• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Produk Perikanan Prima

2.2.3 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produk perikanan prima

2.2.3.1 Sistem manajemen mutu dan keamanan produk perikanan

Dewasa ini isu mengenai mutu dan keamanan produk perikanan makin mengemuka dalam industri dan pemasaran hasil perikanan dunia, karena kesadaran konsumen akan hal itu semakin meningkat. Pemberitaan media yang ekstensif mengenai isu keamanan pangan, seperti isu BSE (bovine spongiform encephalopathy), GMF (genetically modified foods), keberadaan residu pestisida dan dioxin dalam makanan, pencemaran mikroba (seperti Salmonella) dan penggunaan antibiotika dalam budidaya bahan pangan menambah kekhawatiran konsumen tentang apa yang mereka makan (Huss et al., 2004). Kondisi ini mendorong berkembangnya sistem mutu dan keamanan pangan, dari pengendalian mutu tradisional (traditional quality control) ke sistem dan metoda jaminan mutu dan keamanan modern (modern safety and quality assurance methods and system).

Lebih lanjut Huss & Ryder (2004) dalam Huss et al. (2004) mengemukakan bahwa program pengendalian mutu tradisional dilakukan melalui pengendalian higieni secara efektif. Konfirmasi terhadap keamanan produk dan identifikasi potensi masalah dilakukan melalui pengujian produk akhir (end-product testing). Adapun pengendalian higieni dilakukan melalui inspeksi fasilitas dan operasional pengolahan, untuk memastikan bahwa proses pengolahan sesuai dengan kaidah praktik higieni yang baik (Good Hygienic Practices - GHP) dan praktik pengolahan yang baik (Good Manufacturing Practices – GMP). Kelemahan pendekatan ini terletak pada pengujian produk akhir, karena : (1) memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk pengadaan peralatan laboratorium, pelatihan personil dan operasional laboratorium, termasuk biaya hilangnya produk karena untuk sampel pengujian; (2) hasil yang diperoleh bersifat retrospektif, sehingga seluruh biaya dan pengeluaran sudah terjadi ketika

bahaya (hazards) teridentifikasi dalam pengujian produk akhir; (3) memerlukan waktu beberapa hari untuk mengetahui hasil pengujian; dan (4) kesempatan untuk menemukan bahaya akan bervariasi dan seringkali rendah.

Bertitik tolak dari kelemahan tersebut di atas, pada saat ini berkembang sistem dan metoda jaminan mutu dan keamanan modern. Dalam sistem tersebut dikenal beberapa istilah yang digunakan dalam manajemen mutu dan keamanan pangan, yaitu: Good Hygienic Practices (GHP)/Good Manufacturing Practices (GMP) atau Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) atau Prerequisite Programmes, Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), Quality Control (QC), Quality Assurance (QA)/Quality Management (QM) – ISO Standards, Quality Systems, dan Total Quality Management.

GHP atau GMP telah bertahun-tahun digunakan sebagai alat dalam pengendalian mutu tradisional. Konsepsi ini masih esensial dalam sistem pengendalian mutu modern, dengan menyediakan kondisi lingkungan dan operasional dasar untuk menghasilkan produk yang aman sehingga menjadi prasyarat atau fondasi penerapan HACCP dalam seluruh program manajemen keamanan pangan (Gambar 3). Penerapan konsepsi ini sekarang telah menjadi persyaratan dalam proses produksi makanan di beberapa negara, terutama dalam hal pemantauan sanitasi.

GMP/GHP = SSOP or Prerequisites (always applied) Long term Managerial Strategy (e.g. TQM) Quality Assurance Quality Management (e.g. ISO 9000)

Food Safety Assurance Plan (Products/Process Specific)

= HACCP Plan

Quality System

Specific requirements

All quality elements

Food Safety Management

Generic requirements

Gambar 2 Alat manajemen mutu dan keamanan makanan : pendekatan terintegrasi (modifikasi dari Jouve et al., 1998 dalam Huss et al., 2004).

Pada saat ini GHP atau GMP sering juga disebut sebagai prerequisite requirement (persyaratan kelayakan dasar). Menurut Codex Alimentarius Commission (2000), prerequisite requirement dalam manajemen mutu dan keamanan produk perikanan harus mencakup : persyaratan kapal penangkap ikan, persyaratan fasilitas unit pengolahan, disain dan konstruksi peralatan dan perlengkapan, program pengendalian higieni, kesehatan dan higieni personil, prosedur penarikan (recall) dan penelusuran (traceability), pelatihan personil, pengendalian pemasok, spesifikasi bahan tambahan, pengendalian bahan kimia, dan kondisi penerimaan, penyimpanan serta pengangkutan bahan baku dan produk.

Requirements

Food Safety Assurance Plan (HACCP Plan)

Cultural and Managerial Approach Quality System Basic Requirements ISO 9000 Principles of HACCP Quality Assurance Food Safety Assurance GHP eg. TQM

Gambar 3 Mutu dan keamanan makanan : pendekatan terintegrasi (Jouve et al., 1998 dalam Huss et al., 2004).

Sementara itu, menurut US-FDA’s Seafood HACCP Regulation (FDA, 1995 dalam Huss et al., 2004), para pengolah hasil perikanan harus mempunyai SSOP yang tertulis. Prosedur tersebut ekivalen dengan GHP dan merupakan bagian integral dari regulasi penerapan HAACP, tetapi bukan merupakan Program HACCP. SSOP setidak-tidaknya harus mencakup : keamanan air dan es; kondisi dan kebersihan dari permukaan yang kontak dengan makanan; pencegahan kontaminasi silang antara obyek yang tidak saniter dengan makanan; perawatan fasilitas untuk higieni personil; perlindungan terhadap makanan dan permukaan yang kontak dengan makanan dari

bahan berbahaya; pelabelan yang sesuai, penyimpanan dan penggunaan bahan beracun; pengendalian kondisi kesehatan karyawan; dan pengendalian pest.

Di Uni Eropa, prerequisite requirements termasuk dalam legislasi horizontal seperti Hygiene Directive (EC, 1993 dalam Huss et al., 2004) dan legislasi vertikal spesifik komoditas seperti persyaratan khusus untuk pengolahan ikan (EC, 1993 dalam Huss et al., 2004). Menurut ketentuan Uni Eropa, SSOP harus memuat : kondisi lingkungan Unit Pengolahan Ikan, fasilitas Unit Pengolahan Ikan serta prosedur dan kondisi operasional (GHP). Prerequisite programme merupakan titik awal bagi perusahaan dalam mengimplementasikan HACCP. Pengalaman beberapa perusahaan menunjukkan bahwa apabila suatu perusahaan berhasil menerapkan GHP/GMP/SSOP dengan baik, maka perusahaan yang bersangkutan tidak akan menemui kesulitan dalam menerapkan program HACCP.

HACCP merupakan pendekatan sistematis dalam mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan bahaya (hazards) yang signifikan terhadap keamanan pangan (CAC, 2001). Penerapan HACCP memberikan jaminan keamanan pangan melalui pendekatan yang dibangun di atas fondasi yang disediakan oleh GMP/SSOP/GHP. Hal ini dilakukan melalui identifikasi titik dalam proses produksi pangan yang memerlukan pemantauan dan pengendalian secara terus menerus untuk memastikan bahwa proses masih dalam batas yang ditentukan.

HACCP terdiri atas tujuh prinsip dasar sebagaimana disebutkan oleh CAC (2001) dan NACMCF (1997) adalah : analisis bahaya, identifikasi titik pengendalian kritis, penetapan batas kritis, penentuan prosedur pemantauan, penentuan tindakan koreksi, penentuan prosedur verifikasi, dan penentuan prosedur dokumentasi dan pencatatan. Pada saat ini, penerapan konsepsi HACCP pada industri makanan (termasuk produk perikanan) telah diwajibkan oleh sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada dan lain sebagainya. Di Indonesia, regulasi yang mengatur mengenai hal itu adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan.

Menurut Jouve et al. (1998) dalam Huss et al. (2004), quality control (pengendalian mutu) dapat didefinisikan sebagai aktivitas dan teknik operasional

yang digunakan untuk memenuhi persyaratan mutu. Dalam kaitannya dengan sistem jaminan mutu, QC dilakukan melalui pemantauan (monitoring) dan jika diperlukan memodifikasi sistem produksi untuk mencapai mutu yang ditetapkan. Dengan demikian, QC dapat menjadi bagian dari sistem HACCP, terutama dalam konteks pemantauan titik pengendalian kritis (CCP) dalam HACCP Plan.

Huss et al. (2004) mengatakan bahwa QA/QM dapat didefinisikan sebagai semua fungsi dan aktivitas yang berkaitan dengan kesuksesan dalam mencapai mutu dalam suatu perusahaan. Dalam keseluruhan sistem, hal ini akan mencakup aspek teknis, manajerial dan lingkungan. Standar QA/QM yang umum diketahui adalah ISO 9000, sedangkan untuk manajemen lingkungan adalah ISO 14000. Istilah QM sering digunakan secara bolak balik dengan QA, karena keduanya mempunyai pengertian yang sama. Dalam industri perikanan, istilah QM digunakan utamanya dalam pengelolaan aspek teknis dari mutu dalam suatu perusahaan.

TQM adalah suatu pendekatan manajemen organisasi (organization’s management) yang difokuskan terhadap mutu dan berdasarkan partisipasi seluruh anggota organisasi tersebut, dan ditujukan untuk keberhasilan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan dan manfaat untuk anggota organisasi dan masyarakat (Jouve et al., 1998 dalam Huss et al. (2004). Dengan demikian, TQM mencerminkan pendekatan budaya organisasi dan secara bersama-sama dengan sistem mutu (quality system) menanamkan filosofi, budaya dan disiplin yang diperlukan untuk membangun komitmen semua orang dalam organisasi dalam rangka mencapai semua tujuan organisasi yang berhubungan dengan mutu.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat ini sistem manajemen mutu dan keamanan produk perikanan yang diakui secara internasional dan telah menjadi persyaratan di beberapa negara adalah HACCP. Dalam implementasinya, penerapan HACCP harus menggunakan fondasi GHP/GMP atau SSOP atau Prerequisite Programmes yang baik. Dengan kata lain suatu perusahaan harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang terkait dengan penerapan GHP/GMP atau SSOP atau Prerequisite Programmes sebelum menerapkan HACCP.

Dalam kaitannya dengan implementasi HACCP pada industri perikanan, Huss et al. (2004) mengatakan bahwa tanggung jawab untuk menghasilkan makanan yang aman ada di tangan produsen. Tanggung jawab tersebut adalah memastikan bahwa pengembangan dan penerapan HACCP Plan dilakukan secara tepat. Dengan demikian, pimpinan suatu perusahaan harus memahami dan mendukung penerapan HACCP dalam unit pengolahan ikan yang dikelolanya. Oleh karena itu, mereka perlu memahami manfaat, biaya dan sumberdaya yang diperlukan. Hal lain yang tidak kalah penting dalam penerapan HACCP adalah pelatihan personil kunci, baik personil yang terlibat langsung maupun tidak langsung.

Lebih lanjut Huss et al. (2004) mengatakan bahwa dalam pengembangan HACCP Plan diperlukan persetujuan dari manajemen senior, karena seringkali diperlukan perbaikan atau penggantian/perubahan terhadap konstruksi atau tata letak fasilitas dan perlengkapan yang digunakan dalam proses pengolahan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan biaya dan akan menjadi masalah ketika terdapat keterbatasan anggaran, karena modifikasi apapun yang diperlukan untuk menjamin keamanan pangan harus dilakukan dengan segera.

Meskipun implementasi HACCP merupakan tanggung jawab perusahaan perikanan, pemerintah juga mempunyai peranan yang penting. Peranan tersebut setidak-tidaknya dalam tiga hal, yaitu sebagai fasilitator, enforcers atau pelatih (Motarjemi & Schothorst, 1999). Sebagai fasilitator, pemerintah dapat membantu perusahaan perikanan dalam memahami tujuan dan cakupan HACCP, serta menyediakan tenaga ahli dalam menyusun HACCP Plan atau verifikasinya. Sebagai enforcers, pemerintah bertugas mengevaluasi implementasi atau penerapan tujuh prinsip HACCP. Sedangkan sebagai pelatih, pemerintah menyelenggarakan pelatihan dan berpartisipasi dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh sektor industri.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa dalam penerapan HACCP diperlukan komitmen yang kuat dari pihak manajemen (termasuk pemilik perusahaan), kompetensi yang memadai dari personil yang terlibat serta didukung kebijakan pemerintah yang kondusif.