APLIKASI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
TERHADAP PELAKSANAAN REHABILITASI
PECANDU DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi di Rehabilitasi Kementerian Sosial Pamardi
Putra “INSYAF” Sumatera Utara)
TESIS
OLEH :
ARIE KARTIKA
NIM. 127005038
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Tesis ini berjudul: Aplikasi Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi di Rehabilitasi Kementerian Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara).
Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain adalah, penyalahgunaan melebihi dosis, pengedaran narkotika, dan jual beli narkotika. Peran hukum dalam hal ini adalah untuk penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana dan merupakan salah satu usaha dalam penegakan hukum. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika, maka kebijakan hukum pidana berperan dalam memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan. Penegakan hukum narkotika menggunakan instrumen pidana bukanlah merupakan satu-satunya kebijakan yang harus diutamakan, maka dalam hal ini di perlukan strategi penegakan hukum narkotika seperti strategi treatment
(perawatan) dan rehabilitation (perbaikan). Salah satu contoh yang berfungsi sebagai sarana rehabilitasi sosial di Sumatera Utara adalah Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara dibawah naungan Kementerian Sosial RI. Bertugas dan bertanggung jawab sebagai pemangku mandat kebijakan hukum pidana atas pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu tindak pidana narkotika.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.Bagaimana aplikasi kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika? 2.Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi sosial memberikan kemanfaatan bagi pecandu narkotika di PSPP Insyaf Sumatera Utara? 3.Bagaimana hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu narkotika? Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, yang bersifat deskriptif analitis. Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan sesuai dengan substansi yang di atur dengan mempertimbangkan relevansinya terhadap rumusan masalah dan tujuan penelitian. Melalui sistematisasi terhadap bahan hukum yang kompleks akan dapat ditemukan norma hukumnya dan menerapkannya guna menyelesaikan problema hukum yang dihadapi.
Aplikasi kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika cukup sinkron antara perencanaan kebijakan tertulis terhadap perencanaan pelayanan untuk pecandu. Pelaksanaan rehabilitasi sosial memberikan kemanfaatan hukum bagi pecandu narkotika. Hambatan secara eksternal dari sisi kebijakan dan penerapan yang membuka ruang pengaburan dalam menerapkan dan memahami perencanaan kebijakan yang telah menjadi acuan dari kebijakan hukum pidana. Secara internal yang mengacu kepada sumber daya manusia dan kapasitas pemahaman dari para terapis yang berbeda-beda. Guna kemaksimalan aplikasi kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika cukup sinkron, perlu dukungan kebijakan melalui kesepakatan bersama antara penegak hukum (integrated criminal justice system) dengan pihak pengurus PSPP Insyaf, sehingga memaksimalkan penerapan dan eksekusi sinergitas antara pemangku layanan dan pencapaian pencegahan dalam penyalagunaan narkotika. Agar hak rehabilitasi para pecandu dan korban narkotika terlindungi dalam melaksanakan kemanfaatan upaya rehabilitasi dalam pemulihan perlu ditingkatkan sistem pengawasan terhadap penerima manfaat rehabilitasi dan pedoman yang menjadi standart pelayanan di PSPP Insyaf Sumatera Utara.
Kata Kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Rehabilitasi, Tindak Pidana Narkotika.
ABSTRACT
The title of this thesis is The Application of the Policy in Criminal Law on the Implementation of Addict Rehabilitation in Narcotics Criminal Act (A Case Study in the Rehabilitation Center of the Social Ministry, Pamardi Putra ‘Insyaf’ of North Sumatera).
Narcotics criminal acts are generally known as over-dosage abuse, drug traffic, and drug selling. In this case, the role of law is to handle the crime through the policy in criminal law as one of the attempts to enforce the law. Concerning drug abuse, the policy in criminal law plays its role in positioning drug addicts as victims and not as perpetrators. Law enforcement in narcotics which uses criminal instrument is not the only prioritized policy; the strategies of law enforcement in narcotics such as treatment strategy and rehabilitation strategy are also needed. One of the examples of social rehabilitation centers in North Sumatera is PSPP (Social Rehabilitation Center Pamardi Putra) ‘Insyaf’ of North Sumatera, under the aegis of the Social Ministry of the Republic of Indonesia. It is responsible for carrying out the mandate in the policy of criminal law on the implementation of rehabilitation for drug addicts.
The problems of the research were as follows: 1) how about the application of the policy in criminal law in implementing rehabilitation for drug addicts, 2) how about the implementation of social rehabilitation which can benefit drug addicts in PSPP ‘Insyaf’ of North Sumatera, and 3) how about the obstacles in the implementation of rehabilitation for drug addicts. The research used judicial normative, judicial empirical and descriptive analytic methods. Primary data were taken inventory and systemized according to their substance which was relevant to the problem formula and to the objective of the research. Their legal norms would be found through systemizing the complex legal materials which were then implemented to solve the problems.
The policy of handling (criminal political) crimes was done by using “penal” (criminal law) and non-penal (outside criminal law) facilities. Therefore, penal policy is related to the functionalization in some stages: formulation, application, and execution. The social rehabilitation program which is carried out in the Social Rehabilitation Center Pamardi Putra “Insyaf” of North Sumatera is provided for NAPZA (narcotics, alcohol, psychotropic, drugs, and other addictive substances) addicts through conventional and integrated social rehabilitation. One of the policies which support the handling of narcotics criminal act for drug addicts is the implementation of rehabilitation. The policy of social rehabilitation in the Social Rehabilitation Center Pamardi Putra ‘Insyaf’ is by using therapeutic community with a social group work method for NAPZA addicts; it carries the principle of “ helping other people to help one’s self.” Two obstacles in implementing rehabilitation for drug addicts are internal obstacle and external obstacle.
point of view leads to obfuscating in implementing and understanding the planning of the policy which has been the reference to the policy of criminal law. Internal obstacle is referred to human resources and the understanding capacity of different therapists. The maximizing of the application of the policy in criminal law in implementing rehabilitation for drug addicts is synchronized; therefore, support for the policy is needed through mutual agreement between the integrated criminal justice system and the management of PSPP ‘Insyaf’ so that it can maximize the synergic implementation and the execution between service holders and the preventive action from drug abuse. Supervision system on the rehabilitated and the standardized guidelines in conducting the service in PSPP ‘Insyaf’ of North Sumatera should be improved so that the right of the rehabilitation for drug addicts and narcotics victims is protected in implementing the rehabilitation.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, tiada kata yang pantas diucapkan selain rasa syukur kepada ALLAH S.W.T atas rahmad dan hidayahnya memberikan kesehatan, kekuatan, kesabaran dan kemudahan sehingga Penulis dapat menyelesaiakan penulisan tesis yang berjudul : Aplikasi Kebijakan Hukum Piana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Rehabilitasi Kementerian Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara).
Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak akan terlaksana tanpa saran maupun petunjuk yang diberikan oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul, seminar proposal, seminar hasil penelitian sampai pada sidang tertutup. Penulis dalam penyelesaian tesis ini banyak mendapatkan bantuan dan dukungan baik materil maupun spiritual dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis sangat berterimakasih kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa pada program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
2. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara;
3. Prof. Suhaidi, SH,M.H, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara juga sebagai penguji yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Kelas Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Dr. Mahmul Siregar,SH.M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, terimakasih atas kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Ilmu Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.S, selaku Ketua Komisi pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian dan kesempatannya setiap saat pada penulis dalam memberikan petunjuk dan pengarahan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini;
7. Dr. Edy Ikhsan, SH.M.A,selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan perhatian serta kesempatannya setiap saat pada penulis dalam memberikan petunjuk untuk menyelesaikan tesis ini;
8. Dr. Ida Aprilyana, SH, M.Hum selaku penguji yang telah memberikan arahan, saran, masukan dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini;
9. Dr. M. Ekaputra, SH, M.Hum selaku penguji yang juga telah banyak
memberikan semangat, arahan, saran, masukan dan petunjuk sehingga penulis mampu melakukan penyempurnaan tesis ini;
10.Prof. Dr. Ediwarman, SH, M.Hum dan Dr. H Triono Eddy, SH, M.Hum , selaku Ketua dan Wakil Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara yang telah memberikan rekomendasi hingga penulis dapat kuliah sampai menamatkan perkuliahan di Universitas Sumatera Utara;
11.Para Bapak/Ibu Dosen yang telah bersusah payah memberikan khazanah ilmu pengetahuan dan membuka cakrawala penulis, yang sangat bermanfaat dalam menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang dan bermanfaat bagi penulis di dalam mengembangkan pelaksanaan tugas sehari-hari;
12.Terimakasih kepada Orang Tua Tercinta Ayahanda Armensyah dan Ibunda Eriyana yang telah melahirkan dan membesarkan dengan segala jerih payah dan pengorbanan yang tiada arti sehingga dapat mengasuh, mendidik hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, khusus kepada Ibunda terimakasih atas doa yang tiada putus, kasih sayangnya serta memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis, semoga Allah S.W.T selelu memberikan kesehatan selalu buat Ibunda tercinta;
13.Terimakasih kepada Kakanda tersayang Devi Arie serta Suami atas dukungan dan semangatnya yang selama ini diberikan hingga mampu meringankan penulis dalam menyelesaiakan studi Program Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumater Utara;
14.Terimakasih kepada yang terkasih Reza Wahyu Nugraha Nasution atas dukungan dan bantuan doa yang telah mampu memberikan semangat kepada penulis hingga dapat menyelesaiakan studi program Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
16.Terimakasih juga buat Bapak Drs. Sinar Sebayang, MM dan seluruh Staf yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis dalam melakukan penelitian di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara;
17.Terimakasih juga buat Kakanda Rina Sitompul, SH, M.H dan sahabat-sahabat ku Lidya Ramadhani, SH, M.H, Sarah Hsb SH, M.H serta teman-teman semua yang setiap saat selalu bersedia membantu penulis dalam memperkaya data dan informasi dalam penyelesain tulisan akhir ini hingga
mampu memaksimalkan penyempurnaan penelitan penulis untuk
menyelesaiakan studi program ini;
18.Seluruh pegawai di lingkungan Program Magister Ilmu Hukum yang telah membantu penulis khususnya buat Kak fitri, Kak Ganti, Bang Hendra, yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuan, perhatian serta kesabarannya dalam pengurusan administrasi di kampus sehingga penulis dapat menamatkan perkuliahan di Magister Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara.
Semoga Allah S.W.T senantiasa memberikan hidayah, limpahan rahmat dan karunia-NYA serta membalas segala kebaikan yang telah dilakukan. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih memerlukan kritik dan saran yang sifatnya membangun, akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu hukum.
Medan, Agustus 2014 Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
BAB II APLIKASI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PELAKSANAAN REHABILITASI PECANDU NARKOTIKA A.Kebijakan Kriminal dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan ... 26
B. Tindak Pidana Narkotika ... 33
1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika ... 33
2. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika ... 37
C. Kebijakan Penal dan Non- Penal dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Narkotika ... 45
1. Kebijakan Penal ... 45
a. Dasar dalam Menetapkan Perbuatan sebagai Tindak Pidana ... 51
b. Instrumen Hukum Nasional Terkait Dengan Narkotika ... 54
1. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ... 54
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika ... 58
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional... 64
4. Peraturan Menteri Sosial RI No. 26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya ... 67
5. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2013 Tentang Penempatan Korban Penyalahguna Narkotika Ke Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial ... 69
6. Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/2014 Tentang Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya Sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor Bagi Korban Penyalahguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya Tahun 2014 ... 69
2. Kebijakan Non Penal ( Non Penal Policy ) ... 72
a. Pencegahan Preventif ... 73
b. Pencegahan Represif ... 75
BAB III PELAKSANAAN REHABILITASI SOSIAL DI PAMARDI PUTRA “INSYAF” DAN KEMANFAATANNYA BAGI PECANDU
NARKOTIKA
A.Gambaran Umum Panti Rehabilitasi Sosial Pamardi Putra
“Insyaf” ... 79
1. Kondisi Fisik ... 83
2. Para Penghuni Panti ... 84
3. Aturan – Aturan Internal ... 86
B. Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika Ditinjau Dari Sudut Kebijakan Hukum Pidana ... 87
C. Keseimbangan Terhadap Tujuan Pemidanaan Rehabilitasi Dengan Tujuan Pemidanaan Lainnya... 90
1. Visi Dan Misi Kementerian Sosial Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Narkotika ... 92
2. Keterkaitan Antara Tujuan Pemidanaan Dengan Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Narkotika ... 93
3. Kemanfaatan Bagi Pecandu Narkotika Kaitannya Dalam Fakta Di Lapangan ... 96
BAB IV HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP PECANDU NARKOTIKA
5. Hambatan Lain – Lain ... 113
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan ... 116
B. Saran ... 118
DAFTAR TABEL, SKEMA DAN GRAFIK
No Judul Hal
Tabel. 1 Rekapitulasi Pengguna atau Penyalahguna Narkotika ... 4 Skema. 1 Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Melalui Kebijakan
Kriminal ... 30 Skema. 2 Proses Wajib Lapor kepada Institusi Penerima Wajib Lapor
Bagi Korban Penyalahguna Narkotika ... 71 Grafik. 1 Asal Daerah Penerima Manfaat Terpadu (Primary House)
Tahun 2013 ... 85 Tabel. 2 Target Penerima Manfaat Setiap Tahun Dalam Perencanaan
PSPP Insyaf Sumatera Utara ... 100
Tabel. 3 Klasifikasi Pola Layanan Pendekatan Terhadap Penerima
Manfaat pada July 2014 ... 101 Tabel. 4 Daftar Alokasi Peruntukan Anggaran PSPP Insyaf ... 105
Grafik. 2 Jumlah Kasus Penyalahguna NAPZA Berdasarkan Jenis
NAPZA Pada Penerima Manfaat Terpadu PSPP- Insyaf
SUMUT Tahun Anggaran 2012 ... 111
Grafik. 3 Jumlah Kasus Penyalahguna NAPZA Berdasarkan Jenis
NAPZA Pada Penerima Manfaat Terpadu PSPP- Insyaf
ABSTRAK
Tesis ini berjudul: Aplikasi Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi di Rehabilitasi Kementerian Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara).
Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain adalah, penyalahgunaan melebihi dosis, pengedaran narkotika, dan jual beli narkotika. Peran hukum dalam hal ini adalah untuk penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana dan merupakan salah satu usaha dalam penegakan hukum. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika, maka kebijakan hukum pidana berperan dalam memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan. Penegakan hukum narkotika menggunakan instrumen pidana bukanlah merupakan satu-satunya kebijakan yang harus diutamakan, maka dalam hal ini di perlukan strategi penegakan hukum narkotika seperti strategi treatment
(perawatan) dan rehabilitation (perbaikan). Salah satu contoh yang berfungsi sebagai sarana rehabilitasi sosial di Sumatera Utara adalah Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara dibawah naungan Kementerian Sosial RI. Bertugas dan bertanggung jawab sebagai pemangku mandat kebijakan hukum pidana atas pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu tindak pidana narkotika.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.Bagaimana aplikasi kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika? 2.Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi sosial memberikan kemanfaatan bagi pecandu narkotika di PSPP Insyaf Sumatera Utara? 3.Bagaimana hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu narkotika? Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, yang bersifat deskriptif analitis. Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan sesuai dengan substansi yang di atur dengan mempertimbangkan relevansinya terhadap rumusan masalah dan tujuan penelitian. Melalui sistematisasi terhadap bahan hukum yang kompleks akan dapat ditemukan norma hukumnya dan menerapkannya guna menyelesaikan problema hukum yang dihadapi.
Aplikasi kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika cukup sinkron antara perencanaan kebijakan tertulis terhadap perencanaan pelayanan untuk pecandu. Pelaksanaan rehabilitasi sosial memberikan kemanfaatan hukum bagi pecandu narkotika. Hambatan secara eksternal dari sisi kebijakan dan penerapan yang membuka ruang pengaburan dalam menerapkan dan memahami perencanaan kebijakan yang telah menjadi acuan dari kebijakan hukum pidana. Secara internal yang mengacu kepada sumber daya manusia dan kapasitas pemahaman dari para terapis yang berbeda-beda. Guna kemaksimalan aplikasi kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika cukup sinkron, perlu dukungan kebijakan melalui kesepakatan bersama antara penegak hukum (integrated criminal justice system) dengan pihak pengurus PSPP Insyaf, sehingga memaksimalkan penerapan dan eksekusi sinergitas antara pemangku layanan dan pencapaian pencegahan dalam penyalagunaan narkotika. Agar hak rehabilitasi para pecandu dan korban narkotika terlindungi dalam melaksanakan kemanfaatan upaya rehabilitasi dalam pemulihan perlu ditingkatkan sistem pengawasan terhadap penerima manfaat rehabilitasi dan pedoman yang menjadi standart pelayanan di PSPP Insyaf Sumatera Utara.
Kata Kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Rehabilitasi, Tindak Pidana Narkotika.
ABSTRACT
The title of this thesis is The Application of the Policy in Criminal Law on the Implementation of Addict Rehabilitation in Narcotics Criminal Act (A Case Study in the Rehabilitation Center of the Social Ministry, Pamardi Putra ‘Insyaf’ of North Sumatera).
Narcotics criminal acts are generally known as over-dosage abuse, drug traffic, and drug selling. In this case, the role of law is to handle the crime through the policy in criminal law as one of the attempts to enforce the law. Concerning drug abuse, the policy in criminal law plays its role in positioning drug addicts as victims and not as perpetrators. Law enforcement in narcotics which uses criminal instrument is not the only prioritized policy; the strategies of law enforcement in narcotics such as treatment strategy and rehabilitation strategy are also needed. One of the examples of social rehabilitation centers in North Sumatera is PSPP (Social Rehabilitation Center Pamardi Putra) ‘Insyaf’ of North Sumatera, under the aegis of the Social Ministry of the Republic of Indonesia. It is responsible for carrying out the mandate in the policy of criminal law on the implementation of rehabilitation for drug addicts.
The problems of the research were as follows: 1) how about the application of the policy in criminal law in implementing rehabilitation for drug addicts, 2) how about the implementation of social rehabilitation which can benefit drug addicts in PSPP ‘Insyaf’ of North Sumatera, and 3) how about the obstacles in the implementation of rehabilitation for drug addicts. The research used judicial normative, judicial empirical and descriptive analytic methods. Primary data were taken inventory and systemized according to their substance which was relevant to the problem formula and to the objective of the research. Their legal norms would be found through systemizing the complex legal materials which were then implemented to solve the problems.
The policy of handling (criminal political) crimes was done by using “penal” (criminal law) and non-penal (outside criminal law) facilities. Therefore, penal policy is related to the functionalization in some stages: formulation, application, and execution. The social rehabilitation program which is carried out in the Social Rehabilitation Center Pamardi Putra “Insyaf” of North Sumatera is provided for NAPZA (narcotics, alcohol, psychotropic, drugs, and other addictive substances) addicts through conventional and integrated social rehabilitation. One of the policies which support the handling of narcotics criminal act for drug addicts is the implementation of rehabilitation. The policy of social rehabilitation in the Social Rehabilitation Center Pamardi Putra ‘Insyaf’ is by using therapeutic community with a social group work method for NAPZA addicts; it carries the principle of “ helping other people to help one’s self.” Two obstacles in implementing rehabilitation for drug addicts are internal obstacle and external obstacle.
point of view leads to obfuscating in implementing and understanding the planning of the policy which has been the reference to the policy of criminal law. Internal obstacle is referred to human resources and the understanding capacity of different therapists. The maximizing of the application of the policy in criminal law in implementing rehabilitation for drug addicts is synchronized; therefore, support for the policy is needed through mutual agreement between the integrated criminal justice system and the management of PSPP ‘Insyaf’ so that it can maximize the synergic implementation and the execution between service holders and the preventive action from drug abuse. Supervision system on the rehabilitated and the standardized guidelines in conducting the service in PSPP ‘Insyaf’ of North Sumatera should be improved so that the right of the rehabilitation for drug addicts and narcotics victims is protected in implementing the rehabilitation.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan narkotika telah ada sejak zaman prasejarah, mulanya hanya
dikenal sebagai obat penghilang rasa sakit atau obat bius, namun zat tersebut terus
berkembang penggunaannya oleh masyarakat dunia sehingga beralih fungsi
keberadaannya. Awal tahun 1970 penyalahgunaan narkotika sudah semakin sering
terjadi di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar semakin banyak pula
ragamnya.1
Narkotika apabila dipergunakan secara proposional, artinya sesuai menurut
pemanfaatannya, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan, dan teknologi maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
suatu tindak pidana narkotika. Penggunaan narkotika sebaliknya jika untuk
maksud-maksud tertentu di luar daripada ilmu pengetahuan, maka perbuatan tersebut dapat
dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan/atau penyalahgunaan narkotika
berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Masalah tentang Narkoba (Narkotika, Psikotropika dan bahan Adiktif
lainnya) adalah merupakan salah satu tindak pidana khusus yang masalahnya
menyebar secara Nasional dan Internasional, karena penyalahgunaannya berdampak
negatif dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
1
Moh. Taufik Makaro, Suhasril, dan Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, (Bogor: Ghalia
Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini:2 1. Penyalahgunaan melebihi dosis;
2. Pengedaran Narkotika; dan
3. Jual beli Narkotika.
Ketiga bentuk tindak pidana narkotika itu adalah merupakan salah satu
penyebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan
pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap
masyarakat, generasi muda, dan terutama bagi si pengguna zat itu sendiri, seperti:
pembunuhan, pencurian, penodongan, penjamretan, penipuan dan pemerkosaan.
Peran hukum dalam hal ini adalah untuk penanggulangan kejahatan melalui
kebijakan hukum pidana dan merupakan salah satu usaha dalam penegakan hukum.
Kebijakaan merupakan hal yang fundamental dalam suatu negara. Negara Indonesia
sendiri adalah merupakan Negara Hukum yang berbentuk republik seperti tersebut
di dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebijakan hukum pidana dapat mencakup
ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana
formal dan bidang hukum pelaksanaan pidana.3
Kebijakan perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 menjadi
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah untuk
meningkatkan kegiatan guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara. Menurut Sudarto kebijakan atau politik hukum
2
Ibid, hlm. 45.
3
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , ( Jakarta: Kencana, 2008),
pidana adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan.4
Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika, maka kebijakan
hukum pidana berperan dalam memposisikan pecandu narkotika sebagai korban,
bukan pelaku kejahatan. Pecandu pada dasarnya adalah merupakan korban
penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan
mereka itu semua merupakan warga negara Indonesia yang diharapkan dapat
membangun negeri ini dari keterpurukan di segala bidang.
5
Mengingat dampak penyalahgunaan narkotika berpengaruh pada sendi-sendi
keluarga, masyarakat dan pemerintah yang mengakibatkan hubungan diantara
ketiganya mengalami gangguan. Penyalahgunaan menjadi beban bagi keluarga,
adanya stigma masyarakat yang buruk terhadap korban, perilaku korban cenderung
melakukan kriminal, pemerintah pun mengalami gangguan dalam melanjutkan
pembangunan dalam pengembangan sumber daya manusia. Tentu hal ini
memerlukan penanganan, salah satunya dengan merujuk pecandu atau korban untuk
mendapatkan pelayanan rehabilitasi.
Terangkum data dari pengguna atau penyalahguna narkotika dalam dua
tahun terakhir yang dihimpun dari Balai Pemasyarakatan kota Medan terdapat data
yang cukup signifikan:
4
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, ( Bandung: Sinar Baru, 1983),
hlm. 20.
5
Table 1. Rekapitulasi Pengguna atau Penyalahguna Narkotika
Bulan Tahun 2013 Tahun 2014
Januari 24 56
Februari 26 59
Maret 29 62
April 31 67
Mei 34 69
Juni 36 72
Juli 40 75
Agustus 42 77
September 45 -
Oktober 47 -
November 50 -
Desember 53 -
Sumber : BAPAS Kelas I Kota Medan
Para penyalahguna narkotika di atas (tabel) sebagaimana kebijakan hukum
pidana yang telah diterapkan putusan pengadilan memperlakukan mereka sebagai
pelaku tindak pidana kriminal. Meskipun kesalahan yang telah dilakukan oleh
pelaku terhitung relatif rendah. Hasil informasi yang diperoleh terdapat 6 orang
dinyatakan pulih melalui proses pembinaan secara kekeluargaan dan juga dengan
keterlibatan dari pihak BAPAS.6
Klasifikasi penanggulangan kesalahan atau kejahatan lazimnya dibedakan
antara tingkat kerugian yang dilakukan oleh pelaku, dan juga dapat dibedakan
berdasarkan motif, kondisi perilaku, kaidah yang dilanggar dan frekuensi
kejahatan.
7
Sebagaimana secara tegas dalam kebijakan hukum pidana SEMA No. 4
Tahun 2010 tentang penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan
pecandu narkotika kedalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Membedakan adanya pengklasifikasian (tipologi) atas tindakan yang telah
dilakukan pecandu.8
Lebih lanjut Didik dkk menyetujui adanya pengklasifikasian
penyalahgunaan narkotika yang juga dikategorikan sebagai korban, yang dapat
diidentifikasi menurut keadaan dan kondisi, yaitu:
9
1) Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan pelaku.
2) Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya
menjadi korban.
3) Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
4) Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
5) Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang
lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
6) Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.
6
Wawancara M. Arifin Harahap (Kepala Sub. Bag. Tata Usaha) BAPAS Kelas I Medan, tanggal 22 Agustus 2014 pukul 14.00 wib.
7
Referensi Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Laksabang Grafika-2013),
hlm. 86.
8
Lihat SEMA No. 4 Tahun 2010 point 2 dan 3
9
Referensi Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Pengklasifikasian di atas secara tidak langsung pecandu narkotika termasuk
dalam kategori tipologi korban self victimizing victims, karena pecandu narkotika
ketergantungannya akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukan sendiri.
Sebagaimana berdasarkan data diatas pelaku penyalahgunaan narkotika adalah
untuk kepuasan dirinya sendiri.
Undang-undang narkotika memiliki keistimewaan dibandingkan dengan
Undang-undang yang lain, dikarenakan seorang hakim memiliki kewenangan
menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika.10 Penerapan suatu sanksi kepada pengguna tidak hanya sebatas dengan penjatuhan
sanksi pidana akan tetapi peluang penjatuhan juga dapat menjatuhkan vonis sanksi
tindakan.11
Kenyataannya menunjukan penjatuhan vonis oleh hakim dalam perkara
narkotika masih belum efektif pelaksanaannya. Sebagian besar pecandu narkotika
tidak dijatuhkan vonis rehabilitasi sesuai yang disebutkan dalam undang-undang
narkotika melainkan dijatuhkan vonis penjara meskipun ketentuan Undang-undang
menjamin pengaturan upaya rehabilitasi, baik itu rehabilitasi medis maupun
rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.
Tidak selamanya pula penegak hukum harus memenjarakan
sebanyak-banyaknya para pengguna narkotika dan psikotropika di lembaga pemasyarakatan.
Penegakan hukum narkotika menggunakan instrumen pidana bukanlah
merupakan satu-satunya kebijakan yang harus diutamakan, maka dalam hal ini di
10
Lihat Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
11
Referensi M. Sholehuddin, Sistem sanksi dalam hukum pidan, ide dasar double track
perlukan strategi penegakan hukum narkotika seperti strategi treatment (perawatan)
dan rehabilitation (perbaikan). Strategi ini dengan menggunakan dua pendekatan
yakni pendekatan pertama, ialah eliminate drug dependency yakni tujuannya untuk
mengurangi ketergantungan penyalahgunaan narkotika bagi pecandu narkotika,
maka dilakukan program medical rehabilitation (rehabilitasi medis).
Pendekatan kedua, ialah prevent recidivism, yakni program pembinaan
terhadap para bekas narapidana narkotika atau para residivis narkotika, dengan
tujuan dilakukannya pemantauan secara terus menerus agar tidak melibatkan diri
kembali kepada perbuatan kriminal yang telah dilakukan sebelumnya.12
Indonesia sebagai salah satu peserta yang telah menandatangani beberapa
Konvensi yaitu: Konvensi Tunggal Narkotika, Konvensi Psikotropika, Konvensi
Pemberantasan peredaran gelap narkotika psikotropika, secara tidak langsung
bertanggung jawab guna melengkapi kebijakan hukum dan juga sarana prasarana
untuk penanggulangan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika.
Salah satu contoh yang berfungsi sebagai sarana rehabilitasi sosial di
Sumatera Utara adalah Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara di bawah
naungan Kementerian Sosial RI. Bertugas dan bertanggungjawab sebagai pemangku
mandat kebijakan hukum pidana atas pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu
tindak pidana narkotika.
Para terpidana narkotika dan psikotropika selama menjalani masa
rehabilitasi, dapat pula dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum untuk
12
Siswanto, Politik Hukum dalam Undang-Undang Narkotika, ( Jakarta: PT Rineka Cipta,
dilakukannya pelatihan mengenai kewajiban memberikan informasi tentang bahaya
dan kerugian yang ditimbulkan dari narkotika dan psikotropika.
Tujuan pemidanaan dalam pelaksanaan rehabilitasi ini adalah treatment
(perawatan) dan rehabilitation (perbaikan), yang lebih memandang pemberian
pemidanaan pada pelaku kejahatan bukan pada perbuatannya. Sehingga tujuan
kemanfaatan hukum untuk para pecandu dalam tindak pidana narkotika dapat
tercapai.
Pengaturan rehabilitasi atas pecandu narkotika menunjukkan adanya
kebijakan hukum pidana yang bertujuan agar penyalah guna dan pecandu narkotika
tidak lagi menyalahgunakan narkotika tersebut. Berdasarkan data di atas upaya
rehabilitasi merupakan suatu alternatif pemidanaan yang tepat untuk para pecandu
narkotika, yang patut didukung dengan peraturan pelaksanaan yang mengakomodir
hak bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika.
Berdasarkan uraian dan fakta tersebut diatas sangatlah penting dan menarik
untuk menggali, mengkaji, dan membahas tentang sinkronisasi “Aplikasi Kebijakan
Hukum Pidana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Tindak Pidana
Narkotika (Studi Di Rehabilitasi Kementrian Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan diatas, maka rumusan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana aplikasi kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika?
2. Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi sosial memberikan kemanfaatan bagi
pecandu narkotika di PSPP Insyaf Sumatera Utara?
3. Bagaimana hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi bagi
pecandu narkotika di PSPP Insyaf Sumatera Utara?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui aplikasi kebijakan hukum pidana terhadap pelaksanaan rehabilitasi
bagi para penyalah guna dan pecandu narkotika.
2. Mengetahui kemanfaatan hukum dari pelaksanaan pemidanaan rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika dalam kebijakan hukum pidana.
3. Mengetahui hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, penulisan tesis ini juga diharapkan
dapat memberi manfaat untuk berbagai hal diantaranya:
1. Secara teoritis
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis guna
melatih diri dan mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir melalui
penulisan karya ilmiah serta menambah khasanah pengetahuan, wawasan
khususnya berkaitan dengan penelitian dibidang hukum dengan menerapkan
pengetahuan dan pengalaman praktis yang telah diperoleh selama ini dan dapat
memberikan sumbangan pemikiran mengenai pemidanaan yang tepat terhadap
pecandu narkotika ataupun penyalahgunaan narkotika.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Para aparat penegak hukum agar dapat mengetahui tentang bagaimana
tindakan yang tepat untuk kasus penyalahgunaan narkotika terhadap
pecandu tindak pidana narkotika.
b. Bagi para legislator sebagai sumbangan pemikiran terhadap strategi
penegakan hukum narkotika untuk para penyalah guna dan pecandu tindak
E. Keaslian Penulisan
Sepanjang pengetahuan penulis dan penelitian yang dilakukan dengan judul
“Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Dalam
Tindak Pidana Narkotika (Studi di Rehabilitasi Sosial Pamardi Putra Insyaf Kota
Medan)” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan
sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan tetapi judul
yang terkait dengan permasalahan tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika
telah pernah diteliti oleh beberapa orang yakni:
1. Syamsinar Simatupang, tesis pada tahun 2012 dengan judul : Pelaksanaan
Terapi dan Rehabilitasi terhadap Narapidana Narkotika sebagai Sistem
Pemidanaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika (suatu studi di
lembaga pemasyarakatan narkotika kelas II A Pematangsiantar)
2. Ardiansyah, tesis pada tahun 2007 dengan judul : Kedudukan Lembaga
Pemasyarakatan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika dan Psikotropika.
3. Mala Puspita Sari Boru Ginting, tesis pada tahun 2010 dengan judul : Analisis
Yuridis Rehabilitasi terhadap Pengguna Narkotika dalam Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.
4. Muhamad Tavip, tesis pada tahun 2009 dengan judul : Pelaksanaan Therapeutic
Community dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika dan
Psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Medan dihubungkan dengan
Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah
sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam
penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang
didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi dari media cetak serta
elektronik. Mengacu kepada alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara
ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi
1. Kerangka Teori
Istilah teori berasal dari bahasa inggris, yaitu theory. Dalam bahasa belanda
disebut dengan theorie. Menurut Fred N. Kerlinger perkembangan teori dalam ilmu
hukum oleh HS. Salim, yakni sebagai “ seperangkat konsep, batasan, dan proposisi
yang menyajikan pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci
hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan
memprediksi gejala itu.13
Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada perbuatan pidana. Istilah
teori pemidanaan berasal dari Inggris, yaitu comdemnation theory. Perbuatan
Pidana merupakan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam
pidana.14
13
HS. Salim, Perkembangan Teori dalam IlmuHukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), hlm.7.
Penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait dengan empat aspek:
yakni yang pertama, penetepan perbuatan yang dilarang; kedua, penetapan
14
ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang; ketiga, tahap penjatuhan
pidana pada subjek hukum; keempat, tahap pelaksanaan pidana. Keempat aspek
tersebut terkait antara satu dengan lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah
sistem hukum pidana.15
Pemidanaan mempunyai tujuan, beberapa tujuan yang dapat diklasifikasikan
berdasarkan pada teori-teori pemidanaan adalah: retributive, deterrence,
integrative, treatment, social defence. Berdasarkan pada teori-teori pemidanaan,
rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment.
Menurut C. Ray Jeffery dalam Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal
Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, Treatment
sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat
bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada
perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk
memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada
pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.16
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Kebijakan Kriminal,
Teori Treatment, dan Teori Kemanfaatan. Teori Kebijakan Kriminal sebagaimana
di kemukakan oleh G. Petter Hoefnagles bahwa Kebijakan Kriminal adalah17
15
Teguh Prasetyo, Op.cit, hlm. 82.
“
suatu usaha yang rasional dari pemerintah dan masyarakat dalam melakukan
penanggulangan dilakukan melalui:
16
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy dalam Penangan Kejahatan Kekerasan, ( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 79.
17
a. Criminal Policy is the science of responses “ Kebijakan Kriminal merupakan ilmu tanggapan”.
b. Criminal Policy is the science of crime prevention “ Kebijakan Kriminal
merupakan ilmu pencegahan”.
c. Criminal Policy is a policy of designating human behavior as crime “
Kebijakan Kriminal merupakan kebijakan yang dapat merubah perilaku manusia untuk berbuat lebih baik”.
d. Criminal Policy is a rational total of the responses to crime “ Kebijakan Kriminal merupakan tanggapan dari seluruh pemangku kebijakan terhadap dampak satu kejahatan”.
Tujuan dari Kebijakan Kriminal adalah memampukan antara kebijakan
sosial dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dengan
upaya perlindungan (social defence) yang dikaitkan juga dengan kemaksimalan
dalam kebijakan kriminal (penal dan non penal) sebagai mana diungkapkan bahwa
kebijakan kriminal meliputi :18
“criminal policy as a science of policy is part of a larger policy the law enforcement policy. This makes it understandable that administrative and civil law occupy the same place in the diagram as non criminal legal crime prevention. The legislative and enforcement policy is in part of social policy”
( Kebijakan Kriminal merupakan bagian dari ilmu kebijakan yang lebih luas dari kebijakan penegakan hukum. Dimana terdiri dari hukum administrasi dan perdata yang juga merupakan bagian yang sama dalam upaya pencegahan kejahatan di luar hukum pidana, sedangkan kebijakan legislative dan kebijakan penegakan hukum merupakan bagian penting dari pelaksanaan kebijakan sosial).
Relavansi antara pelaksanaan rehabilitasi dengan teori kebijakan kriminal
yakni pada bagaimana implementasi peraturan oleh kebijakan hukum pidana dalam
upaya pemberantasan, pencegahan dan pemulihan terhadap penyalahguna dan
pecandu narkotika.
18
Peter Hoefnagles, The Other Side of Criminology, An Inversion of the concept of crime,
Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab
rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal
tersebut sesuai dengan pemidanaan, menurut aliran teori treatment pelaku kejahatan
adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan
perbaikan (rehabilitation).
Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata
terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat dari
secara kongkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi
oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan.
Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti
pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari
dalam kriminologi.19
Dengan dilakukannya pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial
dan perlindungan sosial menjadikan suatu standar dalam menjustifikasi suatu
perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Menurut Herbert L.
Packer, rehabilitasi dilakukan terhadap pelaku kejahatan karena dalam menjatuhkan
sanksi harus berorientasi kepada diri individu pelaku, bukan kepada perbuatannya.
19
Bagaimana menjadikan individu pelaku kejahatan tersebut untuk menjadi lebih
baik.20
Berdasarkan data yang telah diuraikan dalam latar belakang permasalahan,
teori Kemanfaatan dipandang tepat sebagai pisau anlisis dalam pelaksanaan
rehabilitasi. Teori Kemanfaatan (Utilitarisme) dipelopori oleh Jeremy Bentham
(1748-1832). Bagi Jeremy Bentham, hukum barulah dapat diakui sebagai hukum,
jika memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya
orang. Prinsip ini dikemukakan oleh Bentham dalam karyanya Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (1789), yang bunyinya adalah the greatest
happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk
sebanyak-banyaknya orang).21
Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang berarti bermanfaat. Menurut
teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu
harus menyangkut bukan saja satu atau dua orang melainkan masyarakat secara
keseluruhan.
Bahwa tujuan perundang-undangan adalah untuk
menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat.
22
Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness), yang
tidak mempersalahakan baik atau tidak adilnya suatu hukum, melainkan bergantung
kepada pembahasan mengenai apakah hukum dapat memberikan kebahagiaan
kepada manusia atau tidak.23
20
Referensi, Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, ( California: Stanford
University Press, 1968), hlm. 54.
21
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.76.
22
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, ( Yogyakarta : Kanisius, 2010), hlm. 66.
23
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, (Jakarta : PT Raja
Dengan memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk
mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.
Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu
mendatangkan kebahagian atau tidak. Demikian juga terhadap
perundang-undangan. Baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut diatas. Bahwa
undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar
masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik.24
Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan
melihat apakah suatu kebijaksanaan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau
hasil yang berguna atau sebaliknya yaitu kerugian bagi orang-orang yang terkait.
Menepati janji, berkata benar, atau menghormati milik orang adalah baik karena
hasil baik yang dicapai dengannya, bukan karena suatu sifat intern dari
perbuatan-perbuatan tersebut. Sedangkan, mengingkari janji, berbohong atau mencuri adalah
perbuatan buruk karena akibat buruk yang dibawakannya, bukan karena suatu sifat
dari perbuatan-perbuatan itu. Utilitarisme dapat memberi tempat juga kepada
kewajiban, tetapi hanya dalam arti bahwa manusia harus menghasilkan kebaikan
dan bukan keburukan.25
24
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 64.
25
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relavansinya, ( Yogyakarta: Kanisius, 1998),
Secara lebih kongkret, dalam kerangka etika utilitarisme dapat dirumuskan
tiga kriteria objektif yang dapat dijadikan dasar objektif sekaligus norma untuk
menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan, antara lain: 26
a. Kriteria pertama adalah manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Kebijaksanaan atau tindakan yang paling baik adalah menghasilkan hal yang baik, sebaliknya kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu. b. Kriteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau
tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar) dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan, maka suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian. Dalam situasi tertentu, ketika kerugian tidak bisa dihindari, dapat dikatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kerugian terkecil (termasuk kalau dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif). c. Kriteria ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Suatu
kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika utilitarisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang.
Secara umum, utilitarisme dapat dipakai dalam dua wujud yang berbeda, antara lain:27
a. Sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak (sebagai prosedur untuk mengambil keputusan). Yaitu menjadi sebuah metode untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.
b. Sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat konsekuensinya, sejauh mana mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang.
Teori kemanfaatan ini menggambarkan tentang apa yang sesungguhnya
dilakukan oleh orang yang rasional dalam mengambil keputusan dalam hidup ini.
Hal ini dapat dipahami dari alasan diberikannya alternatif sanksi tindakan yakni
26
Ibid., hlm. 94-95.
27
rehabilitasi, sebagai sanksi yang tepat untuk mencegah dan memulihkan para
penyalah guna dan pecandu narkotika.
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Pentingnya definisi
operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran dari
suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan
beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang
sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
a. Aplikasi adalah penggunaan atau penerapan, pemakaian suatu cara atau metode
atau suatu teori atau suatu sistem.28
b. Kebijakan hukum pidana adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang
diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.29
c. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.30
d. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik
fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.31
28
tanggal 1 Agustus 2014, pukul 09.40 wib.
29
Sudarto,op.cit., hlm .20.
30
e. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik
maupun psikis.32
f. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan
hukum.33
g. Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan
narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan atau diancam untuk
menggunakan narkotika.34
h. Tindak Pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja
telah dilakukan oleh seseorang yang dapat di pertanggungjawabkan atas
tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.35
i. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman ,
baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.36
j. Tindak pidana narkotika adalah suatu perbuatan yang melanggar
ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun
1997 tentang Narkotika yang digantikan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun
31
Pasal 1 butir 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
32
Pasal 1 butir 13 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
33
Pasal 1 butir 15 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
34
Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
35
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2010), hlm.75.
36
2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau
tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.37
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif dan yuridis empiris, yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian yuridis
normatif digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa pelaksanaan
konsep-konsep hukum dan peraturan yang erat kaitannya dengan pokok bahasan tesis ini,
sejauh mana para pemangku kebijakan menerapkannya.38 Penelitian yuridis normatif mempergunakan bahan-bahan hukum yang mengikat sebagai bagian data
sekunder, dari beberapa sudut kekuatan mengikat dapat digolongkan ke dalam
(Bahan hukum primer, hukum sekunder dan hukum tertier).39
Sedangkan penelitian yuridis empiris adalah suatu penelitian guna mengukur
efektivitas hukum yang mampu dipahami dan dioperasikan dikalangan aparatur
sebagai pemangku kebijakan dan juga para tokoh masyarakat yang dianggap layak
dan tepat dalam memahaminya. Pada prinsip dalam metode ini ingin melihat sejauh
mana niat dan tujuan para inisiator pembuat kebijakan itu, baik ditataran
Kepolisian, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, LSM dan Pers yang memiliki
persepsi yang sama sewaktu kebijakan tersebut diundangkan, melalui pengujian
37
Taufik Makaro., op.cit., hlm. 41.
38
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Penerbit Universitas Indonesia, 1986),
hlm.50.
39
konsep-konsep tertulis yang telah dianggap sebagai wacana doctrinal terhadap
hukum.40
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang berupa bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.41
b. Bahan Hukum Sekunder
Seperti peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika dan rehabilitasi
terhadap pengguna narkotika, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika yang telah disempurnakan yang sebelumnya adalah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010.
Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal
hukum, pendapat para sarjana, komentar-komentar atas putusan hakim,
40
Ibid, hlm. 53.
41
kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang
berkaitan dengan topik penelitian.42
Dalam hal penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah
buku-buku teks tentang narkoba, kebijakan atau politik hukum pidana, dan
sistem pemidanaan.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.43
Bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa
kamus hukum dan situs-situs dalam internet. Kemudian, penelitian ini
didukung oleh bahan non hukum, berupa hasil wawancara dengan para
pelaksana tindakan rehabilitasi di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan
dan beberapa pegawai pendukung pelaksana tersebut.
3. Teknik Pengumpulan Data
Seluruh data dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan
(library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang dianggap
relavan. Selanjutnya pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara
melalui studi lapangan (field research) terhadap pihak yang terkait dalam
kebijakan pelaksanaan rehabilitasi pecandu tindak pidana narkotika.
42
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,( Surabaya: Bayumedia,
2008), hlm. 296.
43
4. Analisis Data
Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Lalu
dilakukan studi lapangan untuk melakukan identifikasi dan analisis tentang
bagaimana hukum dan kebijakan penanggulangan itu bekerja dan diupayakan.
Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis
dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data dan menjelaskan data
informasi dari responden. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah,
kemudian dianalisis secara deskriptif. Sehingga selain menggambarkan dan
mengungkapkan, diharapkan akan memberikan keterangan dan solusi atas
BAB II
APLIKASI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PELAKSANAAN
REHABILITASI PECANDU NARKOTIKA
A. Kebijakan Kriminal Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan
Politik hukum muncul pertama kali dan dijadikan sebagai sebuah istilah
akademis dalam bidang hukum, untuk sementara dapat ditemukan pada tulisan
Soepomo berjudul Soal-soal Politik Hoekoem dalam Pembangoenan Negara
Indonesia (dipublikasikan pada tahun 1947). Secara etimologis istilah “politik
hukum” merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda
rechtspolitiek. Dalam bahasa Indonesia kata rechts berarti hukum. Adapun dalam
kamus Belanda yang ditulis oleh Van Der Tas, kata politiek mengandung arti beleid.
Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy).44
Kebijakan (policy) ternyata memiliki keragaman arti. Hal itu, dapat kita lihat
dari pandangan beberapa tokoh yang mencoba untuk menjelaskan apa sebenarnya
kebijakan (policy) itu. Klien menjelaskan bahwa kebijakan itu adalah tindakan
secara sadar dan sistematis, dengan menggunakan sarana-sarana yang cocok, Dari
penjelasan itu bisa dikatakan bahwa politik hukum secara singkat berarti kebijakan
hukum. Adapun kata “kebijakan” sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti rangkaian konsep dan asas dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.
44
S. Wojowasito. Kamus Umum Bahasa Belanda-Indonesia. ( Jakarta: Ichtiar Baru Van
dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran, yang dijalankan selangkah demi
selangkah, senada dengan Kuypers yang menjelaskan kebijakan itu adalah suatu
susunan dari: 45
1. Tujuan-tujuan yang dipilih oleh para administrator publik baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan kelompok;
2. Jalan-jalan dan sarana-saran yang dipilih olehnya;
3. Saat-saat yang mereka pilih.
Menurut Istanto, dari berbagai pengertian yang berkembang, tampak
pengertian politik hukum dapat dikelompokan menjadi tiga, yakni: 46
1. Politik hukum sebagai terjemahan dari rechtspolitiek. Berdasarkan pengertian
tersebut, Bellefroid menyatakan bahwa politik hukum merupakan bagian dari
ilmu hukum yang meneliti perubahan hukum yang berlaku, dan harus dilakukan
untuk memenuhi tuntutan baru kehidupan masyarakat.
2. Lemaire, berpendapat bahwa politik hukum, merupakan bagian dari kebijakan
legislatif. Politik hukum merupakan bagian dari ilmu politik pada umumnya.
Politik hukum mengkaji bagaimana penetapan hukum yang seharusnya (ius
constituendum). Kajian terhadap hukum positif, tidak berhenti pada kajian
hukum yang berlaku, dan
3. Utrecht, mengutarakan bahwa politik hukum menentukan hukum yang akan
menentukan bagaimana seharusnya kenyataan sosial manusia bertindak. Politik
45
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. Dasar-dasar Politik Hukum. (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 22-23.
46
hukum meneliti perubahan-perubahan, apa yang harus diadakan dalam hukum
yang sekarang berlaku, supaya menjadi sesuai dengan sociale werkelijkheid
(kenyataan sosial).
Perkembangan pembangunan dan modernisasi mengakibatkan semakin
kompleksnya kehidupan masyarakat, maka banyak menimbulkan masalah-masalah
dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan sosial adalah serangkaian pilihan tindakan
pemerintah untuk menjawab tantangan atau memecahkan masalah kehidupan
masyarakat.47
Kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat dan
sampai saat ini sulit untuk diberantas atau dihilangkan, namun usaha pencegahan
dan penanggulangannya tetap dilakukan dengan berbagai cara. Kejahatan harus
diberantas karena menghambat pencapaian tujuan dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.
Salah satu masalah yang menjadi tantangan yang perlu dipecahkan
adalah masalah kejahatan.
Perilaku yang menyimpang merupakan hal yang berpotensi mengancam
pemberlakuan norma-norma sosial atau berlangsungnya ketertiban sosial.
Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dinyatakan
dengan konsep “penyimpangan” (deviance) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang
sebagai bagian dari penyimpangan sosial, dalam arti bahwa tindakan yang
bersangkutan berbeda dari tindakan-tindakan yang dipandang sebagai normal atau
47
biasa di masyarakat, dan terhadap tindakan yang menyimpang tersebut diberikan
reaksi sosial yang negatif, dalam arti secara umum masyarakat memperlakukan
orang-orang tersebut sebagai sesuatu yang berbeda dan jahat.48
Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan tentunya bukan
merupakan hal yang baru. Upaya atau kebijakan untuk melakukan Pencegahan dan
Penanggulangan Kejahatan termasuk dalam bidang “kebijakan kriminal” (criminal
policy) . Kebijakan kriminal ini tidak terlepas dari kebijakan yang luas, yaitu
kebijakan sosial (social policy) yang terdiri dari kebijakan/ upaya-upaya untuk
kesejahteraan sosial (social-welfare policy) dan kebijakan/ upaya-upaya untuk
perlindungan masyarakat (social-defence policy).49
Kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan
menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana
(penal policy), khususnya pada tahap kebijakan aplikatif/ yudikatif (penegakan
hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya
tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social defence”.
Hal tersebut dapat dilihat pada skema berikut ini.50
48
I.S. Susanto. Kriminologi. (Semarang : Universitas Diponegoro, 1995), hlm.8.
49
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan (Semarang : PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 73.
50
Skema 1.
Penal - Formulasi
- Aplikasi
Non Penal - Eksekusi
Skema diatas dapat diidentifikasi hal-hal pokok sebagai berikut:
a. Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan harus menunjang tujuan (goal),
yakni social welfare dan social defence. Aspek social welfare dan social
defence yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/ perlindungan
masyarakat yang bersifat Immateriel, terutama nilai kepercayaan, kebenaran/
kejujuran/ keadilan.
b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan
pendekatan integral, harus ada keseimbangan antara sarana “penal dan “
non-penal”. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui
sarana “non-penal” karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan
“penal” mempunyai keterbatasan/ kelemahan ( yaitu bersifat fragmentaris/
simplistis/ tidak struktural- fungsional, tidak eliminatif, lebih bersifat
Social-welfare policy
Social Policy
Social-defence policy
Criminal Policy
Goal