• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESANTUNAN IMPERATIF DALAM TUTURAN BAHASA MELAYU LANGKAT: KAJIAN PRAGMATIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KESANTUNAN IMPERATIF DALAM TUTURAN BAHASA MELAYU LANGKAT: KAJIAN PRAGMATIK"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

1

KESANTUNAN IMPERATIF DALAM TUTURAN BAHASA MELAYU LANGKAT: KAJIAN PRAGMATIK

SKRIPSI

OLEH:

NUR MARINA 170702012

PROGRAM STUDI SASTRA MELAYU FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)

2

(3)

3

(4)

4

(5)

5 ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Kesantunan Imperatif dalam Tuturan Bahasa Melayu Langkat: Kajian Pragmatik”. Kesantunan merupakan sesuatu yang dapat diterima akal sehat berkenaan dengan prilaku yang benar yang dapat dilihat dari pristiwa bertutur antara penutur dan mitra tuturan dalam berkomunikasi, dengan kesantunan tersebut kita dapat menilai bagaimana prilaku seseorang terhadap lawan tuturnya.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan wujud kesantunan linguistik imperatif dan wujud kesantunan pragmatik imperatif. Metode pengumpulan data yang digunakan, yaitu metode observasi, metode wawancara (catat dan rekam), dan metode kepustakaan. Adapun metode analisi data yang digunakan adalah metode deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan, kesantunan linguistic tuturan imperatif terdiri atas (1) panjang pendek tuturan, (2) urutan tuturan, (3) intonasi dan syarat- syarat kinesik, dan (4) ungkapan-ungkapan penanda kesantunan. kesantunan pragmatik tuturan imperatif terdiri atas (kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan deklaratif dan (2) kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan interogatif.

Kata kunci: Kesantunan, Imperatif, Linguistik dan Pragmatik.

(6)

6 کرتسبا

لودىجرب هيا هيتيهىڤ

کيتامݢرڤ هيجاک :تکڠن ىيلام ساهب نرىتىت مناد فيتاريڤميا هوىتىسک

هکاڤورم هوىتىسک ۔

رىتىىڤ اراتوا رىتىترب اىيتسرڤ يرد تهيهيد تڤاد ڠي رىب ڠي ىكلايرڤ هڠد نءاىکرب تهس مقع اميرتد تڤاد ڠي ىتاىسس هوىتىسک هڠد ،يساکيوىمىکرب مناد نرىتىت ارتم ناد ڤداهرت ڠروأسس ىكلايرڤ نامياݢاب يلايىم تڤاد تيک تىبسرت

ناد فيتاريڤميا کيتسيءىݢڠين هوىتىسک دىجو هکيسڤيرکسيدىم قىتووا هنادا هيا هيتيهىڤ ناىجىت نىڤادا ۔ڽرىتىت نولا دىتيم ،ساۏرسبوا يدىتيم ىتيءاي ،هکاوىݢد ڠي اتاد هنىڤمىڠڤ يدىتيم ۔فيتاريڤميا کيتامݢرڤ هوىتىسک دىجو اراچوواو ي

ميصاح ۔فيتڤيرکسيد يدىتيم هنادا هکاوىݢد ڠي اتاد يسيناوا يدىتيم نىڤادا ۔نءاکاتسىڤک يدىتيم ناد ،)مكر ناد تتاچ(

( ستا يريدرت فيتاريڤميا نرىتىت کىتسيءىݢڠين هوىتىسک ،هکقىجوىىم هيا هيتيهىڤ ١

( ،نرىتىت قيدىڤ ڠجىڤ ) ٢

هتوروا )

( ،نرىتىت ٣

تراش ناد يساوىتىيا ) -

( ناد ،كسىيك تراش ٤

هڤاكڠوا ) -

کيتامݢرڤ هوىتىسک ۔هوىتىسک ادىىڤ هڤاكڠو

( ناد فتارلاكد نرىتىت مناد فيتاريڤميا کيتامݢرڤ هوىتىسک( ستا يريدرت فيتاريڤميا نرىتىت ٢

کيتامݢرڤ هوىتىسک )

۔فتاڬورتوا نرىتىت مناد فيتاريڤميا

ڤ ناد کيتسيءىݢڠين ،فيتاريڤميا ،هوىتىسک :يچوىک تاک

۔کيتامݢر

(7)

7

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang maha pengasih lagi maha penyayang atas berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kesantunan Imperatif dalam Tuturan Bahasa Melayu Langkat: Kajian Pragmatik”. Adapun tujuan skripsi adalah untuk mengetahui bagaimana wujud kesantuan linguistik dan kesantunan pragmatik pada tuturan imperatif bahasa Melayu masyarakat yang ada di Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.

Skripsi ini terdiri atas lima bab. Pada bab pertama yaitu pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Pada bab kedua landasan teori yang terdiri atas kajian yang relevan dan landasan teori. Pada bab ketiga yaitu metode penelitian yang terdiri atas metode dasar, lokasi penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data. Pada bab empat yaitu pembahasan terdiri atas wujud kesantunan linguistik dan wujud kesantunan pragmatik dalam tuturan imperatif bahasa Melayu Jaring Halus. Kemudian, pada bab terakhir terdiri atas kesimpulan dan saran.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat menyempurnakan kekurangan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan dalam bidang bahasa.

Medan, 01 Januari 2021 Penulis Nur Marina 170702012

(8)

8

UCAPAN TERIMAKASIH

Skripsi ini tersusun berkat adanya dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ucapkan terimakasih atas doa, perhatian, nasihat, saran, maupun bimbingan yang telah penulis terima dari pihak-pihak di bawah ini:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, selaku rektor Universitas Sumatera Utara 2. Dr. Budi Agustono, MS, sebagai Dekan Fakultas Ulmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Drs. Mauly Purba, M.A. Ph.D., sebagai Wakil Dekan I, Dra.

Heristina Dewi, M.Pd., sebagai Wakil Dekan II. dan Prof. Dr.

Ikhwanuddin Nasution, M.Si., sebagai Wakil Dekan III.

4. Dr. Rozanna Mulyani, M.A, selaku Ketua Program Studi Sastra Melayu, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Dan Dra. Mardiah Mawar Kembaren M.A, Ph.D, sebagai Sekretaris Program Studi Sastra Melayu, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

5. Rasa hormat dan terima kasih kepada Ibunda Dr. Rozanna Mulyani, M.A, selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, memotivasi, dan memberi saran demi kelancaran penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Drs. Baharuddin, M. Hum, selaku dosen penguji I, dan Abangda Dedy Rahmat Sitinjak, S.S, M.Si, selaku dosen penguji II, yang memberi saran dan arahan terhadap proposal dan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen dan Staf yang telah banyak memberikan ilmu serta bantuan yang bermanfaat selama menulis mengikuti kegiatan akademis di Program Studi Sastra Melayu, Fakultas Ilmu Budaya, USU.

8. Kepada Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan Warga Desa Jaring Halus yang memberi izin dan meberikan informasi, serta menerima penulis untuk melakukan penelitian.

9. Skripsi ini penulis hadiakan kepada Ayah handa dan Ibunda yang selalu sabar dan mendukung tanpa rasa lelah. Teruntuk ayahku tercinta penulis

(9)

9

mohon maaf hanya ini yang dapat penulis hadiakan, sebagai anakmu yang manja terimakasih untuk didikan kerasmu. Dan untuk Ibunda tersayang tetap jaga kesehatan dan terimakasih untuk kasih sayang, dorongan, semangat, dukungan yang tidak pernah bisa pemulis balas.

10. Kepada Abang dan Kakak penulis yang selalu menganggap adiknya sebagai anak kecil dan belum belum dewasa, terimakasih untuk uang jajannya.

11. Kepada sahabatku Leni Nurlela, Rani Wiranti, Erma Yanti dan yang tidak penulis sebutkan. Terimakasih selalu memberikan motivasi, semangat, dorongan, canda, tawa, dan bersedia mendengarkan kelu kesah dan menjadi tempat bertukar pikiran.

12. Kepada seluruh teman sarjana Muhammad Alfa Rizi, Syahrul Adzani, Yuly Citria Dewi, Angryanti, Aprilia Adhelina, Lisa Noviansyah, Tengku Muhammad Rasyid, Savira Basuki, Azlansyah, Muhammad Adilham Fikri, Chalif Al islami, Ariza Amelia, Dina Padila Tambunan, Dwi Miranda Pulungan, Entin Devina, Junaida Nasution, Maulina Sari, Miftahus, Mutia Hafifah, Putri Sion, Risa Novita Sari, Putri Wulan Dari, Hera Padila, Daniel De Hotman, Cut Salsabila, Citra Ayu Ditya Lubis, Sonya Marhama, Robiatul Adhawiyah, Raanesa Sukma, dan Almarhuma Ihda Adhila di program studi Sastra Melayu, Fakultas Ilmu Budaya, USU angkatan 2017 yang memberi warna pada hari-hari penulis selama perkuliahan. Terimakasih untuk masa-masa perjuangan bersama dan kenganan yang telah di lakukan.

13. Kepada kakanda, abangda, dan sahabat-sahabat penulis dari Teater O USU terimakasih untuk pengalaman dan indahnya kekeluargaan bersama kalian yang tidak akan pernah penulis lupakan.

(10)

10

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas perhatian dan bantuan yang diterima oleh penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Medan, 01 Januari 2021 Penulis

Nur Marina 170702012

(11)

11 DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.4.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan ... 7

2.2 Landasan Teori... 9

2.2.1 Pragmatik ... 9

2.2.2 Kesantunan Berbahasa ... 10

2.2.2.1 Kesantunan Linguistik ... 11

2.2.2.2 Kesantunan Pragmatik ... 14

2.2.3 Kalimat Imperatif ... 21

2.2.4 Tuturan ... 21

2.2.5 Konteks SItuasi ... 21

2.2.6 Bahasa Melayu Pada Masyarakat Desa Jaring Halus ... 24

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Dasar ... 26

3.2 Lokasi Penelitian ... 26

3.3 Sumber Data Penelitian ... 26

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 27

3.5 Teknik Analisis Data ... 28 BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Wujud Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif dalam Bahasa

(12)

12

Melayu Jaring Halus ... 30

4.1.1 Panjang Pendek Tuturan Sebagai Penanda Kesantunan Linguistik Tuturan ... 30

4.1.2 Urutan Tuturan Sebagai Penanda Kesantunan Linguistik Tuturan ... 32

4.1.3 Intonasi dan Syarat-Syarat Kinesik Sebagai Penanda Kesantunan Linguistik Tuturan ... 33

4.1.4 Ungkapan-Ungkapan Penanda Kesantunan Linguistik ... 36

4.2 Wujud Kesantunan Pragmatik Tuturan Imperatif dalam Bahasa Melayu Jaring Halus ... 45

4.2.1 Kesantunan Pragmatik Tuturan Imperatif dalam Tuturan Deklaratif Bahasa Melayu Jaring Halus ... 46

4.2.2 Kesantunan Pragmatik Tuturan Imperatif dalam Tuturan Interogatif Bahasa Melayu Jaring Halus ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 58

5.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

LAMPIRAN ... 63

(13)

13

DAFTAR GAMBAR

No Lampiran

Judul Halaman

1. Dokumentasi Peneliti dan Informan 66-69

2. Surat Balasan Permohonan Izin Penelitian di Desa Jaring Halus, Kabupaten Langkat, Kecamatan Secanggang.

-

(14)

14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bahasa adalah alat komunikasi. Hal ini sesuai dengan fungsi bahasa secara umum yaitu sebagai alat komunikasi sosial. Pada dasarnya manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi penting yang menjadi salah satu ciri pembeda utama umat manusia dengan makluk hidup lainnya. Berbicara tentang bahasa, secara khusus Hymes dalam Soeparno (2002:9-10) mengemukakan fungsi bahasa yaitu untuk mengatur prilaku atau prasaan orang lain, misalnya memerintah, melawak, mengancam, dan lain sebagainya. Sedangkan, Finocchiaro dalam Chaedar (1987:83) membedakan lima fungsi bahasa yakni fungsi personal, fungsi interpersonal, fungsi direktif, fungsi referentif, dan fungsi imajinatif. Fungsi direktif adalah adalah fungsi bahasa untuk meminta, memberi saran, membujuk, atau meyakinkan.

Pemakaian bahasa pada kegiatan sosial masyarakat sangat menarik untuk diperhatikan dan dipahami. Dalam kegiatan masyarakat terjadilah peristiwa komunikasi yang ditandai oleh percakapan antara penutur dan mitra tutur yang bersifat resiprokal bersemuka yang bentuknya ditentukan oleh tujuan sosial menurut Richard dalam Syahrul (2008:2).

Bahasa Melayu merupakan bahasa yang diangkat sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia karena bahasa Melayu merupakan bahasa pergaulan (Lingua

(15)

15

Franca) di Nusantara dan merupakan bahasa yang sederhana dan tidak memiliki tingkatan bahasa. Oleh karena itu bahasa Melayu dan bahasa Indonesia adalah dua bahasa yang sama. Namun pada kenyataannya bahasa Indonesia yang digunakan tidaklah sama sepenuhnya seperti bahasa Melayu. Dalam bahasa Melayu terdapat dialek atau logat, dialect atau dialoktos digunakan untuk merujuk pada keadaan bahasa di Yunani yang memperlihatkan perbedaan kecil dalam bahasa yang mereka gunakan. Akan tetapi, perbedaan itu tidak menyebabkan para penutur tersebut merasa memiliki bahasa yang berbeda menurut Meilet dalam Nadra dan Reniwati (2009:1).

Dapat disimpulkan bahwa dialek merupakan bagian dari suatu bahasa. Sebagai contoh dalam bahasa Melayu terdapat beberapa dialek, seperti bahasa Melayu dialek Langkat, bahasa Melayu dialek Batubara, dan lain sebagainya.

Bahasa Melayu merupakan tuturan yang dituturkan oleh suku Melayu. Suku Melayu adalah suku yang dikenal sopan, santun dan memegang teguh adat istiadat.

Berkaitan dengan hal ini peneliti tertarik untuk mengkaji tuturan bahasa Melayu pada masyarakat Melayu yang bertempat tinggal di desa Jaring Halus. Desa Jaring Halus terletak di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Penggunaan bahasa Melayu masih dipergunakan dengan baik. Namun seiring berjalannya waktu desa Jaring Halus tidak hanya ditinggali oleh masyarakat Melayu saja melainkan ada masyarakat pendatang selain dari suku Melayu. Hal ini memengaruhi bahasa dan budaya masyarakat setempat.

(16)

16

Menurut Lakoff dalam Syahrul (2008:15) kesantunan adalah sistem hubungan interpersonal yang dirancang untuk mempermudah interaksi dengan memperkecil potensi konflik dan konfrontasi yang selalu terjadi dalam pergaulan manusia. Posisi kesantunan yang penting tersebut sebagai penghubung antara bahasa dan realitas sosial di mana kesantunan sebagai bentuk pengunaan bahasa selalu dipasangkan dengan hubungan sosial dan peran sosial. Melalui sosial dan peran sosial tersebut, pada skala yang lebih besar, kesantunan dihubungkan dengan fenomena-fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan.

Dalam kondisi ini, fenomena kesantunan berbahasa dalam komunikasi sosial masyarakat di desa Jaring Halus masih tetap harus dipertahankan khususnya dalam menggunakan kalimat imperatif. Dalam menyampaikan kalimat imperatif, penutur bahasa Melayu sebaiknya menggunakan kata-kata yang lebih santun dan lembut agar mitra tutur tidak mengalami kesalapahaman. Masyarakat juga harus memahami konteks situasi agar percakapan berjalan dengan baik. Contohnya ketika seorang ibu berbicara kepada anaknya, kalimat dan cara yang disampaikan penutur kepada mitra tutur berbeda apabila penutur berbicara dengan orang lain (suami, teman, saudara, dan lain-lain).

Kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana yang diinginkan si penutur (Rahardi, 2005:79).

Di dalam bahasa Indonesia, Kalimat imperatif ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan yaitu: tolong, coba, silakan, biarlah, hendaklah, ayo (yo), harap, anda,

(17)

17

saudara, dan lain-lain. Ujaran Seperti “tolong tutup pintu itu” lebih santun dibandingkan dengan “tutup pintu itu”. Kata tolong mengandung skala keuntungan dan kerugian, di mana mitra tutur mendapat keuntungan dengan merendahkan penutur, dan penutur merugikan dirinya dengan meminta tolong kepada mitra tutur (Rahardi, 2005:71). Menurut Rahardi (2005:118) wujud-wujud kesantunan berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia terbagi menjadi dua, pertama menyangkut ciri linguistik yang selanjutnya mewujudkan kesantuan linguistik dan kedua menyangkut ciri nonlinguistik mewujudkan kesantunan pragmatik.

Menurut Levinson dalam Tarigan (1990:33) pragmatik adalah telaah mengenai reaksi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Adapun menurut Rahardi (2005:93) yang dimaksud dengan wujud pragmatik adalah realisasi maksud imperatif dalam bahasa Indonesia apabila dikaitkan dengan konteks situasi tuturan yang melatarbelakanginya. Makna pragmatik imperatif tuturan yang demikian itu sangat ditentukan oleh konteksnya.

Maka, pada penelitian ini peneliti akan mengkaji bagaimana wujud kesantunan berbahasa dalam tuturan imperatif bahasa Melayu khususnya bahasa Melayu di desa Jaring Halus, Kabupaten Langkat. Kesantunan imperatif merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji karena dalam pristiwa berbahasa akan terjadi

(18)

18

interaksi antara penurtur dan mitratutur untuk menyampaikan maksud tuturannya.

Kesantunan dalam tuturan imperatif ini dimaksudkan agar tidak terjadinya kesalapahaman antara penutur dan mitratutur dalam menyampaikan suatu tuturan yang umumnya berbentuk tuturan imperatif yang mengandung maksud memerintah atau meminta. Pristiwa berbahasa ini hendaknya berjalan baik dengan tetap memperhatinan kesantunan atau kesopanan berbahasa. Bahasa Melayu sendiri memiliki nilai-nilai kesantunan imperatif yang dapat dikaji dengan ilmu linguistik yaitu ilmu kesantunan imperatif dalam kajian pragmatik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah wujud kesantunan linguistik dalam tuturan imperatif bahasa Melayu di desa Jaring Halus, Kabupaten Langkat?

2. Bagaimanakah wujud kesantunan pragmatik dalam tuturan imperatif bahasa Melayu di desa Jaring Halus, Kabupaten Langkat?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui kesantuan berbahasa Melayu dalam interaksi sosial masyarakat Melayu di desa Jaring Halus, Kabupaten Langkat. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini secara rinci adalah:

(19)

19

1. Mendeskripsikan wujud kesantunan linguistik dalam tuturan imperatif bahasa Melayu di desa Jaring Halus, Kabupaten Langkat.

2. Mendeskripsikan wujud kesantunan pragmatik dalam tuturan imperatif bahasa Melayu di desa Jaring Halus di Kebupaten Langkat.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, Penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti- peneliti selanjutnya yang mengambil kajian kesantuan berbahasa dalam tuturan imperatif bahasa Melayu.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini secara praktis dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam bidang linguistik, yaitu pada pristiwa kesantunan berbahasa dalam kajian pragmatik khususnya dalam kesantunan imperatif.

(20)

20

(21)

21 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relavan

Munfarida (2014) dengan skripsi yang berjudul Kesantunan Imperatif dalam Interaksi Jual Beli di Pasar Tradisional Desa Kecik Kecamatan Kencong Kabupaten Jember. Pada penelitian ini peneliti membahas tentang wujud kesntunan imperatif dan strategi kesantunan imperatif dalam interaksi jual beli di pasar tradisional Desa Kecik Kecamatan Kencong.

Fahmi, dkk (2016) dengan jurnal yang berjudul Kesantunan Linguistik dan Kesantunan Pragmatik pada Tuturan Imperatif dalam Ranah Keluarga Penutur Bahasa Melayu Loloan. Penelitian ini membahas tentang kesantunan linguistik dan kesantunan pragmatik pada keluarga penutur bahasa melayu Loloan di lingkungan Kelurahan Loloan Timur, Jembrana. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) kesantunan linguistik pada tuturan imperatif bahasa melayu Loloan dimarkai oleh beberapa unsur, seperti panjang pendek tuturan, urutan tuturan (terdapat informasi nonimperatif), intonasi tuturan, syarat-syarat kinesik, penanda kesantunan, dan pilihan kata yang tidak kasar. (2) Kesantunan pragmatik pada tuturan imperatif bahasa Melayu Loloan berdasarkan prinsip-prinsip kesantunan telah menggunakan enam maksim kesantunan, yaitu maksim kearifan/ jalan (pepatah bijaksana), maksim

(22)

22

kedermawanan (maksim kemurahan hati), maksim penghargaan/pujian (pepatah persetujuan), maksim kerendahan hati (maksim kesederhanaan), maksim kesimpatisan (maksim simpati) maksim kemufakatan (maksim kesepakatan).

Kesantunan pragmatik berdasarkan kontruksi tuturannya ditemukan tuturan imperatif dalam kontruksi deklaratif yang terkait dengan makna pragmatik suruan, ajakan, permohonan, dan larangan. Kemudian tuturan imperatif yang berkontruksi interogatif yang disebut makna perintah, ajakan, permohonan, dan larangan.

Nasution (2017), dengan skripsi yang berjudul Kesantunan Imperatif dalam Bahasa Mandailing di Kabupaten Padang Lawas: Kajian Pragmatik. Pada penelitian ini peneliti membahas tentang wujud formal kesantunan imperatif dalam bahasa Mandailing dan wujud pragmatik kesantunan imperatif dalam bahasa Mandailing.

Wujud formal kesantunan kesantunan imperatif dalam bahasa Mandailing meliputi dua macam, yaitu imperatif aktif dan imperatif pasif. Wujud pragmatik kesantunan bahasa Mandailing terdiri dari tujuh belas macam berupa tuturan imperatif maupun berupa tuturan non-imperatif. Di dalam bahasa Mandailing, kalimat imperatif ditandai dengan pemakaian kesantunan yaitu; cok, suru, tolong, mohon, moh, lekas, harap, harap, sini, silakan, ayo, bisa, marek, jangan semoga, dan celaka.

Lumbantoruan (2020), dengan skripsi yang berjudul Kesantunan Imperatif dalam Tuturan Bahasa Batak Toba di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara: kajian Pragmatik yang membahas tentang Wujud kesantunan linguistik imperatif dan wujud kesantunan pragmatik dalam tuturan bahasa Batak

(23)

23

Toba. Dalam bahasa Batak Toba sebagai pemarkah kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif, yakni (1) tolong “Urupi”, (2) mohon “elek”, (3) mari “beta”, (4) penanda kesantunan silakan pada bahasa bahasa Batak Roba biasanya digunakan dengan penanda kesantunan dengan kata disertai partikel “-ma” atau kata lainnya, (5) biar “sombu, pasombu”, (6) coba “suba”, (7) ayo “toe, eta” dan harap “sinta, arop”.

Wujud Kesantunan imperatif dalam bahasa Batak Toba dapat diungkapkan dalam tuturan deklaratif dan tuturan interogatif.

Berdasarkan empat penelitian di atas, walaupun terdapat perbedaan kajian maupun objek kajian. Penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai sumber yang relevan untuk menyempurnakan data penelitian yang sedang dikaji oleh peneliti, yaitu tentang “Kesantunan Imperatif dalam Tuturan Bahasa Melayu Langkat: Kajian Pragmatik”.

2.2 Landasan Teori

Teori merupakan unsur terpenting dalam sebuah penelitian, yaitu untuk meneliti suatu objek yang bersifat ilmiah dan hasilnya dapat dipertangungjawabkan.

Teori yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah teori kesantunan berbahasa menurut Rahardi (2005:118), yaitu tentang wujud kesantunan linguistik dan wujud kesantunan pragmatik.

2.2.1 Pragmatik

(24)

24

Menurut Levinson dalam Rahardi (2005:48) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Selain itu, (Levinson dalam Tarigan, 1990:33) juga mengemukakan bahwa pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Maka dapat disimpulkan, pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan penggunaan bahasa dengan konteksnya.

2.2.2 Kesantunan Berbahasa

Menurut Ealen dalam Syahrul (2008:14) kesantunan didefinisikan sebagai suatu yang dapat diterima akal sehat berkenaan dengan „Perilaku yang benar‟

menunjukkan bahwa kesantunan tidak terbatas pada bahasa, tetapi juga mencangkup perilaku nonverbal dan nonlinguistik. Salah satu aspek kesantunan yang menarik diperhatikan adalah kenyataan bahwa kesantunan terletak pada persimpangan antara bahasa dan realitas sosial. Pengertian umum tentang kesantunan menghubungkan bahasa dengan aspek-aspek kehidupan struktur sosial sekaligus kode-kode prilaku dan etika. Dengan demikian, kajian kesantunan memiliki nilai-nilai yang sangat penting untuk memahami bagaimana masyarakat etika berkaitan dengan bahasa dan

(25)

25

prilaku secara umum dan memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana masyarakat terbentuk dan dipertahankan melalui interaksi.

Menurut Lakoff dalam Syahrul (2008:15) kesantunan adalah sistem hubungan interpersonal yang dirancang untuk mempermudah interaksi dengan memperkecil potensi konflik dan konfrontasi yang menjadi memperkecil potensi konflik dan konfrontasi yang terjadi dalam pergaulan manusia. Kesantunan berbahasa sebagai strategi bertutur yang bertujuan untuk meningkatkan harkat penutur di depan mitra tutur. Kesantunan berbahasa sebagai bentuk komunikatif yang dipengaruhi oleh faktor sosiokultural pada masyarakat tertentu. Kesantunan bahasa bagi penutur memberikan kebaikan pada penutur, mitra tutur dan pendengar. Kesantunan berbahasa bertujuan menghindari perselisian pada pristiwa komunikasi. Kesantunan berbahasa menciptakan harmonisasi dalam komunikasi karena setiap orang sebaiknya memperlihatkan kesantunannya dalam bahasa, Dengan demikian, kesantunan berbahasa secara harmonis bagi penutur dalam komunikasi dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan pertimbangan harmonisasi dalam berkomunikasi.

Rahardi (2005:118) membicarakan dua hal pokok mencangkup wujud-wujud kesantunan berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia.

Wujud kesantunan pertama menyangkut ciri linguistik yang selanjutnya mewujudkan kesantunan linguistik, sedangkan wujud kesantunan kedua menyangkut ciri nonlinguistik tuturan imperatif yang selanjutnya mewujudkan kesantunan pragmatik.

(26)

26

Pada bagian-bagian berikut, masing-masing wujud kesantunan tersebut adalah sebagai berikut.

2.2.2.1 Kesantunan Linguistik

Kesantunan linguistik tuturan imperatif bahasa Indonesia mencakup hal-hal berikut ini: (1) panjang-pendek tuturan, (2) urutan tuturan, (3) intonasi tuturan dan syarat-syarat kinesik, dan (4) pemakaian unkapan padanan kesantunan. Keempat hal tersebut dipandang sebagai faktor penentu kesantunan linguistik tututran imperatif dalam bahasa Indonesia (Rahardi, 2005:118).

1. Panjang-pendek tuturan sebagai penentu kesantunan linguistik

Masyarakat bahasa dan kebudayaan Indonesia, panjang-pendeknya tuturan yang dilakukan dalam menyampaikan maksud kesantunan penutur itu dapat diidentifikasi dengan sangat jelas. Terdapat semacam ketentuan tidak tertulis bahwa pada saat menyampaikan maksud tertentu dalam kegiatan bertutur, orang tidak diperbolehkan langsung menyampaikan maksud tuturannya.

2. Urutan tuturan sebagai penentu kesantunan linguistik

Pada kegiatan bertutur yang sesungguhnya, orang selalu mempertimbangkan apakah tuturan yang digunakan itu tergolong sebagai tuturan santun ataukah tturan tidak santun. Dapat terjadi bahwa tuturan yang digunakan itu kurang santun dan dapat menjadi jauh lebih santun santun ketika ditata kembali urutannya.

3. Intonasi dan syarat-syarat kinesik sebagai kesantunan linguistik

(27)

27

Apabila dicermati dengan seksama, tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur itu terdengar seperti bergelombang. Panjang atau pendeknya sebuah tuturan itu memang mempengaruhi kesantunan dalam berbahasa. Artinya, pada tuturan yang kaidah kebahasaannya lebih panjang dapat dinilai santun begitu pula sebaliknya. Hanya saja dalam kaidah ini jika intonasi tuturan dipanjangkan akan membuat tuturan tidak tidak santun. Intonasi memiliki peranan dalam menentukan tinggi atau rendah peringkat kesantunan.

Tinggi atau rendahnya bunyi dikaji dalam nada sebagai bagian dari unsur suprasegmental. Nada yang tinggi akan berkaitan dengan frekuensi getaran yang tinggi, sedangkan nada yang rendah berkaitan dengan frekuensi getaran yang rendah. Variasi nada disebut intonasi. Kita dapat menggolongkan intonasi menjadi empat jenis, yaitu:

a. Nada rendah yang ditandai dengan angka 1;

b. Nada sedang yang ditandai dengan angka 2;

c. Nada tinggi yang ditandai dengan nada 3; serta d. Nada sangat tinggi yang ditandai dengan angka 4.

Berbeda dengan Chaer, Kridalaksana dkk., (1985: 168) menamakan variasi nada sebagai titinada yang tergolong ke dalam tiga jenis, yakni titinada rendah dengan simbol angka 1, titinada sedang dengan simbol angka 2, dan titinada tinggi dengan simbol angka 3.

(28)

28

Sering kali, intonasi atau titinada ini digunakan untuk menganalisis bentuk deklaratif, interogatif, atau imperatif. Perhatikan tiga contoh di bawah ini yang saya kutip dari Halim dalam Chaer (2007).

a. Rumah sekarang mahal.

2 33n 2 33n 2 31t b. Apa rumah sekarang mahal?

2 – 33n 2 – 33n 2 31t c. Bacalah buku itu!

2 – 32t 2 11t

Pada tiga contoh di atas, huruf t berarti „turun‟ dan huruf n berarti „naik‟.

Kemudian tanda setrip (-) berarti nada datar.

Selain nada terdapat juga jeda. Jeda disamakan dengan persendian. Di sini, hentian bunyi dalam suatu arus ujaran menjadi titik berat. Sendi yang bersifat dalam (internal juncture) membatasi silabel dalam sebuah kata. Kata mobil, misalnya, jedanya dapat digambarkan menjadi [mo+bil]. Sementara itu, sendi yang bersifat luar (open juncture) dapat memberikan batasan berupa

a. Antarkata dalam frasa, dilambangkan dengan garis miring tunggal (/);

b. Antarfrasa dalam klausa, dilambangkan dengan garis miring ganda (//);

c. Antarkalimat dalam wacana atau paragraf, dilambangkan dengan tanda pagar (#).

(29)

29

4. Ungkapan-ungkapan penanda kesantunan sebagai penentu kesantunan linguistik Secara linguistik, kesantunan dalam pemakaian tuturan dalam bahasa Indonesia sengat ditentukan oleh muncul atau tidaknya ungkapan-ungkapan penanda kesantunan. Beberapa penanda kesantunan tersebut seperti kata tolong, mohon, silakan, mari, ayo, hendaklah, dan sudi kiranya.

2.2.2.2 Kesantunan Pragmatik

Makna Pragmatik dalam bahasa Indonesia dapat diwujudkan dengan tuturan yang bermacam-macam. makna pragmatik imperatif, itu kebanyakan tidak berwujud dengan tuturan imperatif melainkan dengan tuturan non-imperatif. Makna pragmatik dapat juga ditemukan dalam tuturan deklaratif dan introgatif. penggunaan tuturan untuk menyatakan makna pragmatik biasanya mengandung unsur ketidaklangsungan.

Dengan demikian dalam sebuah tuturan-tuturan deklaratif, interogatif, dan imperatif mengandung makna pragmatik (Rahardi, 2005:134).

a. Kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan deklaratif

Kesantunan pragmatik imperatif pada tuturan deklaratif dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang satu per satu diuraikan sebagai berikut.

1. Tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif suruhan Makna imperatif suruhan diungkapkan dengan tuturan imperatif yang menyatakan makna suruhan, dapat dilihat pada tuturan berikut ini.

(1) Buka kamus anda masing-masing!

Infomasi indeksal:

(30)

30

Dituturkan oleh seorang dosen kepada mahasiswa di dalam kelas dalam pelajaran tertentu yang memerlukan bantuan kamus untuk mengerjakan tugas-tugasnya.

2. Tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif ajakan Makna imperatif ajakan sering dituturkan dengan mengunakan tuturan imperatif dengan penanda kesantunan mari dan ayo. dapat dilihat pada contoh berikut.

(2) Mari, kita buka pertemuan ini dengan doa pembuka terlebih dahulu.

Informasi indeksal:

Tuturan ini disampaikan oleh direktur pada saat ia akan mengadakan rapat kerja dengan para bawahannya.

(3) Ayo kita selesaikan saja pekerjaan ini sampai tuntas dulu.

Informasi indeksal:

Tuturan ini disampaikan oleh seorang supervisor kepada para pekerja yang menjadi tanggung jawabnya.

3. Tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif permohonan

Tuturan deklaratif banyak digunakan untuk menyatakan makna pragmatik imperatif permohonan. Maksud imperatif memohon menjadi tidak ketara dan dapat dipandang lebih santun.

(31)

31

(4) Seorang guru: Bapak kepala, nanti siang banyak Bapak dan Ibu guru yang akan pergi melayat ke Solo.

Informasi indeksal:

Tuturan sisampsaiksan di ruang guru pada sebuah sekolah oleh salah seorang guru kepada kepala sekolah. saat itu, ada salah seorang famili dari guru sekolah tersebutnyang meningal dunia.

4. Tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif persilaan

Tuturan imperatif yang menyatakan maksud persilakan, biasanya ditandai oleh penanda kesantunan Silakan.

(5) Ibu : Silakan masuk dik, silakan duduk dulu.

Sebentar saya carikan. Atik baru main dibelangkang dengan adik-adiknya.

(6) Seorang tamu : Tidak usah Bu, kami disini saja. Tadi kehujanan di tengah sawah.

Informasi indeksal:

Tuturan ini merupakan cuplikan percakapan antara seorang ibu dengan tamu yang merupakan teman Atik, putrinya. Pada waktu anak tersebut berangkat, kebetulan kehujanan di tengah pematang sawah.

5. Tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif larangan

(32)

32

Secara prangmatik, makna imperatif tidak mengunakan tuturan deklaratif secara langsung. Berikut adalah contoh tuturannya.

(7) Dosen : Yang meletakkan buku catatan di atas meja dianggap pencontek.

Informasi indeksal:

Tuturan ini disampaikan oleh pengawas ujian pada saatf ujjian akhir semester berlangsung.

b. Kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan interogatif

1. Tuturan interogatif yang menyatakan makna pragmatik imperatif perintah

Lazimnya, tuturan interogatif digunakan untuk menyatakan sesuatu kepada si mitra tutur. Makna pragmatik imperatif perintah dapat diungkapkan dengan tuturan introgatif. Berikut contoh tuturannya.

(8) Komandan : Amankan lokasi sekarang juga.

Jangan beri kesempatan pesuruh semakin bertindak berutal.

Seorang angota prajurit : siap, Komandan.

Informasi indesksal:

Tuturan ini merupakan cuplikan sebuah instruksi militer seorang pemimpin kepada anak buahnya pada saat diadakal apel siaga.

2. Tuturan interogatif yang menyatakan makna pragmatik imperatif ajakan

(33)

33

Imperatif ajakan yang diungkapkan dengan tuturan interogatif akan lebihsantun daripada diungkapkan dengan tuturan imperatif. Berikut contoh tuturannya.

(9) Anak kecil : Ayo, Bapak jadi ke apotik sekarang, beli ponstan.

Gigiku sakit sekali.

Bapak : Sebentar dulu, ya. Bapak selesaikan dulu mengetiknya.

Informasi indeksal:

Tuturan ini merupakan cuplikan percakapan antara seorang bapak dengan anaknya pada saat anak tersebut sakit dan meminta bapaknya membelikan obat ke sebuah apotak.

3. Tuturan interogatif yang menyatakan makna pragmatik imperatif permohonan

Makna tuturan imperatif permohonan yang sama akan dapat diungkapkan dengan lebih santun apabila menggunakan tuturan interogatif. Berikut contoh tuturannya.

(10) Dokter apakah saya akan diberikan obat antibiotik lagi?

Tahun lalu saya alergi obat karena obat itu, lho, Dok.

(11) Bapak saya sakit keras dan masuk rumah sakit sejak satu bulan yang lalu. Ibu saya juga sudah jompo dan tidak bisa mencarikan saya uang kuliah lagi. Saya belum dapat menyelesaikan keuangan Pak, saat ini.

(34)

34 Informasi indeksal:

Latar belakang situasi pada tuturan (!) dan tuturan (!!) sama-sama tuturan permohonan. biarpun tidak menggunakan penanda kesantunan mohon, namun tuturan di atas terdengar lebih sopan.

4. Tuturan interogatif yang menyatakan makna pragmatik imperatif persilaan

Bentuk persilaan dengan tuturan nonimperatif lazimnya dugunakan dalam situasi formal yang penuh dengan muatan dan pemakaian unsur basa-basi, seperti dapat dilihat pada tuturan berikut.

(12) Seorang panitia pelaksana seminar : Sudah ditunggu bapak- bapak penceramah yang lain.

Apakah bapak sudah siap menjadi penceramah pertama?

Seorang Penceramah : O…..ya. Baik. Saya jadi yang pertama kali maju?

Informasi indeksal:

Tuturan ini merupakan cuplikan percakapan antara seorang anggota panitia pelaksana seminar dengan salah satu penceramah yang datang agak terlambat dalam acara tersebut.

5. Tuturan interogatif yang menyatakan makna pragmatik imperatif larangan

(35)

35

Tuturan-tuturan yang bermakna imperatif larangan sangat jarang ditemukan dengan bentuk nonimperatif. Berikut salah satu contoh tuturan yang menyatakan maksud imperatif larangan.

(13) Apakah Anda tidak membawa binatang?

Informasi indeksal:

Bunyi sebuah tuturan peringatan di dalam bis umum antar kota antar provinsi. Tuturan tersebut ditempelkan pada setiap dinding dalam bus angkutan tersebut.

2.2.3 Kalimat Imperatif

Menurut Rahardi (2005:79) kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan suatu sebagaimana diinginkan si penutur.

Kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia dapat berkisar antara suruhan yang sangat kasar atau kasar sampai dengan permohonan yang sangat halus atau santun. Kalimat imperatif dapat pula berkisar antara suruhan untuk melakukan sesuatu sampai dengan larangan untuk melakukan sesuatu.

2.2.3 Tuturan

Dalam KBBI (Depdiknas, 2005:1231) tuturan berasal dari kata tutur yang berarti sesuatu yang ditutukan, yaitu ucapan atau ujaran (cerita) dan sebagainya.

Pristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan

(36)

36

situasi tertentu (Chaer dan Agustina dalam Widodo, 2016:2). Menurut Widodo (2016:3) tujuan dari tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dalam melakukan tindakan bertutur. Tujuan tuturan ini menjadi prioritas bagi penutur ketika setiap tuturan yang terucap merupakan sebuah niat yang muncul untuk menghendaki suatu hal.

2.2.4 Konteks Situasi

Schiffrin dalam Widodo (2016:37) menyatakan bahwa Konteks adalah sebuah dunia yang diisi orang-orang yang memproduksi tuturan-tuturan. orang-orang yang memiliki komunitas sosial, kebudayaan, identitas pribadi, pengetahuan, kepercayaan, tujuan, keinginan, dan yang berinteraksi satu dengan yang lain dalam berbagai macam situasi yang baik yang bersifat sosial maupun budaya. Dengan demikian, konteks tidak saja berkenaan dengan pengetahuan, tetapi merupakan suatu rangkaian lingkungan di mana tuturan dimunculkan dan diinterpretasikan sebagai realisasi yang didasarkan pada aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat pemakai bahasa.

Hymes dalam Widodo (2016:37) menyatakan bahwa unsur-unsur konteks komponen yang bila disingkat menjadi akronim SPEAKING.

3. S (setting dan scene), setting berkenaan dengan tempat dan waktu tuturan berlangsung, scene adalah situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepakbola

(37)

37

pada waktu pertandingan sepakbola dalam situasi ramai anda bisa berbicara keras-keras, berbeda dengan pembicaraan di ruangan perpustakaan pada waktu banyak orang membaca, anda harus berbicara seperlahan mungkin.

4. P (participants), pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dengan penerima pesan.

Dua orang yang bercakap dapat berganti peran sebagai pendengar dan pembicara, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicaradan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orangtuanya atau gurunya, bila dibandingkan berbicara terhadap teman-temannya.

5. E (ends), merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruangan pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara. Namun, para partisipan dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.

6. A (act sequences), mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.

(38)

38

7. K (keys), mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, serius, singkat, sombong, mengejek, dan bergurau. Hal ini juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

8. I (instrumentalies), mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Bentuk ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek, atau register.

9. N (norm of interaction an interpretation), mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

10. G (genres), mengacu pada jenis bentuk penyampaian seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

2.2.5 Bahasa Melayu pada Masyarakat Desa Jaring Halus

Jika dilihat dari judul penelitian, yaitu “Kesantunan imperatif dalam tuturan Bahasa Melayu Langkat: Kajian Pragmatik”. Penelitian ini yaitu tentang bahasa Melayu Langkat, bahasa Melayu langkat yang di maksud oleh peneliti merujuk pada lokasi penelitian yang berada di Kabupaten langkat. Desa Jaring Halus sendiri merupakan salah satu desa dari delapan desa yang berada di kabupaten Langkat.

Desa Jaring Halus merupakan desa pesisir yang berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah Utara, sebelah Selatan dengan Selotong, sebelah Barat dengan Tapal Kuda. Desa ini memiliki luas 1.069 Ha. Penduduk desa memiliki bentuk rumah

(39)

39

panggung, sarana yang menghubungkan antara rumah yang satu dengan rumah yang lain yaitu titi-titi yang terbuat dari kayu yang kuat, walaupun ada jalanan tanah tapi hanya sedikit. Sebagai wilayah perairan, penduduk desa Jaring Halus pada umumnya bermata pencarian sebagai nelayan dan masih menggunakan alat tangkap tradisional seperti jaring selapis, ambai, cincang rebung, dan lain-lain.

Masyarakat Melayu di desa Jaring Halus menyebut bahasa yang mereka gunakan merupakan bahasa Melayu Malaysia atau bahasa Melayu Kedah. Bagi masyarakat Jaring Halus selain berfungsi sebagai alat komunikasi vokal, juga berfungsi sebagai identitas masyarakat Melayu Malaysia yang berada di Desa Jaring Halus. Penuturan bahasa Melayu Malaysia desa Jaring Halus umumnya tidak hanya digunakan ditengah-tengah lingkungan keluarga masyarakat Melayu saja tetapi juga digunakan untuk berkomunikasi dengan pendatang dari suku lain. Orang-orang dari suku lain yang sudah menetap di Jaring Halus juga bisa dan ikut menggunakan bahasa Melayu ini dalam berkomunikasi sehari-hari di Jaring Halus.

(40)

40 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Dasar

Metode penelitian adalah cara yang harus dilakukan dalam melakukan sebuah penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka metode yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu pengamatan, wawancara, atau penelaahan dokumen. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2006:4) metodologi kuatitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata- kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati. Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.

(41)

41 3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.

3.3 Sumber Data Penelitian

Menurut Lofland dalam Meleong (2006:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data yang berbentuk kata-kata atau lisan dan tindakan, yaitu tuturan dan tindakan masayarakat Melayu pengguna bahasa Melayu yang mengandung makna imperatif, sedangkan sumber data yang berbentuk dokumen adalah buku, jurnal, dan skripsi. Sumber data kata-kata atau lisan dapat diperoleh dari informan yang telah memenuhi kreteria. Berikut ini adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai informan menurut Mahsun (2007:142-143).

a. Berjenis kelamin pria atau wanita b. Berusia 25-65 tahun (tidak pikun)

c. Orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa itu serta jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya.

d. Berpendidikan maksimal tamat pendidikan dasar (SD-SLTP/SMP)

e. Berstatus sosial menengah (tidak rendah atau tinggi) dengan harapan tidak terlalu tinggi mobilitasnya

f. Pekerjaannya bertani atau buruh (dalam hal ini mayoritas nelayan)

(42)

42

g. Memiliki kebanggaan terhadap isoleknya h. Dapat berbahasa Melayu

i. Sehat jasmani dan rohani.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode dan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

2). Metode Observasi, Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui suatu pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau perilaku objek sasaran (Fathoni, 2006:104). Penulis melakukan pengamatan langsung ke lokasi penelitian yang digunakan sebagai informasi tambahan.

3). Metode Wawancara (Interview), Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu (Moleong, 2006:186). Peneliti melakukan dialog dengan informan berupa pernyataan yang telah disiapkan peneliti. Dengan menggunakan teknik:

a. Teknik catat, yaitu peneliti mencatat informasi atau data data yang di sampaikan informan dengan menggunakan alat tulis.

b. Teknik rekam, yaitu peneliti merekam segala informasi atau data yang diperoleh dari informan dengan menggunakan alat perekam.

(43)

43

4). Metode Kepustakaan, yaitu peneliti mencari bahan referensi yang berhubungan dengan pokok penelitian untuk melengkapi data yang diperoleh dari lapangan.

3.5 Teknik Analisis Data

Metode analisis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah pendekatan linguistik yang mengunakan teknik penelitian lapangan dan tata istilah yang sesuai dengan bahasa yang diselidiki.

Metode deskriftif peneliti gunakan untuk menjabarkan kesantunan dalam setiap tuturan yang mengandung makna imperatif untuk menemukan wujud kesantuanan baik itu kesantunan linguistik maupun kesantuan pragmatik dalam tuturan imperatif bahasa Melayu pada masyarakat Melayu di desa Jaring Halus.

Adapun tahap analisis data yang akan dilakukan pada penelitian ini, yaitu:

1. Peneliti mengumpulkan data penelitian dengan mendengarkan kembali rekaman wawancara untuk menghasilkan traskrip hasil wawancara.

2. Peneliti kemudian memperbaiki susunan bahasa hasil wawancara sebelum di masukkan ke dalam catatan.

3. Setelah data sudah di masukkan ke dalam catatan penelitian, maka tahap selanjutnya yaitu peneliti hanya mengambil data yang sesuai konteks penelitian.

(44)

44

4. Data yang sudah dipilih dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri tuturan bahasa Melayu Jaring Halus yang mengandung kesantunan imperatif yang berbentuk kesantunan linguistik atau kesantunan pragmatik.

5. Setelah dikelompokkan berdasarkan ciri-cirinya, data di analisis berdasarkan konteks situasi dalam tuturan tersebut.

6. Setelah semua data tersaji, rumusan permasalah dalam penelitian ini dapat di pahami. Maka, ditarik kesimpulan yang menunjukkan hasil dari penelitian ini.

BAB IV PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan dua hal pokok yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu tentang (1) wujud kesantunan linguistik tuturan imperatif dalam bahasa Melayu Jaring Halus dan (2) wujud kesantunan pragmatik tuturan imperatif dalam bahasa Melayu Jaring Halus. Berikut ini penjelasan dari masing-masing wujud kesantunan tersebut.

4.1 Wujud Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif dalam Bahasa Melayu Jaring Halus

Wujud kesantunan linguistik dalam tuturan bahasa Melayu Jaring Halus memiliki empat faktor penentu kesantuan tuturan imperatif, yaitu (1) panjang pendek

(45)

45

tuturan, (2) urutan tuturan, (3) intonasi tuturan dan isyarat-isyarat kinesik dan (4) pemakaian ungkapan kesantunan.

4.1.1 Panjang Pendek Tuturan Sebagai Penanda Kesantunan Linguistik Tuturan

Secara umum, dapat dikatakan bahwa semakin panjang sebuah tuturan yang digunakan, akan semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek suatu tuturan, akan cenderung menjadi semakin tidak santunlah tuturan itu. Dikatakan demikian, karena panjang-pendeknya tuturan berhubungan sangat erat dengan masalah kelangsungan dan ketidaklangsungan dalam bertutur. Selanjutnya, seperti yang disampaikan, kelangsungan dan ketidaklangsungan berkaitan dengan masalah kesantunan. Semakin langsung sebuah tuturan, lazimnya unsur basa-basi yang digunakan di dalam bertutur menjadi semakin tidak jelas. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, berikut contoh tuturan yang dapat menjadi pertimbangan.

(1) Ambek tu sat!

„Ambil itu!‟

(2) Ambekke sapu tu sat!

„Ambilkan sapu itu!‟

(3) Tulong ambekke sapu tu sat!

„Tolong ambilkan sapu itu!‟

(46)

46 Informasi indeksal:

Tuturan itu terjadi ketika orang yang lebih tua menyuruh seseorang yang lebih muda untuk mengambilkan sapu.

Konteks tuturan:

Tuturan-tuturan di atas memiliki jumlah kata dan ukuran panjang-pendek yang tidak sama, yakni secara berurutan, semakin memanjang tuturannya. Tuturan (1) terdiri dari tiga kata, tuturan (2) terdiri dari empat kata, tuturan (3) terdiri dari lima kata, namun kata ambek pada tuturan (1) berubah menjadi ambekke yang lebih panjang wujudnya daripada bentuk ambek. Tuturan (3) terdiri dari lima kata yang merupakan tuturan terpanjang dari tuturan-tuturan itu, Tuturan (3) menambahkan kata tulong yang membuatnya menjadi lebih santun dari pada tuturan (2). Dapat dikatakan bahwa dari ketiga tuturan di atas, tuturan (1) memiliki kadar kesantunan paling rendah, sedangkan tuturan (3) berkadar kesantunan paling tinggi. Maka dengan demikian, semakin panjang sebuah tuturan yang digunakan, akan semakin santunlah tuturan itu. Namun, jika semakin pendek sebuah tuturan, akan semakin tidak santunlah tuturan itu.

4.1.2 Urutan Tutur Sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan

Pada kegiatan bertutur yang sesungguhnya, orang selalu mempertimbangkan apakah tuturan yang digunakan itu tergolong sebagai tuturan santun ataukah tuturan tidak santun. Dapat terjadi bahwa tuturan yang digunakan itu kurang santun dan dapat

(47)

47

menjadi jauh lebih santun santun ketika ditata kembali urutannya. Untuk mengutarakan maksud-maksud tertentu, orang biasanya mengubah urutan tuturnya agar menjadi semakin tegas, keras, dan suatu ketika bahkan menjadi kasar. Dengan kata lain, urutan tutur sebuah tuturan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya peringkat kesantunan tuturan yang digunakan pada saat bertutur.

(4) Jangan ngerokok dekat sini, ade orang saket!

„Jangan merokok di sini, ada orang sakit!‟

(5) Ade orang saket, jangan ngerokok dekat sini!

„Ada orang sakit, jangan merokok di sini!‟

Informasi indeksal:

Bunyi tuturan disampaikan oleh seseorang yang berkunjung ke rumah orang yang sedang sakit kepada pengujung lain yang merokok di dalam ruangan yang sama.

Konteks tuturan:

Tuturan (4) dan tuturan (5) memiliki maksud yang sama. Namun, dalam hal tingkat kesantunan keduanya berbeda. Tuturan (5) lebih santun dibandingkan dengan tuturan (4), karena untuk menyampaikan maksud imperatifnya, tuturan itu di awali dengan informasi lain yang melatar-belakangi kalimat imperatif yang din yatakan setelahnya. Kemunculan tuturan “ade orang saket” mendahului tuturan imperatif yang berbunyi “Jangan ngerokok dekat sini!” dapat merendahkan kadar imperative

(48)

48

tuturan itu secara keseluruhan. Urutan tutur yang demikian berkaitan dengan kelangsungan dan ketidaklangsungan tuturan. Tuturan langsung berkadar kesantunan rendah, sedangkan tuturan yang tidak langsung berkadar kesantunan tinggi. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa tuturan imperatif yang diawali dengan informasi non-imperatif di depanya memiliki kadar kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan tuturan imperatif yang tanpa diawali informasi non-imperatif di depannya.

4.1.3 Intonasi dan Syarat-Syarat Kinesik Sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan

Intonasi adalah tinggi-rendah suara, panjang-pendek suara, keras-lembut suara, jeda, irama, dan timbre yang menyertai tuturan. Intonasi dapat dibagi menjadi dua, yakni intonasi yang menandai berakhirnya suatu kalimat atau intonasi final, dan intonasi yang berada di tengah kalimat atau intonasi nonfinal. Intonasi berfungsi untuk menjelaskan maksud tuturan. Oleh karena itu, intonasi dapat dibedakan lagi menjadi intonasi berita, intonasi tanya, dan intonasi seruan. Intonasi seruan itu sendiri masih dapat diperinci lagi menjadi intonasi perintah, ajakan, permintaan, permohonan, dan sebagainya.

Selain Intonasi, Kesantunan penggunaan tuturan imperatif juga dipengaruhi oleh syarat-syarat kinesik yang dimunculkan lewat bagian-bagian tubuh penutur.

Sistem paralinguistik yeng bersifat kinesik itu dapat disebutkan di antaranya sebagai berikut: (1) ekspresi wajah, (2) sikap tubuh, (3) gerakan jari-jemari, (4) gerakan tangan, (5) ayunan lengan, (6) gerakan pundak, (7) goyangan pinggul dan (8)

(49)

49

gelengan kepala. Isyarat-isyarat kinesik memiliki fungsi yang sama dalam menuturkan imperatif, yakni sama-sama berfungsi sebagai pemertegas maksud tuturan. Berikut ini contoh tuturan yang dapat dipertimbangkan.

(6) Dek, hantarke dulu undangan ni!

2 / 2 3 3 3 3 3 3 3 1 #

„Adik, antarkan dulu undangan ini!‟

Informasi indeksal:

Tuturan dituturkan dengan intonasi yang rendah dan halus, dengan wajah tersenyum menatap lawan bicara sambil memberikan surat undangan.

(7) Hantarke dulu undangan ni, jangan lame-lame aku nak pegi lagi!

2 3 3 3 3 3 3 3 3 // 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 #

„Antarkan dulu undangan ini, jangan lama-lama aku mau pergi lagi!‟

Informasi indeksal:

Tuturan dituturkan dengan intonasi yang kasar, dengan wajah yang tak peduli dan meletakkan surat undangan di atas meja tanpa melihat wajah lawan bicara.

(8) Cepat hantarke undangan ni, aku tak lame lagi aku dah nak pegi!

2 3 3 3 3 3 3 3 3 // 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 #

(50)

50

„Cepat antarkan undangan ini, aku tidak punya banyak waktu aku akan pergi lagi!‟

Informasi indeksal:

Tuturan diucapkan dengan suara yang sangat kasar, tinggi, dengan wajah tak bersahabat sambil menyodorkan surat undangan.

Konteks situasi:

Dari ketiga tuturan di atas, dapat dilihat jumlah kata pada tiap tuturan tidak sama. Tuturan (6) memiliki jumlah kata paling sedikit. Jika mengabaikan aspek intonasi dan tidak memperhitungkan sistem paralinguistik kinesik yang digunakan dalam bertutur, tuturan (6) akan dikatakan sebagai tuturan yang paling tidak santun dan tuturan (8) adalah tuturan yang santun karena jumlah kata lebih banyak dibandingkan tuturan (6).

Tuturan (6) lebih santun dibandingkan tuturan (7) dan tuturan (8), karena tuturan (7) dan tuturan (8) memiliki intonasi dan paralinguistik kinesik tuturan tidak baik yaitu berlaku kasar dengan suara yang tinggi, serta mendahulukan kalimat imperatif lalu diikuti informasi yang melatarbelakangi tuturan. Maka, disimpulkan bahwa tuturan yang di awali dengan tuturan non-imperatif memiliki kadar kesantunan lebih tinggi.

4.1.4 Ungkapan-Ungkapan Penanda Kesantunan Linguistik

(51)

51

Secara linguistik, kesantunan dalam pemakaian tuturan dalam bahasa Indonesia sengat ditentukan oleh muncul atau tidaknya ungkapan-ungkapan penanda kesantunan. Dari bermacam-macam penanda kesantunan itu dapat disebutkan beberapa sebagai berikut: tolong, mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba, harap, hendaknya, hendaklah, sudi kiranya, sudilah kiranya, sudi apalah kiranya. Berkaitan dengan penanda kesantunan tersebut akan dijelaskan secara terperinci sebagai berikut.

1. Penanda Kesantunan Tolong (Tulong) Sebagai Penanda Kesantunan LinguistiTuturan Imperatif

Dengan menggunakan penanda kesantunan tolong yang dalam bahasa Melayu

“tulong” seorang penutur akan memperluas maksud tuturan imperatifnya. Dapat dikatakan demikian, karena dengan digunakannya penanda kesantunan tolong tuturan itu tidak akan semata-mata dianggap sebagai imperatif yang bermakna perintah saja melainkan juga dapat dianggap sebagai imperatif yang bermakna permintaan. Berikut contohnya.

(9) Pegi dulu ke kedai, belikke cabai ntah tiga rip!

„Pergi dulu ke kedai, belikan cabai tiga ribu!‟

(10) Hang endak kemane, Tulong pegi dulu ke kedai kelikke cabai 3 rip!

„Kamu mau kemana, Tolong pergi dulu ke Kedai belikan cabai tiga ribu!‟

(52)

52 Informasi Indeksal:

Kedua tuturan tersebut disampaikan oleh seorang ibu yang sedang duduk di depan rumahnya dan melihat anak tetangganya lewat, lalu ia menyuruh anak itu untuk membelikannya sesuatu di kedai.

Konteks tuturan:

Kedua tuturan di atas mengandung makna imperatif yang sama. Namun, tuturan (10) lebih halus dibandingkan tuturan (9). Maka, dapat dikatakan bahwa tuturan (10) memiliki kadar kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan tuturan (9).

Tuturan (10) menjadi lebih santun kerena menggunakan penanda kesantunan tolong.

Dengan demikian, kata tolong berfungsi sebagai penentu kesantunan pemakaian tuturan imperatif dalam bahasa Melayu Jaring Halus.

2. Penanda Kesantunan Silahkan (Silakan) Sebagai Penanda Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Penggunaan tanda Kesantunan silahkan yang dalam bahasa Melayu “Silakan”

pada tuturan imperatif yang bagian awalnya dilekati penanda kesantunan ini akan dapat menjadi lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang tanpa menggunakan penanda kesantunan. Dengan digunakan penanda kesantunan silahkan, tuturan imperatif itu akan dapat memiliki makna persilaan, jadi kata silahkan yang dilekatkan pada awal tuturan imperatif dapat berfungsi sebagai penghalus tuturan dan penentu

(53)

53

kesantunan tuturan imperatif itu. berikut sebagai ilustrasi yang dapat di pertimbangkan.

(11) Masok-masok, dudoklah ni tempat yang disediake

„Duduklah, ini tempat yang disediakan‟

(12) Silakan masok, dudok jangan malu-malu anggap je rumah sendiri!

„Silahkan masuk, duduklah jangan malu-malu anggap saja rumah sendiri‟

Informasi indeksal:

Tuturan (11) dan (12) dituturkan oleh oleh tuan rumah kepada saudaranya yang sudah lama tidak berkunjung ke rumahnya.

Konteks situasi:

Kedua tuturan tersebut menyatakan makna yang sama yaitu mempersilakan tamu dengan hormat untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki penutur kepada mitra tutur. Tuturan (12) memiliki kadar kesantunan lebih tinggi dibandingakn tuturan (11), karena pada tuturan (12) menggunakan penanda kesantunan silakan dan bersamaan dengan bentuk pasif. Seperti yang telah disampaikan terdahulu, pemasifan tuturan dapat berfungsi sebagai pemarkah kesantunan tuturan imperatif.

3. Penanda Kesantunan Mari (Mai) Sebagai Penanda Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

(54)

54

Tuturan imperatif yang menggunakan penanda kesantunan mari yang dalam bahasa Melayu “mai” akan menjadi lebih santun dibandingkan dengan tuturan imperatif yang tidak menggunakan penanda kesantunan itu. Di dalam komunikasi keseharian, penanda kesantunan mari, sering digantikan oleh kata ayo. Sering digunakan bentuk pendek yo atau yuk. Bentuk mari memiliki peringkat kepormalan lebih tinggi daripada tuturan imperatif yang dilekati penanda kesantunan ayo dan yo.

Dalam bahasa Melayu Jaring halus penanda kesantunan mari, ayo, dan yuk bermakna ajakan. Berikut ini contoh tuturan yang dapat dipertimbangkan.

(13) Sini sat makan!

„Sini makan!‟

(14) Mai sini sat makan!

„Mari sini makan dulu!‟

(15) “Makan yuk!” atau “Yuk, makan”

(16) “Makan yok!” atau “Yok makan!”

Informasi indeksal:

Tuturan tersebut diucapkan oleh seorang buruh kepada temannya untuk makan siang.

Konteks situasi:

(55)

55

Sebagai imperatif yang bermakna ajakan, tuturan (14) adalah tuturan yang memiliki kadar kesantuan tertinggi. Tuturan (14) lebih tepat digunakan dalam situasi tersebut untuk saling menjaga keformalan sesama pekerja. Selain itu, tuturan tersebut merupakan tuturan yang sering muncul dan dapat dengan mudah ditemukan di setiap kesempatan dalam praktik keseharian bertutur masyarakat desa Jaring Halus.

4. Penanda Kesantunan Biar (Biar) Sebagai Penanda Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Penanda kesantuanan biar dalam bahasa Melayu Jaring Halus tetap “Biar”

digunakan untuk menyatakan makna imperatif permintaan izin. Untuk menyatakan permintaan izin, tuturan yang diawali dengan penanda kesantunan biar akan menjadi jauh lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang tidak menggunakan penanda kesantunan itu. Berikut ini contoh yang dapat dipertimbangkan.

(17) Aku aje yang nyapu rumah

„Aku saja yang menyapu rumah‟

(18) Biar je situ biar aku sapu, sak lagi hampe letih

„Biar saja di situ aku yang menyapu, nanti kamu lelah‟

Informasi indeksal:

Dituturkan oleh tuan rumah kepada tamu yang hendak menyapu rumahnya.

Konteks situasi:

(56)

56

Sama-sama memiliki makna permintaan izin, tetapi tuturan (18) lebih santun daripada tuturan (17). Dapat dikatakan demikian karena tuturan (17) merupakan kalimat langsung dan terdengar sedikit memaksakan kehendak. Dengan demikian, tuturan tersebut memiliki kadar kesantunan lebih rendah daripada tuturan (18).

5). Penanda Kesantunan Coba (Cuba) Sebagai Penanda Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Dengan digunakannya penanda kesantunan coba yang dalam bahasa Melayu

“cuba” pada tuturan imperatif bahasa Melayu Jaring Halus akan menjadikan tuturan tersebut bermakna lebih halus dan lebih santun daripada tuturan imperatif yang tanpa menggunakan kata coba. Untuk menyatakan makna memerintah atau menyuruh dengan tuturan imperatif, pemakaian kata coba akan merendahkan kadar tuturan imperatifnya. Dengan menggunakan bentuk demikian, seolah-olah mitra tutur diperlakukan sebagai orang yang sejajar dengan penutur kendatipun pada kenyataannya, peringkat kedudukannya (rank rating) di antar keduanya jauh berbeda.

Berikut contoh tuturan yang dapat dipertimbangkan.

(19) Terai baju ni!

„Pakai baju ini!‟

(20) Cuba hang terai baju ni!

„Coba kamu pakai baju ini!‟

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan menggunakan metode freeze thaw dengan suhu penyimpanan yang berbeda dalam interval waktu tertentu untuk mempercepat terjadinya perubahan yang biasa terjadi pada

fisik. Indikator dari dimensi ini adalah: a) jasa yang ditawarkan berkualitas tinggi; b) jasa yang ditawarkan memiliki fitur yang lebih baik dibandingkan pesaing- nya; dan

pendidikan.Buku pedoman ini berisi tentang informasi umum yang menyangkut pendaftaran, jalur penerimaan mahasiswa baru, ketentuan registrasi, ketentuan pengunduran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan yang mana perancangan sistem robot yang dipadukan dengan metode deep learning khususnya pada bagian sistem visi dan

Fermentasi acar kubis putih (Brassica oleracea) asal Getasan, Kopeng dengan kadar garam 5% menghasilkan isolat bakteri Lactobacillus yang secara keseluruhan memiliki

Sedangkan hasil pengujian cuplikan setelah dinitridasi menunjukkan bahwa makin tinggi tekanan reaktor plasma pada proses nitridasi, makin tinggi kekerasan yang dihasilkan

Dalam hal ini tebing atau sarana panjat yang digunakan adalah tebing buatan yang dibuat sedemikian rupa untuk menghasilkan grade pemanjatan yang sama dengan yang ada pada tebing

Di artikel ini telah diperlihatkan skema teleportasi kuantum terkontrol yakni pengiriman informasi dua kubit sembarang dari Alice kepada Bob di kejauhan dibawah kontrol dari Char-