Meunasah
Suatu Etnografi Tentang Sosial Keagamaan Masyarakat Aceh di
Kabupaten Aceh Utara Kecamatan Paya Bakong Gampong
Tanjong Beurunyong, Nanggroe Aceh Darussalam
Disusun oleh:
Oemar Abdillah
060605016
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PERNYATAAN
Meunasah
Suatu Etnografi Tentang Sosial Keagamaan Masyarakat Aceh di Kab. Aceh Utara Kec. Paya Bakong
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatau perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, Juli 2012
ABSTRAK
Meunasah (Suatu Etnografi tentang Sosial Keagamaan Masyarakat Aceh di Gampong Tanjong Beurunyong Kec. Paya Bakong Kab. Aceh Utara)
Oemar Abdillah, 2012. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 82 halaman, 7 gambar, 14 daftar pustaka, 10 artikel (internet).
Kajian tentang “meunasah” berfokus pada fungsi meunasah dalam
masyarakat Aceh. Lebih detailnya menjelaskan tentang kemunculan meunasah
dalam kehidupan masyarakat, arti meunasah, fungsi, dan perubahannya.
Penelitian ini mengambil lokasi di Gampong Tanjong Beurunyong Kecamatan
Paya Bakong Kabupaten Aceh Utara. Penelitian ini menggambarkan pentingnya
meunasah dan bagaimana masyarakat gampong memfungsikan meunasah dalam aktifitas sehari-hari.
Pendekatan yang digunakan peneliti adalah pendekatan etnografi dengan metode kualitatif dan tipe penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode observasi partisipasi untuk melihat, aktifitas-aktifitas yang
dilakukan masyarakat gampong dalam kesehariannya, khususnya yang
berhubungan dengan meunasah dimana peneliti ikut juga dalam melaksanakan
aktifitas tersebut. Wawancara mendalam, dan wawancara sambil lalu juga digunakan, untuk lebih lebih mengerti tentang kehidupan masyarakat di lokasi penelitian dan mendapatkan pengertian dan penjelasan yang lebih mendalam. Untuk mendapatkan penjelasan yang mampu mendukung kajian, peneliti juga menggunakan dan mencanutumkan beberapa literatur, dan tulisan yang dirasa dapat mendukung dalam menjelaskan tentang penelitaian mengenai meunassah ini.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa keberadaan meunasah merupakan
bagian dalam sistem sosial dan budaya bagi masyarakat Aceh yang umumnya beragama Islam tidak dapat dipisahkan dari keberadaan meunasah yang memiliki fungsi penting dalam kebudayaan mereka. Fungsi meunasah tidak hanya berkaitan dengan fungsi utamanya sebagai rumah ibadah. Bagi masyarakat aceh khususnya di lokasi penelitan, fungsi tersebut juga sebagai, lembaga pendidikan, lembaga politik, tempat berkumpul, dan juga sebagai lembaga peradilan dalam pemerintahan adat. Perubahan-perubahan yang terjadi seiring perjalanan waktu, juga mempengaruhi meunasah, tetapi perubahan tersebut tidak terlalu mengubah
pentingnya meunasah sebagai bangunan tradisional Aceh terhadap masyarakat
Aceh itu sendiri.
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala
berkah, rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “meunasah: Suatu Etnografi Tentang Sosial Keagamaan
Masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara Kecamatan Paya Bakong
Gampong Tanjong Beurunyong, Nanggroe Aceh Darussalam”.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang tulus
kepada berbagai pihak, di antaranya kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si.,
selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Terkhusus buat Bapak Dr. Fikarwin Zuska, sebagai Ketua Departemen
Antropologi Sosial FISIP USU dan juga Bapak Drs. Ermansyah M.Hum. selaku
Dosen Pembimbing saya, yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran dalam membimbing saya selama dari proses penyusunan proposal sampai
penulisan skripsi ini selesai, terima kasih atas bekal ilmu yang sangat berharga
yang telah Bapak berikan kepada saya, semoga apa yang telah Bapak berikan
kepada saya mendapat balasan dari Allah SWT. Saya juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Drs. Agustrisno, M.SP. sebagai Sekretaris Departemen
Antropologi Sosial FISIP USU, terima kasih buat didikannya selama saya
melakukan kegiatan perkuliahan. Selanjutnya, kepada Bapak Drs. Zulkifli, M.A.
selaku dosen penasihat akademik saya yang telah membimbing saya dari awal
perkuliahan hingga akhir perkuliahan. Kepada seluruh dosen di Departemen
Kepada seluruh staff di FISIP USU khususnya di Departemen Antropologi yaitu
buat Ibu Nur dan Ibu Dra. Sofiana yang sudah membantu saya dalam mengurus
kelancaran administrasi selama dalam masa perkuliahan.
Kepada masyarakat gampong tanjong Beurunyong, khususnya keluarga
Pak Syamsarif, Bu Mala, Shik Aziz, Pak Irwansyah, Pak Ali, Bu Maryam dan Pak
Rusli, serta teman-teman se-Meunasah Tanjong Beurunyong, atas segala
keramahan, dan murah hati yang telah memberi saya izin untuk tinggal beberapa
waktu serta kerjasamanya sehingga penelitian skripsi ini dapat di selesaikan.
Terkhusus untuk Ruri Maidany yang telah memberikan motivasi dan
semangat kepada saya selama proses menyelesaikan skripsi ini, terima kasih buat
perhatian, kasih sayang, cinta dan kesabaran yang telah diberikan sehingga saya
bisa kuat dalam mengerjakan skripsi ini hingga selesai. Tidak lupa tentunya buat
sahabat-sahabat saya yaitu Badai Adra Sikumbang, Denny Nitra Silaen S. Sos,
Elmanuala Pasaribu, Firman Januari Tambunan, Muhammad Ziad Ananta S. Sos.
, Wilfrit Syahputra Silitonga, Rikky E. S. S.Sos, saya pasti merindukan saat-saat
bersama kalian di kampus. Semoga kita bisa sukses. Tetap semangat untuk bisa
menaklukkan dunia. Buat sahabat-sahabatku seluruh mahasiswa Antropologi
FISIP USU, khususnya teman seperjuangan saya stambuk 2006 yang telah
terlebih dahulu menggapai gelar S.Sos yaitu: Ayu, Helena, Aroz, Rere, Benny,
Sari, Inggrid, Enny, Fadli, Melda, Gaby, Kevin, Noprianto, Yani, Mardiana,
Santa, Ruli, Lasmi, Atika, Lisnawati, Danur. Kemudian juga teman-teman
Sosial yaitu Hendra Gunadi, Rikardo, Hemalea, Look Sun, Erika, Fika, Fian,
Desy, Charles, tetap semangat dalam menggapai tujuan.
Buat abanda dan kakanda di Antropologi Kak Fida, Kak Yeni, Kak Risa,
Bang Ando, Bang Hedo, Bang Darwin, Bang Iwan, Bang Abu, Bang Tasvin, dan
adik-adik junior stambuk 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011 di FISIP Antropologi
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu saya ucapkan terima kasih. Untuk
Maria, Putri, Arni, Dea, Helen, Mila, Uti, Radin, Edo, Icha, Indri, Santa, Surya,
Nunu, Anugrah, untuk segala semangatnya yang ditularkan.
Untuk teman-teman di Java-Net, terkhusus untuk Bang Boby yang telah
menberi kesempatan bekerja dan internet selama proses penulisan skripsi ini,
untuk operator Didi, Galih, Jani, Rizki, yang pernah bersama-sama selama
beberapa bulan. Untuk Rahmat, Awi, Bukhori, Juli, dan teman-teman lainnya
yang telah menjadi penghibur untuk segala kondisi.
Teristimewa buat kedua orangtuaku yang sangat kucintai, Abah Azwir dan
Mama Tehdi, terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanan, cinta dan
kasih sayang tulus dalam membesarkan dan mendidik Abdi dengan penuh kasih
sayang. Membuat kalian berdua bahagia dan selalu tersenyum adalah impianku.
Doakan selalu anakmu ini. Untuk ketiga adikku tersayang, Husna Rahmayani,
Ilham Maulana, dan Alya Namira Khairunnajah, terima kasih atas dukungan, doa,
dan kasih sayang yang telah diberikan, doakan abang sukses ya! setelah ini. Tidak
lupa juga buat kakek dan nenekku tersayang dan seluruh keluarga di Medan,
Kiranya Allah SWT. dapat membalas segala kebaikan yang telah diberikan
oleh semua pihak kepada saya. Menyadari akan keterbatasan saya, maka skripsi
atau hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu,
koreksi dan masukan dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil penelitian ini
sangat saya harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juli 2012
Penulis,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Oemar Abdillah, lahir pada tanggal 10 September
1988 di Medan, Sumatera Utara. Beragama Islam, Anak
Pertama dari Empat bersaudara dari pasangan ayahanda
bernama Azwir dan ibunda bernama Tehdi S.Pd.
Pendidikan pendidikan formal penulis; SD
Muhammadiah 12 Medan (1994-2000), SLTP Negeri 30
Medan (2000-2003), SMA Negeri 12 Medan; Departemen Antropologi Sosial,
KATA PENGANTAR
Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di
Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sumatera Utara, Medan. Untuk memenuhi persyaratan tersebut
peneliti telah menyusun sebuah skripsi dengan judul Meunasah (Suatu Etnografi
Tentang Sosial Keagamaan Masyarakat Aceh di Kab. Aceh Utara Kec. Paya
Bakong).
Ketertarikan penulis pada untuk membahas tentang budaya aceh
khususnya pada meunasah diawali dari penggunaan kata meunasah sehari-hari
dalam bahasa Aceh. Kata meunasah yang tidak hanya menunjuk pada sebuah
bangunan ibadah tapi juga menunjuk menjadi nama gampong dimana meunasah
itu didirikan. Dari penelusuran berikutnya, ternyata bagi masyarakat aceh sendiri
meunasah menjadi bagian penting dalam kehidupan religi dan social masyarakat
aceh itu sendiri.
Dalam skripsi ini peneliti akan memaparkan bagaimana pentingnya
keberadaan meunasah dalam sebuah gampong dan segala aktifitas masyarakat
yang berada di lingkungan meunasah. Dengan menggunakan teknik etnografi
dalam antropologi, peneliti akan menjelaskan bagaimana sebuah bangunan rumah
ibadah seperti meunasah menjadi sentral dalam banyak aktifitas yang dilakukan.
Penelitian ini juga akan menjelaskan bagaimana meunasah tidak hanya sebagai
sebagai lembaga pendidikan, sosial, hukum, dan menjadi tempat berkumpul
masyarakat dalam banyak aktifitas di dalam gampong.
Akhirnya, peneliti berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita
semua. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena
keterbatasan kemampuan, pengetahuan, materi, dan pengalaman peneliti. Peneliti
sebagai penulis skripsi ini, dengan tidak mengurangi rasa hormat, mengharapkan
kritik dan saran maupun sumbangan pemikiran yang bersifat membangun dari
berbagai pihak untuk menyempurnakan skripsi ini.
Medan, Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN ...
PERNYATAAN ORIGINALITAS ... ...i
ABSTRAK ...ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iii
RIWAYAT HIDUP ...vii
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….……...………….5
1.5. Tinjauan Pustaka………...….………...5
1.6. Metode Penelitian………..…….………...12
BAB II. GAMBARAN UMUM GAMPONG TANJONG BEURUNYONG.19 2.1. Kondisi dan Demografi Gampong Tanjong Beurunyong………19
2.1.1.Sejarah Gampong Tanjong Beurunyong..………..19
2.1.2.Kondisi Geografis Gampong Tanjong Beurunyong……...20
2.1.3.Jumlah Penduduk………..……….22
2.1.4.Pendidikan………..………...23
2.1.5.Mata Pencaharian………...………25
2.1.6.Kesehatan………..……….27
2.1.7.Peribadatan………...28
2.2. Sarana dan Prasarana Gampong Tanjong Beurunyong………….29
2.3. Stratifikasi Sosial………..….31
2.4. Pola Pemukiman………..………..32
2.5. Sistem Pemerintahan………..………...33
BAB III. PROFIL MEUNASAH………..………...40
3.1. Sejarah dan Arti Meunasah Bagi Masyarakat Aceh………..40
3.2. Arsitektur Meunasah……….…..44
3.3. Kepengurusan Meunasah Tanjong Beurunyong…………...….…48
3.4. Hari-hari Besar di Meunasah Tanjong Beurunyong………..51
BAB IV. FUNGSI MEUNASAH……….54
4.1. Adat dan Hukum……….…54
4.2. Program dan Kebijakan yang Berkaitan dengan Meunasah...…...60
4.3.1. Meunasah sebagai Tempat Meunasah Sebagai Tempat Sholat63
4.3.2. Meunasah sebagai Tempat Mengaji...64
4.3.3. Khauri (Kenduri)………...………...67
4.3.4. Meunasah sebagai Tempat Berkumpul dan Balai Serba Guna.68 4.3.4.1. Meunasah sebagai Tempat Musyawarah dan Mufakat69 4.3.4.2. Meunasah tempat Menginap Laki-laki Lajang...70
4.3.4.3. PKK, Posyandu, dan PAUD………..…..71
4.4. Perubahan di Gampong Tanjong Beurunyong………..………..73
BAB V. KESIMPULAN……….…..…...79
DAFTAR ISTILAH
Amar ma’ruf nahi mungkar (arab) Menjalankan yang baik menjauhi yang buruk
Baleë Tempat anak kecil belajar agama dan mengaji
Cut gelar atau panggilan bangsawan perempuan
Dayah lembaga pendidikan agama lanjutan di Aceh
Gampong Kampung/desa
Imam rawatib, imeum meunasah Sebutan untuk ahli agama yang memimpin
meunasah Kaur kepala urusan
Keuchik Kepala Desa
Keujreun blang yang memimpin dan mengatur kegiatan di bidang usaha persawahan
Khauri Kenduri
Lubok, seunubok lubuk
Meunasah Musolla
Muge Agen pengumpul hasil-hasil pertanian
Mukim Kumpulan/federasi beberapa gampong Petua Seneubok memimpin dan mengatur ketentuan adat
tentang pembukaan dan penggunaan lahan untuk perladangan/perkebunan
Qanun hukum, undang-undang
Shik Kakek
Tengku gelar untuk ahli agama
Teuku gelar untuk bangsawan
ABSTRAK
Meunasah (Suatu Etnografi tentang Sosial Keagamaan Masyarakat Aceh di Gampong Tanjong Beurunyong Kec. Paya Bakong Kab. Aceh Utara)
Oemar Abdillah, 2012. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 82 halaman, 7 gambar, 14 daftar pustaka, 10 artikel (internet).
Kajian tentang “meunasah” berfokus pada fungsi meunasah dalam
masyarakat Aceh. Lebih detailnya menjelaskan tentang kemunculan meunasah
dalam kehidupan masyarakat, arti meunasah, fungsi, dan perubahannya.
Penelitian ini mengambil lokasi di Gampong Tanjong Beurunyong Kecamatan
Paya Bakong Kabupaten Aceh Utara. Penelitian ini menggambarkan pentingnya
meunasah dan bagaimana masyarakat gampong memfungsikan meunasah dalam aktifitas sehari-hari.
Pendekatan yang digunakan peneliti adalah pendekatan etnografi dengan metode kualitatif dan tipe penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode observasi partisipasi untuk melihat, aktifitas-aktifitas yang
dilakukan masyarakat gampong dalam kesehariannya, khususnya yang
berhubungan dengan meunasah dimana peneliti ikut juga dalam melaksanakan
aktifitas tersebut. Wawancara mendalam, dan wawancara sambil lalu juga digunakan, untuk lebih lebih mengerti tentang kehidupan masyarakat di lokasi penelitian dan mendapatkan pengertian dan penjelasan yang lebih mendalam. Untuk mendapatkan penjelasan yang mampu mendukung kajian, peneliti juga menggunakan dan mencanutumkan beberapa literatur, dan tulisan yang dirasa dapat mendukung dalam menjelaskan tentang penelitaian mengenai meunassah ini.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa keberadaan meunasah merupakan
bagian dalam sistem sosial dan budaya bagi masyarakat Aceh yang umumnya beragama Islam tidak dapat dipisahkan dari keberadaan meunasah yang memiliki fungsi penting dalam kebudayaan mereka. Fungsi meunasah tidak hanya berkaitan dengan fungsi utamanya sebagai rumah ibadah. Bagi masyarakat aceh khususnya di lokasi penelitan, fungsi tersebut juga sebagai, lembaga pendidikan, lembaga politik, tempat berkumpul, dan juga sebagai lembaga peradilan dalam pemerintahan adat. Perubahan-perubahan yang terjadi seiring perjalanan waktu, juga mempengaruhi meunasah, tetapi perubahan tersebut tidak terlalu mengubah
pentingnya meunasah sebagai bangunan tradisional Aceh terhadap masyarakat
Aceh itu sendiri.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Asal kata meunasah berasal dari kata madrasah pada tempo dulu,
madrasah sendiri dalam bahasa Arab berarti lembaga pendidikan atau sekolah
pesat, dan bangunan pendidikan telah didirikan, maka namanya berubah menjadi
meunasah. Tripa meunasah dapat dilihat
dalam tiga dimensi: yaitu hubungan manusia dengan Tuhan-Nya
(Hablumminallah), hubungan manusia dengan manusia lainnya
(Hablumminannas), dan interaksi manusia dengan lingkungan.
Secara fisik meunasah dapat diartikan sebagai rumah ibadah bagi umat
Islam yang dapat disamakan dengan dengan musholla. Secara arsitektur meunasah
harus membujur dari Utara ke Selatan sekaligus, agar masyarakat mengetahui ke
mana arah kiblat shalat sesuai dengan fungsinya sebagai rumah ibadah, sehingga
para tamu yang berdatangan ke suatu kampung/gampong langsung dapat
membedakan rumah dengan meunasah
meunasah-meunasah tradisional biasanya berbentuk rumah panggung seperti
rumah adat masyarakat Aceh. Sebagai rumah ibadah meunasah memiliki
fungsi-fungsi keagamaan antara lain: sebagai tempat dakwah dan diskusi mengenai
Islam, serta tempat pendidikan agama Islam, khususnya mengaji. Fungsi lain
yang sudah baligh (dewasa) dan tidak memiliki tempat tinggal tetap. Hal yang
sama juga ditemukan pada masyarakat Minangkabau, dimana surau dalam
ketentuan adat juga berfungsi sebagai tempat menginap bagi laki-laki yang telah
baligh dan duda.
Pada saat ini meunasah merupakan tempat pendidikan masyarakat,
pembinaan, dan mengembangkan diri dalam hal keterampilan, seni dan olahraga
khususnya pada generasi muda mereka. Meunasah menjadi tempat para pemuda
berlatih kegiatan seni seperti tari dan musik, sedangkan lantai bawah meunasah
atau halaman meunasah yang cukup luas digunakan sebagai tempat berlatih olah
raga.
Dalam percakapan sehari-hari meunasah juga dapat diartikan sama dengan
gampong (kampung/desa). Meunasah sebagai sebuah gampong atau desa
merupakan sebuah kesatuan administratif terkecil dalam masyarakat Aceh.
Dalam bidang politik dan hukum bangunan meunasah sendiri merupakan pusat
administratif pemerintahan dari sebuah gampong (desa). Umumnya tiap-tiap
gampong atau kampung di Aceh memiliki satu meunasah, hal ini sesuai dengan
Qanun al Asyi (UUD Kerajaan Aceh).
Hasjmy (1995) menjelaskan bahwa:
“disyaratkan pada tiap-tiap kampung didirikan satu meunasah
dalam sistem masyarakat Aceh. Untuk mengelola meunasah
Meunasah biasanya juga merupakan tempat diadakannya segala kegiatan
kemasyarakatan seperti musyawarah dan mufakat yang diadakan para pemangku
kekuasaan di gampong. Kegiatan-kegiatan seperti Posyandu, dan PKK, juga
biasanya diadakan di meunasah. Meunasah merupakan tempat masyarakat dalam
menyelesaikan masalah sengketa/damai dan permasalahan hukum-hukum adat.
Meunasah terkadang juga menjadi tempat masyarakat menjalankan kegiatan
ekonomi masyarakat. Pada meunasah-meunasah yang memiliki halaman yang
cukup luas, masyarakat menggunakan halaman tersebut sebagai tempat menjemur
hasil-hasil pertanian seperti kakao (coklat), padi dan kopi sehingga terkadang
transaksi antara petani dan muge (pengumpul/agen), sedangkan pada daerah yang
merupakan daerah tujuan wisata meunasah juga menjadi tempat menginap bagi
tamu.
Pada saat ini fungsi-fungsi tersebut beberapa telah mulai berubah.
Pendidikan agama dan mengaji khususnya pada anak usia dini tidak lagi
dilakukan di meunasah, tetapi telah diserahkan ke balee (balai-balai) pengajian,
dayah, pesantren dan sekolah umum. Pendidikan pada anak masih dilakukan
tetapi dalam bentuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Para pemuda khususnya
laki-laki yang telah baligh-pun untuk menginap dan bersosialisasi mulai jarang
terlihat di meunasah. Mereka kini lebih menggunakan meunasah sebagai tempat
kegiatan seni dan pengembangan diri. Walaupun demikian meunasah masih
menjadi pusat dari segala kegiatan dalam sebuah gampong khususnya di
bidang-bidang pemerintahan. Meunasah masih menjadi tempat berkumpulnya masyarakat
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah
dalam penelitian ini bagaimana keberadaan meunasah sebagai salah satu unsur
dari sistem sosial budaya masyarakat Aceh? Permasalahan ini diuraikan ke dalam
lima pertanyaan penelitian yakni:
1. Sejak kapan meunasah ada dalam kehidupan masyarakat Aceh?
2. Apa arti meunasah bagi masyarakat Aceh?
3. Apa fungsi meunasah?
4. Apa fungsi meunasah yang berubah dari sebelumnya?
5. Bagaimana meunasah menjadi bagian penting dalam sosial religi
masyarakat Aceh?
1.3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih dalam melakukan penelitian ini adalah
Gampong Tanjong Beurunyong Kecamatan Payabakong Kabupaten Aceh Utara.
Kecamatan ini terdiri dari 39 desa atau gampong. Alasan dipilihnya lokasi adalah
karena lokasi tidak terlalu jauh dengan ibukota kecamatan dan masih banyak
terdapat meunasah tradisional pada lokasi kecamatan yang dipilih. Selain itu
antara informan dan peneliti telah terjalin rapport sebelumnya di lokasi penelitian,
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang fungsi meunasah
sebagai bagian penting dalam sosial religi masyarakat Aceh. Selanjutnya dengan
diketahui pentingnya arti meunasah bagi masyarakat Aceh dalam kehidupan
mereka semoga dapat lebih memahami kebudayaan mereka. Secara akademis,
penelitian ini bertujuan lebih memperdalam pengetahuan dalam menjelaskan
tentang masyarakat Aceh khususnya yang berkaitan tentang meunasah dalam
bidang Antropologi. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan dan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk membuat
kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat Aceh ataupun yang
berhubungan dengan meunasah.
1.5. Tinjauan Pustaka
Aceh merupakan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh agama Islam.
Hampir semua segi dalam kehidupan diatur berdasarkan ajaran syariat Islam.
Meunasah sebagai salah satu bentuk rumah ibadah bagi umat Islam hanya ada di
Aceh (sepengetahuan peneliti). Tidak ada rujukan khusus tentang meunasah yang
bersifat internasional seperti masjid karena ia hanya dipergunakan oleh orang
Aceh saja. Untuk itu definisi yang membumi untuk meunasah memang sulit
didapati dalam kamus-kamus internasional. Demikian juga dengan istilah surau
dan langgar, secara harfiah ia mempunyai makna dan definisi yang berlainan
sesuai dengan latar belakang bangsa yang menggunakannya saja
Terdapat beberapa tulisan yang menjelaskan dan memperdalam pengertian
tentang meunasah. Usman (2002) menjelaskan dalam Qanun Meukuta Alam
Al-asyi, bahwa kerajaan Aceh tersusun dari, gampong-gampong
(kampong/kelurahan), mukim (federasi gampong-gampong), nanggroe
(kecamatan), sagoe (federasi dari beberapa nanggroe dan kerajaan/negara).
Gampong, yang disebut juga Meunasah, dipimpin oleh seorang keuchik dan
seorang Imam Rawarib dengan dibantu oleh staf yang bernama tuha peut.
Pemeritahan gampong ini mendapat hak otonomi yang luas. Suatu gampong
mempunyai meunasah sebagai tempat pertemuan atau musyawarah yang
berhubungan dengan kesejahteraan desa (www.serambinews.com)
Meunasah sangat terikat dengan kehidupan gampong, karena gampong
sendiri merupakan unit persekutuan masyarakat hukum yang menurut
Vallenhoven dapat dimanfaatkan untuk mengetahui hukum, menyelidiki sifat dan
susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat dikuasai oleh hukum (www.acehforum.or.id). Meunasah adalah
sentral pengendali proses interaksi sosial masyarakat, karena menciptakan
kesejahteraan sesama manusia dalam komunitas gampong (warga kampung),
sehingga melahirkan adat istiadat dan tatanan adat.
Zulfah menyebutkan meunasah dan mesjid adalah dua hal yang menarik
dalam sistem budaya Aceh
merupakan simbol/logo identitas ke-Acehan yang telah berkontribusi fungsinya
membangun pola dasar sumber daya alam masyarakat menjadi satu kekuatan
memiliki muatan nilai-nilai energis, Islamis, dan menjadi sumber inspiratif.
Semangat masyarakat membangun penegakan keadilan dan kemakmuran serta
menentang kedhaliman dan penjajahan. Fungsi meunasah menjadi sentral
pembangunan masyarakat (social communication) dan fungsi mesjid menjadi
sentral komunikasi (two traffic communications, hablum minallah dan hablum
minannas). Menurut Ismail (2002) fungsi meunasah antara lain:
1. Sebagai tempat ibadah/shalat berjamaah
2. Sebagai tempat dakwah dan diskusi
3. Sebagai tempat musyawarah/mufakat
4. Sebagai tempat penyelesaian sengketa/damai
5. Sebagai tempat pengembangan kreasi seni
6. Sebagai tempat pembinaan dan posko generasi muda
7. Sebagai tempat forum asah terampil/olahraga
8. Sebagai tempat pusat ibukota/pemerintahan gampong.
Fungsi menurut Radclife-Brown dalam (Koentjaraningrat:1987)
menjelaskan bahwa fungsi sosial ialah kontribusi suatu unsur terhadap unsur
lainnya sehingga sistem kebudayaan/organisasi dapat berjalan dengan baik.
Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut penulis menggunakan pandangan
Redcilff-Brown mengenai fungsi dalam mengkaji penelitian ini. Meunasah
sebagai sebuah bangunan ibadah tidak hanya sebagai tempat untuk melaksanakan
segala kegiatan keagamaan bagi masyarakat Aceh. Meunasah menjadi
kebututuhan bahkan menjadi syarat dalam berdirinya sebuah gampong. Meunasah
solidaritas mereka melalui pemanfaatan fungsinya dihampir segala bidang
kehidupan, baik itu dalam bidang religi, sosial, politik, budaya, dan pendidikan,
serta segala interaksi yang dilakukan di dalamnya.
Malinowski dalam (Koentjaraningrat, 1987:171) menjelaskan fungsi
unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks, tetapi inti dari fungsi unsur-unsur
kebudayaan tersebut adalah pendirian bahwa segala aktifitas kebudayaan
sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan
naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Lebih
jelas dicontohkan seperti meunasah sebagai rumah ibadah dalam masyarakat yang
digunakan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan religi masyarakat.
Kemudian Malinowski membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat
abstraksi (Koentjaraningrat, 1982:167) yaitu:
1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi pertama
mengenai pengaruh tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat.
2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi kedua
mengenai pengaruh suatu kebutuhan suatu adat yang sesuai dengan konsep
masyarakat yang bersangkutan.
3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga
mengenai pengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara
terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Berdasarkan teori Malinowski di atas peneliti mencoba memahami
bagaimana fungsi sosial meunasah berpengaruh dalam pranata sosial yang ada di
gampong dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat yang terdapat di lokasi,
dan bagaimana arti meunasah bagi masyarakat yang diteliti di lokasi penelitian.
Dalam teorinya fungsi tersebut kemudian menjadi kebutuhan, dalam
permasalahan penelitan, peneliti ingin menjelaskan bagaimana fungsi meunasah
berintegrasi tidak hanya pada kebutuhan akan adanya lembaga agama, tetapi
kemudian mencakup juga sebagai lembaga sosial, hukum, pendidikan di dalam
masyarakat yang berlangsung dalam sistem kelembagaan masyarakat gampong
yang terjadi di lokasi penelitian.
Masyarakat Aceh banyak dipengaruhi oleh agama Islam dalam
kehidupannya. Islam sebagai agama berpedoman pada Al-Quran dan Hadist yang
mengatur tata kehidupannya. Dalam Al-Quran dikatakan :
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. At-Taubah:18).
Menurut Syarifudin, adapun kata “memakmurkan” adalah salah satu arti
dari sebuah kata dalam bahasa Arab yang juga memiliki banyak arti di antaranya:
menghuni (mendiami), menetapi, menyembah, mengabdi (berbakti), membangun
(mendirikan), mengisi, memperbaiki, mencukupi, menghidupkan, menghormati
dan memelihara. Dengan demikian, yang dimaksud “memakmurkan masjid”
adalah membangun dan mendirikan masjid, mengisi dan menghidupkannya
dengan berbagai ibadah dan ketaatan kepada Allah, menghormati dan
memeliharanya dengan cara membersihkannya dari kotoran-kotoran dan sampah
Fungsi-fungsi meunasah mengalami perubahan seiring berjalannya waktu,
walaupun perubahan tersebut tidak terlalu mempengaruhi fungsinya sebagai
pemersatu solidaritas masyarakat. Perubahan dalam Kamus besar Bahasa
Indonesia (Balai Pustaka, 1999) berarti hal yang berbeda dari sesuatu
(sebelumnya), pertukaran, peralihan dan sebagainya. Dalam hal ini berarti terjadi
pertukaran atau peralihan fungsi dari meunasah dari yang sebelumnya hingga saat
ini.
Faktor yang melatarbelakangi perubahan yang terjadi dalam fungsi
meunasah karena adanya perubahan sistem nilai budaya atau gagasan kolektif
yang terjadi di masyarakat Aceh. Perubahan sisem nilai ini terjadi akibat adanya
pengaruh dari interaksi yang dilakukan dengan budaya luar. Perubahan sistem
nilai pola kehidupan masyarakat, seperti perubahan menetap, dan bentuk
pendidikan.
Perubahan sistem nilai dalam kebudayaan mempengaruhi bentuk
pendidikan yang terjadi di meunasah. Geertz dalam (Sairin:2002) menjelaskan
perubahan tersebut dalam dua pola untuk memahami masyarakat yang diteliti.
Geertz menyebut kedua model itu sebagai model for (pola bagi) yaitu pola yang
berupa pola dari sistem pengetahuan, gagasan dan cita-cita dari suatu masyarakat
tentang bagaimana seharusnya dan sebaiknya. Kedua adalah model of (pola dari)
yaitu pola kehidupan yang hidup dalam realitas masyarakat, yang kadang-kadang
tidak jelas kaitannya dengan ‘pola bagi’. Dapat dijelaskan bahwa ‘pola bagi’ ini
‘pola dari’ adalah hasil dari kebudayaan, baik itu tingkah laku maupun
kebudayaan material.
Sairin menjelaskan dalam bukunya, sistem pendidikan Islam tradisional
seperti pesantren dan meunasah itu telah mampu menjalankan misinya untuk
mencapai sasaran yang dikehendaki sesuai dengan ‘pola bagi’ yang dikehendaki
masyarakat. Namun perkembangan kemudian sistem pendidikan ini mengalami
pelbagai perubahan. Sistem pendidikan pesantren dan meunasah dipandang telah
bergeser dan tidak lagi dapat sepenuhnya memenuhi isi ‘pola bagi’ masyarakat.
Ini akibat sistem pendidikan tradisional telah terseret pada dinamika kehidupan
masyarakat yang tergambar dari sistem gagasan yang terdapat dalam pandangan
‘pola dari’ masyarakat (Sairin, 2002:37-38 ).
1.6. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat desktriptif.
Penelitian ini mendeskripsikan data kualitatif sebagai data utama dalam
menjelaskan segala permasalahan nantinya. Data yang digunakan terdiri dari dua
jenis yaitu data primer, dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh
dari lapangan melalui observasi dan wawancara. Sedangkan data sekunder adalah
data yang diperoleh dari berbagai buku ilmiah, jurnal, media massa, internet dan
berbagai tulisan yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Data primer yang didapat merupakan data yang diperoleh selama berada di
lokasi penelitian dan hidup bersama masyarakat yang diteliti lebih kurang selama
untuk melihat kondisi lapangan penelitian dan kesesuaian dengan data awal yang
diperoleh melalui data sekunder yang ada. Observasi juga digunakan untuk
menyesuaikan data wawancara yang ada dengan kondisi di lapangan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode etnografi. Etnografi
merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan, istilah “etnografi”
digunakan untuk menunjuk aktifitas mempelajari kebudayaan dan dengan produk
akhir “sebuah etnografi” (Spradley, 1997:21). Dalam metode etnografi,
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan observasi dan wawancara.
Metode observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi yaitu:
pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung
hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktifitas kehidupan objek
pengamatan (Bungin, 2008:116). Dengan begitu maka peneliti dapat melihat
secara langsung dengan melibatkan diri dalam kegiatan yang diamatinya.
Hal yang peneliti lakukan dengan observasi partisipasi yaitu dengan
tinggal dan menetap di lokasi penelitian selama dua bulan. Dalam hal ini peneliti
tinggal di rumah kepala desa yaitu Bapak Syamsarif. Tujuan observasi partisipasi
dalam metode etnografi sebenarnya adalah agar peneliti bisa mengakrabkan diri
dengan objek yang akan diteliti sehingga dapat menjalin rapport dengan objek
yang diteliti. Rapport dengan objek yang diteliti sangat diperlukan agar data yang
didapat merupakan data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan.
Rapport antara peneliti dan beberapa informan dalam penelitan ini telah
terjalin sebelum peneliti melakukan penelitian. Selama menjalin rapport dengan
penduduk yang berada di lokasi selama kurang lebih dua bulan, yaitu sekitar awal
bulan Agustus sampai akhir September 2011. Alasan pemilihan waktu penelitian
adalah peneliti ingin mengobservasi aktifitas-aktifitas yang terjadi di meunasah
dan sekitarnya, antara sebelum dan saat bulan Ramadhan yang mana biasanya
aktifitas di meunasah ini lebih banyak dari biasanya.
Selama penelitian ini peneliti tinggal bersama keluarga Bapak Syamsarif
yang merupakan Keuchik Tanjong Beurunyong. Selama di lokasi penelitian
peneliti hampir selalu ikut pada aktifitas sholat berjamaah dan aktifitas umum
keluarga Bapak Syamsarif seperti memanen (coklat) kakao, ke sawah saat panen
tiba, atau aktifitas di rumah bersama Bu Malahayati yang merupakan istri Pak
Keuchik. Melalui aktifitas sholat berjamaah yang biasa di jalankan setiap sore atau
Magrib sampai Isya, peneliti kemudian menjalin rapport dengan
informan-informan lain yang juga merupakan perangkat-perangkat gampong seperti kaur,
dan imeum yang biasa mengikuti sholat berjamaah. Informan lain yaitu
pemuda-pemuda setempat antara lain Jufri dan Zulfan juga peneliti kenal dari aktifitas
sholat berjamaah. Jufri dan beberapa orang temannya hampir selalu hadir untuk
sholat berjamaah. Rapport dengan informan-informan ini awalnya terjalin dari
hanya mengikuti keuchik. Sekitar seminggu peneliti mengikuti aktifitas ini,
peneliti mulai mengenal dan dikenalkan dengan informan-informan tersebut, dan
para informan pun sudah tidak sungkan saat bercerita sesuatu ataupun saat peneliti
bertanya sejak peneliti memperkenalkan diri dan menceritakan tujuan berada di
lokasi penelitian. Beberapa dari informan masih merupakan kerabat keuchik, yang
mendekati informan-informan ini tidak terlalu sulit kerena seringnya bertemu
dalam aktifitas mereka sehari-hari. Informan tersebut antara lain Bu Maryam yang
merupakan salah satu kader posyandu, Irwansyah yang juga menjabat kaur
(kepala urusan) umum, dan Shik (sebutan untuk kakek) Teuku Azis yang
merupakan mantan keuchik dan salah satu tuha peut Gampong Tanjong
Beurunyong, dan Bu Nurmala yang juga pengurus PKK. Alasan
pemilihan-pemilihan informan ini karena terdapat beberapa aktifitas dari informan yang rutin
dilakukan di meunasah, dan juga masih berhubungan dengan peran dan fungsi
meunasah yang ingin peneliti ketahui dalam penelitian.
Menjalin rapport antara informan dan peneliti penting dalam penelitian
antropologi. Hal ini untuk memperoleh informasi yang sesuai dengan kondisi
lokasi penelitian. Pentingnya rapport juga bertujuan untuk memperoleh data
sesuai dengan pandangan masyarakat setempat, terhadap masalah penelitian yang
diajukan, dan merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat yang diteliti.
Dalam mengumpulkan data peneliti menggunakan teknik wawancara.
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan
cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan
atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial
yang relatif lama (Bungin,2008).
Pada tahap awal wawancara di lapangan, peneliti mewawancarai Keuchik
Tanjong Beurunyong untuk memperoleh gambaran umum di lokasi penelitian,
kali sambil melakukan aktifitas-aktifitas bersama di kebun, dan sawah, ataupun
pada waktu senggang di rumah bersama Bu Nurmala. Untuk memperoleh data ini
keuchik memberikan buku tentang data desa yang ada di dalam RPJM (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah) Desa. Data tentang aktifitas masyarakat dimulai
dengan observasi selama sekitar dua minggu, yang dilakukan sejalan untuk
mencari informan-informan yang sesuai dengan permasalahan yang ingin diteliti.
Untuk mengetahui tentang sejarah gampong peneliti juga mewawancarai
Shik Teuku Azis yang mengetahui tentang sejarah awal gampong dan pernah
menjadi keuchik selama beberapa kali pada masa orde baru. Terdapat beberapa
masalah dalam wawancara mencari sejarah gampong, khususnya yang
berhubungan dengan tahun-tahun dalam sejarah awal gampong, karena pengaruh
usia informan.
Setelah melakukan observasi selama beberapa di meunasah peneliti mulai
menetapkan beberapa informan berikutnya antara lain Teuku
Imeum, Kader Posyandu dan PKK. Pemilihan Informan Teuku Imeum dirasa
penting karena Teuku Imeum berdasarkan Qanun Aceh sepengetahuan peneliti
bertanggung jawab terhadap kepengurusan meunasah. Sedangkan Kader
Posyandu dan PKK dipilih karena dari hasil observasi hampir di setiap gampong
di Kecamatan Payabakong pada bagian depan meunasah terdapat papan nama
PKK dan Posyandu Desa.
Untuk menemui teuku imeum yaitu Tengku Ali, terdapat kendala karena
tengku biasa hanya terlihat pada saat sholat Magrib di meunasah dan langsung
ujung gampong. Pada saat imeum tidak datang maka di cari imeum pengganti
yang biasa hadir dalam shoat Magrib, biasanya yang menjadi pengganti yaitu
Bapak Irwansyah yang juga kaur gampong, maka peneliti menjadikan beliau
sebagai informan pengganti. Pemilihan informan ini dirasa tepat karena informasi
dan data yang peneliti dapat dari antara Pak Irwansyah dan Tengku Ali yang
peneliti temui beberapa hari berikutnya di meunasah hampir sama.
Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara yang dibantu
dengan alat perekam dan dituangkan dalam catatan lapangan. Dalam hal ini
peneliti melihat interaksi, peristiwa, dan kegiatan yang dilakukan masyarakat
yang terjadi disekitar meunasah. Pemilihan informan yang dibagi menjadi tiga
jenis yaitu informan pangkal, informan biasa, dan informan pokok. Menurut J.
Moleong (2004) informan pangkal adalah informan yang akan membuka
wawancara yang akan diketahui. Sedangkan informan kunci adalah, informan
yang mengetahui secara mendalam tentang permasalahan yang diteliti. Peneliti
menganggap semua informasi dari setiap informan penting, karena setiap
informan memiliki pegetahuan yang berbeda. Setiap informasi yang didapat
dianggap penting untuk mengetahui kondisi sosial religi masyarakat. Agar dapat
lebih memahami dan mengerti tentang kehidupan di masyarakat lokasi penelitian,
peneliti tinggal di lokasi dan hidup bersama masyarakat selama kurang lebih dua
bulan.
Informan yang kunci yang dipilih peneliti dalam skripsi ini yaitu keluarga
Keuchik Gampong Tanjong Beurunyong, teuku imeum, salah seorang tuha peut
Selai itu terdapat beberapa warga gampong yang menjadi informan biasa.
Wawancara yang peneliti lakukan tidak hanya wawancara berdasarkan interview
guide, peneliti lebih banyak melakukan penelitian sambil lalu dalam
mengumpulkan data. Wawancara banyak dilakukan saat informan dan peneliti
melakukan aktifitas bersama, seperti saat berbincang seusai sholat, atau saat
duduk santai bersama dengan informan.
Untuk mendukung penelitian ini peneliti juga menggunakan data
sekunder. Data sekunder yang digunakan berupa, data-data yang diperoleh dari,
lembaga-lembaga resmi di kantor kecamatan ataupun dari keuchik setempat,
hasil-hasil penelitian, tulisan, jurnal, artikel ataupun buku-buku yang berkaitan dengan
penelitian ini. Pencarian data berupa data pustaka digunakan untuk lebih
memahami tentang adat, aturan dan kebiasaan yang ada di masyarakat.
Penggunaan dan analisa data pustaka ini dilakukan sebelum dan sesudah
penelitian lapangan.
Teknik analisa data yang digunakan dalam menganalisa tentang fungsi
meunasah adalah tehnik analisa data kualitatif. Analisa data dilakukan dengan
mengorganisasikan data hasil observasi dan wawancara dalam tema-tema yang
saling berkaitan satu dengan yang lain. Data yang diperoleh diuraikan dalam
bentuk deskriptif. Analisa data dilakukan sejak awal penelitian di lapangan dan
pengumpulan data sampai pada saat penulisan.
Data yang dianalisis dalam penelitian ini tidak hanya data yang merupakan
hasil observasi dan wawancara. Data yang dikumpulkan juga di sesuaikan dengan
permasalahan yang diangkat, baik itu hasil penelitian, tulisan-tulisan yang
berhubungan dengan adat Aceh, dan undang-undang atau Qanun yang berlaku
disana.
Data literatur tersebut digunakan sebelum dan sesudah berada di lapangan.
Literatur sebelum di lapangan digunakan untuk mencari tahu tentang gambaran
umum, tentang masalah-masalah yang berhubungan penelitian. Penggunaan
data-data setelah penelitian dimaksudkan untuk memperdalam pengertian-pengertian
BAB II
`GAMBARAN UMUM GAMPONG TANJONG BEURUNYONG
2.1.Kondisi Geografi dan Demografi Gampong Tanjong Beurunyong
2.1.1. Sejarah Gampong Tanjong Beurunyong
Gampong Tanjong Beurunyong merupakan bagian dari Kecamatan Paya
Bakong. Kecamatan Paya Bakong sendiri merupakan kecamatan baru yang berdiri
pada tahun 2004. Kecamatan Paya Bakong merupakan pemekaran dari Kecamatan
Matang Kuli yang kini telah melepaskan diri.
Tidak diketahui pasti bagaimana awal terbentuknya Gampong Tanjong
Beurunyong. Sejarah terjadinya gampong secara umum adalah suatu ketika
beberapa dekade yang silam, datang sekelompok orang dari beberapa daerah,
dikarenakan pada masa itu daerah tersebut tidak memiliki penghuni maka para
pendatang baru tersebut membuka daerah dan menjadikan tempat pemukiman.
Daerah ini umumnya merupakan daratan rendah yang kondisi tanahnya banyak
lubuk, dalam bahasa Aceh disebut lubok (seuneubok).
Menurut Syamsarif (informan) , para pembuka dan pendatang gampong ini
berasal dari gampong-gampong yang ada di sekitar Tanjong Beurunyong, bahkan
ada yang berasal dari Aceh Tengah. Penduduk awal gampong mungkin datang
dengan tujuan untuk membuka hutan dan lahan pertanian baru yang ada, sehingga
mereka memiliki tanah sendiri untuk mencukupi kebutuhan ekonomi mereka.
Namun karena jauhnya antara tempat tinggal dan tanah garapan mereka akhirnya
dari nama sejenis tanaman atau pohon yaitu pohon Beurunyong yang dahulu
banyak tumbuh di pinggiran sungai batas barat desa, karena itu dinamakan
Tanjong Beurunyong.
Tidak diketahui secara pasti kapan gampong ini didirikan secara resmi,
namun menurut Azis (informan) pembangunan gampong mulai ada sejak
Indonesia merdeka sekitar tahun 1946. Dengan adanya gampong masyarakat
mulai mendirikan meunasah kayee (meunasah kayu) dengan bentuk rumah
panggung sebagai pusat dan tempat ibadah masyarakat gampong. Meunasah
didirikan dengan gotong-royong oleh semua masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan ibadah dan mengaji masyarakat. Pada saat masa orde baru, sebutan
untuk sebuah gampong masih disebut dengan desa, sebutan gampong dipakai
sejak diberlakukannya otonomi khusus di Aceh.
2.1.2. Kondisi Geografis Gampong Tanjong Beurunyong
Gampong Tanjong Beurunyong merupakan salah satu dari 39 gampong
yang terletak di Kecamatan Paya Bakong Kabupaten Aceh Utara yang berjarak
0,3 Km dari pusat kecamatan. Tanjong Beurunyong adalah salah satu gampong
yang berbatasan langsung dengan ibu kota Kecamatan Keude Chik Paya Bakong.
Luas wilayah Gampong Tanjong Beurunyong sekitar 21 Ha. Gampong ini terbagi
menjadi tiga dusun, yaitu Dusun Cut Mutia, Dusun Mesjid, Dusun Teuku Di
Kada.
Adapun batas-batas dari Gampong Tanjong Beurunyong adalah :
Sebelah Timur : berbatasan dengan Gampong Keude Paya Bakong Kec. Paya
Bakong
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Gampong Keude Paya Bakong Kec. Paya
Bakong
Sebelah Barat : berbatasan dengan Gampong Blang Aceh Kec. Tanah Luas.
Batas-batas tersebut hanyalah batas-batas administratif desa, sedangkan
secara budaya Gampong Tanjong Beurunyong sama dengan Gampong Leuhong,
Keude Chik atau Kecamatan Tanah Luas. Secara umum keadaan fisik Gampong
Tanjong Beurunyong mayoritas dataran tinggi, dan sisanya daerah persawahan.
Gampong Tanjong Beurunyong juga memiliki memiliki areal persawahan yang
cukup luas serta perkebunan masyarakat antara lain: coklat (kakao), pisang,
pinang, durian, rambutan, kunyit, langsat, dan lain-lain.
Iklim di Gampong Tanjong Beurunyong, termasuk dalam kategori iklim
tropis (tiga musim) yaitu musim hujan, musim kemarau dan musim pancaroba.
Iklim sangat mempengaruhi dalam siklus pertanian masyarakat, dimana
masyarakat masih memanfaatkan hujan dalam menanam tanaman pertanian
khususnya persawahan. Walaupun terdapat irigasi, tetapi curah hujan masih
mempengaruhi banyaknya air yang mengalir ke sawah-sawah mereka. Jika curah
hujan tinggi setiap tahun maka kegiatan di sawah dapat dilakukan sekitar dua
sampai tiga kali setahun. Musim-musim buah pada tanaman tua yang ada banyak
terjadi di bulan Juli sampai Januari, dimana curah hujan lebih tinggi dari biasa.
Akses menuju Kecamatan Paya Bakong maupun gampong hanya dapat
tersebut dikarenakan tidak adanya transportasi umum yang melalui gampong,
walaupun sarana jalan umum untuk mencapai gampong telah cukup memadai.
Kendaraan umum hanya tersedia sampai pada jalan lintas Sumatera Kota
Lhoksukon, kemudian dilanjutkan dengan RBT atau Ojek yang biasa ditemui di
setiap persimpangan jalan. Jarak antara Lhoksukon menuju Paya Bakong sekitar
15 Km. Melewati Kecamatan Matangkuli yang dahulu bersatu dengan Kecamatan
Paya Bakong. Selain itu jalan menuju lokasi melewati jalan cluster 4 (empat) yang
merupakan tambang gas alam dikelola oleh perusahaan Exxon Mobil.
2.1.3. Jumlah Penduduk
Pada tahun 2009 Tanjong Beurunyong merupakan gampong dengan
jumlah penduduk sekitar 257 yang terdiri dari 75 KK (RPJM, 2009-2013).
Perbandingan penduduk antara laki-laki dan perempuan adalah 140 banding 117.
Dari hasil data statistik jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan.
Hal ini dikarenakan jumlah kelahiran anak laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan. Banyak dari keluarga-keluarga yang memiliki anak lebih dari dua,
dan biasanya jumlah anak laki-laki lebih mendominasi, bahkan ada beberapa
keluarga yang memiliki anak dua atau tiga yang semuanya laki-laki. Adat istiadat
masyarakat Aceh dimana pengantin yang baru menikah tinggal dan dan menetap
di sekitar wilayah keluarga istri sehingga menambah jumlah penduduk laki-laki
yang ada di Gampong Tanjong Beurunyong.
Hampir semua penduduk merupakan masyarakat didominasi oleh etnik
Aceh, walau pun demikian terdapat beberapa penduduk yang bersuku Gayo. Suku
Aceh disana. Suku-suku diluar Aceh biasanya telah berbaur dan masuk melalui
pernikahan dengan masyarakat di gampong. Sedangkan untuk suku Gayo mereka
telah tinggal lama dan menjadikan mereka sebagai orang Aceh dan di akui oleh
masyarakat setempat.
Dalam percakapan sehari-hari masyarakat di lokasi penelitian
menggunakan bahasa Aceh. Bahasa Indonesia hanya digunakan ketika
berkomunikasi dengan orang luar, atau di tempat-tempat yang lebih formal.
Bahkan dalam keadaan yang lebih formal bahasa yang digunakan pun
bercampur-campur antara bahasa Indonesia dengan Aceh.
Semua masyarakat beragama Islam, Islam merupakan agama yang
mendominasi hampir di seluruh Aceh yang disebut sebagai Serambi Mekah.
Agama Islam yang dianut telah ada dari generasi-kegenerasi, dan mempengaruhi
budaya mereka mereka sendiri. Bagi masyarakat pendidikan agama Islam
merupakan hal yang penting dan diberikan kepada anak sejak usia sedini
mungkin. Pemuka-pemuka agama seperti Tengku-tengku, Ustad, dan Syeh, sangat
dihormati, lebih dari bangsawan ataupun pemuka adat setempat karena dianggap
memiliki ilmu yang lebih didalam masyarakat.
2.1.4. Pendidikan
Pendidikan di Gampong Tanjong Beurunyong belum memadai. Untuk
pendidikan formal hanya terdapat sebuah Taman Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) di gampong, sedangkan untuk melanjutkan harus menuju ke ibu kota
kecamatan ataupun gampong-gampong lain disekitarnya. Terdapat beberapa
sedangkan untuk sekolah lanjutan terbatas pada dua buah SMP, satu Madrasah
Tsanawiah, dan satu SMU. Dari data profil desa, diketahui tingkat pendidikan
yang di terima masyarakat yaitu, terdapat 40 orang yang tidak tamat SD, 42 orang
hanya tamat sampai SD (sederajat), 20 orang tamat SMP (sederajat), 15 orang
tamat SLTA (sederajat), dan 4 orang menamatkan perguruan tinggi (RPJM,
2009-2013).
Keterangan di atas menjelaskan bahwa sangat sedikit masyarakat yang
mendapat pendidikan formal non-agama, masyarakat lebih cendrung untuk
memberikan pendidikan agama pada anak dari pada pendidikan formal
non-agama. Sekolah-sekolah dengan latar pendidikan agama seperti madrasah dan
dayah lebih populer dari pada pendidikan formal non-agama. Banyak di antara
orang tua mereka yang lebih memilih MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) untuk
pendidikan dasar anaknya daripada sekolah formal biasa. Sedangkan pada tingkat
lanjutan orang tua banyak yang memilih untuk memasukkan anak mereka ke
dayah. Anak-anak yang memilih untuk melanjut di dayah akan tinggal dan
menetap di dayah selama pendidikan mereka, dan kembali ke rumah ketika
liburan semester atau selama bulan Ramadhan.
Hampir semua anak di Gampong Tanjong Beurunyong diberikan
pendidikan atau pernah mendapat pendidikan agama. Pendidikan ini dapat di
berikan dengan mengirim anak-anak ke balee pengajian yang ada di rumah-rumah
tengku setiap hari seusai solat Magrib, atau mengirim mereka ke dayah-dayah
masih rutin dijalankan melalui pengajian-pengajian mingguan di mesjid atau
meunasah yang diajarkan oleh tengku-tengku setempat.
2.1.5. Mata Pencaharian
Perekonomian Gampong Tanjong Beurunyong secara umum masih di
dominasi pada sektor pertanian yang sistem pengelolaannnya masih bersifat
tradisional (pengolahan lahan, pola tanam, maupun pemilihan komoditas produk
pertaniannya), walaupun dalam penerapannya beberapa peralatan moderen telah
digunakan. Hal ini dimungkinkan karena masih banyak terdapat lahan pertanian
dan perkabunan yang mengelilingi Gampong Tanjong Beurunyong. Untuk lahan
basah masih monoton pada penanaman padi. Hampir semua masyarakat masih
tergantung pada mata pencaharian ini, walaupun ada beberapa yang memiliki
mata pencaharian lain sebagai mata pencaharian pokok tetapi sektor pertanian
tidak pernah ditinggalkan. Sehingga banyak masyarakat yang memiliki mata
pencaharian ganda.
Banyak masyarakat yang masih menjadi petani dimungkinkan karena
masih banyaknya terdapat lahan pertanian khususnya sawah dan lahan pekebunan
di sekitar hutan yang mengililingi Gampong Tanjong Beurunyong. Karena tanah
persawahan yang cukup luas maka terdapat lahan persawahan milik penduduk
gampong lain yang masih bersebelahan ada di Gampong Tanjung Beurunyong.
Selain itu pertanian tidak selalu dilakukan oleh pemilik lahan khususnya
persawahan. Lahan-lahan ini pada musim tanam adakalanya disewakan kepada
petani lain yang tidak memiliki lahan. Selain itu untuk para penduduk yang
pekerjaan bertani ini juga dapat dimintai tolong atau disewa untuk memotong dan
merontok pada musimnya.
Terkait dengan pertanian di Aceh termaksud di Gampong Tanjong
Beurunyong ada juga aturan untuk membayar zakat dari hasil pertanian yang ada.
Zakat yang diberikan biasanya dengan memberi sebagian kecil dari padi yang di
panen. Zakat yang diberikan berbeda antara penduduk Gampong Tanjong
Beurunyong dan yang bukan. Zakat ini umumnya diberikan kepada Meunasah,
yang diatur oleh Keuchik atau dapat juga di berikan kepada Keujreun Blang.
Dalam bidang pertanian dan perkebunan Gampong Tanjong Beurunyong
juga memiliki pengaturan secara tradisional. Pengaturan di daerah pertanian yang
di selenggarakan oleh keujreun blang1. Sedangkan untuk wilayah perkebunan
pengaturannya dilaksanakan oleh petua seunubok2
Sumber daya manusia yang dimiliki Gampong Tanjong Beurunyong pun
cukup memadai, dengan usia produktif lebih besar dari pada usia non produktif,
sekitar 210 jiwa banding 47 jiwa (RPJM, 2009-2013). Walaupun demikian banyak
diantara penduduk usia produktif terebut yang mencari pekerjaan di luar
gampong, kecamatan, bahkan tak jarang merantau untuk mencari pekerjaan.
Mereka umumnya adalah penduduk usia muda dan belum menikah. Kebanyakan
dari penduduk usia produktif ini merantau tanpa keterampilan khusus dalam
bidang tertentu. Umumnya mereka merantau ke kota-kota besar seperti Banda . Keujreun blang dan petua
seunubok dalam tugasnya bertanggung jawab kepada keuchik dan masyarakat
gampong.
1
Aceh, Lhoksumawe, dan Medan. Banyak diantara mereka tidak kembali ke
gampong halaman mereka kecuali ketika pada saat-saat tertentu seperti lebaran,
ataupun jika ada sebuah acara besar di keluarga mereka.
Banyaknya usia produktif tanpa kemampuan di bidang tertentu kecuali di
bidang pertanian. Hal ini disebabkan karena masih minimnya pendidikan khusus
yang ada di sekitar gampong atau kecamatan. Penduduk yang memiliki keahlian
tertentu mendapatkannya dari merantau dan mencari pekerjaan di luar gampong.
Masyarakat yang telah memiliki pencaharian yang lebih baik dan memiliki
keahlian tertentu, lebih memilih menetap di luar gampong, karena minimnya
kesempatan di dalam gampong sendiri.
2.1.6. Kesehatan
Kondisi kesehatan masyarakat Tanjong Beurunyong dilihat dari sarana
yang ada masih kurang memadai. Tidak adanya sarana kesehatan khusus seperti
puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) dan rumah sakit. walau terdapat
Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) di setiap gampong. Posyandu tersebut hanya
merupakan tempat dilaksanakan pemeriksaan bulanan yang dilakukan oleh bidan
desa yang datang setiap bulan untuk memeriksa perkembangan kesehatan
khususnya anak bayi, balita dan ibu hamil di seluruh gampong. Bidan gampong
ini dibantu oleh seorang kader yang tinggal dan merupakan penduduk gampong
setempat. Kegiatan posyandu ini biasa dilaksanakan di meunasah atau rumah
warga yang berada di sekitar meunasah.
Banyak diantara rumah-rumah penduduk telah memiliki sarana sanitasi
kakus) di banyak rumah, walaupun masih sangat sederhana. Air yang digunakan
adalah air tanah atau sumur yang ada di setiap rumah karena belum tersedianya
fasiitas air PAM (Perusahaan Air Minum) di Gampong Tanjong Beurunyong.
Di Kecamatan Paya Bakong sendiri tidak ada terdapat rumah sakit, hanya
sebuah puskesmas. Rumah sakit terdapat di kota Lhoksumawe, dimana pasien
yang harus dibawa kerumah sakit biasanya dengan rujukan dari Puskesmas
Payabakong. Dahulu terdapat klinik kesehatan di Kecamatan Paya Bakong yang
dibangun oleh perusahaan Exxon Mobil, tetapi pada masa kerusuhan GAM
(Gerakan Aceh Merdeka) sekitar awal tahun 2000-an rumah sakit tersebut
mengalami kebakaran dan tidak di bangun kembali.
2.1.7. Peribadatan
Dalam setiap gampong di Aceh umumnya terdapat satu buah meunasah,
begitu pula dengan Gampong Tanjong Beurunyong. Sedangkan mesjid berada di
Ibukota Kecamatan Keude Chik Paya Bakong. Yang masih merupakan batas dan
satu wilayah mukim dengan Gampong Tanjong Beurunyong. Kegiatan ibadah
yang dilakukan berjamaah seperti sholat dan mengaji biasa hanya dilahukan sejak
Magrib sampai habis Isya. Sedangkan di waktu lain tidak terlihat kegiatan ibadah
lainnya kecuali di waktu-waktu tertentu seperti Bulan Ramadhan.
Pada Bulan Ramadhan kegiatan solat berjamaah dilakukan di meunasah
pada setiap masuk waktu sholat, baik itu Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib ataupun
Isya. Selain itu terdapat kegiatan-kegiatan rutin lain yang biasa dilakukan di Bulan
Ramadhan seperti Tarawih setelah Isya, dan tadarus yang dimulai dari sehabis
2.2. Sarana dan Prasarana Gampong Tanjong Beurunyong
Secara umum keadaan demografi fisik Gampong Tanjong Beurunyong
mayoritas merupakan dataran tinggi, dan sisanya merupakan daerah persawahan.
Gampong Tanjong Beurunyong juga memiliki memiliki areal persawahan yang
cukup luas serta perkebunan masyarakat antara lain: coklat (kakao), pisang,
pinang, durian, rambutan, kunyit, langsat, dan lain-lain.
Pola penggunaan tanah di Gampong Tanjong Beurunyong sebagian besar
dimanfaatkan untuk pemukiman yaitu sekitar 21 Ha. Luas tanah ini tidak semata
untuk bangunan, tetapi juga termaksud bagian halaman, dilanjutkan dengan tanah
persawahan (pertanian padi) sekitar delapan hektar, sedangkan sisanya untuk
tanah kering sekitar lima hektar digunakan untuk tanaman palawija, pekebunan,
serta tujuh hektar pekarangan warga. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar
masyarakat Gampong Tanjong Beurunyong masih merupakan masyarakat petani
yang hidup dari sektor pertanian khususnya sawah dan palawija. Selain itu juga
terdapat 0,5 (setengah) hektar tanah yang merupakan pekuburan umum
masyarakat yang telah ada sejak dahulu, dan terletak di depan meunasah. Sekitar
0,5 (setengah) hekar yang dimanfaatkan untuk prasarana umum.
Fasilitas sosial yang tersedia di Gampong Tanjong Beurunyong sangat
ninim, hanya tersedia satu meunasah sebagai pusat aktifitas keagaamaan dan
sosial di gampong, dan tidak ada balai gampong dan kantor keuchik. Meskipun
demikian kegiatan-kegiatan sosial seperti, wirid, majelis ta’lim, organisasi PKK,
Posyandu masih merupakan aktifitas rutin yang tetap di jalankan. Meunasah
ibadah sholat, pengajian, Posyandu, musyawarah, dan dan banyak kegiatan lain.
Meunasah menjadi balai tempat berkumpul bagi acara ataupun aktifitas-aktifitas
besar di masyarakat.
Prasarana yang lain yang menunjang kegiatan masyarakat terdapat jalan
sepanjang 1000 meter yang merupakan akses menuju kecamatan. Jalan ini pun
masih merupakan jalan berbatu yang tidak rata dan tidak terlalu lebar, jalan ini
hanya dapat dilalui oleh sebuah mobil, dan sangat sulit jika mobil berpapasan
dengan mobil lain untuk lewat. Jalan ini memanjang dari ibukota kecamatan
sampai melewati desa di perbatasan Gampong Tanjong Beurunyong dan
Gampong Leuhong.
Gambar 1: Kondisi jalan Gampong Tanjong Beurunyong
Selain itu terdapat juga irigasi sepanjang 1000 meter yang mengairi
seluruh persawahan di gampong. Irigasi ini akan dipenuhi air saat musim hujan
Beurunyong telah rusak tetapi fungsinya dalam mengairi sawah-sawah yang ada
di gampong masih berjalan dengan baik.
2.3. Stratifikasi Sosial
Kondisi sosial masyarakat di Gampong Tanjong Beurunyong berdasarkan
tingkat kesejahtraan masih merupakan gampong yang memiliki banyak KK
(kepala keluarga) kurang mampu. Dari 75 KK yang ada, 52 diantaranya
merupakan keluarga kurang mampu yang sebagian besar hidup dari lapangan
pekerjaan di bidang pertanian, sisanya 20 KK merupakan keluarga sederhana, dan
hanya 3 (tiga) diantaranya yang merupakan keluarga mampu (RPJM, 2009-2013).
Masyarakat Aceh umumnya mengenal adanya pembagian golongan sosial.
Pada masyarakat umum biasa dinamakan orang banyak (urieng ie). Kemudian
terdapat golongan bangsawan. Golongan ini dapat dilihat dari nama gelar yang
mereka miliki sejak lahir,seperti: teuku, polem (panggilan untuk bangsawan
laki-laki), dan cut (panggilan untuk bangsawan perempuan). Selain itu terdapat juga
gelar-gelar yang diberikan setelah orang dewasa. Gelar-gelar keagamaan seperti:
tengku, syekh, ustad, diberikan kepada seseorang yang dianggap memiliki ilmu
agama yang lebih dan kepada guru-guru mengaji. Terdapat juga
panggilan-panggilan yang diberikan karena jabatan ataupun pekerjaan yang dimiliki
seseorang. Contoh: toke (panggilan untuk pedagang yang sukses), mugee
(panggilan untuk pedagang/pengumpul hasil pertanian keliling), keuchik
(panggilan untuk kepala desa). Panggilan-panggian seperti ini masih sering
2.4. Pola Pemukiman
Pola perkampungan Gampong Tanjong Beurunyong cendrung mengikuti
pola memusat, dimana masyarakat dibentuk karena aturan adat. Pola ini memusat
dengan meunasah sebagai pusatnya, biasa dihuni turun-temurun oleh beberapa
generasi. Rumah-rumah penduduk berada di sepanjang jalan menuju kecamatan
yang berada memanjang dari Gampong Leuhong sampai Gampong Keude Chik
dan juga mengikuti arus irigasi. Sedangkan daerah di sekeliling gampong hanya
daerah persawahan, dan ladang yang dimiliki masyarakat.
Dalam membangun sebuah rumah biasanya tidak terlalu jauh dari anggota
keluarga besarnya. Pola menetap matrilokal juga masih mempengaruhi dalam
pembangunan tempat tinggal dimana keluarga baru akan mendirikan rumah tidak
jauh dari rumah kediaman keluarga istri. Jika pasangan ini belum mampu untuk
mendirikan rumah seniri maka mereka akan tinggal di rumah keluarga istri.
Pola menetap matrilokal di Aceh mengikuti adat dan hukum lokal yang
mengatur tentang status suami maupun istri dalam keluarga. Seorang laki-laki
dalam keluarga khususnya suami bertanggung jawab terhadap nafkah keluarga,
hampir segala aktifitas anak laki-laki dilakukan di luar rumah. Laki-laki Aceh
baik anak-anak maupun orang dewasa terbiasa untuk hidup di luar rumah dan
jarang sekali kembali kecuali saat malam ataupun jika ada keperluan tertentu saja.
Perempuan umumnya bertanggung jawab dalam mengurus keperluan
rumah tangga di rumahnya. Seorang istri dalam adat Aceh disebut dengan
peurumoh atau dapat dikatakan sebagai pemilik rumah. Istri bertanggung jawab
keluarganya serta dalam pendidikan anak-anak. Anak perempuan dibiasakan
untuk bekerja mngurusi kebutuhan rumah tangga sejak usaia dini. Tanggung
jawab dalam rumah tangga ini juga memberikan hak kepada seorang istri untuk
memiliki rumah yang ditinggali dan dibangun dengan suaminya. Sehingga ketika
seorang laki-laki menceraikan istrinya maka laki-laki itu harus meninggalan
rumah tersebut walaupun ia yang membangunnya.
2.5. Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan Gampong Tanjong Beurunyong merupakan bentuk
pemerintahan minimal dengan lembaga adat yang sebagian masih menganut
sistem trdisional. Sistem pemerintahan Gampong Tanjong Beurunyong dipimpin
oleh seorang Keucik sebagai pemimpin gampong, dan dibantu seorang sekertaris
desa. Keuchik dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh kaur-kaur (kepala
urusan) yang menjalankan tugas di bagian umum, keuangan, pemerintahan, dan
pembangunan. Untuk wilayah dusun, terdapat kepala-kepala dusun yang
membantu Keuchik dalam mengawasi dan menjalankan pemerintahan di
gampong. Selain itu juga terdapat Tuha Peut yang merupakan badan pengawas
dalam pemerintahan gampong.
Dalam Qanun (hukum/perundang-undangan) Aceh nomor 10 tahun 2008
tentang lembaga adat menjelaskan, Keuchik atau nama lain merupakan kepala
persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas menyelenggarakan
pemerintahan gampong, melestarikan adat istiadat dan hukum adat, serta menjaga