• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.5.1 Pengertian kompetensi SDM

Pada saat ini, kompetensi menjadi kata kunci yang umum digunakan seseorang atau lembaga untuk memilih dan selanjutnya mengevaluasi seseorang dikaitkan dengan tugas dan atau bidang keahliannya. Shermon (2005) mengatakan “a competency is an underlying characteristic of a person, which enables him to deliver superior performance in a given job and role”.

Berdasarkan definisi tersebut di atas, makna kompetensi mengandung bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang dengan perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Prediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik dapat diukur dari kriteria atau standar yang digunakan. Pada dasarnya, kompetensi memiliki dua arti yang relevan, yaitu pertama ditujukan pada kemampuan dari seseorang untuk melakukan tugas secara efektif dan yang kedua adalah tentang apa yang diperlukan oleh seseorang untuk dapat secara efektif melakukan sesuatu (Shermon, 2005). Kedua arti tersebut memiliki keterkaitan yang erat tetapi berbeda. Arti yang kedua mencakup definisi tentang apa yang penting untuk sukses dalam suatu pekerjaan, sedangkan yang pertama berkenaan dengan tingkatan mana seseorang harus bekerja atau apa yang penting untuk suatu pekerjaan.

Kompetensi dibutuhkan oleh seseorang agar dapat melaksanakan tugas secara efektif dan sukses. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, penugasan/pengalaman ataupun bakat bawaan (talent). Kompetensi bisa diorientasikan untuk seorang individu maupun sebuah organisasi. Kompetensi dianggap melekat pada sebuah organisasi bila organisasi tersebut memiliki sebuah sistem untuk mengelola kompetensi para individu di dalamnya sehingga organisasi tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan efektif dan sukses.

Dalam perkembangan manajemen sumberdaya manusia, belakangan ini muncul istilah manajemen sumberdaya manusia berbasis kompetensi (competency- based human resources management). Istilah tersebut adalah pengelolaan pegawai (karyawan) secara optimal yang prosesnya didasarkan pada informasi tentang kebutuhan kompetensi dalam organisasi dan informasi tentang kompetensi individu.

Analisis kompetensi biasanya digunakan untuk pengembangan karier, sedangkan penentuan tingkat kompetensi dibutuhkan untuk mengetahui efektivitas tingkat kinerja yang diharapkan. Shermon (2005) membagi kompetensi dalam enam tingkat, yaitu : (1) ketrampilan (skill), adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan tugas dengan baik, (2) pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu, (3) konsep diri (self-

concept atau social role), yakni sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang dan

diekspresikan dalam berkehidupan sehari-hari di masyarakat, (4) gambaran diri (self

image), yaitu pandangan seseorang terhadap diri sendirinya sendiri yang

merekflesikan identitasnya, (5) ciri atau sifat (trait), adalah karakteristik abadi dari seorang yang membuat orang berperilaku, dan (6) motif (motive), yakni suatu dorongan seseorang untuk berperilaku secara konsisten.

Dari ke enam tingkat kompetensi tersebut di atas, skill dan knowledge relatif lebih nampak sebagai karakteristik seseorang. Sementara itu, social role dan self image cenderung sedikit nampak dan dikontrol perilaku dari luar. Sedangkan trait dan motive letaknya lebih dalam pada pusat kepribadian. Oleh karena itu, skill dan knowledge lebih mudah dikembangkan dibanding kompetensi yang lain, misalnya melaui program pendidikan dan pelatihan. Trait dan motive cukup sulit dinilai dan dikembangkan karena berada pada pusat kepribadian sesorang. Sedangkan social role dan self image berada diantara keduanya dan dapat dirubah melalui pelatihan atau terapi.

Ketrampilan (skill) menurut Encarta (2006) adalah ”ability to do something well : the ability to do something well, usually gained through training or experience”. Berdasarkan pengertian ini dan dikaitkan dengan pengertian kompetensi sebagaimana dijelaskan di atas, tampak bahwa kompetensi tidak dapat dilepaskan dari

keterampilan seseorang. Selanjutnya, dapat pula dijelaskan bahwa kompetensi yang tinggi dapat dicapai dengan keterampilan yang tinggi. Keterampilan yang tinggi dapat dicapai melalui kegiatan pelatihan dan pengalaman. Adapun pengetahuan

(knowledge), juga menurut Encarta (2006), adalah “information in mind : general

awareness or possession of information, facts, ideas, truths, or principles specific information: clear awareness or explicit information, e.g. of a situation or fact”. Dari penjelasan tersebut tampak bahwa pengetahuan secara bersama-sama dengan keterampilan menentukan kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan secara efektif. Seseorang dikategorikan ahli (expert) apabila memiliki tingkat keterampilan dan pengetahuan yang tinggi mengenai subjek atau bidang tertentu.

Pada dataran implementasi, tingkat kompetensi khususnya dari aspek ketrampilan dan pengetahuan akan terkait dengan bidang pekerjaannya. Oleh karena itu, analisis kompetensi terhadap seseorang dapat dilakukan dengan menganalisis ketrampilan dan pengetahuan orang dimaksud dalam bidang pekerjaannnya. Menurut Shermon (2005), analisis tersebut dapat dilakukan melalui suatu proses pengidentifikasian sederhana dari keterampilan teknis dan performa penting untuk dapat melakukan pekerjaan dengan baik, yaitu : (1) mengidentifikasi keahlian suatu pekerjaan, mengumpulkan informasi tentang pekerjaan tersebut, (2) mengidentifikasi kegiatan-kegiatan penting dari suatu pekerjaan, dan (3) merinci fungsi-fungsi pekerjaan yang penting

Disamping pengetahuan dan ketrampilan, prestasi kerja seseorang akan ditentukan oleh motivasi. Srimulyo (1999) mengemukakan bahwa kinerja atau prestasi kerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : faktor kemampuan, meliputi pengetahuan dan ketrampilan, serta faktor motivasi. Keterampilan dan pengetahuan yang tinggi belum memungkinkan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan dengan baik apabila tidak didukung oleh motivasi yang kuat.

Motiv, menurut kamus Encarta 2006, diartikan sebagai alasan untuk melakukan pekerjaan dengan suatu cara yang spesifik. Motiv tersebut yang menyebabkan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau seseorang cenderung atau berkeinginan untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu, kompetensi seseorang akan

optimal untuk pencapaian suatu tujuan apabila didasari oleh ketrampilan dan pengetahuan yang tinggi atau luas serta didukung motivasi yang kuat.

Lebih lanjut, Herzberg (1987) dalam Usmara (2006) mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua faktor tentang motivasi, yakni faktor pemuas (motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor pemelihara (maintenance factor) yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic motivation. Faktor pemuas merupakan faktor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri sendiri, meliputi : prestasi yang diraih (achievement), pengakuan orang lain (recognition), tanggungjawab (responsibility), peluang untuk maju (advancement), kepuasan kerja dan peluang pengembangan karir (possibility of growth). Sementara itu, faktor pemelihara merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan seseorang untuk memelihara keberadaannya sebagai manusia, meliputi : kompensasi, keamanan dan keselamatan kerja, kondisi kerja, status, prosedur perusahaan/instansi dan kualitas hubungan interpersonal di antara kolega, dengan atasan dan dengan bawahan.

2.5.2 Kompetensi SDM dan produk perikanan prima

Sebagaimana diuraikan di atas, kriteria produk perikanan prima adalah bermutu tinggi dan aman dikonsumsi, bernilai tambah tinggi dan berdaya saing tinggi. Berdasarkan ketentuan yang berlaku secara internasional, untuk mencapai produk perikanan yang bermutu tinggi dan aman bagi konsumen, perusahaan perikanan harus menerapkan Program Manajemen Mutu Terpadu berdasarkan konsepsi HACCP. Menurut Huss et al. (2004), salah satu kunci sukses dalam penerapan HACCP adalah traning personil, baik personil yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Hal ini mengandung makna bahwa produk perikanan yang bermutu dan aman tidak akan dapat dicapai apabila SDM yang terlibat tidak mempunyai kompetensi di bidang penerapan HACCP.

Sementara itu, Anderson & Hall (2006) mengatakan bahwa kunci sukses pengembangan value added products pada level perusahaan adalah terletak pada strategi bisnis yang ditempuh. Salah satu strategi yang dimaksud adalah menyangkut analisis kebutuhan personil, termasuk ketrampilan dan pelatihan yang dibutuhkan.

Hal ini karena pengolahan value added products memerlukan input teknologi dan kreativitas, sehingga personil yang terlibat dalam pengolahan tersebut harus mempunyai kompetensi khusus (tertentu). Dalam kaitannya dengan daya saing, Porter (1990) mengatakan bahwa kata kuncinya adalah produktivitas, yang definisinya adalah nilai luaran (output) yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa produktivitas yang tinggi hanya dapat diperoleh dari tenaga kerja yang mempunyai kompetensi tinggi. Dengan demikian, kompetensi SDM sangat berpengaruh terhadap daya saing.