KESANTUNAN IMPERATIF DALAM BAHASA BATAK TOBA
SKRIPSI OLEH
NELLY S SITOHANG NIM 060701040
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat hasil karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, Agustus 2010
Hormat Saya,
KESANTUNAN IMPERATIF DALAM BAHASA BATAK TOBA
OLEH
NELLY S SITOHANG ABSTRAK
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini tepat
pada waktunya.
Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sastra pada Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi
ini adalah “Kesantunan Imperatif dalam Bahasa Batak Toba”.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya
kepada:
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. sebagai Dekan Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. sebagai Ketua Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Mascahaya M.Hum. sebagai Sekertaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dra. Ida Basaria, M. Hum. sebagai pembimbing I, yang telah memberikan dorongan,
perhatian, dan bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini
5. Bapak Dra. Rosliana Lubis, sebagai pembimbing II, yang telah memberikan perhatiannya
kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
7. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, khususnya staf pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan berbagai materi perkuliahan.
8. Kedua orang tua tercinta, bapak Jonni Sitohang dan ibu Emmy Hutabarat yang telah
memberikan dorongan, doa, materi, dan tenaga selama masa perkuliahan hingga selesainya skripsi ini. Penulis persembahkan skripsi ini untuk bapak dan ibu tercinta.
9. Kepada abang Daniel, abang Riandi, Sry, dan Rosalina yang sangat setiap mendampingi dan
memberikan dorongan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.Semua teman-teman di Departemen Sastra Indonesia Stambuk 06 khususnya, Citra, Triana,
Vera, Lidia, Mery, Dewi, Fitri, Monika sahabat-sahabat yang sangat membantu,.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun.
Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai Kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba.
Medan, Agustus 2010
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………... i
BAB I PENDAHULUAN ………... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ……….. 1
1.1.1 Latar Belakang ……….. 1
1.1.2 Masalah……… 6
1.2 Batasan Masalah ……… 7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 7
1.3.1 Tujuan Penelitian ……… 7
1.3.2 Manfaat Penelitian ………. 7
BAB II KONSEP LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA………. 9
2.1 Konsep……… 9
2.1.1 Kesantunan ……… 9
2.1.2 Imperatif ……… 9
2.2 Landasan Teori……… 10
2.2.1 Kesantunan Berbahasa……… 10
2.2.2 Kalimat Imperatif ……… . 11
2.2.3 Tindak Tutur ……… 12
2.2.4 Konteks Situasi ……… 15
2.3 Tinjauan Pustaka ……… 17
BAB III METODE PENELITIAN ………. 20
3.2 Populasi dan Sampel ……… 20
3.3 Instrumen Penelitian ……… 21
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data………. 22
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ……… 23
BAB IV KESANTUNAN IMPERATIF DALAM BAHASA BATAK TOBA … 25 4.1 Analisis Wujud Formal Kesantunan Imperatif dalam Bahasa Batak Toba………. …. 25
4.1.1 Imperatif Aktif……….……….. 26
(A). Imperatif Aktif Tidak Transitif ……….………….… 26
(B). Imperatif Aktif Transitif ……….…..……….. 28
4.1.2 Imperatif Pasif ………..…………. 29
4.2 Analisis Wujud Pragmatik Kesantunan Imperatif dalam Bahasa Batak Toba ………... 31
4.2.1 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Perintah ………. 33
4.2.2 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Suruhan ……...………….. 36
4.2.3 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Permintaan……….. 37
4.2.4 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Desakan……….. 38
4.2.5 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Permohonan……… 40
4.2.6 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Bujuk………….…………. 43
4.2.7 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Imbauan……….. 44
4.2.8 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Persilaan…………..………. 46
4.2.11 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Mengijinkan………….…… 50
4.2.12 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Larangan………. 51
4.2.13 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Harapan………….……….. 54
4.2.14 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Umpatan………. 55
4.2.15 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Pemberian Ucapan Selamat………….……….. 57
4.2.16 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Anjuran………. 58
4.2.17 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif “Ngelulu”……… 59
4.3 Wujud Formal Kesantunan Imperatif dan Wujud Pragmatik Kesantunan Imperatif dalam bahasa Batak Toba….……… 60
4.3.1 Persamaan Wujud Formal Kesantunan Imperatif dengan Wujud Pragmatik Kesantunan Imperatif dalam bahasa Batak Toba ……….………..… 60
4.3.2 Perbedaan Wujud Formal Kesantunan Imperatif dengan Wujud Pragmatik Kesantunan Imperatif dalam bahasa Batak Toba ……….……….…. 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 66
5.1 KESIMPULAN ……….. 66
5.2 SARAN ………... 67
KESANTUNAN IMPERATIF DALAM BAHASA BATAK TOBA
OLEH
NELLY S SITOHANG ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Suku Batak terdiri dari lima bagian yaitu; Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun,
Batak Pak-pak Dairi, dan Batak Angkola–Mandailing. Tiap–tiap suku mempunyai bahasanya
masing-masing seperti bahasa Toba, bahasa Karo, bahasa Simalungun, bahasa Dairi, dan bahasa
Mandailing.
Masyarakat Batak Toba mendiami daerah pinggiran Danau Toba, Pulau Samosir, daratan
tinggi Toba, Asahan, Silindung, daerah antara Barus dan Sibolga, pegunungan Pahae, Humbang
Hasundutan dan Habinsaran. Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari masyarakat Batak
Toba menggunakan logat Batak Toba (Koetjaraningrat, 1980:95). Bahasa Batak Toba cukup
dikenal dengan ciri-ciri intonasi bahasa Batak yang keras dan tegas, sehingga mempunyai
keunikan tersendiri di antara bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia.
Pembinaan dan perkembangan bahasa-bahasa daerah sangat penting karena disamping
sebagai pemerkaya kebudayaan nasional, nilai-nilai kebudayaan tradisional juga diungkapkan di
dalam bahasa-bahasa daerah. Konsep kebudayaan tradisional hanya dapat dimengerti melalui
ungkapan bahasa daerah masyarakatnya (Sibarani, 2003:1). Oleh karena itu, bahasa daerah
harus tetap dipelihara, dibina agar tetap berkembang.
Humbang Hasundutan adalah daerah pemakai bahasa Batak Toba yang baru dimekarkan
dari Kabupaten Tapanuli Utara, pada tanggal 28 Juli 2003 sesuai dengan UU No.9 tahun 2003.
Km² terdiri dari 10 kecamatan, 1 kelurahan dan 117 desa. Jumlah penduduknya adalah
155.222 Jiwa.
Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah dataran tinggi yang mempunyai
ketinggian bervariasi antara 330-2075 meter di atas permukaan laut, dengan perincian :
1. Datar = 260,95 Km² (0 s/d 2 %)
2. Landai = 459,60 Km² (2 s/d 15 %)
3. Miring = 993,68 Km² (15 s/d 40 %)
4. Terjal = 621,10 Km² (40 s/d 44 %)
Bahasa Batak Toba (untuk selanjutnya disingkat dengan BBT) merupakan bahasa yang
paling dominan digunakan masyarakat yang tinggal di daerah Humbang Hasundutan selain
pemakaian bahasa lain, misalnya bahasa Indonesia, bahasa Pakpak, bahasa Simalungun, bahasa
Nias, bahasa Jawa dan bahasa Mandailing. Hal ini terjadi karena keanekaragaman penduduk
yang terdiri dari beberapa suku di antaranya adalah Batak Toba, Pakpak, Simalungun, Nias,
Jawa, dan Mandailing yang menyebar hampir diseluruh kecamatan.
Humbang Hasundutan dipilih sebagai objek penelitian karena daerah tersebut merupakan
masyarakat tutur, yaitu masyarakat yang menghormati interaksi antara penutur dengan mitra
tutur yang dilandasi norma-norma adat-istiadat masyarakatnya. Dalam hal ini, kesantunan
berbahasa khususnya pemakaian kalimat imperatif. Dalam berkomunikasi, norma-norma itu
tampak dari perilaku verbal maupun perilaku nonverbalnya. Perilaku verbal dalam fungsi
imperatif adalah cara yang dilakukan oleh penutur mengungkapkan perintah, keharusan, atau
larangan sesuatu kepada mitra tutur, sedangkan perilaku nonverbalnya adalah gerak-gerik fisik
kesantunan berbahasa setidaknya bukan semata-mata untuk memotivasi penutur untuk berbicara,
melainkan faktor penjaga agar percakapan berlangsung dengan lancar, menyenangkan, dan tidak
sia-sia. Leech (1993:38) menyatakan bahwa manusia pada umumnya lebih senang
menungkapkan pendapat-pendapat yang sopan daripada yang tidak sopan. Masyarakat Humbang
Hasundutan menjaga kerukunan dan saling menghormati dengan bersikap damai dengan sesama.
Kesantunan adalah aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu
masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi persyaratan yang disepakati oleh
perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan biasanya disebut dengan “tatakrama” (Sibarani,
2004:170).
Di dalam bahasa Indonesia, kalimat imperatif ditandai dengan pemakaian penanda
kesantunan yaitu; tolong, coba, silahkan, biarlah, hendaklah, ayo (yo), harap, anda, saudara
sekalian, saudara, harus, mari, boleh, jangan, semoga, sebaiknya dan lain-lain.
Kesantunan berbahasa dalam mengungkapkan kalimat imperatif terpusat pada mitra tutur,
yaitu orang yang mendapat perintah; sehingga kesantunan pada masyarakat Batak Toba dapat
juga dilihat berdasarkan pemakaian tuturan. Oleh karena itu, masyarakat Batak Toba memiliki
kesantunan dalam bertutur antaralain:
1. Bapa adalah sapaan untuk orang tua laki-laki.
2. Uma adalah sapaan untuk orang tua perempuan.
3. Ompung adalah sapaan untuk orang tua dari bapa dan ibu.
4. Tulang adalah sapaan untuk saudara laki-laki dari ibu berada pada pihak tondong.
5. Nantulang adalah sapaan untuk istri tulang.
7. Namboru adalah sapaan untuk saudara perempuan dari ayah/bapak atau istri dari
amangboru.
8. Eda adalah sapaan untuk isteri saudaranya laki-laki dan saudara perempuan suaminya,
saudara sepupu perempuan, sapaan kekerabatan antara sesama perempuan yang beripar.
9. Lae adalah sapaan untuk saudara laki dari istri, suami saudara perempuan, anak
laki-laki dari tulang, anak laki-laki-laki-laki amangboru.
10. Raja adalah panggilan kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi dalam adat untuk
sopan santun.
11. Ho adalah panggilan kepada orang yang lebih mudah dan sebaya.
12. Ampara adalah panggilan kepada orang sebaya dan teman semarga.
Brown dan Levinson (dalam Sibarani 2004:179) menjelaskan kesantunan berbahasa
berkisar atas nosi muka (face). Semua orang yang rasional memiliki muka (dalam arti kiasan)
dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Bahwa ada
ungkapan-ungkapan seperti kehilangan muka, menyembunyikan muka, menyelamatkan muka, mukanya
jatuh. Hal ini mendukung konsepsi Brown dan Levinson tentang muka tersebut, yang terdiri atas
muka positif dan muka negatif. Muka positif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional),
yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan
nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau yang dimilikinya itu)
diakui orang lain sebagai sesuatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan
seterusnya. Demikian sebaliknya, muka negatif mengacu kecitra diri setiap orang (yang rasional)
yang berkeinginan agar ia dihargai orang dengan jalan membiarkannya bebas melakukan
penelitian ini, peneliti tidak menggunakan teori Brown dan Levinson tetapi menggunakan teori
Fraser dalam menjelaskan kesantunan imperatif dalam BBT.
Fraser (dalam Kaswanti 1994:88) mendefenisikan kesantunan berbahasa adalah sikap
yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur
tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya. Maksud dari
pendapat Fraser tersebut yaitu pertama, kesantunan itu adalah bagian dari ujaran; jadi bukan
hanya ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu
ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh
si penutur, tetapi bagi si pendengar ujaran itu ternyata tidak santun, dan demikian pula
sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi.
Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak diukur berdasarkan (1) apakah si
penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah si penutur memenuhi
kewajibannya kepada lawan bicaranya itu. Tutur sapaan merupakan sistem yang mempertautkan
seperangkat kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menyebut atau memanggil
para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa (Kridalaksana, 2008:14).
Kalimat dalam bahasa Indonesia memiliki kedudukan penting, sebagai rentetan kata-kata
yang mempunyai arti dan maksud tertentu. Jenis kalimat berdasarkan fungsinya meliputi kalimat
deklaratif atau kalimat berita, introgratif atau kalimat tanya, dan kalimat imperatif atau kalimat
perintah. Ramlan (dalam Rahardi, 2005:2) menyatakan kalimat berita berfungsi untuk
memberitahukan sesuatu kepada orang lain sehingga tanggapan yang diharapkan berupa
perhatian, seperti tercermin pada pandangan mata yang menunjukkan adanya perhatian. Kalimat
tanya berfungsi menanyakan sesuatu, sedangkan kalimat perintah mengharapkan tanggapan
Rahardi (2005:71) mengungkapkan kalimat imperatif mengandung maksud memerintah
atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana diinginkan si penutur. Kalimat
imperatif dalam bahasa Indonesia dapat berkisar antara suruan yang sangat keras atau kasar
sampai dengan permohonan yang sangat halus atau santun. Kalimat imperatif dapat pula
berkisar antara suruhan untuk melakukan sesuatu sampai dengan larangan untuk melakukan
sesuatu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia itu
kompleks dan banyak variasinya.
Penelitian BBT sudah banyak dilakukan oleh sarjana asing atau ahli bahasa asing maupun
ahli bahasa dalam negeri. Namun, dari penelitian tersebut belum ada yang meneliti bagaimana
kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba. Jadi peneliti tertarik meneliti bagaimana
kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba. Selain itu, peneliti sendiri beretnis Batak Toba,
sehingga penulis sebagai sumber data dengan sadar dan aktif memanfaatkan kemampuannya
sebagai informan. Menurut Sudaryanto (dalam Mahsun 2005:75) bahwa penelitian yang baik
adalah peneliti yang meneliti bahasa yang dikuasainya.
1.1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka pokok masalah yang akan dibicarakan
adalah:
1. Bagaimanakah wujud formal kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba?
1.2 Batasan Masalah
Batasan masalah merupakan uraian terhadap suatu masalah yang akan diteliti seorang
peneliti, sehingga penelitian yang dilakukan dapat efektif dan efisien. Dalam penelitian ini,
Peneliti membatasi masalah yang akan diteliti yaitu, wujud formal kesantunan imperatif dan
wujud pragmatik kesantunan imperatif yang digunakan dalam BBT. Disamping itu, daerah
penelitian dibatasi juga, yaitu di Desa Silaga-laga, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten
Humbang Hasundutan.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a). Menjelaskan wujud formal kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba.
b). Menjelaskan wujud pragmatik kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a). Memberikan masukan tentang wujud formal dan wujud pragmatik kesantunan
imperatif dalam bahasa Batak Toba, sehingga dapat memperlancar komunikasi.
b). Menambah wawasan dan pengetahuan penelitian tentang wujud formal dan wujud
pragmatik kesantunan imperatif dalam BBT.
c). Memberikan sumbangan untuk perkembangan dan penerapan teori-teori kesantunan
imperatif dalam objek penelitian BBT serta menjadi referensi tinjauan pustaka
penelitian bagi peneliti selanjutnya yang berhubungan dengan kesantunan berbahasa,
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa,
yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kridalaksana, 2001:117).
2.1.1 Kesantunan
Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh
suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi persyaratan yang disepakati
oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut “tatakrama” (Sibarani,
2004:170).
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau
tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan
unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong,
angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya (Sibarani, 2004:170). 2.1.2 Imperatif
Imperatif adalah bentuk kalimat atau verba untuk mengungkapkan perintah, keharusan
atau larangan melaksanakan perbuatan (Kridalaksana, 2001:81). Perintah tidak hanya diartikan
2.2 Landasan Teori
Terdapat empat macam teori yang dapat dijadikan dasar atau pijakan di dalam penelitian
kesantunan imperatif dalam BBT. Keempat teori tersebut adalah sebagai berikut:
2.2.1 Kesantunan Berbahasa
Fraser (dalam Kaswanti 1994:48) mendefenisikan kesantunan merupakan property atau bagian yang ditunjukkan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau mengingkari memenuhi kewajibannya. Maksudnya
adalah bahwa si penutur memerintah mitra tutur sesuai dengan kemampuan mitra tutur tersebut, apabila tidak sesuai dengan kemampuan mitra tutur maka tuturan tersebut tidak santun.
Ulasan Fraser terhadap kesantunan berbahasa yaitu pertama, kesantunan itu adalah
property atau bagian dari ujaran, jadi tidak hanya ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat
pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu merupakan ujaran. Ketiga, kesantunan itu
dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar
santun atau tidak diukur berdasarkan (1) apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada
lawan bicaranya; maksudnya adalah bahwa penutur jika memerintah atau menyuruh mitra tutur
harus sesuai dengan kemampuan mitra tutur dan (2) apakah si penutur memenuhi kewajibanya
kepada lawan bicaranya; maksudnya adalah si penutur memenuhi kewajibannya kepada mitra
tutur.
2.2.2 Kalimat Imperatif
Rahardi (2005:71) menyatakan bahwa kalimat imperatif mengadung maksud memerintah
atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana diinginkan si penutur. Dengan
bervariasi. Bahasa Indonesia juga membicarakan tentang wujud kesantunan imperatif. Rahardi
(2005:87) mengatakan wujud kesantunan imperatif mencakup dua macam hal, yaitu; (1) wujud
formal imperatif atau struktural dan (2) wujud pragmatik imperatif atau nonstruktural.
Wujud formal imperatif adalah realisasi maksud imperatif bahasa Indonesia menurut ciri
struktural atau ciri formalnya. Rahardi (2005:88) menunjukkan tiga ciri mendasar yang dimiliki
satuan lingual dalam bahasa Indonesia, yakni (1). Menggunakan intonasi keras, (2). Kata kerja
yang digunakan lazimya kata kerja dasar, (3). Mempergunakan partikel pengeras –lah. Secara
formal, tuturan imperatif meliputi dua macam wujud yaitu imperatif aktif dan imperatif pasif.
Wujud pragmatik imperatif adalah realisasi maksud imperatif menurut makna
pragmatiknya. Makna tersebut dekat hubungannya dengan konteks situasi tutur yang
melatarbelakangi munculnya tuturan imperatif itu. Konteks mencakup banyak hal, seperti
lingkungan tutur, nada tutur, peserta tutur, dan aspek-aspek konteks situasi tutur lain. Oleh
karena itu, wujud imperatif pragmatik dalam bahasa Indonesia itu dapat berupa tuturan yang
bermacam-macam sejauh di dalamnya terkandung makna pragmatik imperatif. Secara pragmatik,
terdapat tujuh belas macam tuturan imperatif yaitu: pragmatik imperatif perintah, pragmatik
imperatif suruhan, pragmatik imperatif permintaan, pragmatik imperatif permohonan, pragmatik
imperatif desakan, pragmatik imperatif bujukan, pragmatik imperatif imbauan, pragmatik
imperatif persilaan, pragmatik imperatif ajakan, pragmatik imperatif permintaan izin, pragmatik
imperatif mengizinkan, pragmatik imperatif larangan, pragmatik imperatif harapan, pragmati
imperatif umpatan, pragmatik imperatif ucapan selamat, pragmatik imperatif anjuran, pragmatik
2.2.3 Tindak Tutur
Teori tindak tutur adalah pandangan yang mempertegaskan bahwa ungkapan suatu
bahasa dapat dipahami dengan baik apabila dikaitkan dengan situasi konteks terjadinya
ungkapan tersebut. Berbicara tentang kesantunan berarti membicarakan penggunaan bahasa
(langue use) dalam suatu masyarakat tertentu. Adapun yang akan dibicarakan atau dikaji dalam
penelitian kesantunan adalah segi dan fungsi tuturan, dalam hal ini, maksud dan fungsi tuturan
imperatif BBT.
Searle (dalam Rahardi, 2005:35-36) terdapat dalam bukunya Speech Act: An Essy in
Philosophy Of Language menyatakan bahwa dalam praktik terdapat tiga macam tindak tutur
antara lain: (1) tindak lokusioner, (2) tindak ilokusioner, (3) tindak perlokusi.
Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan
makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Kalimat ini dapat disebut sebagai the act
of saying something. Dalam lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang
disampaikan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi, tuturan
“tanganku gatal” misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan memberitahukan si mitra tutur
bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal.
Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu
pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan “tanganku
gatal” diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur
bahwa pada saat dituturkannya tuturan tersebut, rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur,
namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu
Tindakan perlokusi adalah tindak menumbuh pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan “tanganku gatal”,
misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena si penutur itu berprofesi sebagai seseorang tukang pukul
yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.
Selanjutnya, Searle (dalam Rahardi, 2005:36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima
macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Asertif (Assertives), yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran
proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), menbual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).
2. Direktif (Directives), yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya untuk
membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya, memesan (orderin), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising),
dan merekomendasi (recommending).
3. Ekspresif (Experssives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih
(thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blambing), memuji (praising), berbelasungkawa (condoling).
5. Deklarasi (Declarations), bentu tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), menbaptis
(chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing).
Teori tindak tutur atau bentuk ujaran mempunyai lebih dari satu fungsi. Kebalikan dari kenyataan tersebut adalah kenyataan di dalam komunikasi yang sebenarnya bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran.
Contoh:
A: lampu ini terang sekali. (sambil menutup mata)
B: akan ku matikan.
Tuturan tersebut diucapkan seseorang kepada temannya ketika berada di rumah mitra tutur. Ujaran “lampu ini terang sekali” tersebut berfungsi sebagai perintah, sama seperti “
matikan lampunya”. Seseorang mungkin juga menyatakan perintah dalam bentuk pernyataan kebiasaan dengan mengatakan “aku tidak bisa tidur kalau lampunya terlalu terang”.
2.2.4 Konteks Situasi
Konteks situasi merupakan interaksi linguistik dalam suatu ujaran atau lebih melibatkan
dua pihak, yakni penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan
situasi tertentu (Chaer dan Leonie, 2004 : 47).
Suatu konteks harus memenuhi delapan komponen yang diakronominkan sebagai
1. S (setting dan scene), setting berkenaan dengan tempat dan waktu tuturan
berlangsung, scene adalah situasi tempat dan waktu.
2. P (participants), pihak-pihak yang terlibat dalam tuturan.
3. E (end), merujuk pada maksud dan tujuan tuturan.
4. A (act sequence), mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.
5. K (keys), mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan
dengan senang hati, serius, mengejek, bergurau.
6. I (instrumentalies), mengacu pada bahasa yang digunakan.
7. N (norm of interaction an interpretation), mengacu pada tingkah laku yang berkaitan
dengan peristiwa tutur.
8. G (genre), mengacu pada jenis penyampaian.
Setting and scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tuturan berlangsung,
sedangkan scene mengacu pada situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi
tuturan yang berbeda dapat menyebabkan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan
sepakbola pada waktu pertandingan sepakbola dalam situasi ramai anda bisa berbicara
keras-keras, berbeda dengan pembicaraan di ruangan perpustakaan pada waktu banyak orang
membaca, anda harus berbicara seperlahan mungkin.
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan
pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dengan penerima pesan. Dua orang yang
bercakap dapat berganti peran sebagai pendengar dan pembicara, tetapi dalam khotbah di
mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran.
anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan
orangtuanya atau gurunya, bila dibandingkan berbicara terhadap teman-temannya.
Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruangan
pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara. Namun, para partisipan dalam
peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan
terdakwa, pembela membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha
memberikan keputusan yang adil.
Keys, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan dengan
senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek dan sebagainya.
Hal ini juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis,
melalui telegraf atau telepon. Bentuk ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan,
seperti bahasa, ragam dialek, atau register.
Norm or interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam
berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan mengacu
pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan
sebagainya.
Berdasarkan keterangan diatas, peneliti dapat melihat kompleksnya suatu peristiwa
tuturan yang telah terlihat, atau dialami sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
2.3 Tinjauan Pustaka
Hasibuan (2005) mengkaji tentang perangkat tindak tutur dan siasat kesantunan bahasa
dalam bahasa Mandailing. Ia mengemukakan jenis-jenis tindak tutur versi Searle, yaitu
representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Juga membahas jenis tindak tutur
langsung dan tidak langsung.
Rahardi (2005) dalam bukunya yang berjudul Kesantunan Imperatif Dalam Bahasa
Indonesia yang mengungkapkan tentang kalimat imperatif. Kalimat imperatif adalah memerintah
atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana yang diinginkan si penutur.
Selain itu dalam buku ini juga dibahas wujud formal dan wujud pragmatik. Wujud formal
imperatif adalah realisasi maksud imperatif dalam bahasa Indonesia menurut ciri struktural atau
formalnya sedangkan, wujud pragmatik imperatif adalah realisasi maksud imperatif menurut
makna pragmatiknya.
Ida Luthfiyanti (2007) dalam skripsinya yang berjudul Kesantunan Imperatif dalam
Interaksi antara Santri Putri Pompes Sunan Drajat Banjarnyar Paciran Lamongan Jawa Timur.
Membahas tentang wujud pemakaian kesantunan imperatif dan makna dasar imperatif yang
digunakan dalam interaksi antarsantri putri pondok pesantren sunan drajat banjarnyar paciran
Lamongan. Terdapat dua wujud pemakaian kesantunan imperatif pada pesantren tersebut
menjadi wujud imperatif dan kesantunan imperatif. Bentuk imperatif santri terhadap ustadzah
dan pengurus dipastikan tidak ada. Salah satu faktornya adalah norma-norma di santri untuk
selalu hormat kepada ustadzah dan pengurus mengingat status mereka yang lebih tinggi.
Lasmaina Simarmata (2009) dalam skripsinya yang berjudul Kesantunan Imperatif dalam
Bahasa Simalungun yang membicarakan tentang kesantunan nilai imperatif dan wujud imperatif
imperatif ajakan, kalimat imperatif suruhan. Terdapat dua wujud imperatif dalam bahasa
Simalungun yaitu wujud formal imperatif dan wujud pragmatik.
Khairina Nasution (2008) dalam jurnal ilmiah ilmu bahasa yang berjudul Tindak Tutur
dan Kesantunan dalam Bahasa Mandailing. Menyimpulkan bahwa dalam bertindak tutur
masyarakat Mandailing tetap menjaga kesantunannya sesuai dengan budaya yang ditanamkan
kepada masyarakatnya. Untuk mendukung kesantunan tersebut, terdapat dua prinsip umum
kesantunan dalam berinteraksi sosial yaitu; (1) kesantunan positif dan (2) kesantunan negatif.
Seseorang yang dikaitkan memiliki kesantunan positif apabila ia memiliki siasat bertutur yang
menggambarkan adanya solidaritas dengan pendengarnya dan kesantunan negatif merujuk
kepada tuturan yang orientasinya menyelamatkan muka negatif orang lain.
Berdasarkan beberapa sumber di atas, maka dapat dijadikan sebagai sumber sejumlah
data yang relevan dan berhubungan dengan penelitian kesantunan imperatif BBT karena hasil
penelitian sebelumya dapat menjadi informasi bagi peneliti untuk memperoleh analisis yang
lebih lengkap dengan menggunakan teori tindak tutur, kesantunan berbahasa, konteks situasi, dan
kalimat imperatif. Oleh karena itu, Kesantunan Imperatif dalam BBT sama sekali belum pernah
diteliti, dan pada kesempatan ini akan diteliti tentang bagaimanakah wujud formal kesantunan
imperatif dalam BBT dan bagaimanakah wujud pragmatik kesantunan imperatif dalam BBT.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian berada di Desa Silaga-laga, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten
Humbang Hasundutan. Penelitian dilakukan pada tanggal 09-15 Agustus 2010.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi adalah sejumlah keseluruhan pemakaian bahasa yang tidak diketahui
batas-batasnya akibat luasnya daerah Humbang dan banyaknya orang yang memakai bahasa tersebut
(Sudaryanto, 1990:36). Populasi penelitian ini adalah penutur BBT di Kecamatan Doloksanggul,
Desa Silaga-laga.
Sampel adalah sebagian dari pemakaian bahasa yang mewakili dari satu populasi
(Sudaryanto, 1990:30). Dalam penelitian ini penulis mengabil sampel sebanyak 10 informan.
Teknik pengambilan sampel yang dilakukan bersifat purposive sampling yang berarti bahwa unit
sampel yang diambil akan disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan agar
mengarah kepada pencapaian peneliti (Nawawi dan Martini, 1993:157). Dalam penelitian ini unit
sampel yang akan diambil harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu yaitu:
1. Berjenis kelamin pria atau wanita;
2. Berusia antara 8-50;
3. Merupakan warga setempat;
5. Berstatus sosial menengah (tidak rendah atau tinggi) dengan harapan tidak terlalu
tinggi mobilitasnya; berprofesi sebagai POLRI, pegawai negeri/swasta, wiraswasta,
pedangang, petani, dan buruh.
6. Memiliki kebanggaan terhadap bahasanya;
7. Dapat berbahasa Indonesia;
8. Sehat jasmani dan rohani.
Untuk pengumpulan data kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba maka peneliti
menggunakan dua data yaitu: a. Data Primer
Ialah data yang diperoleh secara langsung dari objeknya. Dalam hal ini, data
didapatkan dari transkripsi penyimakan terhadap penggunaan kesantunan
imperatif dalam BBT.
b. Data Sekunder
Ialah data yang diperoleh secara tidak langsung, tetapi melalui buku-buku bacaan
dan referensi yang berhubungan dengan kesantunan imperatif dalam BBT.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri dengan menggunakan pedoman metode simak dan metode cakap dibantu dengan teknik sadap, teknik simak libat cakap, teknik bebas libat
cakap, teknik pancingan, teknik cakap semuka, teknik catat.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode adalah cara yang harus dilaksanakan, sementara itu teknik adalah cara
metode simak dan metode cakap. Metode simak memiliki teknik dasar yang berwujud teknik
sadap (Sudaryanto, 1993:133). Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak
karena pada hakekatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan. Dalam arti, peneliti dalam
upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seorang atau beberapa
orang dengan segenap kecerdikan dan kemauan. Selanjutnya, teknik sadap ini diikuti dengan
teknik lanjutan I yang berupa teknik simak libat cakap. Dalam teknik simak libat cakap, peneliti
melakukan penyadapan itu dengan cara berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam
pembicaraan, dan menyimak pembicaraan. Dalam hal ini, peneliti terlibat langsung dalam dialog.
Selain teknik libat cakap penelitian ini juga menggunakan teknik lanjutan II berupa teknik simak
libat cakap. Dalam penelitian ini peneliti tidak ikut berpartisipasi dalam percakapan. Peneliti
hanya sebagai pemerhati, dan menyimak apa yang dikatakan (apa yang dibicarakan) oleh
orang-orang yang saling berbicara. Selanjutnya teknik catat adalah teknik lanjutan yang dilakukan
peneliti ketika menerapkan metode simak dengan teknik lanjutan di atas.
Selain itu, peneliti juga menggunakan metode cakap. Metode penyediaan data dengan
metode cakap disebabkan cara yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa
percakapan antara peneliti dengan informan (Sudaryanto, 1993:137). Metode cakap memiliki
teknik dasar berupa teknik pancing, karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan
metode tersebut hanya dimungkinkan muncul jika peneliti memberi pancingan pada informan
untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Pancingan itu berupa
bentuk atau makna-makna yang tersusun dalam bentuk daftar pertanyaan. Selanjutnya, teknik
dasar tersebut disertai dengan teknik lanjutan cakap semuka. Pada pelaksanaan teknik cakap
dengan bersumber pada pancingan yang sudah disiapkan atau secara spontanitas, maksudnya
pancingan dapat muncul di tengah-tengah percakapan.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode padan dan agih. Metode
padan merupakan penentu satuan lingual dengan menyesuaikan, menyelaraskan, mencocokkan,
atau memadankan identitas satuan lingual dengan unsur penentunya (Sudaryanto, 1993:26).
Subjenis metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pragmatis dengan
alat penentunya mitra wicara. Metode agih adalah membagi satuan lingual datanya menjadi
beberapa bagian atau unsur; dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang
langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud yaitu unsur dari bahasa objek sasaran
penelitian itu sendiri.
Analisis data mengandung pengertian penentuan satuan lingual berdasarkan teori tertentu
dan dengan pengujian teknik pula (Sudaryanto, 1988:51). Dalam analisis ini penulis
menggunakan metode padan pragmatis, dimana alat penentunya yaitu mitra wicara (Sudaryanto,
1933:13).
Contoh :
“Allangma kue i sambola nai!”
‘Makanlah kue itu sepotong lagi!’
Dituturkan oleh Ibu kepada anaknya yang sedang memakan kue. Tuturan tersebut memiliki kandungan makna atau maksud pragmatik imperatif yang halus. Dalam tuturan tersebut terdapat penanda kesantunan “allangma” (makanlah). Penanda tersebut dapat digunakan untuk
lagi. Imperatif makanlah sekaligus berfungsi sebagai pemarkah dalam BBT “ma” (lah) atau penanda kesantunan tuturan imperatif. Kalimat itu disebut kalimat pemberian izin.
Analisis data dengan menggunakan metode padan pragmatis ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesantunan imperatif dalam BBT. Metode ini juga digunakan sebagai
BAB IV
KESANTUNAN IMPERATIF DALAM BAHASA BATAK TOBA
Kesantunan adalah aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu
masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi persyaratan yang disepakati oleh
perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan biasanya disebut dengan “tatakrama” (Sibarani,
2004:170). Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal
atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak
hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan
unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa
dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma
budaya maka, ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong,
angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Imperatif adalah bentuk kalimat atau verba untuk mengungkapkan perintah, keharusan
atau larangan melaksanakan perbuatan (Kridalaksana, 2001:81). Perintah tidak hanya diartikan
sebagai perintah untuk melakukan sesuatu, tetapi juga sebagai perintah untuk tidak melakukan
sesuatu yang disebut larangan. Wujud imperatif dalam bahasa Batak Toba mencakup dua macam
hal, yaitu; (1). Wujud formal imperatif atau struktural dan (2). Wujud imperatif pragmatik atau
nonstruktural. Wujud formal imperatif yang dimaksud disini adalah berkenaan dengan realisasi
maksud imperatif menurut ciri struktural atau formalnya. Ihwal ciri formal atau struktural
imperatif tersebut adalah (1). Menggunakan intonasi keras, (2). Kata kerja yang digunakan
lazimya kata kerja dasar, (3). Mempergunakan partikel pengeras –ma. Wujud pragmatik
hubungannya dengan konteks situasi tutur yang melatarbelakangi munculnya tuturan imperatif
itu. Konteks tersebut mencakup banyak hal, seperti lingkungan tutur, nada tutur, peserta tutur,
dan aspek-aspek konteks situasi tutur masyarakat Batak Toba. Keberagaman bentuk tuturan
imperatif ini dapat menunjukkan adanya perbedaan antara imperatif formal dengan imperatif
pragmatik.
4.1 Analisis Wujud Formal Kesantunan Imperatif dalam Bahasa Batak Toba
Telah dijelaskan di atas bahwa ciri formal atau struktural imperatif adalah realisasi
maksud imperatif bila dikaitkan dengan ciri formal atau strukturalnya. Adapun wujud formal
kesantunan imperatif tersebut meliputi; imperatif aktif dan imperatif pasif. Kedua macam wujud
tersebut akan diuraikan pada bagian berikut.
4.1.1 Imperatif Aktif
Imperatif aktif dalam BBT dibedakan berdasarkan penggolongan verbanya menjadi dua
macam, yaitu; imperatif aktif yang berciri transitif dan imperatif aktif yang berciri tidak transitif. Pada uraian berikut kedua macam wujud imperatif aktif tersebut akan dijabarkan dengan
menggunakan contoh-contoh tuturan. (A) Imperatif Aktif Tidak Transitif
Rahardi (2005:88) menjelaskan bahwa kalimat tidak transitif atau tak transitif adalah
kalimat yang tidak menghendaki berobjek dan tak berpelengkap. Imperatif aktif berciri tidak transitif dalam BBT dapat dibentuk dengan melihat contoh berikut ini. Tuturan (1) dituturkan
Contoh:
(1a). ro son molo berani! kemari, kalau berani!
(1b). ho! ro son molo berani!
kau! kemari kalau berani!
(1c) . ro son ma molo berani! kemari T kalau berani!
‘kemarilah kalau berani!’
Dari contoh di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa tuturan diatas menunjukkan wujud
kesantunan imperatif aktif tidak transitif. Pemakaian tutur sapa ho pada tuturan (1b) ‘ho! ro son
molo berani’ berfungsi sebagai penanda kesantunan. Selain itu, tuturan tersebut lebih santun
dibandingkan (1a) ‘ro son molo berani’ karena tuturan tersebut menunjukkan kadar imperatif
yang lebih tinggi dan kadar kesantunannya lebih rendah, sedangkan tuturan (1c) ro son ma molo
berani memiliki tingkat kesantunan yang lebih tinggi dibandingkan tuturan (1a dan 1b) karena
tuturan tersebut ditandai pertikel ma- yang berfungsi sebagai penekan penanda kesantunan dan
menunjukkan tuturan (1c) lebih halus dibandingkan tuturan (1a dan 1b). Jadi, dari tuturan-tuturan
itu dapat ditentukan bahwa tuturan yang lebih santun ialah tuturan (1c), sedangkan penanda
verba imperatif aktif tidak transitif pada tuturan tersebut ditandai kata dasar ro son (kemari)
pada setiap tuturan (1).
Bentuk imperatif tidak transitif dalam contoh tersebut ditentukan dengan ketentuan:
pertama, menghilangkan subjek yang lazimnya berupa persona kedua seperti ho pada tuturan (1b
partikel ma- pada bagian tertentu tuturan untuk memperhalus maksud imperatif aktif tersebut
pada tuturan (1c).
(B) Imperatif Aktif Transitif
Kalimat transitif adalah kalimat yang menuntut kehadiran objek atau pelengkap. Oleh
karena itu, untuk membentuk tuturan imperatif aktif transitif, berlaku ketentuan yang telah diuraikan dalam membentuk tuturan aktif tidak transitif, dan yang membedakan keduanya adalah bahwa untuk membentuk kalimat imperatif aktif transitif verbanya disertakan atau dibuat tanpa
menggunakan awalan ma-. Seperti pada contoh tuturan berikut, tuturan (2) dituturan seseorang kepada adeknya, ketika adeknya bangun kesiangan dan si penutur sudah capek membersihkan
rumah. Tuturan (3) dituturkan seseorang kepada isteri saudara laki-lakinya, ketika datang berkunjung kerumahnya.
Contoh:
(2a). sunsi baju i! cuci baju itu!
(2b). ho manunsi baju i! kamu mencuci baju itu! (2c). Sunsi ma baju i!
cuci T baju itu!
‘cucilah baju itu!’
(3a). loppa kue tu pesta i! masak kue ke pesta itu!
(3c). loppa ma kue tu pesta i da!
Masak T kue ke pesta itu ya!
‘masaklah kue ke pesta itu ya!’
Telah dijelaskan di atas, untuk membentuk imperatif aktif transitif dalam bahasa Batak Toba, verbanya harus dibuat atau disertakan dalam tuturan tanpa menggunakan awalan (prefiks) ma-, seperti pada contoh tuturan (2a) sunsi baju i dan (2c) sunsi ma baju i, Jadi, sunsi termasuk kedalam imperatif aktif. Dari contoh tersebut, dapat juga dilihat penanda kesantunan yaitu; pada tuturan (2b) “ho manunsi baju i” disebut lebih santun dibandingkan tuturan (2a) sunsi baju i,
karena kata ho termasuk penanda kesantunan dan menunjukkan kadar imperatif yang lebih rendah serta kadar kesantunan tinggi. Tetapi, dari tuturan-turan tersebut kesantunan yang lebih tinggi ditunjukkan pada tuturan (2c) Sunsi ma baju i karena tuturan tersebut disertai pertikal ma-
yang berfungsi sebagai penanda kesantunan yang lebih halus dan sopan. Demikian juga, pada tuturan (3b) eda mangaloppa kue tu pesta i da lebih santun dibandingkan (3a) loppa kue tu pesta
i, tetapi akan semakin santun, apabila tuturan tersebut disertai pertikel ma- pada tuturan (3c) loppa ma kue tu pesta i da.
4.1.2 Imperatif Pasif
Wujud imperatif pasif adalah realisasi terhadap bentuk imperatif yang verbanya pasif. Bentuk tuturan pasif digunakan karena pada pemakaian imperatif pasif kadar suruhan yang
dikandung di dalamnya cenderung menjadi rendah. Berikut ini dapat dilihat contoh bentuk imperatif pasif. Dituturkan seseorang kepada adiknya, ketika mereka berada di ruang tengah rumah dengan situasi tegang karena penutur sedang marah.
(4a). bungkus kado on dohot hirim sahatopna!
bungkus kado ini dan kirim secepat!
‘bungkus kado ini dan kirim secepatnya!’
(4b). kado on dibungkus ma dohot hirim sahatopna!
Kado ini dibungkus T dan kirim secepatnya!
‘kado ini dibungkuslah dan kirim secepatnya!’
Tuturan di atas menunjukkan bahwa subjek imperatif cenderung definitive (sudah pasti)
yaitu, tuturan itu langsung tertuju kepada orang yang bersangkutan atau mitra tutur. Sehingga,
tuturan tersebut mengandung kadar suruhan yang tinggi tetapi semakin rendah kadar
kesantunannya. Tetapi, tuturan itu dapat menjadi semakin halus dan semakin tidak langsung
apabila tuturan itu tidak diungkapkan dengan intonasi suruh. Selain itu, untuk mengurangi kadar
kelangsungan tuturan, seperti tutur di atas, dapat ditambahkan unsur-unsur lingual lain sehingga
tuturan itu semakin panjang, karena semakin panjang sebuah tuturan maka semakin tidak
langsunglah maksud sebuah tuturan. Demikian sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan akan
semakin langsunglah maksud tuturan itu dan semakin rendahlah kadar kesantunan. Untuk lebih
memperjelas hal tersebut, perlu di perbandingkan tuturan (4a) di atas dengan tuturan (5a) berikut.
Dituturkan seseorang kepada temannya, ketika berada di kamarnya. Tuturan tersebut dituturkan
dengan pertimbangan dan halus karena si penutur merasa tidak enak memerintah temannya
(mitra tutur).
Contoh:
(5). denggan na nian bungkuson do parjolo kado on, dohot molo boi hirim ma sahatopna!
Tuturan di atas sangat jelas menunjukkan bahwa tuturan (5) lebih panjang daripada
tuturan (4a) oleh karena itu, tuturan tersebut semakin tidak langsung menunjukkan maksud yang
terdapat didalamnya dan semakin tinggi kadar kesantunannya. Penanda kesantunan imperatif
tuturan tersebut adalah; hirim ma (kirimlah) pada tuturan denggan na nian bungkuson do parjolo
kado on, dohot molo boi hirim ma sahatopna! dan denggan na (sebaiknya) pada tuturan denggan
na nian bungkuson do parjolo kado on, dohot molo boi hirim ma sahatop na! yang berfungsi
sebagai pemerkuat maksud dari tuturan itu yaitu; si penutur secara tidak langsung menginginkan
mitra tutur agar membungkus kado dan mengirimnya. Dengan demikian, dapat dikatakan tuturan
(5) santun atau lebih sopan dibandingkan tuturan (4).
4.2 Analisis Wujud Pragmatik Kesantunan Imperatif dalam Bahasa Batak Toba
Wujud pragmatik adalah realisasi maksud imperatif, dalam hal ini BBT, yakni, apabila
dikaitkan dengan konteks situasi tutur yang melatarbelakanginya. Makna pragmatik imperatif
tuturan yang demikian itu sangat ditentukan oleh konteksnya. Konteks yang dimaksud dapat
bersifat ekstralinguistik dan intralinguistik.
Konteks yang bersifat ekstralinguistik menunjukkan berbagai aspek luar bahasa yang
kemunculannya bersama tuturan berpengaruh terhadap pemakaian kesantunan imperatif BBT.
Aspek-aspek tersebut, misalnya maksud tuturan, waktu dan tempat munculnya tuturan, peserta
tutur, dan sebagainya. Konteks yang bersifat intralinguistik menunjukkan aspek bahasa, seperti
panjang-pendeknya tuturan, pemakaian kata, atau frasa penanda kesantunan yang semuanya
berpengaruh kepada kesantunan tuturan imperatif BBT. Gambaran untuk memperjelas
pernyataan tersebut dapat dilihat pada contoh berikut. Tuturan (6a) dituturkan oleh seorang ibu
sedangkan (6b) dituturkan seorang nenek yang sedang sakit di rumahsakit dan mau tidur kepada
cucunya yang sedang tugas menjaga nenek tersebut.
Contoh:
(6a). Ian….! matehon lampu i!
Ian….! Matikan lampu itu!
(6b). eeeh… lampu on mansai tiur, gabe soboi anon iba modom dibahen! Eeeh… lampu ini terang sekali, jadi tidak bisa nanti aku tidur dibuat!
Dari tuturan di atas, tampak jelas bahwa tuturan (6a dan 6b) sama berkonstruksi imperatif untuk menyatakan perintah kepada mitra tutur supaya cepat mematikan lampu tetapi tuturan (6b)
lebih santun dibandingkan tuturan (6a) karena berdasarkan sifat intralinguistik yaitu pada aspek bahasa yang meliputi panjang-pendeknya tutur dapat dilihat bahwa tuturan (6a) . Ian….! matehon lampu i! lebih pendek dibandingkan (6b) eeeh… lampu on mansai tiur, gabe soboi anon iba modom dibahen!, maksudnya adalah semakin pendek sebuah tuturan semakin tinggi pula kadar imperatifnya dan semakin rendahlah kadar kesantunannya, sebaliknya semakin panjang
sebuah tuturan semakin rendah kadar imperatifnya namun semakin tinggi pula kadar kesantunan yang dikadung tuturan tersebut. Apabila dilihat berdasarkan aspek maksud tuturan dan tempat tuturan, maka tuturan (6b) termasuk ke dalam konteks yang bersifat ektralinguistik, yaitu pada
konteks tuturan eeeh….lampu on tiurnai, soboi iba modom!, dituturkan nenek kepada cucunya sebagai kalimat deklaratif (berita), tetapi cucunya (mitra tutur) menanggapinya sebagai perintah
Wujud imperatif dalam BBT, tidak selalu berupa konstruksi imperatif. Wujud pragmatik
imperatif tersebut dapat berupa tuturan yang bermacam-macam, tuturan-tuturan itu dapat berupa
tuturan konstruksi imperatif dan dapat pula berupa konstruksi nonimperatif. Artinya adalah
bahwa wujud kesantunan imperatif itu dapat ditentukan konstruksi imperatif secara langsung dan
konstruksi imperatif secara tidak langsung. Selanjutnya, masing-masing wujud pragmatik
kesantunan imperatif tersebut diuraikan secara terperinci.
4.2.1 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Perintah
Makna pragmatik imperatif perintah dapat diwujudkan dengan tuturan imperatif langsung
dan tuturan imperatif tidak langsung atau makna pragmatiknya dapat diketahui melalui konteks situasi tutur yang melatarbelakanginya. Untuk memperjelas hal tersebut, dapat dilihat pada contoh tuturan berikut. Tuturan (7a) dituturkan seseorang kepada adiknya, ketika si penutur baru
pulang dari ladang dan memerintah dengan situasi santai. Sedangkan tuturan 7(b) dituturkan seorang ibu kepada anak gadisnya yang lama pulang ke rumah dengan situasi yang menegangkan
karena si ibu marah-marah. Contoh:
(7a). Andi lehon panggu ni ompung on!
Andi berikan cangkul kakek (nenek) ini!
‘Andi, berikan canggul nenek ini!’
Untuk membuktikan kedua contoh tersebut mengandung makna kesantunan pragmatik imperatif perintah, maka dapat dikenakan teknik parafrasa atau teknik ubahwujud seperti lazim digunakan dalam analisis linguistik struktural yaitu teknik yang selalu mengakibatkan
mengubah makna yang terkandung pada lingual tersebut, dengan kata lain, kembali menguraikan tuturan-tuturan tersebut dengan bentuk yang berbeda tanpa mengubah makna dari tuturan
tersebut. Oleh karena itu, tuturan (7a) Andi lehon panggu ni ompung on! dapat diubahwujudkan menjadi;
(7b). Andi molo boi, lehon ma jolo panggu ni ompung on, asa maridi ho!
Andi kalau bisa, berikan T dulu cangkul nenek ini, baru mandi kau!
‘Andi kalau bisa, berikanlah dulu cangkul nenek ini, baru mandi kau!’
Tampak jelas bahwa tuturan itu memiliki makna yang sama dengan tuturan sebelumnya, tetapi mengandung kalimat imperatif yang berbeda. Tuturan Andi lehon panggu ni ompung on!,
memiliki makna imperatif yang menyatakan makna perintah secara langsung kepada mitra tutur yaitu supaya mitra tutur cepat memberikan cangkul nenek mereka, sedangkan tuturan ‘Andi molo boi, jolo lehon ma panggu ni ompung on, asa maridi ho!’ memiliki makna imperatif perintah yang menyatakan makna harapan, bahwa penutur berharap mitra tutur terlebih dahulu memberikan cangkul baru mandi. Dari kedua tuturan tersebut, dapat dilihat bahwa tuturan (7a)
memiliki kadar imperatif yang lebih tinggi dari pada tuturan (7b). Hal itu ditandai dengan penanda kesantunan molo boi (kalau bisa) dan lehon ma (berikanlah) pada tuturan (7b) yang berfungsi sebagai memperhalus maksud tuturan tersebut.
Di dalam pemakaian BBT pada kehidupan sehari-hari, terdapat beberapa makna pragmatik imperatif perintah yang tidak saja diwujudkan dengan tuturan imperatif seperti di atas,
Tuturan berikut disampaikan seorang isteri kepada suaminya, ketika mereka berada di dalam rumah sedang duduk santai sambil menunggu kedatangan ibu dari isteri.
Contoh :
(8). Isteri : pak ucok nga sahat halak uma di loket ate!
Pak (bayi laki-laki), sudah sampe orang mama di stasiun ya!
‘pak! sudah sampe orang mama di stasiun ya!’ Suami : olo…!
Yah…!
Tuturan di atas dapat ditafsirkan mengandung beberapa macam-macam kemungkinan
makna. Secara linguistik, di dalam BBT tuturan tersebut dapat ditafsirkan sebagai kalimat deklaratif (berita) kepada mitra tutur. Namun, bagi sebagian orang yang lain tuturan tersebut dapat ditafsirkan sebagai sebuah perintah walaupun tidak secara langsung di dalamnya
terkandung makna imperatif. Si suami (mitra tutur) menanggapi tuturan si penutur sebagai perintah supaya cepat menjemput mertuanya ke stasiun. Dengan demikian, jelas bahwa terdapat
tuturan di sekitar masyarakat Batak Toba yang sebenarnya mengandung makna pragmatik imperatif namun wujud konstruksinya bukan tuturan imperatif. Hanya konteks situasi tuturlah yang dapat menentukan kapan sebuah tuturan akan ditafsirkan sebagai kalimat imperatif perintah
dan kapan pula sebuah tuturan akan dapat ditafsirkan dengan makna pragmatik yang lainnya.
4.2.2 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Suruhan
dituturkan seorang ayah kepada anaknya, supaya anaknya mencoba mesin mobil. Karena si ayah baru membeli mesin mobil yang baru.
Contoh:
(9). soba tes masin motor i!
coba tes mesin mobil itu!
(10). hu suru ho asa mansoba masin motor i!
aku suruh kamu untuk mencoba mesin mobil itu!
Tuturan (9) soba tes mesin motor i dapat diparafrasakan menjadi tuturan (10) hu suru ho
amang lao mansoba masin motor i, untuk mengetahui secara pasti apakah benar tutur tersebut
merupakan imperatif dengan makna suruhan. Selain itu, tuturan (10) lebih santun dibandingkan
tuturan (9), karena pada tuturan (10) terdapat penanda kesantunan soba dan amang yang
berfungsi sebagai pemerhalus tuturan dan menunjukkan keakrab- an bagi penutur dan mitra tutur
sedangkan tuturan (9) menunjukkan tuturan yang bermakna paksaan sehingga tuturan tersebut
memiliki kadar kesantunan rendah.
Pada kegiatan bertutur sesungguhnya, makna pragmatik suruhan itu tidak selalu
diungkapkan dengan konstruksi imperatif seperti di atas. Seperti yang terdapat pada
wujud-wujud imperatif lain, makna imperatif suruhan dapat diungkapkan dengan bentuk tuturan
deklaratif (pernyataan ringkas dan jelas) dan tuturan interogatif (menunjukkan pertanyaan).
Seperti pada contoh berikut ini. Tuturan tersebut antara paman dan keponakannya, ketika si
tulang berkunjung ke kampung keponakannya yang berada di desa.
Contoh :
Bere : olo tulang, hu bahen pe kopi asa las tulang! ya tulang, ku buat pun kopi supaya hangat tulang!
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa tuturan (11) menyatakan maksud bertanya
ditandai pertikal bah- yang terletak dibelakang kalimat dan di dalam kalimat interogatif BBT
dapat berfungsi sebagai pemerhalus tuturan. Dengan kata lain, partikel bah- dapat dianggap
sebagai salah satu penanda kesantunan. Namun , mitra tutur menanggapinya sebagai sebuah
perintah yang bermakna suruhan, agar mitra tutur melakukan sesuatu kepada si penutur untuk
menghangatkan badanya. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa kalimat imperatif
suruhan dapat dibentuk dengan dua cara yaitu dengan cara konstruksi imperatif (ditandai
penanda kesantunan soba dan pemakaian tutur sapa tulang), dan dapat dibentuk dengan tuturan
interogatif seperti “ehe, lam leleng tamba ngali do huta muna on bah?” yang ditandai pertikal
bah- sebagai penanda kesantunan.
4.2.3 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Permintaan
Tuturan imperatif yang mengandung makna permintaan lazimnya terdapat ungkapan
penanda kesantunan urupi atau frasa lain yang bermakna minta. Makna imperatif permintaan
yang lebih halus diwujudkan dengan penanda kesantunan jolo seperti pada tuturan berikut ini.
Tuturan (12) dituturkan seseorang ibu kepada tetangganya, supaya tetangga tersebut
membantunya mencangkul sawahnya. Sedangkan tuturan (13) dituturkan seorang ibu yang
jengkel kepada anak-anaknya, ketika anak-anaknya ribut di kamar.
Contoh:
(12). eda ,urupi ma jolo hami mangombak hauma!
‘eda, tolonglah dulu kami mencangkul sawah!’
(13). guttur ma hamu torus!
‘ribut T kalian terus! ‘ributlah kalian terus!’
Tuturan (12) tersebut dapat diparafrasakan atau diubahujudkan seperti tuturan-tuturan
sebelumya, menjadi “au mangido tu eda asa mangurupi hami ma jolo mangombak hauma nami”
(saya meminta kepada eda supaya menolong kami mencangkul sawah kami!) dengan demikian,
tuturan tersebut dapat dikatakan tuturan yang merupakan imperatif permintaan, selain itu tuturan
tersebut ditandai penanda kesantunan permintaan mangurupi, jolo, dan pertikel ma- yang
berfungsi sebagai pemerhalus tuturan tersebut dan menunjukkan kadar kesantunan yang tinggi.
Sedangkan tuturan (13) diungkapkan dengan tuturan nonimperatif permintaan namun tuturan
tersebut mengandung makna imperatif yaitu tuturan bermakna menyuruh anaknya untuk diam.
4.2.4 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Desakan
Di dalam BBT, tuturan imperatif dengan makna desakan menggunakan kata beta ’ayo’
sebagai penanda. Selain itu, kadang-kadang digunakan penanda hatop (cepat) dan ikkon (harus)
secara bersamaan dan disertai partikel ba- pada awal kalimat yang berfungsi sebagai penanda
kesantunan untuk memberi penekanan maksud desakan. Untuk lebih memperjelas hal tersebut
dapat dilihat pada contoh berikut. Tuturan (14) dituturkan seorang kakak kepada adeknya, yang
baru siap makan siang dan mau membantu orangtuanya ke ladang. Kemudian tuturan itu dapat
diparafrasakan atau diubahujudkan menjadi tuturan (14b) dan (14c).
ke ladang kau!
(14b). pahatop ba, ikkon ro ho tu porlak!
cepat T harus datang kau ke ladang!
‘cepat yah, harus datang kau ke ladang!’
(14c). beta ma tu porlak, asa mamutik kopi hita! ayo T, ke lading biar memetik kopi kita! ‘ayolah, ke lading biar memetik kopi kita!’
Selain tuturan-tuturan tersebut dapat diparafrasakan, juga dapat dilihat penggunaan penanda kesantunan secara bersamaan di dalam tuturan, yaitu penanda pahatop, ba, dan ikkon
pada tuturan (14b) pahatop ba, ikkon ro ho tu porlak!. Dari ketiga tuturan di atas, dapat juga dilihat bahwa masing-masing tuturan itu memiliki makna pragmatik imperatif desakan namun memiliki tingkat ketidaklangsungan imperatif desakan yang tidak sama. Tuturan (14c) lebih
halus dibandingkan tuturan (14a) dan (14b) karena di dalam tuturan tersebut terdapat penanda beta dan disertai pertikel -ma yang berfungsi sebagai pemerhalus tuturan itu sekaligus menunjukkan kadar kesantunan yang lebih tinggi. Sementara, tuturan (14a) dan (14b) memiliki kelangsungan imperatif desakan yang tinggi namun kadar kesantunan yang rendah, ditandai dengai pahatop dan ba sebagai penanda kesantunan imperatif pragmatik desakan.
Selain tuturan di atas terdapat makna pragmatik imperatif desakan yang dapat juga
ditunjukkan dengan tuturan konstruksi nonimperatif. Seperti pada contoh berikut. Tuturan
berikut ini dituturkan anak kepada ibunya, si anak menunjukkan desakan kepada ibunya supaya
secepatnya melunasi uang SPP sebelum ujian sekolah diadakan.
Contoh:
‘mama seminggu lagi kami ujian, SPP ku belum lunas sebulan lagi!’ Mama : marsongot ma bayar i !
besok T bayar itu! ‘besoklah bayar itu!’
Tuturan di atas, tampak menjelaskan bahwa tuturan konstruksi nonimperatif, terdapat pada kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba. Tuturan (15) Uma saminggu nai hami ujian, SPP hu dang lunas sabulan nai!, merupakan kalimat deklaratif (berita), namun mitra tutur menanggapinya sebagai imperatif desakan karena tuturan tersebut ditandai penanda sabulan nai yang berfungsi sebagai penekan desakan.
4.2.5 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Permohonan
Secara struktural, di dalam BBT imperatif yang mengandung makna permohonan
biasanya ditandai dengan ungkapan penanda kesantunan “mangido”. Selain itu, partikel ma- juga lazim digunakan untuk memperhalus kadar tutur imperatif permohonan. Seperti tuturan di bawah
ini. Tuturan (16) dituturkan seseorang ketika berdoa. Dalam doa, dia memohon ampun buat segala dosanya. Permohonan tersebut ditandai dengan kata “mangido” (mohon).
Contoh :
(16). mangido ampun tu sude dosa nami Tuhan! mohon ampuni segala dosa kami Tuhan!
Tuturan tersebut dapat diparafrasakan atau diubahujudkan menjadi, seperti tuturan
berikut ini.
(17). hu pangido asa Tuhan ma mangampuni sude dosa na di bahen hami, asa unang tarhalang holongmu tu hami!”.
aku memohon supaya Tuhan T mengampuni segala dosa yang kami buat supaya
tidak terhalang kasih-Mu!.
‘aku memohon supaya Tuhanlah mengampuni segala dosa yang kami buat supaya tidak terhalang kasih-Mu!’.
Melihat tuturan (17) hu pangido asa Tuhan ma mangampuni sude dosa na di bahen hami,
asa unang tarhalang holongmu tu hami, tampak bahwa tuturan tersebut lebih santun dan halus dibandingkan tuturan (16) mangido ampun tu sude dosa nami Tuhan!, karena tuturan tersebut
disertai unsur-unsur lingual lain yaitu pertikal ma- dan penanda pangido yang berfungsi sebagai pemerhalus tuturan imperatif pragmatik yang bermakna permohonan, sehingga tuturan tersebut memiliki kadar kesantunan yang tinggi sedangkan tuturan (16) memiliki kadar kesantunan yang
lebih rendah.
Sebagaimana didapatkan pada bentuk-bentuk imperatif lainnya, dalam kegiatan bertutur
sesungguhnya, makna pragmatik imperatif permohonan tidak selalu diungkapkan dalam konstruksi imperatif melainkan dapat dilihat melalui konstruksi nonimperatif, seperti pada contoh berikut. Tuturan seseorang ibu kepada tetangganya, yang sedang membutuhkan uang
untuk SPP anaknya. Si tetangga datang ke rumah mitra tutur (eda) dengan tujuan memohon, supaya si mitra tutur terlebih dahulu memberikan upah si tetangga (penutur).
Contoh :
(18). tetangga : eda hami ma mangula hauma munai! eda kami T mencangkul sawah kalian itu!
Eda : olo eda, nungga denggani ale sadia ma lehononku hepengon tu eda!
yah eda, sudah bagus itu tetapi berapa T kuberikan uang ini kepada eda!
‘yah eda, sudah bagus itu tetapi berapalah kuberikan uang ini kepada eda!
Dari contoh tuturan di atas, dapat disimpulkan bahwa kalimat imperatif permohonan
dapat dibentuk dengan dua cara yaitu dengan konstruksi imperatif (ditandai dengan mangido ‘meminta’), dan tuturan berupa wujud konstruksi nonimperatif yang didalamnya tidak mengandung makna imperatif namun bagi mitra tutur, tuturan (19) termasuk perintah. Hal
tersebut dapat diketahui dengan melihat situasi konteks tutur yang melatar belakanginya, bahwa mitra tutur terlebih dahulu memberikan uang sebagai upah bagi penutur.
4.2.6 Tuturan Bermakna Pragmatik Imperatif Bujuk
Imperatif yang bermakna bujukan dalam BBT biasanya diungkapkan dengan penanda
kesantunan toe dan beta. Dapat dilihat pada contoh berikut ini, tuturan (19) diungkapkan seorang ibu kepada anaknya yang berumur satu tahun. Si ibu membujuk anaknya supaya minum susu
dengan alasan si anak ikut ke pajak. Tuturan (20) dituturkan seorang abang kepada adeknya yang main-main kerjaannya, ketika itu si abng membujuk adeknya supaya mau ikut kesawah menemaninya.
Contoh :
(19). pahabis jolo susu mi, toe! Asa dohot ho tu onan!.
habiskan dulu susu mu, yo! Biar ikut kau ke pajak!