• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP LARVA Aedes aegypti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP LARVA Aedes aegypti"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENGARUH EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP LARVA Aedes aegypti

Oleh

M PATRIO GONDO SUCIPTO

World Health Organization melaporkan Dengue merupakan mosquito-borne disease yang tercepat pertumbuhannya. Terdapat 1 juta kasus terkonfirmasi dilaporkan pada World Health Organization setiap tahun, akan tetapi WHO mengestimasi jumlahnya lebih dari 50 juta setiap tahun. Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit Dengue. Insektisida alami seperti senyawa derivat tumbuhan umumnya bersifat spesifik, mudah terurai dan tidak berbahaya terhadap lingkungan. Kandungan ekstrak bawang putih meliputi allicin, dialil sulphide, dan flavonoid dapat berperan sebagai pengatur pertumbuhan serangga. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh ekstrak etanol bawang putih (Allium sativum L.) dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium dewasa. Waktu penelitian yaitu pada bulan Juni sampai Juli 2014. Pengujian aktivitas pengatur perkembangan ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) mengikuti pedoman WHO (2005), pengujian dilakukan terhadap larva instar III Aedes aegypti. Pada akhir penelitian, pengaruhnya dinilai sebagai IE% (Adult Emergence Inhibition) berdasarkan jumlah larva yang tidak dapat berkembang menjadi stadium dewasa pada berbagai konsentrasi (0,025-0,125%). 50% dan 90% hambatan perkembangan larva instar III Aedes aegypti menjadi stadium dewasa (IE50 dan IE90) didapatkan pada konsentrasi 0,148% dan 0,708%. Sehinggan dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh ekstrak bawang putih sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.

(2)

ABSTRACT

INFLUENCE OF GARLIC (Allium sativumL.) EXTRACT AS THE LARVACIDE OF Aedes aegypti LARVA

By

M PATRIO GONDO SUCIPTO

World Health Organization reported a Dengue is mosquito-borne disease that is the fastest growth. There are 1 million that confirmed cases reported to the World Health Organization each year, but the WHO estimates that there are more than 50 million each year. The natural insecticides such as plant derived compounds are generally pest specific, biodegradable and harmless to the environment. Phytochemicals constituents from garlic extracts (Allium sativum L.) include allicin, dialil sulphide, and alkaloid can act as insect growth regulators. This research aimed to investigate the adults emergence inhibition of ethanol extracts from garlic of (Allium sativum L.) against Aedes aegypti larva.

Period of the research was from June to July 2014. Insect growth regulators activity of garlic extract (Allium sativum L.) was carried out using WHO protocol, third instar larvae are used for testing. At the end of the observation period, the impact is expressed as IE% (Adult Emergence Inhibition) based on the number of larvae that do not develop successfully into adults at various concentration (0,025-0,125%).

50% and 90% of adult emergence inhibition (IE50 and IE90) were 0,148% and 0,708% against third instar larvae of Aedes aegypti. Garlic extract effective as the larvacide of Aedes aegypti larva..

(3)

PENGARUH EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA Aedes aegypti

Oleh

M Patrio Gondo Sucipto

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Liquica pada tanggal 18 Februari 1992, sebagai anak

pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Risono dan Ibu Sriharlinda.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 01 Manna, Bengkulu selatan

pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SLTP) di SMPN 1 Manna

diselesaikan pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 5

Bengkulu selatan pada tahun 2009, dan pada tahun yang sama penulis diterima

sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Dokter FK UNILA melalui jalur PKAB.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif pada sejumlah organisasi

mahasiswa seperti Forum Studi Islam Ibnu Sina (FSI Ibnu Sina) dan Genetalia

(6)

Allah SWT

MY BELOVED

Papa dan Mama

Koko

Haniif

Big Family

MY LOVELY

Friends and FK Unila 2009

My Almamater

(7)

SANWACANA

Alhamdulillahi Robbil „Alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT, karena atas berkah, rahmat, dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L) sebagai Larvasida Terhadap Larva Aedes aegypti” ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi

Pendidikan Dokter Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung;

2. Ibu Dra. Endah Setianingrum, M.Biomed., selaku Pembimbing I atas

kesediaannya dan ketelatenannya memberikan bimbingan, bantuan, saran,

dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga

selesai;

3. dr. Novita Carolia, M.Sc selaku Pembimbing II atas kesediaan meluangkan

waktu dan membimbing serta memberikan masukannya hingga penulis

(8)

bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

5. dr. Indri Windarti, sp.PA dan dr. Rika Lisiswanti selaku Pembimbing

Akademik yang telah memberikan saran dan masukkan kepada penulis;

6. Papa dan mama yang selalu menyebut nama saya dalam doanya,

membimbing, mendukung, dan memberikan yang terbaik;

7. Saudara saya (Mpg. Subarqo) yang selalu memberi doa, bantuan, dan

semangat, serta adik saya (M. Haniif SL) yang telah memberikan semangat;

8. Seluruh Keluarga besar atas perhatian, dukungan, dan doa yang telah

diberikan;

9. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis

untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;

10. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang

turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;

11. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FMIPA Unila, serta pegawai

yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;

12. Sahabat-sahabat saya yang merangkap sebagai Tim Bantuan Skripsi, Indah,

Apga, Fajar, Wirda, Tiny, dan Vicky terima kasih banyak atas bantuannya

yang berharga;

13. Indah, Apga, Wirda, Ari, Tiny yang telah membantu dan menemani selama

penelitian;

14. Teman-teman angkatan 2009 atas kekeluargaan yang telah terjalin selama ini,

(9)

16. Teman-teman dari team CTB Apga, Fahmi, Bian, Kharisma dan Riyan yang

selalu memberikan dukungan selama ini;

17. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat saya yang sudah memberikan semangat

kebersamaan dalam satu kedokteran.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan bagi

yang membacanya. Semoga Allah senantiasa melindungi dan memberi

rahmat-Nya kepada kita. Aamiin.

Bandar Lampung, Januari 2015

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR GRAFIK ... vi

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum ... 6

2. Tujuan Khusus ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori ... 7

2. Kerangka Konsep ... 8

F. Hipotesis ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aedes aegypti

(11)

3. Hormon Pertumbuhan Sebagai Pengatur Perkembangan ... 15

B. Bawang Putih (Allium sativum L.) 1. Deskripsi Tanaman ... 17

2. Daerah distribusi, keanekaragaman dan sifat khas ... 18

3. Kegunaan Bawang Putih dalam Masyarakat ... 20

4. Efek Biologik ... 21

C. Pengendalian Vektor Secara Kimiawi 1. Insektisida ... 28

2. Insect Growth Regulator ... 30

3. Efek Juvenile Hormon Mimics Bawang Putih ... 31

E. Ekstraksi ... 33

III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 35

B. Tempat dan Waktu ... 35

C. Populasi dan Sampel ... 36

D. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian ... 37

2. Alat Penelitian ... 37

E. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan ... 39

2. Tahap Penelitian ... 41

F. Identifikasi Variabel dan DefinisiOperasional 1. IdentifikasiVariabel... 42

(12)

G. Analisis Data ... 45

H. Diagram Alir ... 46

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 47

B. Pembahasan... 54

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kandungan dari 100 gram umbi Allium sativum L ... 20

2. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian ... 37

3. Jumlah Ekstrak Bawang Putih yang Dibutuhkan pada Penelitian ... 40

4. Definisi Operasional ... 42

5. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa ... 48

6. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence Inhibition, IE%) ... 49

7. Hasil Uji Normalitas Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence Inhibition, IE%) ... 50

8. Hasil Uji Post Hoc Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence Inhibition, IE%) ... 52

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori ... 7

2. Hubungan Antarvariabel ... 8

3. Larva Instar I Aedes aegypti ... 10

4. Larva Instar II Aedes aegypti ... 11

5. Larva Instar III Aedes aegypti ... 11

6. Larva Instar IV Aedes aegypti ... 12

7. Pupa Aedes aegypti ... 12

8. Nyamuk Aedes aegypti ... 13

9. Siklus Hidup Aedes aegypti ... 14

10. Bawang Putih (Allium sativumL.) ... 17

(15)

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

1. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa ... 48

(16)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aedes aegypti merupakan nyamuk yang dapat berperan sebagai vektor berbagai macam penyakit diantaranya Demam Berdarah Dengue (DBD).

Walaupun beberapa spesies dari Aedes sp. dapat pula berperan sebagai vektor tetapi Aedes aegypti tetap merupakan vektor utama dalam penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue. (Lawuyan, 2006 ;

Yotopranoto dkk., 2008)

Keberhasilan dalam upaya pemberantasan vektor penular penyakit

ditentukan oleh berbagai faktor , antara lain sarana, prasarana maupun

sumber daya manusia. Dalam hal upaya pengendalian Aedes aegypti , perlu kiranya pemahaman ilmu entomologi diantaranya adalah taksonomi,

morfologi, ekologi dan siklus hidup dari vector (Soegijanto, 2003).

WHO melaporkan Dengue merupakan mosquito-borne disease yang tercepat pertumbuhannya. Terdapat 1 juta kasus terkonfirmasi dilaporkan

pada World Health Organization setiap tahun, akan tetapi WHO mengestimasi jumlahnya lebih dari 50 juta setiap tahun, dengan 20 ribu

(17)

Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan

digunakan oleh program pengendalian dengue di tingkat pusat dan di

daerah. Metode pengendalian vektor dengue tersebut yaitu: manajemen

lingkungan, pengendalian biologis, pengendalian kimiawi, partisipasi

masyarakat, perlindungan individu, dan peraturan perundangan (Sukowati,

2010; Hoedojo et al., 2006).

Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program

pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam

pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa

menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida jika digunakan secara

tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu, dan cakupan akan mampu

mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan

dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka

tertentu akan menimbulkan resistensi vektor (Sukowati, 2010).

Data penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 di Jakarta dan Denpasar

pada tahun 2009 yang dilakukan oleh Shinta dkk menunjukkan resistensi

vektor terhadap insektisida yang digunakan oleh program pengendalian

vektor dengue (Sukowati, 2010). Residu insektisida sintetik pada ekosistem

dapat mengurangi sensitivitas larva nyamuk terhadap larvasida. Berkaitan

dengan biodegradabilitasnya, ekstrak insektisida dari tanaman dianggap

lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan insektisida sintetik (Ghosh,

(18)

efektivitasnya setara dengan insektisida kimiawi, namun mudah didapat

oleh masyarakat, murah, dan sederhana (Pidiyar, 2004; Gionar, 2005).

Salah satu daya kerja dari insektisida nabati adalah mempengaruhi hormon

pengatur pertumbuhan serangga (Insect Growth Regulation). Mekanisme kerjanya seperti Juvenile Hormone Mimics yaitu mencegah maturasi atau pematangan insekta, sehingga insekta tidak mampu molting dan berkembang menjadi stadium selanjutnya atau dewasa sehingga akhirnya

mati (Campbell, 2003). Penelitian yang dilakukan Elimam, (2009) dan

Rajkumar, (2005) melaporkan bahwa senyawa seperti allicin memilki

aktivitas Juvenile Hormone sehingga memiliki pengaruh pada perkembangan serangga. Banyaknya masalah yang dapat ditimbulkan oleh

insektisida menjadi dasar pemikiran tentang cara apa yang lebih aman untuk

membasmi nyamuk dalam hal ini bentuk larvanya. Tanaman tradisional

seperti bawang putih dapat menjadi alternatif pengganti insektisida (Sutton,

2009).

Bawang putih dipilih oleh karena tanaman ini sudah sangat dikenal

masyarakat, dan mudah diperoleh. Bawang putih memiliki manfaat yang

besar bagi kehidupan manusia. Bagian utama dan paling penting dari

tanaman bawang putih adalah umbinya. Pendayagunaan umbi bawang putih

selain sudah umum untuk dijadikan bumbu dapur sehari-hari, juga

merupakan bahan obat-obatan tradisional yang memiliki multi khasiat.

(19)

tepung, dan diolah menjadi acar (Rukmana, 2005). Di bidang kesehatan

bawang putih sudah banyak diteliti mengenai efek anti mikroba misalnya

terhadap H.pyloridan antiparasit terhadap Cappilaria spp (Sutton, 2009).

Kandungan senyawa yang sudah diketemukan pada bawang putih

diantaranya adalah ”allicin” dan ”sulfur amonia acid alliin”. Sulfur amonia acid Alliin ini oleh enzim allicin lyase diubah menjadi piruvicacid, amonia, dan allicin anti mikroba. Selanjutnya allicin mengalami perubahan menjadi

”diallyl sulphide”. Senyawa allicin dan diallyl sulphide inilah yang

memiliki banyak kegunaan dan berkhasiat obat (Rukmana, 2005). Allicin

dan turunannya juga bersifat larvasida (Sutton, 2009).

Dari uraian di atas, maka dilakukan penelitian untuk membuktikan efek

larvasida dari ekstrak bawang putih terhadap larva Aedes sp serta mencari dosis yang efektif dari ekstrak bawang putih sebagai larvasida Aedes sp.

B. Rumusan Masalah

Dengue merupakan mosquito-borne disease yang tercepat pertumbuhannya (WHO, 2010). Pengendalian secara kimiawi masih menjadi metode

pengendalian vektor dengue yang paling populer. Data mengenai resistensi

vektor terhadap insektisida telah banyak dilaporkan, resistensi dapat terjadi

karena residu insektisida di lingkungan menyebabkan berkurangnya

sensitivitas larva terhadap insektisida. Insektisida nabati lebih ramah

lingkungan karena biodegradabilitasnya yang baik (Sukowati, 2010; Ghosh,

(20)

hormon pengatur pertumbuhan serangga (Insect Growth Regulation). Tanaman bawang putih dapat menjadi alternatif insektisida. Syamsuhidayat

dan Hutapea (2001) dan Sudarsono, (2002) menyebutkan bahwa bawang

putih memiliki senyawa bioaktif seperti alkaloid, saponin, flavonoid,

polifenol, dan terpenoid. Hasil penelitian yang dilakukan Elimam, (2009)

dan Rajkumar, (2005) melaporkan bahwa senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid memilki aktivitas Juvenile Hormone sehingga memiliki pengaruh pada perkembangan serangga.

Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu:

(21)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) yang paling efektif dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk dewasa.

b. Mengetahui 50% dan 90% inhibition of adult emergence (IE50 dan IE90) dari ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk dewasa.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi ilmiah

mengenai khasiat ekstrak bawang putih terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dan dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu parasitologi khususnya entomologi dalam lingkup pengendalian vektor penyebab

(22)

2. Bagi Peneliti

Sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah dipelajari

sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.

3. Bagi Masyarakat/Institusi

Dapat memberi informasi kepada masyarakat khususnya pembaca

mengenai manfaat dan khasiat bawang putih.

4. Bagi Penelitian Lebih Lanjut

Sebagai referensi atau acuan bagi penelitian serupa.

E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka Teori

(Sumber: Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991) Ekstrak Ethanol Bawang Putih

(Allium sativum L.)

Allisin, Saponin, Flavonoid

Larva Tidak Berhasil Mencapai Stadium

Nyamuk Dewasa

Aktivitas Juvenile Hormone Mimics

(23)

2. Kerangka Konsep

Gambar 2. Hubungan Antarvariabel

F. Hipotesis

Terdapat pengaruh ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aedes aegypti

Salah satu spesies nyamuk yang paling sering ditemukan di wilayah tropis

dan subtropis di dunia, termasuk Indonesia. Aedes aegypti merupakan vektor primer penyakit virus, yaitu demam dengue, cikungunya, dan yellow fever (CDC, 2012).

1. Morfologi Larva, Pupa, dan Dewasa Aedes aegypti 1) Larva Aedes aegypti

Ciri-ciri larva Aedes aegypti yaitu memilki corong udara pada segmen terakhir, pada segmen-segmen abdomen tidak dijumpai

adanya rambut-rambut berbentuk kipas (palmate hairs), pada corong udara terdapat pekten, adanya sepasang rambut serta jumbai pada

corong udara (siphon), pada setiap sisi abdomen segmen kedelapan terdapat comb scale sebanyak 8 sampai 21 atau berjejer 1 sampai 3, bentuk individu dari comb scale seperti duri. Larva nyamuk bernafas terutama pada permukaan air, biasanya melalui satu buluh pernafasan

(25)

hampir tegak lurus dengan permukaan air. Segmen anal pelana tidak

menutupi segmen. Gigi sisir tidak berduri lateral (Prianto et al., 2004).

Ada 4 tingkatan perkembangan (instar) larva sesuai dengan

pertumbuhan larva, yaitu (Hoedojo, 2003) :

a. Larva instar I; berukuran paling kecil yaitu 1-2 mm atau satusampai

dua hari setelah telur menetas, duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernapasan pada siphon belum menghitam (Hoedojo, 2003).

Gambar 3. Larva Instar I Aedes aegypti (Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)

b. Larva instar II; berukuran 2,5-3,5 mm berumur dua sampai tiga hari

setelah telur menetas, duri-duri dada belum jelas, corong

(26)

Gambar 4. Larva Instar II Aedes aegypti (Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)

c. Larva instar III; berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari

setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong

pernapasan berwarna coklat kehitaman (Hoedojo, 2003).

Gambar 5. Larva Instar III Aedes aegypti (Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)

d. Larva instar IV; berukuran paling besar yaitu 5-6 mm berumur

empat sampai enam hari setelah telur menetas dengan warna kepala

(27)

Gambar 6. Larva Instar IV Aedes aegypti (Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)

2) Pupa Aedes aegypti

Pupa berbentuk koma, gerakan lambat, sering ada di permukaan air.

Pada pupa terdapat kantong udara yang terletak diantara bakal sayap

nyamuk dewasa dan terdapat sepasang sayap pengayuh yang saling

menutupi sehingga memungkinkan pupa untuk menyelam cepat dan

mengadakan serangkaian jungkiran sebagai reaksi terhadap rangsang.

Bentuk nyamuk dewasa timbul setelah sobeknya selongsong pupa

oleh gelembung udara karena gerakan aktif pupa. Pupa bernafas pada

permukaan air melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil

pada toraks (Aradilla, 2009).

(28)

3) Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil daripada ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus) (Djakaria, 2006). Nyamuk Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas, yaitu dengan adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas dasar

warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah ada

dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi

lateral dan dua buah garis lengkung sejajar di garis median dari

punggungnya yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking) (Soegijanto, 2006).

Gambar 8. Nyamuk Aedes aegypti (Sumber: CDC, 2012)

2. Siklus Hidup Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosa sempurna, yaitu dari bentuk telur, jentik, kepompong dan nyamuk dewasa. Stadium telur,

jentik, dan kepompong hidup di dalam air (aquatik), sedangkan nyamuk

hidup secara teresterial (di udara bebas). Pada umumnya telur akan

(29)

air. Nyamuk betina meletakkan telur di dinding wadah di atas permukaan

air dalam keadaan menempel pada dinding perindukannya. Nyamuk

betina setiap kali bertelur dapat mengeluarkan telurnya sebanyak 100

butir. Fase aquatik berlangsung selama 8-12 hari yaitu stadium jentik

berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong (pupa) berlangsung 2-4

hari. Pertumbuhan mulai dari telur sampai menjadi nyamuk dewasa

berlangsung selama 10-14 hari. Umur nyamuk dapat mencapai 2-3 bulan

(Ridad, 2009).

Gambar 9. Siklus Hidup Aedes aegypti (Sumber : Hopp & Foley, 2001)

Setelah 2-3 hari telur menetas menjadi larva (jentik) yang selalu hidup di

dalam air. Selama proses pertumbuhannya larva nyamuk mengadakan

(30)

Pertumbuhan larva stadium I sampai dengan stadium IV (instar I-IV)

berlangsung selama 5-7 hari. Perkembangan dari instar I ke instar II

berlangsung dalam 2-3 hari, kemudian dari instar II ke instar III dalam

waktu 2 hari, dan perubahan dari instar III ke instar IV dalam waktu 2-3

hari (Aradilla, 2009). Larva mengambil makanan dari tumbuhan atau

mikroba di tempat perindukannya (CDC, 2012).

Larva instar IV kemudian tumbuh menjadi pupa kurang lebih selama 3

hari (Shinta, 2011). Pupa merupakan stadium yang tidak makan tetapi

masih memerlukan oksigen yang diambilnya melalui corong pernapasan

(breathing trumpet). Diperlukan waktu 1-2 hari agar pupa menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur menjadi dewasa memerlukan waktu

sekitar 14 hari (Ridad, 2009).

3. Hormon Pertumbuhan sebagai Pengatur Perkembangan

Semua kelompok artropoda mempunyai sistem endokrin yang ekstensif.

Serangga mempunyai eksoskeleton yang tidak bisa meregang. Serangga

terlihat tumbuh secara bertahap, dengan melepaskan eksoskeleton lama

dan megekskresikan eksoskeleton baru pada setiap pergantian kulit. Pada

serangga pergantian kulit dipicu oleh hormon yang disebut ekdison

(ecdysone). Pada serangga ekdison disekresi dari sepasang kelenjar endokrin, yang disebut kelenjar protoraks, terletak persis dibelakang

(31)

perkembangan karakteristik dewasa, seperti perubahan larva menjadi

nyamuk (Campbell, 2004).

Pada serangga produksi ekdison itu sendiri dikontrol oleh hormon yang

disebut sebagai hormon otak (brain hormone, BH). Sel-sel neurosekretori di otak menghasilkan hormon otak (brain hormone, BH), namun hormon tersebut disimpan dan dikeluarkan dari organ yang disebut korpus

kardiakum. Hormon tersebut mendorong perkembangan dengan cara

merangsang kelenjar protoraks untuk mensekresikan ekdison. Sekresi

ekdison secara bertahap, dan setiap pembebasan hormon tersebut akan

merangsang pergantian kulit (Campbell, 2004).

Hormon otak dan ekdison diseimbangkan oleh hormon juvenil (juvenile hormone, JH). Juvenile hormon disekresikan oleh sepasang kelenjar kecil persis dibelakang otak, yaitu korpus allata. Hormon juvenil menyebabkan

karakteristik larva tetap dipertahankan. Kadar hormon juvenil dalam tubuh

serangga pada stadium larva awal akan cukup tinggi, sedangkan pada

stadium larva akhir mulai berkurang. Demikian juga pada stadium pupa,

kadarhormon juvenil sedikit. Pada stadium dewasa kadarhormon juvenil

meningkat kembali, hal ini berhubungan dengan fungsinya dalam proses

reproduksi (Gilbert, 2004).

Pada konsentrasi JH yang relatif tinggi, pergantian kulit yang dirangsang

oleh ekdison akan menghasilkan tahapan larva sekali lagi sehingga

(32)

menghambat metamorfosis. Ketika kadar hormon juvenil semakin

berkurang, maka pergantian kulit yang diinduksi oleh ekdison baru dapat

menghasilkan suatu tahapan perkembangan yang disebut sebagai pupa. Di

dalam pupa tersebut, metamorfosis mengubah anatomi larva menjadi

bentuk serangga dewasa. Serangga yang sudah dewasa tersebut kemudian

keluar dari pupa. Versi sintetik JH sekarang sedang digunakan sebagai

insektisida untuk mencegah perkembangan atau pematangan serangga

menjadi serangga dewasa yang bereproduksi (Campbell, 2004).

B. Tanaman Bawang Putih (Allium sativum L.)

Deskripsi

Gambar 10.Allium Sativum L (Sumber: Sucipto, 2014)

Suku : Liliaceae

Perawakan: herba annual (2-4 bulan), tegak, 30 - 60 cm.

Batang : kecil (corpus), 0,5 - 1 cm.

Daun : bangun garis, kompak, datar, lebar 0,4 – 1,2 cm, pangkal pelepah

membentuk umbi, bulat telur melebar, anak umbi bersudut, di bungkus

(33)

Bunga : susunan majemuk payung sederhana, muncul di setiap anak umbi,

1-3 daun pelindung, seperti selaput.

Tenda bunga (perhiasan) : 6 daun, bebas atau berlekatan di pangkal,

bentuk memanjang, meruncing, putih-putih kehijauan-ungu (Lucas, 2007).

Asal - usul : Asia daratan

Daerah distribusi

Di Jawa di budidaya di dataran tinggi 1000 - 200 m dpl.

Keanekaragaman

Variasi morfologi kecil (sempit), hanya terjadi pada ukuran organ. Ada

beberapa varietas bawang putih yang tumbuh di Indonesia, antara lain

varietas unggul Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, Ilocos, Gombloh, Layur

dan lain-lain. (Lucas, 2007).

Sifat khas

Daun 8 - 10 helai, pelepah membungkus membentuk batang semu, pangkal

membungkus anak-anak umbi lapis, di setiap anak umbi memiliki tunas

(34)

Budidaya

Gambar 11. Allium Sativum L (Sumber: Hariana, 2008)

Yang digunakan sebagai bibit bukan seluruh umbinya, namun hanya

siungnya saja. Menjelang ditanam, sekitar 1-2 hari, umbi dijemur beberapa

jam, lalu dipecah-pecah menjadi siung, usahakan agar kulit siung tidak

ikut terkelupas, kemudian dipilah-pilah berdasar atas keseragaman ukuran

siung. Bagian ujung kulit siung umumnya mengering dan menutupi lubang

tempat lewatnya tunas pertama, maka untuk mempercepat dan

mempermudah keluarnya tunas pertama perlu daerah tersebut disayat

sekitar 1/8 - 1/5 bagian (Hariana, 2008).

Tanah yang dipersiapkan adalah dalam bentuk bedeng berparit yang telah

digemburkan, serta telah diolah dengan pemberian pupuk dasar dan

pengapuran (bagi lahan yang terlalu asam). Jarak tanam bisa 10 x 10 cm

sampai 15 x 10 cm tergantung luas lahan, semakin jarang semakin baik,

tetapi menurut pengalaman, dengan jarak tanam 15 x 15 cm ternyata tidak

menghasilkan panen yang lebih baik dibanding 15 x 10 cm.

Bibit-bibit yang pertama kali ditanam perlu ditaburkan tanah halus di

(35)

Jagalah kelembaban jerami dengan cara menyiram air sekedarnya (jangan

terlalu basah, asal lembab sudah cukup) (Hariana, 2008).

Pemeliharaan selanjutnya sama dengan yang dilakukan pada bawang

merah, meliputi pengairan, penyiangan, penggemburan tanah, pemupukan,

pencegahan dan pemberantasan hama-penyakit. Juga kadang-kadang

(apabila dianggap perlu) perlu dilakukan penjarangan tanaman (Hariana,

2008).

Kegunaan di masyarakat

Umbi bawang putih berkhasiat sebagai obat tekanan darah tinggi,

meredakan rasa pening di kepala, menurunkan kolesterol, dan obat maag.

Di samping itu digunakan pula sebagai ekspektoransia (pada bronkhitis

kronis), karminativa (pada keadaan dispepsia dan meteorismus (Hansel,

2001).

Analisis Kandungan Gizi

Tabel 1.Kandungan dari 100 gram umbi Allium sativum L.

(36)

β-Carotene

•Dalam bentuk minyak 0,12-0,2 ml.

•Dalam bentuk juice yang dicampur dengan sirup 4-8 ml.

Efek biologik

Air perasan bawang putih bersifat meningkatkan methemoglobin dalam

darah, dapat menurunkan tekanan darah tinggi dan dapat menurunkan

kadar kolesterol dalam darah (Perry, 2000).

Sari etil eter dari serbuk bawang putih yang telah dikeringkan memiliki

aktivitas mengendalikan kadar gula darah pada kelinci puasa yang diberi

perlakuan glukosa. Bawang putih segar juga memiliki aktivitas penurunan

kadar gula darah pada kelinci yang dibuat diabetes dengan aloksan.

(37)

bawang putih), ternyata juga memberikan hasil yang sama (Atal, 2002).

Juice bawang putih juga dilaporkan dapat berpengaruh dalam

pengendalian kadar gula darah pada kelinci yang diberi glukosa berlebihan

dan memacu mobilitas kolesterol.

Alisin dilaporkan terbukti memiliki potensi sebagai anti bakteri terhadap

bakteri Gram positif dan Gram negatif, Mycobacterium tuberculosis serta terhadap Staphylococcus aureus dan Brucella abortus. Terhadap S.aureus potensinya adalah satu miligram alisin setara dengan 15 Oxford penicillin

units. Pertumbuhan bakteri-bakteri lain yang juga terhambat oleh alisin

maupun alisin adalah Staphylococci, Streptococci, Eberthella typhosa, Bacillus paratyphoid A, Bacterium dysenteriae, Bacterium enteridis, Vibrio cholerae dan beberapa bakteri tahan asam (Lucas, 2007).

Alisin dilaporkan memiliki aktivitas menghambat enzim sulfidril (-SH),

suatu reaksi yang diketahui berperan dalam penghambatan pertumbuhan

sel-sel ganas.

Perubahan bentuk produk (+)-S-alil-L-sistein sulfoksida, alisin, ajoene,

dan Dialil disulfida menunjukkan aktivitas in vitro dalam hal

penghambatan secara bermakna terjadinya penggumpalan trombosit (IC50

terhitung = 60 M).4) Dan dalam berbagai percobaan klinis telah

dibuktikan, bahwa serbuk bawang putih mampu menurunkan secara

bermakna kadar trigliserida, kolesterol dan fosfolipid dalam plasma, serta

mampu pula menurunkan secara bermakna terbentuknya penggumpalan

trombosit spontan dan juga kekentalan plasma (Eckner, 2003).

(38)

pada tikus putih dan mencit dan memiliki aktivitas estrogenik pada tikus

putih betina. Setelah 4 hari dilakukan penyuntikan sari alkohol secara

intramuskuler terhadap binatang percobaan, akan dikeluarkan

metabolitnya yang berupa 17-ketosteroid, hal ini menunjukkan adanya

efek kortikotropik pada korteks adrenal binatang tersebut. Selain itu juga

dilaporkan memiliki aksi sebagai antelmintik, antiseptik dan anti asma

(Atal, 2002).

Aksi Anthelmintic terutama terhadap cacing Ascaris dan Oxyuris.

Terhadap cacing Ascaris lumbricoides menyebabkan terjadinya paralisis. Ekstrak bawang putih dilaporkan memiliki efek fibronolitik, meningkatkan

mobilitas kholesterol dan trigliserida. Disamping itu dapat pula berefek

sebagai anti asma. Potensi anti asma tersebut adalah karena adanya ester

asam tiosulfinat yaitu dengan menghambat proses timbulnya asma

(menekan pengaruh alergen) (Sri, 2001).

Alil-2-propen-1-tiosulfinat dan Alkil-tiosulfinat juga memiliki aktivitas

terhadap infeksi dermatophytic, baik terhadap infeksi jamur maupun infeksi bakteri Gram positif dan negatif pada kulit. Sedang kandungan

yang lain Garlisin, Alistatin I dan Alistatin II memiliki aktivitas antibiotik

dengan potensi 1:50.000 (Wagner, 2004).

Tablet Alisatin yang berisi sari bawang putih diindikasikan untuk anti

kejang pada perut, sementara sediaan tablet yang lain Alimin yang berisi

konsentrat bawang putih yang tidak mengandung air, diindikasikan untuk

vasodilator bagi penderita tekanan darah tinggi (Lucas, 2007).

(39)

bawang putih, untuk menurunkan kolesterol dan obat tekanan darah tinggi.

Untuk kepentingan pengobatan, tanaman Allium sativum L. telah banyak dibudidayakan di berbagai negara. Senyawa karakteristik yang terkandung

di dalamnya adalah turunan sicstein yang berkaitan erat dengan senyawa

g-glutamil dipeptide (Eckner, 2003).

Bawang putih mengandung 0,2% minyak atsiri yang berwarna kuning

kecoklatan, dengan komposisi utama adalah turunan asam amino yang

mengandung sulfur (aliin, 0,2-1%, dihitung terhadap bobot segar). Pada

proses destilasi atau pengirisan umbi, aliin berubah menjadi alisin.

Kandungan yang lain adalah alil sulfida dan alil propil disulfida, sejumlah

kecil polisulfida, alil divinil sulfida, alil vinil sulfoksida,

trans-Ajoen-2-vinil-[4H]-1,3-ditiin, metil-aliltrisulfida, cis-Ajoen, 3-vinil-[4H]-1,2-ditiin,

Dialiltrisulfida, adenosin. Kadar Alliin sangat tergantung dari penyiapan simplisia (pada cara penyiapan simplisia yang kurang baik, maka 1/4

bagian aliin akan mengalami perubahan). Bobot jenis minyak atsiri

bawang putih berkisar antara 1,046-1,057. Alisin adalah senyawa yang

memberikan bau khas bawang putih. Bawang putih juga mengandung

saponin, tuberholosida, dan senyawa fosforus (0,41%) (Atal, 2002).

Gambar 10.Susunan Senyawa Allium sativum L (Sumber: Sudarsono, 2002)

Senyawa lain yang terkandung di dalam bawang putih adalah alistatin I,

(40)

Aliin atau S-Alil-L-sistein sulfoksida C6H11NO2S, selain terkandung

dalam bawang putih juga terkandung dalam bawang merah (Allium cepa L.) dan jenis-jenis Allium lainnya. Senyawa ini berupa hemihidrat yang tidak berwarna C6H11NO2S.½H2O bentuk jarum tumpul yang diperoleh

dari hasil rekristalisasi menggunakan pelarut aseton. Jarak leburnya

164-1660C (dengan mengeluarkan gas), praktis larut dalam air. Tidak larut

dalam etanol mutlak, kloroform, aseton, eter dan benzena. Aliin memiliki

dua pusat asimetrik, hingga secara teoritis memiliki empat isomer, dua

diantaranya diturunkan dari L-Sistein dan D-Sistein alami. Keempat

isomer tersebut seluruhnya telah dapat disintesis, dan salah satu yang

identik dengan aliin alami adalah (-)-S-alil-L-sistein sulfoksida. Senyawa

ini memiliki potensi sebagai antibakteri (Wagner, 2004).

Pemberian perlakuan enzim alinase atau juga disebut aliinase (yaitu enzim

yang sangat spesifik terhadap aliin), akan segera memecah aliin menjadi

alisin, asam piruvat dan amonia. Sebenarnya alisin bebas inilah yang

berdaya sebagai anti bakteri.

Alisin C6H10OS2 memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Alisin ini juga

terkandung dalam bawang merah. Berbentuk cairan dengan bau yang khas

bawang putih. Bersifat mengiritasi kulit, bila direbus atau disuling akan

mengalami dekomposisi. Indeks biasnya 1,561 (20oC), bobot jenis 1,113 (20oC). Kelarutan dalam air 2,5% w/w (10oC). pH sekitar 6,5. Dapat campur dengan alkohol, eter, dan benzena. Alisin merupakan senyawa

yang tidak stabil, adanya pengaruh panas air, oksigen udara dan

(41)

dialildisulfida (yang menimbulkan bau tidak enak). Alisin stabil dalam

lingkungan asam (Wagner, 2004).

Gambar 11. Susunan Senyawa Allium sativum L (Sumber: Sudarsono, 2002)

Kedua struktur paling bawah ditemukan oleh Eckner, (2003) sebagai

senyawa asam amino baru. Sebelah kiri

(-)-N-(1'--D-frictpurampsil)-S-alil-L-sistein sulfok-sida merupakan glikosida asam amino, sementara struktur

(42)

Gambar 12. Susunan Senyawa Allium sativum L (Sumber: Sudarsono, 2002)

Efek yang tidak diinginkan

Tidak semua orang memiliki toleransi terhadap penggunaan bawang segar

dosis besar, karena sifat iritasinya pada mulut, oesophagus dan lambung.

Penggunaan bentuk serbuk dengan dosis relatif besar dapat menimbulkan

rasa mual, disamping itu keringat dan nafasnya akan berbau tak sedap (bau

badan atau bau mulut campur dengan bau bawang, dikarenakan adanya

metabolit aliin, dialildi-sulfida, dialiltrisulfida dan oligosulfida) (Hansel 2001).

Toksisitas

Bawang putih yang sudah bertunas tidak baik untuk dikonsumsi, karena

(43)

C. Pengendalian Vektor secara Kimiawi

1. Insektisida

Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang

digunakan untuk membunuh serangga. Insektisida yang baik mempunyai

sifat yaitu, mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat serta tidak

berbahaya bagi binatang vertebra termasuk manusia dan ternak, murah

harganya dan mudah di dapat dalam jumlah besar, mempunyai susunan

kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar, mudah dipergunakan dan

dapat dicampur dengan berbagai macam bahan pelarut, dan tidak berwarna

dan tidak berbau yang tidak menyenangkan (Hoedojo, 2006).

Beberapa istilah yang berhubungan dengan insektisida adalah (Ridad,

2009):

1) Ovisida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium telur

2) Larvasida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium larva/nimfa

3) Adultisida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium dewasa

4) Akarisida, yaitu insektisida untuk membunuh tungau

5) Pedikulisida, yaitu insektisida untuk membunuh tuma

Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada

bentuk, cara masuk ke dalam badan serangga, macam bahan kimia,

konsentrasi dan jumlah (dosis) insektisida. Faktor-faktor yang harus

diperhatikan dalam upaya membunuh serangga dengan insektisida ialah

mengetahui spesies serangga yang akan dikendalikan, ukurannya, susunan

(44)

Klasifikasi insektsisida dibagi dalam (Hoedojo, 2006; Ridad, 2009):

1) Berdasarkan cara masuknya ke dalam badan serangga, yaitu:

a. Racun kontak, yaitu insektisida yang masuk ke dalam badan

serangga dengan perantaraan tarsus (jari-jari kaki) pada waktu

istirahat di permukaan yang mengandung residu insektisida.

b. Racun perut, yaitu insektisida yang masuk ke dalam badan

serangga melalui mulut, jadi insektisida ini harus dimakan.

c. Racun pernapasan, yaitu insektisida yang masuk melalui sistem

pernapasan.

2) Berdasarkan macam bahan kimia, yaitu:

a. Insektisida anorganik, terdiri dari golongan sulfur dan merkuri,

golongan arsenikum, dan golongan flour.

b. Insektisida organik berasal dari alam, terdiri dari golongan

insektsida berasal dari tumbuh-tumbuhan dan golongan insektisida

berasal dari bumi (minyak tanah dan minyak).

c. Insektisida organik sintetik, terdiri dari golongan organik klorin

(DDT, dieldrin, klorden, BHC, linden), golongan organik fosfor

(malation, paration, diazinon, fenitrotion, temefos, DDVP,

ditereks), golongan organik nitrogen (dinitrofenol), golongan sulfur

(45)

2. Insect Growth Regulator

Insect Growth Regulator (IGR) merupakan salah satu bahan yang digunakan dalam kegiatan larvaciding. IGR adalah sejenis bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan larva sejak dari instar I sampai IV

dan dapat menggangu hormon pertumbuhan larva agar tidak berhasil

menjadi pupa atau nyamuk dewasa. Kematian nyamuk disebabkan karena

ketidakmampuan nyamuk untuk melakukan metamorfosis. Telur gagal

menetas, larva gagal menjadi pupa, pupa gagal menjadi nyamuk dewasa

(Fitriani, 2004).

Insektisida ini dibagi menjadi dua yaitu yang mempengaruhi sistem

endokrin dan yang menghambat sintesis kitin. Juvenile Hormone Mimics merupakan tiruan hormon juvenil endogen, mencegah metamorfosis

menjadi stadium dewasa yang viabel ketika diberikan pada stadium larva.

Sampai sekarang, terdapat dua target primer juvenoid yang telah diketahui,

yaitu menghambat juvenile hormone esterase sehingga tidak terjadi degradasi hormon juvenil endogen dan dengan cara efek agonis pada

reseptor hormon juvenil. Pada stadium dewasa serangga, hormon juvenil

terlibat dalam regulasi vitelogenesis telur. Perubahan pada homeostasis

pada tahap perkembangan ini dapat menyebabkan telur yang steril

(Mehlhorn, 2008).

(46)

perkembangan dan tipe protein pengatur. Hal ini menjelaskan variasi efek

yang terjadi pada serangga yang diberikan juvenoid. Fenoxycarb adalah insect growth regulator dengan aksi sebagai racun kontak dan pencernaan. Kandungannya memperlihatkan aktivitas hormon juvenil yang kuat,

menghambat metamorfosis menjadi stadium dewasa dan menghambat

proses moulting. Methoprene merupakan insect growth regulator yang mencegah metamorfosis menjadi stadium dewasa yang viable ketika

diberikan pada tahap perkembangan larva (Mehlhorn, 2008).

Insektisida yang menghambat pembentukan kitin adalah dari golongan

benzylurea seperti lufenuron, diflubenzuron (@Dimilin), teflubenzuron

(@Nomolt) dan hexaflumuron (@Sentricon). Kitin adalah komponen

utama eksoskeleton serangga. Terganggunya proses pembentukan kitin

larva tidak dapat melanjutkan pertumbuhannya secara normal dan akhirnya

mati (Sudarmo, 2001).

3. Efek Juvenile Hormone Mimics Bawang Putih

Bawang putih mengandung terpenoid, flavonoid, dan alkaloid (Sudarsono

(47)

Tanaman yang mempunyai kandungan bahan aktif phenylpropane derivates, nonsteroidal terpenoid, steroidal terpenoid, gossypol dan alkaloid mempunyai aktivitas Juvenile hormone (JH). Perkembangan kematangan insekta tergantung pada JH yang menyebabkan terjadinya

pertumbuhan dan pertambahan ukuran tanpa perubahan bentuk yang

radikal (Wigglesworth, 2004).

Mekanisme larvasida dari bawang putih diduga diperankan oleh zat aktif

yang terkandung di dalamnya. Kandungan allicin dan dialil sulphide memiliki sifat bakterisida dan bakteristatik (Rukmana, 2005). Allicin bekerja dengan cara menggangu sintesis membran sel parasit sehingga

parasit tidak dapat berkembang lebih lanjut (Nok, 2006), Allicin juga bersifat toksik terhadap sel parasit maupun bakteri. Allicin bekerja dengan merusak sulfhidril (SH) yang terdapat pada protein. (bawang putih)

Diduga struktur membran sel larva terdiri dari protein dengan sulfhidril

(SH) Allicin akan merusak membran sel larva sehingga terjadi lisis. Toksisitas allicin tidak berpengaruh pada sel mamalia karena sel mamalia memiliki glutathione yang dapat melindungi sel mamalia dari efek allicin (Anki S, 2007). Berdasarkan mekanisme tersebut maka allicin dapat menghambat perkembangan larva stadium 3 menjadi larva stadium 4 atau

larva stadium 4 tidak akan berubah menjadi pupa dan akhirnya mati karena

membran selnya telah dirusak (Nok AJ, 2006).

(48)

ini diduga menyebabkan larva tidak mendapat cukup oksigen untuk

pertumbuhannya sehingga menyebabkan kematian larva (Tvedten S, 2005)

Penelitian yang dilakukan Aghneta (2004) melaporkan bahwa ekstrak

dbawang putih yang diujikan pada larva Culex quinquefasciatus menyebabkan terjadinya perpanjangan waktu yang diperlukan dalam

perkembangan larva menjadi pupa. Pada penelitian tersebut juga

dilaporkan pemberian ekstrak bawang putih meningkatkan mortalitas pada

stadium larva dan pupa (Aghneta, 2004).

D. Ekstraksi

Ekstraksi adalah metode umum yang digunakan untuk mengambil produk

dari bahan alami, seperti jaringan tumbuhan, hewan, mikroorganisme, dan

sebagainya. Ekstraksi dapat dianggap sebagai langkah awal dalam

rangkaian kegiatan pengujian aktivitas biologi tumbuhan yang dianggap

atau diduga mempunyai pengaruh biologi pada suatu organisme. Untuk

menarik komponen nonpolar dari suatu jaringan tumbuhan tertentu

dibutuhkan pelarut nonpolar, seperti petroleum eter atau heksana,

sedangkan untuk komponen yang lebih polar dibutuhkan pelarut yang

lebih polar juga, seperti etanol atau metanol (Dadang dan Prijono, 2008).

Terdapat beberapa metode ekstraksi. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan

beberapa faktor seperti sifat dari bahan yang akan diekstrak, daya

(49)

memperoleh ekstrak yang sempurna. Metode pembuatan ekstrak yang

umum digunakan antara lain adalah maserasi, perkolasi, soxhletasi, partisi,

dan ekstraksi ultrasonik. Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan

cara dingin dan panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi,

sedangkan cara panas antara lain yaitu metode refluk, soxhlet, digesti,

destilasi uap, dan infus (Kurnia, 2010).

Maserasi merupakan proses pengambilan komponen target yang dilakukan

dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam pelarut yang sesuai

dalam jangka waktu tertentu. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan

konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel. Larutan dengan

konsentrasi tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan

konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai

terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam

sel. Selama proses maserasi sesekali dilakukan pengadukan dan juga

pergantian pelarut (Harborne, 1998). Residu yang diperoleh dipisahkan kemudian filtratnya diuapkan. Filtrat yang diperoleh dari proses tersebut

(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium, dengan

menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan melihat pengaruh

konsentrasi 50% dan 90% inhibition of adult emergence (IE50 dan IE90) dari ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk dewasa.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2014 di :

1. Laboratrium Kimia dasar, jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung untuk pembuatan

ekstraksi.

2. Laboratorium Zoologi, jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung untuk

(51)

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar III Aedes aegypti. Telur nyamuk ini diperoleh dari Loka Litbang P2B2 (Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang) Ciamis

dalam bentuk kering dengan media kertas saring.

2. Sampel Penelitian

a. Kriteria Inklusi

1) Larva Aedes aegypti yang telah mencapai instar III, dan 2) Larva bergerak aktif

b. Kriteria Eksklusi

1) Larva mati sebelum perlakuan

2) Larva berasal dari alam bebas

3. Besar Sampel

Berdasarkan pedoman WHO (2005), penelitian mengenai uji larvasida

menggunakan 20 larva sampai 30 larva pada setiap kelompok uji. Peneliti

menggunakan 25 larva pada setiap kelompok uji. Pada penelitian ini

terdapat 6 kelompok uji dengan 4 kali pengulangan pada setiap kelompok

uji, maka pada penelitian ini dibutuhkan total larva sebanyak 600 larva.

Rincian jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai

(52)

Tabel 1. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian

Perlakuan

Jumlah Larva X Jumlah

Pengulangan Total

Kontrol (-): 0% 25 larva x 4 100 larva

Perlakuan I: 0,025% 25 larva x 4 100 larva

Perlakuan II: 0,050% 25 larva x 4 100 larva

Perlakuan III: 0,075% 25 larva x 4 100 larva

Perlakuan IV: 0,1% 25 larva x 4 100 larva

Perlakuan V: 0,125% 25 larva x 4 100 larva

Jumlah total larva yang

dipakai dalam penelitian

600 larva

D. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih (Allium sativum L.) yang telah dihancurkan sebanyak 3 g, ethanol 96% sebanyak 3 ml sebagai pelarut dan aquades untuk tempat berkembang larva serta

untuk melakukan pengenceran ekstrak. Waktu penelitian yang cukup

panjang sehingga penelitian ini juga memerlukan pelet kelinci dalam

bentuk padat sebagai makanan larva. Pakan berupa pelet kelinci digunakan

untuk menghindari terjadinya kekeruhan pada tempat pertumbuhan larva.

Pelet diberikan sebanyak 10 mg/l (WHO, 2005).

2. Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Alat untuk preparasi bahan uji, yaitu:

(53)

2) Kain kasa untuk memisahkan larva dengan air.

3) Gelas plastik ukuran ±400 ml untuk tempat meletakkan larva uji.

4) Sangkar nyamuk untuk meletakkan gelas tersebut pada waktu

dilakukan uji.

b. Alat untuk pembuatan ekstrak bawang putih, yaitu:

1) Timbangan untuk menimbang bawang putih yang diperlukan.

2) Blender untuk menghaluskan bawang putih.

3) Baskom plastik sebagai tempat atau wadah ekstrak.

4) Gelas plastik untuk merendam bawang putih yang telah

dihaluskan dengan ethanol 96%.

5) Alumunium foil untuk menutup gelas saat melakukan ekstraksi.

6) Saringan untuk memisahkan ekstrak ethanol bawang putih dengan

ampasnya.

7) Pipet ukuran 1 ml untuk mengambil ekstrak bawang putih.

c. Alat untuk Uji Efektivitas

1) Gelas ukur untuk mengukur jumlah air yang diperlukan.

2) Kasa nilon untuk menutup gelas tempat pertumbuhan larva.

3) Pipet larva untuk mengambil larva.

4) Lidi untuk mengetahui larva yang mati.

(54)

E. Prosedur Penelitian

Penelitian dibagi dalam 2 tahap, yaitu:

1. Tahap Persiapan

a. Preparasi Bahan Uji

Telur nyamuk Aedes aegypti yang dipakai pada penelitian ini diperoleh dari Ruang Insektarium Loka Penelitian dan Pengembangan

Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Ciamis, Pangandaran,

Jawa Barat. Bawang putih diperoleh dari kota Bandar Lampung.

b. Rearing Larva

Telur nyamuk dipindahkan ke dalam sebuah nampan yang berisi

media air selama 1-2 hari sampai telur menetas dan menjadi larva.

Larva akan berkembang dari stadium I sampai III yang berlangsung

selama 4-5 hari. Selama masa perkembangannya larva tersebut diberi

pakan berupa pelet.

c. Pembuatan Ekstrak Bawang Putih

Disiapkan ekstrak bawang putih yang diperoleh dari kota Bandar

Lampung. Pembuatan ekstrak bawang putih ini menggunakan pelarut

berupa ethanol 96%. Bawang putih sebanyak 3 g yang telah didapat

kemudian dibersihkan dengan menggunakan air kemudian dicacah

halus atau diblender (tanpa air). Setelah diblender potongan bawang

putih ditimbang terlebih dahulu baru kemudian dikeringkan dengan

cara diangin-anginkan. Setelah kering, potongan bawang putih

(55)

diperoleh hasil akhirnya berupa ekstrak bawang putih dengan

konsentrasi 100%. Untuk membuat berbagai konsentrasi yang

diperlukan dapat digunakan rumus:

Keterangan:

V1 = volume larutan mula-mula

M1 = konsentrasi mula-mula

V2 = volume larutan sesudah diencerkan

M2 = konsentrasi sesudah diencerkan

Tabel 2. Jumlah Ekstrak Bawang Putih yang Dibutuhkan pada Penelitian

X1 V2 X2

Pengulangan

(V1 x 4)

100% 200 ml 0,025% 0,05 ml 0,2 ml

100% 200 ml 0,050% 0,10 ml 0,4 ml

100% 200 ml 0,075% 0,15 ml 0,6 ml

100% 200 ml 0,1% 0,20 ml 0,8 ml

100% 200 ml 0,125% 0,25 ml 1 ml

Total 3 ml

d. Disiapkan aquades ±4800 ml sebagai media dalam penelitian ini.

e. Disiapkan 24 buah gelas plastik ukuran ±400 ml sebagai wadah media

dalam penelitian ini.

(56)

g. Disiapkan pipet ukur dengan ukuran 1 ml untuk mengukur ekstrak

bawang putih

h. Disiapkan 6 buah lidi yang digunakan untuk menyentuh larva agar

diketahui ada respon gerakan atau tidak.

2. Tahap Penelitian

Larutan uji merupakan ekstrak ethanol bawang putih (Allium sativum L.) dengan konsentrasi 0% sebagai kontrol negatif dan konsentrasi 0,025%;

0,050%; 0,075%; 0,1%; 0,125% sebagai perlakuan yang ditambahkan

pada masing-masing gelas uji. Kontrol negatif hanya menggunakan

aquades sebanyak 200 ml dengan kedalaman 5-10 cm. Efek bawang putih

dalam menghambat perkembangan larva menjadi stadium dewasa

dievaluasi dengan mengikuti pedoman standar pengujian Insect Growth Regulators (WHO, 2005).

Menurut pedoman WHO (2005) larva instar III Aedes egypti yang digunakan dalam pengujian ini. Durasi pengujian yang panjang maka

larva harus diberi makan (pelet kelinci) 10 mg/l dengan cara yang sama

pada masing-masing perlakuan dengan interval pemberian selama 2 hari.

Larva kontrol juga diberi makan dengan cara yang sama denga larva

perlakuan. Gelas-gelas uji dan kontrol ditutup dengan menggunakan kasa

nilon agar terhindar dari kotoran dan serangga yang masuk kemudian

(57)

stadium dewasa terbang ke lingkungan luar. Mortalitas larva dan pupa

dicatat setiap 24 jam (WHO, 2005).

Pada akhir pengamatan pengaruh bawang putih terhadap perkembangan

larva Aedes aegypti dinilai sebagai persentase jumlah larva yang tidak berhasil berkembang menjadi nyamuk dewasa yang viabel (Adult Emergence Inhibition, IE%). Eksperimen selesai ketika semua larva atau pupa pada kontrol mati atau berubah menjadi stadium dewasa. Kemudian

dilakukan analisis untuk mendapatkan nilai IE50 dan IE90.

F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel

a. Variabel Independen

Variabel independen adalah konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum L.).

b. Variabel Dependen

Variabel dependen adalah persentase jumlah larva yang tidak berhasil

menjadi stadium nyamuk dewasa (Adult Emergence Inhibiton, IE%).

2. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3. Definisi Operasional

No Variabel Definisi

(58)
(59)

4 Persentase

T : persentase jumlah larva yang berhasil menjadi

(60)

yang berhasil menjadi stadium nyamuk dewasa

2005). kosong

G. Analisis Data

Data yang diperoleh di uji analisis statistik menggunakan program software

statistik. Data hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan:

1. Uji normalitas data yaitu uji Saphiro-Wilk, jika hasilnya > 0,05 maka

distribusi data normal maka dapat menggunakan uji parametrik anova, tapi

jika distribusi data tidak normal (hasilnya < 0,05) menggunakan uji

alternatif yaitu uji Kruskal Wallis.

2. Analisis varians (Analysis of Variance / ANOVA)

Dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai IE%

Aedes aegypti antar kelompok uji. Uji ini di pilih untuk melihat perbedaan

pada data variabel numerik lebih dari 2 kelompok (Dahlan, 2008).

3. Least Significance Difference (LSD)

Dilanjutkan dengan pengujian LSD untuk mengetahui pasangan nilai mean

yang perbedaannya signifikan. Uji ini dilakukan setelah uji anova, uji ini

di maksudkan untuk mengetahui perbedaan yang bermakna pada

(61)

4. Analisis Probit

Dianalisis seberapa besar daya hambat ekstrak bawang putih terhadap

perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium dewasa yang

dinyatakan dengan IE50 dan IE90.

H. Diagram Alir

Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan proses penelitian dibuat

diagram alir seperti dibawah ini:

Kelompok I Kelompok II Kelompok III

Kelompok IV

Kelompok V Kelompok IV

Setiap kelompok perlakuan dilakukan dengan empat kali pengulangan

Diamati setiap 24 jam

Hitung jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada setiap kelompok perlakuan dan jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada kelompok kontrol

Hitung IE% pada setiap kelompok perlakuan

(62)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Simpulan Umum

Terdapat pengaruh ekstrak bawang putih (Allium sativum L) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.

2. Simpulan Khusus

a. Semakin meningkat konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) semakin efektif dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk dewasa sampai tingkat konsentrasi tertentu yaitu 0,125%.

(63)

B. Saran

1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pengaruh ekstrak

bawang putih (Allium sativum L.) sebagai penghambat perkembangan

spesies-spesies nyamuk lainnya yang berperan sebagai vektor penyakit

sehingga pemanfaatan ekstrak bawang putih dapat optimal.

2. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai isolasi bahan aktif

bwang putih yaitu allicin, terpenoid, alkaloid, dan flavonoid yang

digunakan sebagai zat penghambat perkembangan larva Aedes aegypti

supaya didapatkan hasil yang lebih efektif dan tidak mempengaruhi

kualitas air.

3. Sebaiknya dilakukan uji toksisitas ekstrak bwang putih terhadap organisme

(64)

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, N.S. 2005. Evaluasi Tiga Jenis Tumbuhan Sebagai Insektisida dan Repelan terhadap Nyamuk di Laboratorium. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anki S, Miron T, Rabinkov A, Wilchek M, Mirelman D.1997. Allicin from Garlic Inhibits Cysteine Proteinases and Cytophatic Effects of Entamoeba

histolytica, Antimicroba agent Chemotherapy.10 (2286-2288).

Anpalakan, T. 2012. Uji Pengaruh Ekstrak Vitex Trifolia L. Sebagai Larvasida pada Larva Nyamuk Aedes aegypti.Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.

Aradilla, A.S. 2009. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba (Azadirachta indica) tehadap Larva Aedes Aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

Arif, A., Syamsudin, U. 2005. Obat Lokal. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ganiswara S.G., Setiabudy R., Suyatna F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Arivoli, S. dan Tennyson, S. 2011. Larvicidal and Adult Emergence Inhibition Activity of Abutilon indicum (Linn.) (Malvaceae) Leaf Extracts Against Vector Mosquitoes (Diptera: Culicidae). Journal Of Biopesticides. 4 (1): 27 - 35 (2011).

Arnason, J.T. dan Bernards, M.A, 2010. Impact of Constituent Plant Natural Products on Herbivores and Pathogens. Can J. Zool. 88(615-627).

Atal CK., &amp; BM. Kapur, 2002, Cultivation and Utilization of Medicinal Plants., Regiolan Research Laboratory., Council of Scientific &amp; Industrial Research., Jammu-Tawi., India.

Backer, C.A., and Bakhuizen, R.C.B., 2008 Flora of Java, vol. II &amp; III, P.Noordhoff, Groningen.

(65)

Campbell, J.R., Kenealy, M.D., dan Campbell, K.L. 2003. Animal Sciences The Biology, Care and Production of Domestic Animals4th Edition. Mc Graw-Hill Higher Education. Singapore.

Campbell, N.A., Jane, B.R., Lawrence, G.M. 2004. Biology Fifth Edition. Diterjemahkan oleh: Manalu, W. Erlangga. Jakarta.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2012. Dengue and the Aedes aegypti Mosquito. San Juan.

Dahlan, M. S. 2008. Statistik untuk Kedokteran Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Pustaka Bunda. Jakarta

Darmansjah, I., Gan, S. 2005. Kolinergik. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ganiswara, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi, editor. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Davidson, M.V. 2004. Phytochemical. Http://micro.Magnet.fsu.edu? phytochemicals/pages/saponin.html (16 Agustus 2004)

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Daftar Komoditi Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/Pd.310/9/2006. Jakarta

Eckner MM., CAJ. Erdelmeier O. Sticher, and H.D. Reuter, 1993, " A Nover Amino Acid Glycoside and Three Amino Acids from Allium sativum L."., J. Nat. prod., Vol. 56., No. 6., p. 864-869.

Elimam, A.M., Elmalik, K. H., dan Ali, F.S. 2009. Larvicidal, Adult Emergence Inhibition and Oviposition Deterrent Effects of Foliage Extract from Ricinus communis L. against Anopheles arabiensis and Culex quinquefasciatus in Sudan.Tropical Biomedicine. 26(2): 130–139.

Farnesi, L.C., Brito, J.M., Linss, J.T., Marcelo, P.M., Valle, D., Rezende, G.L. 2012. Physiological and Morphological Aspects of Aedes aegypti Developing Larvae: Effects of the Chitin Synthesis Inhibitor Novaluron. PLoS One. 7(1): e30363.

(66)

Ghosh A., Chowdhury N., dan Chandra G. 2012. Plant Extracts as Potential Mosquito Larvicides. Indian J Med Res. 135(5):581-98.

Gionar, Y.R., Zubaidah, S., Stoops, C.A., and Bangs, M.J. 2005. Penggunaan Metode Microtitre Plate Assay untuk Deteksi Gejala Kekebalan terhadap Insektisida OP pada Tiga Spesies Nyamuk di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Entomologi dalam Peringatan Hari Nyamuk V, Bandung, 19 Agustus 2005.

Gunasekaran, K., Vijayakumar, T., Kalyanasundaram, M. 2009. Larvicidal & Emergence Inhibitory Activities of Neemazal T/S 1.2 PerCent Ec Against Vectors of Malaria, Filariasis & Dengue. Indian J Med Res. 130(2):138-45.

Hansel R; 2001Phytopharmaka (Grundlagen und. Praxis); 2.Aufl; Spinger Verlag, Berlin p.192-198.

Harborne, J.B. 2008. Phytochemical Methods a Guide to Modern Techniques of Plant Analysis. Chapman and Hall. London.

Hariana, A. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hoedojo. 2003. DBD dan Penanggulangannya. Majalah Parasitologi Indonesia. 6:31-45.

Kabir, K.E., Tariq, M.R., Ahmed, S., Choudhary, M.I. 2011. A Potent Larvicidal and Growth Disruption Activities of Apium Graveolans (Apiaveae) Seed Extract on The Dengue Fever Moquito, Aedes Aegypti (Diptera: Culicidae). Higher Education Commission. 20(20): 1-18.

Kemenkes RI. 2010. Demam Berdarah Dengue. Pusat Data dan Surveilan Epidemiologi. Jakarta.

Krishnan, K., Senthilkumar, A., Chandrasekaran, M., Venkatesalu, V. 2007. Differential Larvicidal Efficacy of Four Species of Vitex Against Culex quinquefasciatus Larvae. Parasitology Research. 101(6);1721-1723.

Kurnia, R. 2010. Ekstraksi dengan Pelarut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gambar

Gambar
Gambar 1. Kerangka Teori
Gambar 2. Hubungan Antarvariabel
Gambar 3. Larva Instar I Aedes aegypti (Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI ETANOL-AIR DARI EKSTRAK ETANOL BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP BAKTERI Streptococcus mutans DAN Pseudomonas.. aeruginosa

AKTIVITAS NTIBAKTERI FRAKSI SEMIPOLAR EKSTRAK ETANOL BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP BAKTERI Streptococcus mutans DAN Pseudomonas aeroginosa..

Hal ini mendorong untuk dilakukan penelitian tentang aktivitas antibakteri fraksi semipolar ekstrak etanol bawang putih ( Allium sativum L.) terhadap Streptococcus mutans yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol Bawang Putih (Allium sativum L .) terhadap perilaku seksual pada mencit... Universitas

Skripsi ini berjudul “Uji Depresan/ Potensiasi Narkose Natrium Tiobarbital Dengan Ekstrak Etanol Bawang Putih ( Allium sativum L ) Pada Mencit Putih Jantan ”. Tentunya

Penelitian dengan judul “Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Yang Berbeda Terhadap Daya Tetas Telur dan Kelulushidupan Larva Ikan Mas

efektivitas ekstrak etanol biji rambutan sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.. Jenis penelitian ini

Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan penelitian sebelumnya yaitu Perbandingan daya antifungi ekstrak etanol bawang putih (Allium sativum) dan ketokonazol