• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Kebijakan Publik, Orientasi Kewirausahaan Dan Kompetensi Sumberdaya Manusia Dalam Pengembangan Produk Perikanan Prima

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Kebijakan Publik, Orientasi Kewirausahaan Dan Kompetensi Sumberdaya Manusia Dalam Pengembangan Produk Perikanan Prima"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)

MANUSIA DALAM PENGEMBANGAN PRODUK

PERIKANAN PRIMA

ABDUL ROKHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Peranan Kebijakan Publik, Orientasi Kewirausahaan dan Kompetensi Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan Produk Perikanan Prima” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2008

(3)

ABDUL ROKHMAN. Peranan Kebijakan Publik, Orientasi Kewirausahaan dan Kompetensi Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan Produk Perikanan Prima. Dibimbing oleh JOHN HALUAN selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta ARI PURBAYANTO dan VICTOR PH. NIKIJULUW sebagai anggota.

Pembangunan industri pengolahan ikan di Indonesia mendapat momentum baru dengan lahirnya Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan ditetapkannya Revitalisasi Pertanian dalam Agenda Pembangunan Nasional 2004-2009. Salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk mengakselerasi pembangunan industri pengolahan ikan adalah pengembangan produk perikanan prima, yaitu produk perikanan yang mempunyai jaminan mutu dan keamanan tinggi, berdaya saing tinggi dan bernilai tambah tinggi. Keberhasilan pengembangan produk perikanan prima ditentukan oleh tiga faktor, yaitu : (1) kebijakan publik, (2) orientasi kewirausahaan, dan (3) kompetensi sumberdaya manusia. Sehubungan dengan itu, dilakukan penelitian untuk menganalisis peranan ketiga faktor tersebut serta interaksinya satu sama lain dalam pengembangan produk perikanan prima.

Penelitian ini menggunakan metoda survei terhadap 69 unit pengolahan ikan beku yang berada di Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Metoda analisis data yang digunakan adalah Structural Equation Modeling (SEM), dengan menggunakan piranti lunak Program AMOS 5 Second Order Full Version.

Dari konstruksi yang menggambarkan hubungan antara kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia dengan produk perikanan prima, ditentukan empat peubah utama, yaitu : produk perikanan prima (Y), kebijakan publik (X1), orientasi kewirausahaan (X2), dan kompetensi

sumberdaya manusia (X3). Produk perikanan prima adalah peubah dependen yang

dipengaruhi oleh tiga peubah lainnya. Peubah ini ditentukan dengan menggunakan tiga peubah terukur, yakni : (1) mutu dan keamanan produk, (2) nilai tambah, dan (3) daya saing. Indikator mutu dan keamanan produk adalah rata-rata rasio (%) kasus penahanan/penolakan ekspor oleh US-FDA, Jepang dan negara lain serta RASFF (Rapid Allert System for Food and Feed) oleh Uni Eropa terhadap seluruh frekuensi ekspor selama periode 2002-2006. Indikator nilai tambah adalah rata-rata persentase (%) nilai tambah dari setiap produk yang dihasilkan. Sementara itu, indikator daya saing adalah rata-rata Indeks RCA (Revealed Comparative Advantages), yakni perbandingan pangsa suatu produk yg dihasilkan oleh suatu unit pengolahan ikan terhadap pangsa ekspor produk tersebut dari seluruh dunia selama periode 2002-2006.

(4)

Kompetensi sumberdaya manusia merupakan peubah bebas ketiga yang dikonstruksi oleh sembilan peubah terukur, meliputi : dua peubah indikator pengetahuan, dua peubah indikator ketrampilan, dan lima peubah indikator motivasi kerja.

Guna memperoleh gambaran mengenai kondisi kini industri pengolahan ikan, dilakukan juga analisis mengenai tingkat utilisasi, pengembangan produk, pemasaran dan penyerapan tenaga kerja. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat utilisasi unit pengolahan ikan (UPI) beku di Pulau Jawa rata-rata adalah 56,47% dari kapasitas terpasang, karena pasokan bahan baku semakin terbatas. Disamping itu, secara umum UPI beku di Pulau Jawa belum melakukan pengembangan produk, karena masih mengolah produk-produk konvensional seperti udang beku blok dan ikan utuh beku yang nilai tambahnya rendah. Diversifikasi pemasaran ekspor juga belum berkembang, karena sebagian besar masih ditujukan ke pasar tertentu saja (Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa) dan jenis produknya masih didominasi produk berbasis udang dan tuna. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri pengolahan ikan beku merupakan bidang usaha yang padat karya karena menyerap tenaga kerja yang cukup banyak (315 orang per UPI atau 43 orang per satu ton bahan baku).

Hasil analisis dengan menggunakan SEM menunjukkan bahwa peubah mutu dan keamanan produk, peubah nilai tambah dan peubah daya saing berbeda nyata pada taraf 1%, sehingga ketiga peubah tersebut dapat ditetapkan sebagai kriteria produk perikanan prima. Hasil analisis SEM juga menunjukkan bahwa kriteria yang paling kuat adalah daya saing, diikuti nilai tambah dan yang terakhir adalah mutu dan keamanan produk. Daya saing menjadi kriteria yang paling kuat karena merupakan ukuran keunggulan suatu produk dalam meraih pangsa pasar dari konsumen dunia, sehingga menjadi faktor penarik bagi kriteria lainnya. Nilai tambah menempati urutan kedua karena merupakan salah satu kunci sukses dalam berkompetisi dan menjadi faktor penarik bagi peningkatan mutu dan keamanan produk. Sementara itu, mutu dan keamanan produk menjadi kriteria produk perikanan prima paling lemah karena merupakan faktor penunjang bagi dua kriteria lainnya.

(5)

memiliki pengaruh yang paling kuat. Hal ini karena sumberdaya manusia tidak hanya sekedar sebagai obyek kebijakan, tetapi berperan juga sebagai subyek kebijakan sehingga ketersediaan sumberdaya manusia secara memadai merupakan faktor terpenting yang menentukan kinerja kebijakan. Pada faktor orientasi kewirausahaan, tindakan kompetitif merupakan aspek yang paling kuat pengaruhnya karena persaingan dalam bisnis pengolahan ikan sangat ketat. Pada faktor kompetensi sumberdaya manusia, rencana karier bagi karyawan mempunyai pengaruh yang paling kuat, karena seseorang memerlukan kepastian tentang apa yang akan didapat ketika berprestasi.

Korelasi antara faktor orientasi kewirausahaan dengan faktor kompetensi sumberdaya manusia mempunyai pengaruh yang paling kuat terhadap produk perikanan prima. Hal ini dimungkinkan karena kombinasi antara sikap proaktif, inovatif dan keberanian mengambil resiko yang melekat pada pihak manajemen dengan pengetahuan, ketrampilan dan motivasi kerja karyawan merupakan kunci dihasilkannya produk perikanan prima.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, opsi kebijakan yang perlu ditempuh oleh pemerintah dalam kaitannya dengan kriteria produk perikanan prima menurut urutan prioritasnya adalah : (1) peningkatan daya saing, (2) pengembangan produk bernilai tambah tinggi, dan (3) peningkatan jaminan mutu dan keamanan produk. Kebijakan peningkatan daya saing yang perlu ditempuh antara lain adalah : stabilisasi harga bahan baku, penetapan sistem pengupahan yang proporsional, penetapan suku bunga yang kompetitif dengan negara lain, dan pengaturan distribusi margin yang adil bagi seluruh pelaku bisnis perikanan.

Sementara itu, kebijakan yang perlu ditempuh dalam rangka pengembangan produk, antara lain adalah : fasilitasi perluasan akses pasar, pengembangan pasar domestik, diseminasi teknologi pengolahan value added products, dan pengembangan klaster industri perikanan. Adapun kebijakan peningkatan jaminan mutu dan keamanan produk yang perlu ditempuh antara lain adalah fasilitasi penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) sebagai corporate culture pada perusahaan pengolahan ikan.

Kebijakan yang terkait dengan faktor penentu produk perikanan prima berdasarkan urutan prioritasnya adalah : (1) pengembangan orientasi kewirausahaan, (2) peningkatan efektivitas pelaksanaan kebijakan di bidang mutu dan keamanan produk melalui penyempurnaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002, dan (3) peningkatan kualitas kompetensi sumberdaya manusia.

(6)

ABDUL ROKHMAN. Role of Public Policy, Entrepreneurial Orientation, and Human Resource Competency in Development of Prime Fishery Products. Supervised by JOHN HALUAN, ARI PURBAYANTO and VICTOR PH. NIKIJULUW.

Development of fish processing industry in Indonesia has reached a new momentum since the release of the act number 31/2004 on fisheries and the adoption of agriculture revitalization in National Development Agenda (RPJM) 2004-2009. The strategy that can be carried out to accelerate the development of fish processing industry is development of prime fishery products, which have high quality and safety, high competitiveness, and high added value.

The objectives of this research were : (1) to analyze current status of fish processing industry, (2) to construct model on role of public policy, entrepreneurial orientation, and human resource competency in development of prime fishery products, (3) to analyze some factors that play important role in the development of prime fishery products, i.e. public policy, entrepreneurial orientation, and human resource competency, (4) to formulate public policies that should be issued to develop fish processing industry. The research samples were 69 frozen fish processing plants located in Banten Province, Jakarta Province, West Java Province, Central Java Province, and East Java Province. The research applied survey method and data were analyzed using Structural Equation Modeling (SEM).

The result of this research showed that criteria of prime fishery products with strongly influence were competitiveness, followed by added value, and quality and safety assurance. All determinant factors of prime fishery products were significantly playing an important role. The leading roles were entrepreneurial orientation, followed by public policy, and human resource competency. Correlation between those factors was also playing an important role to the prime fishery products.

In relation to the criteria of prime fishery products, public policies should be issued are: (1) increasing product competitiveness, (2) development of value added products, and (3) improvement of quality and safety assurance. While, public policies should be issued related to the determinant factors of prime fishery products are: (1) development of entrepreneurial orientation, (2) revision of Ministerial Decree No. Kep 01/Men/2002, and (3) improvement of human resource competency.

(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber pengutipan dan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

(8)

MANUSIA DALAM PENGEMBANGAN PRODUK

PERIKANAN PRIMA

ABDUL ROKHMAN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Nama Mahasiswa : Abdul Rokhman NRP : C 561020054 Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Dr. Ir. Victor PH. Nikijuluw, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(10)

Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Nopember 1962 di Pekalongan, Jawa

Tengah, putra ke dua dari sembilan bersaudara dari Bapak KH. Misbah Malibari dan Ibu Hj. Ulfah Misbah. Pada tahun 1988 penulis menikah dengan Fitri Desfandiari dan dikaruniai empat orang putra, yaitu Abi Adiyat Fitrachman (19 tahun), Yusya’ Alif Fitrachman (14 tahun), Naufal Aqiel Fitrachman (8 tahun) dan Thariq Afif Fitrachman (4 tahun).

Pendidikan dasar sampai dengan menengah penulis selesaikan di Pekalongan. Pada tahun 1982-1985 penulis mengikuti kuliah pada Pendidikan dan Pelatihan Ahli Usaha Perikanan Jakarta (sekarang Sekolah Tinggi Perikanan), Jurusan Pemanfaatan Hasil Perikanan. Selanjutnya, pada bulan Desember 1985 penulis mulai bekerja pada Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian.

Pada tahun 1990-1991, penulis mendapat kesempatan tugas belajar pada Program Diploma IV Pendidikan dan Pelatihan Ahli Usaha Perikanan Jakarta, Jurusan Pemanfaatan Hasil Perikanan. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan S2 Program Studi Bisnis dan Manajemen pada Sekolah Tinggi Manajemen LABORA Jakarta dan memperoleh gelar MM (Magister Manajemen) pada tahun 1997. Selanjutnya, pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan S3 Program Studi Teknologi Kelautan, Sub Program Studi Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sejak bulan Juli 2007 sampai sekarang penulis diperbantukan pada

(11)
(12)

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas perkenan-Nya

disertasi dengan judul “Peranan Kebijakan Publik, Orientasi Kewirausahaan dan Kompetensi Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan Produk Perikanan Prima” ini dapat diselesaikan.

Penelitian yang dilakukan dalam rangka penulisan disertasi ini menggunakan metoda survei terhadap 69 unit pengolahan ikan beku yang berada di Pulau Jawa dan data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM). Hasil yang diperoleh dari penelitian itu adalah data dan informasi mengenai kondisi kini industri pengolahan ikan beku di Pulau Jawa, gambaran model pengembangan produk perikanan prima, opsi kebijakan pengembangan produk perikanan prima, dan implikasi hasil penelitian.

Bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada Buletin PSP Volume XVI No. 2 Agustus 2007, halaman 246-259, dengan judul “Peranan Kebijakan Publik, Orientasi Kewirausahaan dan Kompetensi Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan Produk Perikanan Prima”. Buletin tersebut diterbitkan oleh Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc serta Dr. Ir. Victor PH. Nikijuluw, M.Sc selaku anggota Komisi Pembimbing, yang dengan ikhlas telah

memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sejak penelitian sampai dengan penulisan disertasi ini.

(13)

Indonesia.

Bogor, Maret 2008

(14)

Halaman

DAFTAR ISI ………... i

DAFTAR TABEL ………... iv

DAFTAR GAMBAR ………... vi

DAFTAR LAMPIRAN ………... vii

DAFTAR SINGKATAN ………... viii

1 PENDAHULUAN ………... 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 8

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 10

1.7 Hipotesa Penelitian ……….. 15

2 TINJAUAN PUSTAKA ………... 17

2.1 Batasan/Definisi Pengolahan Ikan ... 17

2.2 Produk Perikanan Prima ... 17

2.2.1 Batasan/definisi produk perikanan prima ... 17

2.2.2 Peranan produk perikanan prima dalam pembangunan perikanan ... 19

2.2.3 Faktor-faktor yg berpengaruh terhadap produk perikanan prima ... 19

2.3 Kebijakan Publik ... 33

2.3.1 Pengertian kebijakan publik ... 33

2.3.2Kebijakan publik yang berkaitan dengan produk perikanan prima ... 36

2.3.3 Evaluasi kebijakan publik ... 38

2.3.4 Kebijakan publik dan produk perikanan prima ... 42

2.4 Orientasi Kewirausahaan ... 43

2.4.1 Pengertian kewirausahaan ... 43

2.4.2 Pengertian orientasi kewirausahaan ... 45

2.4.3 Orientasi kewirausahaan dan produk perikanan prima ... 47

2.5 Kompetensi Sumberdaya Manusia ... 48

2.5.1 Pengertian kompetensi sumberdaya manusia ... 48

2.5.2 Kompetensi sumberdaya manusia dan produk perikanan prima ... 51

2.6 Pemodelan Persamaan Struktural (Structural Equation Modeling-SEM).. 52

3 METODOLOGI PENELITIAN ………... 58

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 58

3.2 Kerangka Analisis ... 58

3.3 Metoda Analisis ... 61

(15)

3.4.1 Sampel penelitian ... 68

3.4.2 Metoda pengumpulan data ……….. 69

3.5 Hipotesa Analisis ... 75

4 PEMBANGUNAN PERIKANAN DI WILAYAH PENELITIAN ... 81

4.1 Program Pembangunan Perikanan ………... 81

4.1.1 Provinsi Banten ... 81

4.1.2 Provinsi DKI Jakarta ... 83

4.1.3 Provinsi Jawa Barat ... 84

4.1.4 Provinsi Jawa Tengah ... 85

4.1.5 Provinsi DI Yogyakarta ... 87

4.1.6 Provinsi Jawa Timur ... 89

4.2 Potensi Bahan Baku Industri Pengolahan Ikan ... 90

4.3 Struktur Industri Pengolahan Ikan ... 93

5 HASIL PENELITIAN ... 99

5.1 Kondisi Kini Unit Pengolahan Ikan Beku ... 99

5.1.1 Produksi dan tingkat utilisasi ... 99

5.1.2 Diversifikasi dan nilai pambah produk ... 103

5.1.3 Pemasaran produk ... 110

5.1.4 Penyerapan tenaga kerja ... 114

5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produk Perikanan Prima ... 116

5.2.1 Hasil analisis kriteria produk perikanan prima ... 116

5.2.2 Faktor-faktor penentu produk perikanan prima ... 116

5.2.3 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima ... 117 5.2.4 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima .... 119

5.2.5 Hasil pengujian hipotesis ... 119

6 PEMBAHASAN ... 124

6.1 Kondisi Kini Unit Pengolahan Ikan Beku ... 124

6.1.1 Tingkat utilisasi ... 124

6.1.2 Pengembangan produk ... 129

6.1.3 Pemasaran produk ... 133

6.1.4 Penyerapan tenaga kerja ... 136

6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produk Perikanan Prima ... 137

6.2.1 Hasil analisis kriteria produk perikanan prima ... 138

6.2.2 Faktor-faktor penentu produk perikanan prima ... 140

6.2.3 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima ... 144 6.2.4 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima .... 155

6.3 Opsi Kebijakan Pengembangan Produk Perikanan Prima ... 156

6.3.1Kebijakan yang terkait dengan kriteria produk perikanan prima ... 156

6.3.2 Kebijakan faktor penentu produk perikanan prima ... 158

(16)

6.4.1 Implikasi bagi pemerintah ... 161

6.4.2 Implikasi bagi pelaku usaha (perusahaan) pengolahan ikan ... 162

6.4.3 Implikasi bagi stakeholders perikanan lainnya dan masyarakat luas ... 163

7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 165

7.1 Kesimpulan ... 165

7.2 Saran ... 166

DAFTAR PUSTAKA ... 168

(17)

Halaman

1 Nilai tambah beberapa produk perikanan di Argentina ... 28

2 Biaya produksi pengolahan hake loins with sauce ... 29

3 Nilai tambah pengolahan hake loins with sauce ... 29

4 Kriteria evaluasi kebijakan publik ... 40

5 Tahapan pelaksanaan penelitian ………..……... 58

6 Definisi operasional peubah utama ... 59

7 Distribusi sampel penelitian dan kondisi unit pengolahan ikan beku lainnya ... 68

8 Profil responden penelitian ... 70

9 Hipotesa analisis ... 76

10 Produksi perikanan di Pulau Jawa, 2001-2005 ... 91

11 Potensi lahan perikanan budidaya di Pulau Jawa ... 93

12 Perhitungan nilai kumulatif parameter skala usaha pengolahan hasil perikanan ... 95

13 Jumlah unit pengolahan ikan skala kecil di Pulau Jawa, 2004 ... 96

14 Jumlah unit pengolahan ikan skala sedang dan besar di Pulau Jawa, 2005 …... 97

15 Jumlah unit pengolahan ikan di Pulau Jawa ... 98

16 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan ikan beku di Pulau Jawa, 2006 ... 100

17 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan udang beku di Pulau Jawa, 2006 ... 101

18 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan tuna beku di Pulau Jawa, 2006 ... 102

19 Produksi dan tingkat utilisasi unit pengolahan multi komoditas di Pulau Jawa, 2006 ... 103 20 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan binatang kulit keras (Crustaceans), 2006 ... 106 21 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan hewan lunak (Molluscs), 2006 ….... 107

22 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan ikan tuna dan sejenisnya, 2006 ….... 118 23 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan ikan kakap merah dan ikan nila,

2006 ...

(18)

24 Diversifikasi dan nilai tambah produk olahan ikan lainnya, 2006 ... 110

25 Perkembangan ekspor unit pengolahan ikan sampel penelitian, 2002-2006 …... 112

26 Penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan ikan beku di Pulau Jawa, 2006. 115 27 Hasil analisis kriteria produk perikanan prima ... 116

28 Faktor-faktor penentu produk perikanan prima ... 117

29 Dekomposisi faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima ... 118

30 Korelasi antar faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima ... 119

31 Hasil pengujian hipotesis ... 120

(19)

Halaman

1 Kerangka pikir penelitian ... 16

2 Alat manajemen mutu dan keamanan makanan : pendekatan terintegrasi .... 21

3 Mutu dan keamanan makanan : pendekatan terintegrasi ... 22

4 Rantai nilai produk perikanan ... 26

5 Siklus kebijakan publik ... 36

6 Keterkaitan antar faktor dalam implementasi kebijakan publik ... 41

7 Hubungan antara orientasi kewirausahaan dan kewirausahaan ... 46

8 Faktor model ... 54

9 Analisis jalur atau struktural model ... 54

10 Structural equation modelling ... 55

11 Model peranan kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia dalam pengembangan Produk Perikanan Prima ... 62 12 Volume ekspor unit pengolahan sampel penelitian, 2002-2006 ………... 113

(20)

Halaman

1 Delapan produk olahan udang ... 179

2 Tiga produk olahan lobster dan kepiting ... 180

3 Empat produk olahan cumi-cumi, sotong dan gurita ... 181

4 Delapan produk olahan ikan tuna dan sejenisnya ... 182

5 Lima produk olahan ikan kakap merah dan ikan nila ... 183

6 Dua belas produk olahan ikan lainnya ... 184

7 Data peubah produk perikanan prima ... 186

8 Data peubah kebijakan publik ... 188

9 Data peubah orientasi kewirausahaan ... 190

(21)

AMOS = Analysis of Moment Structures BSE = Bovine Spongiform Encephalopathy CAC = Codex Alimentarius Commission

DKP = Departemen Kelautan dan Perikanan DWT = Dressed Without Tail

EC = European Commission

EO = Entrepreneurial Orientation GHP = Good Handling Practices

GMP = Good Manufacturing Practices

HACCP = Hazard Analysis Critical Control Point IQF = Individual Quick Frozing

PD = Peeled & Devined

PDTO = Peeled & Deveined Tail-on

PMMT = Program Manajemen Mutu Terpadu PTO = Peeled Tail-on

PUD = Peeled Undevined QA = Quality Assurance QC = Quality Control QM = Quality Management

RASFF = Rapid Allert System for Food and Feed RCA = Revealed Comparative Advantage SEM = Structural Equation Modeling

SNI = Standar Nasional Indonesia SPS = Sanitary and Phytosanitary

SSOP = Sanitation Standard Operating Procedures

(22)

US-FDA = United State-Food and Drug Administration VAP = Value Added Products

(23)

1.1 Latar Belakang

Revisi Undang-Undang Perikanan Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan menjadi Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan memberi arah baru dalam pengelolaan perikanan, karena tujuan pengelolaan perikanan telah ditetapkan secara

lebih tegas dan terperinci. Dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 dinyatakan bahwa “pengelolaan perikanan dilaksanakan dengan tujuan : (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil; (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (3) mendorong perluasan kesempatan kerja; (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; (5) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan; (6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; (7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; (8) mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal; dan (9) menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang”.

Berdasarkan tujuan tersebut di atas, pengelolaan perikanan tidak hanya menyangkut manajemen sumberdaya ikan di laut tetapi juga di perairan lainnya, tidak hanya menyangkut kegiatan penangkapan ikan saja tetapi juga pembudidayaan ikan, tidak hanya mencakup aspek produksi dan pengelolaan tetapi termasuk aspek pengolahan dan pemasaran ikan (Nikijuluw, 2005). Penegasan mengenai masuknya aspek pengolahan dan pemasaran dalam pengelolaan perikanan tertuang dalam pasal 25 Undang-Undang No. 31/2004, dimana dinyatakan secara eksplisit bahwa “usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran”. Dengan demikian, pembangunan perikanan harus dilakukan secara holistik dari hulu sampai hilir dan masing-masing komponen/ elemen harus mendapat perhatian secara seimbang dan proporsional.

Sejalan dengan perubahan arah pengelolaan perikanan tersebut di atas, dalam

(24)

rakyat Indonesia adalah Revitalisasi Pertanian dalam arti luas, yang diarahkan untuk mendorong pengamanan ketahanan pangan, peningkatan daya saing, diversifikasi, peningkatan produktivitas dan nilai tambah produk pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan kehutanan untuk peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan. Hal ini mengandung makna bahwa upaya-upaya ke arah peningkatan pasca panen (pengolahan dan pemasaran) harus dilakukan secara lebih intensif dan mendapat prioritas tinggi dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan, sektor pertanian, dan sektor kehutanan, karena usaha pengolahan dan pemasaran mempunyai peranan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan, peningkatan daya saing, diversifikasi, peningkatan produktivitas, dan nilai tambah.

Amanat konstitusi dan kebijakan pembangunan nasional di atas merupakan momentum baru pembangunan industri pengolahan ikan di Indonesia, karena selama ini industri tersebut dapat dikatakan kurang mendapat perhatian yang semestinya. Dari sisi pembangunan perikanan, perhatian lebih banyak dicurahkan kepada pengelolaan sumberdaya ikan dan upaya peningkatan produksi perikanan, baik dari hasil penangkapan maupun pembudidayaan. Sementara itu, dalam sektor industri, pengolahan ikan merupakan bidang usaha yang marjinal karena kontribusinya terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sektor itu tergolong sangat kecil, sehingga kurang mendapat prioritas dalam pengembangannya. Hal ini tercermin dari ketiadaan kebijakan makro yang diformulasi secara khusus untuk menumbuh-kembangkan industri pengolahan ikan di dalam negeri. Dampaknya, industri tersebut berkembang secara lamban, tanpa arah yang jelas dan diliputi berbagai permasalahan inherent seperti kualitas kompetensi sumberdaya manusia yang rendah, kelemahan kelembagaan dan keburukan manajemen. Kondisi ini menyebabkan industri pengolahan ikan di Indonesia relatif tertinggal bila dibandingkan dengan industri serupa di negara tetangga terutama Thailand, Singapura dan Filipina.

(25)

dari total produksi ikan yang diolah, yakni sebesar 1.999.351 ton (Ditjen Perikanan Tangkap, 2007). Padahal pengolahan ikan secara modern yang berbasis teknologi refrigerasi telah diterapkan di Indonesia sejak dekade 1960-an oleh beberapa perusahaan perikanan PMA Jepang. Gambaran lainnya adalah dominasi produk primer (primary products) yang nilai tambahnya rendah (seperti frozen whole tuna, frozen whole skipjack dan block frozen shrimp)dalam struktur ekspor hasil perikanan Indonesia. Produk-produk tersebut pada umumnya merupakan bahan baku industri pengolahan lanjutan di negara tujuan ekspor, guna memenuhi kecenderungan pasar yang menghendaki produk-produk siap saji/makan (ready to serve/eat products) seperti breaded shrimp dan ikan kaleng (canned tuna).

Bertitik tolak dari kondisi di atas, maka perlu dilakukan akselerasi dalam pengembangan industri pengolahan ikan agar dapat mengejar ketertinggalannya dengan negara lain. Hal ini karena pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa industri pengolahan ikan mempunyai peranan yang cukup strategis dalam meningkatkan kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian nasional, baik dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan negara maupun penerimaan devisa. Disamping itu, industri pengolahan ikan mempunyai efek pengganda (multiplier effect) yang besar, baik kaitan ke belakang maupun kaitan ke depan sehingga mampu mendorong pertumbuhan bidang usaha lain dalam sektor perikanan itu sendiri maupun bidang usaha dalam sektor terkait.

(26)

domestik dan internasional yang semakin kompetitif, sehubungan dengan munculnya pesaing-pesaing baru dalam perdagangan global, seperti Vietnam dan RRC, serta terbentuknya beberapa kawasan perdagangan bebas, seperti AFTA (Asean Free Trade Area), NAFTA (North America Free Trade Area) dan Uni Eropa, serta adanya beberapa Free Trade Agreement. Produk bernilai tambah tinggi diperlukan untuk meningkatkan marjin pendapatan pelaku usaha guna mengembangkan dan menjamin keberlangsungan berusaha, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja industri pengolahan ikan. Disamping itu, dalam skala yang lebih makro, pengembangan produk bernilai tambah tinggi diperlukan dalam rangka meningkatkan manfaat ekonomi dan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan.

Berlandaskan teori dan hasil penelitian terdahulu yang akan diuraikan pada sub bab selanjutnya, keberhasilan pengembangan produk perikanan prima ditentukan oleh tiga faktor, yaitu : (1) kebijakan publik (public policy) yang berkaitan dengan industri pengolahan ikan, (2) orientasi kewirausahaan (entrepreneurial orientation) perusahaan pengolahan ikan, dan (3) kompetensi sumberdaya manusia (human resources competency) yang terlibat dalam proses pengolahan ikan. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis secara mendalam peranan masing-masing faktor tersebut dan interaksinya satu sama lain dalam pengembangan produk perikanan prima. Data dan informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan kualitas kebijakan publik yang terkait dengan pengembangan produk perikanan prima.

(27)

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Sampai saat ini performa produk perikanan Indonesia dapat dikatakan tertinggal bila dibandingkan dengan produk perikanan yang dihasilkan oleh negara-negara produsen perikanan utama. Bahkan di tingkat ASEAN, performa produk perikanan Indonesia masih kalah dengan produk yang dihasilkan oleh Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Di saat produk perikanan dari negara-negara tersebut telah beragam, bernilai tambah tinggi dan terjamin kualitas serta keamanannya, produk perikanan Indonesia masih diwarnai oleh produk olahan tradisional, produk primer yang masih merupakan bahan baku proses pengolahan lanjutan, serta produk yang kualitas dan keamanannya masih diragukan.

Heruwati (2003) mengemukakan bahwa teknologi pengolahan tradisional yang masih mendominasi seluruh kegiatan pengolahan ikan di Indonesia lebih merupakan upaya penyelamatan atau pengawetan ikan daripada pengolahan (processing). Pengolahan tradisional dapat dikatakan tidak memberikan nilai tambah, hanya mengurangi kerugian yang mungkin terjadi. Hal ini memberi indikasi bahwa usaha pengolahan ikan belum memberi nilai tambah yang besar bagi ekonomi perikanan. Sementara itu, isu penggunaan bahan berbahaya seperti formalin, borax, dan zat pewarna tekstil dalam pengolahan ikan yang muncul ke permukaan akhir-akhir ini, serta berbagai kasus penahanan/penolakan ekspor hasil perikanan asal Indonesia oleh beberapa negara pengimpor merupakan cerminan bahwa sistem jaminan mutu dan keamanan produk perikanan di Indonesia belum efektif.

Bertitik tolak dari kondisi di atas, perlu adanya kebijakan publik yang dapat mendorong stakeholders perikanan untuk berperan secara aktif dalam setiap upaya peningkatan jaminan mutu dan keamanan produk, penciptaan nilai tambah dan peningkatan daya saing. Selama ini, berbagai perangkat kebijakan publik, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan, prosedur, standar maupun program dan kegiatan, yang ditujukan untuk mendorong dihasilkannya produk perikanan prima telah banyak dikeluarkan dan dilaksanakan. Dari berbagai kebijakan publik tersebut, kebijakan yang spesifik ditujukan untuk mendorong penerapan konsepsi HACCP

(28)

produk yang diberlakukan secara internasional, adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Dengan melihat performa produk perikanan yang dicapai sampai saat ini, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik tersebut dan seberapa besar peranannya dalam pengembangan produk perikanan prima. Dari hasil evaluasi itu diharapkan dapat diperoleh bahan masukan guna peningkatan kualitas kebijakan dimaksud, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan performa produk perikanan yang dihasilkan.

Sementara itu, sebagaimana diuraikan di atas, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia juga merupakan kunci keberhasilan dalam

pengembangan produk perikanan prima. Namun sejauh ini, orientasi kewirausahaan pelaku usaha pengolahan ikan dan kompetensi sumberdaya manusia yang terlibat dalam proses pengolahan ikan belum diketahui secara mendalam. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengungkap hal itu serta peranannya dalam pengembangan produk perikanan prima.

Dari identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Performa produk perikanan saat ini, ditinjau dari aspek mutu dan keamanan, nilai tambah dan daya saingnya di pasar global belum diketahui secara mendalam; 2) Pelaksanaan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 01/Men/2002

tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan perlu dievaluasi, karena jaminan mutu dan keamanan produk perikanan yang dicapai saat ini relatif masih rendah;

3) Orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan dan kualitas kompetensi sumberdaya manusia yang terlibat dalam proses pengolahan ikan belum diketahui secara mendalam;

(29)

5) Sampai saat ini, belum ada model pengembangan produk perikanan prima dengan menggunakan peubah kebijakan publik, orientasi kewirausahaan, dan kompetensi sumberdaya manusia.

Penelitian mengenai peranan faktor kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia secara bersama terhadap produk perikanan prima, belum banyak dilakukan dan dipublikasikan. Penelitian-penelitian terdahulu yang terkait pada umumnya parsial, misalnya kajian daya saing produk perikanan Indonesia di pasar internasional (Ditjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, 2004), dan penelitian mengenai nilai tambah produk perikanan di negara berkembang (Zugarramurdi, 2003).

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1) Menganalisis kondisi kini industri pengolahan ikan, ditinjau dari tingkat utilitas, pengembangan produk, pemasaran produk dan penyerapan tenaga kerja;

2) Membangun kerangka konseptual atau model peranan kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia dalam pengembangan produk perikanan prima;

3) Menganalisis pengaruh kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia terhadap produk perikanan prima;

4) Merumuskan opsi kebijakan pembangunan industri pengolahan ikan yang perlu ditempuh oleh pemerintah melalui pengembangan produk perikanan prima.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1) Menyediakan informasi bagi pelaku usaha pengolahan ikan mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menghasilkan produk perikanan prima;

(30)

3) Menyediakan opsi kebijakan publik yang perlu ditempuh oleh pemerintah dalam rangka pembangunan industri pengolahan ikan melalui pengembangan produk perikanan prima;

4) Sebagai referensi pembanding untuk penelitian serupa di kemudian hari.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian mengenai Peranan Kebijakan Publik, Orientasi Kewirausahaan dan Kompetensi Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan Produk Perikanan Prima merupakan topik yang cukup luas dimensinya. Oleh karena itu, agar penelitian dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan tujuan yang ditetapkan maka ruang lingkup

penelitian dibatasi pada beberapa hal sebagai berikut :

1) Faktor-faktor penentu produk perikanan prima ditetapkan ada tiga, yaitu: (1) kebijakan publik, (2) orientasi kewirausahaan, dan (3) kompetensi sumberdaya manusia. Bahan baku sebagai salah satu faktor penentu industri pengolahan ikan tidak diikutkan sebagai faktor penentu produk perikanan prima karena penelitian ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang perlu ditempuh pada industri pengolahan ikan agar produk perikanan prima dapat dihasilkan. Oleh karena itu, titik tolaknya adalah sejak bahan baku diterima

(incoming raw material) oleh unit pengolahan ikan, sehingga pasokan bahan baku diasumsikan tidak mengalami perubahan, baik dari sisi kualitas, kuantitas, kontinuitas maupun harga.

(31)

3) Orientasi kewirausahaan dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu proses, praktik dan aktivitas pengambilan keputusan yang menghasilkan suatu terobosan baru. Dimensi dari orientasi kewirausahaan mencakup : proaktif (proactiveness), inovatif (innovativeness) dan pengambilan resiko (risk taking).

4) Kompetensi sumberdaya manusia dalam penelitian ini diartikan sebagai karakteristik yang mendasari seseorang yang memungkinkan orang tersebut menunjukkan kinerja superior dalam suatu pekerjaan, tugas atau situasi. Dari enam tingkatan kompetensi yaitu ketrampilan (skill), pengetahuan (knowledge), konsep diri (self-concept atau social role), gambaran diri (self image), ciri atau sifat (trait) dan motif (motive), hanya aspek pengetahuan, ketrampilan dan motivasi kerja yang dianalisis. Hal ini karena pengetahuan dan ketrampilanrelatif lebih nampak sebagai karakteristik seseorang, sehingga lebih mudah dinilai dan dikembangkan. Sementara itu, motivasi kerja meskipun berada pada pusat kepribadian seseorang, tetapi relatif mudah ditingkatkan.

5) Produk perikanan prima yang dimaksud dalam penelitian ini adalah produk yang berasal dari sumberdaya ikan dan diolah sedemikian rupa sehingga nilainya bertambah serta mempunyai performa yang sangat baik sehingga dapat ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Dengan demikian, produk perikanan prima setidak-tidaknya memenuhi tiga kriteria, yakni memiliki jaminan mutu dan keamanan tinggi, bernilai tambah tinggi dan berdaya saing tinggi.

6) Lingkup analisis dan pembahasan dalam penelitian ini adalah kondisi kini industri pengolahan ikan, faktor-faktor yang mempengaruhi produk perikanan prima, opsi kebijakan pengembangan produk perikanan prima, dan implikasi hasil penelitian. Analisis SEM (Structural Equation Modeling) dilakukan untuk mendapatkan gambaran model yang berisikan faktor-faktor yang berpengaruh atau mempunyai peranan dalam pengembangan produk perikanan prima.

(32)

formulasi opsi kebijakan pengembangan produk perikanan prima pada level nasional.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Ikan merupakan komoditas bahan pangan yang strategis karena permintaannya menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, namun disisi lain kemampuan pasok dari negara produsen ikan utama semakin berkurang. Peningkatan permintaan tersebut disebabkan oleh bertambahnya penduduk dunia, meningkatnya usia harapan hidup (aging generation), manusia yang semakin sibuk (people on the run), selera makan yang semakin mengglobal (food to become more international) dan ketakutan manusia untuk mengkonsumsi daging unggas/ternak akibat merebaknya wabah penyakit antrax, flu burung dan sapi gila, seperti yang terjadi di beberapa negara akhir-akhir ini. Fenomena ini menjadikan ikan sebagai satu pilihan utama, karena ikan dan produk olahannya merupakan “healthful food” (dicirikan oleh kandungan protein yang tinggi, kadar asam lemak omega-3 yang tinggi dan kolesterol yang rendah), dapat disajikan dalam waktu yang cepat serta diterima secara global tanpa memperhatikan umur, agama dan bahkan kewarganegaraan.

Sungguhpun demikian, ikan merupakan bahan pangan yang rentan terhadap cemaran fisik, kimia dan biologis serta secara alami sangat mudah mengalami kerusakan (most perishable food) karena proses kimiawi maupun mikrobiologis. Akibatnya, dibalik keunggulannya seperti yang disebut di atas, ikan juga mengandung potensi bahaya (hazard) bagi kesehatan dan keamanan konsumen. Resiko bahaya tersebut akan semakin besar apabila penanganan/pengolahan ikan dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik dan benar. Oleh karena itu, penanganan/pengolahan ikan harus dilakukan secara cepat, cermat, tepat dan hati-hati dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku, agar potensi bahaya tersebut dapat direduksi atau bahkan dieliminasi.

(33)

sumber pendapatan negara. Oleh karena itu, eksploitasi sumberdaya ikan harus memberi manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya, baik bagi para pelaku usahanya maupun bagi negara. Manfaat ekonomi sumberdaya ikan ditentukan oleh nilai (value) dari produk perikanan yang dihasilkan, semakin tinggi nilai suatu produk maka akan semakin tinggi pula manfaat ekonomi yang diperoleh. Nilai suatu produk dapat diukur dari kemauan konsumen untuk membayar (willingness to pay), dimana konsumen akan membayar lebih mahal bagi produk yang memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Kotler (1995) mengemukakan bahwa kebutuhan adalah keadaan merasa tidak memiliki kepuasan dasar, sedangkan keinginan adalah hasrat akan pemuas tertentu dari kebutuhan tersebut.

Kebutuhan konsumen terhadap ikan yang paling utama adalah sebagai sumber protein, sedangkan keinginannya bervariasi tergantung dari latar belakang ekonomi, sosial dan budaya konsumen yang bersangkutan. Dengan demikian, untuk mendapatkan nilai yang tinggi dari suatu produk perikanan maka fungsi ikan sebagai sumber protein harus benar-benar dijaga atau dengan kata lain kandungan proteinnya tidak boleh mengalami penurunan. Disamping itu, ikan yang telah ditangkap/dipanen harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi preferensi konsumen yang dituju.

Kecenderungan pilihan konsumen terhadap ikan yang utama adalah bentuk hidup, segar/dingin atau produk olahan prima, sehingga mereka bersedia membayar lebih mahal dibanding bentuk produk lainnya. Namun karena bentuk hidup dan segar/dingin mempunyai kendala teknis dalam distribusi, maka jangkauan pemasarannya terbatas. Oleh karena itu, pilihan konsumen lebih banyak kepada produk olahan prima. Hal ini menjadikan pengolahan ikan mempunyai peranan penting dalam menentukan nilai ikan, yang pada gilirannya akan menentukan tingkat manfaat ekonomi sumberdaya ikan. Guna mendapatkan manfaat ekonomi yang tinggi, pengolahan ikan harus diorientasikan untuk menghasilkan produk yang nilai jualnya tinggi.

(34)

Disamping itu, sistem jaminan mutu dan keamanan produk perikanan dapat dikatakan belum efektif. Hal ini terlihat dari maraknya penggunaan bahan berbahaya seperti formalin, borax, dan zat pewarna tekstil dalam pengolahan ikan, serta masih terjadinya berbagai kasus penahanan/penolakan ekspor hasil perikanan asal Indonesia oleh beberapa negara pengimpor.

Dengan asumsi bahwa biaya tidak menjadi faktor pembatas (constraint factor), dalam proses pengolahan ikan setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi produk yang dihasilkan, yakni : (1) kebijakan publik yang berkaitan dengan industri pengolahan ikan, (2) orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan, dan (3) kompetensi sumberdaya manusia yang terlibat dalam proses pengolahan ikan. Hal ini

didasarkan kepada teori atau hasil penelitian terdahulu, yaitu : 1) The economic theory of regulation

Berdasarkan teori yang dijelaskan secara terperinci oleh Buchanan & Tullock (1962), Stigler (1971), dan Posner (1974) ini, regulasi adalah hasil dari aksi kelompok penekan (pressure group) dan menghasilkan alat-alat hukum dan kebijakan untuk mendukung kegiatan bisnis, dan untuk melindungi konsumen, pekerja serta lingkungan (Salvatore, 2001). Dengan demikian, kinerja dunia bisnis sangat ditentukan oleh kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah.

2) The theory of economic development

(35)

Dalam prespektif organisasi, Schumpeter (1942) dalam Sembhi (2002) menyajikan beberapa alasan kenapa suatu perusahaan harus meningkatkan aktivitas kewirausahaannya. Pertama, semakin banyak sumber aktivitas kewirausahaan dalam suatu perusahaan, maka semakin banyak kesempatan yang tercipta bagi perusahaan tersebut. Kedua, aktivitas ekonomi yang digerakkan oleh kewirausahaan akan meningkatkan pendapatan - tidak ada penurunan pendapatan yang ditimbulkan oleh aktivitas kewirausahaan atau inovasi. Ketiga, kewirausahaan korporasi merupakan kunci kesuksesan ekonomi jangka panjang dari suatu perusahaan.

3) Testing for competence rather than for intelligence

Metodologi pengukuran kinerja sumberdaya manusia berbasis kompetensi dipelopori oleh McClelland melalui penelitiannya yang dipublikasikan dalam artikel berjudul ”Testing for Competence Rather Than for Intelligence” (Cooper et al., 1998). McClelland (1973) mengindentifikasi aspek-aspek kinerja yang tidak dapat diatributkan sebagai intelegensia atau tingkat pengetahuan dan ketrampilan pekerja.

Dalam perkembangannya, kompetensi tidak hanya menunjuk kepada individu seseorang akan tetapi juga menunjuk kepada organisasi. Dari hasil penelitiannya, Lado & Wilson (1994) dalam Cooper et al. (1998) menemukan kaitan yang kuat antara kompetensi individu dan kompetensi organisasi, serta merupakan cara terbaik untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Pada sektor swasta, keunggulan tersebut dicerminkan oleh marjin keuntungan atau pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan dengan yang dicapai oleh kompetitor.

(36)

Model analisis yang umum digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah pemodelan persamaan struktural (structural equation modeling) atau yang biasa disingkat SEM. Analisis tersebut menyangkut hubungan kausal antar peubah dalam proses pengolahan ikan, yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap produk perikanan prima. Peubah-peubah yang mempunyai hubungan langsung dengan produk perikanan prima adalah peubah yang tidak dapat diukur secara langsung (latent variable), yakni kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia. Sedangkan peubah-peubah yang mempunyai hubungan tidak langsung dengan produk perikanan prima adalah peubah yang membentuk latent variable. Dengan demikian, untuk mendapatkan input analisis SEM diperlukan analisis terhadap pelaksanaan kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia dengan menggunakan peubah-peubah yang dapat diukur secara langsung.

Analisis kebijakan publik dilakukan untuk mengevaluasi (monitoring) implementasi kebijakan publik yang digulirkan guna mendorong dihasilkannya produk perikanan prima, terutama Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Analisis ini menggunakan 16 peubah terukur, meliputi : empat peubah indikator kualitas kebijakan, tiga peubah indikator strategi pelaksanan, lima peubah indikator faktor pendukung (supporting factors), dan tiga peubah indikator kepatuhan (compliance) (Dunn, 2000; Abidin, 2006).

Sementara itu, analisis orientasi kewirausahaan diperlukan untuk mengetahui proses, praktek dan aktivitas pengambilan keputusan pada perusahaan pengolahan ikan, dalam menghasilkan produk perikanan prima. Analisis ini menggunakan delapan peubah terukur, meliputi : tiga peubah indikator proaktif (proactiveness), tiga peubah indikator inovatif (innovativeness), dan dua peubah indikator keberanian mengambil resiko (risk taking) (Miller, 1983 dalam Sembhi, 2002).

(37)

prima. Analisis ini menggunakan sembilan peubah terukur, meliputi : dua peubah indikator pengetahuan, dua peubah indikator ketrampilan dan lima peubah indikator motivasi kerja(Srimulyo, 1999; Shermon, 2004).

Diskripsi mengenai peubah terukur dari setiap indikator pada faktor kebijakan publik, orientasi kewirausahaan dan kompetensi sumberdaya manusia sebagaimana disebutkan di atas diuraikan pada bab-bab selanjutnya.

Dari penelitian ini diharapkan diperoleh data dan informasi yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan berbagai opsi kebijakan dalam pengembangan produk perikanan prima. Skala prioritas dari berbagai opsi kebijakan ditentukan berdasarkan tingkat pengaruh masing-masing faktor yang diperoleh dari

hasil analisis dengan menggunakan SEM.

Apabila berbagai opsi kebijakan yang dirumuskan dapat dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten, diharapkan industri pengolahan ikan akan menghasilkan produk perikanan prima. Dampaknya industri pengolahan ikan akan berkembang yang pada gilirannya akan meningkatkan manfaat ekonomi sumberdaya ikan; pendapatan devisa negara; kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan; penyerapan tenaga kerja; serta menunjang pembangunan daerah.

Kerangka pikir penelitian seperti diuraikan di atas disajikan pada Gambar 1.

1.7 Hipotesa Penelitian

Bertitik tolak dari berbagai persoalan sebagaimana diuraikan dalam latar belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian serta kerangka pikir penelitian, maka hipotesa penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Semakin baik pelaksanaan kebijakan publik (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan), maka akan semakin besar peran kebijakan publik dalam pengembangan produk perikanan prima.

(38)

Opsi kebijakan pengembangan produk perikanan

prima

1.Nilai tambah ekonomi pada pengolahan ikan masih rendah

2.Malpraktik penggunaan bahan

berbahaya (formalin, borax, zat pewarna tekstil dsb) cukup marak

3.Kasus penahanan/penolakan ekspor hasil perikanan asal Indonesia masih terjadi 4.Daya saing produk perikanan Indonesia

di pasar global masih rendah

1.Industri pengolahan ikan

menghasilkan produk perikanan prima 2.Industri pengolahan ikan berkembang 3.Manfaat ekonomi sumberdaya ikan

meningkat

4.Pendapatan devisa meningkat 5.Kesejahteraan meningkat

6.Penyerapan tenaga kerja meningkat 7. Daerah berkembang

Kondisi yang Diharapkan

1.Jaminan mutu dan keamanan tinggi

2.Nilai tambah tinggi

3.Daya saing tinggi

Kondisi Sekarang

Akibat

Faktor Penentu

Kompetensi SDM yang terlibat dalam proses

pengolahan ikan Orientasi kewirausahaan perusahaan pengolahan ikan

Kebijakan publik yang berkaitan dengan industri

pengolahan ikan

Kriteria Produk Perikanan Prima

1.Ikan merupakan komoditas bahan pangan strategis

2.Ikan mengandung potensi bahaya

(hazard) bagi kesehatan dan keamanan konsumen.

3.Pilihan konsumen lebih banyak kepada produk olahan prima 4.Produk perikanan Indonesia

dido-minasi produk olahan tradisional dan produk primer

[image:38.612.97.531.86.457.2]

5.Sistem jaminan mutu dan keamanan produk belum efektif

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.

3) Semakin tinggi kompetensi karyawan yang terlibat langsung dalam proses produksi pada suatu unit pengolahan ikan, maka akan semakin besar peran kompetensi sumberdaya manusia dalam pengembangan produk perikanan prima.

(39)

2.1 Batasan/Definisi Pengolahan Ikan

Dalam penjelasan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengolahan ikan adalah serangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi

produk akhir untuk konsumsi manusia. Sementara itu, menurut FAO (Food and Agriculture Organization), pengolahan ikan adalah penerimaan dan preparasi ikan, termasuk pembersihan, pemasakan, pengalengan, pengasapan, penggaraman, pengeringan atau pembekuan (http://www.fao.org/fi/glossary/default.asp diakses tanggal 30 Maret 2006).

Berdasarkan definisi tersebut di atas, pengolahan ikan dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir, melalui proses penerimaan dan preparasi, termasuk pembersihan, pemasakan, pengalengan, pengasapan, penggaraman, pengeringan atau pembekuan. Adapun tempat yang digunakan untuk mengolah ikan baik yang dimiliki oleh perorangan maupun badan usaha, menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan, disebut Unit Pengolahan Ikan.

2.2 Produk Perikanan Prima

2.2.1 Batasan/definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), produk dapat diartikan sebagai barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu. Sedangkan Kotler (1995) mengemukakan bahwa produk adalah sesuatu yang dapat ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan. Pentingnya suatu produk fisik bukan terletak pada kepemilikannya, tetapi pada jasa yang dapat diberikannya. Seseorang membeli

(40)

seseorang membeli oven microwave bukan untuk dikagumi, melainkan untuk memasak. Jadi produk fisik sebenarnya adalah sarana untuk memberi jasa kepada konsumen.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia pula, perikanan diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan penangkapan, pemiaraan dan pembudidayaan ikan. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Adapun arti kata prima menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah sangat baik, utama atau yang pertama.

Dengan mengacu berbagai definisi di atas, maka produk perikanan prima dapat didiskripsikan sebagai produk yang berasal dari sumberdaya ikan dan diolah sedemikian rupa sehingga nilainya bertambah serta mempunyai performa yang sangat baik sehingga dapat ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Dengan demikian, produk perikanan prima setidak-tidaknya memenuhi tiga kriteria, yakni bermutu tinggi dan aman dikonsumsi, bernilai tambah tinggi dan berdaya saing tinggi.

Produk perikanan yang bermutu tinggi dapat didefinisikan sebagai produk perikanan yang mencirikan standar kesehatan tertentu dan mutu yang mencakup penampilan, rasa, kuantitas serta standar baku lainnya yang telah ditetapkan untuk keperluan konsumen. Produk bermutu tinggi diperoleh melalui proses pengolahan yang tepat, cepat dan berkelanjutan hingga produk itu bisa sampai di tangan konsumen dengan mutu sebaik-baiknya. Sedangkan produk perikanan yang aman untuk dikonsumsi memiliki ciri-ciri : memenuhi standar kesehatan yang berlaku, tidak memberikan efek yang merugikan baik langsung maupun tak langsung baik kepada pengguna langsung maupun kepada lingkungan, memenuhi kriteria sosial dan budaya yang berlaku, dan mutunya selalu terjaga.

(41)

nilainya bertambah tinggi. Heruwati (2003) mengemukakan bahwa perubahan bentuk produk dari ikan utuh (gelondongan) menjadi bentuk yang telah disiangi (dressed), potongan, fillet atau cincang terbukti dapat memberikan nilai tambah hingga 250 %, belum terhitung nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan limbah. Sedangkan produk perikanan yang berdaya saing tinggi dapat diartikan sebagai produk perikanan yang mempunyai keunggulan tinggi, baik keunggulan komparatif (comparative advantages) maupun keunggulan kompetitif (competitif advantages), dibandingkan dengan produk yang dihasilkan oleh produsen/negara lain.

2.2.2 Peranan produk perikanan prima dalam pembangunan perikanan

Simanjuntak (2001) mengemukakan ada tiga hal pokok yang harus dipenuhi

dalam melaksanakan pembangunan perikanan di Indonesia, yaitu mempertahankan keberlanjutan, meningkatkan pendapatan nelayan dan petani ikan (termasuk industri yang menangani komoditas ikan), serta menghasilkan pemasukan negara. Berdasarkan batasan tersebut, pengembangan produk perikanan prima merupakan salah satu strategi yang tepat dalam mendukung akselerasi pembangunan perikanan. Hal ini karena pengembangan produk perikanan prima merupakan satu mata rantai penghubung antara kegiatan produksi primer, baik penangkapan maupun pembudidayaan, dengan kegiatan pemasaran. Oleh karena itu, kegiatan tersebut mempunyai kedudukan yang strategis karena nilai tambah ekonomis yang diperoleh dari kegiatan ini dapat memacu pengembangan industri primer, dan pada akhirnya juga akan meningkatkan pangsa pasar dan perolehan devisa (Heruwati, 2003).

Lebih lanjut Heruwati (2003) mengemukakan ada enam peranan pengembangan produk dalam pembangunan perikanan, yakni : pendorong optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan, penghasil nilai tambah, perluasan pangsa pasar, penyediaan peluang kerja, peluang bagi perolehan hak kekayaan intelektual (HaKI) termasuk paten, dan peningkatan pendapatan negara.

2.2.3 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produk perikanan prima

(42)

tambah tinggi dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu, untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produk perikanan prima maka berikut ini akan diuraikan hal-hal yang terkait dengan : (1) sistem manajemen mutu dan keamanan produk perikanan (seafood safety and quality management system), (2) produk perikanan bernilai tambah (value added seafood product), dan (3) daya saing produk perikanan (competitiveness of seafood products).

2.2.3.1 Sistem manajemen mutu dan keamanan produk perikanan

Dewasa ini isu mengenai mutu dan keamanan produk perikanan makin mengemuka dalam industri dan pemasaran hasil perikanan dunia, karena kesadaran konsumen akan hal itu semakin meningkat. Pemberitaan media yang ekstensif

mengenai isu keamanan pangan, seperti isu BSE (bovine spongiform encephalopathy), GMF (genetically modified foods), keberadaan residu pestisida dan dioxin dalam makanan, pencemaran mikroba (seperti Salmonella) dan penggunaan antibiotika dalam budidaya bahan pangan menambah kekhawatiran konsumen tentang apa yang mereka makan (Huss et al., 2004). Kondisi ini mendorong berkembangnya sistem mutu dan keamanan pangan, dari pengendalian mutu tradisional (traditional quality control) ke sistem dan metoda jaminan mutu dan keamanan modern (modern safety and quality assurance methods and system).

(43)

bahaya (hazards) teridentifikasi dalam pengujian produk akhir; (3) memerlukan waktu beberapa hari untuk mengetahui hasil pengujian; dan (4) kesempatan untuk menemukan bahaya akan bervariasi dan seringkali rendah.

Bertitik tolak dari kelemahan tersebut di atas, pada saat ini berkembang sistem dan metoda jaminan mutu dan keamanan modern. Dalam sistem tersebut dikenal beberapa istilah yang digunakan dalam manajemen mutu dan keamanan pangan, yaitu: Good Hygienic Practices (GHP)/Good Manufacturing Practices (GMP) atau Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Prerequisite Programmes, Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), Quality Control (QC), Quality Assurance (QA)/Quality Management (QM) – ISO Standards, Quality Systems, dan Total Quality Management.

GHP atau GMP telah bertahun-tahun digunakan sebagai alat dalam pengendalian mutu tradisional. Konsepsi ini masih esensial dalam sistem pengendalian mutu modern, dengan menyediakan kondisi lingkungan dan operasional dasar untuk menghasilkan produk yang aman sehingga menjadi prasyarat atau fondasi penerapan HACCP dalam seluruh program manajemen keamanan pangan (Gambar 3). Penerapan konsepsi ini sekarang telah menjadi persyaratan dalam proses produksi makanan di beberapa negara, terutama dalam hal pemantauan sanitasi.

GMP/GHP = SSOP or Prerequisites

(always applied)

Long term Managerial Strategy

(e.g. TQM) Quality Assurance

Quality Management (e.g. ISO 9000)

Food Safety Assurance Plan (Products/Process Specific)

= HACCP Plan

Quality System

Specific requirements

All quality elements

Food Safety Management

[image:43.612.127.484.475.641.2]

Generic requirements

(44)

Pada saat ini GHP atau GMP sering juga disebut sebagai prerequisite requirement (persyaratan kelayakan dasar). Menurut Codex Alimentarius Commission (2000), prerequisite requirement dalam manajemen mutu dan keamanan produk perikanan harus mencakup : persyaratan kapal penangkap ikan, persyaratan fasilitas unit pengolahan, disain dan konstruksi peralatan dan perlengkapan, program pengendalian higieni, kesehatan dan higieni personil, prosedur penarikan (recall) dan penelusuran (traceability), pelatihan personil, pengendalian pemasok, spesifikasi bahan tambahan, pengendalian bahan kimia, dan kondisi penerimaan, penyimpanan serta pengangkutan bahan baku dan produk.

Requirements

Food Safety Assurance Plan (HACCP Plan)

Cultural and Managerial Approach

Quality System Basic

Requirements

ISO 9000 Principles

of HACCP

Quality Assurance Food Safety

Assurance

GHP eg.

[image:44.612.123.502.294.471.2]

TQM

Gambar 3 Mutu dan keamanan makanan : pendekatan terintegrasi (Jouve et al., 1998 dalam Huss et al., 2004).

(45)

bahan berbahaya; pelabelan yang sesuai, penyimpanan dan penggunaan bahan beracun; pengendalian kondisi kesehatan karyawan; dan pengendalian pest.

Di Uni Eropa, prerequisite requirements termasuk dalam legislasi horizontal seperti Hygiene Directive (EC, 1993 dalam Huss et al., 2004) dan legislasi vertikal spesifik komoditas seperti persyaratan khusus untuk pengolahan ikan (EC, 1993

dalam Huss et al., 2004). Menurut ketentuan Uni Eropa, SSOP harus memuat : kondisi lingkungan Unit Pengolahan Ikan, fasilitas Unit Pengolahan Ikan serta prosedur dan kondisi operasional (GHP). Prerequisite programme merupakan titik awal bagi perusahaan dalam mengimplementasikan HACCP. Pengalaman beberapa perusahaan menunjukkan bahwa apabila suatu perusahaan berhasil menerapkan

GHP/GMP/SSOP dengan baik, maka perusahaan yang bersangkutan tidak akan menemui kesulitan dalam menerapkan program HACCP.

HACCP merupakan pendekatan sistematis dalam mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan bahaya (hazards) yang signifikan terhadap keamanan pangan (CAC, 2001). Penerapan HACCP memberikan jaminan keamanan pangan melalui pendekatan yang dibangun di atas fondasi yang disediakan oleh GMP/SSOP/GHP. Hal ini dilakukan melalui identifikasi titik dalam proses produksi pangan yang memerlukan pemantauan dan pengendalian secara terus menerus untuk memastikan bahwa proses masih dalam batas yang ditentukan.

HACCP terdiri atas tujuh prinsip dasar sebagaimana disebutkan oleh CAC (2001) dan NACMCF (1997) adalah : analisis bahaya, identifikasi titik pengendalian kritis, penetapan batas kritis, penentuan prosedur pemantauan, penentuan tindakan koreksi, penentuan prosedur verifikasi, dan penentuan prosedur dokumentasi dan pencatatan. Pada saat ini, penerapan konsepsi HACCP pada industri makanan (termasuk produk perikanan) telah diwajibkan oleh sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada dan lain sebagainya. Di Indonesia, regulasi yang mengatur mengenai hal itu adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan.

(46)

yang digunakan untuk memenuhi persyaratan mutu. Dalam kaitannya dengan sistem jaminan mutu, QC dilakukan melalui pemantauan (monitoring) dan jika diperlukan memodifikasi sistem produksi untuk mencapai mutu yang ditetapkan. Dengan demikian, QC dapat menjadi bagian dari sistem HACCP, terutama dalam konteks pemantauan titik pengendalian kritis (CCP) dalam HACCP Plan.

Huss et al. (2004) mengatakan bahwa QA/QM dapat didefinisikan sebagai semua fungsi dan aktivitas yang berkaitan dengan kesuksesan dalam mencapai mutu dalam suatu perusahaan. Dalam keseluruhan sistem, hal ini akan mencakup aspek teknis, manajerial dan lingkungan. Standar QA/QM yang umum diketahui adalah ISO 9000, sedangkan untuk manajemen lingkungan adalah ISO 14000. Istilah QM sering digunakan secara bolak balik dengan QA, karena keduanya mempunyai pengertian yang sama. Dalam industri perikanan, istilah QM digunakan utamanya dalam pengelolaan aspek teknis dari mutu dalam suatu perusahaan.

TQM adalah suatu pendekatan manajemen organisasi (organization’s management) yang difokuskan terhadap mutu dan berdasarkan partisipasi seluruh anggota organisasi tersebut, dan ditujukan untuk keberhasilan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan dan manfaat untuk anggota organisasi dan masyarakat (Jouve et al., 1998 dalam Huss et al. (2004). Dengan demikian, TQM mencerminkan pendekatan budaya organisasi dan secara bersama-sama dengan sistem mutu (quality system) menanamkan filosofi, budaya dan disiplin yang diperlukan untuk membangun komitmen semua orang dalam organisasi dalam rangka mencapai semua tujuan organisasi yang berhubungan dengan mutu.

(47)

Dalam kaitannya dengan implementasi HACCP pada industri perikanan, Huss

et al. (2004) mengatakan bahwa tanggung jawab untuk menghasilkan makanan yang aman ada di tangan produsen. Tanggung jawab tersebut adalah memastikan bahwa pengembangan dan penerapan HACCP Plan dilakukan secara tepat. Dengan demikian, pimpinan suatu perusahaan harus memahami dan mendukung penerapan HACCP dalam unit pengolahan ikan yang dikelolanya. Oleh karena itu, mereka perlu memahami manfaat, biaya dan sumberdaya yang diperlukan. Hal lain yang tidak kalah penting dalam penerapan HACCP adalah pelatihan personil kunci, baik personil yang terlibat langsung maupun tidak langsung.

Lebih lanjut Huss et al. (2004) mengatakan bahwa dalam pengembangan HACCP Plan diperlukan persetujuan dari manajemen senior, karena seringkali diperlukan perbaikan atau penggantian/perubahan terhadap konstruksi atau tata letak fasilitas dan perlengkapan yang digunakan dalam proses pengolahan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan biaya dan akan menjadi masalah ketika terdapat keterbatasan anggaran, karena modifikasi apapun yang diperlukan untuk menjamin keamanan pangan harus dilakukan dengan segera.

Meskipun implementasi HACCP merupakan tanggung jawab perusahaan perikanan, pemerintah juga mempunyai peranan yang penting. Peranan tersebut setidak-tidaknya dalam tiga hal, yaitu sebagai fasilitator, enforcers atau pelatih (Motarjemi & Schothorst, 1999). Sebagai fasilitator, pemerintah dapat membantu perusahaan perikanan dalam memahami tujuan dan cakupan HACCP, serta menyediakan tenaga ahli dalam menyusun HACCP Plan atau verifikasinya. Sebagai

enforcers, pemerintah bertugas mengevaluasi implementasi atau penerapan tujuh prinsip HACCP. Sedangkan sebagai pelatih, pemerintah menyelenggarakan pelatihan dan berpartisipasi dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh sektor industri.

(48)

2.2.3.2 Produk perikanan bernilai tambah

Berdasarkan teori daya saing modern, suatu negara yang menciptakan nilai melalui produktivitas tenaga kerja, diferensiasi produk dan penambahan nilai-nilai lokal akan dapat menciptakan kesejahteraan dan lebih sukses dalam berkompetisi (Zugarramurdi, 2003). Sementara itu, Anderson & Hall (2006) mengatakan bahwa penciptaan nilai produk mampu meningkatkan pendapatan pada sektor agribisnis. Suatu kenyataan menunjukkan bahwa penciptaan nilai tambah pada komoditas agribisnis akan menghasilkan nilai penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan nilai jual komoditas yang langsung dari kebun/lahan lainnya.

Lebih lanjut menurut Anderson & Hall (2006), nilai tambah (value added) berarti penambahan nilai terhadap bahan baku dengan mengantarkannya, setidak-tidaknya, kepada tahap produksi selanjutnya. Adapun penambahan nilai (value adding) ditafsirkan secara sempit sebagai pengolahan lanjutan dari komoditas primer (Zugarramurdi, 2003). Penambahan nilai dapat dilakukan pada setiap rantai nilai (value chain), mulai dari penangkapan/pemanenan sampai ke konsumen (Gambar 4).

Penangkapan/ Pemanenen

Pengolahan

Primer Grosir Eceran

Pengolahan Sekunder

Pengolahan Penangkapan/Pemanenen

Konsumen

Gambar 4 Rantai nilai produk perikanan (Guomundsson, 2003).

Anderson & Hall (2006) mengemukakan bahwa nilai (value) biasanya diciptakan melalui focusing terhadap manfaat yang berhubungan dengan jasa dari suatu produk, yang muncul dari :

Mutu, apakah produk dapat memenuhi harapan konsumen ?

Fungsi, apakah produk menyediakan fungsi sesuai yang kebutuhan akan produk

(49)

Bentuk, apakah produk dalam suatu bentuk yang berguna ?

Tempat, apakah produk berada dalam tempat yang baik ?

Waktu, apakah produk berada dalam waktu yang tepat ?

Mudah didapat, apakah produk mudah didapat oleh konsumen ?

Setiap produk harus mempunyai satu atau lebih kriteria di atas untuk menghasilkan nilai tambah. Sementara itu, menurut Dzung (2003), penambahan nilai untuk produk perikanan yang dapat dilakukan oleh negara-negara berkembang adalah:

1) Penambahan nilai pada pembudidayaan, dilakukan melalui : penerapan budidaya yang bertanggung jawab (responsible aquaculture) dalam rangka environmental value addition, penerapan organic farming dalam rangka ecological value addition, pengentasan kemiskinan dalam rangka social value addition, pengembangan species baru, dan penurunan biaya produksi;

2) Penambahan nilai pada rantai pasca panen, dilakukan melalui : perbaikan teknologi penangkapan/pemanenan dan pasca panen, penurunan losses dengan mempertahankan rantai dingin, penurunan kompetisi internal melalui pengorganisasian yang lebih baik pada pemasaran bahan baku, dan penguatan peran pedagang perantara terhadap tanggung jawab publik;

3) Penambahan nilai pada pengolahan dan pengemasan, dilakukan melalui : menjaga ikan tetap hidup atau segar dan menghindari double freezing, pengelolaan produksi yang lebih bersih dan lingkungan yang lebih baik, diversifikasi pengemasan dengan mengguna

Gambar

Gambar 1  Kerangka pikir penelitian.
Gambar 2 Alat manajemen mutu dan keamanan makanan : pendekatan terintegrasi (modifikasi dari Jouve et al., 1998 dalam Huss et al., 2004)
Gambar 3 Mutu dan keamanan makanan : pendekatan terintegrasi  (Jouve et al., 1998 dalam Huss et al., 2004)
Tabel 1  Nilai tambah beberapa produk perikanan di Argentina
+7

Referensi

Dokumen terkait