• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Kecernaan Pakan dan Produksi Susu Induk Sebagai Indikator Pertumbuhan Pedet pada Sapi Perah (Friesian Holstein) di KPBS Pangalengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Status Kecernaan Pakan dan Produksi Susu Induk Sebagai Indikator Pertumbuhan Pedet pada Sapi Perah (Friesian Holstein) di KPBS Pangalengan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS KECERNAAN PAKAN DAN PRODUKSI SUSU INDUK

SEBAGAI INDIKATOR PERTUMBUHAN PEDET PADA

SAPI PERAH (

Friesian Holstein

) DI KPBS PANGALENGAN

ARIAN PUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Berjudul Status Kecernaan Pakan dan Produksi Susu Induk Sebagai Indikator Pertumbuhan Pedet pada Sapi Perah (Friesian Holstein) di KPBS Pangalengan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Arian Putra

(4)

ABSTRAK

ARIAN PUTRA. Status Kecernaan Pakan dan Produksi Susu Induk Sebagai Indikator Pertumbuhan Pedet pada Sapi Perah (Friesian Holstein) Di KPBS Pangalengan. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan ASEP YAYAN RUHYANA.

Status kecernaan pakan, produksi susu, dan pertumbuhan induk serta pedet merupakan indikator perbaikan penampilan produksi susu dan populasi ternak di suatu wilayah peternakan sapi perah. Kajian mengenai hubungan antara pakan, kecernaan, dan penampilan (produksi susu dan pertumbuhan pedet) pada suatu iklim (wilayah) peternakan sapi perah belum banyak dilakukan. Pangalengan merupakan daerah sentral peternakan sapi perah yang dikoordinir oleh Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kecernaan pakan dan produksi susu induk sebagai indikator pertumbuhan pedet pada sapi perah di peternakan rakyat KPBS Pangalengan. Sebanyak 16 ekor sapi perah FH induk laktasi digunakan untuk pengamatan kecernaan pakan dan produksi susu, serta 16 ekor sapi perah FH pedet digunakan untuk pengamatan bobot badan. Data pengamatan dari keseluruhan parameter dianalisis secara deskriptif selanjutnya dianalisis secara statistik menggunakan metode analysis of variance (Anova). Status kecernaan pakan dan produksi susu induk sapi perah di KPBS Pangalengan dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan pedet. Tingkat kecernaan pakan antara lain bahan kering 81.40%, protein kasar 89.29%, lemak kasar 95.12%, serat kasar 63.54% dan abu 77.34% menunjukkan tingkat kecernaan pakan cukup tinggi. Produksi susu menunjukkan kuantitas yang tinggi pada 8 minggu pertama laktasi yaitu 18.74 liter/ekor/hari. Sedangkan peningkatan bobot badan pedet sebesar 0.2 kg/ekor/hari. Hal ini menunjukkan peternakan sapi perah KPBS Pangalengan telah memiliki manajemen pemeliharaan ternak yang baik sehingga ternak tumbuh dengan sehat dan produktif.

Kata kunci: kecernaan pakan, produksi susu, Pangalengan, pedet, sapi perah.

ABSTRACT

ARIAN PUTRA. Status of feed digestibility and milk production as an indicator growth of calf on dairy cows (Friesian Holstein) in KPBS Pangalengan. Sepurvised by AGIK SUPRAYOGI and ASEP YAYAN RUHYANA.

(5)

calfs were used for body weight observation. The observational data of the overall parameters was analyzed descriptively then statistically using analysis of variance (Anova) method. Status of feed digestibility and milk production of dairy cows in KPBS Pangalengan can be used as indicators of the growth calves. Percentage of feed digestibility which were dry matter 81.40%, crude protein 89.29%, crude fat 95.12%, crude fiber 63.54% and ash 77.34% show the feed digestibility was good. Milk production showed good quality in the first 8 weeks lactation which was 18.74 liter/cow/day. Growth of body weight in calf was 0.2 kg/calf/day. Based of these result, Dairy farm KPBS Pangalengan have good management for dairy cows that would keep the cows healthy and productive.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

STATUS KECERNAAN PAKAN DAN PRODUKSI SUSU INDUK

SEBAGAI INDIKATOR PERTUMBUHAN PEDET PADA

SAPI PERAH (

Friesian Holstein

) DI KPBS PANGALENGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi: Status Kecernaan Pakan dan Produksi Susu Induk Sebagai Indikator Pertumbuhan Pedet pada Sapi Perah (Friesian Holstein) di KPBS Pangalengan

Nama : Arian Putra NIM : B04090192

Disetujui oleh

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

Prof Dr drh Agik Suprayogi, MSc AIF Pembimbing I

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2012 ini ialah sapi perah, dengan judul Status Kecernaan Pakan dan Produksi Susu Induk Sebagai Indikator Pertumbuhan Pedet pada Sapi Perah (Friesian Holstein) di KPBS Pangalengan

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr drh Agik Suprayogi, MSc, AIF dan drh Asep Yayan Ruhyana sebagai dosen pembimbing atas segala bimbingan, masukan, nasehat, serta kesabaran dalam penelitian dan karya ilmiah ini. Terimakasih kepada Ibu Dr drh Hj Agustin Indrawati M.Biomed selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan bimbingan dalam kegiatan akademik. Ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada ayahanda (Alm) H Albizar, ibunda Hj Suarnita, serta kakak penulis Deliana SPd, Sandra Vika Amd, dan Sri Gustia SH atas segala doa dan dukungannya yang luar biasa. Penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan kepada rekan satu penelitian Bagus, Budi, Ganjar, Ruli, Risnia dan seluruh peternak beserta masyarakat Pangalengan atas kerja sama dan semangat yang telah diberikan, sahabat- sahabat penulis di Kalpataru dan C2 yang telah banyak membantu baik secara langsung maupun tidak langsung serta rekan-rekan FKH 46 dan semua pihak yang turut berpartisipasi dalam penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Keadaan Umum KPBS Pangalengan 2

Sapi Friesian Holstein 3

Pengaruh Iklim Terhadap Penampilan Sapi Perah 3

Bahan Pakan 3

Sistem Pencernaan dan Kecernaan Pakan pada Ruminansia 4

Produksi Susu 5

Pedet 6

Pertumbuhan Ternak Sapi Perah 6

BAHAN DAN METODE 7 Lokasi dan Waktu Penelitian 7 Bahan dan Alat 7 Metode Penelitian 7 HASIL DAN PEMBAHASAN 8 Status Kecernaan Pakan Sapi Perah di KPBS Pangalengan 8

Produksi Susu Sapi Perah di KPBS Pangalengan 11

Pertumbuhan Pedet Sapi Perah di KPBS Pangalengan 12

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

(12)

DAFTAR TABEL

1 Nilai analisis proksimat hijauan dan konsentrat di KPBS Pangalengan 9 2 Bahan nutrisi terabsorbsi(kg), dan tingkat kecernaan pakan (%) pada

sapi perah di KPBS Pangalengan 10

DAFTAR GAMBAR

(13)

PENDAHULUAN

Susu merupakan salah satu protein hewani yang penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat. Susu memiliki nilai gizi yang tinggi dan komposisi zat gizi lengkap dengan perbandingan gizi yang sempurna. Namun, produksi susu sapi perah nasional masih sangat rendah dan belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Rendahnya populasi sapi perah serta manajemen pemeliharaan yang belum memadai menjadi faktor penyebab belum optimalnya produksi susu sapi di Indonesia (Ditjennak 2006).

Faktor-faktor yang memengaruhi penampilan (produksi susu dan populasi ternak) sapi perah adalah faktor genetik, faktor lingkungan, dan interaksi antara keduanya (Anggraeni 2000). Faktor genetik merupakan sifat keturunan (herediter) yang diwariskan oleh induk kepada anak. Faktor lingkungan terdiri atas lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal yaitu faktor yang berpengaruh dari dalam tubuh sapi seperti aspek fisiologis sapi, sedangkan lingkungan eksternal yaitu faktor yang berpengaruh dari luar tubuh sapi seperti pakan dan iklim (Anggraeni 2000). Jika semua faktor diatas berjalan dengan baik maka akan menghasilkan penampilan ternak sapi perah yang baik.

Iklim merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap penampilan ternak. Iklim memiliki arti strategis terhadap pertumbuhan ternak dan pertumbuhan tanaman sebagai pakan ternak. Setiap wilayah memiliki karakteristik iklim tertentu sehingga memengaruhi karakter vegetasi (pakan) dan penampilan ternak (Suprayogi et al. 2013). Pakan merupakan bahan yang dimakan dan dicerna oleh hewan yang mampu menyediakan nutrien yang penting untuk perawatan tubuh, pertumbuhan, penggemukan, dan reproduksi (Darmono 1993). Pemilihan bahan pakan yang baik dapat memengaruhi produksi ternak tersebut. Pakan yang baik untuk ternak adalah pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi dan tidak membahayakan sehingga ternak dapat mencerna pakan tersebut dengan baik. Pakan dengan nutrisi yang tinggi dapat memperbaiki penampilan produksi susu, bobot badan, dan pertumbuhan pedet pada ternak.

Penampilan ternak dipengaruhi oleh adanya keterkaitan antara faktor iklim, pakan, dan fisiologis ternak menjadikan faktor-faktor tersebut penting untuk dikaji. Namun, belum banyak penelitian yang mengkaji hubungan antara pakan, kecernaan, dan penampilan ternak pada peternakan sapi perah dalam suatu iklim (wilayah tertentu). Hal tersebut mengakibatkan produksi susu dan populasi sapi perah di Indonesia masih belum mencukupi kebutuhan dalam negeri sampai sekarang. Status kecernaan pakan, produksi susu, dan pertumbuhan induk serta pedet merupakan indikator perbaikan penampilan produksi susu dan populasi sapi perah di suatu wilayah yang penting diterapkan di setiap peternakan di Indonesia.

(14)

2

mengkaji kecernaan pakan, produksi susu, dan pertumbuhan pedet di daerah Pangalengan secara lebih mendalam.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status kecernaan pakan dan produksi susu induk sebagai indikator pertumbuhan pedet di peternakan sapi perah di KPBS Pangalengan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat kecernaan pakan dan jumlah produksi susu pada sapi perah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan pedet sehingga dapat menjadi acuan untuk peningkatan manajemen peternakan sapi perah di Indonesia, khususnya peternakan di KPBS Pangalengan, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

TINJAUAN PUSTAKA

Keadaan Umum KPBS pangalengan

Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan merupakan salah satu koperasi peternakan terbesar di Indonesia yang berada di Kabupaten Bandung bagian selatan provinsi Jawa Barat. KPBS Pangalengan berada pada wilayah dengan topografi berbukit–bukit ini merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah di Indonesia. Secara geografis, wilayah KPBS Pangalengan berada pada ketinggian 1000–1420 mdpl sehingga memiliki suhu udara 12–28 °C dan kelembapan relatif 60–70% (Qodarudin 1993). Kondisi ini menjadikan Pangalengan cocok untuk peternakan sapi perah. Sapi perah yang dipelihara di KPBS Pangalengan adalah jenis Friesian Holstein (FH).

(15)

3 pelayanan dan usaha kesehatan anggota dan ternaknya, asuransi, bank pengkreditan dan pelayanan apotik.

Sapi Friesian Holstein

Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan salah satu jenis sapi perah yang berasal dari Belanda. Sapi FH mempunyai ciri tubuh luas ke belakang, kepala panjang, warna kulit berpola hitam dan putih, sistem dan bentuk perambingan yang baik, dan memiliki efisiensi pakan yang tinggi yang dapat dialihkan menjadi produksi susu (Blakely dan Bade 1998). Menurut Yani dan Purwanto (2006), sapi FH menunjukkan penampilan produksi terbaik apabila ditempatkan pada suhu lingkungan 18.3 oC dengan kelembapan 55%. Sapi FH merupakan sapi perah yang memiliki rata-rata produksi susu tertinggi dibandingkan dengan bangsa sapi perah lain. Produksi susu sapi perah di Indonesia untuk daerah dataran tinggi berkisar antara 3000-3900 liter per laktasi (Yani dan Purwanto 2006).

Sapi FH mempunyai masa laktasi yang panjang dan produksi susu tinggi. Masa laktasi adalah masa sapi menyekresikan susu, yakni selang antara masa beranak dan masa kering kandang selama 10 bulan (Phillips 2010). Menurut Aisyah (2011) tinggi rendahnya produksi susu sapi FH tergantung pada tiga hal yaitu pembibitan (breeding), pakan (feeding), dan tata laksana (management).

Pengaruh Iklim Terhadap Penampilan Sapi Perah

Menurut Suprayogi et al. (2013) faktor iklim, khususnya suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap penampilan produksi dan konsumsi pakan. Suhu lingkungan yang tinggi sampai ± 27 ºC pada sapi FH menyebabkan produksi susu menurun. Penurunan produksi ini disebabkan oleh rendahnya nafsu makan. Suhu yang tinggi akan memaksa sapi yang tinggal di lingkungan tersebut harus beradaptasi berat. Sapi perah yang hidup di suatu lingkungan yang bersuhu tinggi tidak dapat hidup nyaman (not comfortable), nafsu makan berkurang sehingga produksi susu menurun.

Kelembapan adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan. Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian memengaruhi keseimbangan termal ternak (Yani dan Purwanto 2006).

Temperatur lingkungan yang semakin tinggi mengakibatkan konsumsi air meningkat, mengurangi nafsu makan sapi sehingga berpengaruh terhadap produksi susu. Stres panas harus ditangani dengan serius, agar tidak memberikan pengaruh negatif yang lebih besar. Usaha yang dapat dilakukan yaitu memodifikasi lingkungan tempat tinggal ternak dengan cara perbaikan pakan, manajemen, dan temperatur yang sesuai (Bond dan McDowell 2008).

Bahan Pakan

(16)

4

dibutuhkan oleh hewan tersebut. Pakan yang baik untuk sapi adalah pakan yang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi. Pakan tersebut harus mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta tidak membahayakan ternak yang mengkonsumsinya sehingga sapi dapat mencerna pakan tersebut dengan baik (Haryanto 2012).

Pakan ruminansia seperti sapi pada umumya terdiri atas konsentrat dan hijauan. Konsentrat adalah suatu bahan pakan yang dipergunakan bersama bahan pakan lain. Konsentrat berfungsi meningkatkan keserasian nutrisi dari keseluruhan pakan karena mengandung serat kasar rendah, mudah dicerna, mengandung pati maupun protein tinggi, sehingga nilainya lebih baik dari hijauan. Fungsi utama konsentrat adalah untuk mencukupi kebutuhan atau melengkapi nutrien yang belum dipenuhi oleh pakan yang berasal dari hijauan (Hartadi etal. 2005).

Hijauan merupakan pakan utama dari ternak ruminansia khususnya sapi perah. Hijauan merupakan bahan pakan yang kandungan serat kasarnya tinggi. Contoh dari hijauan yaitu berbagai rumput liar, limbah dan hasil ikutan pertanian, rumput jenis unggul yang dibudidayakan, dan berbagai leguminosa (Darmono 2007). Hijauan yang diberikan kepada ternak sebaiknya hijauan yang memiliki nutrisi yang baik sebagai pakan, mudah dicerna, dan mudah didapat.

Sistem Pencernaan dan Kecernaan Pakan Ruminansia

Kecernaan pakan adalah bagian dari nutrient pakan yang tidak disekresikan di dalam feses melainkan nutrient tersebut diserap oleh tubuh hewan (Zakariah 2012). Kemampuan hewan dalam mencerna pakan akan berhubungan erat dengan laju pertumbuhan hewan tersebut. Kecernaan pakan juga berpengaruh terhadap produktivitas ternak seperti sapi perah dalam menghasilkan susu. Kecernaan pakan suatu hewan bergantung pada pakan yang dikonsumsi hewan tersebut jika bahan pakan tersebut memiliki komponen nutrisi yang baik maka tingkat kecernaan pakan pada hewan tersebut juga baik, begitupun sebaliknya.

Pencernaan pada ternak ruminansia merupakan proses yang sangat kompleks. Proses ini melibatkan interaksi yang dinamis antara pakan, mikroba, dan hewan. Proses pencernaan pada ruminansia terbagi atas proses mekanis, fermentatif dan hidrolitis (Schmidt et al. 1988). Proses pencernaan secara mekanis terjadi di mulut. Proses pencernaan yang terjadi di mulut adalah mastikasi atau pengunyahan bahan pakan. Pada proses ini, terjadi percampuran antara bahan pakan dengan saliva yang membentuk bolus untuk proses penelanan. Makanan yang ditelan kemudian dikunyah kembali melalui proses regurgitasi. Pada proses ini pakan akan melewati rumen dan retikulum kemudian akan kembali lagi ke mulut untuk dikunyah kembali kemudian baru benar-benar ditelan.

(17)

5 abomasum bahan pakan kemudian memasuki usus halus untuk proses penyerapan nutrisi bahan pakan. Setelah semuanya diserap bahan pakan yang tidak bisa dicerna akan melewati usus besar. Pada usus besar terjadi penyerapan air dan pembentukan feses. Feses yang terbentuk di usus besar kemudian menuju caecum dan dikeluarkan melalui anus.

Menurut Van Soest (1994), kecernaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesies ternak, umur ternak, perlakuan pakan, kadar serat kasar, pengaruh asosiasi pakan, defisiensi nutrien, bentuk pakan frekuensi pemberian pakan dan minum, umur hijauan, dan lamanya pakan berada dalam rumen. Nutrien yang tercerna ditetapkan berdasarkan jumlah bahan pakan yang dimakan dikurangi jumlah tinja (feses) yang dikeluarkan. Kecernaan pakan biasanya dinyatakan berdasarkan bahan kering (BK) sebagai suatu koefisien atau presentase (McDonald

et al. 2002). Nilai kecernaan BK tersebut diperoleh dari nilai kecernaan dari komposisi bahan kering antara lain protein kasar (PK), lemak kasar (LK), serat kasar (SK) dan abu.

Menurut pustakan dari Rianto et al. (2007), nilai koefisien cerna bahan kering pada sapi yang diberi hijauan dan konsentrat adalah 72.40%. Nilai cerna dari komposisi bahan kering tersebut antara lain PK 80.37%, LK 85.32%, SK 60.43% dan abu 69.54%. Sedangkan menurut Endrawati et al. (2010), nilai koefisien cerna bahan kering pada sapi yang diberi rumput gajah dan konsentrat adalah 69.10%. Nilai cerna komposisi bahan kering tersebut antara lain PK 69.10%, LK 75.43%, SK 58.82% dan abu 65.68%.

Menurut Zakariah (2012), kecernaan pakan dapat diketahui jika analisis proksimat pakan serta feses ternak diketahui. Kecernaan pakan tersebut dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut.

Kecernaan Pakan = i ai a a i i i a a a − i ai a a i i i a

i ai a a i i i a a a X 100%

Produksi Susu

Produksi susu pada sapi perah memiliki pola yang teratur pada setiap laktasi. Produksi susu akan mengalami kenaikan pada 45-60 hari setelah sapi tersebut beranak hingga mencapai puncak produksi kemudian perlahan-lahan produksi susu tersebut akan kembali turun sampai akhir laktasi. Sapi perah laktasi normal yang beranak setiap tahun akan memiliki panjang periode laktasi selama 305 hari dan masa kering kandang selama 60 hari (Anggraeni 2006).

Produksi susu puncak dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi di Baturaden dan Anggraeni di Cikole. Menurut penelitian Pratiwi et al.

(2013) produksi susu puncak di batu raden adalah sebesar 18 liter/ekor/minggu. Sedangkan menurut hasil penelitian Anggraeni et al. (2008) di daerah Cikole produksi susu puncak sebesat 17 liter/ekor/minggu. Puncak produksi susu sapi bergantung dari kondisi tubuh sapi ketika melahirkan, kemampuan metabolisme, adanya infeksi penyakit serta pemberian pakan setelah melahirkan (Schmidt et al.

(18)

6

produksi terjadi pada bulan ketujuh hingga kedelapan. Hal ini disebabkan kondisi sapi sudah mengalami kebuntingan kembali.

Pedet

Pedet adalah anak sapi yang baru lahir sampai berumur lepas sapih yaitu sekitar 3-4 bulan. Pedet harus dirawat secara intensif agar senantiasa sehat dan berkembang dengan optimal sehingga nantinya dapat menjadi sapi perah laktasi yang memproduksi susu dengan kuantitas dan kualitas yang baik (Hidajati 1998). Penanganan pedet pada minggu awal kelahiran sangat diperlukan agar pedet dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.

Pedet yang baru lahir harus mendapatkan asupan nutrisi berupa kolostrum yang dihasilkan oleh induk sampai hari 4 pasca partus. Kemudian pada hari ke-5 pedet memperoleh susu dari hasil pemerahan induk. Pemberian susu ini berlangsung sampai saat disapih atau pada umur 11 minggu. Menurut Santosa et al. (2009), jumlah susu yang diberikan sebanyak 1/10 bobot badan pedet tersebut. Jumlah pemberian dikurangi sampai tidak lagi diberi susu pada umur 11 minggu.

Pertumbuhan Ternak Sapi Perah

Menurut Forrest et al. (1975), pertumbuhan adalah penambahan berat badan atau ukuran-ukuran tubuh sesuai umur dan dapat dilukiskan sebagai garis atau gambaran kurva sigmoid. Pertumbuhan pada hewan muda merupakan pertumbuhan dari urat daging, tulang dan organ-organ vital. Pertumbuhan ternak memiliki hubungan dengan pertambahan bobot badan dan karkas yang dihasilkan oleh ternak tersebut. Bobot badan dipengaruhi oleh sifat perdagingan, perlemakan, perototan, karkas, isi perut, dan besarnya pertulangan kepala, kaki dan kulit. Umur dan jenis kelamin turut mempengaruhi bobot badan dan ukuran ternak. Bobot badan pada umumnya mempunyai hubungan positif dengan semua ukuran linear tubuh.

Bobot badan sapi merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang dapat diduga berdasarkan ukuran linear tubuh sapi (Kadarsih 2003). Ukuran linear tubuh merupakan suatu ukuran dari bagian tubuh ternak yang pertambahannya satu sama lain saling berhubungan secara linear. Menurut Kadarsih (2003) ukuran linear tubuh yang dapat dipakai dalam memprediksi bobot badan sapi antara lain panjang badan, tinggi badan, dan lingkar dada. Sementara itu, Williamson dan Payne (1987) menyatakan bahwa pemakaian ukuran lingkar dada dan panjang badan dapat memberikan petunjuk bobot badan seekor hewan dengan tepat.

(19)

7

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu pada bulan Juli 2012 sampai dengan Agustus 2012, bertempat di peternakan rakyat KPBS Pangalengan, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu 32 ekor sapi perah jenis FH yang terdiri atas 16 ekor sapi perah induk laktasi dan 16 ekor sapi perah pedet yang diperoleh dari 9 peternak, sampel hijauan, konsentrat dan feses. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu timbangan, plastik tempat sampel feses, sarung tangan, cooler box, dan pita ukur.

Metode Penelitian

Persiapan

Pengukuran kecernaan pakan diawali dengan pemilihan sapi perah sebanyak 16 ekor dari 9 peternak. Sapi yang dipilih merupakan sapi yang dipelihara dengan cara dikandangkan dan dinyatakan sehat secara klinis.

Perhitungan Konsumsi Harian

Metode Selanjutnya adalah perhitungan jumlah pakan yang dikonsumsi ternak. Pakan yang diberikan kepada ternak adalah hijauan dan konsentrat serta air diberikan ad libitum. Pakan yang diberikan pada ternak ditimbang setiap hari selama dua bulan pengamatan. Rata-rata jumlah pakan yang diberikan kepada ternak setiap hari adalah hijauan sebanyak 65 kg/ekor dan konsentrat sebanyak 12 kg/ekor. Sisa pakan yang tidak dikonsumsi ternak dikumpulkan kemudian ditimbang. Hasil dari jumlah pakan yang diberikan dikurangi sisa pakan merupakan konsumsi pakan harian ternak.

Perhitungan jumlah feses

Feses yang dihasilkan ternak ditimbang setiap hari selama 2 bulan. Jumlah feses yang dihasilkan setiap hari dijumlahkan selama 2 bulan kemudian dihitung rataan feses harian yang dihasilkan ternak.

Analisis Proksimat

(20)

8

Perhitungan Kecernaan Pakan

Perhitungan kecernaan pakan dilakukan dengan menggunakan metode analisis proksimat yang dianalisis di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB. Analisis proksimat menggolongkan komponen yang ada pada bahan pakan berdasarkan komposisi kimia dan fungsinya yaitu air, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen. Hasil dari analisis proksimat adalah komposisi nutrisi dari bahan pakan sehingga dari hasil analisis tersebut dapat diketahui nilai kecernaan pada bahan pakan tersebut. Zakariah (2012), menyatakan bahwa nilai kecernaan pakan dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut.

Kecernaan Pakan = i ai a a i i i a a a − i ai a a i i i a

i ai a a i i i a a a X 100% Rumus di atas menerangkan bahwa nilai analisis proksimat pakan dan feses dapat menentukan nilai kecernaan pakan dalam % (persentase).

Pengukuran Produksi Susu

Pengukuran Produksi susu dilakukan pada 16 ekor sampel sapi perah indukan laktasi ke-2 dengan bobot badan rata-rata 455 kg. Pemerahan susu dilakukan setiap hari selama 8 minggu masa laktasi. Produksi susu perhari dijumlahkan dalam seminggu dan dihitung rata-ratanya.

Pengamatan Pertumbuhan Pedet

Pertumbuhan pedet pada penelitian ini mengacu pada pertambahan bobot badan pada pedet. Perhitungan bobot badan dilakukan pada 16 ekor pedet setiap minggunya selama 8 minggu, kemudian dihitung rata-rata bobot badan perminggu.

Besarnya bobot badan dapat diukur melalui pengukuran lingkar dada menggunakan pita ukur sapi merek Rondo®. Pengukuran lingkar dada dimulai dari pundak sampai dasar dada di belakang siku dan tulang belikat. Nilai lingkar dada yang didapatkan akan dikonversi menjadi bobot badan.

Analisis Data

Data pengamatan dari keseluruhan parameter dianalisis secara deskriptif selanjutnya dianalisis secara statistik menggunakan metode analysis of variance

(Anova).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Status Kecernaan Pakan Sapi Perah di KPBS Pangalengan

(21)

9 bahan pakan dapat diketahui dengan analisis proksimat. Nutrisi bahan pakan sapi perah yang dianalisis proksimat adalah hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan yang diberikan kepada ternak di daerah Pangalengan sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan wilayah Pangalengan bukan hanya sebagai wilayah sentral peternakan tetapi juga sebagai wilayah pertanian tanaman pangan terutama hortikultura. Selain hijauan utama yaitu rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan/atau rumput raja

(Pennisetum purputhypoides), peternak juga memberikan sisa hasil panen sayuran seperti daun kubis (Brasticiae olereceae), daun gondes (Sechium edule), daun wortel (Daucus), daun jagung (Zeamays), dan daun pegagan (Cantela asiatica). Sedangkan pakan tambahan diperoleh peternak dari konsentrat yang dibuat di KPBS Pangalengan. Selain kedua jenis pakan tersebut, perhitungan analisis proksimat feses juga diperlukan untuk menentukan seberapa besar nutrisi pakan yang tidak diserap tubuh ternak. Hasil analisis proksimat pada hijauan dan konsentrat yang dikonsumsi sapi perah di KPBS Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai analisis proksimat hijauan dan konsentrat di KPBS Pangalengan

Proksimat

BK: bahan kering, PK: protein kasar, LK: lemak kasar, SK: serat kasar

Pemberian hijauan yang bervariasi di Pangalengan menunjukkan tingkat nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian rumput gajah atau rumput lapang saja. Tabel 1 menunjukkan nilai komposisi nutrisi bahan kering pada hijauan di Pangalengan lebih tinggi dari kedua hijauan lainnya, terutama kadar bahan kering dan protein kasarnya. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hijauan yang diberikan kepada ternak di Pangalengan sangat baik dilihat dari komposisi nutrisi hijauannya yang tinggi. Menurut Marlina (1999), hijauan yang baik untuk ternak adalah hijauan yang memiliki kadar bahan kering dengan protein kasar yang tinggi.

(22)

10

Selain analisis proksimat, jumlah konsumsi bahan pakan dan jumlah feses yang dihasilkan ternak juga harus diketahui untuk mendapatkan nilai kecernaan pakan. Konsumsi hijauan (basah) rata-rata sapi perah di Pangalengan rata-rata sekitar 60.77 kg. Sedangkan rata-rata feses (basah) yang dihasilkan sapi sebanyak 26.70 kg. Hasil analisis proksimat pada Tabel 1 akan dikalikan dengan jumlah konsumsi pakan dan jumlah feses yang dihasilkan ternak. Hasil dari perhitungan analisis proksimat tersebut akan menunjukkan jumlah nutrisi yang diserap tubuh dan tingkat kecernaan pakan yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Bahan nutrisi terabsorbsi (gram), dan tingkat kecernaan pakan (%) pada sapi perah di KPBS Pangalengan

Proksimat

ahasil dari konsumsi pakan dikurangi feses; BK: bahan kering, PK: protein kasar, LK: lemak kasar,

SK: serat kasar

Status kecernaan sapi perah terhadap pakan di Pangalengan cukup tinggi. Hal ini terlihat dari hasil perhitungan yang menunjukkan kadar bahan kering tercerna mencapai 81.40%. Nilai kecernaan pakan ini jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Rianto et al. (2007) dan Endrawati et al. (2010), bahwa nilai koefisien cerna bahan kering secara umum pada sapi Friesian holstein yang diberi pakan hijauan dan konsentrat adalah sebesar 72.40% dan 69.10%. Menurut NRC (2001) standar nilai koefisisen cerna bahan kering yang harus diserap tubuh ternak adalah sebesar 50-75% dari jumlah keseluruhan bahan kering yang masuk ke tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa bahan pakan yang diberikan pada sapi di Pangalengan memiliki kualitas yang sangat baik dan memiliki kadar nutrisi yang tinggi dilihat dari tingkat kecernaan (absorbsi) di pencernaan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anitasari (2010) bahwa kecernaan BK yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat nutrisi yang dicerna oleh mikroba rumen.

(23)

11

Produksi Susu Sapi Perah di KPBS Pangalengan

Manajemen pemilihan bahan pakan dan pemberian pakan yang baik akan menghasilkan produktivitas ternak yang baik pula, salah satunya dalam produksi susu. Sapi perah unggul merupakan sapi perah yang sehat dan mampu menghasilkan susu dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan jumlah produksi susu perminggu pada 16 ekor sapi selama 8 minggu. Produksi susu dari ternak tersebut dihitung rata-ratanya selama 8 minggu pasca partus. Hasil dari produksi susu tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Rata-rata produksi susu sapi perah (liter)/minggu/ekor.

Gambar 1 menunjukkan bahwa produksi susu sampai minggu ke-6 terus mengalami peningkatan walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (p>0.05). Produksi susu laktasi minggu ke-1 yaitu sebesar 121.93±19.3 liter/ekor/minggu dan mencapai puncak produksi pada minggu ke-6 yaitu sebesar 135.31±32.6 liter/ekor/minggu. Setelah minggu ke-6 produksi susu sapi cenderung turun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ross (2004), bahwa pada awal laktasi produksi susu terus meningkat dengan cepat dan produksi puncak akan dicapai pada hari ke-30 sampai 60 atau pada minggu ke-4 sampai minggu ke-8 pasca melahirkan. Puncak produksi susu sapi bergantung dari kondisi tubuh sapi ketika melahirkan, kemampuan metabolisme, adanya infeksi penyakit, atau pemberian pakan setelah melahirkan. Kondisi tubuh yang baik setelah melahirkan serta kecukupan pakan setelah melahirkan cenderung meningkatkan produksi susu hingga puncak (Schmidt et al. 1988). Setelah puncak produksi dicapai selanjutnya produksi susu cenderung menurun sampai masa kering kandang. Kemampuan untuk mempertahankan puncak laktasi secara terus menerus dalam waktu yang lama (persistensi) akan menyebabkan seekor sapi memiliki total produksi yang tinggi (Tyler dan Ensminger 2006).

Rata-rata produksi susu di Pangalengan pada 8 minggu pertama laktasi adalah 131.23±4.3 liter/ekor/minggu atau sekitar 18.74 liter/ekor/hari. Nilai ini hampir

80

minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5 minggu 6 minggu 7 minggu 8

(24)

12

sama dengan rata-rata jumlah produksi susu di peternakan Baturaden yang merupakan tempat pembibitan sapi perah unggulan di Indonesia. Produksi rata-rata susu dua bulan pertama di daerah Baturaden adalah sebesar 18 liter/ekor/hari (Pratiwi et al. 2013). Sedangkan di daerah Cikole, produksi rata-rata susu dua bulan pertama adalah 17 liter/ekor/hari (Anggraeni et al. 2008). Data tersebut menunjukkan jumlah produksi susu 2 bulan pertama di daerah Pangalengan lebih tinggi daripada dua peternakan lainnya, walaupun perbedaannya tidak cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa produksi susu di Pangalengan dua bulan pertama kuantitasnya sangat baik. Produksi susu yang besar tersebut berpotensi menghasilkan susu yang produksinya melebihi produksi susu rata-rata peternakan di Indonesia yaitu sebesar 10 liter/ekor/hari (Sudono et al. 2003).

Besarnya produksi susu di Pangalengan menunjukkan bahwa Pangalengan telah memiliki manajemen peternakan yang baik terutama dalam pemberian dan pemilihan pakan. Menurut Anggraeni et al. (2008), manajemen pemeliharaan, pemilihan dan pemberian bahan pakan, serta faktor genetik akan mempengaruhi kapasitas produksi susu yang dihasilkan ternak. Pemberian pakan yang baik pada sapi perah di Pangalengan mampu memenuhi kebutuhan fisiologis sapi perah sehingga mampu menghasilkan susu dengan kuantitas dan kualitas yang baik. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas susu sapi perah adalah bangsa sapi, lama bunting, masa laktasi, besar sapi, estrus atau berahi, umur sapi, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan, dan tata laksana pemberian pakan (Sudono et al. 2003).

Pertumbuhan Pedet di KPBS Pangalengan

Selain memiliki produktivitas yang tinggi, sapi perah yang kebutuhan nutrisi tubuhnya terpenuhi dengan baik, juga berpotensi menjadi indukan yang melahirkan pedet yang sehat dan kuat. Namun perlu pemeliharaan yang intensif agar pedet dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pengelolaan pedet merupakan hal yang harus diperhatikan dalam usaha peternakan sapi perah. Hal ini dikarenakan pedet akan menjadi pengganti indukan yang nantinya akan memproduksi susu. Selain itu, pertumbuhan pedet merupakan salah satu indikator perbaikan populasi sapi perah di Indonesia. Hal ini menyebabkan pentingnya manajemen pemeliharaan pedet agar pedet dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Bobot lahir pedet merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap pertumbuhan pedet. Bobot lahir yang besar akan mempengaruhi pertumbuhan pedet yang besar pula. Daerah pangalengan memiliki rataan bobot lahir pedet yang cukup tinggi. Bobot lahir pedet di daerah pangalengan rata-rata 40 kg/ekor. Bobot lahir pedet ini lebih tinggi daripada pedet di daerah Ciawi dan Lembang Rata-rata bobot lahir pedet di ciawi adalah 27 kg/ekor (Purwanto dan Dedi 2006), sedangkan di daerah Lembang adalah 36 kg/ekor (Tazkia 2008). Besarnya bobot lahir pedet di daerah Pangalengan diduga karena indukan sapi perah yang sedang bunting mendapatkan asupan pakan yang kualitas nutrisinya baik sehingga berpengaruh terhadap perkembangan fetus. Menurut Toelihere (1997) asupan pakan induk, faktor genetik dan pelaksanaan IB yang baik sangat berpengaruh terhadap bobot pedet ketika dilahirkan.

(25)

13 tersebut menghasilkan susu yang memiliki kuantitas dan kualitas tinggi. Pengamatan pertumbuhan dilakukan terhadap 16 ekor pedet sapi perah dengan acuan pertambahan bobot badan pedet setiap minggu dalam jangka waktu 8 minggu. Hasil dari pengamatan dapat dilihat pada grafik berikut (Gambar 2).

Gambar 2 Grafik rata-rata pertambahan bobot pedet (kg)/minggu/ekor.

Grafik menunjukkan adanya peningkatan rata-rata bobot pedet setiap minggu. Bobot pedet dari minggu ke-1 yaitu 44.18±2.16 kg dan pada minggu ke-8 sekitar 56.12±4.67 kg. Kenaikan bobot badan dari minggu ke-1 sampai minggu ke-8 adalah sekitar 11.93±3.69 kg dengan rata-rata pertambahan bobot badan sebesar 0.2 kg/ekor/hari. Pertambahan bobot badan pedet di Pangalengan lebih rendah dari pertambahan bobot badan pedet di daerah Ciawi dan Lembang. Menurut Purwanto dan Dedi (2006) pertambahan bobot pedet di daerah Ciawi adalah sebesar 0.38 kg/ekor/hari. Sedangkan di daerah Lembang pertambahan bobot pedet adalah sebesar 0.25 kg/ekor/hari (Tazkia 2008). Hal ini diduga karena adanya perbedaan manajemen pemeliharaan atau lingkungan peternakan yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Roy (1980) yang menyatakan bahwa pertumbuhan pada pedet dipengaruhi oleh makanan, bobot lahir, lingkungan, dan penyakit. Selain itu potensi pertumbuhan pedet juga dipengaruhi bangsa ternak, jenis kelamin, dan manajemen pemeliharaan.

Pertumbuhan pada pedet juga dipengaruhi oleh asupan pakan yang diberikan. Pakan pada pedet ketika lahir sampai umur empat hari didapatkan dari kolostrum yang diberikan oleh induk. Hari berikutnya pakan pedet didapatkan dari hasil pemerahan susu induk sampai umur 11 minggu (Santosa et al. 2009). Namun pada umur 3 minggu pedet mulai dilatih memakan hijauan sedangkan konsentrat paling lambat umur 10 minggu setelah pedet dilahirkan. Hal ini berfungsi untuk merangsang perkembangan rumen yang berguna untuk perkembangan selanjutnya (Purwanto dan Dedi 2006).

Peternak di Pangalengan biasanya memberikan susu hasil perahan kepada pedet sesuai umurnya. Pada awal kelahiran biasanya susu perahan diberikan sebanyak 1/10 dari berat badan pedet kemudian pada minggu-minggu berikutnya

40

Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8

(26)

14

dikurangi sampai tidak diberikan lagi. Namun ada juga peternak yang hanya memberikan sedikit susu kepada pedet karena kepentingan ekonomi sehingga asupan nutrisi kepada pedet menjadi kurang. Hal ini menunjukkan peternak di Pangalengan memiliki sistem pemeliharaan pedet yang beragam sehingga pedet-pedet di Pangalengan memiliki tingkat pertumbuhan yang beragam. Pedet sebaiknya dirawat secara intensif dengan pemberian pakan yang tepat sehingga mampu berkembang dengan optimal dan menjadi indukan dengan produktivitas yang baik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Status kecernaan pakan dan produksi susu induk di KPBS Pangalengan dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan pedet. Tingkat kecernaan bahan pakan di KPBS Pangalengan yaitu BK 81.40%, PK 89.29%, LK 95.12%, SK 63.54% dan abu 77.34%. Hal ini menunjukkan bahwa nutrisi pada bahan pakan dapat diserap tubuh sapi perah dengan sangat bagus. Susu yang diproduksi oleh sapi perah pada 8 minggu pertama setelah partus dari segi kuantitas sangat baik dengan rataan sekitar 18.74 liter/ekor/hari. Pertumbuhan pedet di Pangalengan cukup baik, dengan bobot lahir yang tinggi yaitu sekitar 40 kg ekor. Hal ini menjelaskan bahwa peternakan sapi perah KPBS Pangalengan telah memiliki sistem manajemen pemeliharaan ternak yang cukup baik sehingga ternak dapat tumbuh dengan sehat dan produktif.

Saran

Perlu dilakukannya pemantau secara terus menerus tentang kecernaan pakan, produksi susu, dan pertumbuhan pedet di KPBS Pangalengan agar kualitas pakan, kuantitas susu, dan laju pertumbuhan pedet dapat terjaga atau lebih baik untuk masa yang akan datang. Selain itu diperlukan juga penelitian mengenai kualitas susu di peternakan Pangalengan untuk mengetahui status gizi pada susu yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S. 2011. Tingkat produksi susu dan kesehatan sapi perah dengan Pemberian

Aloe Barbadensis Miller. Gamma 7(1): 50–60.

Anitasari, A. 2010. Pemanfaatan Senyawa Bioaktif Kembang Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis) untuk Menekan Produksi Gas Metan pada Ternak Ruminansia.

Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

Anggorodi, HR. 1995. Ilmu Makanan Ternak Umum. Ed ke-2. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.

(27)

15 Anggraeni A. 2006. Productivity of Holstein-Frisian Dairy Cattle Maintained Under Two Systems In Central Java, Indonesia [tesis]. Newcastle (UK): University of Newcastle Upon Tyne, Department of Agriculture.

Anggraeni A, Fitriyani Y, Atabany A, Komala I. 2008. Penampilan produksi susu dan reproduksi sapi Friesian Holstein di balai pengembangan perbibitan ternak sapi perah Cikole Lembang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 1(1):137–145

Blakely J, Bade DA. 1998. Ilmu Peternakan. Ed ke-1. Srigandono B, Penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.

Bond J, McDowell RE. 2008. Repoductive performance and physiological pencegahannya. J Litbang Pertanian. 26(3)104–108.

[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2006. Statistik Peternakan 2006. Jakarta (ID): Departemen Pertanian.

Endrawati E, Endang B, Subur PSB. 2010. Performans induk sapi silangan Simmental-Peranakan Ongole dan induk sapi Peranakan Ongole dengan pakan hijauan dan onsentrat. Buletin Peternakan. 34 (2): 86–93.

Forrest CJ, Aberle ED, Hendricle MD, Judge, Merkel RA. 1975. Principles of Meat Science. San Fransisco (US): WH. Freeman and Co.

Hartadi HS, Reksohadiprojo, Tillman AD. 2005. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Ed ke-4. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.

Haryanto B. 2012. Perkembangan penelitian nutrisi ruminansia. Wartazoa 22(9): 169–173.

Hidajati N. 1998. Pembesaran pedet betina sapi perah guna menunjang peningkatan produksi susu. Wartazoa. 7(1): 1–3.

Kamal M. 1994. Nutrisi Ternak. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada Univ Pr.

Kadarsih S. 2003. Peranan ukuran tubuh terhadap bobot badan Sapi Bali di Provinsi Bengkulu [catatan penelitian]. UNIB. 9(1) : 45–48.

Marlina N. 1999. Konversi data hasil analisis proksimat ke dalam bahan segar.

Balai Penelitian Ternak 1(1): 100–104

McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition. London (UK): Prentice Hall.

[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Ed ke-8. Washington (US): National Academy Press.

Qodarudin Z. 1993. Persepsi peternak sapi perah anggota Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan terhadap peranan dan fungsi penyuluhan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Pratiwi N, Sudewo A, Santosa SA. 2013. Penggunaan Taksiran Produksi Susu dengan Test Interval Method (TIM) pada Evaluasi Mutu Genetik Sapi Perah di BPPTU Sapi Perah Baturaden. J Ilmiah Peternakan. 1(1):267–275.

Phillips CJC. 2010. Principles of Cattle Production. Ed ke-2. Cambridge (GB): Cambridge Univ Pr.

(28)

16

Rianto E, Mariana W, Retno A. 2007. Pemanfaatan Protein pada Sapi Jantan Peranakan Ongole dan Peranakan Friesian Holstein yang Mendapat Pakan Rumput Gajah, Ampas Tahu, dan Singkong. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner : 64–70.

Ross CF. 2004. Physiology of Sensory Perception, The Sensory Evaluation of Dairy Products. Clark S, Costello M, Drake MA, Bodyfelt F, editor. Ed ke-2. New York (US): Springer Science.

Roy JHB. 1980. The Calf, Studies in Agriculture and Food Science. Ed ke-4. London (UK): Butterworhts.

Rukmana R. 2005. Budidaya Rumput Unggul. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Santosa KA, Diwyanto K, Toharmat T. 2009. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia. Bogor (ID): Puslitbangnak.

Schmidt GH, Van Vleck LD, Hutgens MF. 1988. Principles of Dairy Science. Ed Ke-2, New Jersey (US): Prentice Hall Inc, Englewood Cliffs

Sudono A, Rosdiana, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

Suprayogi A, Satrija F, Tumbelaka LITA, Indrawati A, Purnawarman T, Wijaya A, Noviana D, Ridwan Y, Yudi. 2013. Pengelolaan Kesehatan Hewan dan Lingkungan. Bogor (ID): IPB Pr

Tazkia R. 2008. Pola dan pendugaan sifat pertumbuhan sapi Friesian-Holstein

betina berdasarkan ukuran tubuh di KPBSU Lembang [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tillman, AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Kusuma SP, Lebdosoekoekojo S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Ed ke-2. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.

Toelihere MR. 1997 . Animal reproduction in Indonesia : State of Art. Bogor (ID): Abstract of 4th International Meeting on Biotechnology in Animal Reproduction. Tyler HD, Ensminger ME. 2006. Dairy Cattle Science. Edisi ke-4. New Jersey

(US): Upper Saddle River.

Williamson G, Payne WJA. 1987. An Introduction to Animal Husbandry in The Tropics. Ed ke-2. London (UK): ELBS and Longman Group Limited.

Van Soest PJ. 1994. Nutrition Ecology of The Ruminant. Ed ke-2. New York (US): O and B Books, Inc. Corvalis, Cornell University Press.

Yani A, Purwanto BP. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis Sapi Peranakan Fries Holland dan Modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya [ulasan]. Media Peternakan. 1:35–36.

(29)

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Payakumbuh pada tanggal 6 Juni 1991. Penulis merupakan anak keeempat dari empat bersaudara, dari ayah bernama (alm) H. Albizar dan ibu bernama Hj.Suarnita.

Penulis mengawali pendidikan pertama di TK Pemuda Pemudi Indonesia Kota Payakumbuh yang diselesaikan pada tahun 1997. Penulis melanjutkan pendidikan dasar di SD Negeri 01 Kota Payakumbuh pada tahun 1997 hingga 2003. Tahun 2006 Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kota Payakumbuh dan melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Kota Payakumbuh hingga tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Gambar

Tabel 1  Nilai analisis proksimat hijauan dan konsentrat di KPBS Pangalengan
Gambar 1 Rata-rata produksi susu sapi perah (liter)/minggu/ekor.
Gambar 2 Grafik rata-rata pertambahan bobot pedet (kg)/minggu/ekor.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Simpulan dari penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi minat masyarakat dalam melestarikan batik Semarang yang terdiri dari faktor internal dan

[r]

untuk antena adalah yang memiliki konstanta dielektrik yangpaling rendah dari rentang tersebut karena akan menghasilkan efisiensi yang lebih baik, bandwidth yang lebar serta

ngeunaan panalungtikanna dina widang wangun tulisan jeung lisan.. siswa kelas X Jurusan Akomodasi Perhotelan SMK Negeri 3 Bogor, 2) Kumaha. ragam tulisan dina karangan

Meningkatnya kompetensi menggambar anak juga dapat dilihat dari beberapa indikator hasil gambar antara lain: anak dapat menghasilkan gambar sesuai dengan dengan

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penerimaan diri dari Jersild (1963) dimana penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran

Penelitian ini menggunakan variabel keadilan sistem perpajakan, norma ekspektasi (norma sosial dan moral), sanksi legal, religiusitas dan niat dalam penelitian Basri dkk