• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil penelitian sebagaimana diuraikan di atas merupakan dasar untuk menentukan opsi kebijakan pengembangan industri pengolahan ikan yang perlu ditempuh oleh pemerintah guna menghasilkan produk perikanan prima. Opsi kebijakan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kebijakan yang berkaitan dengan kriteria produk perikanan prima, dan kebijakan tentang faktor penentu produk perikanan prima. Bentuk-bentuk kebijakan dimaksud diuraikan sebagai berikut :

6.3.1 Kebijakan yang terkait dengan kriteria produk perikanan prima

Seperti telah disebutkan di atas bahwa hasil analisis SEM menunjukkan bahwa daya saing merupakan kriteria produk perikanan prima yang paling menonjol, dibandingkan dengan dua kriteria lainnya, yakni nilai tambah produk serta mutu dan keamanan produk. Oleh karena itu, prioritas utama kebijakan pengembangan industri

pengolahan ikan seharusnya adalah peningkatan daya saing produk perikanan di pasar global.

Sampai saat ini, kebijakan yang didesain secara khusus untuk meningkatkan daya saing produk perikanan di pasar internasional nampaknya belum ada, padahal Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa salah satu tujuan pengelolaan perikanan adalah meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan, baik dalam kerangka regulasi maupun pelayanan publik, yang komprehensif mengingat aspek daya saing dalam perdagangan internasional menyangkut daya saing harga (price competitiveness), daya saing teknologi (technological competitiveness) dan daya saing komersial (commercial competitiveness).

Daya saing harga ditentukan oleh interaksi dari empat faktor yang menentukan persaingan harga di pasar dunia, yaitu biaya-biaya input riil (harga bahan baku, tingkat upah dan biaya modal), produktivitas, marjin keuntungan dan nilai tukar. Daya saing teknologi menunjukkan kemampuan dalam menyediakan kapabilitas teknis, karakteristik kinerja yang superior, kehematan energi dan kualitas produk yang dihasilkan. Sementara itu, daya saing komersial merefleksikan kekuatan, kreativitas dan efektivitas dari aktivitas kewirausahaan, termasuk pemasaran dan distribusi serta ketepatan pelayanan yang meningkatkan nilai pembeli.

Berkaitan dengan hal di atas, kebijakan peningkatan daya saing yang dapat ditempuh antara lain adalah :

1. Stabilisasi harga bahan baku melalui introduksi sistim penyangga, guna memperkecil disparitas harga ikan pada saat musim dan pada saat paceklik;

2. Penetapan sistem pengupahan yang proporsional, dalam arti tidak memberatkan dunia usaha, namun tetap memperhatikan kesejahteraan karyawan;

3. Penetapan suku bunga yang kompetitif dengan negara lain; dan

4. Pengaturan distribusi margin yang adil bagi seluruh pelaku bisnis perikanan

Sementara itu, kebijakan yang perlu ditempuh dalam rangka peningkatan nilai tambah produk perikanan, antara lain adalah :

2. Pengembangan pasar domestik;

3. Diseminasi teknologi pengolahan value added products; 4. Pengembangan klaster industri perikanan;

Selain kebijakan yang ditujukan untuk mendorong peningkatan daya saing dan nilai tambah produk, perlu juga dilakukan intervensi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan di bidang peningkatan mutu dan keamanan produk yang telah diterbitkan sebelumnya. Kebijakan dimaksud setidak-tidaknya harus mampu mendorong pelaku bisnis yang terkait dengan pengolahan ikan untuk menerapkan program HACCP secara konsisten dan konsekuen, serta menjadikannya sebagai budaya perusahaan (corporate culture) dan komitmen organisasi. Hal ini karena kinerja perusahaan dipengaruhi oleh corporate culture dan organizational commitment (Rashid et al., 2003).

6.3.2 Kebijakan faktor penentu produk perikanan prima

Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan sebelumnya, faktor yang paling berpengaruh terhadap produk perikanan prima adalah orientasi kewirausahaan, diikuti faktor kebijakan publik dan faktor kompetensi sumberdaya manusia. Oleh karena itu, penentuan prioritas kebijakan dalam pengembangan produk perikanan prima seharusnya juga mengikuti urutan tersebut.

Sampai sekarang kebijakan yang dirancang secara khusus untuk mengembangkan orientasi kewirausahaan pada perusahaan pengolahan ikan nampaknya belum ada. Menurut Kasali (2005), Indonesia kurang memiliki kebijakan yang tepat untuk merangsang berkembangnya kewirausahaan. Beberapa contoh kebijakan yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah adalah kebijakan pembinaan eksportir khususnya yang berasal dari UKM, perlakuan khusus mengenai pajak UKM dan pembinaan keahlian dan spirit kewirausahaan.

Jika dikaitkan dengan dimensi orientasi kewirausahaan, yakni proaktif, inovatif dan keberanian mengambil resiko, maka urutan prioritas kebijakan yang perlu ditempuh oleh pemerintah adalah :

1. Pemberian insentif kepada perusahaan yang melakukan tindakan-tindakan kompetitif;

2. Pemberian insentif kepada perusahaan yang mengenalkan produk-produk baru; 3. Pemberian insentif kepada perusahaan yang mengenalkan teknologi baru dalam

pengolahan ikan;

4. Pemberian insentif kepada perusahaan yang melaksanakan manajemen resiko (risk management) dengan baik;

5. Fasilitasi penyelenggaraan riset dan pengembangan; 6. Fasilitasi pengembangan produk (products development); 7. Fasilitasi penumbuhan sikap kompetitif pada perusahaan; 8. Penyelenggaraan pelatihan risk management.

Kebijakan publik mengenai pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan, yakni Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002, perlu disempurnakan karena secara umum dapat dikatakan belum efektif. Penyempurnaan tersebut menyangkut kualitas kebijakan itu sendiri, strategi pelaksanaan, faktor-faktor pendukung maupun kepatuhan para aktor utamanya. Opsi kebijakan yang dapat ditempuh dalam rangka penyempurnaan itu berdasarkan urutan prioritasnya adalah : 1. Peningkatan dukungan sumberdaya manusia, terutama tenaga pembina dan

pengawas mutu;

2. Peningkatan kelengkapan dan validitas data yang diperlukan dalam perumusan kebijakan;

3. Peningkatan dukungan anggaran, terutama untuk membangun sense of safety and quality masyarakat yang terkait dalam pengolahan ikan;

4. Rasionalisasi tujuan kebijakan sesuai kebutuhan pelaku usaha pengolahan ikan; 5. Sinkronisasi kebijakan dengan instansi terkait guna meningkatkan legitimasi; 6. Penggunaan asumsi yang lebih realistis dalam perumusan kebijakan;

7. Pembentukan Tim Advokasi guna menghadapi perbedaan di lapangan;

8. Peningkatan penegakan hukum bagi perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan; 9. Penjaringan aspirasi publik agar tujuan kebijakan sesuai dengan keinginan

masyarakat;

10.Peningkatan dukungan informasi dalam pelaksanaan kebijakan;

12.Peningkatan kegiatan sosialisasi;

13.Pemantauan perkembangan lingkungan strategis guna mengantisipasi perubahan; 14.Peningkatan partisipasi publik dalam pelaksanaan kebijakan;

15.Penguatan kelembagaan pembina dan pengawan mutu di daerah; dan 16.Penguatan kelembagaan pembina dan pengawas mutu di pusat.

Dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas kompetensi sumberdaya manusia pada industri pengolahan ikan, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang dapat mendorong peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan motivasi kerja karyawan. Berdasarkan urutan prioritasnya opsi kebijakan yang dapat ditempuh adalah :

1. Fasilitasi pengembangan jenjang karier pada industri pengolahan ikan; 2. Penguatan sistem hubungan dan tata kerja pada perusahaan pengolahan ikan;

3. Pemberian insentif kepada perusahaan yang memberi perhatian kepada pertumbuhan kompetensi karyawan;

4. Introduksi sistem penghargaan (reward) pada industri pengolahan ikan; 5. Penetapan standar penggajian pada industri pengolahan ikan;

6. Peningkatan ketrampilan mengenai teknologi pengolahan value added products; 7. Peningkatan pengetahuan mengenai teknologi pengolahan value added products; 8. Peningkatan pengetahuan mengenai konsepsi HACCP; dan

9. Peningkatan ketrampilan mengenai penerapan HACCP.

Berbagai opsi kebijakan tersebut di atas, baik kebijakan yang terkait dengan kriteria produk perikanan prima maupun kebijakan yang terkait dengan faktor penentu produk perikanan prima, merupakan rekomendasi kebijakan yang perlu dianalisis lebih lanjut tingkat kelayakannya oleh peneliti lain di kemudian hari. Kriteria kelayakan yang umum digunakan dalam analisis kebijakan adalah : layak secara politik (political feasibility), layak secara ekonomi (economy feasibility), layak secara keuangan (financial feasibility), layak secara administrasi (administrative feasibility), layak secara teknologi (technological feasibility), dan layak secara sosial budaya (sosio-cultural feasibility). Berdasarkan hasil analisis tersebut, diharapkan

dapat diketahui apakah suatu opsi kebijakan betul-betul dapat diterapkan, termasuk prasyarat yang diperlukan dalam penerapan kebijakan dimaksud.