• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertanian Pada Lanskap Pekarangan Untuk Mendukung Penganekaragaman Konsumsi Pangan Keluarg

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertanian Pada Lanskap Pekarangan Untuk Mendukung Penganekaragaman Konsumsi Pangan Keluarg"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI PERTANIAN

PADA LANSKAP PEKARANGAN UNTUK MENDUKUNG

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN KELUARGA

AZKA LATHIFA ZAHRATU AZRA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertanian pada Lanskap Pekarangan untuk Mendukung Penganekaragaman Konsumsi Pangan Keluarga adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

.

(4)

RINGKASAN

AZKA LATHIFA ZAHRATU AZRA. Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertanian pada Lanskap Pekarangan untuk Mendukung Penganekaragaman Konsumsi Pangan Keluarga. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN, MADE ASTAWAN, dan NURHAYATI HS ARIFIN.

Salah satu syarat pangan yang baik dan menyehatkan adalah pangan yang jenisnya beranekaragam. Namun keanekaragaman konsumsi pangan masyarakat di Indonesia saat ini, terutama buah-buahan dan sayuran masih di bawah target, yaitu 54.3% dari total kebutuhan ideal. Peningkatan penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat dapat dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi pekarangan. Pekarangan, sebagai taman rumah Indonesia, berpotensi untuk konservasi keanekaragaman hayati pertanian yang baik dikonsumsi, yaitu pangan yang jenisnya beranekaragam dan sehat bagi tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik pekarangan yang berpotensi mendukung penganekaragaman konsumsi pangan dalam keluarga, menganalisis kontribusi pekarangan untuk peningkatan kualitas gizi keluarga, serta menyusun strategi konservasi keanekaragaman hayati pertanian lanskap pekarangan yang dapat mendukung penganekaragaman konsumsi pangan keluarga. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung (dataran tinggi), Kabupaten Bogor (dataran sedang), dan Kabupaten Cirebon (dataran rendah). Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan dari bulan Desember 2013 hingga Juni 2014.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekarangan di Kabupaten Bogor memiliki keanekaragaman tanaman tertinggi (1.95) dibandingkan dua kabupaten lainnya. Namun, nilai tinggi pada keragaman tanaman dan ternak pekarangan masih belum diimbangi dengan perolehan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi yang ideal pemilik pekarangan. Peningkatan diversifikasi peran makanan dan akuisisi gizi keluarga dapat ditingkatkan dengan mengoptimalkan fungsi ekologis pekarangan, yaitu penyesuaian ukuran dan zonasi pekarangan, serta meningkatkan keragaman tanaman dan ternak. Selain itu, juga diperlukan peran ibu rumah tangga dan pendampingan dari pemerintah dalam pengelolaan pekarangan yang dapat mendukung diversifikasi dan peningkatan kualitas gizi rumah tangga.

Kata kunci:

(5)

SUMMARY

AZKA LATHIFA ZAHRATU AZRA. Conservation of Pekarangan's Agrobiodiversity to Support the Household Food Consumption Diversification. Supervised by HADI SUSILO ARIFIN, MADE ASTAWAN, dan NURHAYATI HS ARIFIN.

One of the requirements of good and healthy food is the diversification of food consumption. However, the diversity of community's food consumption in Indonesia today, especially fruits and vegetables are still lower than target, which is 54.3% of the ideal requirement. Increasing food consumption diversification in Indonesia can be by optimizing the function of pekarangan. Pekarangan, as the Indonesian home garden, is for agrobiodiversity conservation. The purpose of this study is to analyze the characteristics of pekarangan that could potentially support the diversification of food consumption for families, to analyze contribution of pekarangan to increase the nutritional quality in family level, to establish biodiversity conservation strategy of pekarangan that can support the diversification of household food consumption. The study was conducted in Bandung (highland), Bogor (middle latitudes), and Cirebon (lowland) from December 2013 until June 2014.

The results showed that Pekarangan in Bogor has the highest plant diversity (1.95) than two other districts. However, high value diversity of crops and livestock in pekarangan still has not been matched with the acquisition of adequate nutrition to meet the ideal nutritional needs of the household. Increasing diversification of food and household adequate nutrition role can be improved by optimizing the ecological functions of pekarangan, the adjustment of the size and zone, as well as increasing the diversity of crops and livestock. Furthermore, it’s also required the role of housewife and monitoring from the government in the management of pekarangan. These ways can support the diversification and improvement of the quality of household nutrition.

Keywords:

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI PERTANIAN

PADA LANSKAP PEKARANGAN UNTUK MENDUKUNG

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN KELUARGA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pekarangan, dengan judul Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertanian pada Lanskap Pekarangan untuk Mendukung Penganekaragaman Konsumsi Pangan Keluarga. Hasil utama dari penelitian ini adalah membuat strategi pengelolaan pekarangan yang dapat mendukung penganekaragaman konsumsi pangan keluarga.

Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Lintas Fakultas, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia melalui program Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) 2013 yang berjudul Pemberdayaan Keanekaragaman Pertanian (Agrobiodiversity) Pekarangan untuk Mendukung Penganekaragaman Pangan yang Bergizi Seimbang, Sehat, dan Aman di bawah koordinasi Dr Ir Nurhayati HS Arifin, MSc.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Hadi Susilo Arifin, MS selaku ketua komisi pembimbing, serta Prof Dr Ir Made Astawan, MS dan Dr Ir Nurhayati HS Arifin, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan masukan, saran, dan kritik yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Tim Manajemen Lanskap BOPTN Pekarangan (Vivandra Prima Budiman, Ray March Syahadat, Sanjiva Refi Hasibuan, Eka Yuli Agisah, Irma Lasmiana), teman-teman fast-track Arsitektur Lanskap 46 (Siti Novianti Lufilah, Erlinda Faradilla, Miftahul Jannah, dan Ahmad Nafis Nugraha), keluarga Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2012 dan 2013, Istiqomah Vista Destiana, Ina Winiastuti Hutriani, Teguh Jati Prasetyo, Aisyah, Muhammad Sigit Susanto, serta pihak lainnya atas segala doa dan dukungannya. Ungkapan terima kasih teristimewa penulis sampaikan kepada Ayah Dr Ir Lukman Mohammad Baga, MAEc, Ummi Ir Dewi Wahyuni, Mbah Larasati Mohadi, Rifqy Abdussalam Ikram Madina, Shidqu Abdulaziz Ilham Maulana, dan Atika Rahima Dzaka Imany yang selalu memberikan dukungan dan kehangatan bagi penulis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif bagi masyarakat daerah perdesaan untuk mengoptimalkan potensi pekarangan, terutama dalam memanfaatkan fungsi produksi untuk mendukung pencapaian penganekaragaman konsumsi pangan dan penunjang kualitas gizi keluarga. Selain itu, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi bagi pihak pemerintah dan akademisi untuk mensosialisasikan fungsi pekarangan dalam mempertahankan keanekaragaman hayati pertanian dalam mendukung diversifikasi pangan lokal serta pola konsumsi pangan yang beraagam, bergizi, seimbang dan aman. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat Penelitian 2

1.5 Ruang Lingkup Penelitian 3

1.6 Kerangka Pikir Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Pengertian dan Fungsi Pekarangan 4

2.1.1 Zonasi Pekarangan 4

2.1.2 Ukuran Pekarangan 5

2.1.3 Keragaman Tanaman, Ternak dan Ikan Pekarangan 5 2.2 Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertanian 6 2.3 Penganekaragaman Pangan yang Bergizi Seimbang, Sehat, dan Aman 6

2.4 Pola Konsumsi Pangan 8

2.4.1 Kebiasaan Makan 8

2.4.2 Jumlah dan Jenis Pangan 8

3 METODE 9

3.1 Lokasi dan Waktu 9

3.2 Alat dan Bahan 10

3.3 Metode Pengumpulan Data 11

3.4 Metode Pengolahan Data 12

3.4.1 Klasifikasi Karakteristik Ekologi Pekarangan 14

3.4.1.1 Analisis Keragaman Shannon-Wiener 14

3.4.1.2 Analisis Dominansi Tanaman Pekarangan 14

3.4.1.3 Analisis Pemanfaatan Pangan dari Pekarangan 15

3.4.1.4 Analisis Pemeliharaan Pekarangan 15

3.4.1.5 Analisis Pengaruh Program P2KP Terhadap

Pemanfaatan Pekarangan 15 3.4.2 Analisis Perolehan Gizi dan Pemenuhan Pangan dari

Tanaman Pekarangan 15

3.4.2.1 Analisis Aspek Demografi Rumah Tangga 15

3.4.2.2 Analisis Pola Konsumsi Pangan Menurut

(12)

3.4.2.3 Analisis Perolehan Gizi dan Pemenuhan Pangan

dari Tanaman Pekarangan 16 3.4.3 Penyusunan Strategi Konservasi Keanekaragaman Hayati

Pertanian pada Lanskap Pekarangan 16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

4.1 Analisis Situasional 17

4.1.1 Analisis Situasional Kabupaten Bandung 17 4.1.2 Analisis Situasional Kabupaten Bogor 21 4.1.3 Analisis Situasional Kabupaten Cirebon 26

4.2 Analisis Karakteristik Pekarangan 30

4.2.1 Analisis Ukuran Pekarangan 30

4.2.2 Analisis Zonasi Pekarangan 31

4.2.3 Analisis Keragaman Tanaman Pekarangan 32

4.2.3.1 Analisis Keragaman Fungsi Tanaman di Pekarangan 32

4.2.3.2Analisis Keragaman dan Dominansi

Tanaman Pangan 33

4.2.3.3 Analisis Keragaman Strata Tanaman di Pekarangan 35

4.2.4 Analisis Keragaman Ternak Pekarangan 35 4.3 Analisis Aspek Pengelolaan dan Pemanfaan Pangan di Pekarangan 36 4.3.1 Analisis Aspek Pengelolaan Pekarangan 36 4.3.2 Analisis Aspek Pemanfaatan Pangan Pekarangan 37 4.4 Dampak Program P2KP Terhadap Pemanfaatan Pekarangan 39 4.5 Analisis Pemenuhan Kebutuhan Gizi dari Pangan Pekarangan 41 4.5.1 Analisis Komposisi Keluarga dan Pola Konsumsi Pangan 41 4.5.2 Analisis Pemenuhan Jenis Pangan dari Pekarangan

untuk Konsumsi 42

4.5.3 Analisis Pemenuhan Angka Kecukupan Gizi dari Pekarangan 44 4.5.4 Analisis Potensi Penganekaragaman Konsumsi Pangan dari

Pekarangan 45

4.6 Evaluasi Pencapaian Target Program Percepatan Penganekaragaman

Pangan (P2KP) 46

4.7 Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan untuk Mendukung

Penganekaragaman Pangan 47

4.7.1 Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan Sebagai Ruang untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertanian 47

4.7.1.1 Ukuran Pekarangan 47

4.7.1.2 Zonasi dan Pola Penggunaan Lahan Pekarangan 49

4.7.2 Edukasi kepada ibu rumah tangga 55

4.7.3 Pendampingan dari pihak pemerintah 55

4.7.4 Contoh Model Pekarangan yang Mendukung Penganekaragaman

Konsumsi Pangan 56

(13)

4.7.4.2 Contoh Model Pekarangan Sedang 59

4.7.4.3 Contoh Model Pekarangan Besar 59

4.7.5 Pemeliharaan pekarangan 64

5 SIMPULAN DAN SARAN 64

5.1 Simpulan 64

5.2 Saran 64

DAFTAR PUSTAKA 65

LAMPIRAN 68

(14)

DAFTAR TABEL

1 Sasaran Sasaran Persentase Konsumsi Energi terhadap Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2010-2014a 7

2 Pencapaian skor Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2010-2012 di Jawa Barata 8

3 Rincian lokasi penelitian 9

4 Alat penelitian 10

5 Data yang diperlukan 11

6 Sasaran dan aspek yang diperhatikan di tahap survei dan wawancara 12 7 Luas, zonasi dan fasilitas ternak di pekarangan Desa Patrolsari,

Desa Girimekar, dan Desa Bojongemas, Kabupaten Bandung 19 8 Jumlah jenis tanaman, ternak dan ikan di pekarangan Desa Patrolsari, 20 9 Karakteristik pengelola pekarangan di Desa Patrolsari, Desa Girimekar,

dan Desa Bojongemas, Kabupaten Bandung 21

10 Karakteristik Kelompok Wanita Tani (KWT) di Desa Patrolsari, Desa Girimekar, dan Desa Bojongemas, Kabupaten Bandung 21 11 Luas, zonasi dan fasilitas ternak di pekarangan Desa Situ Udik,

Desa Cikarawang, dan Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor 24 12 Jumlah jenis tanaman, ternak dan ikan di pekarangan Desa Situ Udik,

Desa Cikarawang, dan Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor 25 13 Karakteristik pengelola pekarangan di Desa Situ Udik, Desa Cikarawang,

dan Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor 25

14 Karakteristik Kelompok Wanita Tani (KWT) di Desa Situ Udik, Desa Cikarawang, dan Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor 26 15 Luas, zonasi dan fasilitas ternak di pekarangan Desa Bakung Lor,

Desa Grogol, dan Desa Pegagan Lor, Kabupaten Cirebon 28 16 Jumlah jenis tanaman, ternak dan ikan di pekarangan Desa Bakung Lor, Desa Grogol, dan Desa Pegagan Lor, Kabupaten Cirebon 29 17 Karakteristik pengelola pekarangan di Desa Bakung Lor, Desa Grogol,

dan Desa Pegagan Lor, Kabupaten Cirebon 29

18 Karakteristik Kelompok Wanita Tani (KWT) di Desa Bakung Lor, Desa Grogol, dan Desa Pegagan Lor, Kabupaten Cirebon 30 19 Persentase jumlah pekarangan berdasarkan klasifikasi ukuran 30 20 Persentase keberadaan vertikultur dan penanaman dalam wadah 31 21 Persentase frekuensi keberadaan zona pekarangan 31 22 Keragaman strata tanaman pekarangan berdasarkan rata-rata jumlah 32 23 Indeks keragaman Shannon Wiener pada tanaman pangan pekarangan 33

24 Dominasi tanaman pekarangan 34

25 Keragaman strata tanaman pekarangan berdasarkan rata-rata jumlah 35

26 Persentase keberadaan ternak pekarangan 35

27 Persentase keragaman jenis ternak pekarangan 36

28 Persentase pemanfaatan pangan pekarangan 38

29 Alokasi pemanfaatan pangan dari pekarangan 38

30 Karakteristik KWT di lokasi penelitian 39

31 Produk pekarangan yang dimanfaatkan untuk konsumsi langsung 43

32 Persentase pemenuhan AKG dari konsumsi 44

33 Persentase pemenuhan AKG dari pangan pekarangan (%) 45

(15)

35 Sumber gizi dari pangan pekarangan 50

36 Panen ternak di pekarangan 55

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 3

2 Pembagian zonasi di pekarangan (Arifin 1998) 4

3 Lokasi penelitian 10

4 Alur penelitian 13

5 Kondisi umum Desa Patrolsari 17

6 Kondisi umum Desa Girimekar 18

7 Kondisi umum Desa Bojongemas 19

8 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Patrolsari 19 9 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Bojongemas 20 10 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Girimekar 20

11 Kondisi umum Desa Situ Udik 22

12 Kondisi umum Desa Cikarawang 23

13 Kondisi umum Desa Bantarsari 23

14 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Situ Udik 24 15 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Cikarawang 24 16 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Bantarsari 24

17 Kondisi umum Desa Bakung Lor 26

18 Kondisi umum Desa Grogol 27

19 Kondisi umum Desa Pegagan Lor 27

20 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Bakung Lor 28 21 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Grogol 28 22 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Pegagan Lor 28 23 Preferensi zonasi pekarangan untuk penanaman pangan 32 24 Tanaman hias yang berfungsi sebagai tanaman pangan 33

25 Tanaman pangan pekarangan dengan nilai SDR 34

26 Ternak kecil yang paling sering ditemui: Ayam, Bebek dan Entog 36

27 Proporsi pekerjaan anggota KWT 37

28 Pemanfaatan pekarangan untuk penyedia pangan sekaligus menjadi produk unggulan KWT (kiri-kanan): Stroberi di Desa Situ Udik, Jambu kristal di Desa Cikarawang, dan Jambu kristal di Desa Bantarsari 40 29 Produk unggulan KWT Bina Sri Lestari, Desa Grogol 40 30 Rak tanaman yang pemanfaatannya tidak efektif 41 31 Persentase pemenuhan jenis pangan pekarangan terhadap jenis pangan total

untuk konsumsi 43

32 Contoh penanaman tanaman secara vertikal 49

33 Contoh pola penanaman tanaman berdasarkan keragaman fungsi tanaman 49 34 Contoh pola penanaman tanaman berdasarkan keragaman strata tanaman 50

35 Kalender tanaman sayur 52

36 Kalender tanaman bumbu dan penghasil pati 53

37 Kalender tanaman buah 54

38 Contoh edukasi santai kepada ibu rumah tangga serta (kiri)

(16)

39 Contoh model pekarangan sempit 57 40 Desain penanaman contoh model pekarangan sempit 58

41 Contoh model pekarangan sedang 60

42 Desain penanaman contoh model pekarangan sedang 61

43 Contoh model pekarangan besar 62

44 Desain penanaman contoh model pekarangan besar 63

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data keragaman tanaman dari hasil survei 68

2 Pangan pekarangan sumber zat gizi makro 72

3 Pangan pekarangan sumber zat gizi mikro 73

4 Tanaman yang sesuai dibudidayakan di Kabupaten Bandung 74 5 Tanaman yang sesuai dibudidayakan di Kabupaten Bogor 74 6 Tanaman yang sesuai dibudidayakan di Kabupaten Cirebon 74

(17)

1

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi Indonesia saat ini, konsumsi pangan terutama buah dan sayur dalam Pola Pangan Harapan (PPH) di Indonesia masih di bawah target, yaitu hanya sebesar 54.3% dari angka ideal (BPS Jawa Barat 2012). Selain itu, Jawa Barat menjadi salah satu provinsi yang berkontribusi besar terhadap tingginya Angka Kematian Bayi di Indonesia. Menurut data Laporan Program Kesehatan Anak Provinsi Jawa Barat (2014), jumlah kematian neonatus yang dilaporkan di Jawa Barat mencapai angka 1 467 dan kematian bayi mencapai 305 jiwa. Tingginya kasus gizi buruk ini secara tidak langsung merupakan indikator bahwa nilai ketahanan pangan nasional Indonesia masih rendah. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan (FAO 2006). Ketahanan pangan nasional merupakan agregat ketahanan pangan skala rumah tangga. Jika skala rumah tangga dapat terpenuhi secara massal, maka dapat berkontribusi penuh dalam membantu mutu ketahanan pangan nasional.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produksi kebutuhan pangan skala rumah tangga adalah optimalisasi lahan pekarangan dalam memenuhi kebutuhan pangan skala lokal. Pekarangan merupakan sebidang lahan yang berada di sekitar rumah dengan status kepemilikan pribadi dan memiliki batas-batas yang jelas, baik berupa tembok, pagar besi, pagar tanaman tergantung pada adat, kebiasaan, sosial-budaya masyarakat, status ekonomi, lokasi pekarangan, dan lain-lain (Arifin et.al. 1997). Pekarangan rumah juga memiliki keragaman struktur yang kompleks, serta dimensi fungsi ekobiologis. Hal ini dikarenakan keragaman elemen di pekarangan dapat dimanfaatkan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari, seperti bahan makanan serta bahan untuk upacara adat setempat. Oleh karena itu, pemberdayaan pekarangan merupakan cara penggunaan lahan yang dapat meningkatkan produktivitas dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan apabila pengelolaannya dilakukan secara optimal. Ditambah dengan data bahwa secara nasional, luas pekarangan pekarangan adalah sekitar 10.3 juta atau 14% luas lahan pertanian (Badan Litbang Pertanian 2011), maka pekarangan menjadi potensi dalam mendukung perolehan pangan skala lokal. Pemanfaatan pekarangan oleh masyarakat telah terbukti dapat menjadi salah satu cara untuk memperoleh pangan, terutama buah-buahan yang memiliki persentase 41% dari total fungsi tanaman di dalam pekarangan (Azra et al. 2013). Adapun hal lainnya yang mendukung potensi pekarangan ini adalah dukungan dari kondisi iklim hutan hujan tropis serta tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia yang seharusnya dapat mendukung pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat sepanjang tahun.

(18)

2

melalui program P2KP merupakan salah satu bukti bahwa pemanfaatan pekarangan sudah seharusnya bisa menjadi solusi alternatif untuk menciptakan kondisi masyarakat yang mandiri terhadap kebutuhan pangannya. Namun hingga tahun 2013, PPH Indonesia bernilai 88.2 masih belum mencapai target PPH menurut Renstra BKP 2010 – 2014 dan Perpres 22 Tahun 2009 yaitu 91.5. Oleh karena itu, jika ditinjau dari kontribusi multi-guna pekarangan bagi masyarakat, maka perlu adanya evaluasi terkait efektivitas pelaksanaan program P2KP, serta strategi konservasi agrobiodiversity lanskap pekarangan yang dapat mendukung efektivitas berjalannya program ini, terutama dalam aspek penganekaragaman konsumsi pangan bagi keluarga.

1.2 Perumusan Masalah

Ketahanan pangan di Indonesia merupakan aspek yang krusial dan dapat menjadi salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Keberadaan pemerintah yang telah melakukan upaya pemanfaatan pekarangan melalui program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) merupakan salah satu bukti bahwa pemanfaatan pekarangan sudah seharusnya bisa menjadi solusi alternatif untuk menciptakan kondisi masyarakat yang mandiri terhadap kebutuhan pangannya. Oleh karena itu, jika ditinjau dari kontribusi multi-guna pekarangan bagi masyarakat, maka perlu dikaji ulang terkait pencapaian pemerintah dalam efektivitas pelaksanaan program P2KP, serta strategi konservasi lanskap pekarangan yang dapat mendukung efektivitas berjalannya program ini, terutama dalam aspek penganekaragaman konsumsi pangan bagi keluarga. Sehingga harapannya, hasil dari penelitian ini dapat berkontribusi positif dalam meningkatkan optimalisasi fungsi pekarangan yang dapat mendukung penganekaragaman konsumsi pangan.

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. menganalisis karakteristik dan keanekaragaman hayati pertanian pada pekarangan yang berpotensi dalam mendukung penganekaragaman konsumsi pangan keluarga;

2. menganalisis kontribusi pekarangan terhadap peningkatan kualitas gizi keluarga

3. menyusun strategi konservasi keanekaragaman hayati pertanian lanskap pekarangan yang dapat mendukung penganekaragaman konsumsi pangan keluarga.

1.4 Manfaat Penelitian

(19)

3 1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada kajian pekarangan sebagai salah satu upaya yang dapat mendukung ketercapaian Indonesia dalam aspek penganekaragaman pangan. Berdasarkan multi-potensi dari pekarangan, dapat diketahui bahwa peran pekarangan dalam mendukung penganekaragaman pangan sangatlah kuat. Oleh karena itu, pekarangan yang dijadikan fokus dalam kajian ini adalah pekarangan yang telah termasuk dalam program P2KP dengan mempertimbangkan aspek-aspek agrobiodiversity lanskap untuk memperkuat strategi yang dihasilkan. Penelitian ini dibatasi pada rekomendasi berupa strategi dalam pemanfaatan pekarangan yang dapat mendukung penganekaragaman pangan.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Pekarangan merupakan tipe taman Indonesia yang berlokasi di sekitar rumah, memiliki status pemilikan dan batas-batas tapak yang jelas, ditanami berbagai jenis tanaman, dipelihara berbagai hewan ternak, terdapat satwa liar, struktur bangunan termasuk kegiatan manusia dan elemen manusianya (Arifin et al. 2009). Penelitian ini diawali dengan tahap survei penentuan sampel pekarangan di tiga kabupaten dengan ketinggian dataran yang berbeda. Selanjutnya dilakukan analisis keragaman tanaman, ternak, serta ikan yang ada di pekarangan yang dilanjutkan dengan analisis pada dua aspek besar, yaitu aspek ekologis dan juga aspek gizi untuk mengetahui kontribusi pekarangan dalam mendukung penganekaragaman pangan skala rumah tangga secara simultan dan berkelanjutan (Gambar 1).

Keterangan: Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP), Pola Pangan Harapan (PPH), dan Angka Kecukupan Gizi (AKG)

(20)

4

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Fungsi Pekarangan

Pekarangan merupakan tipe taman rumah tradisional Indonesia yang memanfaatkan lahan di sekitar rumah dengan status dan batas yang jelas. Di areal pedesaan, pekarangan dicirikan dengan keragaman dan stabilitas yang tinggi, agroekosistem yang baik dengan struktur yang menyerupai hutan hujan tropis (Arifin 2012). Pemanfaatan lahan pekarangan di areal rumah dapat memberikan banyak manfaat. Pekarangan dapat berfungsi sebagai sumber pangan, sandang, dan papan, sumber plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, serta sumber tambahan pendapatan keluarga (Arifin et al. 2009). Selain itu, pekarangan dapat menjadi habitat berbagai jenis satwa, pengendali iklim mikro, penyejuk pemandangan, penyerap kebisingan, debu, atau gas beracun, dan juga sebagai daerah resapan air. Jika ditinjau dari sisi ekologis, pekarangan dapat mengkonservasi tanah dan air melalui keberadaan tanaman di dalamnya. Pekarangan juga mudah diusahakan dengan tujuan untuk meningkatkan pemenuhan gizi mikro melalui perbaikan menu keluarga sehingga sering disebut sebagai lumbung hidup, warung hidup atau apotek hidup (Deptan 2002). Oleh karena manfaatnya yang bagitu banyak, pekarangan merupakan suatu penggunaan lahan yang optimal dengan menghasilkan produktivitas yang tinggi di daerah tropis secara berkelanjutan (Arifin 2010). 2.1.1 Zonasi Pekarangan

Pekarangan sebagai tipe taman rumah Indonesia memiliki zonasi untuk penataan ruang tertentu sesuai dengan lokasi geografis dan kondisi sosial budaya yang berlaku di lingkungan pekarangan tersebut. Namun pada umumnya, pekarangan terdiri dari tiga zona berdasarkan fungsinya, yaitu pekarangan depan, pekarangan samping (kiri dan kanan), serta pekarangan belakang (Arifin 1998) (Gambar 2).

Dalam pemanfaatannya yang lebih spesifik, masyarakat Jawa Barat memanfaatkan pekarangan depan sebagai zona yang ditanami tanaman hias dan atau dibiarkan bersih tanpa tanaman. Hal ini dikarenakan zona pekarangan depan

(21)

5 juga berfungsi sebagai area masuk dan keluar rumah, sehingga kualitas estetika dari tanaman pekarangan sangat diprioritaskan di zona ini. Aktifitas yang biasa dilakukan di pekarangan depan antara lain sebagai tempat bermain anak, tempat menjemur hasil pertanian, tempat mengemas sayuran, tempat membuat kerajinan rumah tangga, dan tempat bersosialisasi. Pekarangan samping (pipir) sering dimanfaatkan sebagai tempat menjemur pakaian, tempat menanam pohon penghasil kayu bakar atau tempat pembuatan bedeng tanaman pangan atau obat. Sedangkan pada pekarangan bagian belakang (kebon) biasanya dijadikan sebagai lokasi penanaman tanaman sayur, tanaman bumbu, tanaman buah, dan tanaman industri yang dapat membentuk pola multistrata seperti miniatur hutan hujan tropis (Arifin 2012).

2.1.2 Ukuran Pekarangan

Ada empat jenis pekarangan menurut ukurannya yaitu pekarangan sempit dengan luas kurang dari 120 m2, pekarangan sedang dengan luas 120 m2 - 400 m2,

pekarangan besar dengan luas 400 m2 – 1 000 m2, dan pekarangan sangat besar

dengan luas lebih dari 1 000 m2. Sebagai informasi tambahan, agar pekarangan

dapat mengakomodasi semua struktur dan fungsi vegetasi, dibutuhkan luas minimum sebuah pekarangan atau critical minimum size seluas 100 m2 (Arifin

1998).

2.1.3 Keragaman Tanaman, Ternak dan Ikan Pekarangan

(22)

6

2.2 Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertanian

Keanekaragaman hayati atau biodiversity merupakan pernyataan terdapatnya berbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan persekutuan makhluk, yaitu tingkatan ekosistem, tingkatan jenis, dan tingkatan genetika. Ragam hayati meliputi seluruh spesies tumbuhan, binatang, mikroorganisme, dan gen-gen yang terkandung dalam seluruh ekosistem di muka bumi. Keanekaragaman hayati merupakan sumber kehidupan, penghidupan dan kelangsungan hidup bagi umat manusia karena potensial sebagai sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain. Keanekaragaman hayati bagi manusia adalah pendukung kehidupan yang memberi manusia memperoleh ruang hidup yang di dalamnya terdapat flora, fauna, dan sebagainya untuk dikelola secara bijaksana oleh manusia, dimana sebenarnya manusia sendiri adalah salah satu komponen keanekaragaman hayati (Indrawan et al. 2007). Konservasi keanekaragaman hayati diperlukan untuk keseimbangan ekosistem, juga karena pemanfaatan sumber daya hayati untuk berbagai keperluan secara tidak seimbang akan menyebabkan makin langkanya beberapa jenis flora dan fauna karena kehilangan habitatnya, kerusakan ekosisitem, dan menipisnya plasma nutfah (Supriatna 2008). Adapun keanekaragaman hayati pertanian (agrobiodiversity) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sumber kehidupan, penghidupan dan kelangsungan hidup manusia yang potensial sebagai sumber pangan bagi manusia. Hal ini berarti keanekaragaman hayati pertanian dapat berasal dari tanaman, ternak, dan juga ikan yang berasal dari pekarangan.

Konservasi keanekaragaman hayati pertanian di pekarangan dapat dilakukan dengan dua metode utama, yaitu konservasi in-situ (dalam habitat alaminya) dan konservasi ex-situ (di luar habitat alaminya). Pekarangan dengan basis agroforestri dapat menjadi salah satu metode konservasi secara ex-situ, khususnya untuk pertanian (Paruna 2012). Pekarangan dengan elemen di dalamnya (tanaman, ternak, dan atau ikan) dapat meningkatkan pemanfaatan keanekaragaman hayati pertanian (agrobiodiversity) secara berkelanjutan dan dapat memberikan kontribusi kepada ketahanan pangan serta pemenuhan gizi bagi manusia (Arifin 2012).

2.3 Penganekaragaman Pangan yang Bergizi Seimbang, Sehat, dan Aman Keragaman sumberdaya bahan pangan dapat memperkuat ketahanan pangan skala mikro. Oleh karena itu, orientasi penyediaan pangan harus bertumpu pada peningkatan kuantitas dan kualitas bahan pangan, khususnya dinilai dari aspek komposisi atau keragaman penyediaan dan konsumsi pangan serta mutu gizi konsumsi pangan dengan menitikberatkan pada potensi sumberdaya setempat.

(23)

7 Kedua, pangan yang bergizi artinya pangan yang dikonsumsi harus mempunyai gizi dan dapat memenuhi angka kecukupan gizi (AKG) sebesar 2150 Kkal/kapita/hari (WNPG X 2012). Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Persagi 2009). AKG digunakan sebagai acuan dalam menilai kecukupan gizi, acuan dalam menyusun makanan sehari-hari termasuk perencanaan makanan di institusi, acuan perhitungan dalam perencanaan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional, acuan pendidikan gizi, dan acuan label pangan yang mencantumkan informasi nilai gizi.

Ketiga, pangan yang berimbang artinya pangan yang dikonsumsi harus seimbang dari berbagai jenis pangan serta sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral sesuai dengan standar Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi. Bila kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan telah sesuai PPH, maka dapat dikatakan pula kebutuhan zat gizi telah terpenuhi. Oleh karena itu skor pola konsumsi pangan mencerminkan mutu gizi konsumsi pangan dan tingkat keragaman konsumsi pangan. Berdasarkan definisi ini, dikemukakan tingkat konsumsi energi pada setiap wilayah yaitu proporsi konsumsi energi aktual dengan Angka Kecukupan Energi (AKE). Dengan mengacu pada AKE sebesar 2 200 kkal/orang/hari maka dapat diketahui sebaran komposisi dan keragaman konsumsi pangan sehingga dapat dilakukan penilaian skor mutunya dalam bentuk skor PPH. Tabel 1 menunjukkan sasaran skor pola pangan harapan (PPH) tahun 2010 hingga 2014.

Pemenuhan PPH dari kelompok pangan umbi-umbian, pangan hewani, sayuran dan buah bagi suatu keluarga rumah tangga sudah semestinya dapat didukung dari hasil panen lahan pekarangan. Tabel 2 menginformasikan terkait pencapaian Skor PPH di Propinsi Jawa Barat dari tahun 2010 – 2012. Berdasarkan tebel tersebut dapat terlihat bahwa konsumsi pangan masyarakat Jawa Barat masih kurang dalam semua kelompok pangan, kecuali padi-padian dan minyak. Pada tahun 2012, pemenuhan skor PPH terhadap pangan yang dapat diupayakan di pekarangan masih terbilang kecil, yaitu umbi-umbian sebesar 28%, pangan hewani sebesar 67%, dan sayur dan buah sebesar 54.3%. Umbi-umbian, pangan hewani, Tabel 1 Sasaran Sasaran Persentase Konsumsi Energi terhadap Angka

Kecukupan Gizi (AKG) dan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2010-2014a

Kelompok Pangan 2010 2011 2012 2013 2014 PPH Ideal Padi-padian 54.9 53.9 52.9 51.9 51 25.0

Umbi-umbian 5.0 5.2 5.4 5.6 5.8 2.5

Pangan Hewani 9.6 10.1 10.6 11.1 11.5 24.0

Minyak dan Lemak 10.1 10.1 10.1 10.0 10.0 5.0 Buah/ Biji Berminyak 2.8 2.9 2.9 2.9 3.0 1.0 Kacang-kacangan 4.3 4.4 4.6 4.7 4.9 10.0

Gula 4.9 4.9 5.0 5.0 5.0 2.5

Sayur dan Buah 5.2 5.4 5.5 5.7 5.8 30.0

Lain-lain 2.9 2.9 2.9 2.9 3.0 0.0

(24)

8

sayur dan buah akan menjadi kelompok pangan dari tanaman yang akan ditingkatkan potensinya pada usulan zonasi pekarangan.

Keempat, pangan yang aman, artinya pangan yang dikonsumsi bebas dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Hal ini dikarenakan pangan yang mengalami cemaran biologis melebihi ambang yang ditentukan dapat menjadi penyakit. Sebagai contoh yang merugikan, bakteri E.coli dan salmonella dapat menyebabkan diare/keracunan. Selain itu, pangan yang mengalami cemaran/residu pestisida dapat menyebabkan keracunan dan atau menyebabkan penyakit tumor/kanker.

2.4 Pola Konsumsi Pangan 2.4.1 Kebiasaan Makan

Kebiasaan makanan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, sosial, budaya dan ekonomi. Pola konsumsi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya yang terpenting adalah: (1) ketersediaan pangan, jenis dan jumlah pangan dalam pola makanan di suatu daerah tertentu, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam. bila pangan tersedia secara kontinyu, maka dapat membentuk kebiasaan makan, (2) pola sosial budaya, pola kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam memilih pangan (Riyadi 1996). Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana cara pengolahannya, penyalurannya, penyiapannya, dan penyajiannya. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok orang.

Kebiasaan makan ada yang baik dan buruk jika dilihat dari segi gizi. Kebiasaan makan yang baik adalah yang dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi, sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah kebiasaan makan yang dapat menghambat terpenuhinya kebutuhan gizi (Khumaidi 1989).

2.4.2 Jumlah dan Jenis Pangan

Hardinsyah (1996) menjelaskan bahwa pangan yang baik dikonsumsi adalah pangan yang jenisnya beranekaragam dan sehat bagi tubuh. Makanan yang sehat adalah makanan yang aman dikonsumsi dan menyediakan semua zat-zat Tabel 2 Pencapaian skor Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2010-2012 di Jawa

Barata

Kelompok Pangan 2010 2011 2012 Ideal

Padi-padian 25.0 25.0 25.0 25.0

Umbi-umbian 0.9 1.0 0.7 2.5

Pangan Hewani 16.6 17.3 16.0 24.0

Minyak dan Lemak 4.9 4.8 5.1 5.0

Buah/ Biji Berminyak 0.3 0.3 0.3 1.0

Kacang-kacangan 6.1 5.9 5.9 10.0

Gula 1.3 1.2 1.0 2.5

Sayur dan Buah 17.6 18.0 16.3 30.0

Lain-lain 0.0 0.0 0.0 0.0

Skor PPH 72.7 73.5 83.9 100.0

(25)

9 makanan (gizi dan non gizi) yang dibutuhkan oleh tubuh untuk hidup sehat. Makanan yang aman dalam arti bebas dari racun dan segala pencemaran, baik kimiawi maupun biologis yang dapat mengganggu kesehatan. Pangan dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang karena disukai, tersedia dan terjangkau, faktor sosial dan alasan kesehatan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi adalah rasa lapar dan kenyang, selera atau reaksi cita rasa, motivasi, ketersediaan pangan, agama, status sosial ekonomi dan pendidikan (Riyadi 1996).

3

METODE

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada pekarangan yang terletak di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cirebon. Pengambilan contoh pekarangan yang dijadikan lokasi penelitian ditentukan melalui metode purposif, yaitu pekarangan yang pernah menjadi lokasi program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Kabupaten Bogor, BKP Kabupaten Bandung, dan BKP Kabupaten Cirebon (Tabel 3 dan Gambar 3). Jumlah sampel pekarangan yang diambil adalah sebanyak 30 pekarangan (10 pekarangan untuk setiap desa) di setiap kabupaten yang dijadikan lokasi penelitian, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cirebon. Kabupaten Bandung mewakili dataran tinggi, Kabupaten Bogor mewakili dataran sedang, dan Kabupaten Cirebon mewakili dataran rendah. Sampel pekarangan yang diambil adalah sebanyak 10 pekarangan yang pemiliknya tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) penerima bantuan P2KP. Wawancara dilakukan ke ibu rumah tangga yang sekaligus menjadi anggota KWT. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan dari bulan Desember 2013 hingga Juni 2014. Penelitian meliputi kegiatan turun lapang untuk pengumpulan data (survei pekarangan, wawancara kepada pemilik pekarangan, pengumpulan data pendukung, serta pengolahan data untuk merumuskan keluaran dari penelitian ini, yaitu strategi pengelolaan lanskap pekarangan dalam mendukung penganekaragaman konsumsi pangan bagi keluarga.

Tabel 3 Rincian lokasi penelitian

(26)

10

3.2 Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan peralatan dalam bentuk perangkat keras maupun lunak (Tabel 4). Perangkat keras digunakan pada saat melakukan survei lapang, sedangkan perangkat lunak digunakan pada saat pengolahan data hasil survei lapang. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk data yang diperlukan untuk analisis (Tabel 5).

Sumber: Bakosurtanal (2003)

Gambar 3 Lokasi penelitian

Tabel 4 Alat penelitian

Alat Kegunaan

Perangkat keras (hardware)

Lembar survei Penyimpan data sementara dari hasil survei di lapang Kamera digital Pengambilan data visual kondisi wilayah setempat Meteran Pengukuran luas pekarangan dan tanaman

Abney level Pengukuran ketinggian tanaman

GPS Pengecekan lapangdan delineasi Perangkat lunak (software)

Auto CAD Pembuatan data spasial dan ilustrasi Google Sketchup Pro Pembuatan ilustrasi

Adobe Photoshop Pembuatan ilustrasi Arc GIS Pengolahan data citra

Expert Choice v.11 Pengolahan data untuk metode Analytical Hierarchy Process

(27)

11 3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, wawancara, serta studi pustaka (Gambar 4). Metode survei dilakukan dengan pengamatan langsung ke pekarangan-pekarangan yang terletak di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cirebon yang pernah menjadi lokasi program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian. Adapun aspek yang harus diperhatikan dalam melakukan survei ke lokasi penelitian dapat diacu pada Tabel 6.

Wawancara dilakukan terhadap pemilik pekarangan terkait aspek ekologi (aksesibilitas, ukuran pekarangan, zonasi pekarangan, keragaman tanaman, ternak dan ikan pekarangan), aspek pemanfaatan pangan pekarangan, aspek pengelolaan pekarangan, serta aspek gizi terutama terkait pola konsumsi pangan dan juga aplikasi pemanfaatan bantuan P2KP (Tabel 5). Studi pustaka dibutuhkan untuk memperkuat data dan dibutuhkan dalam melakukan analisis kesesuaian tanaman dan juga analisis perolehan gizi dari produk pekarangan

Tabel 5 Data yang diperlukan

Jenis Data Bentuk Data Sumber

Aspek Ekologi

Peta rupa bumi Indonesia Lembaran Bakosurtanal Data ikilm Statistik BMKG, Agroklimat Kalender pemanfaatan

pangan 1. Waktu tanam, waktu panen, dan umur tanaman dalam setahun 2. Siklus pemanfaatan ternak dan

ikan untuk pangan

Wawancara dan Tinjauan Pustaka

Kondisi fisik Lokasi dan aksesibilitas pekarangan Ukuran pekarangan

Data keragaman jenis dan jumlah

tanaman, ternak serta ikan Survei lapang

Data pemanfaatan

pekarangan Data pemanfaatan hasil pekarangan untuk konsumsi, dibagikan ke kerabat, dan pangan dijual

Wawancara

Data pengelolaan

pekarangan Data terkait tenaga kerja, waktu, biaya dan cara pemeliharaan Wawancara

Evaluasi program P2KP Karakteristik P2KP dan KWT Survei dan Wawancara Aspek Gizi

Data demografi Data jumlah orang, jenis kelamin, dan

usia setiap anggota keluarga Wawancara Data aktual PPH Data tingkat keragaman konsumsi

pangan setiap kabupaten Studi Pustaka Data AKG ideal Data pemenuhan konsumsi ideal

menurut AKG Studi Pustaka Daftar Komposisi Bahan

Makanan Daftar pangan yang dikonsumsi rumah tangga beserta kandungan gizinya Studi Pustaka Pola konsumsi pangan

rumah tangga Data pola konsumsi pangan rumah tangga per hari meliputi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi

(28)

12

3.4 Metode Pengolahan Data

Pada tahap ini dilakukan analisis terkait aspek ekologi pekarangan, analisis pemanfaatan pekarangan, analisis pengelolaan pekarangan, analisis perolehan gizi dan pemenuhan pangan dari tanaman pekarangan, serta penyusunan strategi konservasi keanekaragaman hayati lanskap pekarangan yang mendukung penganekaragaman konsumsi pangan keluarga (Gambar 4).

Tabel 6 Sasaran dan aspek yang diperhatikan di tahap survei dan wawancara

Aspek

Penelitian Standar Metode dibutuhkan Alat yang Analisis Aspek Ekologi

Ukuran Klasifikasi menurut Arifin (1998): Zonasi Klasifikasi menurut Arifin

(1998): zonasi depan,

wawancara Lembar survei, dan kamera

wawancara Lembar survei, dan kamera

rumah tangga Klasifikasi data terkait jenis kelamin, usia dan pekerjaan setiap anggota keluarga di seluruh rumah tangga sampel

Wawancara Lembar

survei Menghitung data kebutuhan gizi ideal untuk setiap klasifikasi umur dan jenis kelamin Konsumsi

pangan Wawancara teknik survei konsumsi rumah tangga konsumsi pangan terhadap makanan yang disajikan di rumah

Wawancara Lembar

(29)

13

Gambar 4 Alur penelitian

G

amb

ar

4

A

lu

r p

en

elit

ia

(30)

14

3.4.1 Klasifikasi Karakteristik Ekologi Pekarangan

Setiap sampel pekarangan diidentifikasi karakter ekologisnya berdasarkan sebelas aspek dalam Arifin et. al. (2013) dengan penyesuaian, yaitu ukuran dan luas pekarangan, zonasi pekarangan, orientasi dan aksesibilitas, pola penggunaan lahan pekarangan, elemen tanaman (terkait jenis, fungsi, jumlah, strata/tinggi, pola tanam tanaman), elemen hewan ternak dan ikan (terkait jenis, jumlah, serta asal ternak dan ikan), faktor pendukung kesuburan tanaman, sumber air, aspek pemanfaatan, aspek pengelolaan terkait intensitas, tenaga kerja, waktu, serta biaya. Dalam mengidentifikasi karakter ekologi pekarangan, dibutuhkan juga opini terkait kondisi pekarangan secara umum serta persepsi terkait program P2KP dari stakeholder.

Selain itu, dilakukan pula perbandingan karakteristik ekologi pekarangan untuk setiap kabupaten lokasi penelitian, yaitu perbedaan keanekaragaman hayati pertanian (agrobiodiversity) di Kabupaten Bandung (dataran tinggi), Kabupaten Bogor (dataran sedang), Kabupaten Cirebon (dataran rendah). Tanaman yang berpotensi sebagai bahan pangan yang menunjang kualitas gizi diklasifikasikan berdasarkan fungsi tanaman oleh Arifin (1998) yang disesuaikan dengan sembilan klasifikasi pangan pada Pola Pangan Harapan (Kementan 2009).

3.4.1.1 Analisis Keragaman Shannon-Wiener

Produk pekarangan yang dianalisis meliputi tanaman, ternak dan ikan yang ditemukan di dalam setiap pekarangan dengan mengambil rataan untuk setiap kabupaten. Tanaman yang dianalisis dibatasi pada tanaman yang memiliki fungsi sebagai tanaman pangan, yaitu tanaman obat, tanaman sayur, tanaman buah, tanaman penghasil pati, dan tanaman bumbu. Analisis keragaman tanaman dianalisis dengan metode Shannon-Wiener dengan menggunakan formula perhitungan sebagai berikut:

Keterangan:

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon Wiener Pi = ni/n

Ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah individu dari semua spesies ln = Logaritme natural (bilangan alami) s = Jumlah jenis yang ada

Nilai perhitungan indeks keragaman (H’) tersebut menunjukkan keragaman spesies tinggi (H’ > 3), keragaman spesies sedang (1 < H’ < 3) atau keragaman spesies rendah (H’ < 1), pada tanaman pangan pada setiap kabupaten penelitian. 3.4.1.2 Analisis Dominansi Tanaman Pekarangan

Analisis dominansi tanaman pekarangan dimaksudkan untuk mengetahui komposisi tanaman pekarangan dengan menggunakan rumus Summed Dominance Ratio (SDR). Sebelum mengetahui angka SDR, harus diketahui terlebih dahulu terkait nilai kerapatan relatif spesies (RDa) dan frekuensi relatif spesies (RFa). Adapun

rumus yang dapat digunakan untuk kedua nilai ini berdasarkan Kehlenbeck (2007) adalah sebagai berikut:

(31)

15 RFa (%) = � �ℎ � � �� �ℎ � x 100

SDRa (%) = ���+���2

Nilai kerapatan dan frekuensi tersebut dihitung pada per spesies pada setiap pekarangan. Setelah mengetahui angka SDR setiap spesies di setiap pekarangan, lalu lalu dibandingkan dengan spesies lainnya di dalam satu desa. Untuk mengetahui angka SDR per spesies tanaman pangan pekarangan rataan di dalam suatu kabupaten, diambil rataan nilai SDR per spesies tanaman untuk mengetahui spesies yang paling dominan dalam suatu kabupaten. Nilai SDR tertinggi pada suatu spesies menunjukkan spesies tersebut dominan di suatu lokasi penelitian.

3.4.1.3 Analisis Pemanfaatan Pangan dari Pekarangan

Analisis pemanfaatan pangan dari pekarangan dimaksudkan untuk mengetahui alokasi pemanfaatan pangan dari pekarangan. Analisis ini menggunakan metode statistik sederhana untuk mengetahui banyaknya pangan pekarangan yang dikonsumsi rumah tangga, pangan yang dibagikan ke tetangga (untuk dikonsumsi juga), dan pangan yang dijual.

3.4.1.4 Analisis Pemeliharaan Pekarangan

Analisis pemeliharaan pekarangan dilakukan dengan cara wawancara dengan pemilik pekarangan terkait aspek tenaga pemelihara, waktu pemeliharaan, dan juga teknik pemeliharaan pekarangan. Analisis ini juga membahas terkait pemeliharaan pekarangan yang sejauh ini diterapkan oleh pemelihara pekarangan, termasuk preferensi penggunaan pekarangan untuk mendukung penganekaragaman konsumsi pangan keluarga.

3.4.1.5 Analisis Pengaruh Program P2KP Terhadap Pemanfaatan Pekarangan

Analisis pengaruh Program P2KP terhadap pemanfaatan pekarangan dijabarkan dalam bentuk analisis kondisi kelompok wanita tani (KWT), pemanfaatan kebun bibit, penggunaan bibit dan pemanfaatan bantuan P2KP untuk keberlanjutan fungsi penyedia aneka ragam pangan di pekarangan.

3.4.2 Analisis Perolehan Gizi dan Pemenuhan Pangan dari Tanaman Pekarangan

Perolehan gizi dari produk hasil pekarangan dapat diidentifikasi dari seberapa besar pemilik pekarangan memanfaatkan pekarangannya untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam suatu rumah tangga. Analisis ini terdiri dari tahapan analisis sebagai berikut.

3.4.2.1 Analisis Aspek Demografi Rumah Tangga

(32)

16

melalui tinjauan pustaka terkait standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) dari Kementrian Kesehatan (2004).

3.4.2.2 Analisis Pola Konsumsi Pangan Menurut Pola Pangan Harapan Analisis pola konsumsi pangan dilakukan setelah melakukan teknik wawancara survei konsumsi rumah tangga, yaitu terkait makanan yang disajikan ibu rumah tangga dalam sehari, serta wawancara terkait pemanfaatan produk pekarangan terhadap pola konsumsi pangan di setiap rumah tangga. Analisis dilakukan dengan cara mengkalsifikasikan pola konsumsi pangan masing-masing rumah tangga dalam waktu 24 jam dengan metode survei konsumsi rumah tangga. Untuk memperoleh kepraktisan dan kevalidan data konsumsi pangan dari metode wawancara konsumsi rumah tangga, maka sebaiknya dilakukan minimal dua kali dengan jarak waktu minimal satu minggu untuk setiap perlakuan (Supariasa et al. 2001). Survei ini terbatas hanya pada menu makan yang disajikan di rumah saja, tanpa memperhitungkan makanan yang di konsumsi setiap anggota keluarga saat di rumah. Hasil survei ini membantu dalam pencatatan pola konsumsi pangan suatu rumah tangga yang diklasifikasi lanjut ke dalam sembilan klasifikasi pangan berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) dari Kementerian Pertanian (2009). Hasil klasifikasi akan menginformasikan terkait pemenuhan pangan per aspek dari tanaman, ternak serta ikan dari hasil pekarangan.

3.4.2.3 Analisis Perolehan Gizi dan Pemenuhan Pangan dari Tanaman Pekarangan

Hasil analisis pola konsumsi pangan disesuaikan dengan kondisi eksisting pekarangan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi pekarangan dalam mendukung penganekaragaman pangan. Analisis ini juga dapat menginformasikan terkait komposisi gizi dari pola konsumsi rumah tangga, serta zat gizi apa yang masih kurang dan berpeluang untuk dapat ditunjang dengan pangan dari pekarangan. Untuk mendapatkan nilai gizi yang dikandung pada setiap pangan, akan dilakukan analisis berdasarkan data Tabel Komposisi Pangan Indonesia (Persagi 2009) terkait kandungan energi, karbohidrat, protein, lemak, vitamin A, vitamin C dan zat besi dari setiap pangan yang dimanfaatkan dari pekarangan. Hasil dari analisis perolehan gizi dengan Tabel Komposisi Pangan Indonesia dapat dijadikan evaluasi terkait pemanfaatan pekarangan hasil program P2KP yang seharusnya dapat mendukung penganekaragaman pangan.

3.4.3 Penyusunan Strategi Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertanian pada Lanskap Pekarangan

(33)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Situasional 4.1.1 Analisis Situasional Kabupaten Bandung 4.1.1.1 Kondisi Umum Desa

Kabupaten Bandung terletak pada 107°22' - 108°50' Bujur Timur dan 6°41' - 7°19' Lintang Selatan. Luas kabupaten Bandung adalah sebesar 1 762.39 km2.

Suhu udara rata-rata di Kabupaten Bandung 12-30oC dengan curah hujan 1 500 – 4

000 mm/tahun. Wilayah Kabupaten Bandung didominasi oleh pegunungan atau daerah perbukitan dengan ketinggian diatas permukaan laut pada rentang 500 m sampai 1 800 m. Kabupaten Bandung dialiri oleh Sungai Citarum yang sangat membantu kelancaran aktivitas manusia, terutama pelaksanaan kegiatan pertanian. Lahan pertanian di Kabupaten Bandung didominasi oleh sawah yang berterasering. Hal ini disebabkan kontur tanah yang memiliki ketinggian cukup variatif. Lahan didominasi oleh perkebunan lahan kering, baik di area talun, tegalan, maupun pekarangan rumah. Lahan pertanian di Kabupaten Bandung cocok untuk ditanami aneka jenis buah dan sayur dataran tinggi. Desa yang dijadikan lokasi pengambilan sampel pekarangan di Kabupaten Bandung adalah Desa Patrolsari, Desa Girimekar, dan Desa Bojongemas.

Desa Patrolsari terletak di Kecamatan Arjasari dan secara topografi berada pada ketinggian 835 m dari permukaan laut. Akses transportasi menuju Desa Patrolsari sudah terfasilitasi oleh jalan desa utama, namun hanya dapat dilalui kendaraan beroda empat satu jalur. Dalam kesehariannya, warga Desa Patrolsari banyak yang menggunakan kendaraan milik sendiri (dominan kendaraan bermotor roda dua) akibat tidak adanya kendaraan umum yang melintasi desa tersebut. Secara umum, desa ini masih didominasi areal pertanian (Gambar 5). Produk pertanian desa ini adalah Hanjeli, yang ditanam di lahan kepemilikan pribadi, lahan garap, maupun kebun bibit Kelompok Wanita Tani (KWT). Keberadaan desa yang jauh dari perkotaan membuat mereka mengandalkan warung dan tukang sayur untuk pemenuhan pangan sehari-hari. Pekarangan dimanfaatkan untuk penambahan bahan pangan untuk konsumsi, terutama buah dan bumbu.

Desa Girimekar terletak di Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung dengan ketinggian 750 mdpl dan luas 510.24 m2. Akses transportasi menuju Desa

Girimekar cenderung sulit karena lokasinya yang berada di kawasan dengan dataran

(34)

18

Lampiran 7 Rekomendasi tanaman di model pekarangan (lanjutan)

bergelombang dan jauh dari jalan raya menuju Kota Bandung (kurang lebih 5 km), sehingga hampir tidak ada transportasi umum yang melewati desa ini. Dalam kesehariannya, warga Desa Girimekar banyak yang menggunakan kendaraan pribadi yang didominansi kendaraan bermotor roda dua akibat tidak adanya kendaraan umum yang melintasi desa tersebut. Desa ini masih didominasi area pertanian (Gambar 6), terutama tanaman perkebunan. Dikarenakan topografi yang bergelombang, maka lahan penanaman komoditas pertanian pada umumnya dilakukan di lahan miring. Produk pertanian unggulan di desa ini adalah Kubis. Tanaman lainnya adalah singkong, jeruk, stroberi, dan cengkeh. Desa ini terletak jauh dari kota, juga dari pasar pusat (Pasar Ujung Berung). Hal ini menyebabkan penduduk desa sangat bergantung pada warung terdekat ataupun tukang sayur untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Desa Girimekar memiliki kebun bibit di area dengan lereng yang curam, dan didominasi oleh tanaman jeruk dan singkong. Lahan kebun bibit merupakan kepemilikan mantan ibu lurah yang sekaligus merupakan ibu ketua KWT. Semenjak sudah tidak menjadi ibu lurah, kebun bibit menjadi tidak termanfaatkan secara optimal dikarenakan ibu lurah sering berpergian ke luar kota. Hal ini mengakibatkan pemeliharaan di kebun bibit tidak lagi terpelihara dengan baik.

Desa Bojongemas terletak di Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung dengan ketinggian 650 mdpl dan luas 485.38 ha. Akses transportasi menuju Desa Bojongemas sangat mudah karena lokasinya yang berada tepat berbatasan dengan jalan raya menuju Kota Bandung, sehingga banyak transportasi umum yang melewati desa ini. Dalam kesehariannya, warga Desa Bojongemas banyak yang menggunakan kendaraan umum maupun pribadi akibat telah adanya kendaraan umum yang memadai dan melintasi desa tersebut. Produk pertanian yang diunggulkan pada desa ini adalah padi, karena sawah yang dominan di desa ini (Gambar 7). Kebun bibit desa berada di dekat dengan permukiman semua anggota KWT. Hal ini dikarenakan lokasi kebun bibit yang berbatasan langsung dengan jalan utama desa. Lahan kebun bibit merupakan kepemilikan desa, sehingga penggunanya tidak hanya dari KWT, namun juga lahan ini difungsikan sebagai kebun campuran yang ditanami berbagai macam komoditas pertanian. Hasil dari panen di kebun bibit tersebut dibagikan kepada pemelihara tanaman serta warga desa lainnya.

(35)

19

4.1.1.1 Karakteristik Pekarangan

Karakteristik pekarangan di ketiga desa dapat dilihat di Tabel 7. Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa rata-rata luas pekarangan pada ketiga desa adalah termasuk kategori pekarangan sedang menurut Arifin (1998). Luas pekaragan paling besar ditemui di Desa Girimekar, dan luas pekarangan paling sempit ditemukan di Desa Bojongemas. Terkait aspek zonasi pekarangan, zona depan selalu ditemui (100%) sedangkan zona lainnya tidak selalu ditemui. Selain zonasi untuk penanaman tanaman pangan, pada pekarangan juga ditemukan fasilitas yang digunakan untuk pemeliharaan ternak di pekarangan. Pada tabel tersebut dapat terlihat persentase tertinggi fasilitas ternak yang ditemui di pekarangan Kabupaten Bandung pada umumnya adalah kandang ternak kecil (KTK). Hal ini sesuai dengan ketersediaan luas lahan pekarangan untuk budidaya ternak.

Berdasarkan pola penggunaan lahan pekarangan, seluruh zonasi digunakan untuk penanaman area pangan. Hal ini dapat dilihat pada contoh penggunaan lahan pekarangan berdasarkan zonasi (depan-samping-belakang) di Desa Patrolsari (Gambar 8), pekarangan di Desa Girimekar (Gambar 9), dan pekarangan di Desa Bojongemas (Gambar 10).

Gambar 7 Kondisi umum Desa Bojongemas

Tabel 7 Luas, zonasi dan fasilitas ternak di pekarangan Desa Patrolsari, Desa Girimekar, dan Desa Bojongemas, Kabupaten Bandung

Nama Desa Maksimal Rata-rata Minimal Dpn Blk Ki Ka KTB KTK Kol Luas (m2) Zonasi (%) Fasilitas (%) Patrolsari 368 190.0 73 100 60 70 60 40 80 20 Girimekar 950 457.4 136 100 40 70 40 30 50 30 Bojongemas 565 211.5 20 100 70 50 40 20 60 40 Keterangan:

a. Zonasi: Depan (Dpn), Belakang (Blk), Samping Kiri (Ki) dan Samping Kanan (Ka) b. Fasilitas: Kandang Ternak Besar (KTB), Kandang Ternak Kecil (KTK), Kolam (Kol)

(36)

20

Lampiran 7 Rekomendasi tanaman di model pekarangan (lanjutan)

Keanekaragaman pangan di pekarangan berupa jumlah jenis tanaman dan ternak yang dapat ditemui di ketiga desa sampel dapat dilihat di Tabel 8. Jenis tanaman dikelompokkan berdasarkan keragaman strata (vertikal) dan juga keragaman fungsinya (horizontal). Berdasarkan tabel tersebut dapat terlihat bahwa pada umumnya jumlah tanaman pangan (tanaman obat, sayur, buah, bumbu dan penghasil pati) masih lebih dominan dibandingkan jumlah jenis tanaman non pangan. Sementara berdasarkan ternak yang banyak dibudidayakan merupakan ternak kecil, seperti ayam dan bebek.

Jika ditinjau dari pengelola pekarangan di ketiga desa sampel, maka pengelola utama pekarangan merupakan ibu rumah tangga di setiap pekarangan yang sekaligus merupakan anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) yang mendapatkan bantuan P2KP. Adapun karakteristik para ibu rumah tangga tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ibu rumah tangga merupakan penduduk asli dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Selain menjadi ibu rumah tangga, para ibu di Desa Patrolsari dan Bojongemas juga ada yang berprofesi wirausaha maupun menjadi pedagang kebutuhan sehari-hari seperti membuka warung nasi, dan toko kelontong.

Gambar 9 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Bojongemas

Gambar 10 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Girimekar

Tabel 8 Jumlah jenis tanaman, ternak dan ikan di pekarangan Desa Patrolsari, Desa Girimekar, dan Desa Bojongemas, Kabupaten Bandung

Nama Desa V IV III II Strata I a b c Fungsi d e f g h B K I Ternak Patrolsari 12 1 10 19 29 24 5 9 17 7 5 2 2 3 3 2 Girimekar 9 3 13 16 41 33 5 13 18 6 2 3 2 0 3 3 Bojongemas 13 2 12 18 26 15 5 16 18 9 5 2 1 0 4 2 Rata-rata 11 2 12 18 32 24 5 13 18 7 4 2 2 1 3 2 Keterangan:

a. Keragaman Vertikal: Tinggi <1m (I), 1-2m (II), 2-5m (III), 5-10m (IV), dan >10m (V) b. Keragaman Horizontal: Tanaman Hias (a), Obat (b), Sayur (c), Buah (d), Bumbu (e),

(37)

21

Karakteristik Kelompok Wanita Tani (KWT) di Desa Patrolsari, Girimekar dan Bojongemas dapat dilihat pada Tabel 10. Pada umumnya kebun bibit kelompok merupakan kepemilikan yang relatif permanen karena kepemilikannya bersifat mendukung kegiatan KWT. Sementara dari aspek sosialya, setiap KWT memiliki kegiatan rutin yang dilakukan, meski tidak semuanya berbasis kegiatan pertanian. Intensitas penyuluh ke KWT juga semakin berkurang semenjak bantuan dana P2KP untuk KWT telah selesai diberikan. Oleh sebab itu, kegiatan KWT semakin tidak mengarah ke keberlanjutan optimalisasi pekarangan karena kurang diarahkan oleh penyuluh.

4.1.2 Analisis Situasional Kabupaten Bogor

Wilayah Kabupaten Bogor terletak di antara 16º21' - 107º13' BT dan 6º19' - 6º47' LS, dengan luas wilayah 2 237.09 Km2. Kabupaten Bogor berada pada

ketinggian berkisar antara 15 – 2 500 mdpl, dengan penyebaran wilayah dataran rendah 15-100 m terletak diwilayah bagian Utara, wilayah dataran bergelombang 100-500 m terletak di wilayah bagian Tengah, wilayah pegunungan 500 - 1 000 m, serta pegunungan tinggi dan daerah puncak 1 000 - 2 500 meter ada di bagian selatan. Iklim di Kabupaten Bogor jika mengikuti klasifikasi Schimdt dan Ferguson digolongkan pada iklim tropis A-Sangat basahdan tipe B-Basah, yaitu pada 21.8 – 32.0oC. Sedangkan curah hujan rata-rata berkisar antara 2 400 – 5 200 mm/tahun,

kecuali di sebagian wilayah kabupaten yang terletak di Bagian Utara memiliki curah hujan lebih sedikit.

Kondisi lahan pertanian di Kabupaten Bogor cukup baik, hal ini dibuktikan dengan banyaknya jenis tanaman tropis yang dapat tumbuh dengan baik di kawasan Kabupaten Bogor. Mata pencaharian utama warga di ketiga desa sampel di Kabupaten Bogor adalah petani. Oleh karena itu, luasan persawahan menjadi relatif stabil. Namun, seiring dengan semakin banyaknya pendatang dan developer permukiman, lahan pertanian berupa sawah semakin berkurang. Berdasarkan data BPS tahun 2011, areal lahan rumah yang termasuk juga pekarangan di Kab. Bogor seluas 43 282 Ha. Luasan tersebut meningkat dibandingkan tahun-tahun Tabel 9 Karakteristik pengelola pekarangan di Desa Patrolsari, Desa Girimekar,

dan Desa Bojongemas, Kabupaten Bandung

Nama Desa Kependudukan (%) Asli Pendatang IRT Petani Wirausaha PNS Pedagang Lainnya Mata Pencaharian (%) Patrolsari 100 0 50 0 30 0 10 10 Bojongemas 100 0 50 0 30 0 20 0 Girimekar 70 30 100 0 0 0 0 0 Keterangan: IRT (Ibu Rumah Tangga); PNS (Pegawai Negeri Sipil)

Tabel 10 Karakteristik Kelompok Wanita Tani (KWT) di Desa Patrolsari, Desa Girimekar, dan Desa Bojongemas, Kabupaten Bandung

Nama Desa Nama

(38)

22

Lampiran 7 Rekomendasi tanaman di model pekarangan (lanjutan)

sebelumnya yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah perumahan di kawasan Kabupaten Bogor. Desa yang dijadikan lokasi pengambilan sampel pekarangan di Kabupaten Bogor adalah Desa Situ Udik, Desa Cikarawang, dan Desa Girimekar.

Desa Situ Udik terletak di Kecamatan Cibungbulang dan secara topografi berada pada ketinggian 460 m dari permukaan laut dengan luas secara keseluruhan mencapai 370.15 ha. Jarak dari desa ke kecamatan mencapai 5 km, jarak dari desa ke kabupaten mencapai 40 km. Akses transportasi menuju Desa Situ Udik sudah terfasilitasi oleh jalan desa utama yang berlapis aspal yang memadai untuk dilalui kendaraan beroda empat satu jalur. Dalam kesehariannya, warga Desa Situ Udik banyak yang menggunakan kendaraan pribadi akibat tidak adanya kendaraan umum yang melintasi desa tersebut. Berdasarkan aspek penggunaan lahannya, sebagian besar lahan di Desa Situ Udik digunakan untuk pertanian (Gambar 11), seperti sawah, ladang, tegalan, dan juga pekarangan rumah. Ladang, tegalan, dan pekarangan ditanami dengan sayuran, buah-buahan dan juga tanaman bumbu. Produk pertanian unggulan desa ini adalah padi.

Desa Cikarawang memiliki luas 226.56 Ha dan memiliki ketinggian tanah sebesar 193 mdpl. Desa Cikarawang terletak di Kecamatan Dramaga merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan Kampus IPB Darmaga. Akses transportasi menuju Desa Cikarawang relatif mudah dikarenakan adanya jalan desa utama berlapis aspal yang memadai untuk dilalui kendaraan beroda empat, baik kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Jarak Desa Cikarawang ke pusat kecamatan Darmaga sekitar 4 km. Desa ini juga Desa Cikarawang memiliki karakter iklim dan tanah sesuai untuk kegiatan pertanian, hal ini dikarenakan penggunaan lahan pada umumnya di desa ini adalah persawahan (Gambar 12). Selain area persawahan, terdapat juga perkebunan/ladang yang digunakan untuk budidaya tanaman-tanaman yang ditanam karena kerjasama dengan pihak luar. Contohnya adalah International Cooperation Development Fund (ICDF) Taiwan yang memperkenalkan jambu kristal, yang mengakibatkan banyak penduduk desa ini melakukan budidaya tanaman tersebut karena permintaan masyarakat yang tinggi. Tanaman jambu kristal ini dapat dijumpai hampir di setiap lahan yang digunakan untuk perkebunan dan juga pekarangan. Ada yang memang dimanfaatkan untuk diambil buahnya, namun ada juga yang hanya ingin menanam jambu kristal untuk membuat peranakannya dan siap dijual kembali dalam bentuk benih. Selain jambu kristal, juga banyak ditemukan ubi yang pada umumnya ditanam di ladang maupun kebun campuran.

(39)

23

Desa Bantarsari terletak di Kecamatan Rancabungur dan secara topografi memiliki luas 343.41 ha dan berada pada ketinggian 165 m dari permukaan laut. Desa ini didominasi oleh perumahan dan juga kebun campuran (Gambar 13). Desa ini juga berdekatan dengan perkebunan sawit Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII dan juga landasan udara Atang Senjaya, Bogor. Jarak dari desa ke kecamatan mencapai 3 km. Akses transportasi menuju Desa Bantarsari sudah ada yang terfasilitasi oleh jalan desa utama yang berlapis aspal yang memadai untuk dilalui kendaraan beroda empat, tetapi ada juga yang hanya bisa dilalui oleh motor roda dua. Namun dikarenakan sangat jarangnya keberadaan angkutan umum yang melewati desa ini, maka warga Desa Bantarsari banyak yang menggunakan kendaraan pribadi untuk akses keluar atau masuk desa. Desa Bantarsari memiliki suhu yang relatif panas namun baik untuk pertumbuhan beberapa sayuran dan buah, yaitu sekitar 28oC-32oC. Sekitar 75% dari luas lahan Desa Bantarsari merupakan

tanah Hak Guna Usaha (HGU) dari PTPN VIII untuk perkebunan sawit. Sedangkan luas lahan sisanya digunakan untuk area pertanian, seperti sawah (60.9 ha) dan lahan kering (3.28 ha).

4.1.1.1 Karakteristik Pekarangan

Karakteristik pekarangan di ketiga desa dapat dilihat di Tabel 11. Luas pekaragan paling besar dan juga pekarangan yang paling sempit ditemukan di Desa Bantarsari. Terkait aspek zonasi pekarangan, zona depan hampir selalu ditemui (80%) sedangkan zona lainnya tidak selalu ditemui. Adapun pekarangan yang tidak ditemukan adanya pekarangan depan karena sudah dipakai oleh warga menjadi badan jalan yang dapat diakses oleh umum. Selain zonasi pekarangan, pada

Gambar 12 Kondisi umum Desa Cikarawang

(40)

24

Lampiran 7 Rekomendasi tanaman di model pekarangan (lanjutan)

pekarangan juga ditemukan fasilitas yang digunakan untuk pemeliharaan ternak di pekarangan. Pada tabel tersebut dapat terlihat persentase tertinggi fasilitas ternak yang ditemui di pekarangan Kabupaten Bogor pada umumnya adalah kandang ternak kecil (KTK). Hal ini sesuai dengan ketersediaan luas lahan pekarangan untuk budidaya ternak yang cenderung sempit. Bahkan untuk beberapa pekarangan yang sempit pemeliharaan ternak tidak menggunakan kandang di pekarangannya.

Berdasarkan pola penggunaan lahan pekarangan, seluruh zonasi digunakan untuk penanaman area pangan. Hal ini dapat dilihat pada contoh penggunaan lahan berdasarkan zonasi (depan-samping-belakang) pekarangan di Desa Situ Udik (Gambar 14), pekarangan di Desa Cikarawang (Gambar 15), dan pekarangan di Desa Bantarsari (Gambar 16).

Tabel 11 Luas, zonasi dan fasilitas ternak di pekarangan Desa Situ Udik, Desa Cikarawang, dan Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor

Nama Desa Maksimal Rata-rata Minimal Dpn Blk Ki Ka KTB KTK Kol Luas (m2) Zonasi (%) Fasilitas (%) Situ Udik 500 175.1 40 80 80 60 40 50 60 20 Cikarawang 300 93.5 10 100 20 40 60 20 70 20 Bantarsari 600 160.2 6 80 30 60 10 0 50 50 Keterangan:

a. Zonasi: Depan (Dpn), Belakang (Blk), Samping Kiri (Ki) dan Samping Kanan (Ka) b. Fasilitas: Kandang Ternak Besar (KTB), Kandang Ternak Kecil (KTK), Kolam (Kol)

Gambar 14 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Situ Udik

Gambar 15 Contoh penggunaan lahan pekarangan di Desa Cikarawang

Gambar

Tabel 7  Luas, zonasi dan fasilitas ternak di pekarangan Desa Patrolsari, Desa
Tabel 8  Jumlah jenis tanaman, ternak dan ikan di pekarangan Desa Patrolsari,
Tabel 11  Luas, zonasi dan fasilitas ternak di pekarangan Desa Situ Udik, Desa Cikarawang, dan Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor 2
Tabel 15  Luas, zonasi dan fasilitas ternak di pekarangan Desa Bakung Lor, Desa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis pendapatan dalam penelitian ini berfungsi untuk mengetahui besarnya pendapatan petani padi sawah di Desa Laantula Jaya selama satu kali musim tanam, cara

Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Edison (2003) dalam Hasan dan Edison (2007) bahwa pengasapan dengan suhu yang tinggi tidak dapat dilakukan pada

Berdasarkan hasil uji lanjut BNJ 5% menunjukkan bahwa penambahan bubuk bunga rosella terhadap intensitas warna kuning pada sosis yang dihasilkan berbeda nyata

[r]

Manfaat relasional dari hubungan antara konsumen dengan perusahaan yang menawarkan produk atau jasa dengan menggunakan situs-situs online harus dapat terjalin dalam jangka

pengujian yang hasilnya berupa grafik yang menunjukkan besarnya gaya patah pada saat beban pukul mematahkan specimen. Dari hasil pengujian tumbuk yang dilakukan

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dan pemberian ASI eksklusif, terdapat hubungan yang signifikan antara pengalaman menyusui dan pemberian

Studi kasus Program Diploma III Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang,Pembimbing 1 : Rohmah Susanto,S.Kep,Ns.. Pembimbing II Siti: