumlah pajak yang terutang maksudnya mengurangi pajak
yang terutang dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan 4) Melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang
terutang.
Jiwa dari self assessment adalah pemerintah (Dirjen Pajak) yang
memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung dan
menetapkan sendiri besarnya kewajiban pajak yang harus dibayar wajib
pajak. Perhitungan besarnya pajak ini harus diakui kebenarannya sebelum
Dirjen Pajak dapat membuktikan yang sebaliknya, karena didalam asas self
assessment ada unsur pendelegasian wewenang oleh Dirjen Pajak, maka
pajak dan bukan obyek pajak, atau harta dan kewajiban. Dasar hukum untuk
melakukan pengisian SPT adalah terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan (1a)
UU KUP menyebutkan bahwa “setiap wajib pajak wajib mengisi surat
pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin,
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat wajib pajak
terdaftar atau dikukuhkan”. Menurut Undang-undang No.16 Tahun 2000
KUP perpajakan, SPT dapat dibagi menjadi, SPT Masa adalah Surat
Pemberitahuan untuk suatu masa pajak dan SPT Tahunan adalah surat-surat
pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Pengisi
SPT Tahunnan PPh oleh wajib pajak yang wajib melakukan pembukuan
harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba
rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Funsi SPT bagi wajib pajak, Pajak Penghasilan (PPh) adalah sebagai
sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah pajak yang sebenarnya terutang. Sedangkan bagi Pengusaha Kena
Pajak (PKP) fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Pertambahan Nilai atas barang Mewah (PPmBM) yang
sebenarnya terutang. Mengisi SPT adalah mengisi SPT dengan benar, jelas
dan lengkap, sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pengisian SPT yang tidak
benaryang mengakibatkan pajak yang terutang kurang bayar sehingga akan
dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 16 Tahun 2000, bagi Wajib
Pajak yang terlambat dan tidak menyampaikan SPTnya akan dikenakan
a. Wajib pajak terlambat menyampaikan SPT dikenakan denda untuk SPT
Masa sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) dan untuk SPT
Tahunan sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
b. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya
tidak benar karena kealpaan wajib pajak sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
c. Wajib pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan
atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dengan
sengaja sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang bayar.
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh wajib pajak
digunakan untuk melakukan pembayaran, penyetoran pajak yang terutang
ke kas Negara melalui kantor pos, Bank BUMN atau Bank BUMD dan
tempat pembayaran lain yang ditunjukan oleh Menteri Keuangan. Fungsi
dari SSP adalah sebagi sarana untuk membayar pajak, sebagai bukti dan
pelaporan pembayaran pajak. Dalam pelaksanaan self assessment system,
wajib pajak tidak serta merta mengisi formulir pajak dan diperiksa oleh
fiskus. Persoalan yang meski kita kedepankan adalah betapa pentingnya