• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Aspergillus Niger Yang Diradiasi Gamma Sebagai Bioremedian Residu Triazofos Dan Logam Berat Pada Bawang Merah (Allium Cepa. L).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Aspergillus Niger Yang Diradiasi Gamma Sebagai Bioremedian Residu Triazofos Dan Logam Berat Pada Bawang Merah (Allium Cepa. L)."

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

LOGAM BERAT pada BAWANG MERAH (Allium cepa. L)

BENY MAULANA SATRIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penggunaan Aspergillus niger yang Diradiasi Gamma Sebagai Bioremedian Residu Triazofos dan Logam Berat pada Bawang Merah (Allium cepa. L) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

(3)

gamma sebagai bioremedian residu triazofos dan logam berat pada bawang merah (Allium cepa. L). Dibimbing oleh AKHMAD ARIF AMIN, HARIYADI dan BOKY JEANNE TUASIKAL.

Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi penghasil utama bawang merah di Indonesia. Sentra produksi bawang merah di Jawa Tengah antaranya di Kawasan Brebes, karena didukung oleh agroklimat yang mendukung. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan untuk ekspor diperlukan produk yang mempunyai kualitas baik dan aman konsumsi. Namun seiring dengan target yang harus tercapai maka penggunaan pupuk dan pestisida dilakukan secara besar-besaran sehingga menyebabkan pencemaran. Pencemaran lingkungan yang terjadi di lingkungan pertanian itu sendiri yaitu pemberian pestisida yang berlebihan sehingga mengakibatkan rusaknya fungsi tanah. Banyaknya pestisida yang masuk ke dalam tanah juga menyebabkan terakumulasinya logam berat yang ada pada pestisida. Tujuan peelitian ini untuk mengevaluasi kemampuan Aspergillus niger terpapar iradiasi gamma dosis rendah sebagai pengendali reduksi agrokimia pada tanaman bawang merah dan tanah serta melihat kelayakan ekonomi penggunaan aspergillus niger yang diradiasi dan tidak diradiasi.

Data hasil analisis menyebutkan bahwa reduksi Pb yang diberikan perlakuan A.niger yang diradiasi dan tidak diradiasi tidak terlihat banyak pada bawang merah tetapi pada lindi dan tanah tertahan lebih kuat. Menurut kriteria Ditjen POM Depkes, nilai ambang batas logam berat Pb adalah 0,24 ppm. Dengan mengacu pada Dit-jen POM Depkes, bawang merah yang diradiasi ataupun tidak diradiasi masih berada diatas ambang batas namun sudah mengalami penurunan dari kajian bawang deptan tahun 2013 yaitu 26 ppm. Dari hasil pengujian di laboratorium diketahui untuk kadar residu pestisida kelompok organophosphat (triazofos), semuanya masih di bawah BMR yang ditetapkan oleh SNI 7313:2008 dan Limit Of Detection (LOD), artinya kadar residu pestisida tidak terukur

Berdasarkan perbandingan analisis biaya dapat diketahui bahwa perlakuan Aspergillus niger yang tidak diradiasi (A) memiliki nilai B/C ratio yang tertinggi yaitu sebesar 5,53 dan keuntungan yang tertinggi pula yaitu sebesar Rp.172.677.500 per hektar(ha) per 1 kali tanam. Selain menguntungkan secara ekonomi, penggunaan Aspergillus niger ini baik yang diradiasi ataupun tidak diradiasi juga lebih efektif karena tenaga kerja yang dibutuhkan dapat ditekan seminimal mungkin dan lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan Kontrol (K). Jika perlakuan Aspergillus niger yang tidak diradiasi (A) dibandingkan dengan perlakuan Apergillus niger yang diradiasi (B) memiliki nilai B/C Ratio yang tidak terpaut jauh dengan perlakuan (A) yaitu sebesar 5,40 dan keuntungannya juga lumayan besar yaitu Rp.168.467.500 per hektar(ha) per 1 kali musim tanam. Berdasarkan analisis usahatani budidaya bawang merah dengan perlakuan Aspergilus niger yang diradiasi dengan yang tidak diradiasi menunjukkan bahwa lebih menguntungkan dari segi ekonomi dan mampu menjaga lingkungan tetap baik.

(4)

Guided by AKHMAD ARIF AMIN, HARIYADI and BOKY JEANNE TUASIKAL.

Central Java is one of the major onion-producing provinces in Indonesia. Onion production centers in Central Java which are in the Bradford area, because it is supported by a supporting agro-climatic. In order to meet the needs of the domestic market and for export of necessary products that have good quality and safe for consumption. However, in line with the targets to be achieved, the use of fertilizers and pesticides is done on a large scale, causing pollution. Environmental pollution that occurred in the agricultural environment itself that is giving excessive pesticide resulting in damage to soil functions. The amount of pesticide into the soil also causes the accumulation of heavy metals contained in pesticides. Peelitian purpose is to evaluate the ability of Aspergillus niger exposed to low doses of gamma irradiation as controller agrochemical reduction in onion crop and soil as well as see the economic feasibility of the use of Aspergillus niger irradiated and not irradiated.

Data analysis states that the reduction of Pb were given treatment A.niger irradiated and not irradiated is not seen much in the onion but in leachate and soil stuck stronger. According to the criteria of Dit-jen POM Health Department, the threshold values of heavy metals Pb was 0.24 ppm. With reference to the Dit-jen POM Health Department, onion irradiated or not irradiated still above the threshold, but has experienced a decline of onions MoA study in 2013 that is 26 ppm. From the results of laboratory tests are known for groups of organophosphate pesticide residue levels (triazofos), everything is still below the MRL set by ISO 7313: 2008 and Limit Of Detection (LOD), meaning no measurable levels of pesticide residues.

Based on comparative cost analysis showed that treatment of Aspergillus niger were not irradiated (A) has a value of B / C ratio is the highest, amounting to 5.53 and also the highest profit in the amount Rp.172.677.500 per hectare (ha) per 1 time planting , In addition to economic benefits, the use of Aspergillus niger is either irradiated or not irradiated also more effective because of the labor required can be minimized, and less than the control treatment (K). If the treatment of Aspergillus niger were not irradiated (A) compared to treatment Apergillus niger irradiated (B) has a value of B / C Ratio is not far adrift with treatment (A) is equal to 5.40 and profits are also quite large, namely Rp.168.467. 500 per hectare (ha) per 1 planting seasons. Based on analysis of farming cultivation of onion with the treatment of Aspergillus niger which were not irradiated with irradiated showed that more favorable economic terms and were able to keep the environment well.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mecantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(6)

BERAT pada BAWANG MERAH (Allium cepa. L)

BENY MAULANA SATRIA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Nama : Beny Maulana Satria NIM : P052130751

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir H Cecep Kusmana, MS

Tanggal Ujian: 13 Juli 2015

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Lulus : Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr drh Ahmad Arif Amin, MSi Ketua

Dr Ir Hariyadi, MSi Dr drh Boky Jeanne Tuasikal, MSi

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini yaitu Penggunaan Aspergillus niger yang Diradiasi Gamma Sebagai Bioremedian Residu Triazofos dan Logam Berat pada Bawang Merah (Allium cepa. L)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr drh Ahmad Arif Amin, MSi, Bapak Dr Ir Hariyadi, MSi, dan Ibu Dr drh Boky Jeanne Tuasikal, MSi selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi pengetahuan dan saran dalam penulisan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga tesis ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembacanya.

Bogor, Oktober 2015

(10)

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Kerangka Pemikiran 4

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 7

Pestisida 7

Penggolongan Pestisida 7

Cara Kerja Pestisida 8

Toksisitas Pestisida 9

Residu Pestisida 10

Logam Berat 12

Radiasi 13

Bioremediasi 14

Proses Bioremediasi 15

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bioremediasi 15

METODE PENELITIAN 18

Waktu dan Lokasi Penelitian 18

Bahan Dan Alat 18

Rancangan Penelitian 18

Prosedur Penelitian 19

HASIL DAN PEMBAHASAN 23

SIMPULAN dan SARAN 31

Simpulan 31

Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

(11)

Gambar 2. Sumber dari logam berat dan perputarannya dalam ekosistem 13

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penggolongan pestisida berdasarkan jenis organisme pengganggu 7 Tabel 2 Klasifikasi Potensi Bahaya Pestisida Menurut WHO 9

Tabel 3 Perlakuan Sampel 18

Tabel 4 Jenis pestisida yang digunakan petani bawang merah di PT. Reksa,

Kabupaten Cirebon 24

Tabel 5 Keadaan Tanah HSA 0 24

Tabel 6 Kondisi Tanah HSA 15 25

Tabel 7 Kondisi Tanah HSA 35 25

Tabel 8 Parameter Kualitas Tanah 25

Tabel 9 Hasil pengujian kadar logam berat Pb pada lindi, tanah dan

bawang merah 26

Tabel 10 Hasil pengujian residu pestisida triazofos 27 Tabel 11 Perbandingan Hasil Analisis Biaya Budidaya Bawang Merah dari

Masing-masing Perlakuan per hektar (Ha) 30

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil analisis Pb pada Bawang, Tanah dan Air 40 Lampiran 2. Kriteria Penilaian Hasil Analisis Tanah 41 Lampiran 3. Hasil Uji Laboratorium Pestisida pada Bawang merah A

(kontrol) 42

Lampiran 4. Hasil Uji Laboratorium Pestisida pada Bawang merah B

(A.niger 0 Gy) 42

Lampiran 5. Hasil Uji Laboratorium Pestisida pada Bawang merah C

(A.niger 250 Gy) 45

Lampiran 6 Pestisida yang digunakan petani 48

Lampiran 7 Pembuatan pupuk organik 51

Lampiran 8 Penampakan Aspergillus niger 51

Lampiran 9 Perbedaan fisik bawang 52

Lampiran 10 Fungi yang diradiasi sinar gamma dan yang tidak diradiasi 52

Lampiran 11 Panen Bawang 52

Lampiran 12 Analisis usahatani PT Reksa tanpa perlakuan (kontrol)

per hectare (Ha) 53

Lampiran 13 Analisis usahatani PT Reksa dengan perlakuan A. niger

(0 Gy) per hektar (Ha) 54

Lampiran 14 Analisis usahatani PT Reksa dengan perlakuan A. niger

(250 Gy) per hektar (Ha) 55

(12)
(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertanian di Indonesia khususnya di sektor hortikultura merupakan bidang yang sangat penting saat ini. Salah satu komoditas unggulan di sektor hortikulltura yaitu bawang merah. Komoditas ini merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Rp 2,7 triliun/tahun) dengan potensi pengembangan areal cukup luas mencapai ± 90.000 ha (Dirjen Hortikultura, 2005).BPS melaporkan produksi bawang merah pada tahun 2011, mencapai 893.124 ton dengan luas areal 93.667 ha (BPS Indonesia, 2013). Pada tahun 2010, penghasil bawang merah terbesar adalah pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah (BPS Indonesia, 2013). Menurut data Badan Pusat Statistik Indonesia (2013), produksi bawang merah pada tahun 2012 mencapai 964.221 ton dengan luas areal 99.519 ha.

Tanaman bawang merah banyak dibudidayakan di daerah dataran rendah yang beriklim kering. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal (minimal 70% penyinaran), suhu udara 25-32°C, dan kelembaban nisbi 50-70% (Sutarya dan Grubben 1995, Nazarudin 1999). Tanaman bawang merah dapat membentuk umbi di daerah yang suhu udaranya rata-rata 22°C, tetapi hasil umbinya tidak sebaik di daerah yang suhu udara lebih panas. Di bawah suhu udara 22°C tanaman bawang merah tidak akan berumbi. Oleh karena itu, tanaman bawang merah lebih menyukai tumbuh di dataran rendah dengan iklim yang cerah (Rismunandar 1986). Waktu tanam bawang merah yang baik adalah pada musim kemarau dengan ketersediaan air pengairan yang cukup, yaitu pada bulan April/Mei setelah panen padi dan pada bulan Juli/Agustus (Sumarni, 2005). Di Indonesia, daerah yang merupakan sentra produksi bawang merah adalah Cirebon, Brebes, Tegal, Kuningan, Wates (Yogyakarta), Lombok Timur dan Samosir (Sunarjono dan Soedomo 1989).

Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi penghasil utama bawang merah di Indonesia. Sentra produksi bawang merah di Jawa Tengah antaranya di Kawasan Brebes, karena didukung oleh agroklimat yang mendukung. Bawang merah dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan petani khususnya di Kawasan Brebes arena memiliki sumberdaya alam yang potensial didukung dengan sumberdaya manusia yang memadai. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan untuk ekspor diperlukan produk yang mempunyai kualitas baik dan aman konsumsi.

(14)

Pencemaran logam berat seperti Pb dan Cd harus menjadi perhatian khusus karena dapat memberikan potensi cemaran pada air permukaan dan air tanah,serta dapat menyebar ke daerah sekitar melalui air, angin, penyerapan oleh tumbuhan bioakumulasi pada rantai makanan (Hidayati, 2005 ;Marquez, 2009).

Logam berat Fe, Cu, dan Zn merupakan unsur hara mikro yang diperlukan tumbuhan, namun dalam jumlah banyak beracun. Ni dan Cd dalam jumlah sedikit diduga menjalankan peran fisiologi penting dalam tumbuhan, namun dalam jumlah banyak beracun. Cr sangat beracun bagi tumbuhan, sedang peranannya sebagai hara belum diketahui. Akan tetapi unsur ini perlu bagi manusia dan hewan menyusui karena berperan serta dalam metabolisme glukose. Peran Pb sebagai hara tumbuhan juga belum diketahui. Unsur ini merupakan pencemar kimiawi utama terhadap lingkungan, dan sangat beracun bagi tumbuhan, hewan dan manusia (Mengel & Kirkby, 1987).

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penelitian di sentra produksi bawang merah Brebes dan Tegal bahwa kandungan Pb dan Cd dalam tanaman bawang merah sudah melebihi ambang batas yang telah diterapkan oleh Departemen Kesehatan yaitu 0,41-5,71 ppm dan 0,05-0,34 ppm. Menurut kriteria Ditjen POM Depkes, nilai ambang batas logam berat Pb adalah 0,24 ppm, dan menurut Codex Alimen-tarius Commission (CAA), nilai ambang batas logam Cd dalam kelompok sayuran adalah 0,05 ppm. Dengan mengacu pada kriteria diatas maka sebagian besar tanaman bawang merah sudah mengandung Pb di atas ambang batas, sedangkan untuk kandungan Cd semua tanaman bawang merah sudah diatas ambang batas (Nurjaya, 2006).

Logam berat berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman, tutupan tanah dan mikroflora didalam tanah (Roy, Labelle, Mehta., 2005). Logam berat dapat menggantikan unsur logam penting dalam pigmen atau mengganggu fungsi enzim yang menyebabkan tanah menjadi tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman (Ghosh and Singh, 2005). Salah satu upaya untuk mengurangi dampak toksisitas logam berat dan meningkatkan pertumbuhan tanaman adalah melalui penggunaan inokulan mikroba rhizosfer (Kumar et al., 2012).

Inokulan mikroba yang digunakan adalah Aspergillus niger (A. niger). Aspergilus niger merupakan fungi dari filum Ascomycetes yang berfilamen, mempunyai hifa berseptat dan dapat ditemukan melimpah di alam (Madigan dan Martinko, 2006). Fungi ini biasanya diisolasi dari tanah, sisa tumbuhan, dan udara di dalam ruangan. Koloninya berwarna putih pada Agar Dekstrosa Kentang (PDA) 25 °C dan berubah menjadi hitam ketika konidia dibentuk. Kepala konidia dari A. niger berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian-bagian yang lebih longgar seiring dengan bertambahnya umur (Baker, 2006 ; Samson et al., 2001).

(15)

niger banyak digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat, dan pembuatan berapa enzim seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase, dan selulase (Spring, 2008). Selain itu, Aspergillus niger juga menghasilkan gallic acid yang merupakan senyawa fenolik yang biasa digunakan dalam industri farmasi dan juga dapat menjadi substrat untuk memproduksi senyawa antioksidan dalam industri makanan (Trevino et al., 2007).

Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan zat makanan yang terdapat dalam substrat, molekul sederhana yang terdapat disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang lebih kompleks harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan menghasilkan beberapa enzim ekstra seluler seperti protease,amilase, mananase, dan α-glaktosidase. (Madigan and Martinko, 2006). Bahan organik dari substrat digunakan oleh Aspergillus niger untuk aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel, dan mobilitas sel. (Samson et al., 2001, Madigan dan Martinko, 2006).

Radiasi merupakan pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam bentuk panas, partikel, atau gelombang elektromagnetik (foton) dari suatu sumber energi. Radiasi energi tinggi adalah bentuk-bentuk energi yang melepaskan tenaga dalam jumlah yang besar dan kadang-kadang disebut juga radiasi ionisasi karena ion-ion dihasilkan dalam bahan yang dapat ditembus oleh energi tersebut (Crowder, 1986). Radiasi dapat menginduksi terjadinya mutasi karena sel yang teradiasi akan dibebani oleh tenaga kinetik yang tinggi, sehingga dapat mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia sel tanaman yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya perubahan susunan kromosom tanaman (Poespodarsono, 1988). Oleh karena sinar gamma adalah energi bukan materi, sangat menembus dan dapat menyebabkan kerusakan pada sel binatang dan tumbuhan. Radiasi memiliki beberapa tipe, yaitu radiasi sinar X, radiasi sinar gamma, dan radiasi sinar ultra violet (Crowder, 1986). Radiasi sinar gamma dipancarkan dari isotop radio aktif, panjang gelombangnya lebih pendek dari sinar X, dan daya tembusnya adalah yang paling kuat.

Salah satu upaya untuk mengurangi dampak toksisitas logam berat dan meningkatkan pertumbuhan tanaman adalah melalui penggunaan inokulan mikroba rhizosfer (Kumar et al., 2012). Percepatan aktivitas enzim oleh mikroba dapat dipengaruhi oleh iradiasi gamma dosis rendah (Chakravarty, 2001 ; Afify,2012). Paparan iradiasi gamma pada dosis 250 Gray berpengaruh terhadap peningkatan bobot kering miselia Trichoderma harzinum dan Trichoderma viridie masing-masing sekitar 22,8% dan 16,2% (Afify,2012). Menurut Retno (2012), inokulan fungi terpapar iradiasi gamma 250 Gray lebih mampu meningkatkan tampilan pertumbuhan tanaman sorgum dan kedelai dibandingkan inokulan fungi yang tidak dipapar iradiasi gamma. Biomassa sel mikroba baik hidup ataupun mati memiliki kemampuan untuk menyerap logam berat (Ann, 2012).

(16)

rendah misalnya Aspergillus niger dapat memberikan solusi alternatif pada remediasi logam berat di lahan pertanian .

Kerangka Pemikiran

Komoditas sayuran umbi lapis seperti bawang merah, bawang putih dan bawang bombay merupakan komoditas strategis yang mempunyai nilai ekonomi penting bagi Indonesia. Selain sebagai negara produsen, Indonesia juga sebagai negara pengimpor umbi lapis dengan volume yang cukup tinggi. Dari ketiga jenis umbi lapis tersebut, bawang merah termasuk komoditas utama dalam prioritas pengembangan sayuran di Indonesia. Meskipun harga bawang merah sering mengalami fluktuasi, usahatani bawang merah masih prospektif untuk dikembangkan, mengingat permintaan pasar akan bawang merah terus meningkat, tidak hanya di dalam negeri namun juga di pasar internasional.

Untuk meningkatkan hasil pertanian penggunaan pupuk tidak dapat dihindari. Petani-petani didaerah semakin banyak yang menggunakan obat-obatan pertanian seperti bahan-bahan agrokimia (pestisida dan insektisida) dengan harapan dapat meningkatkan hasil produksinya yang maksimal tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan pada tanaman dan lingkungan sekitarnya. Bahan-bahan agrokimia dan limbah industri yang mengandung logam berat terutama Cd (untuk pupuk fosfat), Pb dan residu pestisida yang secara kumulatif di dalam tubuh dapat mengganggu kesehatan manusia. Selain itu, pencemaran logam berat yang berasal dari limbah industri dapat mencemari tanah sehingga menurunkan sumber daya alam dan produktivitas tanah.

(17)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Bawang

merah

Suplai

Pupuk

organik Lingkungan

Herbisid a Pupuk kimia

Pestisid a

Frekuensi pemberian

berlebih Dosis yang berlebih

Residu pestisida / agrokimia

Diserap dan terakumulasi dalam tanah dan tanaman

Tanah tercemar

Rehabilitasi menggunakan A. Niger

Iradiasi gamma

Residu agokimia menurun

Peningkatan kualitas dan kuantitas

Produksi

meningkat, biaya produksi

(18)

Perumusan Masalah

Kebutuhan terhadap produk pertanian semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Bahan pangan yang tersedia harus mencukupi kebutuhan masyarakat. Bawang merah (Allium cepa L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang memegang peranan penting untuk memenuhi kebutuhan pangan masayarakat. Mengingat kebutuhan bawang yang terus menerus meningkat, maka kualitas dan kuantitas abarang pun dituntut untuk lebih baik lagi. Penggunaan pupuk merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menjaga kualitas dan kuantitas bawang. Faktor lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi bawang merah adalah dengan penggunaan pupuk dan dosis yang tepat (Usodo, 1993). Namun penggunaan pupuk yang berlebihan dapat menimbulkan pencemaran tanah (Sastrawijaya, 2009). Saat ini penggunaan pupuk pada bawang merah sudah berlebihan dan menyebabkan tanah menjadi tercemar dan menjadikan tanaman bawang terkontaminasi logam berat. Penggunaan pupuk yang berlebihan selain menyebabkan tercemarnya tanah dapat meningkatkan biaya produksi budidaya bawang merah. Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab melalui penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana efektifitas A. niger yang diradiasi gamma dosis rendah dalam mereduksi logam berat dan menurunkan residu triazofos?

2. Apakah penggunaan A. niger yang diradiasi gamma untuk pengendalian residu agrokimia pada tanaman bawang merah layak secara ekonomis?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian adalah untuk :

1. Mengetahui efektifitas teknologi A. niger yang diradiasi gamma dosis rendah dalam mereduksi logam berat dan menurunkan residu triazofos 2. Mengetahui penambahan nilai ekonomis petani dengan penggunaan

teknologi A. niger yang diradiasi gamma

Manfaat Penelitian

(19)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pestisida

Pestisida merupakan suatu zat atau senyawa kimia, zat pengatur tumbuh dan perangsang tumbuh, bahan lain, serta organisme renik atau virus yang digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman (PP No 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman). Secara harfiah, pestisida berarti pembunuh organisme pengganggu (pest: organisme, cide: membunuh) (Srikandi, 2010). Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1973 tentang pengawasan dan peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain yang digunakan untuk memberantas dan mencegah hama serta penyakit yang merusak tanaman, memberantas gulma, memtaikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.

Penggolongan Pestisida

Menurut Tarumingkeng (2004) Pestisida mencakup bahan-bahan beracun yang digunakan untuk membunuh jasad hidup yang mengangu tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya. Pengelompokkan pestisida berdasarkan organisme penggangu tanaman (OPT) yang akan dikendalikan dan berdasarkan fungsi pestisidanya (Novizan, 2002). Penggolongan pestisida berdasarkan fungsi tertera pada Tabel 1.

Tabel 1Penggolongan pestisida berdasarkan jenis organisme pengganggu

Jenis Pestisida Fungsi

(20)

Insektisida Organofosfat

Golongan insektisida yang satu ini merupakan salah satu jenis insektisida yang paling banyak digunakan di bidang pertanian dan dikenal sebagai inhibitor untuk enzim kolinesterase. Menurut Soemirat (2003) jenis insektisida organofosfat sering disebut insektisida antikolinesterase, karena dapat menghambat aktivitas enzim kolinesterase. Organofosfat sering disebut esterofosfat, yang merupakan turunan atau persenyawaan asam fosfat dengan bahan-bahan organik. Kebanyakan digunakan untuk serangga berjasad lunak dan dipasarkan dalam kadar 1-95%. Jenis pestisida yang termasuk golongan organofosfat antara lain diazinon, fention, dichlorvos, dimetoat, fenitrothion, fentoat, klorpirifos, triazofos (Wudianto, 1990).

Cara Kerja Pestisida

Dari semuajenis bahan aktif pestisida yang digunakan dalam bidang pertanian, khususnya bawang merah, penggunaan insektisida dan fungisida lebih dominan bahkan sudah menjadi kebutuhan pokok dalam mengendalikan organisme penggangggu tanaman (Djojosumarto, 2008).

Insektisida

Cara kerja insektisida berdasarkan cara masuknya ke dalam tubuh serangga hama dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu :

1) Racun lambung/raun perut adalah insektisida yang membunuh serangga sasaran jika termakan serta masuk ke dalam rongga pencernaannya. Selanjutnya insektisida akan diserap dinding saluran pencernaan makanan dan dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat insektisida tersebut aktif (misalnya ke susunan saraf)

2) Racun kontak merupakan insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga sasaran lewat kulit (kutikula) dan ditransportasikan kebagian tubuh serangga tempat insektisida aktif bekerja.

3) Racun inhalasi (fumigant) merupakan insektisida yang bekerja lewat system pernapasan. Serangga hama akan mati jika insektisida dalam jumlah yang cukup masuk ke dalam system pernafasan dan selanjutnya ditransportasikan ke tempat racun tersebut bekerja.

Fungisida

Menurut cara kerjanya didalam tubuh tanaman yang diaplikasi, fungisida dibagi menjadi tiga kelompok yakni :

1) Fungisida non sistemik; berfungsi mencegah infeksi cendawan dengan menghambat perkecambahan spora atau miselia jamur yang menempel dipermukaan (daun) tanaman dan sebagai protektan. Karena sebagai protektan sehingga harus selalu diaplikasikan agar tanaman secara terus menerus terlindungi dari infeksi baru.

(21)

3) Fungisida sistemik local; diserap oleh jaringan tanaman, tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya.

Toksisitas Pestisida

Penggunaan pestisida untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman memiliki dua sisi, apabila diaplikasikan menurut petunjuk, dapat menurunkan populasi hama tanaman tapi sebaliknya, jika tidak diaplikasikan secara benar maka berpotensi kecelakaan pada manusia dalam bentuk keracunan akut atau kematian dan pencemaran lingkungan. Menurut Oka (2005) manusia/hewan dapat keracunan pestisida melalui mulut (oral), melalui kulit (dermal), dan dapat juga terjadi ,melalui paru-paru ketika udara yang tercemar pestisida terhirup.

Berdasarkan potensi daya racunnya, World Health Organization (WHO) membagi pestisida menjadi 4 kelas, yaitu kelas IA (ekstrim berbahaya), IB (sangat berbahaya), II (moderat) dan III (agak berbahaya) yang secara rinci dikemukakan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi Potensi Bahaya Pestisida Menurut WHO

Kelas Kelas Bahaya

LD50 untuk tikus (mg/kg berat badan)

Lewat mulut (oral) Lewat Kulit (dermal) Padat Cair Padat Cair

IA Ekstrim berbahaya

(extremely hazardous) ≤ 5 ≤ 20 ≤ 10 ≤ 40

IB Sangat berbahaya

(highly hazardous) 5-50 20-200 10-100 40-400

II Moderat

(moderately hazardous) 50-500 200-200 100-1000 400-400

III Agak berbahaya

(slightly hazardous) ≥ 501 ≥ 2001 ≥ 1001 ≥ 4001 Sumber : Tomlin (2000)

Selain klasifikasi WHO ada juga klasifikasi yang dibuat oleh Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat, yang membagi kelas bahaya pestisida menjadi 4 kelompok berikut (Tomlin, 2000) :

1. Kelas I : LD50 oral ≤ 50 mg/kg; LD50 dermal ≤ 200 mg/kg; lethal concentration

50% (LC50) inhalasi ≤ 0,2 mg/l; efek pada mata: korosif, gangguan kornea

tidak bisa pulih dalam 7 hari; efek pada kulit : korosif

2. Kelas II : LD50 oral 500 mg/kg; LD50 dermal 200-2000 mg/kg; LC50 inhalasi <

(22)

3. Kelas III : LD50 oral 500-5000 mg/kg; LD50 dermal 2000-20000 mg/kg; LC50

inhalasi 2-20 mg/l; efek pada mata: tidak ada gangguan pada kornea; iritasi pulih dalam 7 hari efek pada kulit : iritasi serius selama 72 jam

4. Kelas IV : LD50 oral ≥ 5000 mg/kg; LD50 dermal ≥ 20000 mg/kg; LC50

inhalasi ≥ 20 mg/l; efek pada mata: tidak ada iritasi; efek pada kulit : iritasi ringan selama 72 jam

Residu Pestisida

Residu Pestisida pada Tanaman

Pestisida yang tertinggal pada tanaman setelah suatu penyemprotan disebut residu permukaan atau residu efektif (Tarumingkeng, 1999). Residu permukaan dapat menghilang karena pencucian (pembilasan), penggosokkan, hidrolisis dan sebagainya. Dalam waktu 1-2 jam setelah tanaman diperlakukan dengan pestisida kemungkinan besar 40% deposit telah hilang karena pencucian jika terjadi hujan, sisanya terurai oleh sinar ultraviolet. Pestisida jenis lipofilik (larut dalam lemak) cenderung terakumulasi pada lapisan lilin dan lemak-lemak tanaman, terutama bagian kulit.

Pestisida yang masuk dalam system tanaman mengalami salah satu dari dua kemungkinan berikut :

- Pestisida akan mengalami degradasi menjadi komonen tidak beracun - Pestisida akan menjadi lebih beracun (aktivasi) karena konyugasi

Pestisida yang bersifat sistemik (polar) sebagian akan diambil tanaman melalui akar dan akan mengalami transformasi kimiawi ke tempat lain bersama hasil panen, sedangkan yang non-polar akan terserap hanya sampai pada permukaan akar karena tidak dapat menembus lapisan epidermis. Jumlah total pestisida dalam jaringan tanaman dapat meningkat seiring dengan lamanya waktu pemaparan pestisida yang bersdifat persisten. Pestisida yang terimpan dalam lemak atau lapisan lilin kemungkinan sulit untuk mengalami degradasi maupun aktivasi, karena pestisida yang lipofilik biasanya bersifat stabil dan persisten.

Residu Pestisida di Lingkungan Tanah

Pestisida di dalam lingkungan diserap oleh beberapa komponen lingkungan terutama tanah, kemudian diangkut ketempat lain oleh air atau angina. Pestisida dapat juga menguap karena pengaruh suhu tinggi yang biasanya terjadi bersama penguapan air. Residu pestisida didalam tanah ada yang hilang (nonpersisten) karena hanya efektif sesaat saja dan cepat terdegradasi di tanah. Dalam pencemaran lingkungan yang memegang peranan adalah bahan aktif pestisida yang persisten. Organisme yang hidup dalam tanah dapat terbunuh, tidak saja oleh zat kimia yang langsung disemprotkan ke tanah, tetapi penyemprotan yang ditujukan ke tanaman pun dapat pula mempengaruhi kehidupan organisme tersebut karena zat kimia tadi akan tercuci oleh air hujan dan jatuh kedalam tanah.

(23)

mikroba (Saeni,1989). Pengambilan pestisida oleh organisme tanah sebagai makanan akan terakumulasi di dalam tubuhnya. Sebagai contoh residu organoklorin terdapat dalam tubuh organisme invertebrate tanah seperti cacing, sehingga dapat masuk ke dalam rntai makanan dan terakumulasi daam tanah dengan konsentrasi lebih tinggi pada organisme seperti burung. Akumulasi zat kimia yang terjadi pada hewan invertebrate degan dosis subletal dapat mempengaruhipredatornya, karena ada kemungkinan hewan mangsanya masihdapat hidup dan aktif dengan dosis tertentu, tetapi bagi predator dosis itu dapat membunuh atau mempengaruhi aktivitas normalnya (Edward et al. 1993).

Penggunaan pestisida secara terus menerus dan menyimpang dari peraturanjuga dapat mempengaruhi populasi dan aktivitas biota tanah (Taiwo, 1997). Dalam tanah banyak ditemukan biota yang berguna bagi kesuburan seperti biota penambatan N, pengurai S dan N, pelarut P, serta transformasi S dan perombak selulosa. Bila keberadaannya mengganggu kehidupan atau aktifitas biota dalam tanah, maka kesuburan tanah akan terganggu, begitu pula dengan pemberian pestisida yang melebihi dosis yang direkomendasikan akan dapat menghentikan aktivitas biota tanah.

Dampak Pestisida Terhadap Lingkungan

Dalam bidang pertanian, pestisida merupakan bahan kimia yang digunakan untuk membunuh organisme penggangu tanaman. Penggunaan pestisida selain bermanfaat untuk meningkatkan produksi pertanian juga menimbulkan dampak negative terhadap lingkungan dan kesehatan. Dalam penerapannya di bidang pertanian, hanya 20% pestisida yang mengenai sasaran sedangkan 80% lainnya jatuh ke tanah. Akibatnya terjadi akumulasi pestisida yang mengakibatkan pencemaran lahan pertanian. Apabila sampai masuk ke dalam rantai makanan, sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan kanker, mutasi, bayi lahir cacat, CAIDS (Chemical Acquired Deficiency Syndrom) dan sebagainya.

Pencemaran air oleh pestisida terjadi melalui aliran air dari tempat-tempat kegiatan manusia yang menggunakan pestisida dalam meningkatkan produksi pertanian. Pestisida yang disemprotkan dan yang sudah berada dalam tanah akan terbawa air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air penerima, yaitu sungai, waduk dan sumur serta menimbulkan kematian organisme air. Pestisida berada di udara setelah disemprotkan dalam bentuk partikel air (droplet) atau partikel yang terfomulasi jatuh pada tujuannya. Kebanyakan penggunaan pestisida dilarutkan dalam air. Disamping itu partikel/aerosol pestisida tersebut dapat juga jatuh pada tanaman, air dan tanah (Soemirat, 2003).

Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan

(24)

hama dan penyakit yang menyerang tanaman saja, tanpa memperhatikan keselamatan dan pencemaran lingkungan.

Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan 500.000 hingga 1.000.000 orang per tahun di seluruh dunia telah mengalami keracunan pestisida. Sekitar 5000-10.000 orang per tahun diantaranya mengalami dampak yang sangat fatal, seperti kanker, cacat, kemandulan, dan liver (Novrizan, 2002). Pestisida yang disemprotkan pada tanaman akan meninggalkan residu pada batang, daun, buah dan akar. Walaupun sudah dicuci residu ini masih terdapat pada bahan makanan, jika dimakan oleh manusia akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi kesehatan. Efek yang paling buruk akibat pestisida adalah keracunan akibat kecelakaan. Beberapa peristiwa keracunan masal oleh senyawa metil merkuri dan etil merkuri, heksaklorobenzen sebagai fungisida, serta parathion sebagai insektisida organofosfat telah terjadi di berbagai belahan dunia dan mengakibatkan kematian (Frank, 1995).

Logam Berat

Trace element didefinisikan sebagai unsur yang keberadaannya di alam sangat sedikit, yang bila terdapat dalam konsentrasi yang lebih tinggi dari konsentrasi normal memiliki potensi mengganggu atau beracun pada makhluk hidup (Adriano, 1986 dalam Notodarmojo, 2005). Istilah logam berat menunjuk pada unsur logam yang mempunyai berat jenis lebih besar dari 5 g/cm3 (Pierzynki et al., 2005). Namun pada kenyataannya dalam pengertian logam berat ini, dimasukkan pula unsur-unsur metalloid yang mempunyai sifat berbahaya seperti logam berat sehingga jumlah seluruhnya mencapai lebih kurang 40 jenis. Logam berat menjadi perhatian karena sifat racun (toksisitas) yang dimilikinya (Notodarmojo, 2005).

(25)

Gambar 2. Sumber dari logam berat dan perputarannya dalam ekosistem

Pada umumnya kandungan logam berat secara alamiah sangat rendah di dalam tanah, kecuali tanah tersebut merupakan daerah pertambangan atau tanah tersebut sudah tercemar (Darmono, 1995). Logam – logam di atmosfir berdasarkan sumber alamiahnya berasal dari debu – debu dari kegiatan gunung berapi, erosi dan pelapukan tebing dan tanah, asap dan kebakaran hutan dan aerosol dan partikulasi dari permukaan laut. Kegiatan manusiajuga merupakan sumber utama pemasukan logam ke dalam lingkungan perairan. Masuknya logam berasal dari buangan langsung dari berbagai jenis limbah yang beracun, gangguan pada cekungan – cekungan perairan, presifitasi dan jatuhan atmosfir. Sumber utama pemasukan logam adalah kegiatan pertambangan, cairan limbah rumah tangga, limbah dan buangn industry dan aliran pertanian (Wittman, 1979 dalam Connel dan Miller, 2006).

Radiasi

Iradiasi adalah suatu proses ionik sebagai salah satu metode modifikasi fisik polisakarida alami (Hai et al., 2003; Rombo et al., 2004; Relleve et al., 2005). Proses ini juga sangat berguna dalam memecahkan berbagai permasalahan pertanian, seperti penanganan pasca panen (menekan perkecambahan dan kontaminasi), eradikasi dan pengendalian hama dan penyakit, mengurangi penyakit yang terbawa bahan makanan, dan pemuliaan varietas tanaman unggul dan tahan penyakit (Andress, 1994; Emovon, 1996). Dalam hubungannya dengan perbaikan mutu benih dan bibit, iradiasi sinar gamma telah banyak diaplikasikan untuk meningkatkan viabilitas dan vigor benih (Piri et al., 2011; Iglesias-Andreu et al., 2012) dan meningkatkan keragaman genetik dalam rangka pemuliaan untuk mendapatkan varietas unggul pada banyak jenis tanaman (de Mico et al., 2011; Santosa et al., 2014), terutama jenis-jenis tanaman pertanian. Penggunaan radiasi seperti sinar X, Gamma, dan neutrons serta mutagen kimiawi untuk menginduksi variasi pada tanaman telah banyak dilakukan. Induksi 2 mutasi telah digunakan untuk peningkatan variasi tanaman penting seperti gandum, padi, barley, kapas, kacang tanah, dan kacang-kacangan lainnya yang diperbanyak melalui biji (Ahlowalia dan Maluszynski, 2001).

(26)

pendek dengan energi tinggi berinteraksi dengan atom-atom atau molekul untuk memproduksi radikal bebas dalam sel. Radikel bebas tersebut akan menginduksi mutasi dalam tanaman sebab radikel tersebut akan menghasilkan kerusakan sel atau pengaruh penting dalam komponen sel tanaman (Kovacs dan Keresztes, 2002). Keuntungan menggunakan sinar gamma adalah dosis yang digunakan lebih akurat dan penetrasi penyinaran ke dalam sel bersifat homogen. Tidak seperti pemuliaan konvensional yang melibatkan kombinasi gen-gen yang ada pada tetuanya (di alam), iradiasi sinar gamma menyebabkan kombinasi gen-gen baru dengan frekwensi mutasi tinggi.

Mutasi digunakan untuk memperbaiki banyak karakter yang bermanfaat yang mempengaruhi ukuran tanaman, waktu berbunga dan kemasakan buah, warna buah, ketahanan terhadap penyakit dan karakter-karakter lainnya. Karakter-karakter agronomi penting yang berhasil dimuliakan dengan mutasi pada beberapa jenis tanaman di antaranya adalah tanaman tahan penyakit, buah-buahan tanpa biji, tanaman buah-buahan yang lebih pendek dan genjah (IAEA, 2009). Sebagian besar penelitian penggunaan iradiasi sinar gamma dirancang untuk mengevaluasi respons biologi terhadap dosis radiasi tinggi, dan penelitian yang relatif terbatas juga telah dilakukan dengan menggunakan iradiasi pada dosis rendah untuk 3 menstimulasi proses fisiologi (radiostimulation) tanaman melalui eksitasi, atau stimulasi dengan dosis rendah, atau dikenal dengan istilah hormesis (Luckey, 1980). Pengaruh yang menguntungkan dari hormesis telah banyak dilakukan pada jenis-jenis tanaman pertanian (Luckey, 2003; Piri et al., 2011). Meskipun masih sedikit informasi mengenai fenomena hormosis ini, Vaiserman (2010) memberi indikasi adanya kemungkinan hubungan antar hormosis dengan pengaruh epigenetik (perubahan yang diturunkan pada fungsi genom, yang terjadi tanpa perubahan susunan urutan DNA) sebagai suatu respons adaptif. Efigenetik bersifat sementara dan individu yang termutasi dapat kembali normal.

Bioremediasi

Bioremediasi berasal dari dua kata yaitu bio dan remediasi yang dapat diartikan sebagai proses dalam menyelesaikan masalah. Menurut Munir (2006), bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang teknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Menurut Sunarko (2001), bioremediasi mempunyai potensi untuk menjadi salah satu teknologi lingkungan yang bersih, alami dan paling murah untuk mengantisipasi masalah-masalah lingkungan. Menurut Citroreksoko (1996), bioremediasi diartikan sebagai proses pendegradasian bahan organic berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain seperti karbondioksida (CO2), metan dan air. Sedangkan

(27)

mikroorganisme. Mikroorganisme yang dimaksud adalah khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga, dan bakteri yang berfungsi sebagai agen bioremediator. Bioremediasi juga dapat dikatakan sebagai proses penguraian limbahorganik/anorganik polutan secara biologi dalam kondisi terkendali.

Proses Bioremediasi

Proses utama pada bioremediasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan biokatalis. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikro- organisme memodifikasi poutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut. Enzim mempercepat proses tersebut dengan cara menurunkan energy aktivasi, yaitu energy yang dibutuhkan untuk memulai suatu reaksi. Pada proses ini terjadi biotransformasi atau biodetoksifikasi senyawa toksik menjadi senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi. Degradasi senyawa kimia oleh mikroba dilingkungan merupakan proses yang sangat penting untuk mengurangi kadar bahan-bahan berbahaya dilingkugan, yang berlangsung melalui reaksi kimia yang cukup kompleks dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.

Misalnya mengubah bahan kimia menjadi air dan gas yang tidak berbahaya misalnya CO2. Dalam proses degradasinya, mikroba menggunakan

senyawa kimia tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksinya melalui berbagai proses oksidasi. Enzim yang dihasilkan juga berperan untuk mengkatalis reaksi degradasi, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai keseimbangan. Lintasan biodegradsai berbagai senyawa kimia yang berbahay dapat dimengerti berdasarkan lintasan mekanisme dari beberapa senyawa kimia alami seperti hidrokarbon, lignin, selulosa dan hemiselulosa. Sebagian besar dari prosesnya, terutama tahap akhir metabolism umumnya berlangsung melalui proses yang sama, supaya proses tersebut dapat berlangsung secara optimal maka diperlukan kondisi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme. Tidak terciptanya kondisi yang optimum akan mengakibatkan aktivitas drgradasi biokimia mikroorganisme tidak dapat berlangsung dengan baik, sehingga senyawa-senyawa beracun menjadi persisten di lingkungan. Salah satu cara untuk meningkatkan bioremediasi adalah melalui teknologi genetik. Teknologi genetik molecular sangat penting untuk meng-identifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bioremediasi

Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Dengan demikian mikroorganime yang berpotensi menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai. Dalam hal ini perlu diperhatikan factor-faktor lingkungan yang mempengaruhi proses bioremediasi, yang meliputi kondisi tanah, temperatur, oksigen dan nutrient yang tersedia.

(28)

Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang dapat mendukung kelancaran aliran nutrient, enzim-enzim microbial air. Terhentinya aliran tersebut akan mengakibatkan terbentuknya kondisi anaerob sehingga proses biodegradasi aeerobik menjadi tidak efektif. Kelembapan tanah juga penting untuk kelancaran sirkulasi nutrient dan substrat dalam tanah.

B. Temperatur

Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokarbon adalah 30-400C. Ladislao, et. al.(2007) mengatakan bahwa temperature yang digunakan pada suhu 380C bukan pilihan yang valid karena tidak sesuai dengan kondisi di Inggris untuk mengontrol mikroorganisme pathogen. Pada temperatur yang rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan volatilitas alkane rantai pendek bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan meningkat sehinga proses biodegradasi akan terhambat. Suhu sangat berpengaruh terhadap lokasi tempat dilaksanakannya bioremediasi.

C. Oksigen

Langkah awal katabolisme senyawa hidrokarbon oleh bakteri maupun kapang adalah oksidasi substrat dengan katalis enzim oksidase, dengan demikian tersedianya oksigen merupakan syarat keberhasilan degradasi hidrokarbon minyak. Ketersediaan oksigen di tanah tergantung pada (1) kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah,(2) tipe tanah dan (3) kehadiran substrat lain yang juga bereaksi dengan oksigen.

D. pH

Tanah pada umumnya merupakan lingkungan yang asam, alkali sangat jarang ditemukan namun ada yang melaporkan pada pH 11 terdapat alkali. Penyesuaian pH dapat merubah kelarutan, bioavailabilitas, bentuk senyawa kimia polutan dan makro & mikronutrien. Ketersediaan Ca, Mg, Na, K, P, N dan NH4+ akan turun, sedangkan penurunan pH menurunan ketersediaan NO 3-dan Cl-. Cendawan yang lebih dikenal tahan terhadap asam akan lebih berperan dibandingkan bakteri asam.

E. Kadar H2O dan karakter geologi

Kadar air dan bentuk poros tanah berpengaruh pada bioremediasi. Nilai aktivitas air dibutukan untuk pertumbuhan mikroba berkisar 0.9-1.0, umumnya kadar air 50-60%. Bioremediasi lebih berhasil pada tanah yang berporos atau memiliki pori-pori besar.

Aspergillus niger

Aspergillus niger merupakan fungi dari filum ascomycetes yang berfilamen, mempunyai hifa beraseptat, dan dapat ditemukan melimpah di alam (Madigan dan Martinko, 2006). Fungi ini biasanya diisolasi dari tanah, sisa tumbuhan dan udara di dalam ruangan. Koloniya berwarna putih pada Potatoes Dextrosa Agar (PDA) 250C dan berubah menjadi hitam ketika konidia di bentuk (Micheli, 1809 ; Tieghem, 1867). Kepala konidia dari A. niger berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian-bagian yang lebih longgar seiring dengan bertambahnya umur ( Baker, 2006 ; Samson, 2001).

(29)

yang cukup (aerobic). A. niger memiliki warna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam (Madigan dan Martinko, 2006).

Dalam metabolismenya A. niger dapat menghasilkan asam sitrat sehingga fungi ini banyak digunakan sebagai model fermentasi karena fungi ini tidak menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan (Sari dan Purwadaria, 2004). A. niger dapat tumbuh dengan cepat, oleh karena itu A. niger banyak digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat dan pembuatan beberapa enzim seperti amylase, pectinase, amiloglukosidase dan selulase (Spring, 2008). Selain itu, A. niger juga menghasilkan gallic acid yang merupakan senyawa fenolik yang biasa digunakan dalam industry farmasi dan juga dapat menjadi substrat untuk memproduksi senyawa antioksidan dalam industry makanan (Trevino et,al., 2007).

(30)

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Serangkaian kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2014–Februari 2015 di lahan bawang merah PT. Reksa, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah dan di Laboratorium Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) - BATAN.

Bahan Dan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pencacah (copper mekanik), ayakan 100 mesh, autoklaf (Wisd), Laminar Air Flow (Panasonic), inkubator (Heraeus), furnace (Pyrolabo), oven (Memmert), timbangan analitik (Acculab), furnace, bunsen, cawan petri, erlenmeyer (Pyrex), tabung reaksi (Schott duran), botol, gelas ukur, corong, cawan porselen, desikator (Sanplatec), ose, gunting, spatula, micropipet, microtube, tip pipet, vortex (Bohemia), spidol, pH meter, kertas pH, refraktometer dan spektrofotometer (Hitachi).

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jerami padi (batang) dari sawah pertanian BATAN, molase 5%, urea 5%, Potato Dextose Agar (PDA), plastik tahan panas, akuades, H2SO4 10%, isolat Aspergillus niger, reagen Nelson,

arseno molibdat dan larutan fisiologis (NaCl 0,85%). Isolat Aspergillus niger yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari koleksi kultur mikroorganisme fungsional di Kelompok Lingkungan (PAIR-BATAN)

Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menambahkan Bioremedian A.niger tanpa radiasi dan yang diradiasi dengan dosis 250 Gy. Perlakuan dibagi menjadi 2 yaitu penggunaan agrokimia 50% + A.niger 0 Gy (A) dan penggunaan agrokimia 50% + A.niger 250 Gy (B) sedangkan lahan petani dijadikan sebagai kontrol. Tabel perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Perlakuan Sampel

Sampel Tanah + Tanaman

Bioremedian

Bioremedian A. niger 0 Gy Bioremedian A. niger 250 Gy

K (kontrol) - -

A √ -

B - √

Keterangan :

K (kontrol) : Agrokimia 50%

(31)

B : Agrokimia 50% + Bioremedian A. niger 250 Gy

Prosedur Penelitian

2.3.1. Tahap Persiapan

2.3.1.1. Preparasi Strain Aspergillus niger

Pada penelitian ini digunakan strain Aspergillus niger yang diperoleh dari koleksi kultur mikroba fungsional di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional. Strain ini dipelihara dalam slent dengan media Potatoes Dextrose Agar (PDA) yang disimpan pada suhu sekitar 4 ºC. Untuk memperoleh suspensi spora, strain Aspergillus niger dikultivasi dalam media Potatoes Dextrose Broth (PDB) pada suhu 28 ºC selama 3-4 hari. Sebanyak 1 ml kultur cair Aspergillus niger disebarkan pada media Potatoes Dextrose Agar (PDA) di dalam petri disk steril, kemudian diinkubasi pada suhu 28 ºC selama 7 hari sebelum perlakuan iradiasi gamma.

2.3.1.2. Iradiasi Gamma Dosis Rendah

Strain fungi Aspergillus niger diperoleh dari koleksi kultur mikroba terseleksi yang dipelihara dalam media PDA (Potatoes Dextrose Agar) pada 4 ºC di Bidang Industri dan Lingkungan, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi. Kultur Aspergillus niger dalam media agar dipapar dengan iradiasi gamma dosis 0 dan 250 Gray. Perlakuan iradiasi gamma dilakukan di fasilitas iradiator Gamma Chamber 4000A di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional.

2.3.1.3Kultivasi Aspergillus niger

Setelah perlakuan iradiasi gamma dosis rendah, kultur Aspergillus niger masing-masing dikultivasi dalam 25 ml media PDB menggunakan shaker mekanis pada 100 rpm dan suhu ruang sekitar 28-32 ºC selama 4 hari. Sebanyak 10 ml kultur cair fungi ini disubkulturkan dalam 90 ml medium cair yang mengandung media PDB, glukosa (0,5%b/v), pepton (0,5%b/v) dan yeast extract. Perlakuan subkultur fungi menggunakan shaker mekanis pada 100 rpm dan suhu ruang sekitar 28-32 ºC selama 24 jam.

2.3.2. Tahap Lapangan

2.3.2.1. Pembuatan Bioremedian

Produk fermentasi bahan organik dengan Aspergillus niger digunakan sebagai agen bioremediasi atau bioremedian untuk pengendalian residu agrokimia di dalam tanah dan tanaman. Bahan organik yang digunakan terdiri dari pupuk kandang, arang sekam dan dedak padi dengan perbandingan berat kering yang sama (1:1:1). Ke dalam 6 kg bahan organik ditambahkan 150 g urea, 300 g molase, 150 ml H2SO4 10%, 100 ml kultur cair Aspergillus niger, selanjutnya,

(32)

2.3.2.2.Aplikasi Bioremedian

Bioremedian dicampurkan dengan tanah di lokasi percobaan dengan perbandingan sekitar 1:10, kemudian dimasukkan ke dalam karung plastik dan diinkubasi selama 2-5 hari di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung dan hujan. Sekitar 12 kg bioremedian yang sudah difermentasi diaplikasikan pada plot yang berukuran 3x3x(10-20)m2. Aplikasi bioremedian dilakukan pada 7 dan 35 hari setelah tanam (hst) masing-masing sebanyak 2 kg/plot.

2.3.3. Tahap Analisis

2.3.3.1. Uji Efektivitas Bioremedian Hasil Fermentasi

Uji efektivitas Bioremedian hasil SSF ini dilakukan dengan perlakuan yang terdiri dari BRP 0 = kontrol, BRP 1 = Bioremedian hasil SSF dengan Aspergillus niger tanpa iradiasi gamma dan BRP 2 = Bioremedian hasil SSF dengan Aspergillus niger dengan iradiasi gamma pada dosis 250 Gray. Takaran aplikasi bioremedian sebanyak 2,5 ton/ha yang diinkorporasikan ke dalam tanah pada pengolahan lahan pertama, kemudian diinkubasi selama 7-14 hari. Setelah 8-14 hari periode inkubasi, dilakukan pengolahan lahan kedua dan penanaman benih bawang merah. Selama 60 hari pemeliharaan bawang merah dilakukan pemberian pupuk anorganik dan pestisida sesuai rekomendasi di lokasi percobaan (Brebes). Evaluasi dilakukan pada 0, 30 dan 60 hari setelah penanaman bawang merah yang meliputi produksi umbi bawang merah, residu agrokimia pada tanah dan umbi bawang merah.

2.3.3.2. Perhitungan Total Fungi

Perhitungan total fungi dilakukan dengan cara sampel ditimbang sebanyak 5 g dan ditambahkan 45 ml NaCl 0,85%, selanjutnya dihomogenkan menggunakan shaker selama 15 menit. Sampel diambil sebanyak 0,1 ml dan dimasukkan kedalam microtube yang berisi 0,9 ml NaCl 0,85% dan dilakukan pengenceran dari 10-2 dan seterusnya. Selanjutnya pada pengenceran yang dikehendaki diambil sebanyak 0,1 ml ke dalam media Potato Dextrose Agar (PDA) dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2-3 hari. Perhitungan total fungi dilakukan dengan metode Total Plate Count (TPC).

2.3.3.3. Penentuan Karakteristik Tanah

Karakteristik fisika dan kimia tanah yang dievaluasi meliputi pH, nisbah C/N dan kadar fosfat terlarut (P2O5). Pengukuran pH dilakukan dengan cara

sampel ditimbang sebanyak 2-3 g dan ditambahkan aquadest 10-15 ml, selanjutnya dihomogenkan menggunakan shaker mekanis pada 150 rpm selama 15 menit dan diukur menggunakan pH meter. Analisis total N, nisbah C/N, total P dan kadar fosfat (P2O5) dilakukan di Laboratorium Kelompok Lingkungan,

Bidang Kebumian dan Lingkungan, Pusat Aplikasi dan Teknologi Isotop dan Radiasi, PATIR-BATAN, Pasar Jum’at, Jakarta.

2.3.3.4.Penentuan Kadar Air

(33)

cawan tersebut. Cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105°C selama 5-6 jam. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin (30 menit) kemudian ditimbang hingga memperoleh bobot yang tetap. Perhitungan kadar air dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

A = Berat cawan kosong (g)

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (g)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)

2.3.3.5.Kadar Bahan Organik

Analisis bahan organik dilakukan untuk mengetahui jumlah bahan organik yang terdapat pada suatu bahan. Cawan porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu sekitar 105°C selama 30 menit. Cawan porselen kemudian dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 2-3 g ditimbang ke dalam cawan porselen. Cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105°C selama 5-6 jam dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 550°C hingga mencapai pengabuan sempurna. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Perhitungan kadar abu dapat dilakukan menggunakan rumus:

Keterangan:

A = Berat cawan kosong (g)

B = Berat cawan dengan sampel (g)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah diabukan (g) Bahan organik dapat dihitung dengan rumus :

% Bahan Organik = 100% - % Kadar abu

2.3.3.6.Analisa Kandungan Nitrogen dengan Metode Kjeldahl

Sampel seberat 0,25 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl dan ditambahkan H2SO4 pekat 2,5 ml dan 0,25 gram selen. Larutan tersebut kemudian

didestruksi hingga jernih. Ke dalam larutan destruksi dingin tersebut ditambahkan NaOH 40% 15 ml. Di lain pihak, disapkan larutan penampung dalam erlenmeyer 125 ml yang terdiri dari 19 ml H3BO3 4% dan BCG-MR 2-3 tetes. Setelah itu,

larutan sampel dimasukkan ke dalam labu destilasi. Apabila tidak terbentuk lagi gelembng-gelembung yang keluar pada larutan peampug, maka destilasi dihentikan. Hasil destilasi kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N. %N-total dihitung dengan menggunakan rumus:

%N-total = (ml titrasi sampel – ml titrasi blanko) x N HCl x 14 x 100

ml sampel

2.3.3.7.Ekstraksi Enzim

(34)

diambil, dan 8 ml buffer sitrat (50 mM, pH 5,0) ditambahkan ke masing-masing 50 g substrat fermentasi dan disentrifuse pada 6000 rpm selama 5 menit. Campuran semua sampel diambil 1 ml untuk tes aktivitas enzim.

2.3.3.8. Uji Enzim

Aktivitas selulase diujikan dengan melihat aktivitas endoglukanase dengan pengujian enzim pada substrat karboksimetil selulosa (CMC). Sebanyak 1 mL substrat 0,5% CMC ditambahkan 0,9 mL 0,02 M buffer fosfat pH optimum. Kemudian larutan ini ditambahkan 0,1 mL filtrat hasil fermentasi (ekstrak kasar enzim) dihomogenisasi dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 30 menit lalu ditambahkan 2 mL pereaksi DNS dan dipanaskan pada suhu 100oC selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Kontrol: sebanyak 1 mL substrat 0,5% karboksimetil selulosa (CMC) ditambahkan 0,9 mL 0,2 M buffer fosfat pH optimum lalu diinkubasi pada suhu 30oC selama 30 menit (Van Soest et al., 1991). Kemudian ditambahkan 0,1 mL ekstrak enzim dan 2 mL filtrat hasil fermentasi dan 2 mL pereaksi DNS dan segera dipanaskan pada suhu 100oC selama 15 menit dan didinginkan pada suhu ruang. Pengukuran absorbansi masing-masing larutan dilakukan pada λ 540 nm (Miller, 1959).

2.3.3.9. Penentuan Logam Berat Pb

Sampel tanah dikering anginkan pada suhu kamar selama 6 hari, kemudian dihaluskan dan diayak dengan saringan nylon 0,25 mm (Yanqun et al, 2005). Sampel ini digunakan untuk analisis total Pb didalam tanah. Analisis Pb di dalam sampel tanah dilakukan dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) di Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Bogor.

2.3.3.10. Penentuan Residu Pestisida Triazofos

Metode analisis residu adalah suatu cara yang harus dlakukan untuk mendapatkan informasi tentang komposisi residu suatu pestisida dalam suatu contoh bahan, sehinga dapat digunakan untuk mengestimasi komposisi residu pestisida bahan tersebut. Cara tersebut meliputi tahap pembuatan larutan standar, tahap ekstraksi yang bertujuan untuk mendapatkan sampel yang homogen, tahap pembersihan (clean up), bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan lain yang dapat menganggu proses analisis, tahap penetapan dan tahap evaluasi data (Komisi Pestisida, 1997).

(35)

2.3.4 Analisis Usaha Tani

Analisis Biaya

Untuk mengetahui besarnya total biaya produksi dari usahatani bawang merah, maka digunakan rumus (Rahardja dan Manurung, 2000) sebagai berikut :

TC = TFC + TVC

Untuk mengetahui besarnya total pendapatan usahatani bawang merah, maka digunakan rumus (Rahardja dan Manurung, 2000) sebagai berikut :

Π= TR – TC

Dimana :

Π : Keuntungan (Profit)

TR : Total Penerimaan (Total Revenue) TC : Total Biaya (Total Cost)

Sedangkan, untuk mengetahui total penerimaan/total revenue (TR) digunakan rumus (Rahardja dan Manurung, 2000) sebagai berikut :

TR = Q x P

Untuk mengetahui kelayakan usahatani bawang merah digunakan analisis R/C ratio (Return and Cost Ratio) dengan rumus, (Rahardja dan Manurung, 2000) ditentukan dengan kriteria, sebagai berikut :

1. Apabila hasil analisis R/C rasio > 1; maka usahatani bawang merah yang dilakukan petani dinyatakan efisien dan menguntungkan

2. Apabila hasil analisis R/C rasio = 1; maka usahatani bawang merah yang dilakukan petani dinyatakan efisien tetapi tidak menguntungkan

(36)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil wawancara dan pengamatan pada petani bawang merah di PT. Reksa, Kabupaten Brebes, diketahui hampir semua proses menggunakan pestisida mulai dari “ngoleh” yaitu mencampur bibit bawang merah dengan fungisida, setelah usia tanaman 1 minggu sampai mendekati panen selalu dilakukan penyemprotan dengan pestisida, frekuensi menyemprot hampir setiap hari. Setiap petani menggunakan pestisida dengan jenis dan jumlah berbeda-beda, dan pada umumnya menggunakan campuran 3-7 jenis pestisida, petani d PT. Reksa ini mengunakan 3-5 jenis campuran pestisida seperti terlihat dalam Tabel 5.

Berdasarkan hasil observasi di lapangan dan wawancara dengan petani di PT. Reksa, Kabupaten Brebes diketahui bahwa penggunaan pestisida oleh petani di dalam budidaya sayuran, khususnya pada bawang merah sebagai komoditas bernilai ekonomis tinggi sangat intensif dan diberikan dalam takaran tinggi, hal ini bertujuan untuk menjamin keberhasilan produk hasil pertanian tersebut. Antara petani satu dengan petani lainnya jumlah dan jenis pestisida yang digunakan tidak sama, karena banyaknya jenis dan merek pestisida yang ada di pasaran.

Tabel 4 Jenis pestisida yang digunakan petani bawang merah di PT. Reksa, Kabupaten Brebes

jenis pestisida BA

1 Dangke 40 WP insektisida metomil 40% 2 Acemain 75 SP insektisida asefat 75 % 3 Matrix 200 EC insektisida karbosulfan 200g/L

4 Molotov insektisida emamektin benzoat 30 g/L triazofos 200 g/L

5 Antracol fungisida propineb 70%

Penggunaan pestisida yang intensif dapat meninggalkan residu di dalam tanah dan tanaman, bahkan dapat masuk ke dalam tubuh hewan, ikan atau biota air lainnya. Pestisida dengan paruh waktu degradasi yang lama dapat membahayakan kesehatan manusia dan mahluk hidup yang mengkonsumsi produk yang mengandung residu pestisida tersebut.

Tabel 5 Keadaan Tanah HSA 0

(37)

Tabel 6 Kondisi Tanah HSA 15

Tabel 7 Kondisi Tanah HSA 35

K. Air KBO pH TPC

Dari hasil analisis, tidak ada perbedaan yang mencolok dari HSA 0, HSA 15 dan HSA 45, mulai dari kadar air berada diantara 26-32%, Kandungan Bahan Organik 8-12%, pH antara 6-7,5 serta total bakterinya 3x10-11 CPU/gr. Untuk fungi yang diradiasi ternyata masih banyak yang bertahan selama 1 musim tanam.

Tabel 8 Parameter Kualitas Tanah

Tanah % N % C-organik Rasio C:N P2O5 (ppm)

B

R

EBES

K 0,034036 2,274444 67,5591055 3,846843

A 0,022973 1,8260725 79,506657 4,284277

B 0,036434 1,876518 52,7993681 5,5901455

Keterangan : - K (kontrol) : Agrokimia 50%

- A : Agrokimia 50% + Bioremedian A. niger 0 Gy - B : Agrokimia 50% + Bioremedian A. niger 250 Gy

(38)

mekanisme, diantaranya adalah : (1) anion anorganik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid yang bermuatan positif (Nagarajah et al., 1970 dalam Premono, 1994); (2) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam-P melalui pembentukan kompleks logam organic (Beaucamp dan Hume, 1997); dan (3) modifikasi muatan permukaan tapak jerapan oleh ligan organic (Havlin et al., 1999). Indeks yang sering digunakan untuk menentukan kualitas bahan organik yang berkaitan dengan laju dekomposisi adalah C:N rasio. Perbandingan C:N sangat menentukan apakah bahan organik akan termineralisasi atau sebaliknya nitrogen yang tersedia akan terimmobilisasi ke dalam struktur sel mikroorganisme. Ratio C:N memiliki nilai yang tinggi melebihi ambang batas yang ditetapkan Permentan tahun 2009 sebesar 5-25. Rasio C/N yang tinggi dikarenakan sebelumnya lahan digunakan untuk persawahan, artinya sebelum dilakukan penelitian sudah banyak jerami yang ada pada lahan tersebut. Kandungan terbanyak yang terdapat pada jerami yaitu P2O5 dan K2O. Adapun

yang menyebabkan nilai C/N ratio meningkat disebabkan adanya dekomposisi bahan organik. Aspergillus niger yang diradiasi lebih banyak mendekomposisi bahan organic, sehingga C/N ratio menurun dari Aspergillus niger yang tidak diradiasi.

Tabel 9 Hasil pengujian kadar logam berat Pb pada lindi, tanah dan bawang merah

Sample Kode konsentrasi

(39)

Pb adalah 0,24 ppm. Dengan mengacu pada Dit-jen POM Depkes, bawang merah yang diradiasi ataupun tidak diradiasi masih berada diatas ambang batas namun sudah mengalami penurunan dari kajian bawang deptan tahun 2013 yaitu 26 ppm.

Residu Pestisida

Residu pestisida merupakan sisa komponen pestisida dan derivate-derivatnya yang masih tertinggal pada air, tanah, biatang atau tanaman yang pernah terkontaminasi oleh pestisida. Menurut FAO & WHO (1995), yang dimaksud dengan residu pestisida adalah sisa-sisa zat kimia yang digunakan untuk pengendalian hama dan penyakit, didalam atau bagian luar dari bahan makanan termasuk metabolit atau turunan dari zat kimia tersebut. FAO & WHO telah menetapkan banyak jumlah pestisida yang masih dibenarkan termakan setiap harinya atau ADI, dinyatakan dalam milligram bahan kimia yang terdapat dalam bahan makanan perkilogram berat badan (mg/kg) (FAO & WHO, 1995). jumlah pestisida yang masih dibenarkan termakan setiap harinya atau ADI dapat dilihat pada lampiran 15.

Bawang merah (Allium cepa L.) merupakan sayuran rempah yang banyak digunakan masyarakat. Tanaman ini juga komoditi unggulan hortikultura yang banyak dikembangkan, karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan tidak sulit untuk dibudidayakan. Gangguan hama dan penyakit yang menyerang tanaman bawang merah cukup banyak sehingga petani menggunakan pestisida untuk mengendalikannya. Para petani sudah terbiasa dengan menggunakan pestisida sehingga ketergantungan terhadap pestisida sangat tinggi. Petani bawang merah di Brebes cenderung berlebihan dalam pemakaian pestisida. Akibatnya merusak lingkungan, mengganggu kesehatan petani dan masyarakat, penyakit tanaman juga lebih resisten serta menyebabkan pembengkakan biaya produksi. Penggunaan pestisida yang tidak mengikuti aturan, misalnya penyemprotan dengan dosis tinggi, pencampuran berbagai jenis pestisida dan bahan lain dapat menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan terhadap manusia dan lingkungannya (Cesnik et al. 2006; Ramesh dan Murthy 2013). Karena tingginya penggunaan pestisida maka dilakukan pengujian residu pestisida dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Hasil pengujian residu pestisida triazofos

Parameter Satuan Bawang Merah SNI 1373:2008

K A B

Triazofos ppm TU TU TU 0,05

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 2 Klasifikasi Potensi Bahaya Pestisida Menurut WHO
Tabel 11  Perbandingan Hasil Analisis Biaya Budidaya Bawang Merah dari Masing-masing Perlakuan per hektar (Ha)

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, software LeakSim dapat menyajikan kesimpulan besarnya volume fluida yang mengalir pada posisi bocor untuk berbagai diameter kebocoran dan panjang

Hasil penelitian menunjukkan rerata kadar serum SGPT pada kelompok berisiko di Kelurahan Karang Anyar sebesar 15,74 U/L lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tidak

Pengertian tersebut menunjukkan bahwa implementasi kebijakan adalah melaksanakan undang-undang dalam bentuk program kerja yang lebih operasional oleh aktor/implementor

laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Sehingga dari uraian di atas, maka

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan berkahnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PREDIKSI

Berdasarkan Berita Acara Penetapan Pemenang Nomor : 800/10/PBJ-L3/PC/05/XI/2011 tanggal 02 November 2011 perihal Penetapan Pemenang Pekerjaan Pengadaan Container pada Dinas

Untuk mengetahui Bunyi Konsonan apa saja yang mengalami interferensi bahasa Jawa dalam membaca al-Qur`an Juz 30 oleh anak-anak suku Jawa di Kel.Sentang, Kec.Kisaran Timur,