• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepadatan Mineral Tulang pada Wanita Pascamenopause

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepadatan Mineral Tulang pada Wanita Pascamenopause"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

KEPADATAN MINERAL TULANG PADA WANITA

PASCAMENOPAUSE

NURCHASANAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kepadatan Mineral Tulang pada Wanita Pascamenopause adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2006

(3)

ABSTRAK

NURCHASANAH. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepadatan Mineral Tulang pada Wanita Pascamenopause. Dibimbing oleh BUDI SETIAWAN dan DODIK BRIAWAN.

Kepadatan mineral tulang merupakan salah satu parameter untuk mengukur status osteoporosis. Semakin rendah kepadatan mineral tulang maka semakin besar risiko osteoporosis. Kombinasi konsumsi pangan dan gaya hidup yang buruk pada wanita pascamenopause dapat mempercepat terjadinya penurunan kepadatan tulang. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor – faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause.

Desain penelitian yang digunakan adalah crosssectional study yang dilakukan di Jakarta dan Bogor dengan sampel sejumlah 60 orang pasien rawat jalan di Klinik Yasmin RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta yang pernah memeriksakan kepadatan tulangnya dengan menggunakan DEXA selama tahun 2004. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik demografi dan sosioekonomi, antropometri, nilai kepadatan mineral tulang dan data konsumsi pangan yang dikumpulkan dengan metode FFQ (Food Frequency Questionnaire) semikuantitatif. Analisis data secara statistik menggunakan SPSS versi 11.5. Analisis statistik yang dilakukan adalah analisis deskriptif, uji t, uji korelasi Pearson dan uji regresi berganda model Stepwise dilakukan untuk seluruh variabel independen dengan kepadatan tulang di ketiga lokasi pemeriksaan tulang. Model ini digunakan agar didapatkan faktor yang berpengaruh secara fungsional pada nilai kepadatan mineral tulang wanita pascamenopause.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertambahan usia pada wanita pascamenopause menyebabkan nilai kepadatan mineral tulang lumbal, femur dan radius ultradistalnya semakin rendah. Tulang radius ultradistal lebih cepat mengalami pengeroposan tulang dibandingkan tulang lumbal dan tulang femur. Nilai IMT yang tinggi berasosiasi dengan semakin tingginya nilai kepadatan mineral tulang radius ultradistal. Umur saat menopause dan masa subur memiliki efek positif pada kepadatan tulang lumbal, femur dan radius ultradistal. Sedangkan status menopause berefek negatif pada kepadatan tulang lumbal, femur dan radius ultradistal. Faktor intik zat gizi yang berefek positif pada kepadatan tulang femur dan radius ultradistal adalah intik zat besi. Konsumsi ikan juga berefek positif pada kepadatan tulang femur sedangkan konsumsi sumber karbohidrat dan buah-buahan berefek negatif pada kepadatan tulang radius ultradistal. Faktor gaya hidup yang berefek negatif pada kepadatan tulang radius ultradistal adalah konsumsi kopi. Sedangkan konsumsi teh berasosiasi positif dengan kepadatan tulang radius ultradistal.

(4)

ABSTRACT

NURCHASANAH. Factors Related to Bone Mineral Density in Postmenopausal Women. Under the direction of BUDI SETIAWAN and DODIK BRIAWAN.

Bone mineral density is important parameter to measure osteoporosis status. Low bone mineral density means more risk of having osteoporosis. Poor combination of dietary intake and lifestyle in postmenopausal women would increase the rate of bone loss. The main objective of this research was to learn factors that related to bone mineral density in postmenopausal women.

This was a cross-sectional study from 60 patients that have examined their bone status using dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA) in 2004. Bone mineral density value, dietary intake using semi quantitative FFQ (Food Frequency Questionnaire), demographic and socioeconomic data were collected in this study. Statistical analysis used in this study was descriptive analysis, t-test, Pearson correlation test and stepwise multiple linear regression for all independent variable with bone density using SPSS version 11.5.

Result of this study showed that older postmenopausal women have lower bone mineral density at lumbar spine, femur and radius ultra distal. Rate of bone loss at radius ultra distal was faster than at lumbar spine and femur. Higher body mass index was mean higher bone mineral density at postmenopausal women. Reproductive factors that have positive effect at lumbar spine, femur and radius ultra distal bone density were age at menopause and duration of reproductive years. Menopausal status have negative effect with bone density of lumbar spine, femur and radius ultradistal.

Iron intake have positive association with bone mineral density at femur and radius ultra distal. Fish consumption also has positive association with femur bone density. Negative relationships founded at consumption of carbohydrate source and fruits with bone density of radius ultra distal. Coffee consumption has negative association with radius ultra distal bone density and tea consumption have positive association with radius ultra distal bone density.

(5)

 Hak cipta milik Nurchasanah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(6)

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEPADATAN MINERAL TULANG PADA WANITA

PASCAMENOPAUSE

NURCHASANAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kepadatan Mineral Tulang pada Wanita Pascamenopause

Nama : Nurchasanah NRP : A55102014.1

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Budi Setiawan M.S. Ir. Dodik Briawan, MCN.

Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur terpanjat hanya kepada Allah SWT dengan seluruh Asmaul Husna milik-Nya atas segala limpahan rahmat, kekuatan dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Tidak terlupa Shalawat dan salam tercurah selalu pada junjungan Nabi Muhammad SAW.

Ucapan terima kasih didedikasikan kepada Bapak Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Ir. Dodik Briawan, MCN sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukannya selama penulisan tesis ini. Bapak Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS. selaku Penguji Luar Komisi atas masukannya.

Rasa terima kasih juga ditujukan kepada Ibu Kartini `Bunda` Ichwani BSc, Santi Sundari, SSi, Fitri Mufariyanti Amd, dan Siti Farida Ummul Rahma, AMd dari Klinik Yasmin Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta yang telah membantu selama pengumpulan data responden, serta kepada para responden atas segala informasi yang telah diberikan.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan Mamah, Bapak, dan Adik-adik serta keluarga di Jl. Gaharu Blok D-18A (Ir. Ardani, Dr. Fauziyah & Fatimah, MSi), atas segala doa, dukungan, kesabaran dan kasih sayangnya. Sahabat dan teman terbaik, Aan, Mbak Woro, Bu Eko, Bu Rita, Bu Novi, Kak Fitri, Bu Diffah, Kak Maryam, Pak Thoha, Pak Hasan, Pak Suryono, dan Arif Anggoro serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, tanpa semuanya tulisan ini tak kan pernah ada.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat

Bogor, Juni 2006

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon-Jawa Barat pada Tanggal 13 Juli 1980 dari pasangan H. Budjaeri dan Hj. Chaeriyah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan Sekolah Dasar hingga SMU diselesaikan di Cirebon yaitu di MI PUI Siti Mulya, SMP Muhammadiyah I dan SMU Negeri II. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Diponegoro, lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana IPB.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Tujuan Umum ... 3

Tujuan Khusus ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Osteoporosis... 5

Menopause ... 7

Faktor Risiko Osteoporosis... 8

Faktor Pangan... 9

Faktor Nonpangan... 15

KERANGKA PEMIKIRAN ... 20

METODE PENELITIAN ... 22

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian... 22

Kriteria dan Cara Pengambilan Sampel... 22

Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 22

Pengolahan dan Analisis Data ... 24

Batasan Istilah... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

Karakteristik Contoh... 28

Kepadatan Mineral Tulang ... 30

Antropometri dan Status Gizi Contoh ... 31

Umur ... 36

Riwayat Reproduksi... 36

Intik Zat Gizi dan Konsumsi Pangan ... 42

Gaya Hidup ... 54

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepadatan Mineral Tulang ... 58

SIMPULAN DAN SARAN ... 61

Simpulan ... 61

Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kategori osteoporosis menurut standar WHO (1994)... 7

2 Jenis, dan cara pengumpulan data ... 23

3 Kategori osteoporosis berdasarkan nilai kepadatan tulang ... 24

4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik demografis... 28

5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi ... 29

6 Nilai kepadatan mineral tulang (g/cm2) dan kategori osteoporosis ... 31

7 Sebaran contoh menurut status osteoporosis pada tulang lumbal, femur dan radius ultradistal... 31

8 Nilai antropometri contoh ... 32

9 Sebaran contoh menurut indeks massa tubuh ... 32

10 Korelasi antara variabel antropometri dengan kepadatan mineral tulang 33 11 Tabulasi silang antara status gizi dengan status osteoporosis... 35

12 Nilai variabel yang terkait dalam riwayat reproduksi ... 37

13 Sebaran contoh menurut riwayat reproduksi ... 38

14 Korelasi antara variabel riwayat reproduksi dengan nilai kepadatan mineral tulang ... 39

15 Rata-rata konsumsi, kecukupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi ... 43

16 Korelasi antara variabel intik zat gizi dengan nilai kepadatan mineral tulang ... 44

17 Korelasi antara protein total, protein nabati, protein hewani dan rasio protein hewani dan nabati dengan nilai kepadatan mineral tulang... 47

18 Korelasi antara intik zat besi total, zat besi heme, zat besi nonheme dengan nilai kepadatan mineral tulang... 50

19 Korelasi antara konsumsi gram total jenis pangan tertentu dengan nilai kepadatan mineral tulang... 53

20 Sebaran contoh menurut konsumsi kopi, dan konsumsi teh di masa lalu dan saat ini ... 55

21 Korelasi antara kebiasaan konsumsi kopi, teh, susu, berolah raga dan penggunaan rokok dan alkohol dengan kepadatan mineral tulang ... 55

22 Sebaran contoh menurut kebiasaan merokok di masa lalu dan saat ini 56 23 Sebaran kebiasaan konsumsi susu contoh di masa lalu dan saat ini ... 57

24 Sebaran kebiasaan berolah raga contoh di masa lalu dan saat ini... 57

25 Jenis olah raga yang dilakukan contoh saat ini ... 58

26 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang lumbal... 59

27 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang femur ... 59

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Rata-rata konsumsi, kecukupan dan tingkat kecukupan energi

dan zat gizi ... 71 2 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan gizi ... 71 3 Gram total protein dan zat besi berdasarkan sumbernya ... 72 4 Rasio perbandingan protein hewani : nabati, Ca : P, dan protein : Ca.. 72 5 Koefisien regresi faktor yang berpengaruh pada tulang lumbal ... 72 6 Koefisien regresi faktor yang berpengaruh pada tulang femur... 72 7 Koefisien regresi faktor yang berpengaruh pada kepadatan tulang

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Osteoporosis merupakan penurunan massa tulang yang terjadi secara gradual seiring dengan bertambahnya umur (WHO 1999). Osteoporosis juga didefinisikan sebagai kondisi berkurangnya massa mineral tulang per unit volume tulang. Secara fungsional osteoporosis dicirikan dengan tingkat kerapuhan tinggi sehingga rentan untuk mengalami patah tulang (Bronner 1994). Penyakit ini menyerang nyaris tanpa gejala dan keberadaannya baru disadari setelah terjadinya kondisi osteoporosis lanjut, yaitu adanya perubahan bentuk tulang atau terjadinya patah tulang karena trauma ataupun patah tulang spontan. Oleh karenanya maka osteoporosis dikenal pula sebagai silent disease karena tidak pernah disadari penderitanya (Rachman 2003).

Osteoporosis menjadi suatu permasalahan dunia, karena angka harapan hidup (life expectancy rate) yang meningkat diberbagai negara, sementara angka kematian menurun, sehingga meningkatkan para usia lanjut di dunia. Tahun 2025 nanti diperkirakan jumlah lansia (> 60 tahun) di dunia akan meningkat sampai 1,2 milyar orang dan sekitar 70% jumlahnya diperkirakan berasal dari negara-negara berkembang (Ismail 1999). Sebagai salah satu negara berkembang usia harapan hidup manusia Indonesia meningkat sejalan dengan meningkatnya taraf hidup dan pelayanan kesehatan. Kondisi tersebut berdampak terhadap peningkatan jumlah populasi lanjut usia di Indonesia. Jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2000 tercatat lebih dari 14 juta jiwa (BPS 2000). Peningkatan jumlah populasi lanjut usia menimbulkan satu karakteristik tersendiri di antaranya adalah meningkatnya risiko kejadian osteoporosis. Sehingga jelas bahwa meningkatnya usia dan osteoporosis di Indonesia dan di dunia merupakan suatu hal yang pasti terjadi (Rachman 2003).

(14)

hingga mencapai 6,3 juta orang di tahun 2050. Diperkirakan bahwa 71% kejadian fraktur tersebut akan terjadi di negara berkembang (WHO 1999).

Sebagai salah satu negara berkembang Indonesia tidak luput dari ancaman osteoporosis. Hasil analisis data oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan menunjukkan sebesar 19,7 persen penduduk Indonesia berisiko terkena osteoporosis dan lima provinsi dengan risiko osteoporosis tertinggi adalah Sumatera Selatan (27.7%), Jawa Tengah (24,02%), Daerah Istimewa Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,8%) dan Jawa Timur (21,4%). Proporsi penduduk wanita yang berisiko lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu 21,7 persen berbanding 14,8 persen (Anonim 2003).

Osteoporosis lebih banyak dialami oleh wanita dibandingkan laki-laki. Berbagai literatur menunjukkan bahwa osteoporosis pada wanita berhubungan erat dengan menopause. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena penurunan kepadatan tulang yang sudah dimulai sejak usia 40 tahun diikuti dengan penurunan kadar estrogen sehingga kepadatan tulang turun lebih cepat (Ariani 1998).

Selain terjadinya menopause pada wanita masih terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kepadatan tulang. Faktor individual seperti berat badan, Indeks Massa Tubuh, umur, status menopause dan ras juga merupakan faktor signifikan yang berpengaruh terhadap kepadatan tulang (Felson et al. 1993). Rendahnya kepadatan tulang (osteoporosis dini) juga diperkirakan dapat disebabkan oleh terjadinya hiperparatiroidisme dan hipogonadisme. Konsumsi obat-obatan seperti hormon tiroid, glukokortikoid dan antikonvulsan dapat mempercepat kehilangan massa tulang (Krall & Dawson-Hughes 1998; Reid 2000; Reid et al. 1994).

Faktor gizi turut berperan penting dalam menjaga kesehatan tulang dan memperlambat laju pengeroposan tulang. Zat gizi yang paling banyak dikaji dan diteliti adalah kalsium (Ca) dan vitamin D (Tucker et al. 1999). Akan tetapi kekuatan tulang tidak sepenuhnya ditentukan oleh kecukupan kedua zat gizi tersebut, karena tulang adalah jaringan hidup yang kompleks dan kemungkinan besar kontribusi berbagai zat gizi mikro dan makro turut berperan penting dalam pemeliharaan tulang sehingga mampu memperlambat kejadian osteoporosis (Tucker et al. 2000).

(15)

zat besi (Fe), Fosfor (P), vitamin C, vitamin A, Vitamin B12, seng (Zn), tembaga (Cu),

silikon (Si), natrium (Na), senyawa fitoestrogen (isoflavonoid). Sayuran serta buah-buahan juga diduga memiliki efek positif dalam membantu memelihara kesehatan tulang dan memperlambat laju kecepatan pengeroposan tulang pada wanita pascamenopause (Tucker et al. 1999; Harris et al. 2000; Gartland et al. 2004; Tucker et al. 2002; Hyun et al. 2004; Feskanich et al. 1999; Hegarty et al. 2000; Anderson 1999; New et al. 2000; Setchell & Lydeking-Olsen 2003; Olson 2000; MacDonald et al. 2004).

Penelitian mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan kepadatan mineral tulang merupakan hal yang penting untuk dikaji mengingat akan semakin banyaknya populasi usia lanjut ke depan. Penelitian tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan risiko osteoporosis akan membantu memberikan informasi yang akurat sehingga dapat meningkatkan kepedulian terhadap kesehatan tulang sejak dini.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum :

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor – faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause.

Tujuan Khusus :

1. Mengkaji keterkaitan antara umur dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause

2. Mengkaji keterkaitan antara status gizi secara antropometri dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause

3. Mengkaji keterkaitan antara riwayat reproduksi yang meliputi umur saat pertama kali menstruasi, umur saat pertama kali melahirkan, jumlah kehamilan, jumlah keguguran, jumlah anak, rata-rata lama menyusui, lama masa subur, umur saat menopause dan status menopause dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause

(16)

5. Mengkaji keterkaitan antara konsumsi pangan dan intik zat gizi dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause

6. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause

Manfaat Penelitian

Mengingat ke depan populasi kelompok lanjut usia akan terus bertambah maka diharapkan hasil penelitian ini dapat :

1. Memberikan informasi tentang faktor pangan dan nonpangan yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause, sehingga dapat meningkatkan kepedulian untuk menjaga kesehatan tulang sejak dini.

2. Menjadi masukan untuk melakukan penelitian lebih mendalam tentang hubungan antara nilai kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause dengan konsumsi pangan dan riwayat reproduksi.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Osteoporosis

Pengertian Osteoporosis

National Osteoporosis Foundation (2003) mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit kronis progresif yang dicirikan dengan rendahnya massa tulang dan rusaknya mikroarsitektur tulang sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan kekuatan tulang, kerapuhan tulang dan meningkatnya risiko fraktur tulang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang pada akhirnya menimbulkan kejadian fraktur tulang akibat meningkatnya kerapuhan tulang (WHO 1994).

Definisi tersebut diperkuat oleh Bronner (1994) yang mengemukakan bahwa osteoporosis merupakan kondisi berkurangnya massa mineral tulang per unit volume tulang. Secara fungsional tulang yang mengalami osteoporosis dikarakterisasikan dengan tingkat kerapuhan yang lebih besar sehingga lebih mudah untuk mengalami fraktur. Penyakit ini menyerang nyaris tanpa gejala dan keberadaannya baru disadari setelah terjadinya kondisi osteoporosis lanjut, yaitu adanya perubahan bentuk tulang atau terjadinya patah tulang karena trauma ataupun patah tulang spontan. Oleh karenanya osteoporosis dikenal pula sebagai silent disease karena tidak pernah disadari penderitanya (Rachman 2003).

Proses Terjadinya Osteoporosis

Tulang adalah jaringan yang memberi bentuk pada tubuh dan dapat menyebabkan pergerakan tubuh karena merupakan tempat melekatnya otot-otot. Tulang terdiri dari matriks kolagen tulang, bahan organik dan mineral tulang. Mineral tulang berfungsi merekatkan serat–serat kolagen matriks tulang yang satu dengan lainnya dan juga sebagai cadangan isi kalsium dalam tubuh (Rachman 2003).

(18)

Penambahan usia membuat osteoklas lebih aktif dan osteoblast kurang aktif, sehingga tulang lebih banyak dirusak dan lebih sedikit dibentuk dan terjadi pengurangan massa tulang secara menyeluruh (Ariani 1998).

Awalnya, pembentukan tulang oleh osteoblas dan proses perusakan tulang oleh osteoklas berjalan seimbang. Saat memasuki usia 40 tahun, osteoklas menjadi lebih dominan. Hal ini menyebabkan perusakan tulang lebih banyak terjadi dibanding pembentukan tulang sehingga kepadatan tulang juga berkurang dan tulang menjadi semakin rapuh dan keropos. Inilah yang kemudian dikenal dengan osteoporosis (Ariani 1998).

Penurunan kepadatan massa tulang ini lebih nyata terlihat pada wanita dibanding pria karena keterkaitannya dengan hormon-hormon seks wanita utamanya hormon estrogen. Penurunan produksi estrogen akibat menopause membuat penyerapan kalsium ke dalam tulang juga menurun. Pada wanita estrogen memiliki peran besar dalam membantu penyerapan kalsium ke dalam tulang. Hal inilah yang menyebabkan resiko osteoporosis pada perempuan meningkat secara nyata di usia 50 tahun setelah mereka mengalami menopause (Rachman 2004).

Pengukuran Kepadatan Mineral Tulang

Pengukuran kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density = BMD) digunakan untuk mengkonfirmasikan diagnosis osteoporosis dan memprediksi risiko fraktur di masa yang akan datang. Kepadatan mineral tulang memiliki hubungan terbalik yang berkelanjutan dan bertahap dengan risiko fraktur tulang, semakin rendah kepadatan mineral tulang maka semakin besar risiko fraktur (NOF 2003).

(19)

Tabel 1 Kategori osteoporosis menurut standar WHO (1994) Kategori Osteoporosis T-Score

Normal Lebih besar dari -1.0

Massa tulang rendah (osteopenia) -1 sampai -2.5

Osteoporosis Lebih rendah dari -2.5

Teknik Pengukuran Kepadatan Mineral Tulang

DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry) merupakan alat yang banyak digunakan dalam penilaian kepadatan mineral tulang manusia secara in vivo. Keunggulan metode ini adalah cepat, ramah pasien, memiliki tingkat presisi dan akurasi yang tinggi dan paparan radiasi yang dihasilkannya sangat minimal (Prentice, Parson & Cole 1994).

Penilaian risiko fraktur juga dapat diketahui dengan menggunakan penanda biokimia. Penanda turnover tulang yang terjadi dalam serum atau urin kadang-kadang digunakan untuk membantu penilaian risiko fraktur, memprediksi kehilangan massa tulang (NOF 2003).

Data hasil pengukuran dengan menggunakan teknik absorptiometri diekspresikan sebagai Kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density = BMD) dengan satuan g/cm2. Data kepadatan mineral tulang mampu memberikan derajat standardisasi untuk membedakan ukuran tulang antarindividu dengan memberikan perbandingan dengan nilai referensi populasi. Kepadatan mineral tulang dapat dijadikan prediktor yang sangat bermanfaat dalam memperkirakan risiko fraktur dan mampu membedakan antara pasien yang menderita osteoporosis dan mereka yang normal (Prentice, Parson & Cole 1994).

Menopause

Kata menopause berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘bulan’ dan ‘penghentian sementara’ (Wirakusumah 2003). Secara fisiologis menopause merupakan suatu proses henti menstruasi/haid akibat hilang atau kekurangan hormon estrogen yang diproduksi oleh ovarium.

(20)

wanita yang mengalaminya dan ada juga tidak. Semua tergantung pada kondisi kesehatan, emosi (daya tahan terhadap stress), asupan makanan dan aktivitas fisik seseorang (Wirakusumah 2003).

Gejala fisik dari menopause diantaranya adalah adanya semburat panas, sulit tidur, berkeringat malam, gangguan fungsi seksual dan kekeringan vagina. Akibat paling serius dari menopause yang tidak nampak secara langsung adalah penyakit kardiovaskuler dan penyakit tulang seperti osteoporosis dan osteoarthritis (Achadiat 2000).

Faktor Risiko Osteoporosis

Selain disebabkan oleh menopause, masih terdapat banyak faktor lain yang dapat mempercepat penurunan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause, seperti pola makan yang kurang baik, aktivitas fisik yang rendah, kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok. Meskipun pengaruhnya terhadap massa tulang relatif lebih kecil dibandingkan dengan faktor risiko bawaan seperti jenis kelamin, riwayat keluarga, penuaan, dan ras; akan tetapi konsumsi pangan dan gaya hidup yang buruk dapat mempercepat terjadinya penurunan kepadatan tulang (Rachman 2003).

Faktor konsumsi pangan yang meliputi konsumsi mineral kalsium, fosfor, dan vitamin D telah banyak dikaji, sehingga sampai saat ini rekomendasi utama untuk membantu dalam mencegah dan memperlambat osteoporosis pada wanita pascamenopause adalah kombinasi tiga zat gizi mikro tersebut dengan perbandingan tertentu. Akan tetapi tulang merupakan satu jaringan hidup yang kompleks dan kemungkinan besar kontribusi berbagai zat gizi mikro maupun makro turut berperan dalam pemeliharaan tulang dan mampu memperlambat kejadian osteoporosis pada wanita pascamenopause (Tucker et al. 2002).

Faktor Pangan

(21)

tergabung pada matriks organik tulang untuk menyusun struktur kolagen termpat terjadinya mineralisasi. Sementara vitamin dan mineral lain penting untuk proses metabolisme dalam tulang (Illich 2000). Disamping itu komponen lain yang juga berpengaruh adalah konsumsi kafein, alkohol, atau fitoesterogen (Illich 2000).

Anderson (1999) menyebutkan bahwa konsep diet sehat secara praktis adalah menyediakan jumlah yang cukup dari seluruh zat gizi yang ada dari berbagai macam jenis makanan. Pada beberapa penelitian, wanita laktoovovegetarian yang banyak mengkonsumsi sayur dan buah yang memberikan zat gizi yang esensial untuk kesehatan tulang; memiliki nilai ukuran spesifik tulang yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang nonvegetarian. Hal ini diasumsikan karena sayur dan buah banyak mengandung senyawa-senyawa fitokimia yang baik untuk kesehatan. Contohnya adalah isoflavon sejenis fitoestrogen yang ada pada kedelai dan produk olahan kedelai lainnya, dan konsumsi fitoestrogen ini memiliki efek positif pada jaringan tulang pada wanita pascamenopause (Anderson 1999).

Pentingnya keterkaitan antara diet yang cukup dan massa tulang perlu menjadi perhatian untuk memperbaiki cara pandang masyarakat bahwa hanya kalsium sajalah yang berperan penting untuk perkembangan dan pemeliharaan tulang. Pola makan penting untuk memaksimalkan kesehatan tulang, dan konsep pangan holistik untuk mengoptimalkan kesehatan tulang mulai mengemuka (Anderson 1999).

Kalsium

(22)

Fosfor

Sebagai salah satu elemen anorganik, fosfor merupakan mineral kedua yang paling padat terdapat pada tubuh manusia, dan 85% fosfor berikatan pada tulang. Fosfor terdapat pada daging, telur, ikan, kacang-kacangan, sereal, dan makanan hasil olahan lainnya. Meskipun fosfor merupakan salah satu zat gizi yang esensial, tapi jumlah yang berlebihan dapat memberikan efek yang berbahaya bagi tulang. Peningkatan konsumsi fosfor akan meningkatkan konsentrasi serum fosfor mengakibatkan menurunnya konsentrasi serum kalsium terionisasi yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya sekresi hormon paratiroid. Hormon paratiroid merupakan hormon yang mencegah untuk terjadinya hipokalsemia dalam darah dengan cara meningkatkan resorpsi kalsium pada tulang untuk mencegah hipokalsemia tersebut.

Vitamin D

Sistem endokrin vitamin D mempengaruhi metabolisme kalsium dan fosfor dengan cara mempengaruhi organ targetnya: usus, tulang dan ginjal. Metabolit aktif 1, 25 (OH)2 vitamin D3 (kalsitriol) memfasilitasi absorbsi kalsium secara aktif dari usus

dengan cara menstimulasi sintesis protein (Illich et al. 2000).

Vitamin D yang diperoleh dari diet dan paparan sinar matahari kemudian dihidroksilasi menjadi 25 hidroksivitamin D di hati selanjutnya menjadi 1,25 (OH)2 D

di ginjal. Metabolit aktif 1,25 (OH)2 D inilah yang menstimulasi absorbsi kalsium dari

usus dan juga penting untuk memelihara tulang normal (Illich 2000).

Status vitamin D menurun seiring dengan pertambahan umur; paparan sinar matahari yang rendah, dan menurunnya kemampuan ginjal dan hati untuk menghidroksilasi vitamin D. Hal ini diperkirakan semakin memperbesar risiko untuk terkena osteoporosis pada usia lanjut (Sizer & Whitney 2000).

Selain itu pertambahan umur juga menyebabkan meningkatnya serum hormon paratiroid dan menurunnya level plasma 25 hidroksivitamin D dan 1,25 (OH)2 D,

perubahan inilah yang diperkirakan menyebabkan terjadinya kehilangan massa tulang pada usia lanjut (Illich et al. 2000).

Protein

(23)

pembentuk tulang) juga penting untuk dikaji meskipun hubungan antara intik protein dan kalsium masih merupakan hal yang kontroversial karena protein diketahui memiliki implikasi negatif pada keseimbangan kalsium tubuh (Sellmeyer et al. 2001; Feskanich et al. 1996).

Pada spektrum lain kekurangan protein dicurigai memiliki faktor risiko untuk pengeroposan tulang dan osteoporosis. Terdapat bukti meyakinkan yang mengindikasikan bahwa intik protein yang rendah berhubungan dengan kepadatan mineral tulang yang rendah dan risiko patah tulang yang tinggi (Rapuri et al. 2003). Sebaliknya konsumsi protein akan membantu meningkatkan kepadatan mineral tulang dan menurunkan risiko fraktur tulang pada penderita wanita pascamenopause (Promislow et al. 2002; Hannan et al. 2000; Dawson-Hughes et al. 2002). Selain itu penelitian mengenai suplementasi protein setelah terjadinya fraktur tulang panggul pada usia lanjut menunjukkan pentingnya intik protein yang cukup untuk kesehatan biologis tulang (Rapuri et al. 2003).

Zat Besi

Harris et al. (2003) menemukan adanya hubungan yang kompleks antara kalsium, zat besi dan tulang. Diperkirakan zat besi mungkin merupakan salah satu faktor penting dalam mineralisasi tulang lebih dari yang diketahui selama ini. Hal ini disebabkan karena zat besi sangat esensial untuk sintesis kolagen yang merupakan tempat terjadinya mineralisasi tulang.

Zat besi juga terlibat dalam konversi 25-hidroksi vitamin D dan 1, 25 dihidroksi vitamin D yang merupakan bentuk aktif dari vitamin D. Sebagaimana telah diketahui bahwa vitamin D dibutuhkan untuk pengaturan kalsium dan fosfor secara tepat. Dengan demikian maka secara tidak langsung maka zat besi turut memainkan peran penting dalam proses mineralisasi tulang.

(24)

Seng

Mineral seng merupakan mineral mikro esensial komponen penyusun > 200 jenis enzim. Mineral ini penting untuk sintesis kolagen normal dan mineralisasi tulang (Hyun et al. 2004). Pada hewan defisiensi seng berkaitan dengan pertumbuhan, pembentukan dan mineralisasi tulang yang tidak normal (Hyun et al. 2004). Terdapat korelasi positif yang signifikan antara kandungan seng tulang dengan kekuatan tulang hal inilah yang menegaskan bahwa terdapat kemungkinan bahwa seng memiliki peran dalam menyehatkan tulang (Hyun et al. 2004).

Intik seng yang rendah dilaporkan berkaitan dengan massa tulang yang rendah pada wanita. dan lebih jauh diketahui terjadi pengurangan konsentrasi plasma seng dan meningkatnya ekskresi seng urin pada wanita penderita osteoporosis (Hyun et al. 2004). Sedangkan penelitian yang dilakukan pada pria penderita osteoporosis menunjukkan bahwa intik seng pangan dan konsentrasi plasma seng memiliki asosiasi yang positif dengan kepadatan mineral tulang (Hyun et al. 2004).

Vitamin A

Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang diperlukan untuk penglihatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan remodelling tulang (Nieves 2005). Studi eksperimen pada hewan menunjukkan pentingnya vitamin A pada proses remodelling tulang. Defisiensi vitamin A akan menyebabkan pertumbuhan tulang terganggu akan tetapi kelebihan vitamin A dapat mempercepat resorpsi tulang, kerapuhan tulang dan terjadinya fraktur tulang (Wimalawansa 2004).

Terdapat dua jenis vitamin A pada suplemen dan makanan, yakni retinol dan beta karoten serta jenis karoten lainnya. Studi populasi yang dilakukan di Amerika serikat dan Swedia menunjukkan bahwa intik vitamin A yang berlebihan yang berasal dari retinol nampaknya berhubungan dengan risiko fraktur tulang panggul. Secara seluler asam retinoat (yang berasal dari proses metabolisme retinol) dapat menghambat aktivitas osteoblas, menstimulasi pembentukan osteoklas dan mempercepat terjadinya resorpsi tulang sehingga memperbesar risiko fraktur tulang panggul (Nieves 2005).

(25)

vitamin A berkorelasi negatif dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause. Meskipun demikian, masih belum terdapat bukti bahwa ada keterkaitan antara intik beta karoten dan intik vitamin A yang berasal dari buah-buahan dan sayuran (karotenoid) (Nieves 2005).

Vitamin C

Vitamin C merupakan salah satu zat gizi yang penting dalam pembentukan kolagen, jika terjadi defisiensi maka akan berkaitan dengan perkembangan tulang yang tidak normal. Hasil penelitian pada mereka yang turut serta dalam Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) di Amerika Serikat selama tahun 1988–1994 menunjukkan bahwa intik vitamin C berkaitan secara independen dengan kepadatan mineral tulang pada wanita premenopause (Simon & Hudes 2001).

Pada wanita pascamenopause, keterkaitan antara vitamin C dengan kepadatan mineral tulang belum menunjukkan hasil yang konsisten. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan yang kompleks antara vitamin C dengan berbagai faktor diantaranya seperti intik kalsium total, penggunaan terapi estrogen, dan kebiasaan merokok (Tucker 2003).

Fitoestrogen

Fitoestrogen merupakan senyawa fitokimia yang berasal dari hormon tumbuhan yang memiliki struktur kimia menyerupai hormon estrogen pada tubuh manusia (Wirakusumah 2003). Peran fitoestrogen khususnya isoflavon dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa isoflavon memiliki bone-sparing effects secara invitro maupun invivo (Setchell & Lydeking-Olsen 2003).

Fitoestrogen juga berfungsi meningkatkan aktivitas estrogen dalam tubuh. Pada masa perimenopause atau masa menopause saat kadar estrogen sangat rendah, asupan fitoestrogen mampu berfungsi sebagai estrogen yang melindungi tubuh dari sindrom menopause dan osteoporosis (Wirakusumah 2003).

(26)

ketakutan akan meningkatnya risiko kanker payudara dan endometrium pada penggunanya yang disebabkan oleh efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan steroid kuat tersebut (Setchell & Lydeking-Olsen 2003).

Untuk menanggulangi masalah ini maka fitoestrogen yang banyak terdapat pada tanaman nampaknya menjadi salah satu alternatif yang sangat potensial untuk membantu memelihara tulang (Setchell & Lydeking-Olsen 2003). Banyak penelitian yang memberikan bukti efek positif dari penggunaan fitoestrogen pada tulang.

Faktor Nonpangan

Keturunan dan Ras

Penelitian yang dilakukan pada ibu dan anak mengkonfirmasikan bahwa keturunan memiliki peran penting dalam kepadatan tulang. Keturunan lebih banyak mempengaruhi maksimum massa tulang yang mungkin dicapai selama masa pertumbuhan dan laju kehilangan massa tulang setelah mengalami menopause (Sizer & Whitney 2000).

Risiko osteoporosis juga terkait dengan garis ras. Orang Afrika memiliki massa tulang yang lebih padat dibandingkan dengan orang Eropa. Etnis lain yang memiliki kepadatan tulang yang lebih rendah selain orang yang berasal dari Eropa Utara adalah ras asia yang berasal dari China dan Jepang, Meksiko Amerika, Hispanik yang berasal dari Amerika Tengah dan Selatan (Sizer & Whitney 2000).

Tetapi ada pengecualian yang berkaitan dengan ras ini, ras kulit kuning yang tinggal di China dan Singapura memang memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena osteoporosis, meskipun demikian laju fraktur tulang panggul diantara mereka sangat rendah. Hal ini mungkin terkait dengan pola konsumsi mereka (Sizer & Whitney 2000).

Umur

(27)

Berkurangnya kemampuan osteoblas membentuk sel tulang baru dapat disebabkan oleh kerusakan selular atau berkurangnya faktor-faktor pertumbuhan lokal yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan sel tulang baru. Berkurangnya penyerapan kalsium pada usia lanjut dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya perubahan pada sel epitel usus disertai dengan berkurangnya sintesis dan respon terhadap vitamin D (Sizer & Whitney 2000).

Riwayat Reproduksi

Wanita memiliki risiko untuk terkena osteoporosis lebih tinggi daripada pria (Sizer & Whitney 2000). Berhentinya sekresi estrogen pada masa menopause memegang peranan penting terhadap patogenesis kehilangan massa tulang pada wanita pascamenopause (Mulyono 1999). Beberapa studi menunjukkan hubungan laju patah tulang yang meningkat setelah sekresi estrogen berhenti pada wanita menopause. Selama masa menopause pengaruh hilangnya estrogen tidak sama pada tiap-tiap bagian tulang. Bagian tulang yang mengalami kehilangan massa tulang lebih dini adalah bagian tulang trabekular (Sizer & Whitney 2000).

Menopause yang dialami wanita dapat mengakibatkan kehilangan massa tulang mencapai 2,5 – 5 % setahun selama 4 –5 tahun setelah menopause. Secara keseluruhan wanita akan kehilangan massa tulang 45 – 50 % selama hidupnya sedangkan laki-laki hanya kehilangan 20-30 %. Berkurangnya massa tulang ini lebih cepat terjadi pada tulang trabekuler dibandingkan dengan tulang kortikal. Hal ini terjadi karena luas permukaan tulang trabekular lebih besar dari pada tulang kortikal sehingga metabolisme di bagian tersebut lebih aktif (Sizer & Whitney 2000).

Selain menopause, terdapat beberapa faktor reproduksi lain yang membuat wanita lebih rentan mengalami osteoporosis dibandingkan dengan laki-laki, faktor ini masih perlu untuk diinvestigasi untuk membuktikan reliabilitasnya. Faktor tersebut adalah umur saat pertama kali mengalami menstruasi, umur saat pertamakali mengalami kehamilan, jumlah kehamilan, lama pemberian ASI (Ozdemir et al. 2005).

(28)

memiliki efek menstimulasi perkembangan tulang dengan cara meningkatkan aktivitas osteoblas seiring dengan mulai aktifnya hormon estrogen.

Penemuan tentang adanya keterkaitan antara paritas dan kepadatan tulang masih dianggap kontroversial (Gur et al. 2003). Bukti yang ada menunjukkan bahwa kehamilan pada umur yang lebih muda dapat menyebabkan kepadatan mineral tulang lebih rendah dan meningkatkan risiko terjadinya kehilangan massa tulang (Sowers 2001).

Paritas diduga memiliki efek negatif terhadap kepadatan mineral tulang, akan tetapi pada beberapa penelitian paritas tidak berkaitan dengan penurunan kepadatan mineral tulang. Penelitian yang dilakukan oleh Hoffman et al. (1993) melaporkan bahwa wanita yang memiliki anak ≥ 3 berisiko untuk mengalami fraktur 35 – 40% lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah punya anak (nulliparous). Gur et al. (2002) menunjukkan hasil penelitian yang berlawanan dengan mengindikasikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara jumlah kehamilan dengan kepadatan mineral tulang lumbal tapi tidak dengan kepadatan mineral tulang femur.

Pemberian ASI dapat menyebabkan adanya stress pada metabolisme kalisum dan berakibat pada metabolisme tulang. Durasi dan frekuensi menyusui merupakan faktor signifikan yang mempengaruhi kepadatan mineral tulang dan metabolisme tulang. Menyusui dalam jangka panjang diasosiasikan dengan meningkatnya kehilangan massa tulang (Melton et al. 1993; DeSantiago et al. 1999; Glerean & Plantalech 2000; Popivanov & Boianov 2002; Grimes & Wimalawansa 2003). Meskipun demikian hal tersebut tidak permanen, dan beberapa penelitian melaporkan hasil yang bervariasi dari adanya penurunan kepadatan massa tulang dan tidak ada penurunan massa tulang.

Ozdemir et al. (2005) menyimpulkan pada hasil penelitiannya bahwa jumlah kehamilan, total waktu pemberian ASI, dan usia saat kehamilan pertama berpengaruh pada nilai kepadatan mineral tulang, sementara umur saat pertama kali menstruasi tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan kepadatan mineral tulang.

Aktivitas Fisik dan Berat Badan

(29)

aktif (Gregg, Pereira & Caspersen 2000). Sementara itu kajian sistematis dari Randomized Trials menunjukkan bahwa olah raga secara teratur memiliki efek yang positif pada tulang punggung dan tulang leher femoral (Wallace & Cumming 2000).

Osteoporosis lebih sering dikaitkan dengan mereka yang memiliki berat badan rendah (kurus), khususnya kehilangan berat badan seberat 10% atau lebih setelah menopause, dan mereka yang memiliki berat badan lebih berat berisiko lebih rendah untuk terkena osteoporosis (Sizer & Whitney 2000).

Individu dengan berat badan lebih tinggi cenderung untuk mempunyai kepadatan tulang lebih tinggi dibandingkan individu yang berat badannya lebih rendah. Hal ini diduga disebabkan karena berat badan memiliki efek terhadap massa tulang lebih besar, terutama pada tulang femur. Kelebihan berat badan membuat stress terhadap tulang menjadi lebih besar dan meningkatkan tekanan untuk pembentukan tulang baru untuk mengatasi hal tersebut. Alasan lain adalah karena cadangan lemak pada individu yang gemuk lebih banyak dibandingkan dengan individu yang kurus. Cadangan lemak ini penting sebagai bahan baku bagi hormon androgen untuk diubah menjadi hormon estrogen. Oleh karena itu individu terutama wanita yang gemuk jarang mengalami osteoporosis (Lane 2001).

Kebiasaan Merokok

Penelitian membuktikan bahwa mereka yang perokok cenderung mengalami fraktur tulang ringan dibandingkan dengan yang bukan perokok. Sebuah penelitian pada saudara kembar melaporkan bahwa wanita yang merokok satu bungkus rokok/harinya selama masa dewasanya akan mengalami kehilangan massa tulang ekstra sebanyak 5 – 10% dari tulang mereka ketika menopause tiba (Hopper & Seeman 1994 dalam Sizer & Whitney 2000). Meskipun mekanisme aksinya masih belum dapat dijelaskan, tapi rendahnya berat badan perokok dan menopause dini pada perokok wanita diperkirakan menjadi faktor penyebabnya (Slemenda 1994 dalam Sizer & Whitney 2000).

(30)

absorpsi kalsium pada usus. Menurunnya absorpsi kalsium berkaitan dengan hiperparatiroidisme sekunder dan meningkatnya resorpsi tulang (Krall & Dawson-Hughes 1999; Rapuri et al. 2000).

Konsumsi Kafein

Kafein termasuk faktor risiko yang dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab yang dapat mempercepat terjadinya osteoporosis, meskipun demikian buktinya masih diperdebatkan (Rapuri et al. 2001). Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa kafein dapat mempercepat ekskresi kalsium, sementara penelitian yang lain tidak menemukan efek yang signifikan. Efek kafein pada keseimbangan kalsium mungkin akan merugikan hanya jika konsumsi kalsiumnya rendah (Whitney, Cataldo & Rolves 1998). Rapuri et al. (2001) dan Harris & Dawson-Hughes (1994) menyebutkan bahwa intik kafein lebih dari 300 mg/hari dapat mempercepat kehilangan massa tulang di tulang belakang pada wanita pasca menopause.

(31)

KERANGKA PEMIKIRAN

Osteoporosis merupakan salah satu penyakit degeneratif yang diakibatkan oleh penuaan. Osteoporosis lebih banyak dialami oleh wanita dibandingkan laki-laki. Berbagai literatur menunjukkan bahwa osteoporosis pada wanita berhubungan erat dengan menopause. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena penurunan kepadatan tulang yang sudah dimulai sejak usia 40 tahun seiring dengan penurunan kadar estrogen sehingga kepadatan tulang turun lebih cepat (Ariani 1998).

Berhentinya sekresi estrogen pada masa menopause memegang peranan penting terhadap patogenesis kehilangan massa tulang pada wanita pascamenopause (Mulyono 1999). Menopause yang dialami wanita dapat mengakibatkan kehilangan massa tulang mencapai 2.5 – 5 % setahun selama 4 – 5 tahun setelah menopause. Secara keseluruhan wanita akan kehilangan massa tulang 45 – 50 % selama hidupnya sedangkan laki-laki hanya kehilangan 20-30 %. Berkurangnya massa tulang ini lebih cepat terjadi pada tulang trabekuler (Sizer & Whitney 2000).

Selain menopause, terdapat beberapa faktor reproduksi lain yang membuat wanita lebih rentan mengalami osteoporosis dibandingkan dengan laki-laki, faktor ini masih perlu untuk diinvestigasi lebih banyak untuk membuktikan bahwa faktor tersebut juga merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis. Faktor tersebut adalah umur saat pertamakali menstruasi, umur saat pertamakali mengalami kehamilan, jumlah kehamilan, jumlah keguguran, umur saat menopause, status menopause, rata – rata lama pemberian ASI dan lama masa subur (Ozdemir et al. 2005).

(32)
[image:32.595.92.547.118.621.2]

Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor – faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause

Kepadatan Mineral Tulang Wanita Pascamenopause

Osteoporosis Gaya Hidup

Kebiasaan merokok, olah raga, konsumsi kopi, teh dan susu

Intik Zat Gizi Energi, Protein, Lemak, Kalsium, Fosfor, Zat besi, Seng, Vitamin A dan Vitamin C

Riwayat Reproduksi - Umur saat pertamakali

menstruasi

- Umur saat kehamilan pertama

- Umur saat menopause - Status menopause - Jumlah kehamilan - Jumlah melahirkan - Jumlah keguguran - Rata-rata lama menyusui - Lama masa subur

Status Gizi

Konsumsi Pangan Umur

Antropometri - Berat badan - Tinggi badan - Indeks Massa

(33)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di wilayah Bogor dan Jakarta. Pengambilan data dilakukan pada bulan April – November 2005.

Kriteria dan Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel sejumlah 60 orang dengan beragam status osteoporosis. Kriteria sampel yang dipilih adalah: dipilih pasien rawat jalan di Klinik Yasmin RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta yang telah memeriksakan kepadatan tulangnya dengan menggunakan DEXA, telah berhenti mengalami haid terhitung 3 tahun setelah terakhir kali mengalami haid, tidak mengalami gangguan pendengaran, tidak pikun dan bersedia diwawancarai.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah karakteristik contoh meliputi nama, etnis, usia, tingkat pendidikan, pendapatan, riwayat pekerjaan, nilai kepadatan mineral tulang dari medical record hasil pemeriksaan tulang, dan data konsumsi pangan yang dikumpulkan dengan metode FFQ (Food Frequency Questionnaire semikuantitatif).

Pengukuran status gizi dilakukan dengan cara mengukur Indeks Massa Tubuh (IMT). Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan injak (bathroom scale) kapasitas 100 kg, sementara data tinggi badan diukur dengan menggunakan Microtoise merk Sakura Medical ketelitian 0.1 cm dan kapasitas 200 cm. Gaya hidup yang diukur meliputi kebiasaan merokok, kebiasaan minum teh, kebiasaan minum kopi, kebiasaan minum susu dan kebiasaan olah raga masa lalu dan saat ini.

(34)
[image:34.595.137.492.100.607.2]

Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data

No. Jenis Data Cara Pengumpulan Data

1. Karakteristik responden: • Umur

• Pendidikan • Pendapatan • Pekerjaan • Etnis

Data diperoleh dari wawancara langsung menggunakan kuesioner

2. Antropometri

• Tinggi badan responden

• Berat badan responden

Diukur dengan menggunakan microtoise

Diukur dengan menggunakan timbangan injak

3. Konsumsi pangan

• Metode FFQ semi kuantitatif • Konsumsi susu dan produk

olahan susu

Dilakukan dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner

4. Gaya hidup • Kebiasaan olahraga • Kebiasaan merokok • Riwayat konsumsi teh • Riwayat konsumsi kopi • Riwayat konsumsi susu

Dilakukan dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner

5. Riwayat reproduksi • Umur saat pertama kali

menstruasi (tahun)

• Umur saat menopause (tahun) • Umur saat pertama kali

melahirkan (tahun) • Jumlah kehamilan • Jumlah keguguran • Jumlah anak

• Status menopause (tahun) • Lama masa subur (tahun) • Rata-rata lama menyusui (bulan)

Dilakukan dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner

6. Nilai kepadatan mineral tulang pada tulanng lumbal, femur, radius ultradistal

Medical record hasil pemeriksaan kepadatan mineral tulang responden

(35)
[image:35.595.126.500.104.201.2]

Tabel 3 Kategori osteoporosis berdasarkan nilai kepadatan tulang Nilai Kepadatan Mineral Tulang (g/cm2) Kategori osteoporosis

Lumbal Femur Radius ultradistal Normal (T-score ≥ -1) ≥ 0.990 ≥ 0.780 ≥ 0.320 Osteopenia

(T-score -1 - -2.5)

0.810 – 0.989 0.601 – 0.779 0.270 – 0.319

Osteoporosis

(T-score) ≤ -2.5 ≤ 0.810 ≤ 0.600 ≤ 0.270

Data kepadatan mineral tulang yang diambil adalah pada bagian tulang lumbal, tulang femur, dan tulang radius ultradistal pada tangan. Status pengeroposan tulang di ambil menurut kategori WHO (1994) yakni Normal: dengan T-score ≥ -1, Massa tulang rendah (osteopenia) dengan T-score antara -1 dan -2.5, Osteoporosis dengan T-score ≤ -2.5. Tabel 2 menunjukkan nilai cut off kepadatan mineral tulang berdasarkan nilai T-score.

Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari kuesioner diolah dan dianalisis secara statistik. Proses pengolahan data meliputi pengeditan, pengkodean, dan entri data. Variabel yang diteliti meliputi : status gizi, konsumsi pangan, gaya hidup, nilai kepadatan tulang dan riwayat reproduksi.

a. Status gizi wanita pascamenopause ditentukan berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu rasio dari berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (m)

[

]

2

(m) badan tinggi

(kg) badan berat IMT=

Kategori status gizi wanita pascamenopause ditentukan berdasarkan IMT dengan menggunakan standar Indeks Massa Tubuh yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (2003) yang terbagi menjadi empat kategori yakni Kurus : ≤ 18.5; Normal : 18.5 – 25.0; Gemuk : 25.0 – 27.0 dan Obesitas : > 27.0.

(36)

Briawan, 1995, Oey Kam Nio 1995). Tingkat konsumsi zat gizi diperoleh dengan membandingkan data konsumsi dengan angka kecukupan gizi berdasarkan WNPG (2004). Tingkat konsumsi energi dan protein digolongkan baik jika konsumsi ≥ 70% kecukupan, dan kurang jika kurang dari 70% kecukupan (Depkes RI, 2003). Konversi konsumsi pangan dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hardinsyah dan Martianto 1992) :

Kgij = (BPj/100) x Kgij x (BDD/100) dimana :

Kgij = kandungan zat gizi tertentu (i) dari pangan j atau makanan yang dikonsumsi sesuai dengan satuannya (berdasarkan DKBM) BPj = berat pangan atau makanan yang dikonsumsi (gram)

BDD = bagian yang dapat dimakan (dalam persen atau gram dari 100 gram pangan atau makanan)

Gij = zat gizi i yang dikonsumsi dari pangan atau makanan j

(37)

Batasan Istilah

Status Gizi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat – zat gizi yang dinilai berdasarkan Indeks Massa Tubuh dengan kategori kurus, normal, gemuk, dan obesitas.

Riwayat reproduksi adalah hal-hal yang berkaitan dengan masa reproduksi seorang wanita dinilai dengan sejumlah parameter yang meliputi usia saat pertama kali mengalami menstruasi, usia saat melahirkan pertama kali, jumlah melahirkan, jumlah anak, jumlah keguguran, lama masa subur, usia saat menopause dan status menopause.

Menarche adalah usia saat pertama kali mengalami menstruasi yang dinyatakan dalam tahun

Menopause adalah umur saat seorang wanita berhenti mengalami menstruasi yang dinyatakan dalam tahun.

Status menopause adalah jumlah tahun setelah terakhir kali mendapatkan haid yang dinilai dengan cara pengurangan umur saat ini dengan umur saat mengalami menopause.

Lama masa subur adalah masa aktif wanita secara reproduksi yang dinilai dari pengurangan nilai umur saat menopause dengan umur saat pertama kali menstruasi.

Kepadatan mineral tulang adalah kandungan massa mineral tulang per unit volume tulang yang diukur dengan menggunakan DEXA pada tulang lumbal, tulang femur dan tulang radius ultradistal yang dinyatakan dalam g/cm2. Tulang lumbal adalah tulang punggung, yang diambil adalah nilai kepadatan

mineral tulang L1-L4.

Tulang femur adalah tulang paha sebelah kiri dan bagian yang diambil dalam pengukuran ini adalah nilai kepadatan mineral tulang bagian leher femur. Tulang radius ultradistal adalah tulang tangan kiri bagian radius sebelah atas. DEXA kependekan dari Dual Energy X – ray Absoptiometry yang merupakan alat

untuk menilai tingkat kepadatan mineral tulang.

(38)

Gaya hidup adalah kebiasaan wanita pascamenopause yang berhubungan dengan kesehatannya seperti olah raga, konsumsi teh, susu dan kopi.

Olah raga adalah aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin berupa kegiatan berjalan kaki selama 30 menit, melakukan senam dan gerakan teratur lainnya 3 kali seminggu atau lebih dari 3 kali seminggu.

Pendapatan adalah jumlah uang yang diperoleh dalam satu bulan yang dinyatakan dalam rupiah.

Pengeluaran pangan adalah besarnya jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli pangan selama satu bulan yang dinyatakan dalam rupiah.

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Contoh

Karakteristik contoh meliputi variabel usia, status perkawinan dan suku. Berdasarkan hasil penelitian sebaran usia contoh menunjukkan bahwa sebagian besar contoh berada dalam kisaran usia 60 – 74 tahun (56.7%) dengan rata-rata usia 64.4 tahun. Sebanyak 30% berusia ≤ 59 tahun dan 15% berusia ≥ 75 tahun. Bertambahnya usia seseorang mengakibatkan terjadinya penurunan nilai kesehatan, sehingga penuaan biasanya dikaitkan dengan berbagai risiko penyakit degeneratif, terutama jika memiliki pola makan, gaya hidup dan tinggal di lingkungan yang buruk.

[image:39.595.183.441.456.680.2]

Berdasarkan status perkawinannya sebagian besar contoh masih memiliki pasangan hidup (56.7 %), 40% nya berstatus janda, dan 3.3 % contoh tidak menikah. Ada beragam suku yang menjadi contoh dalam penelitian ini, suku Jawa merupakan suku yang terbanyak (28.3%), kemudian Sunda (26.7%), Padang (20%), Tionghoa (16.37%), Melayu (6.67%), dan suku lainnya sebanyak 3.3%.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik demografis n = 60

Karakteristik Contoh

n % Usia

≤ 59 tahun 60 – 74 tahun ≥ 75 tahun

18 34 8 30.0 56.7 15.0 Status perkawinan Menikah Tidak Menikah Janda 34 2 24 56.7 3.3 40.0 Suku Jawa Sunda Padang Tionghoa Melayu Lain – lain

17 16 12 10 4 2 28.3 26.7 20.0 16.7 6.7 3.3

(40)

untuk mendapatkan penghasilan yang cukup sehingga berkesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat. Selain itu mereka juga mempunyai akses leluasa untuk pelayanan kesehatan yang lebih baik.

[image:40.595.180.449.325.661.2]

Menurut riwayat pekerjaan, contoh kebanyakan merupakan ibu rumah tangga biasa (50.0%). Selebihnya, sebesar 19.0% adalah pensiunan, 5% masih bekerja sebagai guru dan dosen, 11.7 % berwiraswasta, dan 1.7 % berprofesi sebagai bidan. Riwayat pekerjaan contoh mencerminkan tingkat pendidikannya. Meskipun sebagian besar adalah ibu rumah tangga tapi hal ini tetap merupakan determinan yang penting untuk akses kesehatan bagi dirinya sendiri dan keluarganya (Khomsan 2006).

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi n = 60

Variabel n % Pendidikan SD SMP SMA Diploma Sarjana Magister Doktor 2 8 22 9 17 1 1 3.3 16.7 38.3 15.0 26.7 1.7 1.6 Pekerjaan Pensiunan

Ibu Rumah Tangga Guru / Dosen Wiraswasta Bidan 19 30 3 7 1 31.7 50.0 5.0 11.7 1.7 Pendapatan perbulan (Suami/Istri)

≤ 1 000 000

1 000 001 – 2 000 000 2 000 001 – 3 000 000

≥3 000 000

11 20 15 14 18.3 33.3 25.0 23.3 Pengeluaran pangan perbulan

(keluarga)

500 000 – 1 000 000 1 000 001 – 1 500 000 1 500 001 – 2 000 000

33 23 4 55.0 38.3 6.7

(41)

membuat akses untuk mendapatkan makanan bergizi, informasi dan pelayanan kesehatan menjadi lebih leluasa.

Kepadatan Mineral tulang

Data hasil pengukuran teknik absorptiometri dengan menggunakan DEXA diekspresikan sebagai Kepadatan Mineral Tulang (Bone Mineral Density = BMD). Kepadatan mineral tulang didefinisikan sebagai hasil pengukuran kepadatan tulang dalam satuan g/cm2. Data kepadatan mineral tulang merupakan derajat standardisasi untuk membedakan ukuran tulang antar individu dengan memberikan perbandingan dengan nilai referensi populasi. Kepadatan mineral tulang dapat dijadikan prediktor yang sangat bermanfaat dalam memperkirakan risiko fraktur dan mampu membedakan antara pasien yang menderita osteoporosis dan mereka yang normal (Prentice, Parson & Cole 1994).

Terdapat 3 lokasi tulang yang biasa digunakan dalam penelitian terkait dengan risiko osteoporosis yakni tulang punggung, tulang femur dan tulang radius ultradistal (Mulyono 1999). Tulang punggung digunakan untuk mendeteksi adanya laju pengeroposan awal setelah seorang wanita berhenti mengalami haid. Tulang femur merupakan tempat yang seringkali terjadi fraktur akibat osteoporosis, sedangkan tulang radius ultradistal adalah tulang radius yang di deteksi selalu mengalami pengeroposan tulang sebelum terjadinya pengeroposan pada tulang lumbal dan tulang femur (Mulyono 1999). Selain itu ketiga tulang tersebut merupakan tulang trabekular yang lebih cepat mengalami pengeroposan dibandingkan dengan tulang kortikal (Whitney & Sizer 2000).

(42)

Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa pada wanita pascamenopause, tulang radius ultradistal cenderung mengalami pengeroposan lebih cepat dibandingkan dengan tulang lumbal dan tulang femur. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mulyono (1999) yang menunjukkan bahwa wanita pascamenopause di Jakarta cenderung mengalami osteoporosis pada tulang radius ultradistal dibandingkan dengan tulang lumbal dan tulang femur.

Tabel 6 Nilai kepadatan mineral tulang (g/cm2) dan kategori osteoporosis Lokasi tulang Kepadatan mineral

tulang

Kategori Osteoporosis

Tulang lumbal Tulang femur

Tulang radius ultradistal

0.87 ± 0.19 0.71 ± 0.08 0.26 ± 0.06

Osteopenia Osteopenia Osteoporosis

[image:42.595.125.494.492.576.2]

Secara fisiologis, tulang trabekular lebih cepat mengalami pengeroposan disebabkan oleh luas permukaan yang lebih besar, suplai aliran darah yang lebih banyak, dan lebih banyak mengalami remodelling dibandingkan dengan tulang kortikal. Hal tersebut membuat efek hormonal menjadi lebih dominan pada tulang trabekular dibandingkan dengan tulang kortikal, sehingga laju pengeroposan tulang lebih cepat terjadi (Davis et al. 1996).

Tabel 7 Sebaran contoh menurut status osteoporosis pada tulang lumbal, femur dan radius ultradistal

Kepadatan tulang

Lumbal Femur Radius ultradistal Status osteoporosis

n % n % n %

Normal Osteopenia Osteoporosis 7 43 10 11.7 71.7 16.7 8 48 4 13.3 80.0 6.7 2 6 52 3.3 10.0 86.7

Antropometri dan Status Gizi Contoh

(43)
[image:43.595.189.440.419.512.2]

Laporan FAO/WHO/UNU pada tahun 1985 menyebutkan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI). Di Indonesia BMI diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT), yang merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa di atas 18 tahun (Supriasa et al. 2001).

Tabel 8 Nilai antropometri contoh

Variabel Rata-rata ± SD

Berat badan (kg) Tinggi Badan (m) IMT (kg/m2)

56.85 ± 3.40 1.54 ± 0.06 24.02 ± 3.36

Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 51.7% memiliki status gizi normal, 21.7 % mengalami kegemukan, 20% mengalami obesitas dan hanya 6.7% yang kurus. Adapun rata-rata berat badan 56.85 ± 3.40 kg, tinggi badan 1.54 ± 0.06 m, dan IMT 24.02 ± 3.36 kg/m2 (tabel 8).

Tabel 9 Sebaran contoh menurut Indeks Massa Tubuh (kg/m2) n = 60

Status Gizi

n % Kurus : ≤ 18.5 4 6.7

Normal : 18.5 – 25.0 31 51.7 Gemuk : 25.0 – 27.0 13 21.7 Obesitas : > 27.0 12 20.0

(44)

Hubungan Antropometri dengan Kepadatan Mineral Tulang

Berat Badan

Berat badan memiliki korelasi positif yang signifikan dengan tingkat kepadatan mineral pada tulang radius ultradistal (r=0.326, p<0.05), tulang lumbal dan tulang femur tidak berkorelasi dengan berat badan hanya memiliki kecenderungan untuk berkorelasi positif (r=0.100, p<0.05; r=0.223, p<0.05 masing-masing). Hasil penelitian ini juga konsisten dengan penelitian pernah dilakukan sebelumnya (Henderson et al. 1995; Welton et al. 1994; Felson et al. 1993; Kato et al. 2000).

Hasil penelitian ini memperkuat laporan Felson et al. (1993) yang menyebutkan terdapat hubungan yang positif antara kepadatan mineral tulang dengan berat badan. Berat badan berkaitan dengan massa tubuh yang terdiri dari lemak dan massa bebas lemak (tulang dan otot). Massa tubuh berkaitan positif dengan kepadatan mineral tulang (Kato et al. 2000).

Individu dengan berat badan lebih tinggi cenderung untuk mempunyai kepadatan tulang lebih tinggi dibandingkan individu yang berat badannya lebih rendah. Hal ini diduga disebabkan karena berat badan memiliki efek terhadap massa tulang lebih besar. Kelebihan berat badan membuat stress terhadap tulang menjadi lebih besar dan meningkatkan tekanan untuk pembentukan tulang baru untuk mengatasi hal tersebut. Alasan lain adalah karena cadangan lemak pada individu yang gemuk lebih banyak dibandingkan dengan individu yang kurus. Cadangan lemak ini penting sebagai bahan baku bagi hormon androgen untuk diubah menjadi hormon estrogen. Oleh karena itu individu terutama wanita yang gemuk jarang mengalami osteoporosis (Lane 2001).

Tinggi Badan

(45)

Tabel 10 Korelasi antara variabel antropometri dengan kepadatan mineral tulang

Kepadatan mineral tulang

Variabel Lumbal Femur Radius ultradistal

Berat badan r 0.100 0.223 0.326*

p 0.445 0.086 0.011

Tinggi badan r 0.153 0.251 0.133

p 0.244 0.053 0.310

Indeks massa r 0.007 0.085 0.256*

tubuh p 0.958 0.518 0.048

Keterangan : * nyata pada (p<0.05)

Tinggi badan biasanya dikorelasikan dengan risiko fraktur tulang panggul. Laporan Munger et al. (1999) menyebutkan bahwa wanita berisiko mengalami fraktur tulang panggul jika memiliki berat badan yang rendah dan tinggi badan yang lebih tinggi. Dari hasil analisis korelasi diketahui bahwa tinggi badan tidak berkorelasi kepadatan tulang. Meskipun demikian terdapat adanya kecenderungan berkorelasi positif antara tinggi badan dan kepadatan mineral tulang di ketiga tempat.

Laporan mengenai keterkaitan antara tinggi badan dengan kepadatan mineral tulang jarang sekali dikaji secara mendalam. Kajiannya lebih cenderung pada hubungan antara tinggi badan dengan risiko atau kejadian fraktur tulang panggul pada wanita pascamenopause (Kato et al. 2000). Tinggi badan merupakan determinan yang penting dalam menentukan panjang sumbu tulang panggul, hal ini berasosiasi positif dengan risiko fraktur tulang panggul. Selain itu risiko jatuh cenderung lebih tinggi dialami individu yang memiliki tinggi badan yang lebih tinggi (terutama diatas 170 cm) (Kato et al. 2000). Pada penelitian ini rata-rata tinggi badan contoh adalah 1.54 ± 0.06 m. Hasil penelitian Kato et al. (2000) menyebutkan bahwa individu yang memiliki tinggi badan dibawah 1.55 m berisiko lebih rendah untuk mengalami fraktur tulang panggul akibat osteoporosis.

Indeks Massa Tubuh

(46)

Tabel 10 menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara IMT dengan kepadatan mineral tulang radius ultradistal (r=0.256, p<0.05) dan pada tulang femur (r=0.518, p<0.05), sementara pada tulang lumbal terdapat korelasi positif namun tidak signifikan (r=0.007, p<0.05).

Hasil pada penelitian ini konsisten dengan banyak penelitian yang telah banyak dilakukan dan dilaporkan diberbagai jurnal. Indeks massa tubuh dan berat badan merupakan faktor antropometri yang memiliki keterkaitan kuat dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause (Ulrich et al. 1996).

[image:46.595.130.496.424.625.2]

Semakin tinggi IMT maka nilai kepadatan tulangnya akan semakin tinggi (Hyun et al. 2004; Kato et al. 2000; Davis et al. 1996; Felson et al. 1993). Tabel 11 memperlihatkan bahwa mereka yang mengalami kegemukan dan obesitas cenderung memiliki status osteoporosis yang normal. Keterkaitan antara IMT dengan kepadatan mineral tulang disebabkan oleh adanya efek menyangga tubuh (weight-loading effect) khususnya pada rangka periferal termasuk diantaranya tulang femur dan tulang radius ultradistal (Ulrich et al. 1996).

Tabel 11 Kaitan antara status osteoporosis dengan status gizi Status gizi

Kurus Normal Gemuk Obes Status Osteoporosis

n % n % n % n % Tulang lumbal Normal Osteopenia Osteoporosis 1 1 4 1.7 1.7 6.7 3 23 5 5.0 38.3 8.3 2 9 2 3.3 15.0 3.3 1 10 1 1.7 16.7 1.7 Tulang femur Normal Osteopenia Osteoporosis 0 4 0 0 6.7 0 2 25 4 3.3 41.7 6.7 4 9 0 6.7 15.0 0 2 10 0 3.3 16.7 0 Tulang radius ultradistal

(47)

Umur

Hubungan antara Umur dengan Kepadatan Mineral Tulang

Terdapat adanya hubungan negatif yang signifikan antara umur dengan kepadatan mineral tulang femur (r=-0.286, p<0.05) dan radius ultradistal (r=-0.216, p<0.05), sedangkan untuk tulang lumbal tidak terdapat adanya hubungan (r=-0.216, p<0.05). Hal ini berarti semakin tinggi umur contoh maka semakin rendah nilai kepadatan mineral tulangnya. Semakin rendah nilai kepadatan mineral tulang maka risiko osteoporosis semakin tinggi sehingga rentan mengalami patah tulang akibat osteoporosis. Hasil ini memperkuat laporan Mulyono (1999) yang menyebutkan bahwa umur berkorelasi negatif dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause di Jakarta. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Lei et al. (2003) pada populasi kelompok lanjut usia di China yang menyimpulkan bahwa umur berpengaruh negatif pada kepadatan mineral tulang.

Pengaruh umur sebagai salah satu faktor yang berkorelasi negatif terhadap kepadatan mineral tulang berkaitan dengan proses penuaan. Akibat proses penuaan terjadi penurunan kemampuan fungsional sel-sel tulang. Hal ini mengakibatkan pembentukan tulang berkurang secara relatif dibandingkan dengan resorpsi atau perusakan tulang. Keadaan tersebut dibuktikan dengan adanya rongga bekas resorpsi yang tidak sepenuhnya diisi oleh osteoblas setelah siklus remodelling lengkap (Sizer & Whitney 2000).

Berkurangnya kemampuan osteoblas membentuk sel tulang baru dapat disebabkan oleh kerusakan selular atau berkurangnya faktor-faktor pertumbuhan lokal yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan sel tulang baru. Berkurangnya penyerapan kalsium pada usia lanjut dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya perubahan pada sel epitel usus disertai dengan berkurangnya sintesis dan respon terhadap vitamin D (Sizer & Whitney 2000).

Riwayat Reproduksi

(48)

kali, umur saat menopause, status menopause, jumlah kehamilan, jumlah keguguran, jumlah melahirkan, jumlah anak, lama masa subur dan lama menyusui. Variabel ini menjadi penting untuk diketahui karena masa reproduksi berkaitan juga dengan metabolisme yang berkaitan dengan penggunaan kalsium dalam tubuh semasa usia reproduksi yang dialami oleh wanita.

Tabel 12 Nilai variabel yang terkait dalam riwayat reproduksi

Riwayat Reproduksi Rata-rata ± SD

Umur saat menarche (tahun) 14.28 ± 1.64 Umur saat menopause (tahun) 49.28 ± 3.03 Umur saat pertama kali melahirkan (tahun) 21. 92 ± 7.96

Jumlah kehamilan 4.13 ± 2.51

Jumlah keguguran 0.43 ± 0.8

Jumlah anak 3.52 ± 2.17

Status menopause (tahun) 15.12 ± 3.45 Masa subur (tahun) 35.00 ± 4.27 Rata-rata lama menyusui (bulan) 9.40 ± 8.09

Wanita lebih boros dalam penggunaan kalsium semasa masa reproduksi terutama yang berkaitan dengan kehamilan dan menyusui. Karena pada masa itu seorang ibu harus berbagi kalsium dan zat gizi lainnya dalam makanan dan tubuhnya dengan janin yang dikandungnya. Logika yang diangkat adalah semakin banyak anak yang dilahirkan dan semakin lama durasi menyusui seorang ibu dicurigai dapat mengakibatkan kepadatan massa tulang yang lebih rendah pada seorang wanita di masa tua, terutama bagi mereka yang kepadatan massa tulang puncaknya semasa muda tidak terpenuhi.

(49)
[image:49.595.186.443.102.410.2]

Tabel 13 Sebaran contoh menurut riwayat reproduksi N = 60

Variabel N %

Jumlah kehamilan 0 -2 kehamilan 3 – 5 kehamilan ≥ 6 kehamilan

18 29 13 30 43.3 21.7 Jumlah keguguran

0 – 2 kali 3 – 5 kali ≥ 6 kali

59 1 0 98.3 1.7 0 Jumlah Melahirkan

0 – 2 kali 3 – 5 kali ≥ 6 kali

12 27 11 20 45 18.3 Jumlah anak

0 – 2 orang 3 – 5 orang ≥ 6 orang

19 30 11 31.7 50 18.3 Lama menyusui Tidak menyusui

≤ 4 bulan 5 – 12 bulan

≥ 13 bulan

9 16 19 16 15.0 26.7 31.7 26.7

Hubungan antara Kepadatan Mineral Tulang dengan Riwayat Reproduksi

Kepadatan mineral tulang yang rendah merupakan faktor risiko penting yang menyebabkan terjadinya fraktur akibat kerapuhan tulang. Saat ini mulai mengemuka akan kemungkinan adanya pengaruh riwayat reproduksi pada kepadatan mineral tulang. Meskipun demikian, hasil yang diperoleh masih belum konsisten (Ozdemir et al. 2005)

Umur Saat Pertama kali Menstruasi

(50)
[image:50.595.125.501.232.508.2]

Davis et al. (1996) melaporkan bahwa umur saat menstruasi pertama kali merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada pencapaian massa tulang puncak pada wanita premenopause multietnis yang tinggal di Hawaii. Hasil penelitian ini juga mendukung laporan Ito et al. (1995) yang menyebutkan bahwa menstruasi dini berkaitan dengan kepadatan mineral tulang yang tinggi.

Tabel 14 Korelasi antara variabel riwayat reproduksi dengan nilai kepadatan mineral tulang

Kepadatan mineral tulang

Variabel Lumbal Femur Radius ultradistal Umur saat pertama r -0.128 -0.146 -0.178 kali menstruasi (tahun) p 0.331 0.267 0.173

Umur saat r 0.371* 0.297* 0.197

Menopause (tahun) p 0.004 0.021 0.132

Umur saat melahirkan r 0.180 0.100 -0.239 Pertamakali (tahun) p 0.170 0.445 0.066 Jumlah kehamilan r -0.117 -0.077 -0.206

p 0.374 0.559 0.115

Status menopause r -0.362* -0.395* -0.429*

p 0.005 0.002 0.001

Jumlah keguguran r 0.009 -0.162 -0.188

p 0.944 0.215 0.150

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor – faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause
Tabel 2   Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 3  Kategori osteoporosis berdasarkan nilai kepadatan tulang
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik demografis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Account statement keberlakuannya sebagai alat bukti termasuk dalam kategori Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Hal ini sesuai dengan asas unus testus nullus testis (satu saksi bukan saksi). c) Akta harus ditandatangani oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Kedudukan Tanda tangan

Tujuan khusus penelitian ini untuk menganalisis bebankerja, hubungan interpersonal, keselamatan kerja dan tingkat ketergantungan pasien dengan stres kerja perawat di

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan adalah hasil yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas yang diberikan

Sebelum melakukan pengambilan data terlebih dahulu peneliti menemui guru bimbingan konseling di SMP Negeri 1 Pontianak untuk meminta bantuan mengumpulkan siswa

Maka perlu diciptakan suatu sistem komputerisasi yang diharapkan mampu membantu memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi pembelian, penjualan, pencarian barang dan penyampaian

Suatu perbuatan dikatakan baik jika dilakukan sesuai dengan hati nurani. Hati nurani merupakan norma moral yang penting tetapi sifatnya sangat subjektif, sehingga

Puji syukur alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Perbandingan Pembelajaran Biologi