• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sinergisme Ekstrak Piper aduncum dan Tephrosia vogelii terhadap Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sinergisme Ekstrak Piper aduncum dan Tephrosia vogelii terhadap Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

SINERGISME EKSTRAK

Piper aduncum

DAN

Tephrosia vogelii

TERHADAP PENGGEREK BATANG PADI KUNING

Scirpophaga incertulas

MUHAMMAD SIGIT SUSANTO

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sinergisme Ekstrak

Piper aduncum dan Tephrosia vogelii terhadap Penggerek Batang Padi Kuning

Scirpophaga incertulas adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014

Muhammad Sigit Susanto

(3)

ABSTRAK

MUHAMMAD SIGIT SUSANTO. Sinergisme Ekstrak Piper aduncum dan

Tephrosia vogelii terhadap Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas. Dibimbing oleh DJOKO PRIJONO.

Padi (Oryza sativa) merupakan salah satu komoditas penting pangan dunia. Salah satu hama penting pada tanaman padi adalah penggerek batang padi kuning,

Scirpophaga incertulas. Berbagai upaya pengendalian dilakukan untuk menjaga produksi padi. Salah satu cara pengendalian yang dapat diterapkan adalah dengan menggunakan insektisida nabati. Tujuan penelitian ini adalah menentukan sinergisme ekstrak Piper aduncum dan Tephrosia vogelii terhadap larva S. incertulas. Perlakuan ekstrak P. aduncum dan T. vogelii baik secara terpisah maupun campuran pada nisbah konsentrasi 1:1, 2:1, dan 1:2 efektif terhadap S. incertulas. Perlakuan ini dapat menimbulkan kematian pada S. incertulas dengan gejala kerusakan jaringan larva instar 1 pada 72 jam setelah perlakuan. Ekstrak yang paling beracun dalam mematikan serangga uji adalah ekstrak campuran P. aduncum dan T. vogelii dengan nisbah konsentrasi 1:2. LC50 dan LC95 ekstrak P. aduncum masing-masing 0.175% dan 0.126%. Sementara itu LC50 dan LC95

ekstrak T. vogelii masing-masing 1.620% dan 2.075%. Ekstrak campuran P. aduncum dan T. vogelii pada nisbah konsentrasi 1:1 memiliki LC50 0.056% dan

LC95 0.143%. Sementara itu ekstrak campuran tersebut pada nisbah konsentrasi

2:1 memiliki LC50 0.025% dan LC95 0.149%. LC50 dan LC95 ekstrak campuran

tersebut pada nisbah konsentrasi 1:2 masing-masing 0.016% dan 0.083%. Ekstrak campuran pada ketiga nisbah konsentrasi lebih efektif dibandingkan dengan ekstrak tunggalnya dan bersifat sinergis terhadap larva S. incertulas.

(4)

ABSTRACT

MUHAMMAD SIGIT SUSANTO. Synergism of Piper aduncum and Tephrosia vogelii Extract Mixtures against the Yellow Rice Stem Borer Scirpophaga incertulas. Supervised by DJOKO PRIJONO.

Rice (Oryza sativa) is one of the important staple food commodities in the world. One of the important pests on rice is the yellow rice stem borer (YRSB)

Scirpophaga incertulas. Various control measures have been implemented to maintain rice production. One of the alternative control techniques that can be applied is by using botanical insecticides. The purpose of this study was to determine the synergism between Piper aduncum and Tephrosia vogelii extracts against YRSB larvae. P. aduncum and T. vogelii extracts, either tested separately or in mixtures with concentration ratios of 1:1, 2:1, and 1:2, were effective against YRSB larvae. The treatments with these extracts caused death in YRSB larvae at 72 hr after treatment in which the affected larvae showed internal tissue damage symptom. The most toxic test material to YRSB larvae was P. aduncum and T. vogelii extract mixture with a concentration ratio of 1:2. LC50 and LC95 P. aduncum extract were 0.175% and 0.126%, respectively, while those of T. vogelii

extract were 1.620% and 2.075%, respectively. P. aduncum and T. vogelii extract mixture with 1:1 ratio had LC50 0.056% and LC95 0.143%, while those with 2:1

ratio had LC50 0.025% and LC95 0.149%. LC50 and LC95 of the mixture with 1:2

ratio were 0.016% and 0.083%, respectively. P. aduncum and T. vogelii extract mixtures at the three concentration ratios were more effective than P. aduncum

and T. vogelii extracts applied separately and synergistic to YRSB larvae.

(5)

©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

SINERGISME EKSTRAK

Piper aduncum

DAN

Tephrosia vogelii

TERHADAP PENGGEREK BATANG PADI KUNING

Scirpophaga incertulas

MUHAMMAD SIGIT SUSANTO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)
(8)

Judul Skripsi : Sinergisme Ekstrak Piper aduncum dan Tephrosia vogelii terhadap Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga

incertulas

Nama Mahasiswa : Muhammad Sigit Susanto

NIM : A34090002

Disetujui oleh

Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Sinergisme Ekstrak Piper aduncum dan Tephrosia vogelii terhadap Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis Bapak Sularno dan Mamak Nuriana br Panjaitan serta adik penulis Tyas Dwi Bekti Diningrum atas doa yang senantiasa dipanjatkan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ir. Djoko Prijono MAgrSc. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, arahan, motivasi, dan bimbingan selama ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Idham Sakti Harahap MSi. selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi selama penulis meyelesaikan studi di Departemen Proteksi Tanaman.

Terima kasih kepada rekan-rekan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga (Bp. Agus Sudrajat, Eka Chandra Lina, MSi., Risnawati, MSi., Yeni Midel Pebrulita, MSi., Efy Sarce Tiven, SP., Trijanti A. Widinni Asnan, SP., Gracia Mediana, SP., Annisa Nurfajrina, SP., Aulia Rakhman, Wirathazia Enbya L. Chenta, dan Masaidah Cardi) atas kerja samanya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Nadzirum Mubin, SP., Zulfahmi, SP., Ahmad Khoirudin Latif, SP., Ulfah Hafidzah, Yugih Tiadi Halala, SP., Bunga Aprillia Ayuning, SP., Kavy Shobah dan Azka Lathifa Zahratu Azra, SP. atas bantuan, dukungan, saran dan semangat yang diberikan. Terima kasih kepada seluruh teman-teman Proteksi Tanaman 46, seluruh adik serta kakak tingkat yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, April 2014

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

BAHAN DAN METODE 5

Tempat dan Waktu 5

Persiapan Bahan Percobaan 5

Persiapan Bahan Tanaman 5

Persiapan Serangga Uji 5

Ekstraksi Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak 6

Metode Pengujian 6

Uji Toksisitas Ekstrak Tunggal 6

Analisis Data 7

Uji Toksisitas Ekstrak Campuran 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Toksisitas Ekstrak Tunggal 9

Toksisitas Ekstrak Campuran 10

Pembahasan Umum 12

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 18

(11)

DAFTAR TABEL

1 Pengaruh ekstrak tunggal P. aduncum dan T. vogelii terhadap mortalitas larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan 9 2 Penduga parameter toksisitas dua jenis ekstrak terhadap larva instar 1

S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan 10

3 Pengaruh ekstrak campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii terhadap

mortalitas larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan 10 4 Penduga parameter toksisitas campuran ekstrak P. aduncum dan

T. vogelii pada tiga nisbah konsentrasi terhadap larva instar 1

S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan 11

5 Sifat aktivitas campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii pada tiga nisbah konsentrasiterhadap larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam

setelah perlakuan 12

DAFTAR GAMBAR

1 Imago betina S. incertulas 6

2 Gejala larva instar 1 S. incertulas akibat perlakuan ekstrak tunggal 10 3 Gejala yang terjadi pada larva instar 1 akibat perlakuan dengan

campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii 11

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pengaruh ekstrak tunggal P. aduncum dan T. vogelii terhadap mortalitas larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan

(12)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu komoditas penting pangan dunia. Menurut data FAO, Indonesia menempati urutan ketiga dalam penyediaan beras di dunia dan lebih dari 90% penduduk Indonesia mengonsumsi beras sebagai bahan pangan pokoknya, yakni mencapai 33.56 juta ton atau 9.66% dari total penyediaan beras dunia. Data konsumsi beras oleh masyarakat Indonesia pada tahun 2010 mencapai 25.7 juta ton (Pusdatin 2013). Sementara itu menurut hasil sensus penduduk pada tahun 2010 diketahui laju pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun adalah 1.49% (BPS 2014). Berdasarkan data tersebut, total konsumsi domestik beras akan terus meningkat. Kondisi ini menjadi tantangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia.

Organisme pengganggu tanaman (OPT), yang mencakup hama, penyakit, dan gulma, merupakan faktor pembatas penting dalam usaha peningkatan produksi padi di Indonesia. Hama yang hingga saat ini menjadi masalah penting pada pertanaman padi di Indonesia adalah penggerek batang padi kuning (PBPK)

Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera: Crambidae). Hama ini dapat menyerang semua fase tumbuh tanaman padi mulai fase pembibitan, fase anakan hingga fase pembungaan. Gejala serangan S. incertulas dikenal sebagai sundep dan beluk. Gejala sundep terjadi pada tanaman padi fase vegetatif, disebabkan oleh larva yang menggerek di dalam pangkal batang sehingga menyebabkan daun menggulung tidak membuka kemudian mengering, dan batang yang terserang mati tetapi tanaman masih bisa mengompensasi serangan ini dengan munculnya anakan baru. Gejala beluk terjadi pada tanaman padi fase generatif, disebabkan oleh larva yang menggerek pangkal malai sehingga bulir menjadi hampa dan tidak menghasilkan beras (Pathak dan Khan 1994).

Penggerek batang padi kuning menyebabkan kerusakan pada pertanaman padi di beberapa negara seperti Tiongkok, Jepang, Taiwan, dan negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Telur S. incertulas berbentuk seperti cakram, diletakkan berkelompok 50-150 butir per kelompok. Kelompok telur S. incertulas

ditutupi oleh sisik-sisik berwarna cokelat kekuningan, telur terbungkus rapat oleh sisik guna melindungi kerusakan akibat faktor luar (Yunus 2012). Stadium telur berlangsung selama 4 sampai 9 hari. Larva berwarna kekuningan dengan kepala berwarna jingga kecokelatan. Larva terdiri atas 5 instar berlangsung selama 3 sampai 6 minggu. Pada satu batang padi umumnya hanya terdapat satu larva. Larva dapat menyebar dengan bantuan benang sutera lalu disebarkan oleh angin. Pupa berwarna kuning putih yang dapat ditemukan pada pangkal batang atau di bawah permukaan tanah. Stadium pupa berlangsung selama 8 sampai 14 hari. Imago dapat hidup selama 5 sampai 7 hari. Sayap imago jantan berwarna cokelat terang atau kuning jerami dengan bintik-bintik hitam yang samar. Sayap imago betina berwarna kuning jerami namun memiliki bercak hitam yang relatif lebih jelas pada bagian tengahnya (Kalshoven 1981).

(13)

2

mengalami puso. Di Indonesia penggerek batang merupakan hama kedua terluas serangannya setelah hama tikus. Rata-rata serangan tahun 1997-2007 mencapai 84 952 ha. Serangan tersebar di seluruh provinsi dengan intensitas serangan berfluktuasi dari 0.5% sampai 90% (Suharto dan Sembiring 2007).

Penggerek batang padi kuning S. incertulas menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi pada tanaman padi terutama di sentra-sentra pertanaman padi. Pengurangan hasil panen oleh S. incertulas di Asia berkisar 2%-5%. Penggerek batang padi kuning umumnya lebih sering ditemukan daripada penggerek batang padi putih. Dominasi penggerek batang padi kuning atas penggerek batang padi dalam batang. Perilaku larva dalam menggerek batang padi berlangsung saat pagi hari awal yang langsung menggerek ibu tulang daun menuju ke arah batang. Pada tanaman inang fase vegetatif, bila anakan padi yang terserang mati larva dapat pindah ke anakan yang lainnya. Menjelang berpupa larva akan menggerek menuju pangkal batang padi. Imago bersifat nokturnal dan tertarik cahaya lampu (Kalshoven 1981).

Upaya pengendalian terhadap serangan hama dan penyakit tanaman terus dilakukan dalam rangka menjaga produksi tanaman. Menurut Undang-Undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, aplikasi pestisida dalam suatu sistem pengendalian merupakan tindakan atau alternatif terakhir yang dilakukan bila cara pengendalian lain tidak efektif. Saat ini tindakan pengendalian yang banyak dilakukan adalah tindakan pengendalian dengan menggunakan insektisida sintetik. Penggunaan insektisida sintetik yang tidak bijaksana dapat menimbulkan dampak negatif termasuk terjadinya resistensi hama terhadap insektisida yang sering digunakan sehingga akhirnya populasi hama sulit dikendalikan.

Dalam mengantisipasi dampak negatif penggunaan insektisida sintetik pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Melalui sistem PHT, pelaksanaan pengelolaan hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan menerapkan teknik pengendalian hama yang berwawasan lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan bahan-bahan alami. Pengendalian hama dengan memanfaatkan potensi sumber daya hayati seperti insektisida nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang dapat diterapkan. Insektisida nabati memiliki kelebihan di antaranya relatif mudah terurai di alam, relatif aman terhadap organisme bukan sasaran, dapat dipadukan dengan komponen PHT lainnya, tidak cepat menimbulkan resistensi hama bila digunakan dalam bentuk ekstrak kasar, komponen-komponen ekstrak dapat bersifat sinergis, dan beberapa insektisida nabati dapat disiapkan secara sederhana dengan menggunakan peralatan yang dimiliki petani (Dadang dan Prijono 2008).

(14)

3 digunakan dalam pengendalian hama tanaman, seperti efektif, efisien, dan aman (Dadang dan Prijono 2008). Dua jenis tumbuhan yang saat ini sudah diketahui memiliki aktivitas insektisida ialah buah sirih hutan Piper aduncum (Piperaceae) dan daun kacang babi Tephrosia vogelii (Fabaceae). Syahroni (2013) melaporkan bahwa ekstrak P. aduncum dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 0.225% mengakibatkan mortalitas larva Crocidolomia pavonana sebesar 73% pada 24 jam setelah perlakuan (JSP). Hasyim (2011) melaporkan bahwa fraksi aktif ekstrak heksana buah sirih hutan mengandung dilapiol sebagai komponen utama (68.8%) dan memiliki LC50 terhadap larva instar 2 C. pavonana sebesar 364.672 ppm.

Cara kerja dilapiol terhadap metabolisme serangga adalah menghambat berbagai proses oksidasi di dalam sel yang dikatalisis oleh enzim polisubstrat monooksigenase (PSMO). Proses oksidasi tersebut sering terjadi pada senyawa yang bersifat racun di dalam sel yang mengakibatkan penurunan daya racun senyawa tersebut. Terhambatnya aktivitas enzim PSMO dapat mengakibatkan terjadinya penumpukan senyawa beracun di dalam sel yang selanjutnya dapat mengakibatkan kematian sel.

Boeke et al. (2004) melaporkan bahwa ekstrak T. vogelii dapat digunakan sebagai repelen terhadap kumbang Callosobruchus maculatus dan serbuk daunnya menyebabkan imago mati sebelum meletakkan telur dan telur yang sudah diletakkan tidak berkembang menjadi imago. Wulan (2008) melaporkan bahwa fraksi heksana daun T. vogelii dapat mengakibatkan kematian, memperlambat perkembangan, dan menghambat makan pada larva C. pavonana. Ekstrak daun dan biji T. vogelii dilaporkan bersifat insektisida, antifeedant, dan repelent

terhadap ulat krop kubis C. pavonana, kumbang daun Henosepilachna sparsa, dan ulat Plutella xylostella (Prakash dan Rao 1997).

Hagemann et al. (1972) melaporkan bahwa daun T. vogelii memiliki kandungan bahan aktif utama rotenon. Kandungan rotenon tersebut semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Rotenon bersifat sebagai racun respirasi sel dengan cara menghambat transfer elektron dalam NADH-koenzim ubikuinon reduktase (kompleks I) dari sistem transpor elektron di dalam mitokondria. Rotenon menyekat menyekat pemindahan elektron dari Fe-S ke koenzim ubikuinon sehingga menghambat proses respirasi sel dan menurunkan produksi ATP, akibatnya aktivitas sel terhambat dan serangga manjadi lumpuh dan mati (Hollingworth 2001).

Selain digunakan secara tunggal, beberapa ekstrak tanaman juga dapat diaplikasikan dalam bentuk ekstrak campuran. Nailufar (2011) melaporkan bahwa campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii pada 3 nisbah konsentrasi, yaitu 1:1, 1:5, dan 5:1, bersifat sinergistik kuat terhadap larva instar 2 C. pavonana. Sementara itu Nurfajrina (2014) mendapatkan hasil serupa, yaitu campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum pada nisbah konsentrasi 1:1 juga bersifat sinergistik terhadap larva C. pavonana. Sifat sinergistik campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii kemungkinan disebabkan oleh komponen utama ekstrak

(15)

4

Ekstrak P. aduncum dan T. vogelii belum pernah diuji terhadap penggerek batang padi kuning. Berdasarkan beberapa hal di atas, perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan ekstrak P. aduncum dan T. vogelii. Penggunaan kedua bahan tersebut baik dengan aplikasi terpisah maupun dalam bentuk campuran dapat menjadi alternatif pengendalian yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menentukan sinergisme ekstrak P. aduncum dan T. vogelii terhadap penggerek batang padi kuning S. incertulas di laboratorium.

Manfaat Penelitian

(16)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Kegiatan penelitian dilakukan dari April 2013 sampai dengan Februari 2014.

Persiapan Bahan Percobaan

Persiapan Bahan Tanaman

Padi ‘Ciherang’ yang berumur 40-50 hari setelah tanam (HST) diperoleh dari petani di desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Bagian tanaman padi yang digunakan adalah pangkal batang yang berongga. Sebelum digunakan untuk pengujian, batang padi yang diperoleh dari lapangan dibersihkan dan dipotong-potong dengan ukuran 4 cm dari pangkal batang.

Persiapan Serangga Uji

Sebelum dilakukan perlakuan terhadap serangga uji, serangga terlebih dahulu diidentifikasi untuk memastikan bahwa serangga yang digunakan adalah

Scirpophaga incertulas. Identifikasi serangga dilakukan dengan cara mengamati ciri morfologi telur serangga dengan bantuan buku Insect Pests of Rice (Pathak dan Khan 1994).

Telur S. incertulas yang diperoleh dari lahan petani di desa Tegal Sawah, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang dibawa ke laboratorium dan dirawat hingga menetas. Setelah telur menetas, larva dipindahkan ke batang padi muda sebagai tempat hidup dan makanan sementara selama 24 jam. Larva instar 1 yang berumur 24 jam setelah menetas digunakan untuk pengujian.

Serangga uji yang didapatkan dari lapangan memiliki ciri morfologi yang sama berdasarkan buku Insect Pests of Rice (Pathak dan Khan 1994). Telur S. incertulas dibungkus oleh sisik-sisik berwarna jingga kecokelatan yang berasal dari ovipositor imago betina. Hal serupa juga dilaporkan oleh Yunus (2012) yang menyatakan bahwa kelompok telur S. incertulas ditutupi oleh sisik-sisik berwarna cokelat kekuningan, telur terbungkus rapat guna melindungi kerusakan akibat faktor dari luar. Selain telur, ciri-ciri S. incertulas juga dapat diamati pada larva. Saat baru keluar dari telur larva umumnya jarang makan secara bersamaan (gregarius). Larva umumnya menyebar menuju ujung daun (ke arah atas) sebagian lain akan mulai menggerek daun muda. Sekitar 75% larva akan menetas namun biasanya hanya 10% yang mencapai tahap dewasa (Pathak dan Khan 1994). Bagian kepala berwarna lebih gelap, kontras dengan bagian abdomen yang terlihat berwarna lebih muda.

Selain mengamati ciri-ciri yang terdapat pada telur dan larva juga dilakukan pengamatan terhadap imago (Gambar 1). Pada saat pengambilan telur di lapangan terdapat banyak serangga imago betina S. incertulas di sekitar pertanaman yang mengalami serangan penggerek batang padi kuning. Ciri-ciri yang terdapat pada imago tersebut sama seperti yang dijelaskan dalam buku Insect Pests of Rice

(17)

6

bintik hitam yang jelas. Ciri ini merupakan ciri khas yang hanya terdapat pada S. incertulas sehingga dapat membantu proses identifikasi serangga uji.

Gambar 1 Imago betina S. incertulas. (a) Imago betina S. incertulas (Pathak dan Khan 1994), (b) imago betina S. incertulas yang diperoleh dari lapangan.

Ekstraksi Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak

Insektisida nabati yang digunakan untuk pengujian adalah ekstrak buah P. aduncum dan daun T. vogelii. Buah P. aduncum diperoleh dari hutan sekitar kampus IPB Dramaga Bogor, sedangkan daun T. vogelii yang digunakan berasal dari Kawasan Agropolitan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur.

Buah P. aduncum dan daun T. vogelii dipotong kecil-kecil lalu dikeringanginkan. Setiap sampel digiling menggunakan blender hingga menjadi serbuk, kemudian diayak menggunakan pengayak kawat kasa berjalinan 0.5 mm. Serbuk sampel tersebut masing-masing sebanyak 200 g direndam dalam etil asetat dengan perbandingan 1:8 (w/v). Perendaman diulang sebanyak tiga kali (Nailufar 2011). Rendaman tersebut diaduk dan dibiarkan selama sekurang-kurangnya 24 jam. Cairan hasil rendaman disaring menggunakan corong kaca yang dialasi kertas saring Whatman No. 41 diameter 185 mm dan ditampung dalam labu penguap. Hasil saringan diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50 ºC dan tekanan 240 mbar sehingga diperoleh ekstrak kasar. Setiap ekstrak yang diperoleh disimpan dalam lemari pendingin pada suhu ± 4 0C hingga saat digunakan untuk pengujian (Nihlatussania 2012).

Metode Pengujian

Uji Toksisitas Ekstrak Tunggal

Pengujian ekstrak tunggal dilakukan melalui dua tahap, yaitu uji pendahuluan dan uji lanjutan. Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi yang akan digunakan pada uji lanjutan.Pada uji pendahuluan, ekstrak

P. aduncum dan T. vogelii masing-masing diuji pada konsentrasi 0.5%, 0.25% dan 0.1% yang pada setiap perlakuan digunakan 30 serangga uji. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode celup batang. Setiap ekstrak dicampur dengan pelarut metanol dan pengemulsi Tween 80 dengan perbandingan 5:1 (v/v) [konsentrasi akhir 1.2%], kemudian ditambahkan akuades sehingga didapatkan suspensi dengan konsentrasi yang diinginkan. Semua suspensi ekstrak dikocok dengan menggunakan pengocok ultrasonik agar ekstrak tersuspensikan secara merata di dalam air. Sebagai larutan kontrol digunakan akuades yang hanya

b a

(18)

7 mengandung pelarut metanol dan pengemulsi Tween 80 5:1 (v/v) dengan konsentrasi 1.2% (Abizar dan Prijono 2010).

Tanaman padi yang digunakan berumur 40-50 HST, berasal dari sawah di Cikarawang Bogor dan pertanaman padi di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan IPB. Potongan batang padi berukuran 4 cm dicelupkan dalam suspensi ekstrak sesuai dengan konsentrasi tertentu yang telah ditentukan sampai basah merata, kemudian dikeringanginkan di atas kertas stensil. Batang kontrol dicelup dalam larutan kontrol. Setiap potong batang perlakuan dan batang kontrol diletakkan secara terpisah dalam nampan plastik 16-sel kemudian ke dalam setiap sel dari nampan tersebut dimasukkan satu larva instar 1 S. incertulas. Nampan plastik tersebut selanjutnya ditutup rapat agar larva uji tidak keluar. Untuk setiap perlakuan digunakan 30 larva. Larva dibiarkan makan selama 72 jam. Jumlah larva yang mati diamati dan dicatat pada 72 jam setelah perlakuan (JSP).

Pada uji lanjutan, ekstrak P. aduncum dan T. vogelii masing-masing diuji pada 6 taraf konsentrasi yang diharapkan dapat mengakibatkan kematian serangga uji antara 15% dan 95%, yang ditentukan berdasarkan uji pendahuluan di atas. Taraf konsentrasi ekstrak P. aduncum yang diuji ialah 0.10%, 0.23%, 0.36%, 0.49%, 0.62%, dan 0.75%, sementara ekstrak T. vogelii diuji pada taraf konsentrasi 0.08%, 0.20%, 0.30%, 0.40%, 0.50%, dan 0.60%. Cara perlakuan pada uji lanjutan sama seperti uji pendahuluan, tetapi pada uji lanjutan jumlah larva yang digunakan untuk setiap perlakuan adalah 40 larva.

Analisis Data

Penelitian ini dilakukan di laboratorium dengan asumsi seluruh faktor yang digunakan bersifat homogen, sehingga rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Penduga parameter toksisitas ditentukan dengan metode probit menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987).

Uji Toksisitas Ekstrak Campuran

Ekstrak P. aduncum dan T. vogelii juga diuji dalam bentuk campuran pada nisbah konsentrasi 1:1, 2:1, dan 1:2 (w/w) dengan 6 taraf konsentrasi yang ditentukan berdasarkan hasil pengujian toksisitas ekstrak tunggal. Enam taraf konsentrasi yang diuji ialah 0.020%, 0.035%, 0.055%, 0.075%, 0.105%, dan 0.140%. Cara pengujian dan waktu pengamatan pada uji ekstrak campuran sama seperti pada uji toksisitas ekstrak tunggal. Data mortalitas 72 JSP diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC seperti di atas.

Sifat aktivitas campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii dianalisis dengan menghitung indeks kombinasi pada taraf LC50 dan LC95. Indeks

kombinasi (IK) pada taraf LCx tersebut dihitung dengan rumus berikut (Chou dan

Talalay 1984):

masing-masing merupakan LCx ekstrak T. vogelii dan ekstrak P. aduncum dalam

(19)

8

tersebut diperoleh dengan cara mengalikan LCx(cm) campuran dengan proporsi

konsentrasi ekstrak dalam campuran.

Kategori sifat interaksi campuran adalah sebagai berikut (diadaptasi dari Gisi 1996):

a. bila IK < 0.5, komponen campuran bersifat sinergistik kuat;

b. bila 0.5 ≤ IK ≤ 0.77, komponen campuran bersifat sinergistik lemah; c. bila 0.77 < IK ≤ 1.43, komponen campuran bersifat aditif;

(20)

HASIL DAN PEMBAHASAN

konsentrasi 0.23%-0.75% dapat mematikan serangga uji sebesar 62.5%-90%. Pada taraf konsentrasi 0.08%, ekstrak T. vogelii sudah mengakibatkan kematian serangga uji sampai 50%. Pada kisaran konsentrasi 0.20%-0.60% ekstrak T. vogelii dapat mematikan serangga uji sebesar 60%-95%. Secara umum terlihat bahwa tingkat kematian serangga uji meningkat dengan makin tingginya konsentrasi ekstrak (Tabel 1).

Tabel 1 Pengaruh ekstrak tunggal P. aduncum dan T. vogelii terhadap mortalitas larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan Jenis ekstrak Konsentrasi (%, w/v) Persentase kematian larva

Piper aduncum Kontrol 7.5

Tephrosia vogelii Kontrol 7.5

0.08 50.0

Berdasarkan hasil analisis probit diketahui bahwa LC50 dan LC95 ekstrak P. aduncum masing-masing 0.175% dan 1.620%, sementara LC50 dan LC95 ekstrak T. vogelii masing-masing 0.126% dan 2.075% (Tabel 2). Data tersebut menunjukkan bahwa ekstrak T. vogelii lebih beracun 1.4 kali lipat dibandingkan dengan ekstrak P. aduncum pada taraf LC50, tetapi pada taraf LC95 ekstrak P. aduncum lebih beracun 1.3 kali lipat daripada ekstrak T. vogelii terhadap larva instar 1 S. incertulas.

(21)

10

berwarna gelap dan mengerut. Pada saat pengamatan 72 JSP, sebagian besar larva berada di dalam jaringan batang dan hanya sebagian kecil yang terdapat pada permukaan luar batang.

Tabel 2 Penduga parameter toksisitas dua jenis ekstrak terhadap larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan

Jenis ekstrak a ± GBa b ± GBa LC

50 (%) LC95 (%)

Piper aduncum 1.288 ± 0.182 1.702 ± 0.326 0.175 1.620

Tephrosia vogelii 1.216 ± 0.201 1.353 ± 0.320 0.126 2.075

aa:intersep regresi probit. b: kemiringan regresi probit. GB: galat baku.

Gambar 2 Gejala larva instar 1 S. incertulas akibat perlakuan ekstrak P. aduncum

(a) dan ekstrak T. vogelii (b).

Toksisitas Ekstrak Campuran

Seperti halnya pada perlakuan dengan ekstrak tunggal P. aduncum dan T. vogelii, perlakuan dengan campuran ekstrak P. aduncum dan ekstrak T. vogelii

pada 3 nisbah konsentrasi mengakibatkan kematian larva S. incertulas yang makin meningkat dengan makin tingginya konsentrasi ekstrak campuran tersebut (Tabel 3). Campuran ekstrak pada nisbah konsentrasi 1:1 dapat mematikan lebih dari 50% serangga uji pada konsentrasi 0.075%. Campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii pada nisbah konsentrasi 2:1 dan 1:2 lebih efektif daripada campuran 1:1 karena pada taraf konsentrasi terendah, yaitu 0.020%, campuran 2:1 dan 1:2 dapat Tabel 3 Pengaruh campuran esktrak P. aduncum dan T. vogelii terhadap

mortalitas larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan Konsentrasi

(%, w/v)

Persentase kematian larva pada perlakuan campuran ekstrak

P. aduncum dan T. vogelii dengan nisbah konsentrasi

(22)

11 mematikan lebih dari 50% serangga uji. Campuran ekstrak 2:1 dan 1:2 dapat mematikan semua serangga uji pada konsentrasi tertinggi yaitu 0.140% (Tabel 3).

Gejala yang terlihat pada larva instar 1 S. incertulas setelah 72 JSP akibat perlakuan dengan ekstrak campuran pada dasarnya sama dengan gejala yang disebabkan oleh perlakuan ekstrak tunggal (Gambar 3).

Gambar 3 Gejala yang terjadi pada larva 1 S. incertulas akibat perlakuan dengan campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii. (a) Larva berair dan berbau tidak sedap, (b) larva menjadi kering karena kehilangan cairan tubuh, dan (c) larva mudah hancur.

Berdasarkan hasil analisis probit diketahui bahwa LC50 campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii dengan nisbah konsentrasi 1:1, 2:1, dan 1:2 berturut-turut 0.056%, 0.025%, dan 0.016%, sementara nilai LC95-nya berturut-turut 0.143%,

0.149%, dan 0.083% (Tabel 4). Data tersebut menunjukkan bahwa pada taraf LC50, campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii pada ketiga nisbah konsentrasi

lebih beracun 3.13-10.94 kali lipat dibandingkan dengan ekstrak tunggal P. aduncum dan lebih beracun 2.25-7.87 kali lipat dibandingkan dengan ekstrak tunggal T. vogelii. Berdasarkan data tersebut juga diketahui bahwa di antara ketiga nisbah konsentrasi, campuran ekstrak dengan nisbah konsentrasi 1:2 merupakan campuran ekstrak yang paling beracun terhadap larva S. incertulas. Tabel 4 Penduga parameter toksisitas campuran ekstrak P. aduncum dan T.

vogelii pada tiga nisbah konsentrasi terhadap larva instar 1 S. incertulas

pada 72 jam setelah perlakuan

aa: intersep regresi probit, b: kemiringan regresi probit, GB: galat baku.

a b

c

0.1 cm 0.1 cm

(23)

12

Berdasarkan hasil perhitungan indeks kombinasi pada taraf LC50, campuran

ekstrak P. aduncum dan T. vogelii pada ketiga nisbah konsentrasi bersifat sinergistik kuat (Tabel 5). Indeks kombinasi terbaik terdapat pada campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii dengan nisbah konsentrasi 1:2. Pada taraf LC95,

campuran ekstrak yang paling baik sifat aktivitasnya adalah campuran dengan nisbah 1:2 (sinergistik lemah), sedangkan pada nisbah lainnya campuran bersifat aditif. Selain itu, campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii 1:2 juga paling beracun terhadap larva S. incertulas (LC50 dan LC95 paling rendah, Tabel 4)

sehingga campuran tersebut paling berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Tabel 5 Sifat aktivitas campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii pada tiga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan ekstrak P. aduncum

dan T. vogelii baik secara terpisah maupun dalam bentuk campuran dapat mengakibatkan kematian larva S. incertulas yang makin meningkat dengan makin tingginya konsentrasi uji. Perlakuan dengan ekstrak P. aduncum dan T. vogelii

masing-masing pada konsentrasi 0.62% dan 0.60% telah dapat mematikan 80% serangga uji sehingga kedua ekstrak tersebut dipandang berpotensi baik untuk digunakan sebagai insektisida nabati. Dadang dan Prijono (2008) menyatakan bahwa insektisida nabati yang diekstrak dengan pelarut organik dikatakan memiliki potensi yang baik bila pada konsentrasi ≤ 1% sudah dapat mengakibatkan mortalitas serangga uji ≥ 80%.

Pada taraf LC50, ekstrak T. vogelii lebih beracun 1.4 kali lipat daripada

ekstrak P. aduncum. Perbandingan pada taraf LC95 menggambarkan kondisi yang

berkebalikan dengan perbandingan pada taraf LC50. Pada taraf LC95, ekstrak P. aduncum (LC95 1.620%) lebih beracun 1.3 kali lipat dibandingkan dengan ekstrak T. vogelii (LC95 2.075%). Perbedaan pola toksisitas kedua ekstrak tersebut

mungkin disebabkan oleh perbedaan kecepatan kerja senyawa aktifnya seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak. Hal ini terlihat dari kemiringan garis regresi probit pada ekstrak P. aduncum yang lebih curam dibandingkan dengan ekstrak T. vogelii. Semakin curam kemiringan garis regresi, penambahan konsentrasi dalam jumlah yang sama akan mematikan serangga uji dalam proporsi yang lebih banyak dibandingkan ekstrak dengan garis regresi yang lebih landai.

(24)

13 bahan baku insektisida nabati di tingkat petani karena tumbuhan sumber insektisida nabati tidak selalu terdapat melimpah di setiap daerah (Dadang dan Prijono 2008).

Baik pada taraf LC50 maupun LC95, campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii dengan nisbah konsentrasi 1:2 paling beracun dan paling sinergis terhadap larva S. incertulas, diikuti campuran dengan nisbah konsentrasi 2:1 dan campuran dengan nisbah konsentrasi 1:1. Sifat sinergistik campuran ekstrak P. aduncum dan

T. vogelii kemungkinan disebabkan oleh komponen utama ekstrak P. aduncum

yaitu dilapiol yang bersifat sebagai sinergis insektisida (Bernard et al. 1995; Scott

et al. 2008).

Hasyim (2011) melaporkan bahwa komponen utama dalam fraksi aktif ekstrak buah P. aduncum adalah dilapiol. Senyawa tersebut mengandung gugus metilendioksifenil (MDF) yang merupakan ciri senyawa yang bekerja sebagai penghambat enzim polisubstrat monooksigenase (PSMO) (Metcalf 1967; Perry et al. 1998). Enzim PSMO berperan menurunkan daya racun senyawa toksik di dalam sel dengan cara mengoksidasi berbagai jenis senyawa racun dari luar tubuh dan limbah metabolisme di dalam tubuh serangga, sehingga apabila aktivitasnya terganggu penguraian senyawa racun dalam tubuh serangga akan terhambat (Scott

et al. 2008). Terhambatnya enzim PSMO dapat mengakibatkan penumpukan senyawa atau metabolit toksik di dalam tubuh serangga yang akhirnya dapat mengakibatkan kematian (Bernard et al. 1995). Dalam kaitannya dengan dampak sinergis, terhambatnya enzim penurun daya racun senyawa asing tersebut mengakibatkan senyawa aktif dalam ekstrak T. vogelii yang dicampurkan tidak terurai dan dapat tetap bekerja. Pada nisbah konsentrasi 1:2, komponen utama ekstrak P. aduncum kemungkinan dapat menyebabkan penghambatan maksimal terhadap aktivitas enzim PSMO sehingga senyawa aktif T. vogelii dapat terhindar dari penguraian oleh enzim tersebut dan dapat tetap bekerja menyerang bagian sasaran.

Wulan (2008) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii memiliki efek racun perut dan sedikit efek kontak terhadap larva Crocidolomia pavonana. Daun

T. vogelii ini mengandung senyawa aktif rotenon dan senyawa rotenoid lain seperti deguelin dan tefrosin (Delfel et al. 1970). Rotenon bekerja lambat dalam membunuh serangga tetapi dapat menyebabkan serangga segera berhenti makan. Alat mulut serangga kadang-kadang menjadi lumpuh sehingga serangga berhenti makan dan mati kelaparan. Rotenon bekerja sebagai racun respirasi sel, yaitu menghambat transfer elektron dalam NADH-koenzim ubikuinon reduktase (kompleks I) pada sistem transpor elektron yang terjadi di dalam mitokondria. Terhambatnya proses respirasi sel akan menurunkan produksi ATP yang merupakan sumber energi, sehingga aktivitas sel akan terhambat dan serangga menjadi lumpuh dan mati (Hollingworth 2001). Berbagai bentuk gejala yang ditemukan pada serangga uji saat pengamatan tampaknya disebabkan oleh kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh cara kerja senyawa aktif kedua ekstrak uji.

(25)

14

(26)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Campuran ekstrak buah Piper aduncum dan daun Tephrosia vogelii pada nisbah konsentrasi 1:1, 2:1, dan 1:2 lebih beracun daripada ekstrak tunggalnya dan bersifat sinergis terhadap larva penggerek batang padi kuning, Scirpophaga incertulas. Urutan toksisitas campuran ekstrak tersebut pada taraf LC50 dari yang

paling beracun terhadap larva S. incertulas ialah campuran ekstrak dengan nisbah 1:2, 2:1, dan 1:1. Selain efektif terhadap serangga uji, campuran ekstrak P. aduncum dan T. vogelii, tidak fitotoksik terhadap batang padi yang digunakan dalam pengujian. Dengan demikian, campuran ekstrak tersebut, khususnya dengan nisbah konsentrasi 1:2, berpotensi untuk digunakan sebagai alternatif pengendalian terhadap larva S. incertulas.

Saran

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Abizar M, Prijono D. 2010. Aktivitas insektisida ekstrak daun dan biji Tephrosia vogelii J.D. Hooker (Leguminosae) dan ekstrak buah Piper cubeba L. (Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). JHPT Trop. 10(1):1-12.

[BB Padi]. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Pengendalian hama penggerek batang padi [Internet]. Subang (ID): Balai Besar Padi; [diunduh 2012 Nov 26]. Tersedia pada: http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/ in/berita/hasil-hasil-penelitian/510-perpenggerek-batang.

Bernard CB, Arnason JT, Philogène BJR, Lam J, Waddell T. 1990. In vivo effect of mixtures of allelochemicals on the life cycle of the European corn borer,

Ostrinia nubilalis. Entomol Exp Appl. 57(1):17-22.

Bernard CB, Krishnamurty HG, Chauret D, Durst T, Philogene BJR, Sanchez-Vindas P, Hasbun C, Poveda L, Roman LS, Arnason JT. 1995. Insecticidal defenses of Piperaceae from the Neotropics. J Chem Ecol. 21(6):801-814. Boeke SJ, Barnaud C, Loon JJAV, Kossou DK, Huis AV, Dicke M. 2004.

Efficacy of plant extracts against the cowpea beetle, Callosobruchus maculatus. Int J Pest Manage. 50(4):251-258.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Laju pertumbuhan penduduk menurut provinsi [Internet]. Jakarta (ID): BPS; [diunduh pada 2014 Mar 05]. Tersedia pada: http://bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=12&notab =2.

Chou TC, Talalay P. 1984. Quantitative analysis of dose-effect relationships: the combined effects of multiple drugs or enzyme inhibitors. Adv Enzyme Regl.

22(3):27-55.

[CRIDA] Central Research Institute for Dryland Agriculture. 2013. Rice yellow stem borer, Scirpophaga incertulas (Walker) [Internet]. Hyderabad (IN): Central Research Institute for Dryland Agriculture; [diunduh pada 2013 Mar 21]. Tersedia pada: http://www.crida.in:8080/naip/accordion/ysb/accordion_ ysb_clip_image006.jpg.

Dadang, Prijono D. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan. Bogor (ID): Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Delfel NE, Tallent WH, Carlson DG, Wolff IA. 1970. Distribution of rotenone and deguelin in Tephrosia vogelii and separation of rotenoid-rich fractions.

J Agric Food Chem. 18(3):385-390.

[Ditlin Tanaman Pangan] Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2013. Luas serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) utama pada tanaman padi tahun 2011 dan tahun 2012. Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Jakarta (ID): Ditlin Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian.

Gisi U. 1996. Synergistic interaction of fungicides in mixtures. Phytopathology.

86(11):1273-1279.

(28)

17 Hasyim DM. 2011. Potensi buah sirih hutan (Piper aduncum) sebagai insektisida botani terhadap larva Crocidolomia pavonana [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hollingworth RM. 2001. Inhibitors and uncouplers of mitrochondrial oxidative phosphorylation. Di dalam: Krieger R, Doull J, Ecobichon D, Gammon D, Hdgson et al., editor. Handbook of Pesticide Toxicology. Vol 2. San Diego (US): Academic Press. hlm 1169-1227.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

LeOra Software. 1987. POLO-PC User’s Guide. Petaluma (US): LeOraSoftware. Metcalf RL. 1967. Mode of action of insecticide synergists. Annu Rev Entomol.

12:229-256.

Nailufar N. 2011. Aktivitas insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii

(Leguminosae) dan buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap larva

Crocidolomia pavonana [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nihlatussania S. 2012. Keefektifan insektisida nabati dengan dua metode ekstraksi

yang berbeda [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nurfajrina A. 2014. Kesesuaian ekstrak Piper spp. (Piperaceae) untuk meningkatkan toksisitas ekstrak Tephrosia vogelii terhadap ulat krop kubis,

Crocidolomia pavonana [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pathak MD, Khan ZR. 1994. Insect Pests of Rice. Los Baňos (PH): International

Rice Research Institute.

Perry AS, Yamamoto I, Ishaaya I, Perry RY. 1998. Insecticides in Agriculture and Environment: Retrospects and Prospects. Berlin (DE): Springer-Verlag. Prakash A, Rao J. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton (US):

CRC Press.

[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Beras. Buletin Konsumsi Pangan. 4(2):16-17.

Scott IM, Jensen HR, Philogene BJR, Arnason JT. 2008. Piper spp. (Piperaceae) phytochemistry, insecticidal activity and mode of action.

Phytochem Rev. 7: 65-75.

Suharto H, Sembiring H. 2007. Status Hama Penggerek Batang Padi di Indonesia. Subang (ID): Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Syahroni YY. 2013. Aktivitas insektisida campuran ekstrak buah Piper aduncum

(Piperaceae) dan Sapindus rarak (Sapindaceae) terhadap larva

Croccidolomia pavonana [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wulan RDR. 2008. Aktivitas insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii Hook. F.

(Leguminosae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(29)
(30)

19

(31)

19

LAMPIRAN

Lampiran 1 Pengaruh ekstrak tunggal P. aduncum dan T. vogelii terhadap mortalitas larva instar 1 S. incertulas pada 72 jam setelah perlakuan (uji pendahuluan)

Jenis ekstrak Konsentrasi (%, w/v) Persentase kematian larva

Piper aduncum Kontrol 6.67

0.10 43.33

0.25 50.00

0.50 66.67

Tephrosia vogelii Kontrol 6.67

0.10 56.67

0.25 90.00

(32)

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Pulau, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara pada tanggal 10 Desember 1991 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sularno dan Ibu Nuriana. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Swasta Al Ulum Medan pada tahun 2009 dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan sebagai penunjang soft skills diri. Beberapa aktivitas kemahasiswaan dalam lingkup kampus yang diikuti penulis di antaranya Gugus Displin Asrama TPB IPB, Pasukan Pengibar Bendera IPB, Pramuka IPB, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian. Penulis juga menjalankan amanah sebagai Presiden mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2013 sekaligus menjadi perwakilan mahasiswa dalam struktur Majelis Wali Amanat IPB pada tahun 2013-2014. Selain itu penulis juga terlibat aktif dalam forum-forum kepemudaan nasional di antaranya melalui Forum Indonesia Muda pada tahun 2011 dan

Gambar

Tabel 1 Pengaruh ekstrak tunggal P. aduncum dan T. vogelii terhadap
Gambar 3 Gejala yang terjadi pada larva 1 S. incertulas akibat perlakuan dengan

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian sintesis membran komposit polisulfon-poliamid (PSF- PA) dengan menggunakan beberapa variasi komposisi pelarut HCl yang bertujuan agar

Tidak setuju, menonton film seperti itu membuat ketagihan untuk terns nonton sehingga tidak sempat belajar... Ternan-ternan jacky terns mengajaknya bahkan mereka

If no DOI has been assigned, and you retrieved the article online, provide the URL of the journal home page (if access is provided to the article there), even if the article

Pemerintah Kabupaten Demak khususnya dinas Pariwisata melakukan pendampingan kepada kelompok sadar wisata di desa Bedono ini diperlukan untuk mengawal jalannya proses,

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Pengaruh Ekstrak Daun

Pemberian ekstrak jahe merah menurunkan kadar MDA serum setelah diberikan paparan asap rokok (K4) jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan jahe merah

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan dan status gizi ibu hamil dengan kejadian anemia di Puskesmas Gatak Kabupaten

Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa organisasi keagamaan juga merupakan organisasi nirlaba, maka dapat dikatakan bahwa gereja sebagai salah satu organisasi keagamaan