• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTIK PENUNTUTAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA (Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PRAKTIK PENUNTUTAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA (Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

PROSECUTION PRACTICE TOWARD NARCOTICS USER (Study on Attorney of Bandar Lampung)

By IRFANSYAH

Implementation of rehabilitation in Narcotics Act requires the whole subsystem law enforcement officials to implement it in accordance with the duties and functions of each. The problem of this research are: (1) How is prosecution practice toward narcotics user on Attorney of Bandar Lampung? (2) Why the disparity in the prosecution of drug users between imprisonment and medical rehabilitation?

The approach used is a normative juridical and juridical empirical approach. Data collected by literature and field studies, further data is analyzed qualitatively.

Research results and discussion indicate: (1) The practice of prosecution of drug users carried out after receiving the Attorney files or results of the investigation of the police investigators. The public prosecutor made the indictment and after indictment is completed and then made the transfer case letter addressed to the District Court. Public Prosecutor in the prosecution is based on materials and information both from witnesses and the accused and the instructions in the form of urine test results in the laboratory. It also considers the factors that cause the defendant committed the crime. (2) The cause of the disparity between the prosecution of drug users imprisonment and medical rehabilitation is based on Circular Letter of the Attorney General of the Republic of Indonesia Number: B-136 / E / EJP / 01/2012, the defendant was arrested by investigators in a state caught and found evidence disposable, their certificate of laboratory test positive for narcotics investigator on request, not a recidivist, any physician assessment results recorded in the medical record or the need for medical rehabilitation and social rehabilitation and there is no evidence that he or concurrently as a dealer / manufacturer of narcotics. Public Prosecutor demanded imprisonment if not meet the criteria as set out in the Circular Letter.

Suggestions in this study were: (1) the Attorney advised to increase the professionalism of the work optimally in prevention effort of narcotics criminal (2) Attorney advised to minimize disparities in the prosecution of the two actors who were committing the crime of drug abuse

(2)

ABSTRAK

PRAKTIK PENUNTUTAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA (Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

Oleh IRFANSYAH

Pemberlakuan rehabilitasi dalam Undang-Undang Narkotika menuntut seluruh subsistem aparat penegak hukum untuk mengimplementasikannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung? (2) Mengapa terjadi disparitas penuntutan terhadap pengguna narkotika antara pidana penjara dan rehabilitasi medis?

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika dilaksanakan setelah Kejaksaan menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik kepolisian. Penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan selesai kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri. Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan didasarkan pada bahan dan keterangan baik dari saksi maupun terdakwa dan petunjuk berupa hasil tes urin di laboratorium. Selain itu juga mempertimbangkan faktor-faktor penyebab terdakwa melakukan tindak pidana. (2) Penyebab disparitas penuntutan terhadap pengguna narkotika antara pidana penjara dan rehabilitasi medis adalah berdasar Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor: B-136/E/EJP/01/2012, yaitu terdakwa ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap tangan dan diketemukan barang bukti sekali pakai, adanya surat keterangan uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik, bukan residivis, adanya hasil assesmen dokter yang dicatat pada rekam medis perlunya rehabilitasi medis dan atau rehabilitasi sosial serta tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi pengedar/produsen gelap narkotika. Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana penjara apabila tidak memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Surat Edaran tersebut.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Kejaksaan disarankan untuk meningkatkan profesionalisme kerja secara lebih optimal dalam upaya penggulangan tindak pidana penyalahgunaann narkotika (2) Kejaksaan disarankan untuk meminimalisasi disparitas penuntutan terhadap dua pelaku yang sama-sama melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika

(3)

i

PRAKTIK PENUNTUTAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA (Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

Oleh

IRFANSYAH

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PRAKTIK PENUNTUTAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA (Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

(Tesis)

Oleh IRFANSYAH

NPM 1322011023

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Pemikiran ... 9

E. Metode Penelitian ... 19

F. Sistematika Penulisan ... 23

II . TINJAUAN PUSTAKA ... 24

A. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan ... 24

B. Tinjauan Umum Tentang Disparitas ... 41

C. Pidana Penjara dalam Tata Hukum di Indonesia ... 45

D. Rehabilitasi Terhadap Pengguna Narkotika ... 51

E. Pembaharuan Hukum Pidana ... 56

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63

A. Praktik Penuntutan Terhadap Pengguna Narkotika di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung ... 63

B. Penyebab Disparitas Penuntutan Terhadap Pengguna Narkotika Antara Pidana Penjara dan Pidana Rehabilitasi Medis ... 83

IV. PENUTUP ... 107

A. Simpulan ... 107

B. Saran ... 108

(6)

1.

Tim Penguji

Dr.

Nikrnah Bosidah, S.ff.,

II.II.

Dr.

Maroni,

S.fl.,

III.II.

Dr.

Ed$r Blfal,

S.H., m.Iil.

Dr.

Ileni

Siswanto,

$.II.,

M.Il

Dr. Ema

l)ewi, S.II., !I.H.

Ketua

Sekretaris

Penguji Utama

Anggota

Anggota

kultas

flukum

.

flerratrdi,

S.ff ., trf.S.

109 198705 1 005

6*W

Program Pascasarjana Universitas l,ampung

.

SudJamo,

II.S.

28 198105 1 002

(7)

Narna Mahasisua

Nomor Pohok llahasis,na

Program Kekhususan

I[$abaau

llegeri

Baffir

q,fffis1rrh

L32VAL!A52

tlukum

Pidaqa

Hukum

Dosen Komisi Pembimbing

,l

,

A

l[,

tr

t

-ruw4lL

Dr.

Ilihah

Bosidah,

SA.,

If.H.

NIP 19550106 19800-5 2 001

\

M

Sr.

lfaront

S-fr.,

!f.8.

,

NIP 19600510 198705

I

OO2

UDIIGDTtrIIT'I

,

$.H..

!I.Ifum.

(8)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenamya bahwa:

1.

Tesis dengan judul: Praktik Penuntutan Terhadap Pengguna Narkotika

(Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung), adalatr karya saya sendiri

dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain

dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam

masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2.

Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas

Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata diternukan adanya ketidak

benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya;

saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung 15 Januari 2015

Yang Membuat Pemyataar5

hqffiffiw

3C61 FAOF2784381 25

rII*-Bp-u rqr4!

,6WXW

Irfansyah

(9)

i

MOTO

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena

sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik

(10)

i

PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan Tesis ini kepada:

Ayahanda dan Ibunda Tercinta

atas semua cinta kasih dan pengorbanan yang telah diberikan kepadaku Sesungguhnya semua hal yang telah kuterima dari keduanya

tidak akan terbalas dengan apapun

Istriku tercinta, Retnosari

atas cinta dan dukungan yang diberikan kepadaku dalam menjalani hidup dan meniti keberhasilan

Kakak-kakak dan Adikku:

Atin Mediarsyah, Hanisa Dian Aprilia, Heni Lestari, Aliansyah, Riana Lusita dan Marissa

(11)

i

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Irfansyah, dilahirkan di Tanjung Karang, pada tanggal 03 Agustus

1981, sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak K.

Dilsa dan Ibu Maryati.

Penulis mengawali pendidikan di TK Pertiwi Bandar Lampung pada tahun 1995

dan diselesaikan pada tahun 1987. Sekolah Dasar Negeri 2 Rawa Laut Bandar

Lampung dan diselesaikan pada tahun 1993. Sekolah Menengah Pertama Negeri 2

Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 1996 dan SMA Negeri 2 Bandar

Lampung yang diselesai pada tahun 1999. Pada tahun 2013 mendapatkan gelar

(12)

i

SAN WACANA

Alhamdulillahirobil alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT, karena hanya dengan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan

Tesis yang berjudul: Praktik Penuntutan Terhadap Pengguna Narkotika (Studi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung). Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana

Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa proses penyusunan sampai terselesaikannya Tesis ini,

mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis

menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Pascasarjana

Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. selaku Ketua Bidang Kekhususan Pidana

Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai

Pembimbing I, atas bimbingan dan saran yang diberikan selama proses

penyusunan Tesis.

4. Bapak Dr. Maroni, SH., M.H. selaku Pembimbing II, atas bimbingan dan saran

(13)

ii

6. Bapak Dr. Heni Siswanto, SH., M.H. selaku Penguji, atas masukan dan saran

yang diberikan demi perbaikan Tesis ini.

7. Ibu Dr. Erna Dewi, SH., M.H. selaku Penguji, atas masukan dan saran yang

diberikan demi perbaikan Tesis ini.

8. Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, beserta segenap jajarannya yang

telah memberikan izin penelitian dan bantuan selama dalam pelaksanaan

penelitian ini.

9. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan

ilmu kepada penulis selama menempuh studi dan seluruh staf dan karyawan

yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

10.Seluruh Teman-teman Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum

Universitas Lampung, atas persahabatan dan kebersamaan selama menempuh

studi serta dorongan dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian Tesis ini.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam

pengembangan kajian ilmu hukum, serta bermanfaat bagi pembacanya.

Bandar Lampung, 15 Januari 2015

Penulis,

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila

penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang

mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi

penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.

Penyalahgunaan narkotika mendorong adanya peredaran gelap, sedangkan peredaran

gelap narkotika menyebabkan penyalahgunaan yang makin meluas dan berdimensi

internasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan

penyalahgunaan narkotika dan upaya pemberantasan peredaran gelap mengingat

kemajuan perkembangan komunikasi, informasi dan transportasi dalam era

globalisasi saat ini.

Kebijakan penanggulangan kejahatan terhdap pengedar narkotika dengan pidana

penjara terdapat dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika. Pemidanaan pelaku pengguna narkotika mempunyai implikasi

moral yang berbeda satu sama lain. Pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap

perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan

ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang

(15)

pemidanaan dapat bermanfaat dalam untuk mencapai situasi atau keadaan yang

ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu.

Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan

di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari

kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Tujuan pemidanaan menurut Pasal

54 RUU KUHP Tahun 2012 adalah:

a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman masyarakat;

b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi

orang yang baik dan berguna;

c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.1

Tujuan pemidanaan mengandung unsur perlindungan masyarakat, pandangan

rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk

menderitakan dan merendahkan martabat. Pandangan ini mengerucut pada dua

kepentingan, yakni perlindungan masyarakat dan pembinaan bagi pelaku,

pemidanaan mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan pidana

mendasarkan pada keadaan obyektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya

pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Dengan kata lain tujuan

pemidanaan adalah untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan

menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan merupakan

1

(16)

pembalasan kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk

mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan pada dasarnya baik,

tetapi pada pelaksanaannya di dalam lembaga pemasyarakatan tidak sesuai dengan

yang diharapkan, bahkan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku tindak pidana,

antara lain tindakan kekerasan di dalam lembaga pemasyarakatan, alasan hilangnya

hak keperdataan seseorang (seperti hak waris), setelah keluar dari lembaga

pemasyarakatan susah mencari pekerjaan, karena timbulnya stigma atau label

negatif terhadap mantan narapidana.

Mengingat dampak negatif yang sedemikian luas maka dicarikan upaya-upaya lain

untuk menghindari pidana penjara, antara lain berupa mengefektifkan pidana denda,

pidana kerja sosial dan secara khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, yang kemudian dalam pelaksanaan undang-undang

tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang

Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

Sesuai dengan uraian di atas bahwa penggunaan narkotika tanpa hak merupakan

suatu tindak pidana, dan terhadap pelaku pengedar atau pengguna harus dikenakan

pidana sebagai upaya mencegah meluasnya tindak pidana narkotika (upaya represif)

berupa penegakan hukum tetapi juga merupakan upaya preventif dalam

menanggulangi kejahatan narkotika.

Tujuan dari peraturan pemerintah itu sangat baik, sebagaimana yang telah diuraikan

di atas yaitu untuk mengurangi dampak negatif apalagi terhadap pelaku tindak

(17)

korban, tidak sepatutnya dipidana penjara tetapi direhabilitasi. Terhadap pengguna

narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor

25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika menyatakan

Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu

narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali

dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib

lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis

dan rehabilitasi sosial.

Rehabilitasi harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya

ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan. Di dalam setiap kebijakan

terkandung pula pertimbangan nilai, oleh karena itu pembaharuan hukum pidana

harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Pembaharuan hukum pidana dilihat

dari sudut pendekatan kebijakan sebagai bagian dari kebijakan sosial, artinya bagian

dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk di dalamnya masalah

kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional yaitu

kesejahteraan masyarakat, Selain tu sebagai bagian dari kebijakan kriminal, artinya

bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan

kejahatan). 2

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut treatment sebab rehabilitasi

terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara

terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai

dengan treatment yang dimaksudkan untuk memberi tindakan perawatan (treatment)

2

(18)

dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari

penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan

perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).3

Berdasarkan data empiris di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung maka diketahui

bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan penuntutan yang berbeda terhadap

pelaku penyalahguna narkotika. Contohnya adalah Surat Tuntutan No. Reg. Perkara:

PDM-102/TJKAR/2014 terhadap terdakwa Wawan Iskandar Bin Sadini yang

dituntut pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan penjara karena

melanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Tuntutan lain terdapat dalam Surat Tuntutan No. Reg. Perkara:

PDM-117/JKP/06/2014, terhadap terdakwa Hermanto Als Herman dengan berupa pidana

berupa rehabilitasi medis, karena melanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu menyalahgunakan narkotika Golongan I bagi

diri sendiri, yang diancam dengan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)

tahun.

Contoh lainnya adalah Surat Tuntutan No. Reg. Perkara: PDM-143/TJKAR/2014

terhadap terdakwa Prima Utomo yang dituntut pidana penjara selama 1 (satu) tahun

8 (delapan) bulan penjara karena melanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika. Sedangkan dalam Surat Tuntutan No. Reg. Perkara:

PDM-165/JKP/10/2014, terhadap terdakwa Tommy Andrian dengan berupa pidana

berupa rehabilitasi medis, karena melanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika.

3

(19)

Pemberlakuan pidana berupa rehabilitasi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menuntut seluruh subsistem aparat

penegak hukum untuk mengimplementasikannya sesuai dengan tugas pokok dan

fungsinya masing-masing, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan maupun

Lembaga Pemasyarakatan. Implementasi tugas pokok dan fungsi aparat penegak

hukum tersebut menunjukkan adanya satu kesatuan dalam sistem peradilan pidana.

Sesuai ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kejaksaan, disebutkan

bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang

melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain

berdasarkan undang-undang. Maknanya adalah Jaksa Penuntut Umum dapat

melakukan penuntutan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika dengan tuntutan

rehabilitasi maupun pidana penjara. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan tuntutan

terhadap pelaku tindak pidana narkotika atau disparitas.

Kejaksaan berada pada poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses

pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan

Pengadilan. Kejaksaan sebagai lembaga pengendali proses perkara, karena hanya

institusi Kejaksaanlah yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke

Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara

Pidana. Sehubungan dengan hal di atas, mengingat posisi Kejaksaan yang demikian

strategis itu, maka hampir seluruh negara modern di dunia ini mempunyai sebuah

institusi yang disebut dengan istilah "kejaksaan", yang mempunyai tugas utama

(20)

Sebelum melangkah ke Pengadilan, Jaksa menyiapkan Surat Dakwaan. Berlainan

dengan surat tuntutan, maka fungsi surat dakwaan adalah sebagai dasar pemeriksaan

di sidang Pengadilan, sebagai dasar pembuatan surat tuntutan (requisitoir), dan

sebagai dasar pembuatan pembelaan oleh terdakwa/pembelanya, serta sebagai dasar

bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, dan sebagai dasar pemeriksaan peradilan

selanjutnya. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan, namun pemeriksaan

tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan hakim hanya boleh

mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu. Maksudnya adalah

hakim memiliki kewenangan untuk memeriksa suatu perkara secara terperinci atau

mendetail sebagai dasar pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusan.

Sebelum hakim menjatuhkan putusan, maka JPU harus mengajukan surat tuntutan

terlebih dahulu, namun di internal Kejaksaan, sebelum lahirnya tuntutan, terdapat

istilah Rencana Tuntutan (rentut). Untuk tindak pidana khusus rentut tersebut diatur

dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-001/J.A/4/1995 tentang Pedoman

Tuntutan Pidana, yang menetapkan tiga faktor dalam menentukan apakah suatu

perkara tindak pidana khusus itu harus melalui rentut atau tidak yakni didasarkan

pada kriteria: jenis perbuatan, keadaan diri pelaku dan dampak perbuatan tersebut.

Surat tuntutan yang baik adalah surat tuntutan yang mengandung konstruksi hukum

objektif, benar, dan jelas. Jelas dalam arti penggambarannya dan hubungan antara

keduanya dan dari kejelasan bentukan peristiwa dan bentukan hukumnya, maka akan

menjadi jelas pula keputusan hukum yang ditarik tentang terbukti atau tidaknya

tindak pidana yang didakwakan, terdakwa dapat dipersalahkan atau tidak, serta

apakah terdakwa dapat memikul beban pertanggungjawaban pidana atau tidak dalam

(21)

pidana narkotika, baik dengan tuntutan pemidanaan kurungan badan (penjara)

maupun rehabilitasi medis.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis akan melaksanakan penelitian yang

berjudul: Praktik Penuntutan Terhadap Pengguna Narkotika (Studi di Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Permasalahan yang akan menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini dirumuskan:

a. Bagaimanakah praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika di Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung?

b. Mengapa terjadi disparitas penuntutan terhadap pengguna narkotika antara

pidana penjara dan rehabilitasi medis?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup disiplin keilmuan dalam penelitian adalah hukum pidana, dengan

kajian mengenai praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika di Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung dan penyebab terjadinya disparitas penuntutan terhadap

pengguna narkotika. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Kejaksaan Negeri

Bandar Lampung dan ruang lingkup waktu penelitian adalah data pada Tahun

(22)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk menganalisis praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika di

Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

b. Untuk menganalisis penyebab disparitas penuntutan terhadap pengguna

narkotika antara pidana penjara dan rehabilitasi medis.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan praktis, yaitu:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu

hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan praktik penuntutan terhadap

pelaku tindak pidana narkotika oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kerangka

penegakan hukum pidana.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai salah satu acuan bagi

institusi Kejaksaan pada khususnya dan aparat penegak hukum secara umum

dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.

D. Kerangka Pemikiran

1. Alur Pikir

Alur pikir penelitian mengenai praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika di

(23)

Bagan 1. Alur Pikir Penelitian

Penyalahgunaan Narkotika

Undang-Undang Narkotika

Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana oleh

Kepolisian Pelimpahan Berkas

kepada Institusi Kejaksaan

Penuntutan oleh Kejaksaan

Praktik Penuntutan oleh JPU

Penyebab Disparitas Penuntutan

Pembahasan

Kesimpulan Pelaku

(24)

2. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis sebagai suatu pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang

relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmu hukum. Kerangka teoritis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Kewenangan

Kewenangan berasal dari kata dasar wewenang, yang diartikan sebagai hal

berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.

kewenangan adalah kekuasaan formal. Kekuasaan yang berasal dari kekuasaan

legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif.

Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa kewenangan adalah kekuasaan

terhadap segolongan orang atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan

(atau bidang urusan) tertentu.4

Secara organisasional kewenangan adalah kemampuan yuridis yang didasarkan pada

hukum publik. Terdapat kewenangan diikatkan pula hak dan kewajiban, yaitu agar

kewenangan tidak semata-mata diartikan sebagai hak berdasarkan hukum publik,

tetapi juga kewajiban sebagai hukum publik. Kewenangan tidak hanya diartikan

sebagai kekuasaan, oleh karena itu, dalam menjalankan hak berdasarkan hukum

publik selalu terikat kewajiban berdasarkan hukum publik tidak tertulis atau asas

umum pemerintahan yang baik. Kewenangan dalam hal ini dibedakan menjadi:

a. Pemberian kewenangan: pemberian hak kepada, dan pembebanan kewajiban

terhadap badan (atribusi/mandat);

4

(25)

b. Pelaksanaan kewenangan: menjalankan hak dan kewajiban publik yang berarti

mempersiapkan dan mengambil keputusan;

c. akibat Hukum dari pelaksanaan kewenangan: seluruh hak dan/atau kewajiban

yang terletak rakyat/burger, kelompok rakyat dan badan5

Kewenangan berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai suatu

kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis

wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku serta melakukan hubungan-hubungan hukum. 6

Tugas merupakan seperangkat bidang pekerjaan yang harus dikerjakan dan melekat

pada seseorang atau lembaga sesuai dengan fungsi yang dimilikinya, sedangkan

fungsi berasal dari kata dalam Bahasa Inggris function, yang berarti sesuatu yang

mengandung kegunaan atau manfaat. Fungsi lembaga atau institusi formal adalah

adanya kekuasaan berupa tugas yang dimiliki dalam kedudukannya di organisasi

untuk melakukan sesuatu sesuai dengan bidang tugas dan wewenangnya

masing-masing. Fungsi lembaga atau institusi disusun sebagai pedoman atau haluan bagi

organisasi tersebut dalam melaksanakan kegiatan dan mencapai tujuan organisasi.7 b. Teori Penegakan Hukum dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan

hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila

berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan

5

Ibid, hlm. 7.

6

Muammar Himawan, Pokok-Pokok Organisasi Modern, Bina Ilmu, Jakarta, 2004, hlm. 51.

7

(26)

keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam

masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak

termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk

melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana8

Penegakan hukum pada dasarnya merupakan upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam

lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan

oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu

melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang

menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu

dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia

menjalankan atau menegakkan aturan hukum.9

Penegakan hukum dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu

hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin

dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum

itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu

dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini,

pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas,

penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung di

dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam

8

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994, hlm. 76.

9

(27)

masyarakat, tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut

penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.10

Penegakan hukum sebagai upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik

dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai

pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum

yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas

dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma

hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari

pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita

tentukan sendiri batas-batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan

dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita

batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-aspek

subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran

saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.11 Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,

namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:

a) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi

keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian

hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena

itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum

10

Ibid, hlm. 23.

11

(28)

merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu

tidak bertentangan dengan hukum.

b) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas

atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan

hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa

kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah

suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga

penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan

diaktualisasikan.

c) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,

keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan

hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin

menjalankan peranan semestinya.

d) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan

hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan

penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran

hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang

baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin

(29)

e) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.

Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan

nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak

penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan

masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Apabila

peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan

kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan

menegakkan peraturan hukum.12 c. Teori Perilaku Organisasi

Perilaku organisasi organisasi merupakan studi menyangkut aspek-aspek tingkah

laku manusia dalam suatu organisasi atau suatu kelompok tertentu. Dia meliputi

aspek yang ditimbulkan dari pengaruh organisasi terhadap manusia atau sebaliknya.

Tujuan praktis dari penelahaan studi ini adalah untuk mendeterminasi bagaimanakah

perilaku manusia itu mempengaruhi usaha pencapaian tujuan organisasi.

Perbedaan antara perilaku organisasi dengan personel dan human resources adalah,

bahwa perilaku organisasi lebih menekankan pada orientasi konsep, sedangkan

personel dan human resources menekankan pada teknik dan teknologi. Variabel tak

bebas, seperti misalnya tingkah laku dan reaksi yang efektif dalam organisasi

seringkali muncul pada keduanya. Personel dan human resources nampaknya

berada pada permukaan antara organisasi dan individu dengan menekankan pada

12

(30)

pengembangan dan pelaksanaan sistem pengangkatan, pengembangan, dan motivasi

individu dalam organisasi.13

Faktor pendukung utama dari suatu organisasi adalah manusia. Ilmu perilaku

organisasi mengurangi sikap birokrat yang tidak respektif pada manusia dengan cara

menarik sebagian pandangannya terpusat pada perilaku manusia itu sendiri.

Perkembangan ilmu perilaku manusia dalam organisasi menurut sejarahnya telah

dimulai sejak awal perkembangan gerakan manajemen ilmiah bahkan jauh

sebelumnya dapat dikenali sebagai langkah awal dari pengambangan ilmu ini.

Konsep birokrasi Weber, penemuan administrasi Fayol, dan gerakan manajemen

ilmiah Taylor memberikan sumbangan yang tidak ternilai dari sejarah awal

perkembangan bidang pengkajian perilaku manusia dalam organisasi.14

Perilaku organisasi dipengaruhi oleh struktur organisasi, sebagai pola formal tentang

bagaimana orang dan pekerjaan dikelompokkan. Struktur sering digambarkan

dengan suatu bagan organisasi. Proses berkenaan dengan aktivitas yang memberi

kehidupan pada skema organisasi itu. Komunikasi, pengambilan keputusan, evaluasi

prestasi kerja sosialisasi, dan pengembangan karier adalah proses dalam setiap

organisasi. Kadang-kadang pemahaman masalah proses seperti gangguan

komunikasi, pengambilan keputusan, atau sistem evaluasi prestasi kerja yang

disusun secara kurang baik, dapat menghasilkan pengertian yang lebih tepat atas

perilaku organisasi daripada hanya mengkaji tatanan struktural. 15

13

Stephen P, Robbins, Perilaku Organisasi (Organizational Behavior) Penerjemah: Benyamin Molan, PT. Macanjaya Cemerlang, Jakarta, 2007, hlm. 11.

14

Ibid, hlm. 12.

15

(31)

Struktur organisasi memiliki tiga komponen: Kompleksitas, formalisasi, dan

sentralisasi. Kompleksitas, mempertimbangkan tingkat diferensiasi yang ada dalam

organisasi. Termasuk di dalamnya tingkat spesialisasi atau tingkat pembagian kerja,

jumlah tingkatan dalam hierarki organisasi, serta tingkat sejauh mana unit-unit

organisasi tersebar secara geografis. Formalisasi adalah tingkat sejauh mana sebuah

organisasi menyandarkan dirinya kepada peraturan dan prosedur untuk mengatur

perilaku karyawannya. Sentralisasi mempertimbangkan di mana letak dari pusat

pengambilan keputusan. Pada kasus lainnya, pengambilan keputusan bisa

didesentralisasikan. Dengan demikian organisasi cenderung untuk disentralisasikan

maupun cenderung didesentralisasikan, namun menetapkan letak organisasi dalam

rangkaian keputusan tersebut, merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan

apa jenis struktur yang ada. Struktur organisasi dapat berbentuk lini (garis), lini dan

staf maupun matriks. Untuk dapat bekerja secara efektif dalam organisasi, para

manajer harus memiliki pemahaman yang jelas tentang struktur organisasi. Dengan

memandang suatu bagan organisasi, seseorang hanya melihat suatu susunan posisi,

tugas-tugas pekerjaan dan garis wewenang dari bagian-bagian dalam organisasi.16

3. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam

melaksanakan penelitian17. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim18

16

Ibid, hlm. 14.

17

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1986, hlm. 103.

18

(32)

b. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,

baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 19

c. Penguna narkotika adalah orang yang menggunakan semua jenis narkotika atau

prekursor narkotika dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan atau

mendapatkan halusinasi ketenangan dalam penggunaan tersebut20

d. Penyalahguna narkotika adalah setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa

hak atau melawan hukum21

e. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan

narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik

maupun psikis. 22

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris,

yaitu memecahkan permasalahan dengan menggunakan peraturan

perundang-undangan yang telah dijabarkan dalam pasal-pasalnya. Dengan kata lain metode

penelitian ini dimulai dari menganalisa kasus untuk kemudian dicari

penyeleasainnya melalui prosedur perundang-undangan. Metode ini digunakan

untuk menganalisa praktik penuntutan terhadap pengguna narkotika pada Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung.

19

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

20

Erwin Mappaseng, Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya, Buana Ilmu, Surakarta, 2002, hlm. 4.

21

Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

22

(33)

2. Sumber dan Jenis Data

Berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan. Jenis

data meliputi data primer dan data sekunder 23

Data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:

a. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library

research), dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap berbagai

teori, asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam

penelitian. Data sekunder terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari:

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana

b) Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana

c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

d) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

e) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman

Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

f) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib

Lapor Pecandu Narkotika menyatakan Wajib Lapor

23

(34)

g) Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor:

B-136/E/EJP/01/2012 Perihal Tuntutan Rehabilitas Medis dan Rehabilitasi

Sosial Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang

Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika

2) Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum tambahan dari berbagai

sumber seperti arsip/dokumentasi, makalah atau jurnal penelitian dan sumber

internet

b. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan

penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan narasumber penelitian.

3. Penentuan Narasumber

Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang

b. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 3 orang+

Jumlah : 4 orang

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan

sebagai berikut:

1) Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan

melakukan serangkaian kegiatan membaca, menelaah dan mengutip dari

bahan kepustakaan serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan

(35)

2) Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan

data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang

dibutuhkan. Studi lapangan ini dilaksanakan dengan melakukan wawancara

kepada narasumber penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara

yang telah dipersiapkan sebelumnya.

b. Pengolahan Data

Tahap pengolahan data adalah sebagai berikut:

1) Seleksi Data

Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan

data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

2) Klasifikasi Data

Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam

rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk

kepentingan penelitian.

3) Penyusunan Data

Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan

yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang

ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

4. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis

kualitatif, dengan menguraikan data dalam bentuk kalimat per kalimat yang tersusun

secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk

(36)

induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan

yang bersifat umum.

F. Sistematika Penulisan

Tesis ini disajikan ke dalam empat bab yang saling berhubungan antara satu bab

dengan bab lainnya, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini berisi pendahuluan yaitu Latar Belakang Masalah, Permasalahan dan Ruang

Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Konseptual serta Sistematika

Penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi tinjauan umum tentang Kejaksaan,

tinjauan umum tentang disparitas, pidana penjara dalam tata hukum di Indonesia,

rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, dan pembaharuan hukum pidana.

Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab ini berisi hasil dan pembahasan mengenai praktik penuntutan terhadap

pengguna narkotika di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan penyebab disparitas

penuntutan terhadap pengguna narkotika antara pidana penjara dan rehabilitasi

medis.

Bab IV Penutup

Bab ini berisi kesimpulan penelitian yang didasarkan pada pembahasan serta saran

yang ditujukan kepada aparat penegak hukum dan berbagai pihak yang memiliki

(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Kejaksaan

1. Pengertian Kejaksaan

Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan

dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik

Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di

bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.1

Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan

kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang

melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan

dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang

diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan

pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta

wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa

selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh

undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan Pengadilan

1

(38)

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana

tertentu, dan lain-lain.

Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai

kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang

dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak

berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan selain

sebagai penyandang Dominus Litis, juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana

putusan pidana (executive ambtenaar). Undang-Undang Kejaksaan memperkuat

kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang

melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dalam melaksanakan fungsi,

tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh

kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam

melaksanakan tugas profesionalnya.

2. Tugas Pokok Kejaksaan

Seorang Jaksa dalam menjalankan tugasnya harus tunduk dan patuh pada tugas,

fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan dalam UU Kejaksaan. Tugas adalah

amanat pokok yang wajib dilakukan dalam suatu tindakan jabatan. Sedangkan

wewenang adalah pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan kompetensi yurisdiksi

baik kompetensi relatif maupun kompetensi mutlak. Dengan tugas dan wewenang,

suatu badan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan badan tersebut. 2

2

(39)

Sehubungan dengan itu, maka antara fungsi, tugas dan wewenang merupakan tiga

kata yang selalu berkaitan satu sama lain. Mengenai dua kata yang selalu berkaitan

antara tugas dan wewenang dapat dibuktikan secara tertulis dalam beberapa

undang-undang, dalam hal ini diambil contohnya dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, yaitu:

(1) Dalam bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(2) Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

Satu hal yang hanya diatur dalam Pasal 30 Ayat (1) UU Kejaksaan yaitu bahwa

Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak

pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Adapun tindakan pidana tertentu

berdasarkan undang-undang dimaksud adalah sebagaimana dijelaskan dalam

penjelasan Pasal 30 Ayat (1) huruf d ini bahwa kewenangan dalam ketentuan ini

adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 36

(40)

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagiana telah diubah

menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan

Republik Indonesia, Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan

seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang

layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal

yang dapat membaahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaaan Republik Indonesia Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain

berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Pasal

33 menyatakan bahwa Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan

penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Pasal 34

menyatakan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang

hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.

3. Kedudukan Kejaksaan

Kejaksaan Negeri merupakan bagian dari lembaga pemerintah dengan melaksanakan

tugas kekuasaan negara di bidang penuntutan dan merupakan instansi vertikal dari

Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kejaksaan Tinggi. Kedudukan Kejaksaan

sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di

bidang penuntutan di lingkungan peradilan umum, pada saat ini semakin dituntut

kapabilitasnya dalam mewujudkan supremasi hukum, termasuk mewujudkan

(41)

melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan dan kebenaran

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan senantiasa menjunjung tinggi prinsip

bahwa setiap warga negara bersama kedudukan di depan hukum.

Kejaksaan dalam hal ini menjadi salah satu bagian penting dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia, yaitu suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi

kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan,

menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka

yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang

menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil,

hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian

kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial.

Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian

hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi

apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat

materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum

benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 3

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana

melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.

Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga

pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan

3

(42)

berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing

menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

4. Fungsi Kejaksaaan

Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung RI no: INS-002/A/JA/1/2010 tentang

Perencanaan Stratejik dan Rencana Kinerja Kejaksaan RI Tahun 2010-2015, Fungsi

Kejaksaan adalah sebagai berikut:

(1) Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis pemberian

bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan sesuai dengan bidang

tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang

ditetapkan oleh Jaksa Agung;

(2) Penyelengaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan

manajemen, administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas

milik negara menjadi tanggung jawabnya;

(3) Pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang berintikan keadilan

di bidang pidana;

(4) Pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang ketertiban

dan ketentraman mum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan

penegaakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan

hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaanm

pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan peraturan

perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan Jaksa Agung;

(5) Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat

(43)

karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat

membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;

(6) Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan

peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

(7) Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik di

dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan fungsinya

berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan

oleh Jaksa Agung.

Kejaksaan merupakan komponen kekuasaan eksekutif dalam urusan penegakan

hukum dan langsung di bawah presiden. Tugas dan fungsi Kejaksaan Tinggi

dilaksanakan oleh pejabat yang ada di lingkungan Kejaksaan Tinggi dan telah

ditentukan dalam Keputusan Jaksa Agung yang mengatur tiap-tiap pejabat yang ada

di KejaksaanTinggi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai aparat

penegak hukum dan sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, beberapa penyempurnaan

terhadap institusi Kejaksaan adalah sebagai berikut:

(1) Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara

di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut di-laksanakan secara

merdeka. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melak-sanakan fungsi, tugas, dan

wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan

lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan

yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati

(44)

sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan

perkara untuk keberhasilan penuntutan.

(2) Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang

pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang.

Sesuai dengan profesionalisme dan fungsi Kejaksaan, di-tentukan bahwa jaksa

merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian, usia pensiun jaksa yang

semula 58 (lima puluh delapan) tahun ditetapkan menjadi 62 (enam puluh dua)

tahun.

(3) Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu

dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang

memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan,

misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(4) Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara

di bidang penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan

perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian,

Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab

kepada Presiden. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan

mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai

penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan

pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga

(45)

Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada dasarnya adalah seseorang yang diberi wewenang

oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan pelaksanaan penetapan

hakim. Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa membina hubungan

kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau

instansi lainnya.

Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

seorang Jaksa Penuntut Umum dalam pelaksanaan tugas dan wewenang:

(1) Bertindak untuk dan atas nama negara, bertanggungjawab sesuai saluran hirarki;

(2) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,

melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasar alat bukti yang sah;

(3) Senantiasa bertindak berdasar hukum, mengindahkan norma-norma keagamaan,

kesopanan, dan kesusilaan;

(4) Wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup

dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat

profesinya.

Kejaksaan dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dilakukan

secara merdeka, di mana dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab itu seorang

jaksa harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan

lainnya. Hal ini berdasarkan Pasal 2 UU tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 37 Ayat

(1) disebutkan bahwa Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang

(46)

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan

Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain

berdasarkan undang-undang. Tugas dan kewenangan jaksa dalam bidang pidana

diatur dalam Pasal 30 Ayat (1) UU Kejaksaan antara lain:

(1) Melakukan penuntutan;

(1) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap;

(2) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan

pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

(3) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;

(4) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan

tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya

dikoordinasikan dengan penyidik.

Sesuai dengan penjelasan di atas maka diketahui tugas dan kewenangan jaksa adalah

sebagai penuntut umum dan pelaksana (eksekutor) putusan Pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Untuk perkara perdata, pelaksana

putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah juru sita dan

panitera dipimpin oleh ketua Pengadilan sebagaimana diatur Pasal 54 Ayat (2) UU

(47)

5. Peran Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban

kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan

mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 4 Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang

menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil,

hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian

kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial.

Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian

hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi

apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat

materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum

benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 5

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana

melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.

Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga

pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan

berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing

menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

4

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana IndonesiaMelihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hlm. 12-13.

5

(48)

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi

(stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar

peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya

ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum.

Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang

di muka Pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka

penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu

prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus

sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 6

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana

substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk

yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak

keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni

lembaga kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu due

process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses

hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan

layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara

pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due

process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau

perundang-undangan secara formil.7

6

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm. 7.

7

(49)

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan lay

Referensi

Dokumen terkait

Verval NUPTK periode 2013 , untuk inf o lebih lanjut

Dalam penelitian dengan menggunakan metode lima fase ini memiliki tujuan antara lain mengidentifikasi lini proses yang bermasalah, mengidentifikasi dan menganalisa jenis cacat pada

Dokumen ini adalah f ormulir Resmi Verval NUPTK periode 2013, untuk inf o lebih lanjut kunjungi http://padamu.kemdikbud.go.id. ALUR

Dengan adanya kanban yang merupakan suatu alat untuk mencapai produksi Just In Time, diharapkan dapat menekan kelemahan-kelemahan yang terjadi pada sistem produksi dengan membuat

Untuk mencapai sasaran tersebut dibutuhkan perbaikan tempat kerja dengan melibatkan semua pihak intern perusahaan serta teknik-teknik sederhana tanpa melibatkan sejumlah dana yang

Masyarakat Adat maupun Komunitas Lokal dapat mengajukan proposal pendanaan untuk mendukung aktifitas terkait isu tenurial, isu mata pencaharian-penghidupan yang terkait

Penelitian ini dibatasi berdasarkan percakapan yang mengandung makna implisit pada percakapan antara pramuniaga dengan konsumen mobil yang menjelaskan jenis, makna, dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak etanolik daun Sambung nyawa ( Gynura procumbens (Luor) Merr) pada proliferasi sel kanker payudara tikus yang