• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTUMBUHAN POST LARVA 2-13 UDANG WINDU (Penaeus monodon) DENGAN PEMBERIAN PAKAN ALAMI YANG BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTUMBUHAN POST LARVA 2-13 UDANG WINDU (Penaeus monodon) DENGAN PEMBERIAN PAKAN ALAMI YANG BERBEDA"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERTUMBUHAN POST LARVA 2-13 UDANG WINDU (Penaeus monodon) DENGAN PEMBERIAN PAKAN ALAMI YANG BERBEDA

Oleh

Nyi Ayu Ika Pratiwi

Pakan sebagai sumber nutrien dan energi yang menunjang produksi budidaya ikan atau udang. Penelitian pemberian pakan alami yang berbeda ini bertujuan untuk mengetahui pakan alami yang efektif berdasarkan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup benur udang windu (Penaeus monodon). Benur udang windu yang digunakan dalam penelitian mempunyai bobot rata-rata 1,17 mg, panjang rata-rata 5,3 mm, dan berumur PL 2. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan yaitu, pemberian AMI ( Naupli Artemia yang diperkaya dengan minyak ikan), pemberian BTC (Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii), pemberian BNC (Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Nannochloropsis), dan pemberian BTN (Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii dan Nannochloropsis). Data dianalisis menggunakan ANOVA dan uji BNT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan alami yang berbeda memberikan pertumbuhan berbeda. Pemberian naupli Artemia yang diperkaya minyak ikan memberikan pengaruh terbaik terhadap benur udang windu, pertambahan berat sebesar 2,61 mg, pertumbuhan panjang 5,96 mm dan kelangsungan hidup 89%.

(2)

ABSTRACT

THE GROWTH OF BLACK TIGER SHRIMP (Penaeus monodon) POST LARVAE 2-13 AFTER TREATED WITH DIFFERENT FEEDING

By

Nyi Ayu Ika Pratiwi

Feed is source of nutrient and energy from feeding which have influence for fish or shrimp culture. Giving different feed experiment was conducted to determine the effectiveness of feeding based on growth and survival rate for black tiger shrimp (Penaeus monodon) with initial average weight 1,17 mg, initial average body length 5,3 mm and old PL 2. Completely randomized design with four treatments and fout replications were used giving AMI (naupli Artemia was enriched by fish oil), giving BTC (Branchionus plicatilis was enriched by Tetraselmis chuii), giving BNC (Branchionus plicatilis was enriched by Nannochloropsis), giving BTN (Branchionus plicatilis was enriched by Tetraselmis chuii dan Nannochloropsis). The data was analyzed with ANOVA and continued with the LSD test. The result showed that giving different feed give different growth. Giving naupli Artemia was enriched by fish oil is optimal for black tiger shrimp, growth of body weight 2,61 mg, growth of body length 5,96 mm, and survival rate 89%.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

SANWACANA

Alhamdulillah dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahamat dan karunia – Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan (S.Pi) pada program studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung dengan judul “Pertumbuhan Post Larva 2-13 Udang Windu (Penaeus monodon) dengan Pemberian Pakan

Alami yang Berbeda “.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu, Ayah, dan kedua adikku atas semua dukungan, semangat, dan doa yang telah diberikan selama penulisan skripsi

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S, selaku dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3. Ibu Ir. Siti Hudaidah, M.Sc, selaku ketua program studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan dosen pembahas atas segala kritik, saran dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.

(12)

5. Bapak Yudha T. Adiputra, S.Pi, M.Si, selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Staf Karyawan BBPBL, yang telah membimbing penulis selama melaksanakan penelitian.

7. Seorang yang terkasih, Chandra Satria Putra yang selalu ada untuk penulis, banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitiannya, tempat menuangkan segala keluh kesah serta memberikan semangat tiada henti bagi penulis.

8. Teman-teman satu tim penelitian, Aris Chandra dan Rico Wahyu atas segala motivasi, bantuan tenaga, dan masukan yang diberikan kepada penulis demi kelancaran penelitian dan penulisan skripsi.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan, Afrima Nur Darajatun, Dike Fransiska, Dwinda Pangentasari, Jelita Noviantina, Reinita Orchid Febrisca Emilly, Sera Hardiyani, dan Yuli Widayati yang selalu ada disaat susah maupun senang, yang selalu ada untuk penulis dari menjadi mahasiswa sampai terselesaikannya skripsi, yang selalu memberikan keceriaan dan kebersamaan yang erat dan telah menemani penulis menjalankan hari-hari dikampus serta menjadi tempat menuangkan isi hati.

(13)

11.Teman-teman KKN tematik, Ari Ade Puspita, Bianda Thalita, Cindy, Bramantyo, Ardhi, Baron, dan Pandu atas kebersamaannya selama 40 hari serta doa dan dukungannya.

12. Teman–teman angkatan 2010, terima kasih atas kekompakan kesolidan, kebersamaan, dan persaudaraan kita selama ini sehingga kita semua mampu menghadapi berbagai masalah bersama-sama..

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Hanya dengan do’a yang dapat penulis berikan untuk membalas budi semuanya. Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik untuk kita semua, dan dengan segala kerendahan semoga skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat bagi kita semua, amin.

Bandar Lampung, November 2014

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Manfaat Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Kerangka Pikir ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Udang Windu (Penaeus monodon) ... 7

2.1.1 Taksonomi... 7

2.1.2 Morfologi... 7

2.1.3 Tingkah Laku... 10

2.1.4 Siklus Hidup... 10

2.2 Pengamatan Secara Visual Benur Udang yang Sehat ... 12

2.3 Pakan Udang Windu (Penaeus monodon) ... 13

2.3.1 Pentingnya Pakan Alami... 14

2.3.2 Pakan Alami ... 15

2.4 Biologi Tetraselmis chuii... 17

2.4.1 Klasifikasi dan Morfologi... 17

2.4.2 Habitat... 18

2.4.3 Kandungan Nutrisi... 18

2.5 Biologi Nannochloropsis sp... 19

2.5.1 Klasifikasi dan Morfologi... 19

2.5.2 Habitat... 20

2.5.3 Kandungan Nutrisi... 20

2.6 Biologi Branchionus plicatilis... 21

2.6.1 Klasifikasi dan Morfologi... 21

2.6.2 Habitat... 22

2.6.3 Kandungan Nutrisi... 22

2.7 Biologi Artemia... 23

2.7.1 Klasifikasi dan Morfologi... 23

2.7.2 Habitat... 24

(15)

2.8 Kualitas Air... 25

2.8.1 Suhu... 25

2.8.2 Salinitas... 25

2.8.3 Oksigen Terlarut... 26

2.8.4 Derajat Keasaman (pH)... 26

2.9 Kelangsungan Hidup... 26

2.10 Minyak Ikan... 27

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

3.2 Alat dan Bahan ... 28

3.3 Desain Penelitian ... 28

3.4 Prosedur Penelitian... 30

3.4.1 Persiapan ... 30

3.4.2 Pelaksanaan Penelitian ... 31

3.4.2.1Penebaran Benur ... 31

3.4.2.2Manajemen Pakan... 31

3.4.3 Parameter yang Diamati ... 32

3.4.3.1 Kelangsungan Hidup... ... 32

3.4.3.2 Pertumbuhan Panjang Harian... ... 33

3.4.3.3 Pertumbuhan berat Postlarva udang windu... 33

3.4.3.4 Kualitas Air ... 33

3.4.3.5 Uji Proksimat Protein... 34

3.4.4 Analisis Data... 35

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Proksimat Pakan Uji ... 36

4.2 Pertumbuhan ... 37

4.1.1 Pertumbuhan Panjang ... 38

4.1.2 Pertumbuhan Berat... 41

4.2 Kelangsungan Hidup ... 43

4.3Kualitas Air ... 45

V.SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 48

(16)

DAFTAR TABEL

(17)

v

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Skema Kerangka Pikir ... 6

Gambar 2. Bagian-bagian Tubuh Udang Windu (Penaeus monodon) .... 9

Gambar 3. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon) ... 12

Gambar 4. Morfologi Tetraselmis chuii ... 16

Gambar 5. Morfologi Nannochloropsis sp ... 18

Gambar 6. Morfologi Branchionus plicatilis ... 21

Gambar 7. Morfologi Artemia... 23

Gambar 8. Desain Penempatan Satuan Perlakuan ... 28

Gambar 9. Pertumbuhan Panjang Selama 12 hari Pemeliharaan ... 41

Gambar 10. Pertumbuhan Berat Selama 12 hari Pemeliharaan ... 43

(18)

1 I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Usaha budidaya perikanan saat ini berkembang pesat, baik pada perikanan air tawar, payau, dan perikanan laut, dapat dilihat dari semakin banyaknya masyarakat yang melakukan kegiatan budidaya perikanan baik dalam skala kecil maupun skala besar (Heryanto, 2006). Selain itu juga telah banyak ditemukannya teknologi-teknologi yang dapat meningkatkan kualitas, kuantitas budidaya dan mengatasi masalah lainnya dalam usaha budidaya perikanan, khususnya untuk budidaya udang windu (Penaeus monodon) sekarang ini (Rukyani,1993).

Udang windu merupakan komoditas unggulan Indonesia yang dapat menghasilkan devisa negara dari ekspor non migas (Rosenberry, 1995). Peluang usaha udang windu di Indonesia tergolong sangat baik. Produksi udang windu pada 2010 sebanyak 352.000 ton, pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 381.288 ton, pada tahun 2012 produksi menjadi 414.000 ton (KKP, 2012).

(19)

2 (80%)(BPPBAT Jepara, 2007). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam usaha pembenihan yaitu faktor pakan (Kompiang dan Ilyas, 1988).

Pakan merupakan faktor input yang memiliki peran cukup besar dalam menunjang produksi organisme budidaya karena berfungsi sebagai asupan nutrisi yang dapat menghasilkan energi sehingga dapat beraktivitas dengan baik. Pakan alami yang biasa diberikan oleh udang, seperti Nematoda, Rotifera, dan Artemia. Artemia merupakan pakan alami terbaik yang banyak digunakan oleh para

pembudidaya ikan ataupun udang dan belum dapat tergantikan oleh pakan alami apapun (Bhat, 1992). Artemia merupakan produk impor, harganya mahal, dan dijual dalam bentuk kista. Artemia memiliki keunggulan dalam kandungan nutrisi dan bagian tubuhnya yang mudah tercerna oleh organisme akuatik yang memangsanya (Kontara, 2001). Jika Artemia tidak beredar lagi di pasaran atau harga yang mahal bisa meningkatkan biaya produksi dan mengurangi nilai keuntungannya. Oleh karena itu, diperlukan pakan alami alternatif yang dapat menggantikan peran Artemia, salah satunya yaitu Rotifera. Rotifera telah lama dan secara luas digunakan sebagai pakan alami untuk larva-larva ikan dan udang (Sorgeloos, 1998). Rotifera juga mudah dicerna oleh pemangsanya tetapi rotifera memiliki kandungan nutrisi yang masih rendah jika dibandingkan dengan Artemia.

(20)

3 HUFA cukup tinggi yaitu Tetraselmis dan Nannochloropsis. Oleh karena itu, pada stadia post larva (PL), hari ke-2 sampai hari ke-13 benur akan diberi pakan alami yang berbeda-beda. Pakan alami yang diberikan yaitu zooplankton seperti Branchionus plicatilis yang diberi Tetraselmis chuii, Artemia sp. yang diperkaya dengan minyak ikan, Branchionus plicatilis yang diberi Tetraselmis chuii dan Nannochloropsis sp.dan Branchionus plicatilis yang diberi Nannochloropsis sp.

Pakan yang telah diperkaya ini disesuaikan dengan kondisi udang mulai dari bukaan mulut, nutrisi yang terkandung, pergerakannnya yang dapat menarik perhatian benih udang, dan kemudahan dalam mengkultur pakan alami tersebut. Melalui pakan diatas, kita dapat mengetahui jenis pakan alami efektif untuk benur udang windu. Penelitian ini diharapkan dapat meminimalisir kematian pada stadia post larva benur udang windu dan dapat menghasilkan benur udang yang

berkualitas.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan PL 2- PL 13 udang windu dengan pemberian pakan alami yang berbeda.

(21)

4 1.3Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu para petambak udang windu dalam mengatasi kendala yang terjadi seperti angka mortalitas yang tinggi pada proses budidaya dengan cara memberikan berbagai pakan alami yang efektif pada berbagai stadia PL benur udang windu untuk meminimalisir terjadinya kematian.

1.4Hipotesis

Ho : µo = 0 ; Pada selang kepercayaan 95% tidak ada pengaruh pemberian pakan alami yang berbeda terhadap pertumbuhan post larva 2-13 udang windu

(22)

5 1.5Kerangka Pikir

Usaha pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam sistem budidaya. Faktor penentu keberhasilan usaha pembenihan udang windu adalah ketersediaannya benur yang berkualitas, maka dari itu diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas benur. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas benur yaitu manajemen pakan. Pakan merupakan faktor input yang memiliki peran cukup besar dalam menunjang produksi benur karena berfungsi sebagai asupan nutrisi. Pakan yang diberikan pada benur merupakan pakan alami yang telah diperkaya diantaranya Artemia yang diperkaya dengan minyak ikan, Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii, Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Nannochloropsis sp., dan

Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii dan

Nannochloropsis sp. Pakan alami yang telah diperkaya ini diharapkan dapat

(23)

6 Gambar 1. Skema kerangka pikir

Branchionus

plicatilis(Tetraselmis chuii)

Branchionus plicatilis

(Nannochloropsis)

Branchionus plicatilis (Tetraselmis chuii+ Nannochloropsis sp.) Manajemen Pakan

Artemia sp.

(Minyak Ikan)

Pertumbuhan dan kelangsungan hidup PL 2- 13 udang windu meningkat Peningkatan Kualitas Benur

Usaha Pembenihan Udang Windu

(24)

7 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Udang Windu (Penaeus monodon) 2.1.1 Taksonomi

Udang yang dibudidayakan dalam tambak adalah udang laut yang umumnya seluruh tubuhnya terbungkus kulit yang keras dari bahan chitin, disebut eksoskeleton, kecuali sambungan antar ruas (Rachmatun dan Takarina, 2009). Lotz (1997) , klasifikasi udang windu adalah sebagai berikut :

Phyllum : Arthropoda

Subphyllum : Mandibulata Classis : Crustacea

Ordo : Decapoda

Familia : Penaeidae Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus monodon.

2.1.2 Morfologi

(25)

8 (kepala : 5 ruas, dada : 8 ruas) dan abdomen 6 ruas, terdapat ekor dibagian belakang. Pada cephalotorax terdapat anggota tubuh, berturut-turut yaitu antenulla (sungut kecil), scophocerit (sirip kepala), antenna (sungut besar),

mandibula (rahang), 2 pasang maxilla (alat-alat pembantu rahang), 3 pasang

maxilliped, 3 pasang pereiopoda (kaki jalan) yang ujung-ujungnya bercapit

disebut chela. Insang terdapat di bagian sisi kiri dan kanan kepala, tertutup oleh carapace (Bell dan Lightner, 1992).

(26)

9 Keterangan gambar :

A. Fase postlarva (PL-1) a. Esophagus

B. Dewasa b. Ruang cardiac

1. Carapace c. Ruang pyloric

2. Rostrum d. Cardiac plate

3. Mata majemuk e. Gigi-gigi cardiac 4. Antennules f. Cardiac ossicle 5. Prosartema g. Hepatopancreas

6. Antena h. Usus

7. Maxilliped i. Anus

8. Pereopoda 9. Pleopoda 10.Uropoda 11.Telson

(27)

10 2.1.3 Tingkah laku

Udang windu hidup di dasar perairan, tidak menyukai cahaya terang dan bersembunyi di lumpur pada siang hari, bersifat kanibal terutama dalam keadaan lapar dan tidak ada makanan yang tersedia, mempunyai ekskresi amonia yang cukup tinggi dan untuk pertumbuhan diperlukan pergantian kulit (moulting) (Sumeru dan Suzy, 1992). Pada saat proses pergantian kulit baru inilah udang tumbuh dengan pesatnya dan menyerap air lebih banyak sampai kulit luar yang baru mengeras (Dahril dan Muchtar, 1985). Pergantian kulit merupakan indikator dari pertumbuhan udang, semakin cepat udang berganti kulit berarti pertumbuhan semakin cepat pula.

(28)

11 2.1.4 Siklus hidup

Siklus hidup udang windu sebenarnya telah banyak diteliti antara lain oleh Motoh (1981) yang membagi daur hidup udang windu menjadi enam tahap, yaitu sebagai berikut.

a. Tahap embrio

Dimulai pada saat pembuahan sampai penetasan b. Tahap larva

Terdiri dari stadium naplius, zoea, mysis, dan postlarva. Akhir dari tahap ini ditandai oleh ruas abdomen keenam yang lebih panjang dari panjang cangkang dan warna tubuh yang transparan ditutupi oleh pita berwarna coklat gelap memanjang dari pangkal antena hingga telson.

c. Tahap juvenil

Pada stadium awal ditandai oleh warna tubuh yang transparan dengan pita cokelat gelap di bagian sentral. Tahap ini ditandai dengan fluktuasi perbandingan ukuran tubuh mulai stabil, yang berarti telah menginjak tahap udang muda.

d. Tahap udang muda

Pada tahap ini proposi ukuran tubuh mulai stabil dan tumbuh tanda – tanda seksual dimana alat kelamin pada udang windu jantan yaitu petasma mulai terlihat setelah panjang cangkangnya 30 mm, sedangkan pada betina thelycum mulai terlihat setelah panjang cangkang mencapai 37 mm.

e. Tahap sub adult

(29)

12 f. Tahap dewasa

Udang windu dewasa ditandai dengan kematangan gonad yang sempurna. Pada udang jantan mempunyai spermatozoa pada pasangan ampula terminalis dan pada udang betina mempunyai ovocytus yang telah berkembang di dalam ovariumnya. Siklus hidup udang windu dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Siklus hidup udang windu (Penaeus monodon) (Motoh, 1981)

2.2 Pengamatan secara visual benur udang yang sehat

Kriteria benur udang sehat berdasarkan pengamatan secara visual adalah: 1. Gerakan aktif dan berenang normal;

(30)

13 5. Tubuh tidak keropos, anggota tubuh lengkap;

6. Kotoran (bentuk memanjang, warna coklat/hitam/hijau, tidak mengapung); 7. Ujung ekor tidak geripis, tidak membengkak dan warna garis terangnya

putih, tidak kusam;

8. Ekor dan kaki jalan tidak menguncup; 9. Insang jernih dan bersih;

10.Kondisi isi usus penuh di bawah sinar matahari, dan tidak terputus-putus (BBPBAP Jepara, 2007).

2.3 Pakan udang windu (Penaeus monodon)

Kebutuhan zat pakan pada udang terdiri dari lima kelompok, yaitu protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral.

Lemak pakan berperan sebagai sumber energi dan penghasil energi tertinggi, sumber asam lemak terutama asam lemak esensial untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan proses metabolisme (Hastuti et al., 1999).

Protein dalam pakan terutama untuk pertumbuhan, pemeliharaan, dan sebagai sumber energi bagi Crustacea (Kompiang dan Ilyas, 1988). Pertumbuhan dan stadia mempengaruhi kebutuhan protein pakan bagi udang. Pada stadia larva kebutuhan protein lebih tinggi dibandingkan dengan stadium dewasa.

Karbohidrat merupakan sumber energi bagi udang. Selain sebagai sumber energi, karbohidrat juga berfungsi sebagai binder. Kebutuhan karbohidrat dalam pakan diperkirakan 20-30% (Hastuti et al., 1999).

(31)

14 Udang memperoleh mineral dari penyerapan langsung melalui insang, penyerapan melalui saluran pencernaan, dan kulit. Mineral sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan karena selama perkembangannya udang akan kehilangan beberapa bagian mineral dalam tubuh selama moulting (Shin, 1998).

Vitamin adalah senyawa organik yang diperlukan dalam jumlah yang sangat sedikit oleh semua mahluk hidup, tetapi sangat diperlukan karena tubuh tidak dapat mensintesa sehingga harus ada dalam pakan. Kekurangan salah satu vitamin akan menyebabkan penyakit atau gejala tidak normal (Shin, 1998).

2.3.1 Pentingnya pakan alami

Pakan alami sangat diperlukan dalam budidaya dan pembenihan organisme akuatik, karena akan menunjang kelangsungan hidup organisme tersebut. Pada saat telur udang baru menetas maka setelah makanan cadangan habis, benur udang membutuhkan pakan yang sesuai dengan bukaan mulutnya (Chumaidi et al., 1990).

Pakan alami ialah makanan hidup bagi larva atau benih ikan dan udang Dengan bentuk dan ukuran mulut yang kecil, benur sangat cocok diberikan pakan alami. Untuk tahap awal, pakan yang diperlukan adalah pakan alami yang tergolong fitoplankton. Pada tahap selanjutnya sesuai dengan perkembangan ukuran mulut , jenis pakan alami yang cocok diberikan yaitu yang tergolong zooplankton (Chumaidi et al., 1990)

(32)

15 baik. Pakan alami mempunyai kandungan gizi yang lengkap dan mudah dicerna oleh benur. Ukuran tubuhnya yang relatif kecil sangat sesuai dengan lebar bukaan mulut benur. Sifatnya yang selalu bergerak aktif akan merangsang benih/larva ikan untuk memangsanya. Pakan alami ini dapat memberikan gizi secara lengkap sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Suprayitno, 1986).

Pemberian pakan yang berlebihan atau tidak sesuai mengakibatkan kualitas air media sangat rendah. Disamping air media cepat kotor dan berbau amis, angka mortalitas benur pun semakin meningkat.

2.3.2 Pakan alami

Jenis - jenis pakan alami yang dikonsumsi udang sangat bervariasi tergantung bukaan mulutnya. Dalam usaha budidaya biasanya menggunakan pakan alami plankton. Plankton adalah jasad renik yang melayang di dalam kolom air mengikuti gerakan air. Plankton dapat dikelompokkan menjadi dua :

1. Fitoplankton, jasad nabati yang dapat melakukan fotosintesis karena mengandung klorofil; terdiri dari satu sel atau banyak sel.

2. Zooplankton, jasad hewani yang tidak dapat melakukan fotosintesis zoo-plankton memakan fitozoo-plankton. Zoozoo-plankton juga merupakan jasad hewani mikro yang melayang di dalam air yang pergerakannya dipengaruhi arus. Zooplankton adalah kategorisasi untuk organisme kecil (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

(33)

16 volume 20 liter, baru kemudian dapat diberikan pada larva udang windu pada Mysis (M) 3 – Post Larva (PL) 1 dengan kepadatan 3 - 4 individu/ml, pada PL 2 –

PL 5dengan kepadatan 8 - 10 individu/ml, dan PL 6 – PL 10 dengan kepadatan 11 - 13 individu/ml.

Cara pengkulturan rotifera yaitu rotifera dikultur dengan kepadatan 20 individu/ml. Kemudian dipanen pada hari ke-5 setelah mencapai kepadatan 100-150 individu sebanyak 30% dari total kultur. Media pemeliharaan yang dipakai biasanya menggunakan ekstrak pupuk kandang. Ekstrak tersebut ditampung dalam wadah yang akan digunakan sebagai wadah kultur rotifera. Setelah 7 hari, bibit rotifera ditebar pada media tersebut. Cara pemanenannya yaitu dengan menggunakan pompa air yang dialirkan pada wadah tertentu (Isnansetyo dan Kurniastuty,1995

(34)

17 2.4Biologi Tetraselmis chuii

2.4.1 Klasifikasi dan morfologi

Menurut Bougis (1979) klasifikasi Tetraselmis chuii. sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Phylum : Chlorophyta

Kelas : Prasinophyceae

Ordo : Pyraminonadales

Genus : Tetraselmis

[image:34.595.215.412.524.663.2]

Spesies : Tetraselmis chuiii. Tetraselmis chuii merupakan jenis mikroalga yang memiliki warna tubuh kehijauan atau dikenal dengan flagelata berklorofil. Alga bersel tunggal yang memiliki 4 buah flagella berwarna hijau. Dengan flagella tersebut maka tetraselmis dapat bergerak lincah dan cepat seperti hewan bersel tunggal. Ukuran selnya berkisar 7-12 mikron. Bentuk tubuhnya oval elips, klorofil merupakan pigmen yang dominan pada alga ini (Bougis, 1979). Morfologi Tetraselmis chuii dapat dilihat pada Gambar 4.

(35)

18 2.4.2 Habitat

Tetraselmis tumbuh dengan kondisi salinitas optimal antara 25 dan 35 ppm. Tetraselmis chuii masih dapat mentoleransi suhu antara 15-35oC, sedangkan suhu optimal berkisar antara 23o-25oC. Kisaran pH yang optimal bagi pertumbuhannya yaitu 8-9,5 (Fabregas et al, 1984).

2.4.3 Kandungan nutrisi

(36)

19 2.5Biologi Nannochloropsis sp

2.5.1 Klasifikasi dan morfologi

Susunan klasifikasi Nannochloropsis sp. (Hibberd, 2000) adalah sebagai berikut:

Domain: Eukaryota

Kingdom: Chromista Filum: Ochrophyta

Class: Eustigmatophyceae Genus: Nannochloropsis

Spesies: Nannochloropsis sp.

[image:36.595.235.434.576.732.2]

Menurut Fachrullah (2011), Nannochloropsis sp. memiliki ukuran sel 2-4 mikron, berwarna hijau dan memilki dua flagella (Heterokontous) yang salah satu flagella berambut tipis. Nannochloropsis sp. memiliki kloroplas dan nukleus yang dilapisi membran. Kloroplas memiliki stigma (bintik mata) yang bersifat sensitif terhadap cahaya. Nannochloropsis sp. dapat berfotosintesis karena memiliki klorofil. Ciri khas dari Nannochloropsis sp. adalah memiliki dinding sel yang terbuat dari komponen selulosa. Morfologinya dapat dilihat pada Gambar 5.

(37)

20 2.5.2 Habitat

Nannochloropsis sp. bersifat kosmopolit dapat tumbuh pada salinitas 0-35

‰. Salinitas optimum untuk pertumbuhannya adalah 25-35 ‰, dan suhu 25-30oC

merupakan kisaran suhu yang optimal. Mikroalga ini dapat tumbuh baik pada kisaran pH 8-9,5 dan intensitas cahaya 100-10000 lux. Nannochloropsis sp. lebih dikenal dengan nama Chlorella sp. laut dikultur untuk pakan Branchionus plicatilis atau Rotifera karena mengandung Vitamin B12 (Fachrullah, 2011).

2.5.3 Kandungan nutrisi

Nannochloropsis sp. memiliki kandungan lipid yang cukup tinggi yaitu 31-68% berat kering. Persentase PUFA (Poly Unsaturated Fattc Acid) utama pada Nannochloropsis sp. tetap stabil pada kondisi dengan keterbatasan cahaya, tetapi

pada kondisi dengan intensitas cahaya jenuh kandungan PUFA menurun yang diikuti dengan kenaikan proporsi SFA dan MUFA (Mono Unsaturated Fatty Acid). Nannochloropsis sp. mengandung Vitamin B12 dan Eicosapentaenoic acid

(38)

21 2.6 Biologi Branchionus plicatilis

2.6.1 Klasifikasi dan morfologi

Branchionus plicatilis merupakan salah satu rotifera yang diklasifikasikan

menurut Villeggas (1982).sebagai berikut : Filum : Trochelminthis

Kelas : Rotatoria/Rotifera Ordo : Monogonanta

Subordo : Ploima

Famili : Branchioninae Genus : Branchionus

Spesies : Branchionus plicatilis

Zooplankton ini berbentuk bilateral simetris, meyerupai piala. Kulit terdiri atas dua lapisan yitu hipodermis dan kutikula. Kutikula merupakan bagian kulit yang tebal yang disebut lorika. Tubuhnya terbagi menjadi 3 bagian yaitu kepala, badan, dan kaki atau ekor. Pada bagian kepala terdapat 6 buah duri. Sepasang duri panjang terdapat ditengah. Ujung bagian depan dilengkapi dengan gelang-gelang silia yang kelihatan seperti spiral disebut korona yang berfungsi memasukkan makanan dalam mulut (Villegas, 1982).

(39)
[image:39.595.210.415.85.293.2]

22 Gambar 6. Morfologi Brachionus plicatilis (Mokoginta, 2003).

2.6.2 Habitat

Branchionus plicatilis bersifat euthermal. Pada suhu 15oC masih dapat tumbuh, tetapi tidak dapat bereproduksi, sedangkan pada suhu di bawah 10oC akan terbentuk telur istirahat. Kenaikan suhu antara 15o-35oC akan menaikkan laju reproduksi zooplankton ini. Kisaran suhu antara 22o-30oC merupakan kisaran suhu optimum umtuk pertumbuhan dan reproduksi. Zooplankton ini juga bersifat euryhalin. Betina dengan telurnya dapat bertahan hidup pada salinitas 98 ppt, sedangkan salinitas optimalnya adalah 10-35 ppt (Fukusho dan Okauchi, 1982).

2.6.3 Kandungan nutrisi

Branchionus plicatilis mengandung protein berkisar 35,89%, lemak

(40)

23 dicerna, mudah dikembangbiakkan, mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi serta dapat diperkaya dengan asam lemak dan antibiotik (Lubzens et al.,1989)

2.7 Biologi Artemia

2.7.1 Klasifikasi dan morfologi

Artemia termasuk ke dalam zooplankton, yang banyak digunakan sebagai pakan hidup untuk budidaya ikan dan udang. Klasifikasi Artemia sebagai berikut : Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea

Ordo : Anostraca

Familia : Artemidae Genus : Artemia

Spessies : Artemia sp (Bougis, 1979).

Artemia dalam bentuk telur istirahat disebut kista. Ada beberapa tahapan proses penetasan artemia ini yaitu tahap hidrasi, tahap pecah cangkang, dan tahap payung atau tahap pengeluaran. Artemia yang baru menetas disebut dengan nauplius. Nauplius berwarna oranye, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron, dan berat 0,002 mg. Nauplius mempunyai sepasang antenulla dan sepasang antena. Diantara antenulla terdapat bintik mata yang disebut dengan ocellus. Sepasang mandibula terdapat di belakang antenna. Sedangkan labrum (semacam mulut) terdapat dibagian ventral (Sorgeloos, 1983).

(41)
[image:41.595.165.461.143.280.2]

24 antenna sebagai alat sensori, saluran pencernaan yang telihat jelas, dan 11 pasang thorakopoda (Sorgeloos, 1983). Morfologi Artemia dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Morfologi Artemia (Anonim, 1990).

2.7.2 Habitat

Artemia hidup di daerah-daerah tropis, subtropis, dan dingin pada perairan-perairan yang memiliki kadar garam tinggi, dimana pemangsa-pemangsa tidak dapat bertahan hidup (Mudjiman, 1988). Umumnya Artemia dapat hidup pada kisaran temperatur 6o-40oC, dan optimum antara 25o-30oC, namun sangat tergantung pada setiap strain (McCrae, 1996).

2.7.3 Kandungan nutrisi

Kandungan protein Artemia cukup tinggi. Nauplius Artemia mengandung protein 42 % sedangkan Artemia dewasa mencapai 60 % berat kering. Menurut Watanabe et al. (1983) dalam Greco et al. (2005) Artemia dewasa mengandung 61,6 % protein. Hal ini diperkuat oleh pendapat Schumann (2000) yang menyatakan bahwa kandungan protein Artemia dewasa dapat mencapai 63%.

(42)

25 arginin, dan triptofan. Protein nauplius Artemia apabila dibandingkan dengan Artemia dewasa masih kekurangan akan histidin, metionin, fenialanin, dan treonin

(Mudjiman, 1988). 2.8Kualitas air

Kelulusan hidup (survival rate) dan pertumbuhan organisme perairan juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan seperti udang antara lain suhu, derajat keasaman, kadar oksigen terlarut, bahan-bahan yang berpotensi racun seperti amonia dan nitrit (Effendi, 2003).

2.8.1 Suhu

Suhu air mempunyai peranan paling besar dalam perkembangan dan pertumbuhan udang. Kecepatan metabolisme udang meningkat cepat sejalan dengan naiknya suhu lingkungan. Kelarutan gas O2 dan CO2, amonia, dan gas lainnya juga dipengaruhi oleh suhu air. Semakin tinggi suhu air maka kelarutan gas dalam air tersebut akan semakin rendah. Secara umum suhu optimal bagi udang windu adalah 29-32oC (SNI, 2006).

2.8.2 Salinitas

(43)

26 2.8.3 Oksigen terlarut (DO)

Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah merupakan faktor yang paling oksigen dalam air dipengaruhi suhu dan kadar garam. Kelarutan oksigen dalam air menurun kalau suhu dan kadar garam meningkat atau tekanan udara menurun. Konsentrasi oksigen terlarut minimum untuk menunjang pertumbuhan optimal udang adalah 4 ppm (Tsai, 1989).

2.8.3 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman merupakan logaritma negatif dari ion-ion hidrogen yang terlepas dari suatu cairan. Nilai pH suatu perairan dapat dijadikan sebagai indikator baik buruknya suatu perairan dan dapat berpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan udang windu. Kisaran normal pH untuk pemeliharan udang windu berkisar antara 7,5 – 8,5.

Nilai pH yang rendah menyebabkan perairan asam, dan mengakibatkan gangguan dalam proses penyerapan kitin sehingga udang menjadi keropos, sedangkan pada pH tinggi menyebabkan perairan basa yang mengakibatkan peningkatan daya racun amonia (Effendie, 2003).

2.9 Kelangsungan hidup

(44)

27 2.10 Minyak ikan

(45)

28 III. METODE PENELITIAN

3.1Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada Mei– Juni 2014, di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung.

[image:45.595.122.521.372.553.2]

3.2Alat dan Bahan

Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian

No Alat Bahan

1 Alat Tulis Benur pada stadia PL 2 Selang Aerasi Branchionus plicatilis 3 pH meter Artemia

4 DO meter Nannochloropsis sp 5 Termometer Pupuk Conway 6 Bak pemeliharaan (4x2x1,5m3) Alkohol 70% 7 Saringan Tetraselmis sp 8 Alat-alat penunjang pengulturan Minyak ikan 9 Refraktometer

10 Wadah dengan volume 10 liter 11 Timbangan digital

3.3Desain Penelitian

Penelitian disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan yaitu :

(46)

29 b. Perlakuan 2 : Pemberian Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan

Tetraselmis chuii, diberi kode BTC.

c. Perlakuan 3 : Pemberian Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Nannochloropsis sp, diberi kode BNC.

d. Perlakuan 4: Pemberian Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii dan Nannochloropsis sp, diberi kode BTN.

Perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Penempatan setiap satuan percobaan dilakukan secara acak. Desain penempatan satuan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Desain penempatan satuan perlakuan

Keterangan :

AMI1, AMI2, AMI3, AMI4: Perlakuan dengan pemberian pakan Artemia sp. yang diperkaya dengan minyak ikan

BTC1, BTC2, BTC3, BTC4: Perlakuan dengan pemberian pakan Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii

BNC1, BNC2, BNC3,BNC4: Perlakuan dengan pemberian pakan Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Nannochloropsis sp.

(47)

30 BTN1, BTN2, BTN3, BTN4: Perlakuan dengan pemberian pakan Branchionus

plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii dan

Nannochloropsis sp.

Model statistik yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya, 2002) :

Yij = µ + βi + εij

Keterangan

Yij : Pengaruh pemberian pakan alami yang berbeda pada stadia post larva udang windu (Penaeus monodon) pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j µ : Rataan umum

βi : Pengaruh pemberian pakan alami ke-i

εij : Galat percobaan pemberian pakan ke-I dan ulangan ke-j

3.2Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dilakukan dengan dua tahap yaitu, persiapan dan pelaksanaan.

3.2.1 Persiapan

Hal-hal yang dilakukan saat persiapan penelitian sebagai berikut :

1. Bak fiber ukuran 4 x 2 x 1,5 m, wadah larva udang dengan volume 10 liter dan perlengkapan aerasi disiapkan.

2. Semua wadah, bak dan perlengkapan aerasi dicuci, dikeringkan, dan disemprotkan alkohol pada setiap wadah dan perlengkapan aerasinya.

(48)

31 4. Bagian atas bak ditutup dengan plastik untuk menghindari kontak langsung

dengan lingkungan dan menjaga suhu agar tetap stabil.

3.2.2 Pelaksanaan Penelitian 3.2.2.1Penebaran Benur

Udang windu stadium PL 2 sebelum dimasukkan ke dalam wadah dengan volume air laut 5 liter diadaptasikan terlebih dahulu terhadap salinitas 30 ppt. Setiap wadah 20 ekor/liter, sehingga padat tebarnya 100 ekor. Pemeliharaan dilakukan hingga PL 13.

3.4.2.2 Manajemen Pakan

Pakan yang diberikan selama penelitian adalah pakan alami. Untuk meningkatkan kualitas benih udang maka jenis pakan alami yang akan diberikan telah ditentukan. Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii, Artemia sp.yang diperkaya dengan minyak ikan, Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Tetraselmis chuii dan Nannochloropsis sp. dan Branchionus plicatilis yang diperkaya dengan Nannochloropsis sp.pada stadia PL 2 – PL 13.

(49)

32 Sedangkan cara pengkayaan Branchionus plicatilis yaitu memanen dari skala masal, lalu dicuci dengan air laut kemudian dipindahkan pada ember. Nannochloropsis juga dipanen, dicuci dengan air laut dan dipindahkan pada ember.

Dan untuk Tetraselmis, dikultur menggunakan bibit murni. Tetraselmis dipanen dan dicuci lalu di letakkan pada ember. Setelah semua bahan pengkaya sudah disiapkan, maka Nannochloropsis dan Tetraselmis langsung diberikan kepada Branchionus plicatilis. Setelah itu, dibiarkan selama 3 jam, lalu Branchionus plicatilis baru dapat

diberikan ke benur udang windu. 3.4.3 Parameter yang diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kelangsungan hidup, pertumbuhan panjang harian, perkembangan berat mutlak, kualitas air, dan uji proksimat protein.

3.4.3.1 Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup udang windu merupakan perbandingan jumlah benur yang hidup dengan total benur yang ditebar pada awal pemeliharaan. Menurut Effendie (1997) persamaan yang digunakan mengukur kelangsungan hidup adalah :

Keterangan :

SR : Kelangsungan hidup (Survival Rate) (%)

Nt : Jumlah benur yang hidup di akhir penelitian (ekor) No : Jumlah total benur awal penebaran (ekor)

SR =

(50)

33 3.4.3.2Pertumbuhan panjang harian

Pertumbuhan panjang harian menurut Heryanto (2006) diukur dengan menggunakan rumus :

α = ∆L . ∆t-1 Keterangan :

α : Pertumbuhan panjang harian (mm/hari) ∆L : Perubahan panjang (mm)

∆t : Perubahan waktu (hari)

3.4.3.3Pertambahan Berat Postlarva P. monodon.

Pengukuran berat tubuh rata-rata postlarva P. monodon diukur setiap 4 hari sekali, berdasarkan rumus Effendie (1979).

ΔW = Wt – Wo

Keterangan :

ΔW : pertambahan berat tubuh (miligram)

Wo : berat tubuh rata-rata pada awal penelitian (miligram) Wt : berat tubuh rata-rata pada hari ke-t (miligram)

3.4.3.4Kualitas Air

(51)

34 3.4.3.6 Uji Proksimat Protein

Uji proksimat dilakukan pada zooplankton yang diperkaya. sampel diuji di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung menggunakan metoda Gunning yang telah dikembangkan oleh Johann Kjeldahl.

- Bahan ditimbang 0,5 – 1,0 gr dimasukkan dalam labu Kjeldahl, ditambahkan 10 gr K2S atau Na2SO4 anhidrat, dan 10 – 15 ml H2SO4 pekat. Kalau distruksi sukar dilakukan perlu ditambah 0,1 – 0,3 gr CuSO4 dan gojok

- Kemudian dilakukan distruksi diatas pemanas listrik dalam lemari asam, mula mula dengan api kecil, setelah asap hilang api dibesarkan, pemanasan diakhiri setelah cairan menjadi jernih tak berwarna lagi

- Dibuat perlakuan blangko, yaitu seperti perlakuan diatas tanpa contoh.

- Setelah dingin tambahkan kedalam labu Kjeldahl aquades 100 ml, serta larutan NaOH 45% sampai cairan bersifat basis, pasanglah labu kjeldahl dengan segera pada alat distilasi.

- Labu Kjeldahl dipanaskan sampai amonia menguap semua, distilat ditampung dalam erlenmeyer berisi 25 ml HCL 0,1N yang sedang diberi indikator PhenolPtalein 1 % beberapa tetes. Distilasi diakhiri setelah distilat tertampug sebanyak 150 ml atau setelah distilat yang keluar tak bersifat basis.

- Kelebihan HCl 0,1 N dalam distilat dititrasi dengan larutan basa standar (larutan NaOH 0,1 N)

- Perhitungan kandungan protein dalam sampel dihitung menggunakan rumus:

(52)

35 Keterangan:

Faktor Konversi = 6,25 (setara dengan 0,16 gram nitrogen per gram protein)

3.4.4 Analisis Data

(53)

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pemberian pakan alami yang berbeda pada benur udang windu memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup bagi benur

2. Artemia yang diperkaya minyak ikan menunjukkan hasil terbaik dari segi pertumbuhan dan kelangsungan hidup benur udang windu.

5.2Saran

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Ache, B. W. 1982. “Chemoreception and Thermoreception in The Biology of Crustacea”. Academic Press New York : 369-393.

Anonim, 1990. Pembudidayaan Artemia untuk Pakan Udang dan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. 2007. Penerapan Best Management Practices (BMPs) pada Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) Intensif. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Bell, T. A. and D.V. Lightener. 1992. Shrimp Facility Clean-up and Re-stocking Procedures. The Cooperative Extension, University of Arizona, Tucson, Arizona, USA.

Bhat, B. V. 1992. “Potentials and Prospects for an Artemia Aquabussines in India”. Seafood Export I (24) : 27-31

Bougis, P. 1979. Marine Plankton Ecology. American Elsevier Publising Company. New York. 41-52

Cahyaningsih. 2006. “Persiapan Tambak Udang”. Lokakarya Pengelolaan Budidaya Udang. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Bekerja Sama dengan American Soybeans Association. Yayasan Pendidikan Wijayakusuma dan Institut Politeknik Indonesia.

Cheng, J. H. 1986. “The Effect of Salinity on The Osmotic and Ionic Concetration in The Hemolymph of Penaeus monodon and Penaeus penicullatus”. In J. L. Maclean, L. B. Dizon and L. V. Hosillos (Eds). The First Asian Fisheries Forum. Philippines : Asian Fisheries Society. p : 633-636.

Cho dan Watanabe, T. 1988. Nutrition and Marine Culture. Departemen of Aquatic Bioscience. Tokyo University of Fisheries.

(55)

Dahril, T., dan Muchtar, A. 1985. Biologi Udang Yang Dibudidayakan Dalam Tambak. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

De Man, J.M. 1997. Kimia Pangan. Bandung : Penerbit ITB.

Effendie H. 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi pengelolaan dan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.

Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara. Fabregas, Jaime. 1984. Growth of Marine Microalga Tetraselmis svecica in Batch

Culture with Different Salinities and Concentration. Publisher. B.V. Amsterdam.

Fast, A. W., and Lester, L. J. 1992. “Marine Shrimp Culture : Principles and Practices”. Development in Aquaculture and Fisheries Science, 23.

Fachrullah, Muhammad Rezza. 2011. Laju Pertumbuhan Mikroalga Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka. Skripsi. Bogor : IPB. 102 hlm.

Fukusho K. dan M. Okuchi. 1982. Strain and Size of The Rotifer, Branchionus plicatilis being Cultured in South East Asian Countries. Bull. Nath. Res. Ins. Aquaculture 3 : 107-109.

Guyton AC, Hall JE, 1996, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi IX, Penerjemah: Setiawan I, Tengadi LMAKA, Santoso A, Jakarta: EGC. 63-85.

Handari, R.D. 2002. Teknologi dan Kontrol Kualitas Pengolahan Pakan di PT Charoen Pokphand Sidoarjo Jawa Timur. Laporan Praktek Kerja Lapangan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Hariati, A. M. 1989. Makanan Ikan. UNIBRAW / LUW / Fisheries Product Universitas Brawijaya. Malang. hal 21-35.

Hastutik, W., Mulistyani, W., dan Latief, M. 1999. Peranan Pakan Alami Untuk Meningkatkan Mutu Benur. Jepara : BBPBAP

Heryanto, H. 2006. Produksi Tokolan Udang Windu Penaeus monodon Fab. dalam Happa dengan Padat Penebaran 1000, 1500, 2000, 2500 ekor/m2. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Hibberd, M.K. 2000. Performance Assessment in The Science Classroom. New York: GLENCOE McGraw-Hill.

(56)

Karim, M. Y. 2005. Kinerja Pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata Forsska) pada Berbagai Salinitas Media dan Evaluasinya pada Salinitas Optimum Dengan Kadar Protein Pakan Berbeda. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 75 hal.

Kompiang, I. P., dan Ilyas. 1988. “Nutrisi Ikan dan Udang Relevansi Untuk Larva/ Induk”. Proseding Nasional Pembenihan Ikan dan Udang. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan UNPAD Hal : 248-278.

Kontara, E. K. 2001. “Aplikasi Artemia Dewasa Yang Diperkaya Dengan Asam Lemak Omega-3 Pada Pemeliharaan Benih Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis)”. Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan Bekerja Sama Dengan Japan International Cooperation Agency Hal : 119-129.

Leger, P. 1980. Technique to Manipulate The Fatty Acid Profile in Artemia Nauplii and the Effect on Its Nutrision Effectiveness for Marine Crustacean Mysidopsis bahia (M). University Press. Wetteren.

Leger P., D. A. Bengston, K. L. Simpson, and P. Sorgeloos. 1986. The Use and Nutritional Value of Artemia as a Food Source. 521-623. In : Oceanography and Marine Biology. Annu. Rev., Vol 24. Barnes M.(Ed). Aberdeen Univ. Press, Abedeen, Scotland. 687 p.

Lubzens, E., A. Tandler and G.Minkoff. 1989. Rotifer as food in aquaculture. Hydrobiologia. 186/187 : 399-400.

Lotz, J. M. 1997. Viruses, Biosecurity and Spesific Pathogen Free Stocks in Shrimp Aquaculture. World Journal of Microbiology and Biotechnology 13 : 405-413. Mattjik dan Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan

Minitab. Bogor : IPB Press.

McCrae, J. 1996. Oregon Developmental Species Brine Shrimp Artemia sp. Oregon Departement of Fish and Wildlife.

Mokoginta, Ing. 2003. Budidaya Pakan Alami Air Tawar, Modul : Budidaya Pakan Alami.

Motoh, H. 1981. “Studies on The Fisheries Biology of The Giant Tiger Prawn Penaeus monodon”. The Philippines Technical Report no 7. Philippines : Aquaculture Departement Southeast Asian Fisheries Development Center. Mudjiman, A. 1988. Budidaya Udang Putih. Penebar Swadaya. Jakarta. 57 hal. National Research Council (NRC). 1993. Nutrient Requirement of Fish Subcomittee

(57)

Rachmatun dan Takarina, 2009. Budidaya udang windu . Universitas Diponegoro. Buku Ajar Mata Kuliah Budidaya udang. 33 hal

Rosenberry, B. 1995. World Shrimp Farming. Annual Report San Diego : Shrimp News International.

Rostini, A. W. 2007. Budidaya Makanan Alami. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. 48 hal

Rukyani. 1993. Pengaruh umur dan kepadatan kultur Chlorella sp. terhadap perkembangan populasi Brachionus sp. Balai Penelitian Perikanan Air Tawar. Bull. Pen.Perik. Darat 5 (2): 1-5.

Rusdi, I. dan M. Y. Karim. 2006. Salinitas Optimum bagi Sintasan dan pertumbuhan crablet Kepiting Bakau (Scylla paramamosain). Jurnal Sains & Teknologi, Volume 6 No. 3. Hal 149-157.

Schumann, K. 2000. Tips For Artemia Hatching, Growing The Shrimp to Adults. Located on the Web at www.aqualink. com/marine/z-atemia. Html

Serang, M. S., 2006. Pengaruh Kadar Protein dan Rasio Energi Protein Pakan Berbeda Terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Rajungan (Portunus pelagicus). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59 hal.

Setiawati. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Shin, Y. S. 1998. “Nutrient Requirment of Penaeid Shrimp”. Department of Marine Food Science. National Taiwan Ocean University. Aquaculture 164 : 77-93.

Shuanglin, D. 2002. Protein Restriction With Subsquent Realimention on Growth Performance of Juvenile Chinese Shrimp (Fenneropenaeus chinensis). Jurnal Aquaculture, 210:343-358.

Sorgeloos, P. 1983. The Use of Brain Shrimp Artemia in Crustacean Hatcheries and Nurseries. In CRC Handbook of Mariculture (1): Crustacean Aquaculture. J. P. McVey and J. P. McVey and J. R. Moore (Eds). CRC Press Inc. Florida

Sorgeloos, P. 1998. Progress in live food production and use in fish and shellfish hatcheries. Suisanzosoku 46: 409-410.

Sorgeloos, P., Dhert, P., and Candreva, P. 2001. “Use of The Brine Shrimp Artemia sp in Marine Fish Larviculture”. Aquaculture 200 : 147-159.

Standar Nasional Indonesia (SNI). 2006. Produksi Benih Udang Windu (Penaeus monodon) Kelas Benih Sebar. Jakarta. 15: 9-10.

(58)

Sumeru, S. U dan Suzy Anna. 1992. Teknik Pembuatan Pakan Udang. Jakarta. Direktorat Jendral Perikanan.

Suprayitno, SH. 1986. Kultur Makanan Alami. Direktorat Jendral Perikanan dan International Development Research Centre. INFIS Manual Seri no.34.35 pp of GiantGouramy Larvae in Chorn Lim (eds) Fish ang feed Technology research inIndonesia- RIFCA. Ministry of Agriculture Indonesia. P. 107 – 112.

Supriantini E., Widowati I. dan Ambariyanto. 2007. Kandungan Asam Lemak Omega-3 (Asam Linoleat) pada Kerang Totok Polymesoda erosa yang diberi Pakan Tetraselmis chuii dan Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 5 No. 1, April 2013.

Suryanti, Y., Priyadi, A., dan Mundriyanto, H. 2003. “Pengaruh Rasio Energi dan Protein Yang Berbeda Terhadap Efisiensi Pemanfaatan Protein Pada Benih Baung (Mystus nemurus C. V.)”. Jurnal Perikanan Indonesia. Volume 9 : 2-4 Nomor 1.

Sutaman. 1993. “Petunjuk Praktis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga”. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Tacon, A. 1987. The Nutrition and Feeding of Farmed Fish and Shrimp. A Training Manual (2) Nutrient Source and Composition. FAO. Brasilia

Tsai, C. K. 1989. “Pengelolaan Mutu Air (Shrimp Pond Water Quality Management)”. Lokakarya Pengelolaan Budidaya Udang. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Bekerja Sama dengan American Soybeans Association. Yayasan Pendidikan Wijayakusuma dan Institut Politeknik Indonesia.

Villegas, C. T. 1982. Culture and Screening of Food Organism as Potential Larva Food for Finfish and Shelfish. Report of the Training Course on Growing Food Organism for Fish Hatchery. FAO-SEAFDEC. I1oilo.

Waggoner and Speer. 1999. Lipid and Membrane Function in Green Algae, Biochim. Biophys. Acta. (1302): 17-45.

Watanabe, T., et al. 1980. “The production of food organisme with particular emphasis on rotifer”. Coastal Aqua, Songkla, Thailand.

Yuniarso, Tommy. 2006. Peningkatan Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan, dan daya Tahan Udang Windu Stadium PL 7- PL 20 Setelah Pemberian Silase Artemia yang telah Diperkaya dengan Silase Ikan. Skripsi. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 61-62.

Gambar

Gambar 1. Skema kerangka pikir
Gambar 2. Bagian-bagian tubuh udang windu (Sutaman, 1993)
Gambar 3. Siklus hidup udang windu (Penaeus monodon)
Gambar 4. Morfologi Tetraselmis chuii (Rostini, 2007).
+5

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALAMI Daphnia sp YANG DIPERKAYA DENGAN TEPUNG SPIRULINA TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN LARVA IKAN.. KOMET

• Teknologi pembuatan Pakan Mikropartikel dengan bahan baku ikan Layur dan telur bebek telah berhasil ditemukan dan memenuhi persyaratan untuk dikonsumsi dan disukai

Pakan yang digunakan untuk !ase post larva yakni pakan buatan yang diberikan sebanyak % kali sehari dan pakan alami ( Artemia salina) diberikan sebanyak  kali sehari

Pemberian pakan larva udang vanamei dengan artemia produk lokal, khususnya artemia produk lokal yang diperkaya dengan sel diatom menunjukkan nilai kandungan nutrisi yang

KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa pada perlakuan pemberian pakan alami pada larva ikan betok hasil terbaik pertumbuhan terdapat pada PKA yaitu

Pakan alami merupakan makanan yang tumbuh di alam tanpa campur tangan manusia secara langsung, sedangkan pakan buatan merupakan makanan ikan yang dibuat dari campuran

Pemberian pakan larva udang vanamei dengan artemia produk lokal, khususnya artemia produk lokal yang diperkaya dengan sel diatom menunjukkan nilai kandungan nutrisi yang

Pengembangan penggunaan probiotik RICA telah diaplikasikan pada pemeliharaan larva udang windu mulai dari stadia 4 pasca larva (PL4) yang diketahui dapat meningkatkan resistensi