ABSTRACT
PROSECUTION PRACTICE TOWARD NARCOTICS USER (Study on Attorney of Bandar Lampung)
By IRFANSYAH
Implementation of rehabilitation in Narcotics Act requires the whole subsystem law enforcement officials to implement it in accordance with the duties and functions of each. The problem of this research are: (1) How is prosecution practice toward narcotics user on Attorney of Bandar Lampung? (2) Why the disparity in the prosecution of drug users between imprisonment and medical rehabilitation?
The approach used is a normative juridical and juridical empirical approach. Data collected by literature and field studies, further data is analyzed qualitatively.
Research results and discussion indicate: (1) The practice of prosecution of drug users carried out after receiving the Attorney files or results of the investigation of the police investigators. The public prosecutor made the indictment and after indictment is completed and then made the transfer case letter addressed to the District Court. Public Prosecutor in the prosecution is based on materials and information both from witnesses and the accused and the instructions in the form of urine test results in the laboratory. It also considers the factors that cause the defendant committed the crime. (2) The cause of the disparity between the prosecution of drug users imprisonment and medical rehabilitation is based on Circular Letter of the Attorney General of the Republic of Indonesia Number: B-136 / E / EJP / 01/2012, the defendant was arrested by investigators in a state caught and found evidence disposable, their certificate of laboratory test positive for narcotics investigator on request, not a recidivist, any physician assessment results recorded in the medical record or the need for medical rehabilitation and social rehabilitation and there is no evidence that he or concurrently as a dealer / manufacturer of narcotics. Public Prosecutor demanded imprisonment if not meet the criteria as set out in the Circular Letter.
Suggestions in this study were: (1) the Attorney advised to increase the professionalism of the work optimally in prevention effort of narcotics criminal (2) Attorney advised to minimize disparities in the prosecution of the two actors who were committing the crime of drug abuse
ABSTRAK
PRAKTIK PENUNTUTAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA (Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)
Oleh IRFANSYAH
Pemberlakuan rehabilitasi dalam Undang-Undang Narkotika menuntut seluruh subsistem aparat penegak hukum untuk mengimplementasikannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung? (2) Mengapa terjadi disparitas penuntutan terhadap pengguna narkotika antara pidana penjara dan rehabilitasi medis?
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika dilaksanakan setelah Kejaksaan menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik kepolisian. Penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan selesai kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri. Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan didasarkan pada bahan dan keterangan baik dari saksi maupun terdakwa dan petunjuk berupa hasil tes urin di laboratorium. Selain itu juga mempertimbangkan faktor-faktor penyebab terdakwa melakukan tindak pidana. (2) Penyebab disparitas penuntutan terhadap pengguna narkotika antara pidana penjara dan rehabilitasi medis adalah berdasar Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor: B-136/E/EJP/01/2012, yaitu terdakwa ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap tangan dan diketemukan barang bukti sekali pakai, adanya surat keterangan uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik, bukan residivis, adanya hasil assesmen dokter yang dicatat pada rekam medis perlunya rehabilitasi medis dan atau rehabilitasi sosial serta tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi pengedar/produsen gelap narkotika. Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana penjara apabila tidak memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Surat Edaran tersebut.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Kejaksaan disarankan untuk meningkatkan profesionalisme kerja secara lebih optimal dalam upaya penggulangan tindak pidana penyalahgunaann narkotika (2) Kejaksaan disarankan untuk meminimalisasi disparitas penuntutan terhadap dua pelaku yang sama-sama melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika
i
PRAKTIK PENUNTUTAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA (Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)
Oleh
IRFANSYAH
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM
Pada
Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
PRAKTIK PENUNTUTAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA (Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)
(Tesis)
Oleh IRFANSYAH
NPM 1322011023
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9
D. Kerangka Pemikiran ... 9
E. Metode Penelitian ... 19
F. Sistematika Penulisan ... 23
II . TINJAUAN PUSTAKA ... 24
A. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan ... 24
B. Tinjauan Umum Tentang Disparitas ... 41
C. Pidana Penjara dalam Tata Hukum di Indonesia ... 45
D. Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika ... 51
E. Pembaharuan Hukum Pidana ... 56
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63
A. Praktik Penuntutan Terhadap Pengguna Narkotika di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung ... 63
B. Penyebab Disparitas Penuntutan Terhadap Pengguna Narkotika Antara Pidana Penjara dan Pidana Rehabilitasi Medis ... 83
IV. PENUTUP ... 107
A. Simpulan ... 107
B. Saran ... 108
1.
Tim PengujiDr.
Nikrnah Bosidah, S.ff.,
II.II.
Dr.
Maroni,
S.fl.,
III.II.
Dr.
Ed$r Blfal,
S.H., m.Iil.Dr.
Ileni
Siswanto,
$.II.,
M.Il
Dr. Ema
l)ewi, S.II., !I.H.
Ketua
Sekretaris
Penguji Utama
Anggota
Anggota
kultas
flukum
.
flerratrdi,
S.ff ., trf.S.109 198705 1 005
6*W
Program Pascasarjana Universitas l,ampung
.
SudJamo,
II.S.
28 198105 1 002
Narna Mahasisua
Nomor Pohok llahasis,na
Program Kekhususan
I[$abaau
llegeri
Baffir
q,fffis1rrh
L32VAL!A52
tlukum
PidaqaHukum
Dosen Komisi Pembimbing
,l
,
A
l[,
tr
t
-ruw4lL
Dr.
Ilihah
Bosidah,
SA.,
If.H.
NIP 19550106 19800-5 2 001
\
M
Sr.
lfaront
S-fr.,!f.8.
,NIP 19600510 198705
I
OO2UDIIGDTtrIIT'I
,
$.H..
!I.Ifum.
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenamya bahwa:
1.
Tesis dengan judul: Praktik Penuntutan Terhadap Pengguna Narkotika(Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung), adalatr karya saya sendiri
dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain
dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam
masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.
2.
Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada UniversitasLampung.
Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata diternukan adanya ketidak
benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya;
saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Bandar Lampung 15 Januari 2015
Yang Membuat Pemyataar5
hqffiffiw
3C61 FAOF2784381 25rII*-Bp-u rqr4!
,6WXW
Irfansyah
i
MOTO
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik
i
PERSEMBAHAN
Penulis persembahkan Tesis ini kepada:
Ayahanda dan Ibunda Tercinta
atas semua cinta kasih dan pengorbanan yang telah diberikan kepadaku Sesungguhnya semua hal yang telah kuterima dari keduanya
tidak akan terbalas dengan apapun
Istriku tercinta, Retnosari
atas cinta dan dukungan yang diberikan kepadaku dalam menjalani hidup dan meniti keberhasilan
Kakak-kakak dan Adikku:
Atin Mediarsyah, Hanisa Dian Aprilia, Heni Lestari, Aliansyah, Riana Lusita dan Marissa
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Irfansyah, dilahirkan di Tanjung Karang, pada tanggal 03 Agustus
1981, sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak K.
Dilsa dan Ibu Maryati.
Penulis mengawali pendidikan di TK Pertiwi Bandar Lampung pada tahun 1995
dan diselesaikan pada tahun 1987. Sekolah Dasar Negeri 2 Rawa Laut Bandar
Lampung dan diselesaikan pada tahun 1993. Sekolah Menengah Pertama Negeri 2
Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 1996 dan SMA Negeri 2 Bandar
Lampung yang diselesai pada tahun 1999. Pada tahun 2013 mendapatkan gelar
i
SAN WACANA
Alhamdulillahirobil alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, karena hanya dengan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan
Tesis yang berjudul: Praktik Penuntutan Terhadap Pengguna Narkotika (Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung). Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana
Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa proses penyusunan sampai terselesaikannya Tesis ini,
mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Pascasarjana
Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung
3. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. selaku Ketua Bidang Kekhususan Pidana
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai
Pembimbing I, atas bimbingan dan saran yang diberikan selama proses
penyusunan Tesis.
4. Bapak Dr. Maroni, SH., M.H. selaku Pembimbing II, atas bimbingan dan saran
ii
6. Bapak Dr. Heni Siswanto, SH., M.H. selaku Penguji, atas masukan dan saran
yang diberikan demi perbaikan Tesis ini.
7. Ibu Dr. Erna Dewi, SH., M.H. selaku Penguji, atas masukan dan saran yang
diberikan demi perbaikan Tesis ini.
8. Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, beserta segenap jajarannya yang
telah memberikan izin penelitian dan bantuan selama dalam pelaksanaan
penelitian ini.
9. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan
ilmu kepada penulis selama menempuh studi dan seluruh staf dan karyawan
yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.
10.Seluruh Teman-teman Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum
Universitas Lampung, atas persahabatan dan kebersamaan selama menempuh
studi serta dorongan dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian Tesis ini.
11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam
pengembangan kajian ilmu hukum, serta bermanfaat bagi pembacanya.
Bandar Lampung, 15 Januari 2015
Penulis,
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila
penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi
penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,
sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.
Penyalahgunaan narkotika mendorong adanya peredaran gelap, sedangkan peredaran
gelap narkotika menyebabkan penyalahgunaan yang makin meluas dan berdimensi
internasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan narkotika dan upaya pemberantasan peredaran gelap mengingat
kemajuan perkembangan komunikasi, informasi dan transportasi dalam era
globalisasi saat ini.
Kebijakan penanggulangan kejahatan terhdap pengedar narkotika dengan pidana
penjara terdapat dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Pemidanaan pelaku pengguna narkotika mempunyai implikasi
moral yang berbeda satu sama lain. Pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan
ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang
pemidanaan dapat bermanfaat dalam untuk mencapai situasi atau keadaan yang
ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu.
Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan
di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari
kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Tujuan pemidanaan menurut Pasal
54 RUU KUHP Tahun 2012 adalah:
a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna;
c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.1
Tujuan pemidanaan mengandung unsur perlindungan masyarakat, pandangan
rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat. Pandangan ini mengerucut pada dua
kepentingan, yakni perlindungan masyarakat dan pembinaan bagi pelaku,
pemidanaan mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan pidana
mendasarkan pada keadaan obyektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya
pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Dengan kata lain tujuan
pemidanaan adalah untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan
menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan merupakan
1
pembalasan kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk
mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan pada dasarnya baik,
tetapi pada pelaksanaannya di dalam lembaga pemasyarakatan tidak sesuai dengan
yang diharapkan, bahkan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku tindak pidana,
antara lain tindakan kekerasan di dalam lembaga pemasyarakatan, alasan hilangnya
hak keperdataan seseorang (seperti hak waris), setelah keluar dari lembaga
pemasyarakatan susah mencari pekerjaan, karena timbulnya stigma atau label
negatif terhadap mantan narapidana.
Mengingat dampak negatif yang sedemikian luas maka dicarikan upaya-upaya lain
untuk menghindari pidana penjara, antara lain berupa mengefektifkan pidana denda,
pidana kerja sosial dan secara khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, yang kemudian dalam pelaksanaan undang-undang
tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
Sesuai dengan uraian di atas bahwa penggunaan narkotika tanpa hak merupakan
suatu tindak pidana, dan terhadap pelaku pengedar atau pengguna harus dikenakan
pidana sebagai upaya mencegah meluasnya tindak pidana narkotika (upaya represif)
berupa penegakan hukum tetapi juga merupakan upaya preventif dalam
menanggulangi kejahatan narkotika.
Tujuan dari peraturan pemerintah itu sangat baik, sebagaimana yang telah diuraikan
di atas yaitu untuk mengurangi dampak negatif apalagi terhadap pelaku tindak
korban, tidak sepatutnya dipidana penjara tetapi direhabilitasi. Terhadap pengguna
narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor
25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika menyatakan
Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu
narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali
dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib
lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya
ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan. Di dalam setiap kebijakan
terkandung pula pertimbangan nilai, oleh karena itu pembaharuan hukum pidana
harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Pembaharuan hukum pidana dilihat
dari sudut pendekatan kebijakan sebagai bagian dari kebijakan sosial, artinya bagian
dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk di dalamnya masalah
kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional yaitu
kesejahteraan masyarakat, Selain tu sebagai bagian dari kebijakan kriminal, artinya
bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan
kejahatan). 2
Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut treatment sebab rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara
terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai
dengan treatment yang dimaksudkan untuk memberi tindakan perawatan (treatment)
2
dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari
penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan
perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).3
Berdasarkan data empiris di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung maka diketahui
bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan penuntutan yang berbeda terhadap
pelaku penyalahguna narkotika. Contohnya adalah Surat Tuntutan No. Reg. Perkara:
PDM-102/TJKAR/2014 terhadap terdakwa Wawan Iskandar Bin Sadini yang
dituntut pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan penjara karena
melanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Tuntutan lain terdapat dalam Surat Tuntutan No. Reg. Perkara:
PDM-117/JKP/06/2014, terhadap terdakwa Hermanto Als Herman dengan berupa pidana
berupa rehabilitasi medis, karena melanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu menyalahgunakan narkotika Golongan I bagi
diri sendiri, yang diancam dengan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun.
Contoh lainnya adalah Surat Tuntutan No. Reg. Perkara: PDM-143/TJKAR/2014
terhadap terdakwa Prima Utomo yang dituntut pidana penjara selama 1 (satu) tahun
8 (delapan) bulan penjara karena melanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. Sedangkan dalam Surat Tuntutan No. Reg. Perkara:
PDM-165/JKP/10/2014, terhadap terdakwa Tommy Andrian dengan berupa pidana
berupa rehabilitasi medis, karena melanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
3
Pemberlakuan pidana berupa rehabilitasi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menuntut seluruh subsistem aparat
penegak hukum untuk mengimplementasikannya sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya masing-masing, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan maupun
Lembaga Pemasyarakatan. Implementasi tugas pokok dan fungsi aparat penegak
hukum tersebut menunjukkan adanya satu kesatuan dalam sistem peradilan pidana.
Sesuai ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kejaksaan, disebutkan
bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang. Maknanya adalah Jaksa Penuntut Umum dapat
melakukan penuntutan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika dengan tuntutan
rehabilitasi maupun pidana penjara. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan tuntutan
terhadap pelaku tindak pidana narkotika atau disparitas.
Kejaksaan berada pada poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses
pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan
Pengadilan. Kejaksaan sebagai lembaga pengendali proses perkara, karena hanya
institusi Kejaksaanlah yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke
Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara
Pidana. Sehubungan dengan hal di atas, mengingat posisi Kejaksaan yang demikian
strategis itu, maka hampir seluruh negara modern di dunia ini mempunyai sebuah
institusi yang disebut dengan istilah "kejaksaan", yang mempunyai tugas utama
Sebelum melangkah ke Pengadilan, Jaksa menyiapkan Surat Dakwaan. Berlainan
dengan surat tuntutan, maka fungsi surat dakwaan adalah sebagai dasar pemeriksaan
di sidang Pengadilan, sebagai dasar pembuatan surat tuntutan (requisitoir), dan
sebagai dasar pembuatan pembelaan oleh terdakwa/pembelanya, serta sebagai dasar
bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, dan sebagai dasar pemeriksaan peradilan
selanjutnya. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan, namun pemeriksaan
tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan hakim hanya boleh
mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu. Maksudnya adalah
hakim memiliki kewenangan untuk memeriksa suatu perkara secara terperinci atau
mendetail sebagai dasar pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusan.
Sebelum hakim menjatuhkan putusan, maka JPU harus mengajukan surat tuntutan
terlebih dahulu, namun di internal Kejaksaan, sebelum lahirnya tuntutan, terdapat
istilah Rencana Tuntutan (rentut). Untuk tindak pidana khusus rentut tersebut diatur
dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-001/J.A/4/1995 tentang Pedoman
Tuntutan Pidana, yang menetapkan tiga faktor dalam menentukan apakah suatu
perkara tindak pidana khusus itu harus melalui rentut atau tidak yakni didasarkan
pada kriteria: jenis perbuatan, keadaan diri pelaku dan dampak perbuatan tersebut.
Surat tuntutan yang baik adalah surat tuntutan yang mengandung konstruksi hukum
objektif, benar, dan jelas. Jelas dalam arti penggambarannya dan hubungan antara
keduanya dan dari kejelasan bentukan peristiwa dan bentukan hukumnya, maka akan
menjadi jelas pula keputusan hukum yang ditarik tentang terbukti atau tidaknya
tindak pidana yang didakwakan, terdakwa dapat dipersalahkan atau tidak, serta
apakah terdakwa dapat memikul beban pertanggungjawaban pidana atau tidak dalam
pidana narkotika, baik dengan tuntutan pemidanaan kurungan badan (penjara)
maupun rehabilitasi medis.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis akan melaksanakan penelitian yang
berjudul: Praktik Penuntutan Terhadap Pengguna Narkotika (Studi di Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung)
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Permasalahan yang akan menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini dirumuskan:
a. Bagaimanakah praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika di Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung?
b. Mengapa terjadi disparitas penuntutan terhadap pengguna narkotika antara
pidana penjara dan rehabilitasi medis?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup disiplin keilmuan dalam penelitian adalah hukum pidana, dengan
kajian mengenai praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika di Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung dan penyebab terjadinya disparitas penuntutan terhadap
pengguna narkotika. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung dan ruang lingkup waktu penelitian adalah data pada Tahun
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk menganalisis praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika di
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung
b. Untuk menganalisis penyebab disparitas penuntutan terhadap pengguna
narkotika antara pidana penjara dan rehabilitasi medis.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan praktis, yaitu:
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu
hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan praktik penuntutan terhadap
pelaku tindak pidana narkotika oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kerangka
penegakan hukum pidana.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai salah satu acuan bagi
institusi Kejaksaan pada khususnya dan aparat penegak hukum secara umum
dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
D. Kerangka Pemikiran
1. Alur Pikir
Alur pikir penelitian mengenai praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika di
Bagan 1. Alur Pikir Penelitian
Penyalahgunaan Narkotika
Undang-Undang Narkotika
Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana oleh
Kepolisian Pelimpahan Berkas
kepada Institusi Kejaksaan
Penuntutan oleh Kejaksaan
Praktik Penuntutan oleh JPU
Penyebab Disparitas Penuntutan
Pembahasan
Kesimpulan Pelaku
2. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis sebagai suatu pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang
relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmu hukum. Kerangka teoritis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Teori Kewenangan
Kewenangan berasal dari kata dasar wewenang, yang diartikan sebagai hal
berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.
kewenangan adalah kekuasaan formal. Kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif.
Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa kewenangan adalah kekuasaan
terhadap segolongan orang atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan
(atau bidang urusan) tertentu.4
Secara organisasional kewenangan adalah kemampuan yuridis yang didasarkan pada
hukum publik. Terdapat kewenangan diikatkan pula hak dan kewajiban, yaitu agar
kewenangan tidak semata-mata diartikan sebagai hak berdasarkan hukum publik,
tetapi juga kewajiban sebagai hukum publik. Kewenangan tidak hanya diartikan
sebagai kekuasaan, oleh karena itu, dalam menjalankan hak berdasarkan hukum
publik selalu terikat kewajiban berdasarkan hukum publik tidak tertulis atau asas
umum pemerintahan yang baik. Kewenangan dalam hal ini dibedakan menjadi:
a. Pemberian kewenangan: pemberian hak kepada, dan pembebanan kewajiban
terhadap badan (atribusi/mandat);
4
b. Pelaksanaan kewenangan: menjalankan hak dan kewajiban publik yang berarti
mempersiapkan dan mengambil keputusan;
c. akibat Hukum dari pelaksanaan kewenangan: seluruh hak dan/atau kewajiban
yang terletak rakyat/burger, kelompok rakyat dan badan5
Kewenangan berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai suatu
kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis
wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta melakukan hubungan-hubungan hukum. 6
Tugas merupakan seperangkat bidang pekerjaan yang harus dikerjakan dan melekat
pada seseorang atau lembaga sesuai dengan fungsi yang dimilikinya, sedangkan
fungsi berasal dari kata dalam Bahasa Inggris function, yang berarti sesuatu yang
mengandung kegunaan atau manfaat. Fungsi lembaga atau institusi formal adalah
adanya kekuasaan berupa tugas yang dimiliki dalam kedudukannya di organisasi
untuk melakukan sesuatu sesuai dengan bidang tugas dan wewenangnya
masing-masing. Fungsi lembaga atau institusi disusun sebagai pedoman atau haluan bagi
organisasi tersebut dalam melaksanakan kegiatan dan mencapai tujuan organisasi.7 b. Teori Penegakan Hukum dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan
hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila
berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan
5
Ibid, hlm. 7.
6
Muammar Himawan, Pokok-Pokok Organisasi Modern, Bina Ilmu, Jakarta, 2004, hlm. 51.
7
keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam
masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak
termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk
melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana8
Penegakan hukum pada dasarnya merupakan upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan
oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu
melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia
menjalankan atau menegakkan aturan hukum.9
Penegakan hukum dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu
hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin
dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum
itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu
dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini,
pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas,
penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
8
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994, hlm. 76.
9
masyarakat, tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.10
Penegakan hukum sebagai upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai
pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum
yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas
dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma
hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari
pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita
tentukan sendiri batas-batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan
dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita
batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-aspek
subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran
saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.11 Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,
namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:
a) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi
keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian
hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena
itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum
10
Ibid, hlm. 23.
11
merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu
tidak bertentangan dengan hukum.
b) Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas
atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan
hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa
kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah
suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga
penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan
diaktualisasikan.
c) Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan
hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin
menjalankan peranan semestinya.
d) Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan
hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan
penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran
hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang
baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin
e) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.
Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan
nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak
penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan
masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Apabila
peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan
kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan
menegakkan peraturan hukum.12 c. Teori Perilaku Organisasi
Perilaku organisasi organisasi merupakan studi menyangkut aspek-aspek tingkah
laku manusia dalam suatu organisasi atau suatu kelompok tertentu. Dia meliputi
aspek yang ditimbulkan dari pengaruh organisasi terhadap manusia atau sebaliknya.
Tujuan praktis dari penelahaan studi ini adalah untuk mendeterminasi bagaimanakah
perilaku manusia itu mempengaruhi usaha pencapaian tujuan organisasi.
Perbedaan antara perilaku organisasi dengan personel dan human resources adalah,
bahwa perilaku organisasi lebih menekankan pada orientasi konsep, sedangkan
personel dan human resources menekankan pada teknik dan teknologi. Variabel tak
bebas, seperti misalnya tingkah laku dan reaksi yang efektif dalam organisasi
seringkali muncul pada keduanya. Personel dan human resources nampaknya
berada pada permukaan antara organisasi dan individu dengan menekankan pada
12
pengembangan dan pelaksanaan sistem pengangkatan, pengembangan, dan motivasi
individu dalam organisasi.13
Faktor pendukung utama dari suatu organisasi adalah manusia. Ilmu perilaku
organisasi mengurangi sikap birokrat yang tidak respektif pada manusia dengan cara
menarik sebagian pandangannya terpusat pada perilaku manusia itu sendiri.
Perkembangan ilmu perilaku manusia dalam organisasi menurut sejarahnya telah
dimulai sejak awal perkembangan gerakan manajemen ilmiah bahkan jauh
sebelumnya dapat dikenali sebagai langkah awal dari pengambangan ilmu ini.
Konsep birokrasi Weber, penemuan administrasi Fayol, dan gerakan manajemen
ilmiah Taylor memberikan sumbangan yang tidak ternilai dari sejarah awal
perkembangan bidang pengkajian perilaku manusia dalam organisasi.14
Perilaku organisasi dipengaruhi oleh struktur organisasi, sebagai pola formal tentang
bagaimana orang dan pekerjaan dikelompokkan. Struktur sering digambarkan
dengan suatu bagan organisasi. Proses berkenaan dengan aktivitas yang memberi
kehidupan pada skema organisasi itu. Komunikasi, pengambilan keputusan, evaluasi
prestasi kerja sosialisasi, dan pengembangan karier adalah proses dalam setiap
organisasi. Kadang-kadang pemahaman masalah proses seperti gangguan
komunikasi, pengambilan keputusan, atau sistem evaluasi prestasi kerja yang
disusun secara kurang baik, dapat menghasilkan pengertian yang lebih tepat atas
perilaku organisasi daripada hanya mengkaji tatanan struktural. 15
13
Stephen P, Robbins, Perilaku Organisasi (Organizational Behavior) Penerjemah: Benyamin Molan, PT. Macanjaya Cemerlang, Jakarta, 2007, hlm. 11.
14
Ibid, hlm. 12.
15
Struktur organisasi memiliki tiga komponen: Kompleksitas, formalisasi, dan
sentralisasi. Kompleksitas, mempertimbangkan tingkat diferensiasi yang ada dalam
organisasi. Termasuk di dalamnya tingkat spesialisasi atau tingkat pembagian kerja,
jumlah tingkatan dalam hierarki organisasi, serta tingkat sejauh mana unit-unit
organisasi tersebar secara geografis. Formalisasi adalah tingkat sejauh mana sebuah
organisasi menyandarkan dirinya kepada peraturan dan prosedur untuk mengatur
perilaku karyawannya. Sentralisasi mempertimbangkan di mana letak dari pusat
pengambilan keputusan. Pada kasus lainnya, pengambilan keputusan bisa
didesentralisasikan. Dengan demikian organisasi cenderung untuk disentralisasikan
maupun cenderung didesentralisasikan, namun menetapkan letak organisasi dalam
rangkaian keputusan tersebut, merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan
apa jenis struktur yang ada. Struktur organisasi dapat berbentuk lini (garis), lini dan
staf maupun matriks. Untuk dapat bekerja secara efektif dalam organisasi, para
manajer harus memiliki pemahaman yang jelas tentang struktur organisasi. Dengan
memandang suatu bagan organisasi, seseorang hanya melihat suatu susunan posisi,
tugas-tugas pekerjaan dan garis wewenang dari bagian-bagian dalam organisasi.16
3. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam
melaksanakan penelitian17. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim18
16
Ibid, hlm. 14.
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1986, hlm. 103.
18
b. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 19
c. Penguna narkotika adalah orang yang menggunakan semua jenis narkotika atau
prekursor narkotika dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan atau
mendapatkan halusinasi ketenangan dalam penggunaan tersebut20
d. Penyalahguna narkotika adalah setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa
hak atau melawan hukum21
e. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik
maupun psikis. 22
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris,
yaitu memecahkan permasalahan dengan menggunakan peraturan
perundang-undangan yang telah dijabarkan dalam pasal-pasalnya. Dengan kata lain metode
penelitian ini dimulai dari menganalisa kasus untuk kemudian dicari
penyeleasainnya melalui prosedur perundang-undangan. Metode ini digunakan
untuk menganalisa praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika pada Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung.
19
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
20
Erwin Mappaseng, Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya, Buana Ilmu, Surakarta, 2002, hlm. 4.
21
Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
22
2. Sumber dan Jenis Data
Berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan. Jenis
data meliputi data primer dan data sekunder 23
Data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:
a. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library
research), dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap berbagai
teori, asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam
penelitian. Data sekunder terdiri dari:
1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari:
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
b) Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
d) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
e) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
f) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib
Lapor Pecandu Narkotika menyatakan Wajib Lapor
23
g) Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor:
B-136/E/EJP/01/2012 Perihal Tuntutan Rehabilitas Medis dan Rehabilitasi
Sosial Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika
2) Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum tambahan dari berbagai
sumber seperti arsip/dokumentasi, makalah atau jurnal penelitian dan sumber
internet
b. Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan narasumber penelitian.
3. Penentuan Narasumber
Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang
b. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 3 orang+
Jumlah : 4 orang
4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
a. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan
sebagai berikut:
1) Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan
melakukan serangkaian kegiatan membaca, menelaah dan mengutip dari
bahan kepustakaan serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan
2) Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan
data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang
dibutuhkan. Studi lapangan ini dilaksanakan dengan melakukan wawancara
kepada narasumber penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara
yang telah dipersiapkan sebelumnya.
b. Pengolahan Data
Tahap pengolahan data adalah sebagai berikut:
1) Seleksi Data
Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan
data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
2) Klasifikasi Data
Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam
rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk
kepentingan penelitian.
3) Penyusunan Data
Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan
yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang
ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.
4. Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis
kualitatif, dengan menguraikan data dalam bentuk kalimat per kalimat yang tersusun
secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk
induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan
yang bersifat umum.
F. Sistematika Penulisan
Tesis ini disajikan ke dalam empat bab yang saling berhubungan antara satu bab
dengan bab lainnya, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi pendahuluan yaitu Latar Belakang Masalah, Permasalahan dan Ruang
Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Konseptual serta Sistematika
Penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi tinjauan umum tentang Kejaksaan,
tinjauan umum tentang disparitas, pidana penjara dalam tata hukum di Indonesia,
rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, dan pembaharuan hukum pidana.
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini berisi hasil dan pembahasan mengenai praktik penuntutan terhadap
pengguna narkotika di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan penyebab disparitas
penuntutan terhadap pengguna narkotika antara pidana penjara dan rehabilitasi
medis.
Bab IV Penutup
Bab ini berisi kesimpulan penelitian yang didasarkan pada pembahasan serta saran
yang ditujukan kepada aparat penegak hukum dan berbagai pihak yang memiliki
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Kejaksaan
1. Pengertian Kejaksaan
Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan
dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik
Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.1
Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan
kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang
melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa
selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh
undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan Pengadilan
1
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana
tertentu, dan lain-lain.
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai
kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang
dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak
berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan selain
sebagai penyandang Dominus Litis, juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana
putusan pidana (executive ambtenaar). Undang-Undang Kejaksaan memperkuat
kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dalam melaksanakan fungsi,
tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam
melaksanakan tugas profesionalnya.
2. Tugas Pokok Kejaksaan
Seorang Jaksa dalam menjalankan tugasnya harus tunduk dan patuh pada tugas,
fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan dalam UU Kejaksaan. Tugas adalah
amanat pokok yang wajib dilakukan dalam suatu tindakan jabatan. Sedangkan
wewenang adalah pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan kompetensi yurisdiksi
baik kompetensi relatif maupun kompetensi mutlak. Dengan tugas dan wewenang,
suatu badan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan badan tersebut. 2
2
Sehubungan dengan itu, maka antara fungsi, tugas dan wewenang merupakan tiga
kata yang selalu berkaitan satu sama lain. Mengenai dua kata yang selalu berkaitan
antara tugas dan wewenang dapat dibuktikan secara tertulis dalam beberapa
undang-undang, dalam hal ini diambil contohnya dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, yaitu:
(1) Dalam bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.
Satu hal yang hanya diatur dalam Pasal 30 Ayat (1) UU Kejaksaan yaitu bahwa
Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Adapun tindakan pidana tertentu
berdasarkan undang-undang dimaksud adalah sebagaimana dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 30 Ayat (1) huruf d ini bahwa kewenangan dalam ketentuan ini
adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagiana telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan
Republik Indonesia, Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan
seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang
layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal
yang dapat membaahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaaan Republik Indonesia Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain
berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Pasal
33 menyatakan bahwa Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan
penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Pasal 34
menyatakan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang
hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.
3. Kedudukan Kejaksaan
Kejaksaan Negeri merupakan bagian dari lembaga pemerintah dengan melaksanakan
tugas kekuasaan negara di bidang penuntutan dan merupakan instansi vertikal dari
Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kejaksaan Tinggi. Kedudukan Kejaksaan
sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di
bidang penuntutan di lingkungan peradilan umum, pada saat ini semakin dituntut
kapabilitasnya dalam mewujudkan supremasi hukum, termasuk mewujudkan
melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan dan kebenaran
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan senantiasa menjunjung tinggi prinsip
bahwa setiap warga negara bersama kedudukan di depan hukum.
Kejaksaan dalam hal ini menjadi salah satu bagian penting dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia, yaitu suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan,
menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka
yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang
menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil,
hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian
kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial.
Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian
hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi
apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat
materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum
benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 3
Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana
melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan
3
berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing
menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.
4. Fungsi Kejaksaaan
Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung RI no: INS-002/A/JA/1/2010 tentang
Perencanaan Stratejik dan Rencana Kinerja Kejaksaan RI Tahun 2010-2015, Fungsi
Kejaksaan adalah sebagai berikut:
(1) Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis pemberian
bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan sesuai dengan bidang
tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Jaksa Agung;
(2) Penyelengaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan
manajemen, administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas
milik negara menjadi tanggung jawabnya;
(3) Pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang berintikan keadilan
di bidang pidana;
(4) Pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang ketertiban
dan ketentraman mum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan
penegaakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan
hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaanm
pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan Jaksa Agung;
(5) Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat
karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat
membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;
(6) Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan
peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
(7) Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik di
dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan fungsinya
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan
oleh Jaksa Agung.
Kejaksaan merupakan komponen kekuasaan eksekutif dalam urusan penegakan
hukum dan langsung di bawah presiden. Tugas dan fungsi Kejaksaan Tinggi
dilaksanakan oleh pejabat yang ada di lingkungan Kejaksaan Tinggi dan telah
ditentukan dalam Keputusan Jaksa Agung yang mengatur tiap-tiap pejabat yang ada
di KejaksaanTinggi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai aparat
penegak hukum dan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, beberapa penyempurnaan
terhadap institusi Kejaksaan adalah sebagai berikut:
(1) Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut di-laksanakan secara
merdeka. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melak-sanakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan
lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan
yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati
sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan
perkara untuk keberhasilan penuntutan.
(2) Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang
pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang.
Sesuai dengan profesionalisme dan fungsi Kejaksaan, di-tentukan bahwa jaksa
merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian, usia pensiun jaksa yang
semula 58 (lima puluh delapan) tahun ditetapkan menjadi 62 (enam puluh dua)
tahun.
(3) Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu
dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang
memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan,
misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(4) Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian,
Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab
kepada Presiden. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan
mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai
penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan
pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada dasarnya adalah seseorang yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan pelaksanaan penetapan
hakim. Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa membina hubungan
kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau
instansi lainnya.
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,
seorang Jaksa Penuntut Umum dalam pelaksanaan tugas dan wewenang:
(1) Bertindak untuk dan atas nama negara, bertanggungjawab sesuai saluran hirarki;
(2) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasar alat bukti yang sah;
(3) Senantiasa bertindak berdasar hukum, mengindahkan norma-norma keagamaan,
kesopanan, dan kesusilaan;
(4) Wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup
dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat
profesinya.
Kejaksaan dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dilakukan
secara merdeka, di mana dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab itu seorang
jaksa harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya. Hal ini berdasarkan Pasal 2 UU tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 37 Ayat
(1) disebutkan bahwa Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang. Tugas dan kewenangan jaksa dalam bidang pidana
diatur dalam Pasal 30 Ayat (1) UU Kejaksaan antara lain:
(1) Melakukan penuntutan;
(1) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
(2) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan
pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
(3) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
(4) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
Sesuai dengan penjelasan di atas maka diketahui tugas dan kewenangan jaksa adalah
sebagai penuntut umum dan pelaksana (eksekutor) putusan Pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Untuk perkara perdata, pelaksana
putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah juru sita dan
panitera dipimpin oleh ketua Pengadilan sebagaimana diatur Pasal 54 Ayat (2) UU
5. Peran Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan
mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 4 Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang
menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil,
hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian
kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial.
Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian
hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi
apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat
materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum
benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 5
Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana
melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan
berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing
menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.
4
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana IndonesiaMelihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hlm. 12-13.
5
Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi
(stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar
peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya
ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum.
Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang
di muka Pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka
penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu
prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus
sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 6
Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana
substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk
yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak
keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni
lembaga kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu due
process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses
hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan
layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara
pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due
process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau
perundang-undangan secara formil.7
6
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm. 7.
7
Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan lay