• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Usahatani Dan Prospek Pengembangan Kopra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Usahatani Dan Prospek Pengembangan Kopra"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS USAHATANI DAN

PROSPEK PENGEMBANGAN KOPRA

(Studi Kasus: Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan)

SKRIPSI

Oleh :

MUHAMMAD ALVIZA

090304007

AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS USAHATANI DAN

PROSPEK PENGEMBANGAN KOPRA

(Studi Kasus: Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan)

SKRIPSI

Oleh :

MUHAMMAD ALVIZA

090304007

AGRIBISNIS

Skripsi Merupakan Salah Satu Syarat Melaksanakan Ujian Akhir Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

( Ir. Luhut Sihombing, MP) (Sri Fajar Ayu, SP. , MM. DBA) NIP. 196510081992031001 NIP. 197008272008122001

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRAK

MUHAMMAD ALVIZA (090304007), dengan judul skripsi “ANALISIS USAHATANI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN KOPRA”. Penelitian ini dibimbing oleh Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Ibu Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA. selaku Anggota Komisi Pembimbing.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis usahatani dan prospek pengembangan kopra di kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan provinsi Sumatera Utara. Secara khusus bertujuan untuk membandingkan pendapatan usahatani kelapa dan pendapatan usahatani kopra, menganalisis kelayakan usaha tani kopra, dan untuk mengetahui strategi pengembangan kopra di daerah penelitian. Penelitian ini menggunakan metode analisis Paired T-test dengan bantuan program SPSS 17 for Windows, dengan membandingkan pendapatan usahatani sebelum dan sesusah diolah menjadi kopra. Kelayakan usahatani dianalisis dengan menggunakan R/C rasio. Strategi pengembangan kopra dianalisis dengan matriks SWOT. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dari wawancara dengan petani. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2013.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pendapatan usahatani kopra lebih tinggi daripada pendapatan usahatani kelapa pada tingkat kepercayaan 95%. Nilai t-hitung yang diperoleh yaitu sebesar -4,094 sedangkan nilai t-tabel sebesar -1,80. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan usahatani kopra lebih tinggi daripada pendapatan usahatani kelapa. Nilai kelayakan usahatani R/C rasio yaitu sebesar 1,33. Hal ini menunjukkan bahwa untuk setiap biaya yang dikeluarkan pada awal kegiatan usahatani sebesar Rp 1.000 akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.330 pada akhir kegiatan usahatani. Oleh karena itu usahatani kopra di daerah penelitian layak untuk diusahakan. Strategi usahatani kopra yang tepat dilakukan di daerah penelitian adalah strategi intensif yaitu berupa pengembangan produk.

(4)

RIWAYAT HIDUP

MUHAMMAD ALVIZA lahir di Kota Medan pada tanggal 19 Februari 1991 dari Ayah Sri Heru Priatna dan Ibu Supaini, Amd. Penulis merupakan putra ketiga dari tigat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Free Methodist 02 Medan 2003, sekolah menegah pertama di SMP Kartika I-2 Medan 2006, dan sekolah

menengah atas di SMA Kartika I-2 Medan 2009.

Tahun 2009 penulis diterima di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur PMP (Panduan Minat dan Prestasi). Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti berbagai organisasi

kemahasiswaan, antara lain Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian

(IMASEP) dan Forum Silaturahmi Mahasiswa Muslim Sosial Ekonomi Pertanian (FSMM-SEP).

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah: “Analisis Usahatani dan Prospek Pengembangan Kopra (Studi Kasus: Kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan)”. Di mana penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara, dan mendidik penulis selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Ir. Luhut Sihombing MP dan Ibu Sri Fajar Ayu SP, MM, DBA. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir. Khusus untuk Bapak Abdul Latif yang banyak membantu dalam proses penelitian di kecamatan Silau Laut.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, serta semua rekan mahasiswa yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.

Medan, Oktober 2013

(6)

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Identifikasi Masalah ... 9

1.3.Tujuan Penelitian ... 9

1.4.Kegunaan Penelitian ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1.Tinjauan Pustaka ... 11

2.1.1.Agribisnis Kopra ... 11

2.1.1.1. Produksi Kelapa ... 11

2.1.1.2. Pengolahan Kopra ... 13

2.1.1.3. Pemasaran Kopra ... 17

2.1.2.Tinjauan Aspek Sosial Ekonomi Kopra ... 18

2.2.Landasan Teori ... 21

2.3.Kerangka Pemikiran ... 24

2.4.Hipotesis Penelitian ... 26

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1.Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 27

3.2.Metode Pengambilan Sampel ... 28

3.3.Metode Pengumpulan Data ... 28

(7)

3.5.Definisi dan Batasan Operasional ... 36

3.5.1.Definisi ... 36

3.5.2.Batasan Operasional ... 37

BAB IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK DATA 4.1.Deskripsi Daerah Penelitian ... 38

4.2.Tata Guna Lahan ... 39

4.3.Keadaan Penduduk ... 40

4.4.Sarana dan Prasarana ... 41

4.5.Karakteristik Petani Sampel ... 41

BAB V. HASIL DAN PEMBAHAWAN 5.1.Teknis Pengolahan Kopra ... 43

5.1.1.Panen Kelapa ... 43

5.1.2.Pembelahan Buah Kelapa ... 45

5.1.3.Pencungkilan Daging Buah ... 45

5.1.4.Pemisahan Testa Kelapa ... 45

5.1.5.Pencuccian Kopra Putih ... 46

5.1.6.Pengemasan Kopra Putih ... 46

5.2.Produksi Kelapa ... 47

5.3.Pendapatan Kelapa ... 47

5.4.Pendapatan Kopra ... 49

5.5.Perbandingan Pendapatan Usahatani Kelapa dan Kopra ... 52

5.6.Kelayak Usahatani Kopra ... 54

5.7.Strategi Pengembangan Usahatani Kopra ... 56

5.7.1.Analisis Faktor Internal ... 56

5.7.2.Analisis Faktore Eksternal ... 57

5.7.3.Tahap Masukan ... 57

5.7.3.1.Matriks IFE ... 57

5.7.3.2.Matriks EFE ... 59

5.7.4.Tahap Pencocokan ... 61

5.7.4.1.Matriks IE ... 61

5.7.4.2.Matriks SWOT ... 62

5.7.5.Tahap Keputusan ... 65

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1.Kesimpulan ... 67

6.2.Saran ... 68

(8)
(9)

DAFTAR TABEL

Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Perkebunan Rakyan menurut Kabupaten 2010

Luas Tanam dan Produksi Kelapa Perkebunan Rakyat per Kecamatan di Kabupatena Asahan tahun 2011

Matriks SWOT Matriks QSP

Tata Guna Lahan Daerah Penelitian Tahun 2013 Jumlah Penduduk berdasarkan Desa Tahun 2013

Keadaan Penduduk menurut Kelompok Umur Tahun 2013 Karakteristik Petani Sampel

Pendapatan Rata-rata Usahatani Kelapa Pendapatan rata-Rata Usahatani Kopra Perbandingan Pendapatan Rata-Rata Kelapa

Hasil Ananlisis Perbedaan Pendapatan Rata-Rata Usahatani Kelapa dan Usahatani Kopra

Rata-Rata Pendapatan dan R/C rasio Usahatani Kopra Per Tahun di Kecamatan Silau Laut 2013

Evaluasi Faktor Internal Usahatani Kopra Evaluasi Faktor Eksternal Usahatani Kopra

Matriks Internal dan Eksternal Posisi Usahatani Kopra Matriks SWOT Strategi Pengembangan Usahatani Kopra

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Gambar Hal

1. 2.

Diagram Pembuatan Kopra dengan Penjemuran Skema Kerangka Pemikiran

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Lampiran

1.

Biaya Pemeliharaan Usahtaani Kelapa Per Hektar Jumlah Produksi Kelapa Per Hektar Per Tahun Biaya Panen Kelapa Per Hektar Per Tahun

Biaya Penyusutan Alat Usahatani Kelapa Per Hektar Per Tahun Total Biaya Usahatani Kelapa Per Hektar Per Tahun

Penerimaan Usahatani Kelapa Per Hektar Per Tahun

Pendapatan bersih dan R/C Rasio usahatani Kelapa Per Hektar Per Tahun Jumlah Produksi Daging Buah dan Tempurung Kelapa Per Hektar Per Tahun

Jumlah produksi Kopra Putih, Kulit, dan Sortiran Per Hektar Per Tahun Biya Panen Kelapa Per Hektar Per Tahun

Biaya Pembelahan Buah Per hektar Per Tahun

Biaya Pencungkilan Daging Buah Per Hektar Per Tahun Biaya Pengupasan Testa Per hektar Per Tahun

Biaya Pencucian Kopra Putih Per Hektar Per tahun Biaya Pengemasan Kopra Putih Per Hektar Per Tahun

Biaya Penyusutan Alata Usahatani Kopra Per Hektar Per Tahun Total Biaya Usahatani Kopra Per Hektar Per Tahun

Penerimaan Usahatani dari Kopra Putih Per Hektar Per Tahun Penerimaan dari Kulit dalam Usahatani Kopra Per Hektar Per Tahun Penerimaan dari Sortiran dalam Usahatani Kopra Per Hektar Per Tahun Total Penerimaan Usahatani Kopra Per Hektar Per Tahun

Pendapatan Bersih dan R/C Rasio Usahatani Kopra Per Hektar Per Tahun Hasil Uji SPSS

Pembobotan Faktor Internal Usahatani Kopra Pembobotan Faktor Eksternal Usahatani Kopra Rating Faktor Internal Usahatani Kopra

Rating Faktor Eksternal Usahatani Kopra

(12)

ABSTRAK

MUHAMMAD ALVIZA (090304007), dengan judul skripsi “ANALISIS USAHATANI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN KOPRA”. Penelitian ini dibimbing oleh Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Ibu Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA. selaku Anggota Komisi Pembimbing.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis usahatani dan prospek pengembangan kopra di kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan provinsi Sumatera Utara. Secara khusus bertujuan untuk membandingkan pendapatan usahatani kelapa dan pendapatan usahatani kopra, menganalisis kelayakan usaha tani kopra, dan untuk mengetahui strategi pengembangan kopra di daerah penelitian. Penelitian ini menggunakan metode analisis Paired T-test dengan bantuan program SPSS 17 for Windows, dengan membandingkan pendapatan usahatani sebelum dan sesusah diolah menjadi kopra. Kelayakan usahatani dianalisis dengan menggunakan R/C rasio. Strategi pengembangan kopra dianalisis dengan matriks SWOT. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dari wawancara dengan petani. Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2013.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pendapatan usahatani kopra lebih tinggi daripada pendapatan usahatani kelapa pada tingkat kepercayaan 95%. Nilai t-hitung yang diperoleh yaitu sebesar -4,094 sedangkan nilai t-tabel sebesar -1,80. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan usahatani kopra lebih tinggi daripada pendapatan usahatani kelapa. Nilai kelayakan usahatani R/C rasio yaitu sebesar 1,33. Hal ini menunjukkan bahwa untuk setiap biaya yang dikeluarkan pada awal kegiatan usahatani sebesar Rp 1.000 akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.330 pada akhir kegiatan usahatani. Oleh karena itu usahatani kopra di daerah penelitian layak untuk diusahakan. Strategi usahatani kopra yang tepat dilakukan di daerah penelitian adalah strategi intensif yaitu berupa pengembangan produk.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

Tanaman perkebunan merupakan salah satu komoditas yang bisa diandalkan

sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

perkebunan cukup ramai permintaannya, baik di pasar dalam negeri maupun pasar

luar negeri. Selain itu, harga jual yang tinggi juga membuat tanaman perkebunan

menjadi salah satu penyumbang devisa negara yang tidak sedikit

(Tim Penulis PS, 2008).

Kelapa merupakan komoditas strategis yang memiliki peran sosial, budaya, dan

ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Manfaat tanaman kelapa tidak

saja terletak pada daging buahnya yang dapat diolah menjadi santan, kopra, dan

minyak kelapa, tetapi seluruh bagian tanaman kelapa mempunyai manfaat yang

besar. Demikian besar manfaat tanaman kelapa sehingga ada yang menamakannya

sebagai "pohon kehidupan" (the tree of life) atau "pohon yang amat

menyenangkan" (a heaven tree) (Asnawi, dan Darwis, 1985).

Kelapa merupakan tanaman perkebunan dengan areal terluas di Indonesia, lebih

luas dibanding karet dan kelapa sawit, dan menempati urutan teratas untuk

tanaman budidaya setelah padi. Pada tahun 2008 Indonesia dikenal memiliki luas

perkebunan kelapa terbesar di dunia yakni 3.798 ribu Ha, sebagian besar

merupakan perkebunan rakyat seluas 3,729 ribu ha (98,18%) sisanya milik negara

(14)

(1,68%), dengan total produksi sebesar 2.247 ribu ton setara kopra

(Direktorat Jendral Perkebunan, 2009).

Melihat tingkat konsumsi kelapa pada skala nasional diperkirakan meningkat

sekitar 5,4% per tahun. Dengan laju peningkatan produksi hanya sekitar 4,37%

per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kopra dari tahun ke tahun belum

mencukupi dengan kenaikan konsumsinya. Peningkatan produksi kopra dapat

dilihat dari aspek pemasaran. Sebab aspek pemasaran kopra merupakan potensi

yang cukup signifikan dalam peningkatan produksi kelapa petani. Untuk

memenuhi laju pertumbuhan konsumsi tersebut perlu upaya peningkatan produksi

kelapa. Hal ini dapat dicapai apabila budidaya kelapa tersebut mampu dikelola

dengan baik, sehingga dapat mencapai produksi 1,5 ton kopra/ha/tahun

(Suhardiyono, 1993).

Produktivitas tanaman kelapa baru mencapai 2.700-4.500 kelapa butir yang setara

0,8-1,2 ton kopra/ha. Produktivitas ini masih dapat ditingkatkan menjadi 6.750

butir atau setara 1,5 ton kopra. Hal ini dapat dilakukan dengan pemeliharaan semi

intensif terhadap pertanaman kelapa, mengingat kondisi pertanaman kelapa saat

ini sudah tua dan rusak sehingga perlu dilakukan peremajaan dan rehabilitasi

(Deptan, 2007).

Daya saing produk kelapa pada saat ini terletak pada industri hilirnya, tidak lagi

pada produk primer, dimana nilai tambah dalam negeri yang potensial pada

produk hilir dapat berlipat ganda daripada produk primernya. Usaha produk hilir

(15)

kecil, menengah, maupun besar. Pada gilirannya industri hilir menjadi lokomotif

industri hulu (Deptan, 2007).

Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk konsumsi segar,

dibuat kopra atau minyak kelapa. Menurut Somaatmadja (1984), berdasarkan

angka tahun 1970-an sekitar 34,7% dari produksi kelapa digunakan untuk

pembuatan santan, 8% untuk pembuatan minyak klentik (tradisional) dan 57,3%

untuk pembuatan kopra (Awang, 1991). Dalam sepuluh tahun terakhir,

penggunaan domestik kopra dan butiran kelapa masih meningkat tetapi dengan

laju pertumbuhan sangat kecil. Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri yang

semakin berkurang diduga terkait dengan perubahan preferensi konsumen yang

lebih menyukai penggunaan minyak kelapa sawit karena harganya lebih murah

(Deptan, 2007).

Sering sekali terdengar ungkapan bahwa umumnya pengolahan hasil pertanian

oleh petani mempunyai kualitas yang rendah. Banyak orang mengaitkan bahwa

rendahnya mutu tersebut dikarenakan cara-cara pengolahan hasil pertanian masih

bersifat tradisional. Pengolahan kopra secara tradisonal tersebut akan semakin

tidak terkontrol lagi manakala masalahnya dikaitkan dengan keadaan sosial

ekonomi petani/pengrajin kopra yang memang serba pas-pasan (Awang, 1991).

Banyak kopra yang dihasilkan perkebunan bermutu rendah. Dibutuhkan

penyortiran dan pengeringan ulang bagi eksportir atau pengapalan karena produk

bermutu rendah. Pada kasus lain, harga yang diterima petani lebih rendah dari

(16)

untuk keuntungan petani, karena tingkat mutu yang lebih baik memberikan harga

yang lebih tinggi di pasar dunia (Piggott, 1964).

Dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir, petani kelapa di berbagai negara

termasuk Indonesia berada pada posisi yang tidak menguntungkan, karena

rendahnya produktivitas serta harga kopra yang rendah dan fluktuatif. Akibat

rendahnya pendapatan, petani kelapa menjadi kurang termotivasi untuk

mengadopsi teknologi anjuran untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi

usaha tani (Tarigan, 2003).

Pendapatan petani kelapa masih sangat terlalu rendah jika dibandingkan petani

kopra. Dilihat dari sisi harga, misalnya harga kopra di Sulawesi Utara pada tahun

2002, harga mencapai Rp 1.800/kg (Rindengan, dan Hengky, 2005). Bila untuk

pembuatan kopra sebanyak 1 kg dibutuhkan 5 butir kelapa maka harga kelapa

hanya Rp 360 per butirnya. Harga ini pun merupakan harga setelah kelapa diolah

menjadi kopra. Dengan kata lain harga kelapa segar sebelum diolah menjadi kopra

berada di bawah Rp 360 per butirnya. Hal ini menunjukkan pendapatan petani

masih jauh dari harapan.

Menurut Tarigan (2002), dari sisi pendapatan usahatani belum mampu menunjang

kehidupan keluarga petani secara layak. Petani tentu tidak mungkin memperoleh

keuntungan bila harga buah kelapa segar di bawah Rp 360 per butir. Padahal

untuk memperoleh buah kelapa yang siap dipasarkan, petani mengeluarkan

biaya-biaya seperti biaya-biaya perawatan tanaman, panen, dan pascapanen. Biaya pascapanen

yang dikeluarkan berupa biaya pengupasan sabut kelapa karena konsumen tidak

(17)

Kabupaten Asahan merupakan sentra produksi kelapa terbesar di Sumatera Utara.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, jumlah produksi

kelapa di kabupaten Asahan tahun 2010 sebesar 25363,62 ton dengan luas tanam

seluas 24957,25 ha. Salah satu kecamatan di kabupaten Asahan yang memiliki

potensi perkebunan kelapa adalah kecamatan Silau Laut. Hal ini ditunjukkan

dengan jumlah produksi yang tinggi pada tahun 2011 yaitu sebesar 8.428,50 ton

dengan luas tanam seluas 5.869 ha.

Dari hasil pratinjau yang dilakukan, permasalahan yang terjadi di daerah

penelitian adalah petani kelapa hanya mengolah buah kelapa menjadi kopra untuk

keperluan industri minyak kelapa. Petani juga belum mampu mengupayakan

minyak kelapa secara mandiri dikarenakan kurangnya pengetahuan dan sarana

produksi untuk membuat minyak kelapa. Selain itu, petani terlalu bergantung

kepada industri minyak kelapa yang hanya membutuhkan kelapa dalam bentuk

kopra. Jika petani tidak mengusahakan kopra melainkan hanya dalam bentuk

kelapa segar, maka petani kelapa tidak dapat segera menjualnya. Hal ini

mengakibatkan petani kelapa tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga

kopra.

Harga kelapa segar dan kopra di kecamatan Silau Laut masing-masing saat ini

adalah Rp 2.000/buah dan Rp 4.100/kg. Untuk memperoleh 1 kg kopra

dibutuhkan 4-6 butir kelapa. Proses panen kelapa dilakukan setiap tiga bulan.

Dalam sekali panen per hektarnya, petani memperoleh 800 kg kelapa setara 533

buah. Hasil panen kelapa ini sama dengan 400 kg kopra. Penerimaan petani

(18)

Hal inilah yang menimbulkan permasalahan mengapa petani cenderung menjual

kopra daripada kelapa.

Selanjutnya, di akhir produksi petani kopra di daerah penelitian selalu menghitung

jumlah hasil bruto yang diperoleh. Semua hasil panen tersebut kemudian dijual

dan menjadi pendapatan bagi petani. Pendapatan ini belum dikurangi oleh

biaya-biaya yang dikeluarkan untuk biaya-biaya usaha tani lainnya. Setelah biaya-biaya tersebut

diperhitungkan terhadap hasil yang diperoleh, selanjutnya dapat dihitung berapa

besar keuntungan yang diperoleh petani.

Produk agroindustri berbasis kelapa yang diekspor Indonesia masih tergolong

produk primer dengan nilai tambah yang rendah. Potensi sumberdaya kelapa

sebenarnya sangat besar dan memungkinkan untuk pengembangan suatu

agribisnis yang kuat, dengan struktur agroindustri yang saling terkait dari hulu

hingga ke hilir. Permintaan produk-produk hilir kelapa pada masa yang akan

datang diduga akan makin meningkat, sebagai konsekuensi dari meningkatnya

kesadaran lingkungan oleh masyarakat internasional. Sebagai contoh, India dan

Sri Lanka mengekspor produk sabut kelapa masing-masing lebih dari 50.000 ton

sampai 127.000 ton pada tahun 2002, sementara Indonesia hanya mampu

mengekspor serat sabut kelapa sekitar 102 ton. Hal ini disebabkan industri kelapa

Indonesia secara umum belum banyak berubah, meskipun dalam dua dekade

terakhir telah berdiri beberapa industri dengan produk non-minyak. Bahkan

industri pengolahan kelapa sekarang lebih mundur dibandingkan dengan beberapa

tahun sebelumnya, karena waktu itu semua produk CCO diproses menjadi minyak

(19)

Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan usaha tani kopra di Indonesia

adalah: pertama, masalah yang menyangkut penawaran dan permintaan produk

kopra. Sampai tahun 1986 rata-rata produktivitas tanaman kelapa Indonesia

sebesar 1.074 kg perhektar (ekuivalen kopra). Sedangkan potensi yang dapat

dicapai jika diusahakan secara intensif sebesar 2-4 ton kopra/ha/tahun untuk

kelapa dalam dan 4-6 ton kopra /ha/tahununtuk kelapa hibrida (Zainal Mahmud

dan Novarianto, 1998). Permintaan kopra berhubungan erat dengan tingkat

konsumsi produk-produk yang diserap untuk kebutuhan dalam negeri dan kalau

mungkin untuk kepentingan luar negeri. Sampai sekarang kebutuhan konsumsi

belum dapat diimbangi dengan produksi dalam negeri. Ketimpangan ini sebagai

akibat dari banyaknya tanaman kelapa rakyat yang berumur tua dan banyaknya

tanaman yang belum menghasilkan. Kedua, masalah yang berkaitan dengan

keadaan sosial ekonomi petani kelapa terutama masalah perluasan areal dan tata

cara rehabilitasi tanaman tua. Hal ini dikarenakan kelapa tua walaupun tidak

produktif lagi tetapi tetap memberikan penghasilan bagi petani, dan sikap ini

terlihat pada petani kelapa yang pemilikannya berasal dari warisan orang tua.

(Awang, 1991).

Menurut Alleorung (1998), salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan

petani kelapa adalah dengan mengolah semua komponen buah menjadi produk

yang bernilai tinggi, sehingga nilai buah kelapa akan meningkat. Jika selama ini

dijual oleh petani dalam bentuk kelapa butiran ataupun kopra menjadi produk

minyak kelapa yang dikelola sendiri oleh petani. Tingkat harga minyak kelapa

(20)

tambahan penghasilan sehingga akan meningkatkan kesejahteraan petani itu

sendiri.

Sebagian besar petani kelapa di kecamatan Silau Laut melakukan pengolahan

kelapa menjadi kopra tanpa melanjutkannya ke proses pengeringan dan

pengolahan minyak kelapa. Dalam 1 kg kopra membutuhkan biji kelapa sebanyak

4-6 buah kelapa, sedangkan bila diolah menjadi minyak membutuhkan 7 – 9 biji

kelapa per liternya. Produksi minyak yang dilakukan petani untuk memenuhi

kebutuhan sendiri dan untuk pasar lokal bisa dicapai dengan harga Rp 10.000-an.

Dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas, peneliti tertarik untuk meneliti

mengenai analisis usaha tani kopra. Selanjutnya, penelitian ini juga ditujukan

untuk membahas keunggulan, kelemahan, peluang, serta ancaman pengembangan

usaha tani kopra sehingga diketahui strategi pengembangan usaha tani kopra di

(21)

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah

sebagai berikut :

1) Bagaimana teknis pengolahan kopra di daerah penelitian ?

2) Berapa jumlah produksi kelapa per hektar per tahun di daerah penelitian?

3) Berapa besar pendapatan usahatani kelapa per hektar per tahun di daerah

penelitian?

4) Berapa besar pendapatan usahatani kopra dari pengolahan kelapa per

hektar per tahun di daerah penelitian?

5) Bagaimana perbandingan pendapatan usahatani kelapa dan pendapatan

usahatani kopra di daerah penelitian?

6) Bagaimana kelayakan usaha tani kopra di daerah penelitian?

7) Bagaimana strategi pengembangan usahatani kopra di daerah penelitian?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain :

1) Untuk mengetahui teknis pengolahan kopra di daerah penelitian.

2) Untuk mengetahui jumlah produksi kelapa per hektar per tahun di daerah

penelitian.

3) Untuk mengetahui besar pendapatan usahatani kelapa per hektar per tahun

di daerah penelitian.

4) Untuk mengetahui besar pendapatan usahatani kopra hasil pengolahan

(22)

5) Untuk membandingkan pendapatan usahatani kelapa dan pendapatan

usahatani kopra di daerah penelitian.

6) Untuk menganalisis kelayakan usaha tani kopra di daerah penelitian.

7) Untuk mengetahui strategi pengembangan kopra di daerah penelitian.

1.4.Kegunaan Penelitian

Penelitian dalam hal ini diharapkan dapat berguna antara lain sebagai berikut:

1) Sebagai bahan informasi bagi petani kopra dalam mengembangkan usaha

taninya.

2) Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak yang

membutuhkannya.

3) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengembangkan

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA

PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Agribisnis Kopra

Dalam sistem agribisnis kopra terdapat beberapa sub sistem agribisnis. Sub sistem

agribisnis tersebut diantaranya sub sistem produksi kelapa, pengolahan kopra, dan

pemasaran kopra.

2.1.1.1. Produksi Kelapa

Di Indonesia, tanaman kelapa telah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu. Sejak

abad ke-19, hasil dari pohon kelapa (yaitu minyak kelapa) mulai diperdagangkan

dari Asia ke Eropa. Karena perdagangan minyak kelapa dan kopra terus

meningkat, maka para penanam modal asing di Indonesia, terutama Belanda,

mulai tertarik untuk membuat perkebunan kelapa sendiri (Warisno, 2003).

Menurut klasifikasi botaninya, tanaman kelapa (Cocos nucifera L) termasuk

famili palmae. Tanaman ini merupakan vegetasi tropis yang penting, khususnya di

bagian pantai dan umumnya pada lahan petani (Awang, 1991).

Pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa dipengaruhi oleh faktor-faktor

tanaman kelapa itu sendiri dan faktor lingkungan. Kelapa merupakan tanaman

tropika dan tumbuh baik pada suhu 20-350 C (optimal pada suhu 270 C) dan baik

ditanam pada ketinggian 0 sampai 400 m dpl. Curah hujan yang dikehendaki

(24)

merata sepanjang tahun (150 mm/bulan) dan penyinaran matahari yang baik

adalah 7 jam/hari atau 2.000 jam/tahun. Selain faktor iklim, faktor tanah juga

memegang peranan penting dalam pertumbuhan tanaman kelapa. Jenis tanah tidak

menjadi faktor pembatas dalam hal pertumbuhan/produksi kelapa yang baik,

namun demikian yang penting diperhatikan adalah sifat fisik tanah (tekstur,

drainase dan topografi). Tekstur yang baik untuk pertumbuhan tanaman kelapa

adalah lempung liat berpasir atau lempung berpasir (Awang, 1991).

Untuk tanaman kelapa fase menghasilkan, agar memperoleh tanaman yang

tumbuh sehat dan subur, tanaman dewasa harus mendapat pemeliharaan lanjutan

yang baik sehingga dengan demikian produksinya pun akan tinggi.

1) Pemupukan

Unsure hara bagi tanaman merupakan basis dalam proses metabolism yang

sering kali merupakan faktor pembatas dalam mencapai tingkat produksi yang

baik. Mengenai tujuan pemupukan pada tanaman produksi adalah untuk

menambah unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman sehingga

keseimbangan hara di dalam tanah dan tanaman tetap terpelihara.

2) Pengerjaan tanah

Tanah adalam areal pertanaman perlu diolah, baik dengan dipacul atau

dibajak dengan traktor, 1-2 kali dalam setahun. Tujuannya adalah untuk

memberantas rumput-rumput liar dan menambah bahan organik dari

tumbuh-tumbuhan yang dibenam.

(25)

Sering kali di dalam kebun terdapat tanaman-tanaman yang kurang baik

pertumbuhannya, atau tidak produktif, meskipun telah dipelihara dengan baik.

Tanaman-tanaman demikian harus dibuang secepat mungkin.

(Setyamidjaja, 2008).

2.1.1.2. Pengolahan Kopra

Kopra adalah putih lembaga (endosperm) buah kelapa yang sudah dikeringkan

dengan sinar matahari ataupun panas buatan. Putih lembaga dari kelapa yang

masih basah diperkirakan memiliki kadar air sekitar 52%, minyak 34%, putih telur

dan gula 4,5%, serta mineral 1%. Setelah menjadi kopra, kandungan air turun

menjadi 5%-7%, minyak meningkat menjadi 60%-65%, putih telur dan gula

menjadi 20%-30%, dan mineral 2%-3% (Warisno, 2007).

Kopra yang kualitasnya baik, berasal dari buah kelapa yang telah masak, umur

buah 11-12 bulan. Kualitas kopra dapat ditingkatkan dengan perlakuan

menyimpan buah yang masih utuh selama waktu tertentu sebelum buah diolah

menjadi kopra (Setyamidjaja, 2008).

Pengolahan buah kelapa menjadi kopra dapat dilakukan dengan berbagai macam

cara, antara lain sebagai berikut:

1) Kopra Rakyat

Walaupun mutu kopra rakyat dianggap rendah, tetapi telah menyumbang

kepada orang banyak dalam rangka memenuhi kebutuhan minyak kelapa.

Banyak orang berpendapat bahwa rendahnya mutu tersebut disebabkan oleh

pengolahan yang sangat tradisional. Beberapa tahapan yang harus dilakukan

(26)

a) Kegiatan pemetikan, pengangkutan dan pembelahan buah;

Pemetikan kelapa adalah upayan untuk menurunkan buah kelapa dari

pohon ke permukaan tanah. Ada dua cara pemetikan yaitu secara alami di

mana buah kelapa masak jatuh sendiri dari pohon dan buah masak

diambil dengan memanjat pohon, menggunakan galah, tangga pemanjat

atau dengan kera pemanjat. Tanda buah yang layak dipetik adalah sabut

menjadi kering dan berwarna cokelat.

Pengangkutan buah kelapa adalah usaha membawa buah kelapa dari

kebun/lokasi pohon kelapa sampai ke ubit pengolahan. Pengangkutan

yang cepat mampu menghindarkan kerusakan-kerusakan yang mungkin

terjadi terhadap daging buah kelapa.

Pembelahan buah kelapa merupakan kegiatan memisahkan sabut dengan

tempurung dan biasanya kegiatan ini dilaksanakan secara manual. Untuk

mendapatkan kopra, maka tempurung kelapa harus dipisahkan dengan

daging buah kelapa melalui pencungkilan maupun pengeringan.

b) Kegiatan pengeringan daging buah kelapa

Pengeringan dengan sinar matahari biasanya dilakukan oleh sebagian

besar petani kelapa di dunia maupun di Indonesia. Karena itu cara ini

dikenal dengan cara tradisional dan hasil kopranya disebut sundried

copra. Beberapa langkah pengeringan dengan sinar matahari adalah

sebagai berikut:

- Buah kelapa yang sudah dibelah bersama dengan tempurung kelapa

dihamparkan di atas lantai jemur atau rak penjemuran dengan bagian

(27)

- Jika cuaca panas baik, maka setelah 2 hari dijemur daging buah dapat

dipisahkan dari tempurung kelapa. Setelah itu daging buah

dikeringkan lagi selama 4-7 hari.

(Awang, 1991).

Prosedur pengeringan kopra secara tradisional disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Pembuatan Kopra dengan Penjemuran

Kelapa tua

Pemisahan Sabut

Kelapa Bulat Sabut

Pembelahan

Penjemuran (3 hari)

Pencungkilan daging buah

Daging buah tempurung

Penjemuran (5 hari)

Kopra (sundried copra)

Sumber: Bambang Kartika, 1981.

2) Kopra FMS (Fair Merchantable Sundried)

Kopra FMS dikeringkan dengan cara pengeringan yang disebut sundried,

yakni proses pengeringan yang banyak menggunakan sinar matahari dan

(28)

mengeluarkan asap yang dapat meresap ke dalam daging buah kelapa yang

dikeringkan. Misalnya dengan menggunkan arang kayu dan arang tempurung.

Dalam pembuatan kopra FMS, dikenal dua macam rumah pengeringan, yaitu

lade oven dan plat oven.

a) Lade Oven

Pengeringan dengan menggunakan lade oven dilakukan dengan cara

sebagai berikut: kopra yang masih basah disusun di dalam kotak yang

telah tersedia, kemudian dimasukkan ke dalam ruangan yang tertutup; ke

dalam ruanagan ini dialirkan udara panas dengan suhu antara 400C-800C.

Pengeringan kopra dengan cara ini memberikan hasil kopra yang kurang

baik, karena kopra dapat ditumbuhi oleh cendawan-cendawan yang dapat

menurunkan kualitas kopra. Jika suhu ruangan tersebut diperbesar (lebih

dari 800C), kemungkinan besar kopra akan hangus.

b) Plat Oven

Pengeringan ini disebut plat oven karena banyak menggunakan plat besi

sebagai media pengaliran panas. Rumah pengeringan ini terdiri atas

dapur yang biasaya dibuat dari bata merah, sebagai tempat pembakaran

kayu atau bahn bakar lainnya. Dapur memiliki ukuran panjang 10 m,

lebar 3 m, dan tinggi 1 m. Di tempat pembakaran kayu tersebut terdapat

terowongan asap yang dapat mengalir sampai ke cerobong asap. Bagian

atas dapur ditutup dengan plat besi yang berlubang-lubang. Udara panas

dibagi secara merata melalui plat besi yang dipasang di atas ruang dapur

(di atas terowongan). Panas akan mengalir melalui plat besi, sedangkan

(29)

3) Kopra FM (Fair Merrchantable)

Pengolahan kopra FM dilakukan melalui pengeringan menggunakan panas

buatan. Rumah pengeringan yang digunakan berbentuk sangat sederhana,

terdiri atas lubang berbentuk persegi yang dibuat pada lantai bangunan. Di

atas lubang ini ditempatkan rak yang terbuat dari belahan bambu atau kayu

kelapa. Bangunan rumah pengeringan juga diberi atap agar tidak kemasukan

air hujan.

Pengeringan dilakukan dengan menyusun belahan-belahan buah kelapa yang

masih basah di atas rak secara berlapis-lapis, rata-rata lima lapis. Dua lapisan

terbawah disusun menghadap ke atas, sedangkan tiga lapisan di atasnya

menghadap ke bawah. Dengan demikian, daging buah yang berada pada

lapisan pertama dan kedua tidak akan terlalu banyak terkena asap tidak

menjadi hangus/gosong. Dengan kata lain, panas yang diperoleh cukup

merata.

Pengeringan dilakukan sampai daging buah mudah dilepaskan dari

tempurungnya. Lama proses pengeringan dapat diatur, dipercepat, ataupun

diperlambat. Kemudian daging buah dilepaskan dari tempurungnya. Setelah

itu, pengeringan dapat dilanjutkan kembali kira-kira selama dua hari dan akan

dihasilkan kopra mixed yang bermutu FM ke bawah. Kopra yang dikeringkan

di atas api ini biasa disebut kilndried kopra.

(Warisno, 2007).

(30)

Struktur pemasaran/tataniaga produk kelapa (kelapa segar dan kopra) tidak jauh

berbeda dengan struktur pemasaran komoditi perkebunan lainnya, seperti karet,

cengkeh, dan kopi. Karena letak geografis wilayah penghasil kelapa di Indonesia

tersebar secara merata dan biasanya kurang memiliki sarana transportasi yang

baik, maka sangatlah wajar bahwa kondisi seperti ini mengundang hadirnya

pedagang-pedagang kelapa/kopra di tingkat desa. Pedagang perantara seperti ini

disebut pedagang pengumpul kopra. Kopra yang berasal dari petani kelapa atau

pengolah kopra di tingkat desa kemudian dijual kepada pedagang desa, pedagang

perantara dan pedagang kecamatan. Kopra yang sudah terkumpul di pedagang

pegumpul tersebut kemudian dijual kepada pabrik-pabrik minyak kelapa melalui

pedagang perantara yang berada di kota propinsi, atau dapat juga dijual ke pabrik

minyak kelapa propinsi lainnya (Awang, 1991).

2.1.2. Tinjauan Aspek Sosial Ekonomi Kopra

Tanaman kelapa bagi Indonesia merupakan tanaman yang sangat penting, karena

tanaman ini sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, menjadi salah satu

komoditi usaha tani rakyat, dan merupakan komoditi ekspor. Dengan luas

pertanaman yang meliputi 2,5 juta hektar, diperkirakan tidak kurang dari 1,2 juta

keluarga petani memperoleh pendapatan utamanya dai usaha tani kelapa

(Setyamidjaja, 1999).

Pada umumnya komoditi hasil pertanian memiliki beberapa sifat lemah di lihat

dari sudut ekonomi pemasarannya, sebagai berikut:

1) Perishable goods, artinya produk (hasil/barang) yang mudah busuk, mudah

(31)

2) Seasonal product, yaitu ketergantungan produksi usaha tani dan tumbuhan

budidaya masih terletak pada musim.

3) Bulky atau voluminous product, yang berarti produk usaha tani/ pertanian

sifatnya memakan ruangan atau tempat yang relative besar sedangkan nilai

produk itu sendiri relative rendah.

(Sihombing, 2011)

Bila kelapa diproduksi untuk minyak, maka hasil minyaknya termasuk diurutan

kedua setelah kelapa sawit. kelapa sawit menghasilkan minyak 3.375 kg/ha/tahun,

sedangkan kelapa menghasilkan 1.375/kg/ha/tahun. Perkembangan tanaman

kelapa akan makin pesat dengan bertambahnya penduduk baik di Indonesia

sendiri ataupun di dunia. Apalagi, kegunaannya selain untuk minyak dapat

dipergunakan sebagai bahan ramuan obat-obatan (Suhardiman,1999).

Produksi minyak kelapa sangat erat kaitannya dengan produksi kopra, baik tingkat

dunia maupun tingkat negara produsen dan konsumen kopra. Produksi kelapa

Indonesia berhubungan dengan tingkat konsumsi kelapa tersebut di dalam dan di

luar negeri (Awang, 1991). Menurut Setyamidjaja (2008), tingkat konsumsi di

dalam negeri tahun ke tahun terus meningkat dengan laju 4,5% per tahun, sedang

di lain pihak laju peningkatan produksi hanya mencapai 3,37% per tahun,

sehingga terjadilah ketidakseimbangan.

Beberapa karakteristik produksi pertanian diantaranya sebagai berikut:

1) Variying cost of production (biaya produksi yang bermacam-macam)

Adapun produksi dari hasil pertanian juga memiliki biaya produksi yang

(32)

2) Quality variation (variasi mutunya sangat tinggi)

Hasil produksi pertanian juga memiliki mutu yang banyak untuk

dikembangkan sebagai hasil industri yang mana harus memenuhi syarat mutu

yang diminta dari segi fisik (bentuk, tingkat kematangan, kebersihan warna),

organoleptik (warna, rasa, aroma), dan kimia (kadar air dan kandungna

mikroba). Sehingga hasil produk olahan tersebut dapat dikonsumsi

masyarakat dan dapat diekspor.

3) Geographic concentration of production (konsentrasi geografi produksi)

Konsetrasi geografis produksi dimaksuudkan bahwa pada pemakaian produk,

sikap terhadap produk yang artinya bahwa produk pertanian memiliki

keunggulan masing-masing.

Petani kopra selama ini masih jauh dari sejahtera. Setiap hari mereka

memproduksi kopra, hanya untuk melunasi hutang-hutangnya. Uang yang

diperoleh oleh petani kopra memang tidak mencukupi untuk dapat hidup layak.

Mereka selalu terjerat oleh kopra yang dihargai sangat rendah. Selama ini petani

belum ada alternatif lain untuk mengolah daging kelapa selain menjadi kopra,

kopra inilah yang selama ini menjadi andalan penghidupan mereka sekaligus

(Mashuri, 2010).

Karakteristik petani kopra meliputi umur, pengalaman, dan pendidikan formal

yang pernah diikuti. Umur mempunyai pegaruh yang cukup besar terhadap

kemampuan kerja seseorang. Umur sangat berhubungan dengan kemampuan fisik

(33)

seseorang akan diikuti dengan semakin nenurunnya kemampuan fisiknya untuk

mengerjakan pekerjaan yang dibebankan kepadanya (Patty, 1982).

Pengalaman berusaha tani yaitu lamanya petani menekuni usahataninya. Petani

yang telah memiliki pengalaman kerja yang lebih, biasanya akan memberikan

hasil dan kemampuan kerja yang lebih baik dibandingkan dengan yang belum

berpengalaman. Umumnya petani telah mengenal metode pengolahan kopra sejak

masih muda. Karena pengolahan kopra pada usaha tani kelapa rakyat merupakan

hal yan ditekuni secara turun temurun dengan teknologi yang masih sangat

tradisional. Ini menyebabkan faktor pengalaman akan sangat penting artinya bagi

petani (Patty, 1982).

Tingkat pndidikan petani akan mempengaruhi keberhasilan usaha tani yang

dijalankannya. Umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan petani, akan semakin

mudah menerima dan menerapkan teknologi baru dalam usaha tani, sehingga

diharapkan tingkat keberhasilan usaha tani dapat ditttingkatkan. Secara umum

petani pernah mengikuti pendidikan formal, meskipun terbatas pada pendidikan

dasar dan menengah (Patty, 1982).

2.2. Landasan Teori

Komoditi pertanian pada umumnya dihasilkan sebagai bahan mentah dan mudah

rusak (perishable), sehingga perlu penyimpanan, perawatan dan pengolahan.

Proses pengolahan hasil pertanian dapat meningkatkan guna komoditi pertanian

(34)

Komponen pengolahan hasil pertanian menjadi penting karena pertimbangan

sebagai berikut :

1) Meningkatkan nilai tambah

Nilai tambah merupakan nilai produk dikurangi dengan nilai bahan baku dan

bahan penunjang yang dipergunakan dalam proses produksi.

2) Meningkatkan kualitas hasil

Salah satu tujuan pengolahan hasil pertanian adalah untuk meningkatkan

kualitas. Kualitas yang baik akan meningkatkan nilai barang pertanian

menjadi lebih tinggi. Kualitas barang yang rendah sudah pasti akan

menyebabkan harga menjadi rendah begitu pulak sebaliknya.

3) Meningkatkan keterampilan

Keterampilan dalam mengolah dengan baik akan meningkatkan keterampilan

secara kumulatif hingga pada akhirnya akan memperoleh hasil penerimaan

usaha tani yang lebih besar.

4) Meningkatkan pendapatan

Konsekuensi dari hasil olahan yang baik akan menyebabkan total penerimaan

yang lebih tinggi. Bila keadaan memungkinkan maka sebaiknya petani

mengolah sendiri hasil pertaniannya, hal ini untuk mendapatkan kualitas hasil

yang lebih baik, harga yang lebih tinggi dan pasti mendatangkan total

penerimaan keuntungan yang lebih besar.

(Saptana, dkk., 2003).

Petani dengan segala keterbatasan yang dimiliki kurang memperhatikan aspek

pengolahan hasil. Sering kali dijumpai petani yang langsung menjual hasil

(35)

keinginan mendapatkan uang dengan cepat inilah sering kali penanganan pasca

panen menjadi tidak baik dan mengakibatkan nilai tambah bahkan nilai hasil

pertanian itu sendiri menjadi rendah (Santoso, 1998).

Pasca panen hasil pertanian adalah semua kegiatan yang dilakukan sejak proses

pemanenan hasil pertanian sampai dengan proses yang menghasilkan produk

setengah (produk antara/ intermediate). Kegiatan pasca panen meliputi panen,

pengumpulan, perontokan/ pemipilan/ pengupasan, pencucian, pensortiran,

pengkelasan (grading), pengangkutan, pengeringan (drying), penggilingan dan

atau penepungan, pengemasan dan penyimpanan (Deptan, 2009).

Menurut Hadisapoetra (1973) dalam Suparman dan Azis (2003), bahwa suatu

kegiatan usaha tani dikatakan berhasil apabila memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut: Usaha tani harus dapat menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan

untuk membayar seluruh biaya usaha termasuk biaya alat-alat yang diperlukan,

usaha tani harus dapat menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk

membayar bunga modal yang digunakan dalam kegiatan usaha tani tersebut, baik

modal seniri maupun modal yang berasal dari pinjaman, usaha tani harus dapat

menghasilkan pendapatan yang dapat dipakai untuk membayar upah tenaga kerja

yang layak, usaha tani harus memberikan pendapatan yang dapat menunjang

kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidup kepada pelaku usaha.

Selama ini kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan devisa lebih banyak

diperoleh dari produk segar (primer) yang relatif memberi nilai tambah kecil dan

belum mengandalkan produk olahan (hilir) yang dapat memberikan nilai tambah

(36)

olahan (hilir) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan

pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk, dan

bukan lagi pengembangan komoditas. Secara lebih khusus pendekatannya lebih

difokuskan pada pengembangan nilai tambah produk melalui pengembangan

industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik

produk antara, produk semi akhir dan yang utama produk akhir yang berdaya

saing (Deptan, 2009).

2.3. Kerangka Pemikiran

Usaha tani kopra adalah kesatuan unit yang terdiri dari faktor produksi seperti

modal, tenaga kerja dan keterampilan sehingga proses produksi dapat terlaksana

dan menghasilkan output. Dalam usaha tani kopra ketersediaan faktor produksi

merupakan suatu keharusan. Faktor-faktor produksi tersebut meliputi ketersediaan

buah kelapa, tenaga kerja dan pasar. Dimana faktor produksi ini akan membentuk

suatu biaya yang disebut biaya produksi. Besarnya biaya produksi ditentukan

dengan besarnya harga yang berlaku.

Untuk melihat seberapa besar pendapatan usaha tani kopra maka dihitunglah

selisih penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian

penjualan dengan harga yang berlaku, sedangkan pengeluaran mertupakan total

biaya tetap dan biaya variabel. Penerimaan yang lebih besar daripada pengeluaran

berdampak pada tingkat pendapatan yang lebih besar pula bagi usaha tani kopra.

Pendapatan usahatani kelapa butiran dengan pendapatan usahatani kopra memiliki

(37)

Usaha tani kopra dikatakan layak atau tidak layak untuk dikembangkan pada

waktu selanjutnya dianalisis dengan menghitung R/C rasio. Jika usaha tani kopra

sesuai dengan kriteria kelayakan maka usaha tani ini patut untuk dikembangkan.

Setelah diketahui kelayakan usaha taninya, perlu diketahui strategi pengembangan

usaha tani kopra tersebut. Adapun strataegi pengembangan usaha tani kopra ini

diperoleh dengan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman yang

dihadapi oleh usaha tani kopra.

Secara sistematis, kerangka pemikiran digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan: Menyatakan hubungan Kelayakan

Usahatani

Analisis SWOT

Strategi Komparasi

Kopra

Biaya Produksi

Pendapatan Pendapatan

Biaya Produksi

Penerimaan Penerimaan

Kelapa Usaha Tani

Pengolahan Kopra

(38)

2.4. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis penelitian yang dapat diajukan berdasarkan identifikasi masalah

adalah sebagai berikut:

1) Tingkat pendapatan petani dengan menjual kopra lebih tinggi daripada

dengan menjual kelapa.

(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditentukan secara purposive yaitu berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan tertentu disesuaikan dengan tujuan penelitian (Singarimbun, 1989).

Dengan mempertimbangkan bahwa daerah ini merupakan salah satu sentra

produksi tanaman kelapa yang mengolahnya menjadi kopra yang cukup potensial

di Sumatera Utara, yaitu di Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan dan

disajikan dalam tabel 1 dan tabel 2.

Tabel 1. Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Perkebunan Rakyat menurut Kabupaten 2010

No. Kabupaten Luas Tanam (Ha) Produksi (Ton)

1. Nias 21474,00 17326,10

2. Mandailing Natal 2728,58 1255,97

3. Tapanuli Selatan 415,00 213,18

4. Tapanuli Tengah 5567,00 5055,00

5. Tapanuli Utara 351,85 270,15

14. Nias Selatan 19308,00 13806,84

15. Hbg Hasundutan 330,50 146,65

16. Pakpak Bharat 97,90 34,40

17. Samosir 64,35 60,32

18. Serdang Bedagai 2330,15 2267,22

19. Batu Bara 4262,50 17838,60

20. Padang Lawas Utara 716,50 279,05

21. Padang Lawas 702,20 362,65

22. Labuhan Batu Selatan 54,00 43,00

23. Labuhan Batu Utara 6146,00 7086,68

24. Nias Utara - -

25 Nias Barat - -

Jumlah 108241,69 103606,06

(40)

Dari tabel 1 di atas diketahui bahwa Kabupaten Asahan memiliki potensi produksi

buah kelapa yang paling tinggi dari kabupaten-kabupaten lain di Sumatera Utara.

Jumlah produksi kelapa di Kabupaten Asahan pada tahun 2010 mencapai

25.363,62 ton. Jumlah produksi ini jauh lebih tinggi dibanding kabupaten Nias

dan Batu Bara.

Kecamatan Silau Laut adalah salah satu kecamatan di kabupaten Asahan yang

memiliki jumlah produksi kelapa yang tinggi setelah kecamatan Tanjung Balai.

Hal ini dapat dilihat dari tabel 2 yang menunjukkan bahwa jumlah produksi

kelapa di kecamatan Silau Laut pada tahun 2011 sebesar 8.428,50 ton.

Tabel 2. Luas Tanam dan Produksi Kelapa Perkebunan Rakyat per Kecamatan di Kabupaten Asahan tahun 2011

No Kecamatan Luas Tanam (Ha) Produksi (Ton)

1 B. P. Mandoge 66,00 45,50

10 Sei Kepayang Timur 3.630,00 2.385,00

11 Tanjung Balai 3.461,00 9.389,52

Jumlah 27.737,45 24.453,50

(41)

3.2. Metode Pengambilan Sampel

Menurut Suharsimi Arikunto (2006) menyatakan bahwa populasi adalah seluruh

subjek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh

petani kopra Kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan. Adapun yang dimaksud

dengan sampel menurut Suharsimi Arikunto (2006). Sampel adalah “sebagian

atau wakil populasi yang diteliti”.

Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah seluruh populasi. Teknik

pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh

atau sensus, yaitu teknik penentuan sampel apabila semua anggota populasi

digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2005). Ini sering dilakukan jika jumlah

populasi yang relatif kecil. Namun ada kriteria dalam penentuan sampel dalam

penelitian ini yaitu, petani kopra merupakan petani yang mengusahakan kopra dari

kegiatan pemeliharaan kelapa hingga kegiatan pasca panen.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer

diperoleh dari wawancara langsung dengan para responden berdasarkan kuisioner

yang telah dipersiapkan terlebih dahulu, sedangkan data sekunder merupakan data

pelengkap yang diperoleh dari berbagai instansi atau lembaga terkait seperti BPS,

Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta literatur yang ada hubungannya dengan

(42)

3.4. Metode Analisis Data

Untuk tujuan penelitian (1), yaitu mengetahui teknik pengolahan kopra di daerah

penelitian dianalisis secara deskriptif dengan mengumpulkan informasi dan

wawancara langsung dengan petani.

Tujuan penelitian (2), yaitu mengetahui jumlah produksi kelapa petani per hektar

per tahun di daerah penelitian dianalisis dengan mengumpulkan informasi dan

wawancara langsung dengan petani.

Sementara itu, untuk tujuan penelitian (3) dan (4) mengenai pendapatan usahatani

kelapa per hektar per tahun dan pendapatan usaha tani kopra dari pengolahan

kelapa per hektar per tahun di daerah penelitian dianalisis dengan

memperhitungkan pendapatan petani yang menjual hasil produk berupa buah

kelapa dan pendapatan petani yang menjual kopra. Pendapatan petani yang

menjual kopra dihitung pula pendapatan di luar kopra seperti pendapatan menjual

testa/kulit kelapa dan sortiran kelapa. Adapun rumus menghitung pendapatan

petani sebagai berikut :

I = TR - TC

TR = P x Q

TC = TFC + TVC

Keterangan:

I : Pendapatan Bersih/ Benefit

TR : Pendapatan Kotor

TC : Total Biaya

P : Harga Jual

(43)

TFC : Total Biaya Tetap

TVC : Total Biaya Variabel

(Soekartawi, 1995).

Secara teoritis, menurut Soekartawi (1995), apabila TR > TC maka petani

memperoleh keuntungan, apabila nilai TR = TC maka petani tidak untung dan

gtidak rugi, dan apabila nilai TR < TC maka petani mengalami kerugian dalam

usaha taninya.

Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam usaha tani kopra berupa biaya-biaya tenaga

kerja, baik tenaga panen, mengupas sabut, mencungkil daging buah, biaya

pemisahan kulit, biaya pengemasan, serta biaya penyusutan alat-alat yang

digunakan dalam usaha tani kopra.

Selanjutnya untuk menjawab tujuan penelitian (5), penulis membandingkan

pencapaian pendapatan usahatani sebelum dan sesudah diolah menjadi kopra,

kemudian menginterpretasikannya ke dalam analisis uji beda berpasangan.

Dengan menggunakan program SPSS. Adapun bentuk uji hipotesis yang diajukan

adalah uji hipotesis satu sisi (one tailed-test) karena parameter hipotesis

dinyatakan lebih besar atau lebih kecil.

Menurut Sunyoto (2009), ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum uji t

dilakukan, persyaratannya adalah:

1) Data masing-masing berdistribusi normal,

2) Data dipilih secara acak,

(44)

Kriteria pengujian beda rata-rata adalah sebagai berikut:

1) Apabila thitung ≤ ttabel maka Ho ditolak, dan Ha diterima, artinya

perbandingan pendapatan usahatani kopra lebih tinggi daripada pendapatan

usahatani kelapa.

2) Apabila thitung > ttabel maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya

pendapatan usahatani kopra sama dengan pendapatan usahatani kelapa.

Analisis yang digunakan pada tujuan penelitian (6) yaitu studi kelayakan

finansial digunakan analisis Return Cost Ratio (R/C rasio) dengan rumus:

a = R/C

R = Py . Y

C = FC + VC

a = {(Py.Y)/(FC+VC)}

Keterangan :

a = Nisbah antara Penerimaan dengan Biaya-Biaya

R = Penerimaan

C = Biaya

Py = Harga Output

Y = Output

FC = Biaya Tetap

VC = Biaya Variabel

Indikatornya sebagai berikut :

1) Bila R/C = 1 maka usaha tani tidak untung dan tidak rugi

2) Bila R/C < 1 maka usaha tani merugi

3) Bila R/C > 1 maka usaha tani menguntungkan

(45)

Untuk tujuan penelitian (7) yaitu menentukan strategi yang dapat diterapkan oleh

usaha tani, digunakan analisis deskriptif, yaitu dengan matriks SWOT. Matrik ini

menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang

dihadapi usaha tani kopra disesuaikan dengan kelemahan yang dimilikinya.

Analisis SWOT meyediakan pemahaman realistis tentang hubungan suatu

organisasi dengan lingkungannya untuk mendapatkan terciptanya strategi yang

dapat memaksimunkan kekuatan dan peluang serta meminimunkan kelemahan

dan ancaman yang ada. Dengan gambaran tersebut kita akan dapat melihat

bagaimana strategi pengembangan usaha tani kopra di Kecamatan Silau Laut

Kabupaten Asahan.

Langkah-langkah pembuatan SWOT :

1) Mengidentifikasi lingkungan eksternal (peluang dan ancaman) dan

lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) usaha tani kopra.

2) Menganalisis lingkungan internal dengan menggunakan matriks IFE untuk

mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan utama usaha tani.

3) Menganalisis lingkungan eksternal dengan menggunakan matriks EFE untuk

mengidentifikasi peluang dan ancaman utama yang dihadapi usaha tani.

4) Memasukkan hasil analisis matrik IFE dan EFE ke dalam matriks IE untuk

menentukan posisi usaha tani.

5) Melakukan analisis dengan matriks SWOT dengan cara :

1. Membuat daftar peluang eksternal usaha tani

2. Membuat daftar ancaman eksternal usaha tani

3. Membuat daftar kekuatan internal usaha tani

(46)

5. Mencocokkan kekuatan internal dan peluang eksternal dan mencatat

hasilnya dalam strategi SO

6. Mencocokkan kelemahan internal dan peluang eksternal mencatat

hasilnya dalam strategi WO

7. Mencocokkan kekuatan internal dan ancaman eksternal dan mencatat

hasilnya dalam strategi ST

8. Mencocokkan kelemahan internal dan ancaman eksternal dan mencatat

hasilnya dalam strategi WT

Tabel 3. Matriks SWOT

Sumber : Rangkuti, 2005

6) Menentukan prioritas strategi yang dapat diterapkan oleh usaha tani dengan

menggunakan matriks QSP, dengan cara :

1. Membuat daftar peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan usaha tani

(47)

2. Memberi bobot pada masing-masing faktor internal dan eksternal. Bobot

ini identik dengan yang dipakai dalam matriks IFE dan EFE.

3. Mengidentifikasi strategi alternatif yang diperoleh dari analisis SWOT.

Kemudian mencatat strategi-strategi ini di bagian atas baris QSPM

4. Menetapkan attractiveness score (AS) untuk setiap strategi berdasarkan

peran faktor tersebut terhadap setiap alternatif strategi. Batasan nilai AS

adalah : 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = secara logic menarik, 4

= sangat menarik.

5. Menghitung total attractiveness score (TAS) dengan mengalikan bobot

dengan AS

6. Menghitung jumlah seluruh TAS untuk setiap alternatif strategi. Dari

beberapa nilai TAS yang didapat, nilai TAS dari alternatif strategi yang

tertinggi menunjukkan bahwa alternative strategi itu yang menjadi

pilihan utama. Nilai TAS terkecil menunjukkan bahwa alternatif strategi

ini menjadi pilihan terakhir.

Tabel 4. Matriks QSP

Faktor-faktor sukses kritis

Bobot (a)

Alternatif Strategi

Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3 Strategi 4 AS

(48)

3.5. Definisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan dalam penafsiran penelitian

ini, maka perlu dibuat definisi dan batasan operasional sebagai berikut:

1.5.1. Definisi Operasional

1. Kopra adalah daging buah kelapa yang telah dicungkil/dipisahkan dari

tempurung kelapa.

2. Usaha tani kopra adalah sistem budidaya yang mengusahakan kopra mulai

dari pemanenan buah kelapa hingga menjadi kopra.

3. Petani kopra adalah petani yang melakukan kegiatan panen kelapa hingga

mengolahnya menjadi kopra.

4. Biaya produksi adalah biaya yang harus dikeluarkan selama proses produksi

berlangsung sampai siap untuk dipasarkan.

5. Pendapatan kopra adalah penjumlahan pendapatan yang diperoleh dari

penjualan kopra, sabut dan tempurung.

6. Penerimaan adalah perkalian antara hasil produksi dengan harga jual.

7. Pengeluaran adalah perkalian biaya produksi dengan harga input.

8. Studi kelayakan adalah suatu studi atau penilaian dalam rangka untuk melihat

apakah usaha tani yang akan dilakukan dengan berhasil dan menguntungkan

secara ekonomi.

9. Kekuatan (Strength) internal adalah segala kekuatan yang berhubungan

dengan proses pengembangan kegiatan usaha tani dan dapat dikontrol oleh

(49)

10.Kelemahan (Weakness) internal adalah segala kelemahan yang berhubungan

dengan proses pengembangan kegiatan usaha tani dan dapat dikontrol oleh

petani.

11.Peluang (Opportunity) eksternal adalah segala peluang yang berhubungan

dengan proses pengembangan kegiatan usaha tani dan tidak dapat dikontrol

oleh petani.

12.Ancaman (Threath) eksternal adalah segala ancaman yang berhubungan

dengan kegiatan usaha tani dan tidak dapat dikontrol oleh petani.

13.Strategi pengembangan usaha tani kopra adalah tindakan peningkatan usaha

tani secara terintegrasi, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang

apa yang diharapkan petani di masa depan.

13.5.1.Batasan Operasional

1. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan.

2. Sampel petani dalam penelitian ini adalah petani kopra yang melakukan

usaha tani kopra dan menetap di Kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan.

(50)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK PETANI SAMPEL

4.1. Deskripsi Daerah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan, Provinsi

Sumatera Utara. Luas wilayah Kecamatan Silau Laut sebesar 2,35 persen dari

total luas daratan Kabupaten Asahan yaitu seluas 8.945 hektar. Kecamatan Silau

Laut merupakan dataran rendah yang memiliki tanah liat putih dan tanah liat

merah, dengan ketinggian 0-4 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Silau

Laut terdiri dari 5 desa diantaranya desa Bangun Sari, desa Silo Lama, desa Silo

Bonto, desa Silo Baru, dan desa Lubuk Palas. Jumlah penduduk sebanyak 20.456

jiwa yang terdiri dari 10.234 laki-laki dan 10.222 perempuan.

Kecamatan Silau Laut memiliki batas-batas wilayah kecamatan sebagai berikut:

• sebelah Utara : Selat Malaka

• sebelah Selatan : Kecamatan Air Joman

• sebelah Timur : Kecamatan Tanjung Balai

(51)

4.2. Tata Guna Lahan

Penggunaan lahan daerah penelitian menurut fungsinya terdiri dari kebun kelapa,

kebun kelapa sawit, cokelat, padi sawah, perumahan, perkuburan dan jalan

kecamatan. Secara rinci dapat dilihat pada tabel :

Tabel 5. Tata Guna Lahan Daerah Penelitian Tahun 2013

No. Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Kebun kelapa 5.869 74,50

2 Kebun kelapa sawit 1.458 18,50

3 Kebun cokelat 213 2,70

4 Padi sawah 338 4,30

Jumlah 7.878 100

Sumber: Data Monografi Kecamatan Silau Laut 2013

Dari Tabel 5 dapat dikemukakan bahwa penggunaan lahan di daerah penelitian

lebih banyak digunakan untuk perkebunan kelapa rakyat seluas 5.869 Ha dengan

persentasesebesar 74,50%, untuk perkebunan kelapa sawit seluas 1.458 Ha

dengan persentase 18,50%, untuk kebun cokelat 213 Ha dengan persentase 4,30%,

dan untuk padi sawah seluas 338 Ha dengan persentase 4,30%. Sebagian besar

penduduk di Kecamatan Silau Laut mata pencahariannya di sektor pertanian

khususnya perkebunan kelapa rakyat, mayoritas penduduknya bekerja sebagai

(52)

4.3. Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk menurut desa dapat disajikan pada tabel berikut :

Tabel 6. Jumlah Penduduk berdasarkan Desa, 2013

No. Desa Jumlah Penduduk (jiwa) Persentase (%)

1 Lubuk Palas 5.361 26,20

Sumber: Data Monografi Kecamatan Silau Laut 2013

Berdasarkan Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk di desa Lubuk

Palas paling banyak daripada jumlah penduduk di desa lain di kecamatan Silau

Laut yaitu dengan jumlah penduduk 5.361 jiwa dan persentase 26,20%.

Sementara keadaan penduduk menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel 7. Keadaan Penduduk menurut Kelompok Umur Tahun 2013

No. Umur (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Sumber: Data Kecamatan Silau Laut 2013

Tabel 7 menunjukkan bahwa penduduk Silau Laut paling banyak pada usia/umur

(53)

Gambaran keadaan sosial ekonomi petani di lokasi penelitian bervariasi baik

dilihat dari suku (Batak, Jawa, dan Mandailing) maupun dari sumber mata

pencaharian. Namun penduduk Silau Laut paling banyak bermata pencaharian

sebagai petani kelapa. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas pengolahan kelapa yang

juga mengikutsertakan tenaga perempuan sebagai tenaga pengolah. Selain sebagai

petani kelapa, masyarakat sekitar juga bermata pencaharian sebagai nelayan.

4.4. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang ada di kecamatan Silau Laut cukup tersedia baik,

seperti prasarana pendidikan formal, prasarana kesehatan, dan sarana ibadah. Di

kecamatan Silau Laut juga terdapat kantor penyuluh pertanian yang terdapat di

desa Silo Bonto.

Jalan sebagai sarana penunjang transportasi memiliki peran penting khususnya

untuk transportasi darat. Dari total 57,10 km panjang jalan kecamatan Silau Laut,

sepanjang 43,25 km merupakan jalan dengan kondisi yang rusak atau sekitar 76

persen dari total panjang jalan di kecamatan ini.

4.5. Karakteristik Petani Sampel

Petani sampel yang dimaksud adalah petani kelapa yang mempunyai kebun kelapa

dan juga mengusahakannya menjadi kelapa putih/kopra yang berada di kecamatan

(54)

Tabel 8. Karakter Petani Sampel

No. Uraian Rataan Range

1 Umur (tahun) 46,2 36-54

2 Pendidikan formal (tahun) 10,6 6-12

3 Pengalaman bertani (tahun) 22 15-25

4 Produksi kelapa (ton/ha/tahun) 3,4 2-35

Sumber : Data diolah dari Lampiran 1 dan 3

Tabel 8 menunjukkan bahwa petani kelapa memiliki umur rata-rata 46,2 tahun

dengan range 36-54 tahun artinya petani sampel masih berada pada usia produktif

sehingga masih besar potensi untuk mengembangkan usaha tani kopra di

kecamatan Silau Laut. Pendidikan petani di daerah penelitian berada pada kisaran

6-12 tahun artinya petani sudah memiliki pendidikan SD, SMP, dan SMA.

Pengalaman bertani petani berada pada kisaran 5-20 tahun atau rata-rata 22 tahun.

Terlihat dari survey ini bahwa petani yang diwawancarai merupakan generasi

kedua atau anak dari petani kelapa sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa

pengalaman bertani terdiri dari tahap pemula dan tahap berpengalaman.

Umumnya petani sampel telah ikut bertani sejak orang tuanya masih menjadi

petani kelapa. Jumlah produksi kelapa (ton/ha) berada pada kisaran 2-35 (ton/ha)

dengan rataan 3,4 ton/ha artinya produksi yang dihasilkan petani sudah cukup

(55)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Teknis Pengolahan Kopra

Komoditi pertanian pada umumnya dihasilkan sebagai bahan mentah dan mudah

rusak, sehingga perlu penyimpanan, perawatan dan pengolahan. Proses

pengolahan hasil pertanian dapat meningkatkan guna komoditi pertanian.

Usaha tani pengolahan kopra di Kecamatan Silau Laut telah dilakukan secara

turun temurun. Hal ini ditunjukkan dengan usia tanaman kelapa yang sudah cukup

tua berkisar 20 tahunan. Pengolahan kopra di Kecamatan Silau Laut masih

bersifat tradisional. Pengolahan kopra dilakukan tanpa menggunakan teknologi

mesin. Usaha tani kopra di Kecamatan Silau Laut bersifat padat karya. Adapun

teknis pengolahan kopra di Kecamatan Silau Laut meliputi panen kelapa,

pembelahan buah kelapa, pencungkilan, pemisahan testa, pencucian, serta

pengemasan kopra.

5.1.1. Panen Kelapa

Dalam pertanian, panen merupakan kegiatan mengumpulkan hasil usahatani dari

lahan budidaya. Panen menandakan bahwa telah berakhirnya kegiatan di lahan.

Panen dilakukan berdasarkan umur panen. Umur panen merupakan kondisi

dimana tanaman sudah mencapai masak optimum dan siap untuk diambil

hasilnya.

Waktu pemanenan buah kelapa berbeda-beda, tergantung varietas kelapa, faktor

(56)

di daerah penelitian yaitu varietas kelapa dalam, tanaman mulai menghasilkan dan

sudah dapat dipanen saat berumur 6-8 tahun.

Kelapa yang digunakan dalam proses pengolahan kopra adalah kelapa tua. Kelapa

tua memiliki kadar minyak yang tinggi serta dibutuhkan untuk kepentingan

industri. Kelapa tua ditandai dengan sabut yang mulai mongering, temputung

yang sudah berwarna hitam, air kelapa sedikit dan bila diguncang berbunyi, berat

buah menurun rata-rata perbuah berat kelapa 1,5 kg, serta pembentukan putih

lembaga sempurna dan jika tidak dipetik maka akan jatuh sendiri dari pohonya.

Pemanenan buah kelapa dalam satu tahun dilakukan sebanyak empat kali.

Rata-rata per hektar pemanenan buah kelapa di daerah penelitian dilakukan oleh satu

orang tenaga pengait. Upah yang diperoleh oleh tenaga pemanen berdasarkan

sistem borongan. Rata-rata per kilogramnya pemanen diupah sebesar Rp 300.

Pemanenan dengan menggunakan kaitan ini umumnya lebih cepat, lebih efisien,

dan tidak terlalu berbahaya dibanding dengan memanjat pohon kelapa. Rata-rata

kemampuan pemetikan dengan menggunakan kaitan sebanyak 100

pohon/orang/hari. Kegiatan panen yang dilakukan berupa pengaitan buah kelapa,

pengumpulan, pembelahan, dan pencungkilan daging buah.

Pengaitan buah buah kelapa dimaksudkan untuk mengambil hasil panen kelapa

tua yang belum jatuh dengan sendirinya. Alat yang digunakan adalah kaitan.

Kaitan ini terdiri dari tiga bagian diantaranya, galah, tulang daing, dan juga

Gambar

Gambar 1. Diagram Pembuatan Kopra dengan Penjemuran
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
Tabel 1. Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Perkebunan Rakyat menurut Kabupaten 2010
Tabel 2. Luas Tanam dan Produksi Kelapa Perkebunan Rakyat per Kecamatan di Kabupaten Asahan tahun 2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

VB x HB. 4) Keuntungan pemasaran merupakan selisih antara marjin pemasaran dengan biaya pemasaran, dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/Kg). 5) Perajin kopra

Pendapatan petani sampel pada usahatani kelapa diperoleh dari selisih antara penerimaan usahatani kelapa dengan total biaya produksi yang dikeluarkan dalam

perkebunan menjadi salah satu penyumbang devisa negara yang tidak sedikit (Tim Penulis PS, 2008).. Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk konsumsi

Pendapatan petani sampel pada usahatani kelapa diperoleh dari selisih antara penerimaan usahatani kelapa dengan total biaya produksi yang dikeluarkan dalam

Penerimaan dan Pendapatan Hasil perhitungan dari selisih penerimaan yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan maka pendapatan yang diperoleh dari usahatani kelapa

Dilihat dari selisih penerimaan tunai dan penerimaan total antara petani mitra dengan petani non mitra yang lebih besar daripada selisih biaya tunai dan biaya total, maka

Penerimaan dan Pendapatan Hasil perhitungan dari selisih penerimaan yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan maka pendapatan yang diperoleh dari usahatani kelapa

Penerimaan dan Pendapatan Hasil perhitungan dari selisih penerimaan yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan maka pendapatan yang diperoleh dari usahatani kelapa