ABSTRAK *Santa Franesia **Muhammad Husni ***Rosnidar Sembiring
Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (2) dapat difasilitasi dengan dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pada Pasal 43 ayat (3) Kredit atau pembiayaan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibebani hak tanggungan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bagaimana Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan kredit pemilikan rumah, bagaimana kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis sebagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian kredit pemilikan rumah menurut UU Nomor 1 Tahun 2011.
Hasil pembahasan menjelaskan Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (1) dapat difasilitasi dengan dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan. Dalam membuat perjanjian kredit, bank pada umumnya tidak akan memberikan kredit begitu saja tanpa memperhatikan jaminan yang diberikan debitur untuk menjamin kredit yang diperolehnya itu. Oleh sebab itu, kalau menyalurkan kredit bank tersebut meminta kepada debitur untuk menyediakan agunan sebagai jaminan untuk mengamankan kreditnya. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cedera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kata Kunci : Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, Hak Tanggungan, Eksekusi Sertifikat.
*Mahasiswa Fakultas Hukum
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat,
nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Adapun skripsi ini berjudul : “Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah
Menurut UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan
Permukiman”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak
kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya
masukan dan saran yang bersifat membangun untuk di masa yang akan datang.
Di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami
kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari
dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing,
dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin, SH, M.Hum. DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. O. k. Saidin, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak M. Husni, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan di dalam penulisan
skripsi ini.
7. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosem Pembimbing II
yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan di dalam
penulisan skripsi ini.
8. Seluruh Bapak dan Ibu serta Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis.
9. Kepada Papa, I. Sihite; Mama, R. Sianturi; Kakak, Jeny Van Ony Sihite,
SE; Adik, Hans Topril Sihite dan Moreno Leo Sihite, atas segala
perhatian, dukungan, doa, dan kasih sayangnya hingga penulis dapat
menyelesaikan studi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10.Kepada sahabat-sahabat, Danny Tambunan, Dian Stevany Tongli, Daniella
Dandy Tarigan, yang telah memberikan dukungan dan doa selama
menjalani perkulihan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
11.Kepada Mahasiswa-mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara stambuk 2010, selama menjalani perkuliahan.
12.Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan atas segala kesalahan dan
kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Medan, Juni 2014
DAFTAR ISI
Abstrak ... i
Kata pengantar ... ii
Daftar isi ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Manfaat penulisan ... 7
E. Keaslian Penulisan ... 7
F. Metode Penelitian ... 8
G. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN HAK TANGGUNGAN ... 12
A. Pengertian Perjanjian Kredit, Asas-Asas Perkreditan , Serta Fungsi Kredit ... 12
B. Analisis Terhadap Permohonan Kredit dan Berakhirnya Perjanjian Kredit ... 21
C. Pengertian Hak Tanggungan, Dasar Hukum, Serta Asas – asas Hak Tanggugan ... 29
BAB III UU NO 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN
KAWASAN PERMUKIMAN ... 49
A. Pengertian Perumahan dan Kawasan Permukiman ... 49
B. Asas, Tujuan dan Rauang Lingkup Perumahan dan Kawasa Permukiman ... 49
C. Hak dan Kewajiban para Pihak dan Larangan ... 60
D. Penyelesaian Sengketa di Bidang Perumahan ... 64
BAB IV PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH MENURUT UU NO 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN ... 68
A. Pengaturan dan Penyelengaraan Kredit Atau Pemilikan Rumah dan UU No 1 Tahun 2011 ... 68
B. Hak dan Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank ... 73
C. Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan ... 81
BAB V PENUTUP ... 93
A. Kesimpulan ... 93
B. Saran ... 95
ABSTRAK *Santa Franesia **Muhammad Husni ***Rosnidar Sembiring
Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (2) dapat difasilitasi dengan dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pada Pasal 43 ayat (3) Kredit atau pembiayaan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibebani hak tanggungan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bagaimana Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan kredit pemilikan rumah, bagaimana kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis sebagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian kredit pemilikan rumah menurut UU Nomor 1 Tahun 2011.
Hasil pembahasan menjelaskan Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (1) dapat difasilitasi dengan dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan. Dalam membuat perjanjian kredit, bank pada umumnya tidak akan memberikan kredit begitu saja tanpa memperhatikan jaminan yang diberikan debitur untuk menjamin kredit yang diperolehnya itu. Oleh sebab itu, kalau menyalurkan kredit bank tersebut meminta kepada debitur untuk menyediakan agunan sebagai jaminan untuk mengamankan kreditnya. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cedera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kata Kunci : Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, Hak Tanggungan, Eksekusi Sertifikat.
*Mahasiswa Fakultas Hukum
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, rumah merupakan kebutuhan
dasar manusia mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak
serta kepribadian bangsa untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, berjati
diri, mandiri dan produktif.1 Negara bertanggung jawab melindungi segenap
bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman
agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan
terjangkau didalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan
diseluruh wilayah Indonesia.2
Perwujudan kesejahteraan rakyat ditandai dengan meningkatnya
kehidupan yang layak dan bermartabat serta cukupnya kebutuhan dasar yaitu
pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja.3
1
Konsiderans a Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
2
Konsiderans b Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
3
Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 1.
Sandang,
pangan dan papan sudah menjadi bagian dari kebutuhan pokok dalam kehidupan
sehari-hari. Sandang dan pangan merupakan suatu kebutuhan yang selalu berulang
relatif singkat serta mudah diperoleh setiap saat. Sedangkan untuk pemenuhan
kebutuhan akan papan masih dirasakan berat oleh sebagian besar masyarakat.
Secara umum, ada 2 (dua) pola dalam upaya pemenuhan akan kebutuhan
perumahan, yakni dalam bentuk kredit kepemilikan rumah atau melalui sewa.
Menurut Undang-Undang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Pemukiman pasal 1 ayat 7, Rumah adalah bangunan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal dan hunian pembinaan keluarga”4
4
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang perubahan AtasUndang Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman.
, sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman, Pasal 1 Ayat 2, Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana lingkungan.
Pembangunan perumahan merupakan salah satu hal penting dalam strategi
pengembangan wilayah, yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang
kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan
sosial dalam rangka pemantapan ketahanan nasional. Terkait hal tersebut maka
pembangunan perumahan dan permukiman sebagaimana yang tertuang di dalam
Pasal 3 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman ditujukan
1. Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.
2. Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta
penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR;
3. Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan;
4. Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang
pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
5. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan
6. Menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
Sasaran pembangunan perumahan dan permukiman adalah untuk
menciptakan lingkungan dan ruang hidup manusia yang sesuai dengan kebutuhan
hidup yang hakiki, yaitu agar terpenuhinya kebutuhan akan keamanan,
perlindungan, ketenangan, pengembangan diri, kesehatan dan keindahan serta
kebutuhan lainnya dalam pelestarian hidup manusiawi.
Tingginya permintaan akan rumah dan perumahan menjadi peluang usaha
bagi perusahaan yang bergerak dibidang perumahan (pengembang) untuk
membangun rumah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut.
Permasalahan dalam hal ini untuk mendapatkan rumah tidaklah mudah karena
butuh biaya yang relatif besar, dan untuk mengatasi masalah tersebut maka
masyarakat dalam membeli rumah dapat membayar secara tunai atau melalui
angsuran. Bagi masyarakat yang tidak dapat membayar tunai dapat memiliki
Kredit Pemilikan Rumah (KPR). KPR merupakan salah satu cara bagi setiap
orang untuk mendapatkan rumah selain pembelian dengan cara tunai ataupun
angsuran bertahap.
Kredit Pemilikan Rumah adalah salah satu fasilitas kredit yang diberikan
oleh bank kepada nasabah khususnya dalam jual beli rumah. Pelayanan kredit ini
diberikan hampir semua bank yang mempunyai fasilitas Kredit Pemilikan Rumah
baik bank-bank swasta ataupun bank Pemerintah. Perkataan kredit tidak
ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetapi diatur oleh
undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 10
Tahun 1998, Pasal 1 ayat (11) sebagamana telah disebutkan diatas.
Pengertian Pasal 1 ayat (11) tersebut dapat diketahui bahwa kredit itu
merupakan perjanjian meminjam uang antara bank sebagai lembaga keuangan dan
bertidak sebagai kreditur dengan nasabah atau debitur. Dalam perjanjian ini bank
sebagai pemberi kredit percaya terhadap nasabahnya, bahwa dalam jangka waktu
yang disepakatinya akan dikembalikan atau dibayar lunas.
Kredit Pemilikan Rumah termasuk dalam lingkup perjanjian, Perjanjian
adalah terjemahan dari kons overenkomst, Hukum Perjanjian, yang diartikan
sebagai peristiwa hukum sebagaimana di kemukakan sebagai berikut: Supaya
perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh para pihak yang membuatnya,
sah.5 Dari segi bahasa dapat pula diterjemahkan dengan persetujuan. Subekti
mengartikannya sebagai perbuatan hukum, sebagaimana terlihat dari terjemahan
yang dilakukannya terhadap isi Pasal 1313 KUHPerdata, yang bunyinya: Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 6
Pemerintah perlu lebih berperan dalam penyelenggaraan dalam
menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan
permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga
merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan
ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup
sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah,dan keterbukaan dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan
debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa, agar setiap orang
mudah mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit.
Perjanjian kredit harus ditandatangani oleh kedua belah pihak (bank dan debitur)
yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum.15
7
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan yang berkaitan dengan perjanjian Kredit Pemilikan Rumah pada
5
Ibid, hal. 39.
6
Subekti, Hukum Perjanjian, hal. 37.
7
Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman, di sini yang akan penulis fokuskan adalah masalah Pengaturan dan
Penyelenggaraan Kredit atau Pembiayaan pemilikan rumah, Hak Tanggungan
yang dapat dijadikan Jaminan Kredit, dan Hak kewajiban,Larangan, serta
Penyelesaian sengketa di bidang perumahan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan
pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman?
2. Bagaimana Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan kredit pemilikan
rumah?
3. Bagaimana kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam skripsi ini dapat
1. Untuk mengetahui pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan
pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
2. Untuk mengetahui hak tanggungan dapat dijadikan jaminan kredit
3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak, larangan, serta upaya dalam
penyelesaian sengketa di bidang perumahan
D.Manfaat Penulisan
Manfaat dari Penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan perjanjian
kredit pemilikan rumah.
b. Memperkaya dan menambah ilmu pengetahuan bagi perkembangan ilmu
hukum pada umumnya dan hukum perdata, khususnya dalam bidang hukum
perbankan dan bidang perkreditan yaitu kredit pemilikan rumah.
c. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi sebagai bahan acuan bagi
penelitian yang akan datang.
2. Manfaat secara Praktis
a. Memberi sumbangan pengetahuan kepada Pemerintah tentang KPR untuk
MBR.
b. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat pada umumnya dan
c. Menberikan penjelasan serta pengetahuan bagi pihak developer dalam
pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan ini diselesaikan berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh
penulis dari berbagai sumber, dan sepanjang pengetahuan penulis, penulisan
tentang Perjanjian Krdit Pemilikan Rumah Menurut UUNo 1 Tahun 2011 Tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman belum pernah diteliti sebelumnya dan ini
merupakan penulisan yang pertama kali dilakukan sehingga keaslian penulisan
dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, sebab penelitian ini akan
menggambarkan dan melukiskan prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan tujuan penelitian ini. Pendekatan penelitian yang diterapkan
adalah penelitian hukum normatif 8
2. Data
Disebut penelitian hukum normatif karena penelitian ini dilakukan atau
ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis.
8
Data yang dikumpulkan dalam penyusunan skripsi ini dilakukan melalui
pengumpulan data sekunder. Metode pengumpulan data sekunder terbagi atas 3
(tiga) bagian yaitu:
a. Bahan Hukum Primer, yang meliputi berbagai peraturan perundang-undangan
yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan
ini, yang digunakan adalah Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang perubahan
atas Undang-Undang No. 4 tahun 1992 tetang Perumahan dan Kawasan
Permukiman dan beberapa peraturan yang terkait.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu berupa bahan yang berhubungan
dengan topic penulisan skripsi ini, buku-buku karangan para sarjana,, makalah,
jurnal.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus,
ensiklopedia, website internetdan lain-lain.
3. Alat Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan
cara :
a. Penelitian Kepustakaan (library research) yakni dengan mempelajari
peraturan perundang-undangan, buku, situs internet yang berkaitan dengan
sebagai dasar dalam pnelitian dan menganalisa masalah-masalah yang
dihadapi.
b. Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif,
yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan
selanjutnya dianalisis secara kualitatif mencapai kejelasan masalah yang
akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.
G. Sistematika Penulisan
BAB I : Pada Bab I, penulis menguraikan tentang hal-hal umum yang mendasari
penulisan skripsi ini, yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, manfaat dan
tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
BAB II : Dalam Bab ini, penulis menguraikan gambaran umum tentang perjanjian
kredit yang dimulai dengan definisi perjanjian kredit, asa dan fungsi kredit,
analisis terhadap permohonan kredit dan berakhirnya perjanjian kredit, pengertian
hak tanggungan, subyek dan obyek hak tanggungan, sifat-sifat hak tanggungan,
dan tahap-tahap pemberian (pembebanan) hak tanggungan.
BAB III : Dalam Bab ini, penulis menguraikan gambaran mengenai perumahan
dan kawasan permukiman menurut UU No 1 Tahun 2011 dimulai dari definisi
perumahan dan kawasan permukiman, asas, tujuan, dan ruang lingkup perumahan
permukiman, dan pencegahan serta peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh.
BAB IV : Dalam Bab ini, penulis akan menguraikan pokok dari permasalahan
yakni pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah
dalam UU No 1 Tahun 2011, hak tanggungan yang dapat dijadikan jaminan
kredit, dan kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan.
BAB V : Dalam Bab terakhir ini, penulisan memberikan kesimpulan dan
saran-saran yang diperoleh berdasarkan bab-bab sebelumnya yang mudah-mudahan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN HAK TANGGUNGAN
A. Pengertian Perjanjian Kredit, asas-asas perkreditan, serta fungsi kredit
1. Pengertian Perjanjian Kredit
Perihal ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III dengan judul “Tentang Perikatan.
Kata perikatan ini mempunyai arti yang lebih lugasbdaripada perikatan/perjanjian,
sebab kata perikatan tidak hanya mengandung pengertian hubungan hukum yang
timbul dari perjanjian saja, tetapi juga perihal hubungan hukum yang sama sekali
tidak bersumber pada suatu perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari
undang-undang, tidak memerlukan adanya suatu persetujuan.
Untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu
perjanjian tertulis dan perjanjian lisan. Untuk kedua bentuk tersebut sama
kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para
pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan mudah
dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi persengketaan, maka sebagai alat
pembuktian akan lebih sulit, disamping harus dapat menunjukkan saksi-saksi juga
itikad baik pihak-pihak diharapkan dlam perjanjian.
Menurut pasal 1313 KUHPerdata, “Suatu perjanjian adalah perbuatan
atau lebih’. Jika diperhatiakan dengan seksama rumusan yang diberikan dalam
pasal 1313 KUHPerdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian
mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari
suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak)
lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan
konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjianakan selalu ada dua pihak, di
mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya
adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak
tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebig orang, bahkan dengan
berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih
badan hukum.9
9
Kartini Muljadi, et.al., Seri Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, hal.92.
Dalam pembuatan perjanjian sekuramg-kurangnya harus memperhatikan:
keabsahan dan persyaratan secara hukum, juga harus memuat secara jelas
mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kredit serta
persyaratan lainnya yang harus diperhatikan dalam perjanjian kredit.
Perjanjian Kredit menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu
dari bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga
KUHPerdata yaitu pada Pasal1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata.
Perjanjian kredit seperti diuraikan tersebut di atas, yang menunjukkan
unsur pinjam meminjam didalamnya yaitu pinjam meminjam antara bank dengan
“Pinjam-meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula’.
Pada pasal 1754 KUHPerdata intinya menyebutkan, bahwa perjanjian
simpan-meminjam merupakan perjanjian yang isinya pihak pertama menyerahkan
suatu barang yang dapat diganti, sedangkan pihak kedua berkewajiban
mengembalikan barang dalam jumlah dan kualitas yang sama. Subekti
menyatakan: dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam
semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah sesuatu perjanjian
simpan-meminjam sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan
Pasal 1769.10
Dari pengertian kredit pada Pasal 1 angka (11) UU No 10 Tahun 1998
tentang Perbankan dapat dipahami bahwa setiap bank memberikan kredit kepada Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia perjanjian kredit
belum diatur secara tegas. Umdang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Undang-Undang Pokok Perbankan yang telah diganti dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 dalam Pasal 1 angka (11) tidak dijumpai penegertian perjanjian kredit, hanya
ditemukan “…berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
bank dengan pihak lain…”, demikian pula dalam penjelasan undang-undang
tersebut tidak dijumpai penegertian lebih lanjut tentang perjanjian kredit.
10
nasabah debitur dituangkan dalam suatu perjanjian kredit berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan kedua belah pihak yakni pihak bank dan pihak peminjam
(debitur).
Pembuatan perjanjian kredit tersebut diartikan diperlukan dalam rangka
memberikan kepastian hukum bagi para pihak , sehingga apabila terjadi
permasalahan di kemudian hari maka para yang berkepentingan dalam perjanjian
kredit yang telah dibuat sebagai dasar hukum untuk menuntut pihak yang telah
dirugikan.
Pada awalnya bila diteliti, dasar keharusan bank harus membuat perjanjian
kredit berarti setiap pemberian kredit dalam bentuk apapun harus senantiasa
disertai dengan surat perjanjian tertulis yang jelas dan lengkap dalm SK Direksi
Bank Indonesia No 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No
17/7/UPPB masing-masing tanggal 31 Maret 1995 pada lampiran Pedoman
Penyusunan Kebijaksanaan Pemberian Kredit (PPKPK) angka 450 tentang
perjanjian kredit yang dinyatakan setiap kredit yang telah disetujui dan disepakti
pemohon kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara
tertulis. Baik dibawah tangan maupum dihadapan Notaris.
Ini diperlukan sebagai upaya mengikat barang jaminan. Dalam perjanjian
kredit tersebut tidak dapat ditentukan apa yang harus dimasukkan, karena ada
perubahan-perubahan dalam kebutuhan pelayanan yang spesifik. Syarat-syarat
tersebut diperjanjikan berdasarkan kebutuhan yang spesifik dari debitur sehingga
Dalam membuat perjanjian kredit terdapat beberapa judul dalam praktek
perbankan tidak sama satu sama lain, ada yang menggunakan perjanjian krdit,
akad kredit, persetujuan pinjam uang, persetujuan membuka kredit, dan lain
sebagainya. Meskipun judul dari perjanjian tersebut berbeda-beda tetap secara
yuridis isi perjanjian pada hakikatnya sama yaitu memberikan pinjaman uang.
Mengenai pembakuan bentuk draft isi perjanjian kredit, antara bank
sendiri belum terdapat kesepakatan. Namunmengenai isi perjanjian kredit seperti
dikemukakan dalam oleh Hasanuddin, pada pokoknya selalu memuat hal-hal
berikut:11
a. Jumlah maksimum kredit yang diberikan oleh bank kepada debiturnya.
b. Besarnya bunga kredit dan biaya-biaya lainnya.
c. Jangka waktu pembayaran kredit.
d. Ada dua jangka waktu pembayaran yang digunakan, yaitujangka waktu
angsuran biasanya secara bulanan dan jangka waktu kredit.
e. Cara pembayaran kredit.
f. Klausula jatuh tempo.
g. Barang jaminan kredit dan kekuasaan yang menyertainya serta persyaratan
penilaian jaminan, pembayaran pajak, dan asuransi atas barang jaminan.
h. Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh debitur, termasuk hak bank untuk
melakukan pengawasan dan pembinaan kredit.
i. Biaya akta dan biaya penagihan hutang yang juga harus dibayar debitur.
11
2. Fungsi dan Jenis-Jenis Kredit
Fungsi utama dari kredit pada dasarnya adalah pemenuhan jasa untuk
melayani kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan
perdagangan, mendorong prtumbuhan produksi, jasa-jasa pada akhirnya ditujukan
untuk meningkatkan taraf hidup manusia.
Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis, baik bagi
debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa pengaruh pada tahapan yang
lebih baik. Maksudnya, baik bagi debitur maupun kreditur mendapatkan
kemajuan. Kemajuan tersebut dapat tergambar apabila mereka memperoleh
keuntungan juga mengalami peningkatan kesejahteraan, dan masyarakat ataupun
Negara mengalami suatu penambahan dari penambahan pajak, juga kemajuan
ekonomi, baik yang bersifat mikro maupun makro. Dari manfaat nyata dan
manfaat yang diharapkan maka sekarang ini kredit dalam kehidupan
perekonomian dan perdagangan mempunyai fungsi :12
1) Meningkatkan daya guna uang;
2) Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang;
3) Meningkatkan daya guna dan peredaran uang;
4) Salah satu alat stabilitas ekonomi;
5) Meningkatkan kegairan berusaha;
6) Meningkatkan pemerataan pendapatan;
12
7) Meningkatkan hubungan Internasional.
Beragamnya jenis usaha, menyebabkan beragam pula kebutuhan akan
dana. Kebutuhan akan dana. Kebutuhan dana yang beragam menyebabkan jenis
kredit juga menjadi beragam. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan dana yang
diinginkan nasabah.
Dari segi tujuan kredit, jenis kredit terdiri atas :13
a) Kredit Konsumtif
Yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta yang
diberikan kepada perseorangan untuk membiayai keperluan konsumsinya
untuk kebutuhan sehari-hari.
b) Kredit Produktif, baik kredit investasi maupun kredit eksploitasi.
Kredit investasi yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai
pembiayaan modal tetap, yaitu peralatan produksi, gedung dan
mesin-mesin, juga untuk membiayai rehabilitasi, ekspansi, relokasi proyek atau
pendirian proyek baru.
Kredit eksploitasiyaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan
pembiayaan kebutuhan dunia usaha akan modal kerja berupa persediaan
bahan baku, persediaan produk akhir, barang dalam proses produksi, serta
piutang, sedangkan jangka waktunya berlaku pendek. Di Indonesia jenis
13
kredit eksploitasi ini boleh dikatakan sudah dilakukan sejak lama yaitu
sejak tahun 1950-an.14
c) Perpaduan antara Kredit Konsumtif dan Kredit Produktif.
Khusus untuk pemerintahan daerah, kredit atau pinjaman daerah hanya
diperkenankan untuk alternatif sumber pembiayaan APBD dan/atau untuk
menutup kekurangan kas. Namun, dimugkinkan pinjaman daerah dapat
digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan
kewenangan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Menurut Kasmir, kredit produktif merupakan kredit yang dapat berupa
investasi, modal kerja atau perdagangan. Dalam arti kredit ini diberikan untuk
diusahakan kembali sehingga pengembalian kredit diharapkan dari hasil usaha
yang dibiayai. Sedangkan kredit konsumtif merupakan kredit yang digunakan
untuk keperluan konsumsi, baik pangan, sandang, maupun papan. Contoh jenis
kredit ini adalah kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor yang kesemuanya
untuk dipakai sendiri.15
Menurut Muchdarsyah Sinungan kredit konsumtif adalah kredit yang
dipergunakan oleh peminjam untuk keprluan konsumsi, artinya uang kredit akan
habis terpakai untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kredit produktif
14
Faried Wijaya, et.al., Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank Perkembangan, Teori dan Kebijakan, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, BPFE, Yogyakarta, 1991, hlm. 60.
15
digunakan untuk kebutuhannya. Sedangkan kredit produktif digunakan untuk
peningkatan usaha baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.16
Kredit Pemilikan Rumah dalam hal ini tergolong dalam kredit konsumtif
di mana pengertian dimana pengertian kredit pemilikan rumah adalah kredit yang
diberikan oleh suatu lembaga keuangan atau bank yang bertindak sebagai kreditur
kepada debitur yang tidak mempunyai dana yang cukup untuk membeli rumah
beserta tanah secara tunai.17
1) Penjual, yaitu pihak yang memiliki rumah baik itu perorangan maupun
pengembang yang menyediakan perumahan dan bermaksud menjual
rumah tersebut kepada yang membutuhkan.
Dengan demikian pengertian Kredit Pemilikan Rumah adalah kredit yang
diberikan oleh bank untuk membantu anggota masyarakat, guna membeli sebuah
rumah berikut tanahnya untuk dimiliki.
Menurut Pasal 43 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan bahwa pemilikan
rumah sebgaimana disebutkan dalam ayat (1) dapat difasilitasi dengan kredit atau
pembiayaan rumah dan dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.
Ada beberapa pihak yang saling terkait dalam pemberian Kredit Pemilikan
Rumah (KPR), yaitu :
16
Op Cit., hlm 20-21.
17
2) Pembeli yaitu pihak yang dalam hal ini membutuhkan rumah berikut
tanahnya, tetapi tidak cukuo dananya untuk membeli rumah tersebut
secara tunai.
3) Bank, dalam hal ini pihak yang bersedia menyediakan/menyalurkan
dananya.
B. Analisis Terhadap Permohonan Kredit dan Berakhirnya Perjanjian Kredit
1. Analisis Terhadap Permohonan Kredit
Menurut Kasmir (2003:117-119), prinsip-prinsip pemberian kredit yang
biasa digunakan oleh kreditur, yang biasa dikenal dengan prinsip 5C, 4P yaitu :
1. Karakter (character)
Merupakan sifat atau watak seseorang. Untuk dapat melihat watak atau sifat
dari calon pelanggan dapat dilihat dari latar belakang sipelanggan, baik yang
bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi.
2. Kemampuan (capacity)
Merupakan analisis untuk mengetahui kemampuan debitur dalam membayar
kredit, dari penilaian ini terlihat kemampuan debitur atau pelanggan dalam
mengelola bisnisnya. Kemampuan ini dihubungkan dengan latar belakang
pendidikan dan pengalamannya dalam mengelola usahanya, sehingga akan
3. Modal (capital)
Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif atau tidak, dapat dilihat dari
laporan keuangan yang disajikan dengan melakukan pengukuran dari segi
likuiditas, solvabilitas dan rentabilitasnya.
4. Kondisi ekonomi (condition of economy)
Dalam menilai pemberian kredit hendaknya juga dinilai dari kondisi ekonomi,
social, dan politik yang ada sekarang dan prediksi yang akan datang.
5. Jaminan (collateral)
Merupakan jaminan yang diberikan oleh pelanggan atau debitur yang bersifat
fisik maupun nonfisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah permohonan
pemberian kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya
dan kesempurnaannya, sehingga jika terjadi suatu masalah maka jaminan yang
dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin.
6. Kepribadian (personality)
Merupakan segi yang subjektif namun menjadi suatu yang penting dalam
penentuan pemberian kredit sehingga perlu dikumpulkan data-data mengenai
calon pelanggan atau debitur tersebut.
7. Tujuan (purpose)
Yang menjadi sorotan dari segi ini yaitu menyangkut tujuan penggunaan
8. Masa depan (prospect)
Artinya masa depan dari kegiatan yang mendapatkan pemberian kredit
tersebut, adapun unsure-unsur yang dapat menjadi penilaian mengenai masa
depan tersebut diantaranya mengenai pengelolaan bidang usaha, kebijakan
pemerintah dan sebagainya.
9. Cara pembayaran (payment)
Cara pembayarannya, misalya mengenai kelancaran aliran dana (cash flow).
Prinsip-prinsip yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan bahwa
untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu kredit dapat dilihat dari 5 prinsip
yaitu, watak, kemampuan, modal kondisi perekonomian dan jaminan. Dari kelima
prinsip yang telah disebutkan antara lain merupakan bagian yang paling penting
adalah bagi kreditur untuk memberikan kredit ke calon debitur ada pada prinsip
watak, karena watak merupakan sifat dasar yang membuat pola piker seseorang
dan tingkah lakunya menjadi suatu hal yang yang baik atau tidak baik, dalam
proses pemberian kredit ini walaupun calon debitur memenuhi dalam empat
prinsip yang lain tanpa memenuhi prinsip watak akan sulit menagih atau dalam
penyelesian pembayaran kredit suatu saat nanti dikarenakan ada indikasi tidak ada
itikad baik atau bisa disebut masuk ke daftar orang tercela.
Sistem pemberian kredit adalah ketentuan yang dirancang atau dibuat oleh
pihak kreditur dalam proses pemberian kredit dengan maksud mempermudah
harus dilakukan untuk mencegah resiko kemacetan pelunasan kredit oleh pihak
debitur. Sedangkan menurut Thomas Suyatno, dkk (2007:69) adalah :
”Sistem pemberian kredit adalah cara atau ketentuan-ketentuan yang diberlakukan
dalam proses pemberian kredit. Sistem pemberian kredit ini bertujuan untuk
mempermudah pihak kreditur dalam melakukan penyaluran kredit kepada calon
debitur dan juga untuk menghindari terjadinya penyelewengan serta kemacetan
dalam pelunasan kredit oleh debitur”.
Pengertian yang telah disampaikan di atas, maka dapat diambil suatu
penjelasan bahwa sistem pemberian kredit adalah cara atau ketentuan yang harus
dilalui oleh debitur selaku pemohon dan kreditur selaku pemberi dalam proses
pemberian kredit. Ini bertujuan untuk mengantisipasi agar kegiatan pemberian
kredit tidak melanggar batasan-batasan yang telah di tentukan dan mempermudah
pihak kreditur dalam melakukan penyaluran kredit kepada calon, debitur dan juga
untuk menghindari terjadinya penyelewangan serta kemacetan dalam pelunasan
kredit oleh debitur.
Prosedur pemberian kredit dilakukan dengan beberapa tahap dimana
tujuanya adalah untuk memastikan kelayakan suatu kredit, baik itu diterima atau
ditolak.
Menurut Thomas Suyatno, dkk (2007:69-87), prosedur pemberian kredit
1. Pengajuan Permohonan Kredit
Pengajuan permohonan kredit ini mencakup permohonan suatu fasilitas
pemberian kredit, persiapan berkas-berkas permohonan kredit, pencatatan suatu
permohonan kredit dan memeriksa kelengkapan berkas permohonan.
2. Penyeleksian Pemberian Kredit
Menurut Djumhana (2000:394) penyeleksian pemberian kredit meliputi 5C, 4P
dan 3R yaitu character, sifat-sifat calon pelanggan seperti kejujuran, perilaku dan
ketaatannya. Capacity (kemampuan), perhatian yang diberikan terhadap
kemampuan calon pelanggan secara umum atau kondisi kekayaan yang dimiliki
perusahaan collateral, jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata calon
pelanggan benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya. Condition,
menunjukkan pengaruh langsung dari tren ekonomi pada umumnya terhadap
perusahaan yang bersangkutan yang mungkin mempunyai kemampuan pelanggan
dalam memenuhi kewajibannya.
Personality atau kepribadian calon pelanggan merupakan segi yang subjektif
namum menjadi suatu yang penting dalam penentuan pemberian kredit. Purpose
(tujuan), yang menjadi sorotan dari segi ini yaitu menyangkut tujuan penggunaan
kredit tersebut tidak mengandung unsure spekulatif. Prospect atau masa depan
dari kegiatan yang mendapatkan pemberian kredit tersebut, adapun unsur-unsur
yang dapat menjadi penilaian mengenai prospek tersebut yaitu bidang usaha,
kebijakan pemerintah dan sebagainya. Payment atau cara pembayarannya,
Return atau balikan maksudnya yaitu hasil yang akan dicapai dari pemberian
kredit tersebut. Repayment atau perhitungan pembayaran dari pemberian kredit
tersebut. Risk bearing ability atau perhitungan besarnya kemampuan calon
pelanggan dalam menghadapi resiko yang tidak terduga.
3. Keputusan Atas Permohonan Kredit
Dalam hal ini, yang dimaksud dalam keputusan atas permohonan kredit adalah
menyetujui dan atau mengusulkan permohonan pemberian kredit, harus
memperhatikan syarat-syarat umum dalam tahap penyeleksian calon pelanggan.
4. Pelunasan Pemberian Kredit
Dipenuhinya semua kewajiban hutang pelanggan terhadap perusahaan yang
berkaitan.
Pendapat yang telah diuraikan di atas mengenai prosedur pemberian
kredit, maka dapat diambil kesimpulan bahwa prosedur yang harus dilalui dalam
proses pemberian kredit yaitu pengajuan pemberian kredit, penyeleksian dan
analisis data, keputusan atas permohonan kredit, dan pelunasan pemberian kredit.
Pada pengajuan pemberian kredit tahap ini dilakukan secara tertulis dan ditujukan
ke pihak kteditur, penyeleksian dan anlisis data menggunakan penilaian character,
capacity, capital, collateral dan condition (5C), keputusan atas permohonan kredit
yaitu menyetujui permohonan kredit dengan memperhatikan syarat-syarat umum
tahap penyeleksian calon pelanggan, dan yang terakhir pelunasan pemberian
secara tertulis perjanjiannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku setelah proses
tersebut baru pihak debitur mendapatkan fasilitas kredit yang diinginkan.
2. Berakhirnya Perjanjian Kredit
Suatu perjanjian dapat hapus selain atas persetujuan dari kedua belah
pihak, juga dapat hapus karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang yang
dinyatakan cukup untuk itu.
Dalam prakteknya, perjanjian kredit bank itu hapus karena:
a. Ditentukan oleh para pihak di dalam perjanjian
b. Adanya pembatalan oleh salah satu pihak terhadap perjanjiannya.
c. Adanya pernyataan penghentian perjanjian secara sepihak oleh bank.
Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan:18
1) Pembayaran.
2) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
3) Pembaharuan utang.
4) Perjumpaan hutang atau kompensasi
5) Pencampuran utang.
6) Pembebasan utang
7) Musnahnya barang yang terutang.
8) Batal/pembatalan
9) Berlakunya syarat batal
18
10)Lewatnya waktu
Dalam Pasal 1381 KUHPerdata mengatur berbagai cara hapusnya
perikatan untuk untuk perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang dan
cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah bersifat
membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan
suatu perikatan.
Juga cara-cara yang tersebut dalam Pasal 1381 KUHPerdata itu tidaklah
lengkap, karena tidak mengatur misalnya hapusnya perikatan, karena
meninggalnya seorang dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat
dilaksanakan oleh salah satu pihak. Lima cara pertama yang tersebut di dalam
Pasal KUHPerdata menunjukkan bahwa kreditur tetap menerima prestasi dari
debitur.
Cara keenam yaitu pembebasan utang, maka kreditur tidak menerima
prestasi, bahkan sebaliknya, yaitu secara sukarela melepaskan haknya atas
prestasi. Pada empat cara terakhir dari Pasal 1381 KUHPerdata maka kreditur
tidak menerima prestasi, karena perikatan tersebut gugur ataupun dianggap telah
gugur. Untuk mengetahui di manakah pengaturan dari berlakunya syarat batal,
sebagai salah satu cara hapusnya perikatan maka kita harus melihat kepada Bab I
KUHPerdata yaitu berturut-turutnPasal 1253 dan seterusnya dan pasal 1266
C. Pengertian Hak Tanggungan, Dasar Hukum, serta Asas-Asas Hak Tanggungan
1. Pengertian Hak Tanggungan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang
yang dijadikan sebagai jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya
tanggungan atas pinjaman yang diterima (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1989:899). Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
disebutkan pengertian hak tanggungan. Yang dimaksud kan dengan hak
tanggungan adalah :
“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur
lainnya.”
Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian hak tanggungan disajikan sebagai
berikut ini.
1. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah
Yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan
yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur yang memberikan
wewenang kepadanya untuk, jika debitur cedera janji, menjual lelang
mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya
tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain (droit de
preference). Selain berkedudukan mendahulu, kreditur pemegang hak
jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil pemjualan
tersebut, sungguhpun tanah yang bersangkutan sudah dipindahkan kepada
hak lain (droit de suite). 19
2. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak tanggungan
dapat dibebankan pada hak atas tanah semata-mata, tetapi dapat juga hak
atas tanah tersebut berikut dengan benda-benda yang ada di atasnya.
3. Untuk pelunasan hutang tertentu
Maksud untuk pelunasan hutang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat
membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitur yang ada pada
kreditur.
4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lainnya.
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference.
Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang berbunyi : “Apabila debitur cedera
janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang
dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan
19
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan terebut, dengan hak
mendahulu daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan
atau kreditur pemegang hak tangungan dengan peringkat yang lebih rendah”. Hak
yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.
Prof. Budi Harsono mengartikan Hak Tanggungan adalah :
“Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk
berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk
dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur
cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian pembayaran
lunas hutang ebitur kepadanya”.20
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;
Esensi dari definisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono
adalah pada penguasaan hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah merupakan
wewenang untuk menguasai hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah oleh
kreditur bukan untuk menguasai secara fisik, namun untuk menjualnya jika
debitur cedera janji.
Dari uraian dan paparan di atas, dapatlah dikemukakan cirri hak tanggungan
adalah :
2. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapa pun benda itu
berada atau disebut dengan Droit de suit. Keistimewaan ini ditegaskan
20Ibid
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Biarpun objek hak
tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur
pemegang hak tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnyamelalui
pelelangan umum jika debitur cedera janji;
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hokum bagi pihak yang berkepentingan;
dan
4. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada
kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.
Selain ciri-ciri di atas, keistimewaan kedudukan hukum kreditur pemegang
hak tanggungan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
berbunyi: “Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, objek hak
tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan,
sebelum kreditur pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan objek hak tanggungan itu.
2. Dasar Hukum Hak Tanggungan
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembebanan hak atas
tanah adalah Bab 21 Buku II KUH Perdata yang berkaitan dengan hipotek dan
Staatsblad 1937-190. Kedua ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena
tidak sesuai dengan kebutuhan kegiatan perkreditan di Indonesia. Ketidaksesuaian
ini karena pada undang-undang lama yang dapat dijadikan objek hipotek dan
credietverband hanyalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan,
sedangkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang menjadi objek hak
tanggungan tidak hanya ketiga hak atas tanah tersebut, tetapi ditambah dengan
hak pakai dan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang
telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan
merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan
tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.
Lahirnya Undang-Undang tentang hak tanggungan karena adanya perintah
dalam Pasal 51 UUPA. Pasal 51 UUPA berbunyi “Hak Tanggungan yang dapat
dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut
dalam Pasal 25, Pasal 33,dan Pasal 39 diatur dalam undang-undang.” Tetapi
dalam Pasal 57 UUPA disebutkan bahwa selama undang-undang hak tanggungan
belum terbentuk maka digunakan ketentuan tentang hipotek sebagaimana yang
diatur di dalam KUH Perdata dan Credietverband. Perintah Pasal 51 UUPA baru
terujud setelah menunggu selama 36 tahun. Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 terdiri atas 11 bab dan 31 pasal. Ada 4 pertimbangan dibentuknya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu:
1. Bahwa bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik
berat pada bidang ekonomi dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar,
kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945;
2. Bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sampai dengan saat ini, ketentuan
yang lengkap mengenai hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan
yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk;
3. Bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana yang diatur dalam
Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang
mengenai tanah, dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad
1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang
berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan sementara
sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang hak tanggungan,
dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan,
sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia;
4. Bahwa mengingat perkembangan yang telah dan akan terjadi bidang
pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat banyak, selain hak milik, hak guna usaha, dan hak
guna bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek hak tanggungan oleh
Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan
menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan
untuk dibebani hak tanggungan;
5. Bahwa berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu dibentuk
undang-undang yang mengatur hak tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional.
Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, adalah
meliputi
1. Ketentuan umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996);
2. Objek Hak Tanggungan (Pasal 3 sampai dengan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
3. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8 sampai dengan
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
4. Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan, dan Hapusnya Hak
Tanggungan (Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996);
5. Eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 20 sampai dengan Pasal 21
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
6. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4
7. Sanksi Administrasi (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
8. Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal 26
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
9. Ketentuan penutup (Pasal 27 sampai dengan pasal 31 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996).
Kebendaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 mengakhiri dualism
hukum yang berlaku dalam pembebanan hak atas tanah. Secara formal
pembebanan hak atas tanah berlaku ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
UUPA, tetapi secara materiil berlaku ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
Bab 21 Buku II KUH Perdata dan Credietverband.
3. Asas-Asas Hak Tanggungan
Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
dikenal beberapa asas hak tanggungan. Asas-asas itu disajikan berikut ini.
1. Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang hak
tanggungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
2. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1)) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996);
3. Hanya dibebani pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
4. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat(4) Undang-Undang Nomor 4
5. Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru
aka nada dikemudian hari (Pasal 4ayat (4) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996). Dengan syarat diperjanjikan dengan tegas;
6. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1), Pasal
18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
7. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1))
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
8. Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996);
9. Mengikuti objek dalam tangan siapa pun objek itu berada (Pasal 7
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
10.Tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan;
11.Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
12.Wajib didaftarkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
13.Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;
14.Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
Di samping itu, dalam undang-undang hak tanggungan ditentukan juga
suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki
oleh pemegang hak tanggungan bila pemberi hak tanggungan cedera janji.
artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan
dengan substansi undang-undang hak tanggungan.
D. Objek dan Subjek Hukum Hak Tanggungan serta Tahap-tahap pemberian (pembebanan) Hak Tanggungan
1. Objek Hukum Hak Tanggungan
UUPA mengenal hak jaminan atas tanah, yang dinamakan Hak
Tanggungan. Menurut UUPA, Hak Tanggungan dapat dibebankan di atas tanah
Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33) dan Hak Guna Bangunan (Pasal
39). Menurut Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan akan diatur dengan
undang-undang yakni, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, hal tersebut
terwujudlah suatu hukum jaminan nasional, seperti yang diamanatkan di dalam
Pasal 51 UUPA tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, objek yang dapat
dibebani dengan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan
tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan
adalah sebagai berikut : a) Hak Milik, b) Hak Guna Usaha, c) Hak Guna
Bangunan, d) Hak Pakai Atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang
berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipidahkan tangankan, e) Hak
Ha katas tanah berikut bangunan, tanaman, hasil karya yang telah ada atau aka
milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas
dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Khususnya hak pakai, dalam kenyataannya tidak semua Tanah Hak Pakai
Atas Tanah Negara dapat dijadikan objek Hak Tanggungan. Ada Tanah Hak Pakai
Atas Tanah Negara yang walaupun telah terdaftar, tetapi karena sifatnya tidak
dapat dipindahtangankan, seperti Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak Pakai atas
nama badan keagamaandan social dan Hak Pakai atas nama Perwakilan Negara
Asing, yang berlakunya tidak ditentukan jangka waktunya dan diberikan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu (khusus), adalah bukan
merupakan objek Hak Tanggungan. Adapun Hak Pakai Atas Tanah Negara yang
dapat dipindahtangankan meliputi Hak Pakai yang diberikan krpada orang
perseorangan atau badan hukum untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan
dalam keputusan pemberiannya, dapat dijadikan objek Hak Tanggungan.
Salah satu subjek Hak Pakai adalah orang asing, tetapi tidak semua orang
asing dapat ditunjuk sebagai subjek Hak Pakai. Hanya orang asing yang
berkedudukan di Indonesia sajalah yang dapat sebagai subjek Hak Pakai.
Pengertian berkedudukan di Indonesia bila diartiakn secara sempit adalah
bertempat tinggal tetap di Indonesia dan bukan sekedar berada di Indonesia pada
waktu-waktu tertentu saja. Bertempat tinggal tetap tidak berarti ia harus
terus-menerus berada di Indonesia. Walaupun demikian tempat tinggalnya harus di
Indonesia, bukan di negara lain. Tujuan utama diterbitkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut bukan dalam rangka meningkatkan
orang asing untuk medapatkan/memiliki rumah di Indonesia. Tentunya
persyaratan “bermanfaat bagi pembangunan nasional” harus diartikan secara luas,
demikian juga dengan pengertian “berkedudukan di Indonesia” tidak harus
diartikan bertempat tinggal tetap atau sementara di Indonesia asalkan orang asing
tersebut kehadirannya di Indonesia dapat memberikan manfaat bagi pembangunan
nasional.
Apapun bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut tidak dimiliki oleh pemegang hakatas tanah,
pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan
dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan
akta autentik.
Pada prinsipnya, objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang
memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan (untukmemenuhi publisitas)
dan dapat dipindahtangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang
yang dijamin pelunasannya.
Sesuai dengan amanat Pasal 51 UUPA, ha katas tanah yang ditunjuk
sebagai objek Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak
Guna Bangunan. Di dalam perkembangan kemudian,yaitu menurut Peraturan
Menteri Agraria No 1 Tahun 1966 tanggal 5 januari 1966, Hak Pakai Atas Tanah
Negara juga wajib didaftarkan, sehingga Hak Pakai tersebut dapat dialihkam.
atas Tanah Negara tertentu yang memenuhi kedua syarat tersebut juga dapat
dijadikan objek Hak Tanggungan
Di samping Hak Pakai atas Tanah Negara, juga ada kemungkinan Hak
Pakai terjadi di atas tanah Hak Milik yang sementara ini belum diatur, tetapi oleh
Undang-Undang Hak Tanggungan dibuka kemungkinannya untuk dapat dijadikan
objek Hak Tanggungan apabila telah meemnuhi kedua syarat tersebut di atas.
Mengenai hal ini akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat (3) UU
No 4 Tahun 1996).
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
(Undang-Undang Hak Tanggungan) ditegaskan bahwa terhadap tanah Hak Milik
yang sudah diwakafkan dan tanah-tanah yang digunakan untuk keperluan
peribadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun memenuhi kedua persyaratan
tersebut, karena kekhususan sifat dan tujuan penggunaannya, tidak dapat dijadikan
Hak Tanggungan. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tersebut juga dijelaskan bahwa Hak pakai atas Tanah Negara yang
diberikan kepada orang perorangan atau badan hukumperdata, karena memenuhi
kedua syarat tersebut di atas, dapat dijadikan objek Hak Tanggungan.
Hak Pakai atas Tanah Negara yang diberikan kepada intansi Pemerintah,
Badan Keagamaan dan Sosial, dan Perwakilan Negara Asing walaupun wajib
didaftarkan, tetap karena menurut sifatnya tidak dapat dipindahtangankan, bukan
2. Subjek hukum dalam Hak Tanggungan
Subjek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dalam kedua
pasal itu ditentukan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum dalam pembedaan
Hak Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan adalah pemberi Hak
Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan dapat
perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan
terdiri dari perorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak
berpiutang. Biasanya dalam praktik pemberi Hak Tanggungan disebut dengan
debitur, yaitu orang yang meminjamkan uang di lembaga perbankan, sedangkan
penerima Hak Tanggungan disebut dengan istilah kreditur, yaitu orang atau badan
hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.21
3. Tahap-tahap pemberian (pembebanan) Hak Tanggungan
Undang-undang Hak Tanggungan menggunakan istilah pemberian
sedangkan Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Menteri Agraria No. 15
Tahun 1961 Pasal 3 menggunakan istilah Pemberian dan Pemasangan. Menurut
Mariam Darus Badrulzaman :
“Istilah pembebanan mempunyai arti identik dengan pemberian dan pemasangan.
Pemberian Hak Tanggungan adalah perjanjian kebendaan yang terdiri dari
21
rangkaian perbuatan hukum dari Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
sampai dilakukan pendaftaran dengan mendapatkan sertifikat Hak Tanggungan
dari Kantor Pertanahan”.22
a. Adanya Perjanjian Kredit
Rangkaian perbuatan hukum pemberian atau pembebanan Hak
Tanggungan memerlukan beberapa tahapan sebagai berikut:
Dibuatnya perjanjian pokok berupa penjanjian kredit atau perjanjian
pinjam uang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan pinjam
meminjam uang antara kreditur dengan debitur. Hal ini sesuai sifat accesoir dari
Hak Tanggungan yang pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian
pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang atau perjanjian lain yang
menimbulkan utang.
Pasal 10 ayat (1) UUHT mengatakan :
“Bahwa Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan
Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di
dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut”.
Dalam perjanjian kredit, baru berupa janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertebtu sedangkan pemberian
22
Hak Tanggungan akan dilakukan dengan akta tersendiri yang disebut Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT yag dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT)).
Perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau perjanjian hutang
yang menimbulkan hutang bentuknya:
1. Dapat dibuat dengan akta di bawah tangan artinya dibuat oleh kreditur dan
debitur atau akta otentik artinya dibuat olrh dan dihadapan notaries.
2. Perjanjian kredit atau perjanjian utang dapat dibuat oleh orang perorangan
atau badan hukum asing sepanjang kredit digunakan untuk kepentingan di
wilayah Republik Indonesia.
3. Mengenai tempatnya perjanjian kredit dapat dibuat di dalam/di luar negeri.
b. Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
Pembebanan Hak Tanggungan yang ditandai dengan Pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dibuat oleh PPAT yang ditandatangani
kreditur sebagai penerimaan Hak Tanggungan dan pemilik hak atas tanah
yang dijaminkan (debitur atau pemilik jaminan tapi bukan debitur). Bentuk
Akta Pembebanan Hak Tanggungan adalah Akta otentik yang dibuat oleh dan
dihadapan PPAT. Akta APHT merupakan bentuk standart yang dikeluarkan
oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dipergunakan oleh PPAT.
Pasal 10 ayat (2) UUHT menegaskan pemberian Hak Tanggungan
dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai