• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan tanah optimum pada budidaya tebu lahan kering

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengolahan tanah optimum pada budidaya tebu lahan kering"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

PADA BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING

GATOT PRAMUHADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

GATOT PRAMUHADI. Pengolahan Tanah Optimum pada Budidaya Tebu Lahan Kering. Dibimbing oleh EDUARD NAMAKEN SEMBIRING, RADITE PRAEKO AGUS SETIAWAN, dan MUHAMMAD ACHMAD CHOZIN.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara jenis dan intensitas pengolahan tanah dengan densitas dan tahanan penetrasi tanah, dan dengan pertumbuhan dan produksi tebu, menentukan kisaran densitas dan tahanan penetrasi tanah optimum, dan menentukan metode pengolahan tanah optimum (efektif dan efisien) pada budidaya tebu lahan kering.

Penelitian dilaksanakan di areal kebun tebu lahan kering PT Gula Putih Mataram, Lampung Tengah mulai dari awal September 2002 hingga akhir Januari 2004. Enam metode pengolahan tanah diaplikasikan, dan dilakukan pengukuran kondisi sifat fisik-mekanik tanah, unjuk kerja alat dan mesin pengolahan tanah, serta secara periodik diukur dan diamati pertumbuhan tebu hingga saat panen, dan dilanjutkan hingga ratoon 6 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi metode pengolahan tanah dengan intensitas semakin tinggi menghasilkan produktivitas tebu dan gula sampling yang semakin rendah, dan biaya konsumsi bahan bakar yang semakin tinggi, sehingga menyebabkan hasil pengolahan tanahnya semakin tidak efektif dan semakin tidak efisien. Metode pengolahan tanah dengan intensitas pengolahan tanah minimum menghasilkan densitas dan tahanan penetrasi tanah optimum yang menyebabkan produktivitas tebu dan gula sampling mencapai maksimum, tetapi pertumbuhan gulma dan biaya konsumsi bahan bakarnya minimum, sehingga menghasilkan pengolahan tanah paling efektif dan efisien.

Kisaran densitas dan tahanan penetrasi tanah optimum untuk pertumbuhan dan produksi tebu maksimum, serta untuk pertumbuhan gulma minimum, adalah sebesar 1.20 -1.30 g/cc dan 6.00-14.00 kgf/cm2, yang diperoleh dengan cara mengaplikasikan metode pengolahan tanah minimum untuk tebu, yaitu metode “subsoiling – plowing – harrowing – furrowing”.

(3)

ABSTRACT

GATOT PRAMUHADI. Optimum Soil Tillage on Dry Land Sugarcane Cultivation. Under the direction of EDUARD NAMAKEN SEMBIRING, RADITE PRAEKO AGUS SETIAWAN, and MUHAMMAD ACHMAD CHOZIN.

The objectives of the research were to study the relationship between soil tillage kind and intensities and soil density and penetration resistance, and sugarcane growth and productivity, to determine the range of optimum soil density and penetration resistance, and to determine optimum soil tillage method on dry land sugarcane cultivation.

The research was conducted on dry land sugarcane field at Gula Putih Mataram Company, Central Lampung. It was conducted at the beginning of September 2002 until the ending of January 2004. Six soil tillage methods were applied, and soil physical-mechanical properties and tractor and implement performance were measured and calculated. Sugarcane growth was monitored periodically until the harvesting time and it was continued until six month after harvest.

The results showed that the increasing of soil tillage intensities would increase fuel consumption cost, but it decreased the sampling average of sugarcane and sugar productivities, so it caused ineffective and in efficiency soil tillage method. The application of soil tillage method with minimum intensities would result in optimum soil density and penetration resistance that caused maximum sugarcane growth and production, but it caused minimum weeds growth and fuel consumption cost, so it produced the most optimum soil tillage method.

The ranges of optimum soil density and penetration resistance for resulting maximum sugarcane and sugar productivities and minimum weeds growth were 1.20-1.30 g/cc and 6.00-14.00 kgf/cm2. It was obtained by applying the soil tillage method of “subsoiling-plowing-harrowing -furrowing” on dry land sugarcane cultivation.

(4)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengolahan Tanah Optimum pada Budidaya Tebu Lahan Kering adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dic antumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2005 Gatot Pramuhadi

(5)

PENGOLAHAN TANAH OPTIMUM

PADA BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING

GATOT PRAMUHADI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Teknik Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Disertasi : Pengolahan Tanah Optimum Pada Budidaya Tebu Lahan Kering Nama : Gatot Pramuhadi

NIM : P13600002

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Eduard Namaken Sembiring, M.S. Ketua

Dr.Ir. Radite Praeko A. Setiawan, M.Agr. Prof.Dr.Ir.M. Achmad Chozin, M.Agr. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Keteknikan Pertanian

Prof.Dr.Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr. Prof.Dr.Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLOH SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengolahan tanah dengan judul Pengolahan Tanah Optimum pada Budidaya Tebu Lahan Kering.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Eduard Namaken Sembiring, M.S., Dr. Ir. Radite Praeko Agus Setiawan, M.Agr., dan Prof. Dr. Ir. Muhammad Achmad Chozin, M.Agr. selaku komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam penulisan disertasi ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Ir. Ishar Madi, M.S., Ir. M. Asrul Hasibuan, Dr. Ir. Suprajitno Lamadji, M.S., Ir. Muzni Jamhur, Amroni, dan Suparmo beserta staf dan tenaga lap ang harian Divisi Penelitian dan Pengembangan PT Gula Putih Mataram, Ir. C. Sudrajat Widiarso, Bapak Puguh Santoso Adi, Ir. Agus Rizal, Ir. Suharyanto beserta staf dan tenaga lapang harian Divisi I PT Gula Putih Mataram, yang telah membantu selama pengumpulan data, serta seluruh staf dan direksi PT Gula Putih Mataram yang telah memberikan sarana dan fasilitas memadai selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, anak -anak, serta seluruh keluarga dan handai taulan, atas segala doa, kasih sayang, dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Semoga hasil-hasil yang dituangkan dalam disertasi ini bermanfaat. Saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan sebagai masukan yang progresif untuk melakukan penelitian -penelitian sejenis ini pada masa yang akan datang.

Bogor, Desember 2005

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 18 Juli 1965 sebagai anak kedua dari pasangan Soedarsono dan Kiptijah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Mekanisasi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian pada Program Magister, Program Pascasarjana, IPB Bogor dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama pada tahun 2000. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) DIKTI.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar (dosen) pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor sejak tahun 1992 hingga sekarang. Bidang pengajaran dan penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis ialah Mekanisasi Pertanian, terutama pada bidang pengolahan tanah.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………... x

DAFTAR GAMBAR ……….………. xi

DAFTAR LAMPIRAN ………... xiv

PENDAHULUAN ……….. 1

Latar Belakang ……… 1

Tujuan Penelitian ………. 4

Hipotesis ……….. 4

Manfaat Hasil Penelitian ………. 5

TINJAUAN PUSTAKA ……….. 6

Botani Tebu ………. 6

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Produksi Tebu … 11

Faktor Tanah ... 12

Faktor Iklim ... 28

Faktor Tanaman ... 28

Faktor Tindakan Budidaya Pertanian ... 33

BAHAN DAN METODE ……… 44

Waktu dan Tempat Penelitian ……….… 44

Bahan dan Peralatan Penelitian ………... 44

Metode Penelitian ……… 46

Prosedur Pengukuran Variabel Penelitian ………... 58

Analisis Data Penelitian ……….. 59

HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 61

Kondisi Umum Wilayah Penelitian ……….… 61

Sifat Fisik-Mekanik -Kimia Tanah ... 64

Hasil Unjuk Kerja Alat dan Mesin Pengolahan Tanah ... 80

Pertumbuhan dan Produksi Tebu ……… 84

Hubungan Antara Densitas dan Tahanan Penetrasi Tanah dengan Variabel Pertumbuhan dan Produksi Tebu ……….. 102

Densitas dan Tahanan Penetrasi Tanah Optimum ……….. 106

Metode Pengolahan Tanah Optimum ………. 107

SIMPULAN ……….……… 109

SARAN ……… 110

DAFTAR PUSTAKA ……….. 111

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Hubungan densitas tanah dan laju pemanjangan akar tebu

(Trouse 1965) ………... 18

2 Hubungan tekstur, densitas, dan porositas tanah (Thompson 1957) …... 20 3 Efek lengas tanah terhadap konsistensi tanah berkadar liat sedang hingga

tinggi (Kohnke 1968) ………... 27

4 Penutupan gulma di lahan konversi PTP IX (Tarmani et al. 1984) ……. 32 5 Peralatan, instrumen, dan mesin untuk penelitian ………... 45 6 Data-data primer, sekunder, dan hasil wawancara yang digunakan dalam

penelitian ……….. 54

7 Variabel (peubah) yang digunakan dalam penelitian ………... 55 8 Kedalaman tanah dan jumlah titik pengukuran, serta lokasi pengambilan

sampel untuk menentukan sifat fisik-mekanik-kimia tanah pada saat

sebelum dan sesudah dilakukan pengolahan tanah ... 56 9 Produktivitas tebu dan gula GPM Group tahun giling 1998-2002

(GPM Group 2003) ……….. 63

10 Produktivitas tebu varietas TC-9 GPM Group tahun giling 1998-2002

(GPM Group 2003) ……….. 63

11 Sifat fisik -mekanik-kimia tanah sebelum pengolahan tanah …………... 65 12 Nilai rata-rata sifat fisik-mekanik tanah pada saat sebelum dan sesudah

pengolahan tanah ... 66 13 Gulma-gulma yang tumbuh di sekitar tanaman tebu ………... 93 14 Frekuensi pemunculan spesies gulma di sekitar tebu di areal kebun II .. 95 15 Nilai densitas dan tahanan penetrasi tanah yang memberikan nilai

variabel pertumbuhan dan produksi tebu minimum dan maksimum ... 102 16 Hasil perhitungan untuk menentukan metode pengolahanan tanah

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Akar baru berkembang ketika batang tebu ditanam (Humbert 1968) …... 7 2 Sistem perakaran tebu: s = superficial roots, b = buttress roots, dan r =

rope systems (Van Dillewijn 1952) ……… 8 3 Ilustrasi posisi tunas-tunas tebu ratoon pertama (R I) dan ratoon kedua (R

II) yang lebih tinggi dibanding tunas tebu sebelumnya (P) yang berasal

dari stek asal (C) (Van Dillewijn 1952) ……….………… 9 4 Bagian-bagian batang tebu (Humbert 1968) ………. 10 5 Periode pertumbuhan total tebu varietas POJ 2878; ordinat adalah panjang

batang dan absis adalah bulan (Van Dillewijn 1952) ………. 11 6 Isogram tegangan normal rata-rata di bawah ban dan track (Reaves dan

Cooper 1960) ……….. 17

7 Hubungan antara hasil bahan kering jagung dan densitas tanah pada kedalaman 0-20 cm pada: (a) tanah liat (McKyes et al. 1979), dan (b)

tanah lempung berpasir (Negi et al. 1981) ………. 19 8 Akar dan rambut akar tumbuh di antara partikel tanah (Plaster 1992) ….. 21 9 Efek tahanan penetrasi tanah terhadap penembusan akar -akar kapas

(Gossypium hirsutum L.) di Quinlan, Columbia, Naron, dan Miles (Taylor et al. 1966) ……….. 23 10 Daya kecambah (seedling emergence) biji sorghum yang dipengaruhi oleh

tahanan penetrasi tanah, waktu setelah tanam, dan suhu tanah (Parker dan

Taylor 1965) ………... 24

11 Hubungan antara tahanan penetrasi tanah dan produktivitas biji kapas

(Carter et al. 1965) ………. 24

12 Efek lengas tanah terhadap konsistensi tanah (Kohnke 1968) …………... 27 13 Diagram profil lapisan tanah hasil pengolahan tanah (Trouse dan B aver

1965) ... 41 14 Bagan rancangan penelitian untuk menentukan metode pengolahan tanah

optimum pada budidaya tebu lahan kering ……….……… 47 15 Penentuan lokasi titik-titik pengambilan sampel (X) di areal kebun I pada

saat: sebelum pengolahan tanah (a), dan sesudah pengolahan tanah (b) …. 51 16 Penentuan lokasi titik-titik pengambilan sampel (X) di areal kebun II pada

saat sebelum pengolahan tanah ……….. 52

17 Penentuan lokasi titik-titik pengambilan sampel (X) di areal kebun II pada

(12)

Halaman

18 Pola overlapping alteration pada kegiatan pengolahan tanah ……… 57 19 Pola headland from center pada kegiatan pengolahan tanah ………. 57 20 Curah hujan dan hari hujan di sekitar areal lahan penelitian ………. 61 21 Hubungan antara densitas tanah dan tahanan penetrasi tanah pada saat

sebelum dan sesudah pengolahan tanah ………. 68 22 Hubungan antara jumlah lintasan roda traktor dan densitas tanah ………. 69 23 Densitas tanah hasil aplikasi metode pengolahan tanah ………. 70 24 Densitas tanah sebelum dan sesudah pengolahan tanah di areal kebun II ... 71 25 Porositas tanah sebelum dan sesudah pengolahan tanah di areal kebun II .. 71 26 Tahanan penetrasi tanah pada kedalaman 0-30 cm pada saat sebelum dan

sesudah pengolahan tanah di areal kebun II ………... 72 27 Hubungan antara intensitas pengolahan tanah dan densitas tanah rata-rata

hasil pengolahan tanah ………... 74

28 Hubungan antara intensitas pengolahan tanah dan tahanan penetrasi tanah rata-rata hasil pengolahan tanah ………. 75 29 Kadar air tanah (% berat) selama masa penelitian di areal kebun II …….. 76 30 Kadar air tanah (% volume) selama masa penelitian di areal kebun II ….. 77 31 Tahanan penetrasi tanah selama masa penelitian di areal kebun II ……… 77 32 Densitas tanah selama masa penelitian di areal kebun II ………... 78 33 Porositas tanah selama masa penelitian di areal kebun II ……….. 78 34 Hubungan antara kadar air tanah dan tahanan penetrasi tanah selama masa

penelitian tebu di areal kebun II ………. 79 35 Hubungan antara densitas tanah dan tahanan penetrasi tanah selama masa

penelitian tebu di areal kebun II ………. 80 36 Waktu operasi pengolahan tanah pada berbagai metode dan intensitas

pengolahan tanah di areal kebun II ………. 81 37 Konsumsi bahan bakar per satuan luas tanah terolah pada berbagai metode

dan intensitas pengolahan tanah di areal kebun II ……….. 82 38 Jumlah tunas tebu muncul pada berbagai metode dan intensitas

pengolahan tanah di areal kebun II ………. 84 39 Panjang akar tebu p ada berbagai metode dan intensitas pengolahan tanah

(13)

Halaman

40 Bobot kering akar tebu pada berbagai metode dan intensitas pengolahan

tanah di areal kebun II ……… 87

41 Tinggi batang tebu hingga umur ratoon 6 bulan di areal kebun II ………. 88 42 Diameter batang tebu hingga umur ratoon 6 bulan di areal kebun II ……. 88 43 Tinggi batang tebu pada berbagai metode dan intensitas pengolahan tanah

di areal kebun II ... 89 44 Diameter batang tebu pada berbagai metode dan intensitas pengolahan

tanah di areal kebun II ……… 90

45 Jumlah anakan tebu hingga umur ratoon 6 bulan di areal kebun II ……... 91 46 Jumlah anakan tebu pada berbagai metode dan intensitas pengolahan

tanah di areal kebun II ……… 92

47 Penutupan gulma hingga umur tebu ratoon 6 bulan di areal kebun II …... 94 48 Bobot kering biomassa gulma hingga umur tebu ratoon 6 bulan di areal

kebun II ………... 94

49 Penutupan gulma pada berbagai metode dan intensitas pengolahan tanah

di areal kebun II ……….. 96

50 Bobot kering biomassa gulma pada berbagai metode dan intensitas

pengolahan tanah di areal kebun II ………. 97 51 Produktivitas tebu sampling pada berbagai metode dan intensitas

pengolahan tanah di areal kebun II ………. 99 52 Produktivitas gula sampling pada berbagai metode dan intensitas

pengolahan tanah di areal kebun II ………. 100 53 Hubungan antara jumlah tunas tebu muncul (JTM) dan produktivitas tebu

sampling (PTS) di areal kebun II ……… 101 54 Hubungan antara jumlah anakan tebu (JAT) dan produktivitas tebu

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta topografi areal lahan penelitian di 76TU40, Blok 48, Rayon I, PT

Gula Putih Mataram, Lampung Tengah ……….. 117 2 Spesifikasi implemen pengolahan tanah ……….. 118 3 Spesifikasi mesin pengolahan tanah (traktor) ……….. 119 4 Variabel-variabel penelitian dan prosedur pengukuran untuk menentukan

sifat fisik-mekanik tanah ...………... 120 5 Variabel-variabel penelitian dan prosedur pengukuran untuk menentukan

unjuk kerja alat dan mesin pengolah tanah ... 121 6 Variabel-variabel penelitian dan prosedur pengukuran untuk menentukan

pertumbuhan tebu dan gulma ...………... 122 7 Variabel-variabel penelitian dan prosedur pengukuran untuk menentukan

produktivitas tebu dan gula ... 124 8 Hasil uji kompaksi Proctor pada berbagai kedalaman tanah ………. 125 9 Kondisi sifat fisik -mekanik tanah sebelum pengolahan tanah ………….. 128 10 Kondisi sifat fisik -mekanik tanah sesudah pengolahan tanah …………... 129 11 Tahanan penetrasi tanah rata-rata sebelum dan sesudah diolah ………… 130 12 Kondisi sifat fisik -mekanik tanah hasil pengolahan tanah pada berbagai

kedalaman tanah ……… 131 13 Kondisi sifat fisik -mekanik tanah hasil pengolahan tanah pada kedalaman

tanah 0-30 cm ……… 132 14 Kondisi sifat kimia tanah rata-rata sebelum dan sesudah diolah ………... 133 15 Kadar air tanah (% berat) selama masa penelitian di areal kebun II ……. 134 16 Kadar air tanah (% volume) selama masa penelitian di areal kebun II …. 135 17 Densitas tanah selama masa penelitian di areal kebun II ……….. 136 18 Porositas tanah selama masa penelitian di areal kebun II ………. 137 19 Tahanan penetrasi tanah selama masa penelitian di areal kebun II ……... 138 20 Sifat fisik-mekanik tanah kedalaman 0-30 cm selama masa penelitian di

areal kebun II ………. 139 21 Hasil kaliberasi instrumen penetrometer ………... 140 22 Hasil pengukuran densitas bahan bakar (solar) pada berbagai suhu ……. 141 23 Jumlah spesies, penutupan dan bobot kering biomassa gulma di sekitar

(15)

Halaman

24 Komposisi gulma di sekitar tebu selama masa penelitian di areal kebun II 143 25 Produktivitas tebu dan gula pada umur tebu 9 bulan setelah tanam …….. 145 26 Produktivitas tebu pada umur tebu ratoon 6 bulan setelah tebang ……… 146 27 Pertumbuhan dan produksi tebu selama masa penelitian di areal kebun I .. 147 28 Pertumbuhan dan produksi tebu selama masa penelitian di areal kebun II 149 29 Rekapitulasi hasil perhitungan nilai rata-rata variabel penelitian pada

umur tebu 0 hingga 9 bulan setelah tanam di areal kebun I ... 151 30 Rekapitulasi hasil perhitungan nilai rata-rata variabel penelitian pada

umur tebu 0 hingga 9 bulan setelah tanam di areal kebun II ... 152 31 Rekapitulasi hasil perhitungan nilai rata-rata variabel penelitian pada tebu

ratoon 1 hingga 6 bulan setelah tebang di areal kebun I ... 153 32 Rekapitulasi hasil perhitungan nilai rata-rata variabel penelitian pada tebu

ratoon 1 hingga 6 bulan setelah tebang di areal kebun II ... 154 33 Kurva-kurva hubungan densitas tanah dengan variabel pertumbuhan dan

produksi tebu di areal kebun I dan II ... 155 34 Kurva-kurva hubungan tahanan penetrasi tanah dengan variabel

(16)

Botani Tebu

Tebu adalah sejenis tanaman rumput tropis tegak yang dapat tumbuh bertahun-tahun, atau lebih dari satu tahun (Chapman dan Carter 1976). Tebu disebut juga rumput raksasa yang termasuk dalam famili Gramineae, kelompok (rumpun) Andropogoneae, sub -rumpun Saccharinineae, dan genus Saccharum. Dalam genus Saccharum terdapat enam spesies tebu, yaitu : S. spontaneum L., S. robustum JESWIET et BRANDES, S. officinarum L., S. edule HASSK, S. barberi JESWIET, dan S. sinense ROXBURGH (Bakker 1999). Diantara keenam spesies tebu tersebut, Saccharum officinarum L. merupakan penghasil gula utama. Di dalam penelitian tebu, spesies-spesies selain S. officinarum L. dijadikan sebagai bahan pemuliaan yang baik dalam menghasilkan jenis -jenis tebu baru untuk menunjang perusahaan gula (Setyamidjaja dan Azharni 1992).

Fauconnier (1993) menyebutkan bahwa tanaman tebu dapat tumbuh dengan cara meletakkan secara horisontal batang tebu yang mempunyai mata atau pucuk tunas yang sehat di atas permukaan tanah kemudian ditutup dengan tanah yang lembab. Siklus pertumbuhan tanaman tebu dimulai dari penunasan atau ‘perkecambahan’ (sprouting atau ‘germination’), pembentukan batang (tillering), pertumbuhan tanaman (crop growth), pembungaan (flowering), pemasakan (crop maturity) dan lewat masak, lalu pemanenan dan pertumbuhan kembali (regrowth). Siklus kembali lagi dimulai dengan perkembangan anakan tunas, lalu diikuti dengan pertumbuhan batang tebu, pemasakan dan panen. Tanamam tebu yang tumbuh setelah dipanen tersebut disebut tanaman keprasan (ratoon). Suatu sistem perakaran baru terbentuk pada setiap tanaman ratoon.

(17)

25-50 mm, tergantung oleh varietas tebu dan kondisi pertumbuhannya (Reid 1990). Dalam Gambar 1 dapat dilihat akar -akar dan tunas -tunas tebu yang berasal dari batang (stek) asal yang ditanam ke dalam tanah.

Gambar 1 Akar baru berkembang ketika batang tebu ditanam (Humbert 1968)

Akar-akar tunas tebu berkembang karena tersedianya lengas (moisture) dan nutrisi yang tersimpan di dalam stek asal, dan didukung oleh adanya akar-akar stek asal. Akar-akar tunas tersebut berukuran tebal, berwarna putih, dan berair banyak. Akar-akar tersebut mulai muncul ketika akar-akar stek asal mencapai separuh pertumbuhannya, atau sekitar 5-7 hari setelah tanam (Bakker 1999).

(18)

jumlah besar. Buttress roots adalah akar-akar agak dalam di bawah permukaan tanah, berwarna putih, berair banyak, dan menyebar ke arah vertikal ke bawah dengan sudut 45-60 derajat. Rope systems adalah sistem perakaran dalam di bawah permukaan tanah yang menyebar ke arah vertikal ke bawah jauh ke dalam tanah dan berikatan satu sama lain seperti tali yang terdiri atas 15-20 akar. Akar ini menjadi sangat penting peranannya dalam menyerap air dan nutrisi terutama pada saat kekeringan (Van Dillewijn 1952). Dalam Gambar 2 diperlihatkan ketiga tipe akar tersebut dalam sistem perakaran tebu.

(19)

Tebu yang diregenerasikan dari tanaman tebu pertama dinamakan ratoon pertama (R I), tebu yang diregenerasikan dari tanaman tebu kedua (ratoon pertama) dinamakan ratoon kedua (R II), dan seterusnya (Bakker 1999). Karena tanaman tebu baru berasal dari pangkal ruas batang tebu di atas tanaman tebu sebelumnya, maka tunas baru tanaman ratoon berkembang pada posisi yang lebih tinggi dibanding tanaman tebu sebelumnya (Van Dillewijn 1952), sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 3.

Gambar 3 Ilustrasi posisi tunas -tunas tebu ratoon pertama (R I) dan ratoon kedua (R II) yang lebih tinggi dibanding tunas tebu sebelumnya (P) yang berasal dari stek asal (C) (Van Dillewijn 1952)

Batang tebu merupakan bagian terpenting dalam produksi gula, karena bagian dalamnya terdapat jaringan parenkim berdinding tebal yang mengandung nira (Setyamidjaja dan Azharni 1992). Pada saat dipanen, kandungan sukrosa pada batang tebu sebesar 10 -18% dan serat 10-15% (Fauconnier 1993).

Ruas-ruas batang (internodes) dibatasi oleh buku-buku (nodes) yang merupakan tempat duduk daun tebu (leaf scar). Ukuran ruas batang tebu bervariasi, yakni pendek di bagian bawah (pangkal) dan makin ke atas (ujung) makin panjang, kemudian menuju ke puncak (pucuk) memendek lagi. Ruas -ruas batang tebu berukuran panjang di bagian tengah. Diameter buku tebu bervariasi di sepanjang panjang batang. Diameter buku tebu maksimum berada sedikit di bawah permukaan tanah (Bakker 1999). Di atas tempat duduk mata tunas terdapat suatu lingkaran bakal akar (root band). Dari lingkaran bakal akar tersebut akan keluar akar jika lingkaran tersebut berada dalam keadaan tertentu, misalnya tertutup di bawah permukaan tanah sehingga tunas dari mata tunas tumbuh

R II

R I

P

(20)

(Setyamid jaja dan Azharni 1992). Potongan batang tebu (stalk), berikut nama bagian -bagian batang, ditunjukkan dalam Gambar 4.

Gambar 4 Bagian -bagian batang tebu (Humbert 1968)

Pada kondisi normal maka dalam satu periode pertumbuhan tebu akan terdapat panjan g batang tebu maksimum (Van Dillewijn 1952). Sebagai contoh adalah karakteristik pertumbuhan tebu varietas POJ 2878 di Jawa Barat, seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.

(21)

Gambar 5 Periode pertumbuhan total tebu varietas POJ 2878 (Van Dillewijn 1952)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Produksi Tebu

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tebu meliputi faktor tanah, iklim, tanaman, dan tindakan budidaya pertanian. Rozaq (1999) menyatakan bahwa dalam melakukan budidaya pertanian perlu memperhatikan keberadaan fungsional profil tanah -tanaman, yang merupakan hasil interaksi faktor tanah-iklim-tanaman dan kegiatan budidaya, sebagai faktor utama yang menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman. Faktor tindakan budidaya berupa tindakan pengolahan tanah berfungsi untuk menghasilkan struktur tanah sesaat yang sesuai dengan persyaratan awal tumbuh tanaman dan sekaligus sesuai untuk menjalankan proses interaksi dengan lingkungan (iklim) menuju kondisi struktur tanah yang menguntungkan untuk proses pertumbuhan tanaman sampai dengan pro ses produksi.

Banyak faktor yang terlibat dan interaksi kompleks yang mempengaruhi pertumbuhan tebu. Faktor-faktor yang mengontrol pertumbuhan tebu harus diintegrasikan ke dalam lingkungan optimum. Potensi maksimum tebu dapat tercapai apabila hubungan tanah – tanaman mencapai optimum. Perkecambahan

B u l a n P

(22)

tebu tergantung oleh kondisi lingkungan tempat bibit tebu ditanam ke dalam tanah. Pertumbuhan tunas mencapai maksimum apabila faktor-faktor internal dan eksternalnya mencapai optimum. Faktor tanah turut mempengaruhi pemunculan tunas tebu. Tanah harus disiapkan dengan sebaik mungkin agar terpenuhi keseimbangan yang sesuai antara tanah – air – udara (Humbert 1968).

Faktor Tanah

Tanah, sebagai sumber alam dasar bagi produksi tanaman, berfungsi sebagai media hidup bagi tanaman dengan dua cara, yaitu: (1) mensuplai lengas dan mineral-mineral esensial, dan (2) menyediakan tempat bagi perkembangan akar tanaman (Chapman dan Carter 1976).

Tanah-tanah lahan kering di Indonesia umumnya terdiri atas tanah Ultisol dan mungkin Oksisol (Hardjowigeno 1995). Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya (Papua), serta sebagian kecil (sekitar 1.7 juta hektar, atau 5%) di Pulau Jawa, terutama di wilayah Jawa Barat (Munir 1996).

Tanah Ultisol berasal dari kata ultimus (akhir) dan solum (tanah), artinya perkembangan tanah pada tingkat akhir. Secara umum, tanah ini merupakan tanah yang mengalami penimbunan liat di horison bawah (horison B), bersifat masam, dan kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. Tanah ini dulu disebut Podsolik Merah Kuning (Hardjowigeno 1995).

Menurut Mohr et al. (1972) beberapa sifat fisik dan kimia tanah Ultisol: 1 Kedalaman solum s edang atau moderat (1-2 meter)

2 Warna merah sampai kuning

3 Tekstur halus pada horison Bt, karena pada horison ini kandungan liatnya maksimum

4 Struktur berbentuk blocky pada horison Bt 5 Konsistensi teguh

6 Permeabilitas lambat sampai baik 7 Erodibilitas tinggi

8 Kemasaman (pH) kurang dari 5.5

(23)

Tanah Ultisol identik dengan tanah tidak subur. Pengolahan tanah ini sebaiknya seminimal mungkin (minimum tillage) agar lapisan tanah subur sedalam tidak lebih dari 14 cm tidah hanyut, atau terbalik, atau hilang. Bila diolah lebih dari 14 cm maka subsoil yang tidak subur dan padat akan muncul ke permukaan (Munir 1996). Pengapuran hingga pH 5.5 dianggap sudah baik, sebab yang terpenting adalah untuk meniadakan pengaruh meracun dari Al, untuk penyediaan hara kalsium bagi pertumbuhan tanaman, dan untuk meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah Ultisol (Hakim et al. 1986, dan Munir 1996). Faktor-faktor tanah yang mempengaruhi pertumbuhan akar dan produksi tanaman dapat diklasifikasikan sebagai kimia tanah (terutama hara tanah), biologi tanah, seperti serangan patogen-patogen akar, dan fisik tanah, termasuk suhu, aerasi, dan ketahanan tanah terhadap penetrasi akar-akar tanaman (Forbes dan Watson 1992). Sifat-sifat kimia, biologi, dan fisik tanah tersebut dominan dalam mempengaruhi lingkungan akar tebu (Humbert 1968).

Sifat-sifat kimia tanah harus dipertimbangkan dalam menentukan potensi tanah pertanian, sebagai contoh adalah kapasitas tukar kation (KTK) dan derajat keasaman tanah (pH). KTK merupakan kapasitas tanah untuk menukar kation-kation seperti H+, Ca++, dan NH4+. KTK digunakan sebagai indikator kasar

potensi kesuburan tanah dan tingkat kemampuan pupuk dan kapur bereaksi dengan tanah. Sifat kimia tanah yang mencirikan derajat keasaman dan kebasaan tanah dinyatakan dengan istilah pH, yang merupakan kebalikan logaritmik konsentrasi ion hidrogen (Chapman dan Carter 1976). Batas pH untuk tanah adalah berkisar dari sangat asam (pH 3.5) hingga sangat basa (pH 10.5). Tanah -tanah pertanian umumnya mempunyai nilai pH 5.0 hingga 8.0 (Plaster 1992).

(24)

Produksi tanaman merupakan hasil dari semua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam satu musim tanam. Salah satu faktor tersebut adalah kondisi fisik tanah yang sering mempengaruhi tanaman karena kondisi fisik tanah mengontrol lingkungan tempat akar berkembang (Davies et al. 1993).

Tekstur dan Struktur Tanah

Komposisi atau perbandingan relatif partikel-partikel pasir, debu, dan liat menentukan tekstur tanah (Chapman dan Carter 1976). Tekstur tanah merupakan sifat tanah yang paling mendasar oleh karena mempengaruhi sifat-sifat tanah lainnya (Plaster 1992). Tekstur tanah berperan dalam mengontrol drainase, ketersediaan air, sifat tanah, dan kesesuaian (kecocokan) tanaman untuk tumbuh. Selain itu, tekstur tanah turut pula berperanan penting dalam menentukan struktur tanah, terutama dalam membentuk agregat tanah (Davies et al. 1993).

Tekstur dan struktur tanah mempengaruhi kemudahan tanah untuk diolah, mempengaruhi banyaknya ruang pori dalam tanah, menentukan ketersediaan air dalam tanah akibat presipitasi atau irigasi, dan menentukan infiltrasi air ke dalam tanah (Chapman dan Carter 1976). Selain itu, struktur tanah juga berfungsi untuk mengontrol pergerakan air dan pertumbuhan akar sehingga menentukan kesuburan fisik tanah (Davies et al. 1993). Dengan demikian, tanaman akan memperoleh keuntungan dengan terbentuknya struktur tanah yang baik karena: (1) pergerakan air dan udara menjadi lebih mudah, (2) pertumbuhan akar menjadi lebih mudah, dan (3) kapasitas memegang airnya tinggi (Plaster 1992).

Menurut Sopher dan Baird (1982) struktur tanah di lapisan tanah atas (topsoil) menjadi sangat penting karena dapat menambah permeabilitas sehingga dapat menahan limpasan (runoff) dan mengurangi erosi. Tanah berstruktur baik akan lebih permeabel dibanding tanah berstruktur buruk. Struktur tanah dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karena dengan bertambahnya permeabilitas tanah akan dapat menambah kapasitas penahanan air efektif bagi pertumbuhan akar tanaman.

Densitas Tanah

(25)

merupakan ukuran berat volume suatu tanah kering oven (Baver et al. 1972, Blake dan Hartge 1986, dan Plaster 1992). Volume tanah tersebut termasuk volume padatan dan ruang pori tanah. Massa kering padatan tanah ditentukan setelah dikeringkan hingga bobotnya konstan pada suhu 105ºC, dan volume tanah tersebut berasal dari sampel yang diambil di lapang (Blake dan Hartge 1986).

Densitas tanah menunjukkan perbandingan antara bobot tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah, dan merupakan petunjuk kepadatan tanah. Makin padat tanah makin tinggi densitas tanahnya, berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman (Hardjowigeno 1995). Densitas tanah diukur dengan menggunakan suatu ring sampel. Tanah dari dalam ring sampel yang telah diketahui volumenya secara hati-hati dipindahkan dari lapang. Tanah tersebut selanjutnya dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C hingga mencapai suatu bobot yang konstan, yang sering disebut sebagai tanah kering oven (Plaster 1992). Densitas tanah dihitung menggunakan persamaan (1).

DST = BTK / VLT ………. (1) dimana DST = densitas tanah (dry bulk density), g/cc

BTK = bobot tanah kering oven, g VLT = volume tanah, cc (cm3)

Densitas tanah pada kebanyakan tanah permukaan berkisar 1.0 -1.6 g/cc, tergantung kondisinya. Pengolahan tanah dapat mengub ah densitas tanah secara agak cepat. Suatu alat bajak dapat dengan seketika mengubah densitas tanah dari 1.5 g/cc menjadi 0.8 g/cc. Empat hingga lima lintasan alat pengolah tanah sekunder di atas permukaan tanah yang terbajak dapat menyebabkan terjadinya pemadatan kembali hingga 1.4 g/cc. Biasanya penanaman terbaik pada kisaran densitas tanah 1.1-1.4 g/cc. Pada densitas tanah sebesar 1.6 g/cc maka pergerakan air dan perkembangan akar menjadi sangat terbatas. Tanah subsoil yang sangat padat bisa mempunyai densitas tanah 2.0 g/cc atau bahkan lebih, dan menyebabkan tidak ada akar yang tumbuh (Donahue et al. 1976).

(26)

mempengaruhi konsistensi tanah dan kapasitas menahan air, udara, dan panas, dan membatasi penetrasi akar ke dalam tanah. Pertumbuhan akar tanaman terhambat pada densitas tanah lebih dari 1.4 g/cc pada tanah-tanah bertekstur halus, atau lebih dari 1.7 g/cc pada tanah-tanah bertekstur lebih kasar (Hill 1979).

Densitas tanah yang bertambah besar merupakan fungsi dari usaha pemadatan dan kadar air. Gaya yang diperlukan untuk memadatkan tanah hingga densitas tanah tertentu akan berkurang dengan bertambahnya kadar air. Densitas tanah pada kadar air yang diinginkan akan bertambah secara eksponensial dengan bertambahnya gaya yang diaplikasikan. Densitas tanah pada gaya pemadatan yang konstan akan bertambah dengan bertambahnya kadar air hingga mencapai maksimum, dan dengan terus bertambahnya kadar air menyebabkan densitas tanah turun. Kadar air tanah yang menyebabkan densitas tanah maksimum disebut kadar air tanah optimum untuk pemadatan (Baver et al. 1972).

Penggunaan mesin -mesin pertanian dan kendaraan angkut dalam penyiapan lahan, pemeliharaan tanaman, dan panen disertai dengan penekanan terhadap tanah. Distribusi tekanan-tekanan tersebut dalam hubungannya dengan pemadatan tanah adalah penting dalam analisis dampak mesin dan kendaraan -kendaraan terhadap sifat-sifat tanah, baik terhadap pertumbuhan tanaman maupun desain mesin untuk meminimumkan efek tersebut (Baver et al. 1972).

Söhne (1958) menyebutkan bahwa distribusi tekanan dalam tanah di bawah ban tergantung oleh: (1) besar gaya (beban), yang menentukan total tekanan yang digunakan, (2) ukuran luas kontak antara ban dan tanah, yang menentukan besar gaya tekan per satuan luas, (3) distribusi tekanan dengan luas kontak, dan (4) kadar air tanah dan densitas tanah.

(27)

Gambar 6 Isogram tegangan normal rata-rata di bawah ban dan track (Reaves dan Cooper 1960)

Humbert (1968) menyebutkan bahwa distribusi akar tebu akibat pemadatan tanah pada densitas tanah sebesar 0.66-1.80 g/cc telah diteliti oleh Trouse dan Humbert (1961). Pemadatan tanah dilakukan dengan cara membebani alat angkut tebu sebesar 25 -40 ton sehingga terjadi pemadatan tanah hingga kedalaman 6 inchi (15.24 cm) pada tanah kering dan hingga kedalaman 20 inchi (50.8 cm) pada tanah basah. Densitas tanah maksimum diperoleh pada 10 kali lintasan. Densitas tanah bertambah dari 0.66 g/cc hingga mencapai densitas kritik (1.80 g/cc) untuk perakaran tebu, dan porositas tanah berkurang hingga kurang dari 50%. Persentase udara berkurang dengan cepat sebesar 10% ketika densitas tanah bertambah hingga mencapai titik kritik tersebut. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa distribusi akar tebu berkurang akibat bertambahnya densitas tanah, dan menyebabkan penurunan hasil tebu untuk tanaman ratoon berikutnya.

Bakker (1999) menyebutkan bahwa densitas tanah mempengaruhi bentuk sistem perakaran tebu. Laju pemanjangan akar tebu berkurang dengan bertambahnya densitas tanah, sebagaimana dilaporkan oleh Trouse (1965). Hubungan penambahan densitas tanah dan pengurangan laju pemanjangan akar tebu tersebut ditunjukkan pada Tabel 1.

(28)

Tabel 1 Hubungan densitas tanah dan laju pemanjangan akar tebu (Trouse 1965) Densitas tanah (g/cc) Laju pemanjangan akar tebu rata-rata (cm/hari)

1.04 2.00

1.12 1.73

1.20 1.65

1.28 1.36

1.36 0.75

1.44 0.17

Densitas tanah turut menentukan kuantitas produksi tanaman. Produksi tanaman mencapai maksimum pada kisaran densitas tanah optimum. McKyes (1985) menyebutkan bahwa densitas tanah optimum telah diteliti oleh Vomocil (1955) dan dilaporkan oleh Rosenberg (1964). Vomocil menyatakan bahwa produksi jagung biasa, jagung manis dan kentang lebih rendah ketika densitas tanahnya lebih rendah atau lebih tinggi dari densitas tanah optimumnya. Vomocil menampilkan persamaan parabolik untuk menggambarkan fenomena tersebut. Kehilangan produksi bertambah sebesar kuadrat selisih densitas tanah aktual dengan densitas tanah optimumnya, sebagaimana ditulis ke dalam persamaan (2).

Y* – Y = Cdry – γ*dry)2 ………... (2) dimana Y* = produksi tanaman maksimum yang dapat dicapai

Y = produksi tanaman aktual

C = konstanta sensitivitas (kepekaan) terhadap pemadatan tanah, tergantung oleh jenis dan varietas tanaman, serta iklim

γdry = densitas kering tanah (rata -rata pada kedalaman 10 – 40 cm) γ*dry = densitas kering tanah optimum untuk produksi maksimum

(29)

rotari hingga kedalaman ± 25 cm. Kurva-kurva dalam Gambar 7(a) dan Gambar 7(b) menggambarkan dua aspek penting yaitu efek densitas tanah terhadap pertumbuhan tanaman yang disebut fenomena densitas optimum dan peran dari presipitasi setempat (McKyes et al. 1979, dan Negi et al. 1981).

(a)

(b)

(30)

Porositas Tanah

Sistem akar tanaman dibatasi oleh pori-pori tanah. Kehidupan di dalam tanah tergantung oleh sistem pori tanah karena pori-pori tanah tersebut digunakan untuk pergerakan air dan udara (oksigen), serta masuknya akar-akar ke dalam tanah (Forbes dan Watson 1992). Kandungan pori-pori dalam tanah (porositas tanah) mengontrol kuantitas air tersedia bagi tanaman yang dapat dipegang oleh tanah, dan kemudahan penetrasi serta perkembangan akar (D avies et al. 1993).

Porositas tanah dapat dihitung berdasarkan nilai densitas tanah (DST) dan densitas partikel tanah (DPT). Densitas partikel tanah adalah bobot tanah kering per satuan volume partikel padat tanah; tidak termasuk volume pori-pori tanah (Hardjowigeno 1995). Tanah yang tidak mempunyai ruang pori maka DST = DPT, atau DST/DPT = 1. Semakin banyak ruang pori tanahnya maka DST akan semakin kecil dan rasio DST/DPT juga semakin kecil (Plaster 1992). Tanah -tanah mineral pada umumnya mempunyai densitas partikel -tanah rata-rata sebesar 2.65 g/cc. Dengan mengetahui besarnya densitas tanah dan densitas partikel tanah maka dapat dihitung porositas tanah, sebagaimana ditulis ke dalam persamaan (3).

PST = ( 1 – DST/DPT ) x 100% ……… (3) Dimana PST = porositas tanah, %

DST = densitas tanah, g/cc

DPT = densitas partikel tanah, g/cc.

[image:30.612.133.510.579.699.2]

Thompson (1957) menyebutkan bahwa porositas dan densitas tanah ditentukan oleh tekstur tanah. Semakin halus tekstur tanah akan diperoleh densitas tanah yang semakin rendah dan porositas tanah yang semakin tinggi. Hubungan ketiga sifat fisik tanah tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Hubungan tekstur, densitas, dan porositas tanah (Thompson 1957) Tekstur tanah Densitas tanah (g/cc) Porositas tanah (%) *)

Pasir (sand) 1.6 39.6

Lempung berpasir (sandy loam) 1.5 43.4

Lempung (loam) 1.4 47.2

Lempung debu (silt loam) 1.3 50.9

Lempung liat (clay loam) 1.2 54.7

(31)

Kondisi tanah yang ideal untuk pertumbuhan tanaman adalah ketika separuh ruang pori totalnya terisi air dan separuhnya lagi terisi udara. Ketika akar-akar tanaman masuk ke dalam tanah maka akar-akar tersebut masuk ke dalam ruang pori di antara partikel-partikel padat tanah (Plaster 1992), seperti diperlihatkan dalam Gambar 8. Tanah berstruktur baik biasanya mempunyai porositas tanah sebesar 60%, dimana 20 hingga 30% udara menempati ruang pori tanah pada kapasitas lapang, ketika air baru saja berhenti terdrainase. Pada lapisan tanah yang terkompaksi berlebihan mempunyai porositas 30-40%, dimana ≤ 5% ruang porinya terisi oleh udara pada kapasitas lapang. Kehilangan pori-pori berukuran besar tidak hanya akan menghambat pergerakan udara, tetapi juga mengurangi laju drainase air dalam tanah. Tanah yang padat menyebabkan tahanan penetrasi tanah menjadi besar sehingga kemampuan penetrasi akarnya menjadi berkurang (Davies et al. 1993). Pengurangan porositas tanah dapat menyebabkan penurunan produksi tanaman. Hal ini disebabkan karena penyerapan air dan mineral-mineral oleh akar berkurang sehingga pertumbuhan total tanaman berkurang (Chapman dan Carter 1976).

Gambar 8 Akar dan rambut akar tumbuh di antara partikel tanah (Plaster 1992)

Akar tanaman dapat berkembang dengan leluasa di dalam tanah apabila diameter pori-pori tanah sama atau lebih besar dari diameter ujung -ujung akar (± 200 µm) dan apabila tanah mudah berubah bentuk serta aerasinya tidak terhambat. Pertumbuhan akar berhubungan dengan tahanan penetrasi tanah yang merupakan hasil kombinasi pemadatan dan kadar lengas tanah (Payne 1988).

(sel-sel akar)

(ruang pori terisi air/udara)

(rambut akar)

(partikel-partikel tanah)

(32)

Tahanan Penetrasi Tanah

Penetrabilitas tanah merupakan suatu ukuran kemudahan dimana suatu objek dapat ditekan atau digerakkan masuk ke dalam tanah. Suatu alat atau instrumen yang digunakan untuk mengukur tahanan penetrasi tanah disebut penetrometer (Bradford 1986). Tahanan tanah terhadap penetrasi instrumen merupakan integrasi indeks pemadatan tanah, kadar air, tekstur, dan tipe mineral liat, atau merupakan indeks kekuatan tanah pada kondisi pengukuran tersebut. Penentuan tahanan penetrasi tanah melibatkan konsistensi dan struktur tanah. Ketika penetrometer menembus tanah maka akan mengatasi tahanan tekan, gesekan antara tanah dan metal, dan kekuatan geser tanah, yang juga melibatkan gesekan dalam dan kohesi (Baver et al. 1972).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tahanan penetrasi tanah adalah kadar air tanah, densitas tanah, kompresibilitas tanah, parameter kekuatan tanah, struktur tanah, dan lain-lain (Bradford 1986). Tahanan penetrasi tanah bertambah dengan berkurangnya kadar air tanah. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan tanah bertambah besar ketika partikel-partikel tanah semakin dekat untuk berikatan selama proses pengeringan (Baver et al. 1972). Hasil penelitian pada tanah lempung berliat (clayey loam) di Lyons, Perancis menunjukkan bahwa tahanan penetrasi tanah bertambah dari 5 MPa hingga 30 MPa dengan bertambahnya densitas tanah dari 1.55 g/cc hingga 1.85 g/cc (Rossignol dan Debayle 2002).

Tahanan penetrasi tanah sering dinyatakan dalam istilah indeks kerucut (cone index). Indeks kerucut adalah suatu indeks tahanan geser tanah, yaitu berupa besarnya aplikasi gaya yang diperlukan untuk menekan kerucut penetrometer ke dalam tanah (Department of Army Staff 1960), atau gaya tahanan tanah terhadap penetrasi kerucut dibagi dengan luas dasar kerucut (Kisu 1972), atau kemampuan tanah melawan (menahan) gaya penetrasi dari suatu kerucut dan menunjukkan tingkat kekerasan tanah (Oida 1992). Nilai yang ditunjukkan penetrometer merupakan besarnya gaya tahanan tanah terhadap penetrasi kerucut per satuan luas dasar kerucut dan dinyatakan dalam satuan kgf/cm2 (Kisu 1972).

(33)
[image:33.612.103.502.412.682.2]

berkurang dengan bertambahnya tahanan penetrasi tanah. Tahanan penetrasi tanah yang semakin tinggi membatasi penembusan akar-akar kapas, membatasi daya kecambah biji sorghum, dan menurunkan produktivitas kapas, sebagaimana dilaporkan oleh Taylor et al. (1966), Parker dan Taylor (1965), dan Carter et al. (1965). Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut terungkap bahwa ketika tahanan penetrasi tanahnya bertambah maka akar -akar tanaman kapas semakin sukar menembus tanah (Gambar 9), daya kecambah biji sorghum menjadi semakin rendah (Gambar 10), dan produktivitas kapas turun (Gambar 11). Bertambahnya tahanan penetrasi tanah akibat bertambahnya densitas tanah dan berkurangnya kadar air tanah menjadi penyebab berkurangnya kemampuan akar-akar kapas menembus tanah (Taylor et al. 1966). Daya kecambah biji sorghum semakin berkurang pada 10 hari setelah tanam akibat bertambahnya tahanan penetrasi tanah dari 1 MPa hingga 1.6 MPa. Tidak terjadi perkecambahan biji sorghum pada tahanan penetrasi tanah lebih dari 1.6 MPa (Parker dan Taylor 1965). Produktivitas kapas berkurang secara linier dari 3600 kg/ha hingga 1450 kg/ha ketika tahanan penetrasi tanahnya, yang terukur pada kapasitas lapang, bertambah dari 0.3 MPa hingga 4.0 MPa (Carter et al. 1965).

Gambar 9 Efek tahanan penetrasi tanah terhadap penembusan akar-akar kapas (Gossypium hirsutum L.) di Quinlan, Columbia, Naron, dan Miles (Taylor et al. 1966)

Tahanan penetrasi tanah (MPa)

(34)

Gambar 10 Daya kecambah biji sorghum yang dipengaruhi tahanan penetrasi tanah, waktu setelah tanam, dan suhu tanah (Parker dan Taylor 1965)

Gambar 11 Hubungan antara tahanan penetrasi tanah dan produktivitas biji kapas (Carter et al. 1965)

Tahanan penetrasi tanah (MPa)

Daya kecambah (%) Daya kecambah (%)

Tanah Amarillo 21ºC

Tanah Amarillo 35ºC

hari hari

Tahanan penetrasi tanah (MPa) Tahanan penetrasi tanah (psi)

Tahun

Produktivitas biji kapas (lbs/acre)

(35)

Konsistensi Tanah

Konsistensi tanah mengacu kepada gaya-gaya kohesi dan adhesi tanah, yang memperlihatkan derajat plastisitas dan pelengketan tanah (Sopher dan Baird 1982). Kohesi adalah kekuatan tarik-menarik antar molekul tanah, sedangkan adhesi adalah tegangan permukaan di antara partikel-partikel tanah. Kohesi maksimum tercapai pada tanah kering dan turun secara tajam ketika air memasuki (mengisi) di antara partikel tanah. Kohesi paling efektif ketika partikel-partikel individu, khususnya liat, saling berikatan. Selama konsistensi ditentukan oleh kohesi dan adhesi maka konsistensi akan tinggi pada kisaran kering (kohesi tinggi), dan pada kisaran agak basah (adhesi tinggi). Konsistensi tanah menjadi rendah pada kisaran lembab dan pada keadaan jenuh (Kohnke 1968).

Faktor-faktor yang mempengaruhi konsistensi tanah yaitu: (1) kadar air tanah, (2) kandungan liat, kohesi semakin tinggi pada kandungan liat yang semakin tinggi, (3) tipe liat, liat montmorillo nite lebih konsisten dibanding liat kaolinite, (4) tekstur, kohesi semakin tinggi apabila ukuran partikel semakin kecil, dan (5) struktur, tanah yang dilumpurkan akan lebih kohesif dibanding yang teragregasi baik, karena mempunyai luas kontak antar individ u partikel yang lebih besar (Kohnke 1968).

(36)

mengalir), atau batas plastik atas (Payne 1988), adalah jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah (dalam keadaan non-alami); apabila air bertambah maka tanah bersama air akan mengalir.

Baver et al. (1972) menyebutkan bahwa batas plastik menggambarkan kadar air pada perubahan dari getas ke konsistensi plastik. Batas plastik terukur pada tegangan air pF 2.8-3.3. Kohesi tanah mencapai maksimum pada kadar air sedikit di atas batas plastik. Batas cair menggambarkan kadar air tanah dimana selaput lengas (air) menjadi begitu tebal sehingga kohesi turun dan massa tanah mengalir oleh aplikasi gaya. Batas cair terukur pada tegangan air pF 0.5.

(37)

Tabel 3 Efek lengas tanah terhadap konsistensi tanah berkadar liat sedang hingga tinggi (Kohnke 1968)

STATUS LENGAS TANAH

Kering Lembab Cukup basah Basah Amat basah Jenuh

Kering Koefisien Batas Tegangan Oven Higroskopis Remah Nol pF 7.0 pF 4.5 pF 2.8 pF 0 Bentuk

Konsistensi Keras, kasar

Remah,

lunak Plastik, lengket

Encer, mengalir Derajat

Konsistensi Relatif

Amat tinggi Rendah Tinggi Amat

rendah

Gaya-gaya Kohesi Adhesi

Kekuatan Sangga Tanah

Tinggi Cukup tinggi Rendah Amat rendah Praktis

tidak ada

Pengolahan Tanah

Gaya penarikan alat (draft) berat

Gaya penarikan alat (draft)

ringan

Draft berat, implemen cenderung

masuk ke dalam tanah, dan slip

Draft lebih ringan, traksi rendah, implemen bisa ambles Hampir tidak mungkin bisa dilakukan Hasil Olahan Tanah Bongkahan tanah, berdebu Hancuran tanah (tanah halus)

Tanah lumpur Tanah mengalir

Grafik Derajat Konsistensi Relatif

[image:37.612.104.506.94.686.2]
(38)

Faktor Iklim

Pertumbuhan dan produksi tebu dipengaruhi oleh iklim, terutama yang berkaitan dengan suhu, jumlah (lama) penyinaran matahari, dan besarnya curah hujan. Menurut Chapman dan Carter (1976) tebu dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik di areal-areal dengan suhu minimum bulanan rata-rata 21ºC atau lebih. Tebu tidak dapat hidup pada suhu terlampau tinggi. Pertumbuhan akar tebu terbaik pada suhu 21-27ºC. Pertumbuhan akar tebu menjadi lambat pada suhu kurang dari 21ºC, dan pada hakekatnya akan terhenti atau mati pada suhu ≤ 10ºC. Suhu minimum rata-rata untuk perkecambahan tebu adalah 18-20º. Pertumbuhan tebu juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Hasil studi di Hawaii menunjukkan bahwa produksi batang dan kadar gula tebu turun ketik a intensitas cahaya matahari berkurang. Tebu membutuhkan curah hujan 115-130 cm/tahun untuk memperoleh produksi tinggi.

Faktor Tanaman

Salah satu faktor dari tanaman yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tebu adalah varietas tanaman tebu itu sendiri. Menurut Fauconnier (1993) varietas tebu adalah suatu klon (clone) yang dikembangkan dari benih (seed) dan dikembangbiakkan melalui stek batang tebu (setts).

Setyamidjaja dan Azharni (1992) menyebutkan bahwa untuk memperoleh varietas tebu unggul dapat dilakukan berbagai persilangan antarvarietas sehingga memiliki sifat-sifat produksi tinggi, tahan terhadap penyakit, dan tumbuhnya cepat. Menurut Fauconnier (1993) tujuan utama program persilangan tebu yaitu: (1) memperbaiki kemampuan tebu untuk berproduksi tinggi, (2) memperoleh kualitas dan kuantitas sukrosa yang tinggi, (3) mempercepat umur kemasakan tebu, (4) mempertinggi ketahanan tebu terhadap serangan berbagai penyakit dan adaptasi dengan lingkungan iklim setempat, dan (5) meningkatkan daya tumbuh tebu mulai dari perkecambahan hingga saat panen, termasuk penutupan tanah yang cepat sehingga kompetisi dengan gulma dapat diminimalkan.

Gulma

(39)

tanaman tebu tersebut. Menurut Moenandir (1988) gulma selalu berada dimana ada tanaman tumbuh karena gulma selalu berasosiasi dengan tanaman tertentu. Dengan sendirinya gulma juga ada di sekitar tanaman dan saling berin teraksi. Salah satu bentuk interaksi adalah persaingan atau kompetisi.

Gulma didefinisikan sebagai tanaman yang tidak diinginkan tumbuh pada tempat-tempat dimana tanaman dibudidayakan manusia (Humbert 1968, dan Lockhart dan Wiseman 1988). Secara anthroposentris, gulma dapat didefinisikan sebagai semua jenis vegetasi atau tumbuhan yang menimbulkan gangguan pada lokasi tertentu terhadap tujuan yang diinginkan manusia, dan sejenis tumbuhan yang individu-individunya sering kali tumbuh pada tempat-tempat di mana mereka menimbulkan kerugian pada manusia. Secara ekologis, gulma juga dapat didefinisikan sebagai tumbuhan yang telah beradaptasi dengan habitat buatan dan menimbulkan gangguan terhadap segala aktivitas manusia (Sastroutomo 1990).

Gulma dapat berkembangbiak dengan menggunakan biji dan rhizom. Gulma yang berkembangbiak dengan biji sering sulit untuk dikontrol atau dikendalikan ketika gulma mencapai fase perkecambahan di sekeliling areal tanaman. Gulma yang berkembangbiak dengan akar sangat sulit diko ntrol secara mekanis. Sering dijumpai beberapa akar gulma tetap berada pada kondisi yang sesuai untuk melanjutkan pertumbuhannya (Humbert 1968).

(40)

Forbes dan Watson (1992) menyebutkan bahwa terdapat 7 faktor yang mempengaruhi penurunan produksi tanaman akibat kompetisi dengan gulma: 1 Spesies tanaman

Beberapa tanaman lebih rentan terhadap penurunan produksi dibanding tanaman yang lain akibat berkompetisi dengan gulma. Tanaman biji-bijian lebih tahan terhadap kompetisi dengan gulma dibanding tanaman -tanaman berjarak tanam lebar, karena tanaman biji-bijian mampu bersaing keras dengan gulma dan mampu menekan pertumbuhan gulma.

2 Varietas tanaman

Pemilihan varietas tanaman dapat mengurangi penurunan produksi akibat kompetisi dengan gulma. Tanaman varietas tinggi dapat menekan persaingan dengan gulma dalam memperoleh cahaya matahari sehingga kehilangan produksi dapat berkurang.

3 Kerapatan tanaman

Penanaman dengan kerapatan tinggi dapat menutup tanah lebih cepat dan mengurangi kesempatan gulma untuk tumbuh.

4 Spesies gulma

Beberapa spesies gulma dapat menyebabkan kehilangan produksi yang lebih banyak terhadap tanaman. Spesies gulma yang mempunyai kerabat (family) yang berdekatan dengan tanaman akan sulit dibasmi secara kimiawi.

5 Kerapatan gulma

Kehilangan produksi tanaman akan semakin tinggi ketika kerapatan gulmanya semakin tinggi.

6 Waktu relatif perkecambahan tanaman dan gulma

Kehilangan produksi tanaman akan semakin tinggi ketika saat berkecambahnya gulma mendahului saat berkecambahnya tanaman.

7 Lingkungan tumbuh

(41)

Tebu ditanam dengan jarak tanam yang lebar dan tumbuh dengan lambat. Kondisi tersebut memberi kesempatan bagi gulma untuk tumbuh dan menjadi pesaing pada masa awal pertumbuhan tebu (Zimdahl 1980). Pada masa tersebut gulma akan tumbuh dengan subur ketika batang tebu masih kecil atau kurang kuat untuk tegak. Gulma berdaun lebar dan rerumputan adalah dua golongan spesies gulma yang sering berkompetisi dengan tebu (Humbert 1968).

Percobaan pada berbagai varietas tanaman menunjukkan bahwa kompetisi dengan gulma sering terjadi pada periode pertumbuhan tertentu. Periode minimum dimana tanaman harus bebas bersaing dengan gulma untuk mencegah kehilangan produksi tanaman disebut periode kritis. Oleh sebab itu pembasmian gulma secara kimiawi menggunakan herbisida dilaksanakan pada saat sebelum periode kritis dan sesudah periode kritis. Herbisida yang diaplikasikan pada saat pre-emergence harus mempunyai kemampuan mengendalikan atau menghambat perkecambahan dan pertumbuhan gulma selama periode kritis tersebut (Forbes dan Watson 1992). Tebu memerlukan masa bebas dari persaingan dengan gulma antara 2-3 bulan setelah tanam, karena pada saat tersebut tanaman tebu sedang membentuk dan menumbuhkan tunas-tunas induk muda serta dimulainya fase peranakan. Selepas masa kritis tersebut tebu mampu bersaing dengan gulma. Gulma tumbuh rapat sejak tanaman tebu berumur 4-6 minggu dan sangat lebat pada saat umur tebu 8-12 minggu (Kuntohartono 1987).

(42)

metode P4 sebesar 11.6, 11.6, dan 13.3%, dan dengan metode P6 sebesar 8.3, 8.3, dan 10.0%. Hasil ini mengungkapkan bahwa: (1) gulma tumbuh dengan lebat pada umur tebu 4-6 minggu setelah tanam, sebagaimana telah diungkapkan oleh Kuntohartono (1987), dan (2) metode pengolahan tanah intensitas tinggi mampu menekan pertumbuhan gulma yang lebih besar dibanding metode pengolahan tanah dengan intensitas lebih rendah.

Tarmani et al. (1984) meneliti gulma-gulma yang tumbuh di sekitar tanaman tebu baru (plant cane) dan tanaman tebu keprasan (ratoon) di lahan konversi (monoculture cane field) PTP IX Sumatera Utara, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Penutupan gulma di lahan konversi PTP IX (Tarmani et al. 1984) Tebu baru Tebu ratoon

Spesies gulma umur

1 bulan

umur 2 bulan

umur 1 bulan

umur 2 bulan Penutupan gulma (%)

Gulma rumput-rumputan (grasses) :

1 Eleusine indica 8 10 1 15

2 Digitaria adscendens 18 18 0 5

3 Panicum reptans L. 1 10 0 0

4 Sorghum halepense 0 0 0 0

Gulma daun lebar (broad leaves) :

1 Mimosa invisa 10 10 5 5

2 Synedrella nodiflora 15 25 4 8

3 Centrocema pubescens 2 4 0 0

4 Polanisia sp. 2 4 4 8

Gulma teki-tekian (sedges) :

1 Cyperus rotundus 15 8 0 0

(43)

berdaun lebar yang tumbuh di sekitar tebu ratoon lebih sedikit dibanding di sekitar tanaman tebu baru. Tidak dijumpai adanya gulma teki-tekian di sekitar tebu ratoon (Tarmani et al. 1984).

Faktor Tindakan Budidaya Pertanian

Pertumbuhan awal suatu tanaman hingga pro duksi dipengaruhi oleh hasil pengolahan tanahnya sehingga pengolahan tanah menjadi faktor penting dalam tindakan budidaya pertanian. Disamping itu, pengolahan tanah menjadi perhatian pertama karena merupakan kegiatan awal dalam budidaya pertanian sebelum kegiatan lain dilakukan. Pengolahan tanah adalah manipulasi mekanik terhadap tanah untuk menyediakan lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman dengan cara memperbaiki struktur tanah sehingga mempermudah perkecambahan, pemunculan tanaman, dan pertumbuhan akar (Kepner et al. 1972, Hartmann et al. 1981, dan Hunt 1995).

Menurut Humbert (1968), Kepner et al. (1972), Donahue et al. (1976), Hartmann et al. (1981), Davies dan Payne (1988), dan Hunt (1995) tujuan pengolahan tanah untuk tanaman lahan kering, termasuk untuk tebu lahan kering, adalah:

1 menyediakan tempat tumbuhnya tanaman, dimana tanah dibuat gembur tapi kuat agar kedalaman penanaman dan pemunculan tanamannya seragam, 2 meratakan lahan,

3 membantu mengontrol gulma, penyakit tanaman, dan serangga

4 memperbaiki kondisi fisik tanah dengan cara menambah aerasi dan infiltrasi air ke dalam tanah,

5 menjaga kelembaban tanah, karena kerak permukaan yang hancur dan tanah yang gembur akan mempermudah masuknya air, pergerakan air, dan penyimpanan air dalam tanah,

6 menambah permeabilitas oleh air di permukaan tanah dan di lapisan tanah bawah (subsoil) agar drainase dan aerasi menjadi lebih baik sehingga dapat mempermudah penetrasi akar,

7 mempersatukan dan menutup sisa-sisa tanaman di permukaan dengan tanah secara lebih efisien,

(44)

9 menyediakan traksi yang mantap atau stabil bagi pengoperasian mesin-mesin pertanian.

Davies dan Payne (1988) menyebutkan bahwa hasil olahan tanah, berupa tempat tumbuhnya tanaman, dikatakan baik apabila:

1 benih atau bibit dapat ditempatkan pada kedalaman tanah tertentu yang seragam,

2 benih atau bibit dapat kontak dengan tanah agar pengambilan air oleh tanaman menjadi mudah sehingga tanah harus mempunyai aerasi yang baik,

3 tanah di atas benih atau bibit harus tetap remah atau gembur sehingga tunas dapat muncul dengan mudah,

4 ruang pori tanah sekeliling benih atau bibit harus berisikan pori-pori yang cukup besar untuk menjaga agar aerasi tetap baik sehingga memudahkan pertumbuhan akar-akar muda,

5 suplai zat-zat hara yang dekat dengan benih atau bibit harus mudah, dan 6 bebas dari gulma.

Pengolahan tanah dapat dipandang sebagai salah satu cara pengendalian gulma secara mekanis. Pengolahan tanah banyak mempengaruhi beberapa faktor penting bagi pertumbuhan gulma, yakni dapat membenamkan gulma dan menyebabkan kerusakan fisik gulma, karena dapat memotong akar gulma sehingga mati. Pengolahan tanah pada prinsipnya adalah melepaskan ikatan antara gulma dengan media tempat tumbuhnya. Efektivitas pengolahan tanah dalam pengendalian gulma tergantung oleh beberapa faktor, seperti: siklus hidup gulma dan tanamannya, kedalaman dan penyebaran perakaran, lama dan luasnya investasi gulma, macam tanaman yang dibudidayakan, jenis dan topografi tanah, serta iklim (Sukman dan Yakup 2002).

(45)

pertumbuhan dan perkembangbiakan gulma-gulma muda tersebut. Sesudah tanam, dilakukan penyiangan untuk melanjutkan pembasmian gulma-gulma muda.

Menurut Radosevich et al. (1977) pengolahan tanah dengan intensitas tinggi atau berulang-ulang dapat mengakibatkan: (1) gulma-gulma di lapang habis karena terjadi pengurangan benih atau pengurangan alat perkembangbiakan vegetatif gulma dalam tanah dan pengeluaran cadangan karbohidrat bagi gulma, (2) benih-benih gulma di dalam tanah berkurang karena sebagian benih gulma yang tersimpan dalam tanah, yang akan selalu berkecambah apabila lingkungan tumbuhnya tersedia (cahaya, kelembaban, dan suhu), dapat dihambat akibat pengolahan tanah, (3) cadangan benih -benih gulma yang tersimpan dalam tanah (seed bank) dapat diberantas dengan cara pengolahan tanah seperti itu karena tidak memberi kesempatan kepada benih -benih gulma yang berkecambah tersebut untuk berkembangbiak, (4) gulma-gulma yang hidup lebih dari satu tahun atau dua tahun dapat diberantas karena cadan gan karbohidrat bagi gulma habis, dan (5) mematikan tunas-tunas gulma baru yang muncul dari sistem perakaran atau rhizome gulma.

Sistem-sistem Pengolahan Tanah

Sistem pengolahan tanah dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu: (1) pengolahan tanah konvensional, (2) pengolahan tanah intensitas rendah, (3) pengolahan tanah minimum, dan (4) pengolahan tanah konservasi.

Pengolahan tanah konvensional (conventional tillage) ditujukan untuk mencacah sisa-sisa tanaman dan mempersatukannya ke dalam tanah. Pengola han tanah seperti ini biasanya membutuhkan energi tinggi untuk pengolahan tanah pertama, dan selanjutnya diikuti dengan pengolahan tanah kedua untuk mengendalikan gulma dan menyiapkan lahan pertanaman. Lahan pertanaman yang ideal berupa suatu lapisan tanah gembur yang bebas dari sisa-sisa tanaman di permukaan. Sisa-sisa tanaman yang terkubur memudahkan pengoperasian mesin tanam dan pembasmian serangga-serangga. Gulma-gulma dikontrol oleh pembajakan tanah dalam dan penyiangan secara mekanis (Hunt 1995).

(46)

dengan cara meniadakan pengoperasian pengolahan tanah yang tidak produktif. Penghematan energi dan biaya produksi ditempuh dengan cara menggabungkan beberapa kegiatan pengolahan tanah dalam satu operasi dimana kedalaman olah tanahnya produktif. Dalam sistem ini biasanya diaplikasikan bahan-bahan kimia untuk mengendalikan gulma (Hunt 1995).

Pengolahan tanah minimum (minimum tillage) yaitu suatu sistem pengolahan tanah yang menghasilkan suatu lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan tanaman dan meninggalkan sisa-sisa tanaman (residu) sebagai penutup atau pelindung tanah di dekat permukaan tanah terolah sepanjang tahun. Residu yang ditinggalkan bisa ditempatkan di atas permukaan tanah, atau dicampur dengan tanah pada kedalaman tertentu oleh alat pengolahan tanah. Di atas permukaan tanah, residu ditinggalkan dalam bentuk mulsa untuk menggurangi erosi tanah oleh angin dan air. Residu yang ditinggalkan di dalam tanah dimaksudkan untuk menjaga agar permukaan tanah tetap terbuka untuk mengurangi pengerakan (crusting) permukaan tanah dan memberi kesempatan kepada air untuk meresap ke dalam tanah (Hayes 1982).

Kepner et al. (1972) menyebutkan bahwa sistem pengolahan tanah minimum merupakan suatu cara untuk mengurangi biaya produksi tanaman dan memperbaiki kondisi tanah. Tujuan utama pengolahan tanah minimum adalah: (1) mengurangi kebutuhan energi mekanik dan tenaga kerja, (2) menghemat kelembaban tanah dan mengurangi erosi tanah, (3) hanya melakukan operasi pengolahan tanah untuk mengoptimalkan kondisi tanah setiap tipe areal lahan, dan (4) meminimumkan jumlah lintasan mesin di lahan.

(47)

Operasi Pengolahan Tanah

Operasi pengolahan tanah dapat diklasifikasikan menjadi pengolahan tanah pertama (primary tillage) dan pengolahan tanah kedua (secondary tillage). Operasi pengolahan tanah pertama merupakan kegiatan pengolahan tanah awal dan biasanya dirancang untuk mengurangi kekuatan tanah, menutup material tanaman, dan mengatur kembali agregat -agregat tanah. Operasi pengolahan tanah kedua cenderung dilakukan untuk memperhalus kondisi tanah hasil pengolahan tanah pertama (Kepner et al. 1972). Kedalaman pengolahan tanah pertama adalah 6-36 inchi (15 -91 cm), sedangkan kedalaman pengolahan tanah kedua adalah kurang dari 6 inchi (15 cm). Segala jenis bajak (plow) dimasukkan ke dalam alat pengolah tanah pertama, sedangkan segala jenis garu (harrow) biasanya dimasukkan ke dalam alat pengolah tanah kedua (Smith 1955).

Pengolahan tanah untuk tebu lahan kering bisa dimulai dari membongkar tunggul-tunggul tebu lama dan memperbaiki sifat-sifat fisik tanah yang buruk yang terjadi selama pertumbuhan tebu sebelumnya, seperti pemadatan tanah atau kehilangan struktur tanah terutama akibat hujan dan lintasan mesin -mesin. Oleh sebab itu pengolahan tanah untuk tebu ditujukan untuk mengatasi kekurangan -kekurangan, seperti penembusan akar yang kurang dalam, aerasi dan porositas tanah yang buruk, dan adanya lapisan tapak bajak (Fauconnier 1993).

Metode baku pengolahan tanah untuk tebu lahan kering meliputi kegiatan -kegiatan: (1) pengolahan tanah dalam (subsoiling) dengan kedalaman olah 45-50 cm, (2) pembajakan tanah (plowing), (3) penggaruan tanah (harrowing) dengan kedalaman olah 20-30 cm, dan (4) pembuatan alur tanam (furrowing), baik dengan bentuk alur V, U, atau datar, untuk menempatkan potongan-potongan bibit batang tebu dengan spasi antar alur sebesar 1-1.65 meter, umumnya sebesar 1.5 meter. Urut-urutan kegiatan pengolahan tanah tersebut didasarkan atas banyaknya musim tiap tahunnya dan waktu tersedia yang ditentukan oleh pemilihan siklus penanaman dan banyaknya pekerjaan terhadap tanah, serta banyaknya alat dan mesin pengolah tanahnya (Fauconnier 1993).

(48)

tanahnya bagus dan kedalaman olahnya bisa lebih dalam sehingga pergerakan lengas dan udara optimum. Kondisi ini akan mempercepat berkembangnya sistem perakaran tebu. Selanjutnya, tanah di permukaan harus dibajak dan digaru hingga diperoleh hasil olahan tanah yang halus pada zona dimana bibit tebu ditanam. Tanah yang halus dan lembab di sekeliling bibit tebu akan mempercepat perkecambahan. Hasil olahan tanah yang terlalu halus akibat intensitas pengolahan tanah berlebihan tidak diinginkan oleh tebu karena seluruh agregat besarnya dipecah menjadi partikel-partikel lebih kecil sehingga kondisi tanah menjadi tidak berstruktur (Humbert 1968).

Fauconnier (1993) menyebutkan bahwa untuk menyiapkan lahan pertanaman tebu diperlukan alat-alat pengolahan tanah untuk pembajakan tanah dalam hingga untuk pengkairan atau pembuatan alur tanam bibit tebu. Adapun alat-alat pengolah tanah tersebut adalah: (1) bajak subsoiler (subsoiler plow), (2) bajak piring (disk plow), (3) bajak singkal (moldboard plow), (4) garu piring (disk harrow), dan (5) kair (furrower).

Alat-alat Pengolahan Tanah untuk Te bu

Bajak subsoiler biasanya dioperasikan untuk memecah lapisan tanah kedap yang berada di bawah kedalaman olah normal guna memperbaiki infiltrasi air, drainase, dan penetrasi akar tanaman. Bajak subsoiler bekerja dengan baik pada tanah teguh dimana lapisan kerasnya menghalangi penetrasi akar dan lengas yang mengisi ruang pori-pori tanah (Buckingham 1984). Menurut Plaster (1992) bajak subsoiler digunakan untuk memecah atau menghancurkan lapisan subsoil yang padat akibat kultivasi berulang-ulang pada kedalaman yang sama.

Bajak singkal sudah lama digunakan sebagai alat pengolah tanah pertama. Kerja bajak singkal yang memotong, mengangkat, dan membalik tanah bertujuan untuk: (1) mengubur seresah dan sisa-sisa tanaman, (2) memperbesar aerasi tanah, (3) mengontrol gulma, serangga dan penyakit tanaman, (4) mencampur pupuk ke dalam tanah, dan (5) menyediakan tempat pertanaman yang bagus untuk perkecambahan yang lebih baik (Buckingham 1984).

(49)

tanah tersebut (Plaster 1992). Disamping itu, bajak piring merupakan salah satu tipe bajak yang umumnya digunakan untuk kondisi tanah sangat keras dan kasar, untuk tanahtanah yang tidak bisa diolah oleh bajak singkal, dan untuk tanah -tanah berbatu serta banyak akar-akar pohon (Shippen et al. 1980).

Garu piring bisa dioperasikan untuk hampir setiap jenis dan kondisi tanah. Garu tugas -berat (heavy-duty harrow) bisa digunakan sebagai alat pengolah tanah pertama karena mampu menghancurkan tanah yang belum diolah, memotong dan mencampur sisa-sisa tanaman, dan meratakan jerami atau tunggul. Penggaruan menggunakan garu piring sebelum pembajakan tanah akan meremahkan permukaan tanah, memotong seresah-seresah, dan mencampurkannya ke dalam tanah. Hal ini akan menghasilkan penutupan seresah yang lebih baik ketika tanah tersebut selanjutnya dibajak. Kondisi tersebut juga akan mengakibatkan kontak antara tanah dan seresah menjadi lebih baik dan mempercepat dekomposisi sisa-sisa tanaman. Garu piring yang digunakan sebagai alat pengolahan tanah kedua setelah pembajakan tanah, akan menghancurkan bongkah-bongkah tanah , menutup ruang udara dalam tanah, meratakan permukaan, dan meneguhkan tanah bagian bawah agar halus permukaannya sehingga terbentuk lahan pertanaman seragam (Buckingham 1984).

Pekerjaan pengolahan tanah untuk tebu diakhiri dengan pembuatan alur untuk penanaman bibit-b ib it tebu. Alat yang digunakan untuk membuat alur tanam tersebut disebut alat kair (furrower). Koga (1988) menyebutkan bahwa suatu furrower mempunyai dua buah sayap menyerupai singkal yang berfungsi untuk membuka dan melempar tanah yang terpotong oleh ujung pisau furrower ke sisi sebelah kanan da

Gambar

Tabel 2   Hubungan tekstur, densitas, dan porositas tanah (Thompson 1957)
Gambar 9   Efek tahanan penetrasi tanah terhadap penembusan akar-akar kapas (Gossypium hirsutum L.) di Quinlan, Columbia, Naron, dan Miles (Taylor et al
Tabel 3 Efek lengas tanah terhadap konsistensi tanah berkadar liat sedang hingga tinggi (Kohnke 1968)
Gambar 16 Penentuan lokasi titik -titik pengambilan sampel (X) di areal kebun II pada saat sebelum pengolahan tanah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini lebih dari 80% areal tebu adalah lahan kering dengan kondisi yang seragam dari tingkat kesesuaian S1 (sangat sesuai) sampai dengan S3 (cukup sesuai), bahkan di

Penelitian ini bertujuan untuk merancang ditcher drainase yang tidak menggunakan tenaga PTO traktor, yang dilengkapi dengan pengeruk tanah untuk memindahkan tanah dari dasar alur

Hujan yang turun terus menerus pada saat musim panen tebu juga telah menyebabkan mesin tebang tebu (chopper cane harvester) tidak bisa dioperasikan untuk memanen tebu di areal

Hasil studi di areal kebun tebu lahan kering dengan jenis tanah Ultisol milik PT Gula Putih Mataram, Sugar Group Company, Lampung Tengah pada bulan September 2002 hingga Agustus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pengolahan tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung manis, pemberian mulsa tidak memberikan

Pengolahan lahan adalah suatu usaha untuk mempersiapkan kondisi tanah bagi pertumbuhan tanaman dengan cara menciptakan kondisi tanah yang siap tanam, walaupun pengolahan tanah

Dampak perubahan iklim yang terjadi pada saat digencarkannya aplikasi teknik budidaya tebu lahan kering secara efektif dan efisien guna memperoleh produktivitas tebu (Tonne Cane

Sedangkan sifat mekanika tanah terdiri dari tahanan penetrasi tanah dan uji pemadatan standar proctor test terhadap pengolahan tanah yang dilakukan sebelum, sesudah pengolahan tanah,