• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Menurut Undang-Undang Nomor I Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Pemukiman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Menurut Undang-Undang Nomor I Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Pemukiman"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

ABSTRAK *Santa Franesia **Muhammad Husni ***Rosnidar Sembiring

Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (2) dapat difasilitasi dengan dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pada Pasal 43 ayat (3) Kredit atau pembiayaan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibebani hak tanggungan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bagaimana Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan kredit pemilikan rumah, bagaimana kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis sebagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian kredit pemilikan rumah menurut UU Nomor 1 Tahun 2011.

Hasil pembahasan menjelaskan Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (1) dapat difasilitasi dengan dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan. Dalam membuat perjanjian kredit, bank pada umumnya tidak akan memberikan kredit begitu saja tanpa memperhatikan jaminan yang diberikan debitur untuk menjamin kredit yang diperolehnya itu. Oleh sebab itu, kalau menyalurkan kredit bank tersebut meminta kepada debitur untuk menyediakan agunan sebagai jaminan untuk mengamankan kreditnya. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cedera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kata Kunci : Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, Hak Tanggungan, Eksekusi Sertifikat.

*Mahasiswa Fakultas Hukum

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat,

nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun skripsi ini berjudul : “Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah

Menurut UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan

Permukiman”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak

kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya

masukan dan saran yang bersifat membangun untuk di masa yang akan datang.

Di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami

kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari

dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Dalam

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing,

dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

(5)

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, M.Hum. DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O. k. Saidin, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak M. Husni, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah

banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan di dalam penulisan

skripsi ini.

7. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosem Pembimbing II

yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan di dalam

penulisan skripsi ini.

8. Seluruh Bapak dan Ibu serta Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis.

9. Kepada Papa, I. Sihite; Mama, R. Sianturi; Kakak, Jeny Van Ony Sihite,

SE; Adik, Hans Topril Sihite dan Moreno Leo Sihite, atas segala

perhatian, dukungan, doa, dan kasih sayangnya hingga penulis dapat

menyelesaikan studi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Kepada sahabat-sahabat, Danny Tambunan, Dian Stevany Tongli, Daniella

(6)

Dandy Tarigan, yang telah memberikan dukungan dan doa selama

menjalani perkulihan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Kepada Mahasiswa-mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara stambuk 2010, selama menjalani perkuliahan.

12.Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini

baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan

satu-persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan atas segala kesalahan dan

kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2014

(7)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata pengantar ... ii

Daftar isi ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat penulisan ... 7

E. Keaslian Penulisan ... 7

F. Metode Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN HAK TANGGUNGAN ... 12

A. Pengertian Perjanjian Kredit, Asas-Asas Perkreditan , Serta Fungsi Kredit ... 12

B. Analisis Terhadap Permohonan Kredit dan Berakhirnya Perjanjian Kredit ... 21

C. Pengertian Hak Tanggungan, Dasar Hukum, Serta Asas – asas Hak Tanggugan ... 29

(8)

BAB III UU NO 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN

KAWASAN PERMUKIMAN ... 49

A. Pengertian Perumahan dan Kawasan Permukiman ... 49

B. Asas, Tujuan dan Rauang Lingkup Perumahan dan Kawasa Permukiman ... 49

C. Hak dan Kewajiban para Pihak dan Larangan ... 60

D. Penyelesaian Sengketa di Bidang Perumahan ... 64

BAB IV PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH MENURUT UU NO 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN ... 68

A. Pengaturan dan Penyelengaraan Kredit Atau Pemilikan Rumah dan UU No 1 Tahun 2011 ... 68

B. Hak dan Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank ... 73

C. Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan ... 81

BAB V PENUTUP ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 95

(9)

ABSTRAK *Santa Franesia **Muhammad Husni ***Rosnidar Sembiring

Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (2) dapat difasilitasi dengan dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pada Pasal 43 ayat (3) Kredit atau pembiayaan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibebani hak tanggungan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bagaimana Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan kredit pemilikan rumah, bagaimana kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis sebagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian kredit pemilikan rumah menurut UU Nomor 1 Tahun 2011.

Hasil pembahasan menjelaskan Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Pasal 43 ayat (1) dapat difasilitasi dengan dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah. Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan. Dalam membuat perjanjian kredit, bank pada umumnya tidak akan memberikan kredit begitu saja tanpa memperhatikan jaminan yang diberikan debitur untuk menjamin kredit yang diperolehnya itu. Oleh sebab itu, kalau menyalurkan kredit bank tersebut meminta kepada debitur untuk menyediakan agunan sebagai jaminan untuk mengamankan kreditnya. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cedera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kata Kunci : Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, Hak Tanggungan, Eksekusi Sertifikat.

*Mahasiswa Fakultas Hukum

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, rumah merupakan kebutuhan

dasar manusia mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak

serta kepribadian bangsa untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, berjati

diri, mandiri dan produktif.1 Negara bertanggung jawab melindungi segenap

bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman

agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan

terjangkau didalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan

diseluruh wilayah Indonesia.2

Perwujudan kesejahteraan rakyat ditandai dengan meningkatnya

kehidupan yang layak dan bermartabat serta cukupnya kebutuhan dasar yaitu

pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja.3

1

Konsiderans a Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

2

Konsiderans b Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

3

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 1.

Sandang,

pangan dan papan sudah menjadi bagian dari kebutuhan pokok dalam kehidupan

sehari-hari. Sandang dan pangan merupakan suatu kebutuhan yang selalu berulang

(11)

relatif singkat serta mudah diperoleh setiap saat. Sedangkan untuk pemenuhan

kebutuhan akan papan masih dirasakan berat oleh sebagian besar masyarakat.

Secara umum, ada 2 (dua) pola dalam upaya pemenuhan akan kebutuhan

perumahan, yakni dalam bentuk kredit kepemilikan rumah atau melalui sewa.

Menurut Undang-Undang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang

Perumahan dan Pemukiman pasal 1 ayat 7, Rumah adalah bangunan yang

berfungsi sebagai tempat tinggal dan hunian pembinaan keluarga”4

4

Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang perubahan AtasUndang Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman.

, sedangkan

menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Pemukiman, Pasal 1 Ayat 2, Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana

dan sarana lingkungan.

Pembangunan perumahan merupakan salah satu hal penting dalam strategi

pengembangan wilayah, yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang

kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan

sosial dalam rangka pemantapan ketahanan nasional. Terkait hal tersebut maka

pembangunan perumahan dan permukiman sebagaimana yang tertuang di dalam

Pasal 3 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman ditujukan

(12)

1. Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

2. Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta

penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR;

3. Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan;

4. Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang

pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;

5. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan

6. Menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.

Sasaran pembangunan perumahan dan permukiman adalah untuk

menciptakan lingkungan dan ruang hidup manusia yang sesuai dengan kebutuhan

hidup yang hakiki, yaitu agar terpenuhinya kebutuhan akan keamanan,

perlindungan, ketenangan, pengembangan diri, kesehatan dan keindahan serta

kebutuhan lainnya dalam pelestarian hidup manusiawi.

Tingginya permintaan akan rumah dan perumahan menjadi peluang usaha

bagi perusahaan yang bergerak dibidang perumahan (pengembang) untuk

membangun rumah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut.

Permasalahan dalam hal ini untuk mendapatkan rumah tidaklah mudah karena

butuh biaya yang relatif besar, dan untuk mengatasi masalah tersebut maka

masyarakat dalam membeli rumah dapat membayar secara tunai atau melalui

angsuran. Bagi masyarakat yang tidak dapat membayar tunai dapat memiliki

(13)

Kredit Pemilikan Rumah (KPR). KPR merupakan salah satu cara bagi setiap

orang untuk mendapatkan rumah selain pembelian dengan cara tunai ataupun

angsuran bertahap.

Kredit Pemilikan Rumah adalah salah satu fasilitas kredit yang diberikan

oleh bank kepada nasabah khususnya dalam jual beli rumah. Pelayanan kredit ini

diberikan hampir semua bank yang mempunyai fasilitas Kredit Pemilikan Rumah

baik bank-bank swasta ataupun bank Pemerintah. Perkataan kredit tidak

ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetapi diatur oleh

undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 10

Tahun 1998, Pasal 1 ayat (11) sebagamana telah disebutkan diatas.

Pengertian Pasal 1 ayat (11) tersebut dapat diketahui bahwa kredit itu

merupakan perjanjian meminjam uang antara bank sebagai lembaga keuangan dan

bertidak sebagai kreditur dengan nasabah atau debitur. Dalam perjanjian ini bank

sebagai pemberi kredit percaya terhadap nasabahnya, bahwa dalam jangka waktu

yang disepakatinya akan dikembalikan atau dibayar lunas.

Kredit Pemilikan Rumah termasuk dalam lingkup perjanjian, Perjanjian

adalah terjemahan dari kons overenkomst, Hukum Perjanjian, yang diartikan

sebagai peristiwa hukum sebagaimana di kemukakan sebagai berikut: Supaya

perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh para pihak yang membuatnya,

(14)

sah.5 Dari segi bahasa dapat pula diterjemahkan dengan persetujuan. Subekti

mengartikannya sebagai perbuatan hukum, sebagaimana terlihat dari terjemahan

yang dilakukannya terhadap isi Pasal 1313 KUHPerdata, yang bunyinya: Suatu

persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 6

Pemerintah perlu lebih berperan dalam penyelenggaraan dalam

menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan

permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga

merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan

ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup

sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah,dan keterbukaan dalam

tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan

debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa, agar setiap orang

mudah mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit.

Perjanjian kredit harus ditandatangani oleh kedua belah pihak (bank dan debitur)

yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum.15

7

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat

permasalahan yang berkaitan dengan perjanjian Kredit Pemilikan Rumah pada

5

Ibid, hal. 39.

6

Subekti, Hukum Perjanjian, hal. 37.

7

(15)

Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan

Permukiman, di sini yang akan penulis fokuskan adalah masalah Pengaturan dan

Penyelenggaraan Kredit atau Pembiayaan pemilikan rumah, Hak Tanggungan

yang dapat dijadikan Jaminan Kredit, dan Hak kewajiban,Larangan, serta

Penyelesaian sengketa di bidang perumahan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan

pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan

Permukiman?

2. Bagaimana Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan kredit pemilikan

rumah?

3. Bagaimana kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam skripsi ini dapat

(16)

1. Untuk mengetahui pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan

pemilikan rumah dalam UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan

Permukiman.

2. Untuk mengetahui hak tanggungan dapat dijadikan jaminan kredit

3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak, larangan, serta upaya dalam

penyelesaian sengketa di bidang perumahan

D.Manfaat Penulisan

Manfaat dari Penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaaat Teoritis

a. Menambah pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan perjanjian

kredit pemilikan rumah.

b. Memperkaya dan menambah ilmu pengetahuan bagi perkembangan ilmu

hukum pada umumnya dan hukum perdata, khususnya dalam bidang hukum

perbankan dan bidang perkreditan yaitu kredit pemilikan rumah.

c. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi sebagai bahan acuan bagi

penelitian yang akan datang.

2. Manfaat secara Praktis

a. Memberi sumbangan pengetahuan kepada Pemerintah tentang KPR untuk

MBR.

b. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat pada umumnya dan

(17)

c. Menberikan penjelasan serta pengetahuan bagi pihak developer dalam

pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan ini diselesaikan berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh

penulis dari berbagai sumber, dan sepanjang pengetahuan penulis, penulisan

tentang Perjanjian Krdit Pemilikan Rumah Menurut UUNo 1 Tahun 2011 Tentang

Perumahan dan Kawasan Permukiman belum pernah diteliti sebelumnya dan ini

merupakan penulisan yang pertama kali dilakukan sehingga keaslian penulisan

dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, sebab penelitian ini akan

menggambarkan dan melukiskan prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan yang

berhubungan dengan tujuan penelitian ini. Pendekatan penelitian yang diterapkan

adalah penelitian hukum normatif 8

2. Data

Disebut penelitian hukum normatif karena penelitian ini dilakukan atau

ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis.

8

(18)

Data yang dikumpulkan dalam penyusunan skripsi ini dilakukan melalui

pengumpulan data sekunder. Metode pengumpulan data sekunder terbagi atas 3

(tiga) bagian yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, yang meliputi berbagai peraturan perundang-undangan

yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan

ini, yang digunakan adalah Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang perubahan

atas Undang-Undang No. 4 tahun 1992 tetang Perumahan dan Kawasan

Permukiman dan beberapa peraturan yang terkait.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu berupa bahan yang berhubungan

dengan topic penulisan skripsi ini, buku-buku karangan para sarjana,, makalah,

jurnal.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus,

ensiklopedia, website internetdan lain-lain.

3. Alat Pengumpulan Data

Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan

cara :

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yakni dengan mempelajari

peraturan perundang-undangan, buku, situs internet yang berkaitan dengan

(19)

sebagai dasar dalam pnelitian dan menganalisa masalah-masalah yang

dihadapi.

b. Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif,

yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan

selanjutnya dianalisis secara kualitatif mencapai kejelasan masalah yang

akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Pada Bab I, penulis menguraikan tentang hal-hal umum yang mendasari

penulisan skripsi ini, yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, manfaat dan

tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan

sistematika penulisan.

BAB II : Dalam Bab ini, penulis menguraikan gambaran umum tentang perjanjian

kredit yang dimulai dengan definisi perjanjian kredit, asa dan fungsi kredit,

analisis terhadap permohonan kredit dan berakhirnya perjanjian kredit, pengertian

hak tanggungan, subyek dan obyek hak tanggungan, sifat-sifat hak tanggungan,

dan tahap-tahap pemberian (pembebanan) hak tanggungan.

BAB III : Dalam Bab ini, penulis menguraikan gambaran mengenai perumahan

dan kawasan permukiman menurut UU No 1 Tahun 2011 dimulai dari definisi

perumahan dan kawasan permukiman, asas, tujuan, dan ruang lingkup perumahan

(20)

permukiman, dan pencegahan serta peningkatan kualitas terhadap perumahan

kumuh dan permukiman kumuh.

BAB IV : Dalam Bab ini, penulis akan menguraikan pokok dari permasalahan

yakni pengaturan dan penyelenggaraan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah

dalam UU No 1 Tahun 2011, hak tanggungan yang dapat dijadikan jaminan

kredit, dan kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan.

BAB V : Dalam Bab terakhir ini, penulisan memberikan kesimpulan dan

saran-saran yang diperoleh berdasarkan bab-bab sebelumnya yang mudah-mudahan

(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN HAK TANGGUNGAN

A. Pengertian Perjanjian Kredit, asas-asas perkreditan, serta fungsi kredit

1. Pengertian Perjanjian Kredit

Perihal ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian terdapat dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III dengan judul “Tentang Perikatan.

Kata perikatan ini mempunyai arti yang lebih lugasbdaripada perikatan/perjanjian,

sebab kata perikatan tidak hanya mengandung pengertian hubungan hukum yang

timbul dari perjanjian saja, tetapi juga perihal hubungan hukum yang sama sekali

tidak bersumber pada suatu perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari

undang-undang, tidak memerlukan adanya suatu persetujuan.

Untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu

perjanjian tertulis dan perjanjian lisan. Untuk kedua bentuk tersebut sama

kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para

pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan mudah

dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi persengketaan, maka sebagai alat

pembuktian akan lebih sulit, disamping harus dapat menunjukkan saksi-saksi juga

itikad baik pihak-pihak diharapkan dlam perjanjian.

Menurut pasal 1313 KUHPerdata, “Suatu perjanjian adalah perbuatan

(22)

atau lebih’. Jika diperhatiakan dengan seksama rumusan yang diberikan dalam

pasal 1313 KUHPerdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian

mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari

suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak)

lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan

konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjianakan selalu ada dua pihak, di

mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya

adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak

tersebut dapat terdiri dari satu orang atau lebig orang, bahkan dengan

berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih

badan hukum.9

9

Kartini Muljadi, et.al., Seri Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, hal.92.

Dalam pembuatan perjanjian sekuramg-kurangnya harus memperhatikan:

keabsahan dan persyaratan secara hukum, juga harus memuat secara jelas

mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kredit serta

persyaratan lainnya yang harus diperhatikan dalam perjanjian kredit.

Perjanjian Kredit menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu

dari bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga

KUHPerdata yaitu pada Pasal1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata.

Perjanjian kredit seperti diuraikan tersebut di atas, yang menunjukkan

unsur pinjam meminjam didalamnya yaitu pinjam meminjam antara bank dengan

(23)

“Pinjam-meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu

memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang

habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan

mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula’.

Pada pasal 1754 KUHPerdata intinya menyebutkan, bahwa perjanjian

simpan-meminjam merupakan perjanjian yang isinya pihak pertama menyerahkan

suatu barang yang dapat diganti, sedangkan pihak kedua berkewajiban

mengembalikan barang dalam jumlah dan kualitas yang sama. Subekti

menyatakan: dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam

semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah sesuatu perjanjian

simpan-meminjam sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan

Pasal 1769.10

Dari pengertian kredit pada Pasal 1 angka (11) UU No 10 Tahun 1998

tentang Perbankan dapat dipahami bahwa setiap bank memberikan kredit kepada Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia perjanjian kredit

belum diatur secara tegas. Umdang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang

Undang-Undang Pokok Perbankan yang telah diganti dengan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 dalam Pasal 1 angka (11) tidak dijumpai penegertian perjanjian kredit, hanya

ditemukan “…berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara

bank dengan pihak lain…”, demikian pula dalam penjelasan undang-undang

tersebut tidak dijumpai penegertian lebih lanjut tentang perjanjian kredit.

10

(24)

nasabah debitur dituangkan dalam suatu perjanjian kredit berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan kedua belah pihak yakni pihak bank dan pihak peminjam

(debitur).

Pembuatan perjanjian kredit tersebut diartikan diperlukan dalam rangka

memberikan kepastian hukum bagi para pihak , sehingga apabila terjadi

permasalahan di kemudian hari maka para yang berkepentingan dalam perjanjian

kredit yang telah dibuat sebagai dasar hukum untuk menuntut pihak yang telah

dirugikan.

Pada awalnya bila diteliti, dasar keharusan bank harus membuat perjanjian

kredit berarti setiap pemberian kredit dalam bentuk apapun harus senantiasa

disertai dengan surat perjanjian tertulis yang jelas dan lengkap dalm SK Direksi

Bank Indonesia No 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No

17/7/UPPB masing-masing tanggal 31 Maret 1995 pada lampiran Pedoman

Penyusunan Kebijaksanaan Pemberian Kredit (PPKPK) angka 450 tentang

perjanjian kredit yang dinyatakan setiap kredit yang telah disetujui dan disepakti

pemohon kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara

tertulis. Baik dibawah tangan maupum dihadapan Notaris.

Ini diperlukan sebagai upaya mengikat barang jaminan. Dalam perjanjian

kredit tersebut tidak dapat ditentukan apa yang harus dimasukkan, karena ada

perubahan-perubahan dalam kebutuhan pelayanan yang spesifik. Syarat-syarat

tersebut diperjanjikan berdasarkan kebutuhan yang spesifik dari debitur sehingga

(25)

Dalam membuat perjanjian kredit terdapat beberapa judul dalam praktek

perbankan tidak sama satu sama lain, ada yang menggunakan perjanjian krdit,

akad kredit, persetujuan pinjam uang, persetujuan membuka kredit, dan lain

sebagainya. Meskipun judul dari perjanjian tersebut berbeda-beda tetap secara

yuridis isi perjanjian pada hakikatnya sama yaitu memberikan pinjaman uang.

Mengenai pembakuan bentuk draft isi perjanjian kredit, antara bank

sendiri belum terdapat kesepakatan. Namunmengenai isi perjanjian kredit seperti

dikemukakan dalam oleh Hasanuddin, pada pokoknya selalu memuat hal-hal

berikut:11

a. Jumlah maksimum kredit yang diberikan oleh bank kepada debiturnya.

b. Besarnya bunga kredit dan biaya-biaya lainnya.

c. Jangka waktu pembayaran kredit.

d. Ada dua jangka waktu pembayaran yang digunakan, yaitujangka waktu

angsuran biasanya secara bulanan dan jangka waktu kredit.

e. Cara pembayaran kredit.

f. Klausula jatuh tempo.

g. Barang jaminan kredit dan kekuasaan yang menyertainya serta persyaratan

penilaian jaminan, pembayaran pajak, dan asuransi atas barang jaminan.

h. Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh debitur, termasuk hak bank untuk

melakukan pengawasan dan pembinaan kredit.

i. Biaya akta dan biaya penagihan hutang yang juga harus dibayar debitur.

11

(26)

2. Fungsi dan Jenis-Jenis Kredit

Fungsi utama dari kredit pada dasarnya adalah pemenuhan jasa untuk

melayani kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan

perdagangan, mendorong prtumbuhan produksi, jasa-jasa pada akhirnya ditujukan

untuk meningkatkan taraf hidup manusia.

Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis, baik bagi

debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa pengaruh pada tahapan yang

lebih baik. Maksudnya, baik bagi debitur maupun kreditur mendapatkan

kemajuan. Kemajuan tersebut dapat tergambar apabila mereka memperoleh

keuntungan juga mengalami peningkatan kesejahteraan, dan masyarakat ataupun

Negara mengalami suatu penambahan dari penambahan pajak, juga kemajuan

ekonomi, baik yang bersifat mikro maupun makro. Dari manfaat nyata dan

manfaat yang diharapkan maka sekarang ini kredit dalam kehidupan

perekonomian dan perdagangan mempunyai fungsi :12

1) Meningkatkan daya guna uang;

2) Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang;

3) Meningkatkan daya guna dan peredaran uang;

4) Salah satu alat stabilitas ekonomi;

5) Meningkatkan kegairan berusaha;

6) Meningkatkan pemerataan pendapatan;

12

(27)

7) Meningkatkan hubungan Internasional.

Beragamnya jenis usaha, menyebabkan beragam pula kebutuhan akan

dana. Kebutuhan akan dana. Kebutuhan dana yang beragam menyebabkan jenis

kredit juga menjadi beragam. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan dana yang

diinginkan nasabah.

Dari segi tujuan kredit, jenis kredit terdiri atas :13

a) Kredit Konsumtif

Yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta yang

diberikan kepada perseorangan untuk membiayai keperluan konsumsinya

untuk kebutuhan sehari-hari.

b) Kredit Produktif, baik kredit investasi maupun kredit eksploitasi.

Kredit investasi yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai

pembiayaan modal tetap, yaitu peralatan produksi, gedung dan

mesin-mesin, juga untuk membiayai rehabilitasi, ekspansi, relokasi proyek atau

pendirian proyek baru.

Kredit eksploitasiyaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan

pembiayaan kebutuhan dunia usaha akan modal kerja berupa persediaan

bahan baku, persediaan produk akhir, barang dalam proses produksi, serta

piutang, sedangkan jangka waktunya berlaku pendek. Di Indonesia jenis

13

(28)

kredit eksploitasi ini boleh dikatakan sudah dilakukan sejak lama yaitu

sejak tahun 1950-an.14

c) Perpaduan antara Kredit Konsumtif dan Kredit Produktif.

Khusus untuk pemerintahan daerah, kredit atau pinjaman daerah hanya

diperkenankan untuk alternatif sumber pembiayaan APBD dan/atau untuk

menutup kekurangan kas. Namun, dimugkinkan pinjaman daerah dapat

digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan

kewenangan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Menurut Kasmir, kredit produktif merupakan kredit yang dapat berupa

investasi, modal kerja atau perdagangan. Dalam arti kredit ini diberikan untuk

diusahakan kembali sehingga pengembalian kredit diharapkan dari hasil usaha

yang dibiayai. Sedangkan kredit konsumtif merupakan kredit yang digunakan

untuk keperluan konsumsi, baik pangan, sandang, maupun papan. Contoh jenis

kredit ini adalah kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor yang kesemuanya

untuk dipakai sendiri.15

Menurut Muchdarsyah Sinungan kredit konsumtif adalah kredit yang

dipergunakan oleh peminjam untuk keprluan konsumsi, artinya uang kredit akan

habis terpakai untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kredit produktif

14

Faried Wijaya, et.al., Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank Perkembangan, Teori dan Kebijakan, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, BPFE, Yogyakarta, 1991, hlm. 60.

15

(29)

digunakan untuk kebutuhannya. Sedangkan kredit produktif digunakan untuk

peningkatan usaha baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.16

Kredit Pemilikan Rumah dalam hal ini tergolong dalam kredit konsumtif

di mana pengertian dimana pengertian kredit pemilikan rumah adalah kredit yang

diberikan oleh suatu lembaga keuangan atau bank yang bertindak sebagai kreditur

kepada debitur yang tidak mempunyai dana yang cukup untuk membeli rumah

beserta tanah secara tunai.17

1) Penjual, yaitu pihak yang memiliki rumah baik itu perorangan maupun

pengembang yang menyediakan perumahan dan bermaksud menjual

rumah tersebut kepada yang membutuhkan.

Dengan demikian pengertian Kredit Pemilikan Rumah adalah kredit yang

diberikan oleh bank untuk membantu anggota masyarakat, guna membeli sebuah

rumah berikut tanahnya untuk dimiliki.

Menurut Pasal 43 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011

tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan bahwa pemilikan

rumah sebgaimana disebutkan dalam ayat (1) dapat difasilitasi dengan kredit atau

pembiayaan rumah dan dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.

Ada beberapa pihak yang saling terkait dalam pemberian Kredit Pemilikan

Rumah (KPR), yaitu :

16

Op Cit., hlm 20-21.

17

(30)

2) Pembeli yaitu pihak yang dalam hal ini membutuhkan rumah berikut

tanahnya, tetapi tidak cukuo dananya untuk membeli rumah tersebut

secara tunai.

3) Bank, dalam hal ini pihak yang bersedia menyediakan/menyalurkan

dananya.

B. Analisis Terhadap Permohonan Kredit dan Berakhirnya Perjanjian Kredit

1. Analisis Terhadap Permohonan Kredit

Menurut Kasmir (2003:117-119), prinsip-prinsip pemberian kredit yang

biasa digunakan oleh kreditur, yang biasa dikenal dengan prinsip 5C, 4P yaitu :

1. Karakter (character)

Merupakan sifat atau watak seseorang. Untuk dapat melihat watak atau sifat

dari calon pelanggan dapat dilihat dari latar belakang sipelanggan, baik yang

bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi.

2. Kemampuan (capacity)

Merupakan analisis untuk mengetahui kemampuan debitur dalam membayar

kredit, dari penilaian ini terlihat kemampuan debitur atau pelanggan dalam

mengelola bisnisnya. Kemampuan ini dihubungkan dengan latar belakang

pendidikan dan pengalamannya dalam mengelola usahanya, sehingga akan

(31)

3. Modal (capital)

Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif atau tidak, dapat dilihat dari

laporan keuangan yang disajikan dengan melakukan pengukuran dari segi

likuiditas, solvabilitas dan rentabilitasnya.

4. Kondisi ekonomi (condition of economy)

Dalam menilai pemberian kredit hendaknya juga dinilai dari kondisi ekonomi,

social, dan politik yang ada sekarang dan prediksi yang akan datang.

5. Jaminan (collateral)

Merupakan jaminan yang diberikan oleh pelanggan atau debitur yang bersifat

fisik maupun nonfisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah permohonan

pemberian kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya

dan kesempurnaannya, sehingga jika terjadi suatu masalah maka jaminan yang

dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin.

6. Kepribadian (personality)

Merupakan segi yang subjektif namun menjadi suatu yang penting dalam

penentuan pemberian kredit sehingga perlu dikumpulkan data-data mengenai

calon pelanggan atau debitur tersebut.

7. Tujuan (purpose)

Yang menjadi sorotan dari segi ini yaitu menyangkut tujuan penggunaan

(32)

8. Masa depan (prospect)

Artinya masa depan dari kegiatan yang mendapatkan pemberian kredit

tersebut, adapun unsure-unsur yang dapat menjadi penilaian mengenai masa

depan tersebut diantaranya mengenai pengelolaan bidang usaha, kebijakan

pemerintah dan sebagainya.

9. Cara pembayaran (payment)

Cara pembayarannya, misalya mengenai kelancaran aliran dana (cash flow).

Prinsip-prinsip yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan bahwa

untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu kredit dapat dilihat dari 5 prinsip

yaitu, watak, kemampuan, modal kondisi perekonomian dan jaminan. Dari kelima

prinsip yang telah disebutkan antara lain merupakan bagian yang paling penting

adalah bagi kreditur untuk memberikan kredit ke calon debitur ada pada prinsip

watak, karena watak merupakan sifat dasar yang membuat pola piker seseorang

dan tingkah lakunya menjadi suatu hal yang yang baik atau tidak baik, dalam

proses pemberian kredit ini walaupun calon debitur memenuhi dalam empat

prinsip yang lain tanpa memenuhi prinsip watak akan sulit menagih atau dalam

penyelesian pembayaran kredit suatu saat nanti dikarenakan ada indikasi tidak ada

itikad baik atau bisa disebut masuk ke daftar orang tercela.

Sistem pemberian kredit adalah ketentuan yang dirancang atau dibuat oleh

pihak kreditur dalam proses pemberian kredit dengan maksud mempermudah

(33)

harus dilakukan untuk mencegah resiko kemacetan pelunasan kredit oleh pihak

debitur. Sedangkan menurut Thomas Suyatno, dkk (2007:69) adalah :

”Sistem pemberian kredit adalah cara atau ketentuan-ketentuan yang diberlakukan

dalam proses pemberian kredit. Sistem pemberian kredit ini bertujuan untuk

mempermudah pihak kreditur dalam melakukan penyaluran kredit kepada calon

debitur dan juga untuk menghindari terjadinya penyelewengan serta kemacetan

dalam pelunasan kredit oleh debitur”.

Pengertian yang telah disampaikan di atas, maka dapat diambil suatu

penjelasan bahwa sistem pemberian kredit adalah cara atau ketentuan yang harus

dilalui oleh debitur selaku pemohon dan kreditur selaku pemberi dalam proses

pemberian kredit. Ini bertujuan untuk mengantisipasi agar kegiatan pemberian

kredit tidak melanggar batasan-batasan yang telah di tentukan dan mempermudah

pihak kreditur dalam melakukan penyaluran kredit kepada calon, debitur dan juga

untuk menghindari terjadinya penyelewangan serta kemacetan dalam pelunasan

kredit oleh debitur.

Prosedur pemberian kredit dilakukan dengan beberapa tahap dimana

tujuanya adalah untuk memastikan kelayakan suatu kredit, baik itu diterima atau

ditolak.

Menurut Thomas Suyatno, dkk (2007:69-87), prosedur pemberian kredit

(34)

1. Pengajuan Permohonan Kredit

Pengajuan permohonan kredit ini mencakup permohonan suatu fasilitas

pemberian kredit, persiapan berkas-berkas permohonan kredit, pencatatan suatu

permohonan kredit dan memeriksa kelengkapan berkas permohonan.

2. Penyeleksian Pemberian Kredit

Menurut Djumhana (2000:394) penyeleksian pemberian kredit meliputi 5C, 4P

dan 3R yaitu character, sifat-sifat calon pelanggan seperti kejujuran, perilaku dan

ketaatannya. Capacity (kemampuan), perhatian yang diberikan terhadap

kemampuan calon pelanggan secara umum atau kondisi kekayaan yang dimiliki

perusahaan collateral, jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata calon

pelanggan benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya. Condition,

menunjukkan pengaruh langsung dari tren ekonomi pada umumnya terhadap

perusahaan yang bersangkutan yang mungkin mempunyai kemampuan pelanggan

dalam memenuhi kewajibannya.

Personality atau kepribadian calon pelanggan merupakan segi yang subjektif

namum menjadi suatu yang penting dalam penentuan pemberian kredit. Purpose

(tujuan), yang menjadi sorotan dari segi ini yaitu menyangkut tujuan penggunaan

kredit tersebut tidak mengandung unsure spekulatif. Prospect atau masa depan

dari kegiatan yang mendapatkan pemberian kredit tersebut, adapun unsur-unsur

yang dapat menjadi penilaian mengenai prospek tersebut yaitu bidang usaha,

kebijakan pemerintah dan sebagainya. Payment atau cara pembayarannya,

(35)

Return atau balikan maksudnya yaitu hasil yang akan dicapai dari pemberian

kredit tersebut. Repayment atau perhitungan pembayaran dari pemberian kredit

tersebut. Risk bearing ability atau perhitungan besarnya kemampuan calon

pelanggan dalam menghadapi resiko yang tidak terduga.

3. Keputusan Atas Permohonan Kredit

Dalam hal ini, yang dimaksud dalam keputusan atas permohonan kredit adalah

menyetujui dan atau mengusulkan permohonan pemberian kredit, harus

memperhatikan syarat-syarat umum dalam tahap penyeleksian calon pelanggan.

4. Pelunasan Pemberian Kredit

Dipenuhinya semua kewajiban hutang pelanggan terhadap perusahaan yang

berkaitan.

Pendapat yang telah diuraikan di atas mengenai prosedur pemberian

kredit, maka dapat diambil kesimpulan bahwa prosedur yang harus dilalui dalam

proses pemberian kredit yaitu pengajuan pemberian kredit, penyeleksian dan

analisis data, keputusan atas permohonan kredit, dan pelunasan pemberian kredit.

Pada pengajuan pemberian kredit tahap ini dilakukan secara tertulis dan ditujukan

ke pihak kteditur, penyeleksian dan anlisis data menggunakan penilaian character,

capacity, capital, collateral dan condition (5C), keputusan atas permohonan kredit

yaitu menyetujui permohonan kredit dengan memperhatikan syarat-syarat umum

tahap penyeleksian calon pelanggan, dan yang terakhir pelunasan pemberian

(36)

secara tertulis perjanjiannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku setelah proses

tersebut baru pihak debitur mendapatkan fasilitas kredit yang diinginkan.

2. Berakhirnya Perjanjian Kredit

Suatu perjanjian dapat hapus selain atas persetujuan dari kedua belah

pihak, juga dapat hapus karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang yang

dinyatakan cukup untuk itu.

Dalam prakteknya, perjanjian kredit bank itu hapus karena:

a. Ditentukan oleh para pihak di dalam perjanjian

b. Adanya pembatalan oleh salah satu pihak terhadap perjanjiannya.

c. Adanya pernyataan penghentian perjanjian secara sepihak oleh bank.

Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan:18

1) Pembayaran.

2) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.

3) Pembaharuan utang.

4) Perjumpaan hutang atau kompensasi

5) Pencampuran utang.

6) Pembebasan utang

7) Musnahnya barang yang terutang.

8) Batal/pembatalan

9) Berlakunya syarat batal

18

(37)

10)Lewatnya waktu

Dalam Pasal 1381 KUHPerdata mengatur berbagai cara hapusnya

perikatan untuk untuk perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang dan

cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah bersifat

membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan

suatu perikatan.

Juga cara-cara yang tersebut dalam Pasal 1381 KUHPerdata itu tidaklah

lengkap, karena tidak mengatur misalnya hapusnya perikatan, karena

meninggalnya seorang dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat

dilaksanakan oleh salah satu pihak. Lima cara pertama yang tersebut di dalam

Pasal KUHPerdata menunjukkan bahwa kreditur tetap menerima prestasi dari

debitur.

Cara keenam yaitu pembebasan utang, maka kreditur tidak menerima

prestasi, bahkan sebaliknya, yaitu secara sukarela melepaskan haknya atas

prestasi. Pada empat cara terakhir dari Pasal 1381 KUHPerdata maka kreditur

tidak menerima prestasi, karena perikatan tersebut gugur ataupun dianggap telah

gugur. Untuk mengetahui di manakah pengaturan dari berlakunya syarat batal,

sebagai salah satu cara hapusnya perikatan maka kita harus melihat kepada Bab I

KUHPerdata yaitu berturut-turutnPasal 1253 dan seterusnya dan pasal 1266

(38)

C. Pengertian Hak Tanggungan, Dasar Hukum, serta Asas-Asas Hak Tanggungan

1. Pengertian Hak Tanggungan

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang

yang dijadikan sebagai jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya

tanggungan atas pinjaman yang diterima (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

1989:899). Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

disebutkan pengertian hak tanggungan. Yang dimaksud kan dengan hak

tanggungan adalah :

“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan

satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur

lainnya.”

Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian hak tanggungan disajikan sebagai

berikut ini.

1. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah

Yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan

yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur yang memberikan

wewenang kepadanya untuk, jika debitur cedera janji, menjual lelang

(39)

mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya

tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain (droit de

preference). Selain berkedudukan mendahulu, kreditur pemegang hak

jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil pemjualan

tersebut, sungguhpun tanah yang bersangkutan sudah dipindahkan kepada

hak lain (droit de suite). 19

2. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak tanggungan

dapat dibebankan pada hak atas tanah semata-mata, tetapi dapat juga hak

atas tanah tersebut berikut dengan benda-benda yang ada di atasnya.

3. Untuk pelunasan hutang tertentu

Maksud untuk pelunasan hutang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat

membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitur yang ada pada

kreditur.

4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu

terhadap kreditur-kreditur lainnya.

Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu

terhadap kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference.

Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan Pasal 20 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang berbunyi : “Apabila debitur cedera

janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang

dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan

19

(40)

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan terebut, dengan hak

mendahulu daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan

atau kreditur pemegang hak tangungan dengan peringkat yang lebih rendah”. Hak

yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.

Prof. Budi Harsono mengartikan Hak Tanggungan adalah :

“Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk

berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk

dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur

cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian pembayaran

lunas hutang ebitur kepadanya”.20

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada

pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;

Esensi dari definisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono

adalah pada penguasaan hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah merupakan

wewenang untuk menguasai hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah oleh

kreditur bukan untuk menguasai secara fisik, namun untuk menjualnya jika

debitur cedera janji.

Dari uraian dan paparan di atas, dapatlah dikemukakan cirri hak tanggungan

adalah :

2. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapa pun benda itu

berada atau disebut dengan Droit de suit. Keistimewaan ini ditegaskan

20Ibid

(41)

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Biarpun objek hak

tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur

pemegang hak tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnyamelalui

pelelangan umum jika debitur cedera janji;

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak

ketiga dan memberikan kepastian hokum bagi pihak yang berkepentingan;

dan

4. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada

kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.

Selain ciri-ciri di atas, keistimewaan kedudukan hukum kreditur pemegang

hak tanggungan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

berbunyi: “Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, objek hak

tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan,

sebelum kreditur pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan objek hak tanggungan itu.

2. Dasar Hukum Hak Tanggungan

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembebanan hak atas

tanah adalah Bab 21 Buku II KUH Perdata yang berkaitan dengan hipotek dan

(42)

Staatsblad 1937-190. Kedua ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena

tidak sesuai dengan kebutuhan kegiatan perkreditan di Indonesia. Ketidaksesuaian

ini karena pada undang-undang lama yang dapat dijadikan objek hipotek dan

credietverband hanyalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan,

sedangkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang menjadi objek hak

tanggungan tidak hanya ketiga hak atas tanah tersebut, tetapi ditambah dengan

hak pakai dan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang

telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan

merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan

tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.

Lahirnya Undang-Undang tentang hak tanggungan karena adanya perintah

dalam Pasal 51 UUPA. Pasal 51 UUPA berbunyi “Hak Tanggungan yang dapat

dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut

dalam Pasal 25, Pasal 33,dan Pasal 39 diatur dalam undang-undang.” Tetapi

dalam Pasal 57 UUPA disebutkan bahwa selama undang-undang hak tanggungan

belum terbentuk maka digunakan ketentuan tentang hipotek sebagaimana yang

diatur di dalam KUH Perdata dan Credietverband. Perintah Pasal 51 UUPA baru

terujud setelah menunggu selama 36 tahun. Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 terdiri atas 11 bab dan 31 pasal. Ada 4 pertimbangan dibentuknya

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yaitu:

1. Bahwa bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik

berat pada bidang ekonomi dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar,

(43)

kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat

mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk

mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945;

2. Bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sampai dengan saat ini, ketentuan

yang lengkap mengenai hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan

yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda

yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk;

3. Bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana yang diatur dalam

Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang

mengenai tanah, dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad

1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang

berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan sementara

sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang hak tanggungan,

dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan,

sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia;

4. Bahwa mengingat perkembangan yang telah dan akan terjadi bidang

pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat banyak, selain hak milik, hak guna usaha, dan hak

guna bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek hak tanggungan oleh

(44)

Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan

menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan

untuk dibebani hak tanggungan;

5. Bahwa berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu dibentuk

undang-undang yang mengatur hak tanggungan atas tanah beserta

benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, adalah

meliputi

1. Ketentuan umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996);

2. Objek Hak Tanggungan (Pasal 3 sampai dengan Pasal 7

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

3. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8 sampai dengan

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

4. Tata Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan, dan Hapusnya Hak

Tanggungan (Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996);

5. Eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 20 sampai dengan Pasal 21

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

6. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4

(45)

7. Sanksi Administrasi (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

8. Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal 26

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

9. Ketentuan penutup (Pasal 27 sampai dengan pasal 31 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996).

Kebendaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 mengakhiri dualism

hukum yang berlaku dalam pembebanan hak atas tanah. Secara formal

pembebanan hak atas tanah berlaku ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

UUPA, tetapi secara materiil berlaku ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam

Bab 21 Buku II KUH Perdata dan Credietverband.

3. Asas-Asas Hak Tanggungan

Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

dikenal beberapa asas hak tanggungan. Asas-asas itu disajikan berikut ini.

1. Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang hak

tanggungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

2. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1)) Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996);

3. Hanya dibebani pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

4. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang

berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat(4) Undang-Undang Nomor 4

(46)

5. Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru

aka nada dikemudian hari (Pasal 4ayat (4) Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996). Dengan syarat diperjanjikan dengan tegas;

6. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1), Pasal

18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

7. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1))

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

8. Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996);

9. Mengikuti objek dalam tangan siapa pun objek itu berada (Pasal 7

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

10.Tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan;

11.Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

12.Wajib didaftarkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

13.Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;

14.Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);

Di samping itu, dalam undang-undang hak tanggungan ditentukan juga

suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki

oleh pemegang hak tanggungan bila pemberi hak tanggungan cedera janji.

(47)

artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan

dengan substansi undang-undang hak tanggungan.

D. Objek dan Subjek Hukum Hak Tanggungan serta Tahap-tahap pemberian (pembebanan) Hak Tanggungan

1. Objek Hukum Hak Tanggungan

UUPA mengenal hak jaminan atas tanah, yang dinamakan Hak

Tanggungan. Menurut UUPA, Hak Tanggungan dapat dibebankan di atas tanah

Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33) dan Hak Guna Bangunan (Pasal

39). Menurut Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan akan diatur dengan

undang-undang yakni, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, hal tersebut

terwujudlah suatu hukum jaminan nasional, seperti yang diamanatkan di dalam

Pasal 51 UUPA tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, objek yang dapat

dibebani dengan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-benda

yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan

tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan

adalah sebagai berikut : a) Hak Milik, b) Hak Guna Usaha, c) Hak Guna

Bangunan, d) Hak Pakai Atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang

berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipidahkan tangankan, e) Hak

Ha katas tanah berikut bangunan, tanaman, hasil karya yang telah ada atau aka

(48)

milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas

dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Khususnya hak pakai, dalam kenyataannya tidak semua Tanah Hak Pakai

Atas Tanah Negara dapat dijadikan objek Hak Tanggungan. Ada Tanah Hak Pakai

Atas Tanah Negara yang walaupun telah terdaftar, tetapi karena sifatnya tidak

dapat dipindahtangankan, seperti Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak Pakai atas

nama badan keagamaandan social dan Hak Pakai atas nama Perwakilan Negara

Asing, yang berlakunya tidak ditentukan jangka waktunya dan diberikan selama

tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu (khusus), adalah bukan

merupakan objek Hak Tanggungan. Adapun Hak Pakai Atas Tanah Negara yang

dapat dipindahtangankan meliputi Hak Pakai yang diberikan krpada orang

perseorangan atau badan hukum untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan

dalam keputusan pemberiannya, dapat dijadikan objek Hak Tanggungan.

Salah satu subjek Hak Pakai adalah orang asing, tetapi tidak semua orang

asing dapat ditunjuk sebagai subjek Hak Pakai. Hanya orang asing yang

berkedudukan di Indonesia sajalah yang dapat sebagai subjek Hak Pakai.

Pengertian berkedudukan di Indonesia bila diartiakn secara sempit adalah

bertempat tinggal tetap di Indonesia dan bukan sekedar berada di Indonesia pada

waktu-waktu tertentu saja. Bertempat tinggal tetap tidak berarti ia harus

terus-menerus berada di Indonesia. Walaupun demikian tempat tinggalnya harus di

Indonesia, bukan di negara lain. Tujuan utama diterbitkannya Peraturan

Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tersebut bukan dalam rangka meningkatkan

(49)

orang asing untuk medapatkan/memiliki rumah di Indonesia. Tentunya

persyaratan “bermanfaat bagi pembangunan nasional” harus diartikan secara luas,

demikian juga dengan pengertian “berkedudukan di Indonesia” tidak harus

diartikan bertempat tinggal tetap atau sementara di Indonesia asalkan orang asing

tersebut kehadirannya di Indonesia dapat memberikan manfaat bagi pembangunan

nasional.

Apapun bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah tersebut tidak dimiliki oleh pemegang hakatas tanah,

pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan

dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang

bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan

akta autentik.

Pada prinsipnya, objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang

memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan (untukmemenuhi publisitas)

dan dapat dipindahtangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang

yang dijamin pelunasannya.

Sesuai dengan amanat Pasal 51 UUPA, ha katas tanah yang ditunjuk

sebagai objek Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak

Guna Bangunan. Di dalam perkembangan kemudian,yaitu menurut Peraturan

Menteri Agraria No 1 Tahun 1966 tanggal 5 januari 1966, Hak Pakai Atas Tanah

Negara juga wajib didaftarkan, sehingga Hak Pakai tersebut dapat dialihkam.

(50)

atas Tanah Negara tertentu yang memenuhi kedua syarat tersebut juga dapat

dijadikan objek Hak Tanggungan

Di samping Hak Pakai atas Tanah Negara, juga ada kemungkinan Hak

Pakai terjadi di atas tanah Hak Milik yang sementara ini belum diatur, tetapi oleh

Undang-Undang Hak Tanggungan dibuka kemungkinannya untuk dapat dijadikan

objek Hak Tanggungan apabila telah meemnuhi kedua syarat tersebut di atas.

Mengenai hal ini akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat (3) UU

No 4 Tahun 1996).

Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

(Undang-Undang Hak Tanggungan) ditegaskan bahwa terhadap tanah Hak Milik

yang sudah diwakafkan dan tanah-tanah yang digunakan untuk keperluan

peribadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun memenuhi kedua persyaratan

tersebut, karena kekhususan sifat dan tujuan penggunaannya, tidak dapat dijadikan

Hak Tanggungan. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996 tersebut juga dijelaskan bahwa Hak pakai atas Tanah Negara yang

diberikan kepada orang perorangan atau badan hukumperdata, karena memenuhi

kedua syarat tersebut di atas, dapat dijadikan objek Hak Tanggungan.

Hak Pakai atas Tanah Negara yang diberikan kepada intansi Pemerintah,

Badan Keagamaan dan Sosial, dan Perwakilan Negara Asing walaupun wajib

didaftarkan, tetap karena menurut sifatnya tidak dapat dipindahtangankan, bukan

(51)

2. Subjek hukum dalam Hak Tanggungan

Subjek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dalam kedua

pasal itu ditentukan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum dalam pembedaan

Hak Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan adalah pemberi Hak

Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan dapat

perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan

perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan

terdiri dari perorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak

berpiutang. Biasanya dalam praktik pemberi Hak Tanggungan disebut dengan

debitur, yaitu orang yang meminjamkan uang di lembaga perbankan, sedangkan

penerima Hak Tanggungan disebut dengan istilah kreditur, yaitu orang atau badan

hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.21

3. Tahap-tahap pemberian (pembebanan) Hak Tanggungan

Undang-undang Hak Tanggungan menggunakan istilah pemberian

sedangkan Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Menteri Agraria No. 15

Tahun 1961 Pasal 3 menggunakan istilah Pemberian dan Pemasangan. Menurut

Mariam Darus Badrulzaman :

“Istilah pembebanan mempunyai arti identik dengan pemberian dan pemasangan.

Pemberian Hak Tanggungan adalah perjanjian kebendaan yang terdiri dari

21

(52)

rangkaian perbuatan hukum dari Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

sampai dilakukan pendaftaran dengan mendapatkan sertifikat Hak Tanggungan

dari Kantor Pertanahan”.22

a. Adanya Perjanjian Kredit

Rangkaian perbuatan hukum pemberian atau pembebanan Hak

Tanggungan memerlukan beberapa tahapan sebagai berikut:

Dibuatnya perjanjian pokok berupa penjanjian kredit atau perjanjian

pinjam uang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan pinjam

meminjam uang antara kreditur dengan debitur. Hal ini sesuai sifat accesoir dari

Hak Tanggungan yang pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian

pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang atau perjanjian lain yang

menimbulkan utang.

Pasal 10 ayat (1) UUHT mengatakan :

“Bahwa Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan

Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di

dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang

bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut”.

Dalam perjanjian kredit, baru berupa janji untuk memberikan Hak

Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertebtu sedangkan pemberian

22

(53)

Hak Tanggungan akan dilakukan dengan akta tersendiri yang disebut Akta

Pemberian Hak Tanggungan (APHT yag dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT)).

Perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau perjanjian hutang

yang menimbulkan hutang bentuknya:

1. Dapat dibuat dengan akta di bawah tangan artinya dibuat oleh kreditur dan

debitur atau akta otentik artinya dibuat olrh dan dihadapan notaries.

2. Perjanjian kredit atau perjanjian utang dapat dibuat oleh orang perorangan

atau badan hukum asing sepanjang kredit digunakan untuk kepentingan di

wilayah Republik Indonesia.

3. Mengenai tempatnya perjanjian kredit dapat dibuat di dalam/di luar negeri.

b. Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

Pembebanan Hak Tanggungan yang ditandai dengan Pembuatan Akta

Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dibuat oleh PPAT yang ditandatangani

kreditur sebagai penerimaan Hak Tanggungan dan pemilik hak atas tanah

yang dijaminkan (debitur atau pemilik jaminan tapi bukan debitur). Bentuk

Akta Pembebanan Hak Tanggungan adalah Akta otentik yang dibuat oleh dan

dihadapan PPAT. Akta APHT merupakan bentuk standart yang dikeluarkan

oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dipergunakan oleh PPAT.

Pasal 10 ayat (2) UUHT menegaskan pemberian Hak Tanggungan

dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai

Referensi

Dokumen terkait

Adapun permasalahan kedudukan para pihak dalam perjanjian baku Kredit Pemilikan Rumah pada PT. Bank Mandiri Cabang Medan. Faktor penyebab debitur tidak melaksanakan kewajibannya

Adapun permasalahan kedudukan para pihak dalam perjanjian baku Kredit Pemilikan Rumah pada PT. Bank Mandiri Cabang Medan. Faktor penyebab debitur tidak melaksanakan kewajibannya

Perjanjian KPR (Kredit Pemilikan Rumah) adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada debitur untuk dipergunakan membeli atau membayar sebuah bangunan untuk rumah tinggal berikut

Yang menjadi pihak dalam Kredit Pemilikan Rumah Bank Sumut Cabang Kabanjahe adalah debitur dan Kreditur yaitu Bank Sumut,calon debitur harus memenuhi syarat, yaitu Warga

Pelaksanaannya dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sering terdapat permasalahan antara lain: pemindahan hak atas objek KPR, yang dilakukan di bawah tangan oleh

Perjanjian jual- beli rumah secara kredit pemilikan rumah (KPR) dilaksanakan dengan itikad baik dan sesuai dengan kesepakatan yang telah di setujui oleh kedua belah pihak.

Permasalahan yang diambil dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana tanggung jawab developer dalam perjanjian pengikatan jual beli perumahan pada Perumahan Graha

Tabel 4.4 : Ringkasan Perbandingan Kesesuaian Pengungkapan dengan PSAK 102 Tentang Pembiayaan Murabahah di Bank Muamalat 114 Tabel 4.5 : Tabel Angsuran Kredit Pemilikan