• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi dan pemurnian asap cair berbahan dasar tempurung dan sabut kelapa secara pirolisis dan distilasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Isolasi dan pemurnian asap cair berbahan dasar tempurung dan sabut kelapa secara pirolisis dan distilasi"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ISOLASI DAN PEMURNIAN ASAP CAIR

BERBAHAN DASAR TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA

SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI

CANDRA LUDITAMA

F34102053

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ISOLASI DAN PEMURNIAN ASAP CAIR

BERBAHAN DASAR TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA

SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

CANDRA LUDITAMA

F34102053

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ISOLASI DAN PEMURNIAN ASAP CAIR

BERBAHAN DASAR TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA

SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

CANDRA LUDITAMA

F34102053

Dilahirkan di Tangerang pada tanggal 20 Februari 1984

Tanggal Lulus : 9 November 2006

Bogor, Desember 2006

Menyetujui,

Dr.Ir. Erliza Noor Dr. Gustan Pari, MSi, APU NIP : 131667793 NIP : 710.005.078

(4)

Candra Luditama (F34102053). Isolation and Purification of Liquid Smoke from Coconut Shell and Coir by Pyrolisis and Distillation. Revised by Dr. Ir. Erliza Noor and Dr. Gustan Pari, MSi.

SUMMARY

Liquid smoke is a vinegar obtained by pyrolisis of organic material such as wood, then followed by condensation through water-cooled condenser. Liquid smoke consist of antibakterial and antioxydant compounds, so that it was widely used in food industries as preservatives, health industries, fertilizers, bioinsecticides, pesticides, desinfectants, herbisides, and many more.

Smoke was obtained by the combustion of the wood that is consist of hemicellulose, cellulose, and lignine. The combustion of hemicellulose, cellulose, and lignine of wood will produce acids and its derivations, alcohols, phenols, aldehydes, karbonils, ketons and piridins. Besides antimikrobial and antioxydant compounds, liquid smoke also consist of Polysiclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) that is hazardous if consumed by human being. This hazardous substrate can be separated from the liquor by precipitation for 24 hours or by distillation. Principally, another organic material that is consist of hemicellulose, cellulose, and lignine can be used as a raw material of liquid smoke, such as coconut coir, coconut shell, and paddy rank. The condition of combustion process affects the quality and quantity of liquid smoke obtained. Factors that is determine the quality and quantity of liquid smoke are the materials, pressure, heat temperature, and the duration of combustion process.

The aim of this research is to produce liquid smoke from coconut shell and coir at various conditions of process, identify the compounds consist in liquid smoke, and separate the active compouns in liquid smoke. The pyrolisis was carried out in a reactor at temperature 300 °C and 500 °C for 5 hours. At this pyrolisis process, wood components, that is consist of hemicellulose, cellulose, and lignine, decomposed to acids and its derivations, alcohols, phenols, aldehydes, karbonils, ketons, piridins, and tar. After that, purification is done to separate tar and condense the concentration of phenol and acetic acid. Purification is conducted by distillation at 4 spanning temperatures, that is 0-100 °C, 100-125 °C, 125-150 °C, dan 150-200 °C.

The result of coconut coir combustion at temperature of 300 °C and 500 °C yield 40,29 % dan 57,45 % liquid smoke and the coconut shell combustion at temperature of 300 °C dan 500 °C yield 40,08 % and 42,10 % liquid smoke. The result of 300 °C and 500 °C coconut coir’s liquid smoke purificaton yield 14,7 % - 22,9 % and 7,5 % - 45,5%, while the 300 °C and 500 °C coconut shell’s liquid smoke purificaton yield 1,4 % - 15,9 % and 1,3 % - 18,8 %.

(5)

Candra Luditama (F34102053). Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Berbahan Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan Distilasi. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Erliza Noor dan Dr. Gustan Pari, MSi.

RINGKASAN

Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) yang diperoleh dengan cara pirolisis bahan baku pengasap seperti kayu, lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin air. Asap cair mengandung senyawa-senyawa antibakteri dan antioksidan, sehingga penggunaannya sangat luas mencakup industri makanan sebagai pengawet, industri kesehatan, pupuk tanaman, bioinsektisida, pestisida desinfektan, herbisida, dan lain sebagainya.

Asap diperoleh melalui pembakaran kayu yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pembakaran hemiselulosa, selolusa, dan lignin dari kayu akan menghasilkan senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol, aldehid, karbonil, keton dan piridin. Selain terdapat zat antimikroba, antibakteri, dan antioksidan, di dalam asap cair juga terdapat senyawa Polisiklik Aromatis Hidrokarbon (PAH) yang berbahaya apabila dikonsumsi oleh manusia. Zat berbahaya ini dapat dipisahkan dari asap cair dengan cara diendapkan selama 24 jam atau didistilasi. Pada prinsipnya, bahan-bahan lain yang memiliki kandungan senyawa-senyawa diatas dapat digunakan sebagai bahan baku asap cair, seperti serabut kepala, tempurung kelapa maupun merang padi. Kondisi proses pembakaran mempengaruhi kualitas dan kuantitas asap cair yang diperoleh. Faktor-faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas asap cair tersebut adalah bahan baku, tekanan, suhu pembakaran, dan lamanya waktu pembakaran.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat asap cair dari tempurung dan sabut kelapa pada berbagai kondisi proses, mengidentifikasi komposisi senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya, dan memisahkan komponen-komponen aktif pada asap cair. Variasi suhu pembakaran adalah 300 °C dan 500 °C selama 5 jam. Pada proses pirolisis ini, komponen kayu, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin, mengalami dekomposisi menghasilkan senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol, aldehid, karbonil, keton piridin dan tar. Selanjutnya dilakukan proses pemurnian untuk memisahkan senyawa tar dan meningkatkan konsentrasi fenol dan asam organik. Proses pemurnian ini dilakukan dengan cara distilasi pada 4 rentang suhu, yaitu 0-100 °C, 100-125 °C, 125-150 °C, dan 150-200 °C.

Hasil pembakaran sabut kelapa pada suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C menghasilkan asap cair dengan rendemen sebesar 40,29 % dan 57,45 %, sedangkan pembakaran tempurung kelapa pada suhu 300 °C dan 500 °C menghasilkan asap cair dengan rendemen sebesar 40,08 % dan 42,10 %. Pada pemurnian asap cair dengan cara distilasi didapatkan hasil bahwa asap cair dari bahan sabut kelapa dengan suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C memiliki rendemen distilasi sebesar 14,7 % - 22,9 % dan 7,5 % - 45,5%, sedangkan pada pemurnian asap cair dari bahan tempurung kelapa dengan suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C memiliki rendemen distilasi sebesar 1,4 % - 15,9 % dan 1,3 % - 18,8 %.

(6)
(7)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripasi dengan judul : ISOLASI DAN PEMURNIAN ASAP CAIR BERBAHAN DASAR TEMPURUNG DAN SABUT KELAPA SECARA PIROLISIS DAN DISTILASI adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya

Bogor, Desember 2006 Yang membuat pernyataan

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 20 Februari 1984 dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis memulai jenjang pendidikannya di SDN Cipeureudeuy I dan SDN Serang XI, lalu melanjutkan ke SLTPN 1 Serang dan SLTPN 5 Cirebon serta SMUN 1 Cirebon. Penulis melanjutkan pendidikannya ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2002.

Selama pendidikannnya di IPB, penulis pernah terlibat dalam beberapa organisasi diantaranya KOPMA (Koperasi Mahasiswa), IKC (Ikatan Kekeluargaan Cirebon), serta menjadi staf Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri). Selain itu juga penulis pernah mengikuti seminar-seminar yang diadakan di IPB.

Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Gambar Teknik pada semester 5 dan asisten praktikum mata kuliah Laboratorium Penyimpanan dan Pengemasan pada semester 6. Penulis juga terlibat dalam tim PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) berjudul ‘Penanganan Limbah Cair dan Gas pada Industri Kecil dengan Teknologi Biotrickling Filter’.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat kuasanya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan sebagaimana mestinya. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian berjudul Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Berbahan Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan

Distilasi. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret sampai Agustus di Laboratorium Kimia Kayu, Pusat Pengembangan dan Penelitian Hasil Hutan Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Erliza Noor sebagai dosen pembimbing yang telah mengarahkan penulis selama menyelesaikan kuliah dan skripsi,

2. Dr. Gustan Pari, MSi sebagai pembimbing II yang telah menyediakan sarana dan prasarana penelitian serta bimbingan,

3. Prayoga Suryadharma, STP, MT sebagai dosen penguji atas evaluasi dan sarannya pada skripsi ini,

4. Ayah dan Ibu tercinta atas kesabaran, perhatian, dan saran-saran bijaknya, serta adikku Tika,

5. Pak Mahpudin, Pak Salim, Pak Dadang S., serta seluruh staf dan karyawan Laboratorium Kimia Kayu, Pusat Pengembangan dan Penelitian Hasil Hutan Bogor yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian, 6. Nurlita Soraya, yang selalu ada dan mendampingi penulis serta memberikan

semangat dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini, serta

7. Seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu-persatu. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermafaat bagi pembaca.

Desember 2006

(10)

DAFTAR ISI D. Pemurnian Asap Cair Dengan Distilasi... E. Perkembangan Produksi Asap Cair... F. Aplikasi... A. Pengaruh Suhu Terhadap Produksi Asap Cair

(11)

Secara Pirolisis... B. Komponen-Komponen pada Asap Cair... C. Fraksinasi Asap Cair... D. Pengujian Kualitas Asap Cair... 1. Nilai pH... 2. Kadar Asam... 3. Kadar Fenol... 4. Bobot Jenis... 5. Produktivitas Asap Cair Hasil Pemurnian...

V. KESIMPULAN DAN SARAN...

DAFTAR PUSTAKA...

LAMPIRAN... 18 21 23 25 26 29 33 36 37

41

42

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi Kimia Asap Cair... 6

Tabel 2. Komposisi Kimia Tempurung Kelapa... 8

Tabel 3. Komposisi Kimia Sabut dan Serbuk Sabut Kelapa... 9

Tabel 4. Produksi Asap Cair pada Dua Suhu Pirolisis yang Berbeda... 19

Tabel 5. Senyawa Dominan di dalam Asap Cair Hasil Deteksi GC-MS... 21

Tabel 6. Jumlah Kondensat Asap Cair Pada Berbagai Rentang Suhu Distilasi... 24

Tabel 7. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran... 27

Tabel 8. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi... 28

Tabel 9. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran... 30

Tabel 10. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi... 32

Tabel 11. Kadar Asam pada Bahan Pengasap... 32

Tabel 12. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran... 33

Tabel 13. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi... 35

Tabel 14. Kadar Fenol pada Bahan Pengasap... 35

Tabel 15. Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap... 36

Tabel 16. Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi... 37

Tabel 17. Produktivitas Asap Cair Hasil Pemurnian... 38

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Alat Pembuat Asap Cair... 14

Gambar 2. Rancangan Alat Untuk Distilasi... 15

Gambar 3. Sabut dan Tempurung Kelapa... 18

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat

Sabut Kelapa Suhu 300 °C... 48

Lampiran 2. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C... 49

Lampiran 3. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C... 50

Lampiran 4. Hasil Deteksi GC-MS Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C... 51

Lampiran 5. Komponen Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C Hasil Deteksi GC-MS... 52

Lampiran 6. Komponen Kondensat Sabut Kelapa Suhu 500 °C Hasil Deteksi GC-MS... 54

Lampiran 7. Komponen Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 300 °C Hasil Deteksi GC-MS... 55

Lampiran 8. Komponen Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C Hasil Deteksi GC-MS... 56

Lampiran 9. Hasil Uji ANOVA Pirolisis... 57

Lampiran 10. Hasil Uji ANOVA Distilasi... 58

Lampiran 11. Hasil Uji ANOVA pH... 60

Lampiran 12. Hasil Uji ANOVA Kadar Asam... 62

Lampiran 13. Hasil Uji ANOVA Kadar Fenol... 64

Lampiran 14. Hasil Uji ANOVA Bobot Jenis... 66

Lampiran 15. Data dan Perhitungan Pirolisis... 68

Lampiran 16. Data dan Perhitungan Distilasi... 69

Lampiran 17. Data dan Perhitungan Kadar Asam... 70

Lampiran 18. Data dan Perhitungan Kadar Fenol... 72

Lampiran 19. Data dan Perhitungan Bobot Jenis... 74

Lampiran 20. Data dan Perhitungan Produktivitas... 76

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) yang diperoleh dengan cara distilasi kering bahan baku pengasap seperti kayu, lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin air. Asap cair berasal dari bahan alami yaitu pembakaran hemiselulosa, selulosa, dan lignin dari kayu-kayu keras sehingga menghasilkan senyawa-senyawa yang memiliki efek antimikroba, antibakteri, dan antioksidan seperti senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol, aldehid, karbonil, keton dan piridin.

Prospek penggunaan asap cair sangat luas, mencakup industri makanan sebagai pengawet, industri kesehatan, pupuk tanaman, bioinsektisida, pestisida desinfektan, herbisida, dan lain sebagainya. Prospek penggunaan asap cair yang sangat luas ini memiliki berbagai keunggulan bila dibandingkan dengan penggunaan bahan kimia sintetik. Asap cair lebih mudah diaplikasikan karena konsentrasi asap cair dapat dikontrol agar memberi flavor dan warna yang sama dan seragam. Asap cair telah disetujui oleh banyak negara untuk digunakan pada bahan pangan dan sekarang ini banyak digunakan pada produk daging. Bahan ini dapat diproduksi secara sederhana dengan menggunakan bahan dan peralatan yang mudah diperoleh serta relatif murah.

Kualitas dan kuantitas unsur kimia asap umumnya tergantung pada jenis bahan pengasap yang digunakan. Bahan baku yang umum digunakan adalah bahan yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selama ini bahan kayu keras seperti kayu jati (Firmansyah, 2004), mangium, tusam (Nurhayati, 2000), dan sengon banyak digunakan sebagai bahan pembuatan asap cair. Kedua jenis kayu tersebut digunakan dalam bentuk blok kayu ataupun serbuk kayu yang dipres. Namun, harga kayu yang mahal dan ketersediaannya yang terbatas menyebabkan biaya produksi pembuatan asap cair menjadi tinggi.

(16)

memberikan nilai tambah lain sebagai asap cair dibandingkan dengan penggunaannya sebagai keset, anyaman, atau suvenir. Saat ini asap cair dijual dengan harga berkisar antara Rp. 6000,- sampai Rp. 18000,- per liter, tergantung kualitas dari asap cair.

Kualitas dan kuantitas asap cair sangat dipengaruhi oleh kondisi proses pembakaran bahan bakunya. Selama ini, penelitian-penelitian terdahulu telah dilakukan untuk menentukan proses terbaik dalam pembuatan asap cair. Misalnya Tranggono et al. (1996) yang menggunakan suhu pembakaran 350 - 400 °C. Selain itu, Nurhayati (2000) mencoba membandingkan dua metode pembakaran, yaitu metode tungku kubah dan metode distilasi kering (destructive distillation) pada produksi asap cair. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa metode destilasi kering, dimana suhu karbonisasi dapat dikontrol sampai 500 °C menghasilkan asap cair dengan jumlah yang lebih banyak daripada metode tungku yang memiliki rata-rata suhu sebesar 350 °C. Selain itu juga, metode distilasi kering mampu menghasilkan asap cair dengan kadar fenol dan kadar asam yang lebih besar. Firmansyah (2004) juga mencoba untuk menentukan kondisi proses pembakaraan yang terbaik untuk memproduksi asap cair dengan cara menambahkan cangkang telur pada bahan pengasap berupa serbuk kayu jati dengan berbagai komposisi yang mampu meningkatkan suhu pembakaran. Namun asap cair yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kadar fenol yang kecil karena suhu pembakaran yang terbentuk tidak terlalu tinggi yaitu sekitar 210 °C.

(17)

Kualitas dari asap cair ditentukan oleh kemurnian dari senyawa-senyawa yang terkandung didalamnya, terutama fenol dan asam-asam organik. Oleh karena itu, proses pemurnian perlu dilakukan untuk memisahkan kedua senyawa tersebut sehingga dihasilkan asap cair dengan kualitas yang tinggi. Selama ini, proses pemurnian yang dilakukan pada asap cair hanya sebatas menghilangkan kandungan tar dengan cara mengendapkannya selama 24 jam. Cara tersebut tidak mampu memisahkan senyawa fenol dan asam organik. Pemurnian yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan cara distilasi berdasarkan perbedaan titik didih. Kualitas dan kuantitas fenol dan asam asetat dibandingkan pada berbagai rentang suhu distilasi.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan rendemen asap cair dari berbagai kondisi fisik (suhu pembakaran dan suhu distilasi) dan kimia (bahan baku)

C. Manfaat

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Asap Cair

Pengasapan merupakan pemanfaatan panas dan asap dari hasil pembakaran. Tujuan pengasapan pada awalnya hanya untuk pengawetan bahan makanan, namun dalam pengembangannya berubah, yaitu menghasilkan produk dengan aroma tertentu, meningkatkan cita rasa, memperbaiki penampilan dan meningkatkan daya simpan produk yang diasap (Girard, 1992). Asap mengandung sejumlah besar senyawa yang dibentuk oleh pirolisis konstituen dari kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin, dari hasil ikutan hewani seperti tulang, darah dan sebagainya (Djatmiko et al., 1985).

Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu atau dibuat dari campuran senyawa murni (Maga, 1988). Asap diproduksi dengan cara pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi (Girrard, 1992). Partikel asap mempunyai diameter 0,1 μm. Proporsi partikel padatan dan cairan dalam medium gas menentukan kepadatan asap. Selain itu asap juga memberikan atribut warna dan flavor pada medium pendispersi gas (Pszczola, 1995).

Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) diperoleh secara distilasi kering bahan baku asap misalnya batok kelapa, sabut kelapa atau kayu pada suhu 400 °C selama 90 menit lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin air (Pszczola, 1995). Destilat yang diperoleh dimasukkan dalam corong pemisah untuk dipisahkan dari senyawa-senyawa kimia yang tidak diinginkan misalnya senyawa tar yang tidak larut dengan asam pirolignat. Asam pirolignat merupakan campuran dari asam-asam organik, fenol, aldehid, dan lain-lain.

(19)

mengawetkan daging babi dan babi asin dan untuk memberi citarasa pada beberapa bahan makanan.

Menurut Maga (1988), asap cair mempunyai kelebihan antara lain :

a. Beberapa flavor dapat dihasilkan dalam produk yang seragam dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengasapan tradisional.

b. Lebih intensif dalan pemberian flavor. c. Kontrol hilangnya flavor lebih mudah

d. Dapat diaplikasikan pada berbagai jenis bahan pangan. e. Dapat digunakan oleh konsumen pada level komersial. f. Lebih hemat dalam pemakaian kayu sebagai sumber asap. g. Polusi lingkungan dapat diperkecil.

h. Dapat diaplikasikan ke dalam berbagai cara penyemprotan, pencelupan, atau dicampur langsung ke dalam makanan (Pearson and Tauber, 1984).

Eklund (1982) mengemukakan bahwa asap cair tidak menunjukkan karsinogenik atau sifat-sifat toksik lain dari hasil pengujian Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP). Hal ini didukung oleh pernyataan Hollenbeck (1978), bahwa asap cair mempunyai sifat anti bakterial, mudah diaplikasikan dan lebih aman dari asam konvensional dan fraksi tar yang mengandung hidrokarbon aromatik dapat dipisahkan, sehingga produk asap cair bebas polutan dan karsinogenik.

Zaitsev et al. (1969) mengemukakan bahwa asap mengandung beberapa zat antimikroba, antara lain :

a. Asam dan turunannya : format, asetat, butirat, propionat, metil ester. b. Alkohol : metil, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol.

c. Aldehid : formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural. d. Hidrokarbon : silene, kumene, dan simene.

e. Keton : aseton, metil etil keton, metil propil keton, dan etil propil keton.

f. Fenol

(20)

Menurut Harris dan Karmas (1989), komponen asap dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan pengaruhnya terhadap nilai gizi produk yang diasap, antara lain :

a. Zat yang melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasap dengan menghambat perubahan kimiawi dan biologis yang merugikan.

b. Komponen yang tidak menunjukkan aktivitas dari segi nilai gizi. c. Senyawa yang berinteraksi dengan komponen bahan pangan dan

menurunkan nilai gizi produk yang diasap. d. Komponen beracun.

Komposisi kimia asap cair beserta persentasenya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Asap Cair

Komposisi Kimia Kandungan (%)

Air 11 – 92

Fenol 0,2 – 2,9

Asam 2,8 – 4,5

Karbonil 2,6 – 4,6

Ter 1 - 17

Sumber : Maga (1988)

(21)

faktor nyata dalam perlindungan nilai gizi produk yang diasap terhadap perusakan biologis. Efek fungisidal dalam asap disebabkan oleh fenol dan formaldehid (Daun, 1979; Toth dan Potthast, 1984).

Fenol selain bersifat bakteriosidal juga sebagai antioksidan. Sifat ini terutama pada senyawa fenol dengan titik didih tinggi, seperti 2,6-dimethoksi fenol, 2,6-dimethoksi-4-metil fenol dan 2,6-dimethoksi-4-ethyl fenol (Pearson dan Tauber, 1973). Senyawa – senyawa fenolat lainnya yang terdapat dalam asap dan memperlihatkan aktivitas oksidatif adalah pirokathkol, hidrokuinon, guaiakol, eugenol, isoeugenol, vanilin, salisilaldehid, asam 2-hidroksibenzoat, dan senyawa - senyawa tersebut hampir semuanya bersifat larut dalam eter (Maga, 1988; Fiddler et al., 1970). Senyawa ini mendonasikan hidrogen dan dalam konsentrasi yang sangat kecil sudah memperlihatkan efektivitasnya sebagai penghambat reaksi oksidasi. (Maga, 1988). Senyawa fenol dengan titik didih rendah memiliki sifat antioksidan yang agak rendah. Aktivitas antioksidan dari komponen asap adalah sifat yang penting dalam melindungi penyusutan nilai gizi produk yang diasap (Daun, 1979).

Asap dalam bentuk cair juga masih mempunyai berbagai sifat fungsional. Fungsi lainnya adalah untuk memberikan flavor yang diinginkan pada produk asap karena adanya senyawa fenol dan karbonil (Pszczola, 1995). Rasa dan aroma khas produk pengasapan terutama disebabkan oleh senyawa guaiakol, 4-metil-guaiakol, dan 2,6-dimetoksi fenol. Girard (1992) mengatakan bahwa dari berbagai penelitian terdahulu, diketahui bahwa senyawa – senyawa fenolat tertentu seperti guaiakol, 4-metil guaiakol, 2,6-dimetoksi fenil dan seringol menentukan flavor dari bahan pangan yang diasap dimana guaiakol akan memberikan rasa asap dan seringol memberikan aroma asap. Rasa dan aroma yang khas pada makanan yang diasap disebabkan oleh senyawa fenol yang bereaksi dengan protein dan lemak yang terdapat pada makanan (Daun, 1979).

B. Bahan Pengasap

(22)

hemiselulosa 20-30%, lignin 20-30%. Menurut Tillman et al. (1981), secara umum kayu keras memiliki holoselulosa (e.g. karbohidrat) dan lebih sedikit lignin daripada kayu lunak. Selulosa adalah golongan polisakarida (C6H10O5)n dengan

berat molekul sekitar 1.500.000, jika dihidrolisis akan membentuk glukosa. Selanjutnya dikatakan, bahwa selain kayu juga dapat digunakan serabut dan tempurung kelapa maupun merang padi sebagai penghasil asap (Zaitsev et al., 1969). Hasil pirolisis dari senyawa selulosa, hemiselulosa dan lignin diantaranya akan menghasilkan asam organik, fenol dan karbonil yang berbeda dalam proporsi diantaranya tergantung pada jenis kayu, kadar air kayu dan suhu pirolisis yang digunakan (Yulistyani et al., 1997).

Tempurung kelapa dikategorikan oleh Grimwood (1975) sebagai kayu keras, tetapi mempunyai kadar lignin lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah. Pirolisa tempurung kelapa menghasilkan senyawa fenol 4,13%, karbonil 1,30% dan keasaman 10,2% (Tranggono et al., 1996; Darmadji, 1995). Tempurung merupakan lapisan yang keras dengan ketebalan 3-5 mm. Sifat kerasnya disebabkan oleh banyaknya kandungan silikat (SiO2) di tempurung tersebut. Dari

berat total buah kelapa, 15-19% merupakan berat tempurungnya. Selain itu, tempurung juga banyak mengandung lignin. Sedangkan kandungan methoxyl dalam tempurung hampir sama dengan yang terdapat dalam kayu. Namun, jumlah kandungan unsur-unsur itu bervariasi tergantung lingkungan tumbuhnya. Komposisi kimia tempurung kelapa menurut Djatmiko et al. (1985) disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Tempurung Kelapa

Komponen Persentase (%)

Abu 0,23 Lignin 33,30 Selulosa 27,31 Pentosan 17,67 Metoxil 5,39

(23)

Sutater et al. (1998) menyatakan bahwa sifat kimia dari serbuk sabut kelapa sangat bervariasi dari daerah mana kelapa tersebut diproduksi. Komponen utama penyusun sabut kelapa dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Kimia Sabut dan Serbuk Sabut Kelapa

Komponen Persentase (%)

Sabut Kelapa Serbuk Sabut Kelapa

Air 26,0 5,23

Pektin 14,25 3,00

Hemiselulosa 8,50 0,25

Lignin 29,23 45,84

Selulosa 21,07 43,44

Sumber : Joseph dan Kindagen (1993)

C. Proses Pirolisa

Proses pirolisa melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi. Reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa kayu adalah : penghilangan air dari kayu pada suhu 120-150 °C, pirolisa hemiselulosa pada suhu 200-250 °C, pirolisa selulosa pada suhu 280-320 °C dan pirolisa lignin pada suhu 400 °C. Pirolisa pada suhu 400 °C ini menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas organoleptik yang tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatis (Girrard, 1992; Maga, 1988).

Hemiselulosa adalah komponen kayu yang mengalami pirolisa paling awal menghasilkan furfural, furan, asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa tersusun atas pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C6H10O5) dan rata-rata proporsi

(24)

guaiakol (2-metoksifenol) dan homolognya serta turunannya yang berperan terhadap aroma asap dari produk-produk hasil pengasapan. Fenol dihasilkan dari dekomposisi lignin yang terjadi pada suhu 300 °C dan berakhir pada suhu 450 °C (Girrard, 1992). Proses selanjutnya yaitu pirolisa selulosa menghasilkan senyawa asam asetat, dan senyawa karbonil seperti asetaldehida, glikosal dan akreolin. Pirolisa lignin akan menghasilkan senyawa fenol, guaiakol, siringol bersama dengan homolog dan derivatnya (Maga, 1988).

Distilasi kering kayu adalah salah satu cara yang digunakan untuk membuat produk-produk komersial dalam bentuk cair, padat maupun gas. Proses distilasi kering dilakukan dengan cara memanaskan kayu secara langsung maupun tidak langsung dengan udara terbatas ataupun tanpa udara. (Hendra, 1992). Produk yang diawetkan dengan asap yang diproduksi pada suhu 400 °C, lebih unggul mutu organoleptiknya dibanding perlakuan asap yang diproduksi dengan suhu yang lebih tinggi (Hanson, 2004). Selain itu, menurut Fretheim et al. (1980), efektifitas antara antioksidan dari fenol yang paling baik adalah dari hasil pembakaran pada temperatur 400 °C.

Jumlah dan sifat fenol yang terdapat dalam asap berhubungan langsung dengan suhu pirolisis kayu (Hamm dan Potthast, 1976 dalam Girard, 1992). Kadar maksimum senyawa fenol tercapai pada suhu pirolisis 600 °C (Hamm dan Potthast, 1976 dalam Girard, 1992). Peningkatan suhu sebesar 150 °C dari 350 menjadi 500 °C secara nyata tidak merubah kondensat asam, tetapi terjadi sedikit peningkatan efek antioksidatif. Suhu optimum pembuatan asap adalah sekitar 400 °C (Fratheim et al., 1980).

D. Pemurnian Asap Cair Dengan Distilasi

(25)

senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya, seperti poliaromatik hidrokarbon (PAH) dan tar, dengan cara pengaturan suhu didih sehingga diharapkan didapat asap cair yang jernih, bebas ter dan benzopiren (Darmadji, 2002). Senyawa utama yang terkandung di dalam tar yang merupakan hasil dari suatu proses distilasi adalah senyawa fenol yang terdapat dalam jumlah yang sedikit terutama terdiri dari senyawa piridin dan quinolin (Holleman, 1903).

E. Perkembangan Produksi Asap Cair

Asap cair adalah kondensat komponen asap yang bisa digunakan untuk menciptakan flavor asap pada produk (Whittle dan Howgate, 2002). Asap cair sudah dibuat pada akhir tahun 1800-an, tapi baru sepuluh sampai lima belas tahun belakangan digunakan secara komersial pada industri pengasapan ikan (Moody dan Flick, 1990).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan produk asap cair, diantaranya melihat sifat kimia dan komposisi kimia asap cair dari berbagai jenis kayu yang dibuat secara pirolisis pada suhu 350 – 400 °C (Tranggono et al., 1996; Holzschuh et al., 2003). Darmadji (2002) melakukan optimasi kondisi proses barupa suhu distilasi, waktu distilasi dan suhu kondensasi pembuatan asap cair dengan menggunakan bahan tempurung kelapa pada suhu 400 °C yang dibakar selama 1 jam.

Saat ini, asap cair yang beredar di pasaran adalah asap cair yang telah dipisahkan dari komponen tar. Di dalam tar terkandung senyawa Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) yang karsinogenik terhadap manusia. Cara pemisahan komponen tar dari asap cair dilakukan dengan cara mengekstrak kondensat hasil pirolisis dengan menggunakan pelarut antara lain gugus CO, propana, metana, etilen, amonia, metanol, air dan campuran dari satu atau lebih komponen tersebut (Plaschke, 2002).

F. Aplikasi

(26)

pengeringan atau pengovenan sehingga kadar air produk yang dihasilkan dapat lebih rendah yang berdampak pada daya simpan yang lebih lama. Selain itu, senyawa-senyawa Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) dapat diminimalisasi (Maga, 1988).

Pengasapan cair lebih mudah diaplikasikan karena konsentrasi asap cair dapat dikontrol agar memberi flavor dan warna yang sama dan seragam. Asap cair telah juga disetujui oleh banyak negara untuk digunakan pada bahan pangan dan sekarang ini banyak digunakan pada produk daging (Eklund, 1982). Pengasapan cair dilakukan dengan merendam produk pada asap yang sudah dicairkan melalui proses pirolisis. Pengasapan dengan cara ini dilakukan dengan menggunakan larutan asap, baik asap cair alami ataupun sintetik (Maga, 1988).

Penggunaan asap cair menurut Pearson dan Tauber (1973), pada pembuatan makanan yang diasap adalah dengan cara :

a. Mencampur secara langsung ke dalam emulsi daging. b. Pencelupan.

c. Pemercikan cairan (spraying).

d. Penyemprotan kabut asap cair ke dalam ruang pengasapan (atomizing).

e. Asap cair diuapkan dengan cara meletakkan asap cair tersebut di atas permukaan yang panas.

Boetje (1998) melakukan penelitian terhadap total jamur dari ikan asap yang diberikan perlakuan penyuntikan dalam asap cair dalam perlakuan kuring, dan perendaman dalam larutan kuring masing-masing 3 x 10, 9.8 x 103 dan 1.2 x 102.

(27)

Cuka kayu merupakan produk multi manfaat karena dapat berfungsi sebagai penyubur tanaman, hormon dan pupuk, pengendali organisme perusak tanaman dan berfungsi sebagai antiseptik yang optikal. Penggunaannya sebagai pestisida, hormon dan pupuk memberipetunjuk bahea cuka kayu termasuk bagian dari teknologi Clean Development Mechanism. Oleh karena itu, selain dalam penggunaannya tidak memberikan efek pada lingkungan (tidak beracun dan dapat dipegang oleh pemakai), juga terdapat pendaur ulangan unsur C, yaitu pengembalian unsur C ke tanah melalui semprotan pada tanaman yang mengakibatkan tanaman menjadi sehat (Nurhayati et al., 2003).

(28)

III. METODOLOGI

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sabut kelapa dan tempurung kelapa yang didapat dari penjual kelapa parut di Pasar Gunung Batu. Tempurung kelapa dibersihkan permukaannya dari sabut dan dipecah dengan menggunakan golok sampai diameter 5-8 cm, sedangkan sabut dan serbuk kelapa dipisahkan dari jaringannya dengan menggunakan tangan. Untuk bahan analisis digunakan etanol 95 %, akuades, reagen Folin-Ciocalteu, asam tanat 0,2 %, Na2S2O3 5 %, Na2CO3 5 %, indikator fenolphthalein, dan NaOH 0,1 N.

Peralatan yang digunakan adalah pembuat arang, labu leher tiga, kondensor, selang, bunsen, golok, termometer, pH meter, erlenmeyer, gelas piala, tabung reaksi, buret, pipet tetes, labu ukur, vortex shaker, sentrifuse, spektrofotometer, piknometer, dan GC-MS.

B. Metode

Adapun metodologi pelaksanaan penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu :

1. Pembuatan Asap Cair

(29)

Sebelum dibakar, bahan baku dibersihkan terlebih dahulu. Tempurung kelapa dibersihkan untuk menghilangkan sabut dari permukaannya. Setelah itu, tempurung kelapa dipotong-potong sampai berukuran diameter kira-kira 5-6 cm, sedangkan sabut dilepaskan serat-seratnya agar mudah dimasukkan ke dalam alat pembakar.. Pengukuran kadar air dilakukan pada bahan setiap bahan baku sebelum dibakar. Pembuatan asap cair dilakukan dengan menggunakan kiln yang terbuat dari baja tahan karat yang dilengkapi dengan alat pemanas listrik, tiga kondensor dan dua buah labu penampung destilat. Setiap kali pembakaran, kiln dapat memuat 2000 – 2500 gram tempurung kelapa atau 500 gram sabut kelapa. Suhu pengolahan diukur dengan thermokopel yang dipasang pada bagian tengah kiln. Suhu yang digunakan adalah 300 °C dan 500 °C untuk masing-masing bahan dengan pemanasan selama 5 jam. Cairan yang terbentuk mengalir melalui bagian bawah kiln ke alat pendingin, kemudian destilat ditampung dalam 2 buah labu dengan volume 2 liter. Destilat dikumpulkan dalam labu pemisah, dikocok dan dibiarkan 24 jam untuk mengendapkan ter. Bagian atas larutan destilat adalah pyroligneous liquor sedangkan bagian bawah adalah endapan ter (settled ter).

2. Pemurnian Asap Cair

(30)

Pemurnian asap cair dilakukan dengan cara distilasi. Asap cair dimasukkan sebanyak 200 ml ke dalam labu distilasi, dipanaskan menggunakan pemanas listrik. Proses distilasi ini dilakukan untuk mengambil seluruh fraksi dan diatur pada berbagai suhu dan dilakukan hingga suhu maksimum, yaitu 200 °C. Suhu yang ditera adalah suhu asap cair dalam labu distilasi. Uap yang terbentuk lalu masuk ke dalam pipa pendingin balik (condensor) dan destilat ditampung dalam sebuah wadah atau labu.

3. Analisis

Analisis – analisis yang dilakukan antara lain : a. Rendemen (SNI 06-3735-1998)

b. pH (AOAC, 1995)

c. Total Asam Tertitrasi (SNI, 1992) d. Kadar Fenol (Shetty et al., 1995) e. Bobot Jenis (SNI 06-2388-1998)

4. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk menganalisis hasil penelitian yang didapat dan menarik kesimpulan dari apa yang diteliti. Studi pustaka ini dapat berasal dari buku, jurnal, laporan penelitian, majalah, atau melalui media elektronik seperti internet.

C. Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal dengan dua kali ulangan. Faktor-faktor dalam rancangan ini adalah :

a. Sampel yang terdiri dari dua taraf, yaitu a11 = sabut kelapa, dan a12 =

tempurung kelapa

b. Suhu pirolisis yang terdiri dari dua taraf, yaitu a21 = 300 °C, dan a22 = 500 °C

c. Suhu distilasi yang terdiri dari empat taraf, yaitu a31 = T < 100 °C, a32 = 100

°C < T < 125 °C, a33 = 125 °C < T < 150 °C, dan a34 = 150 °C < T < 200 °C.

(31)

Y =

μ

+ aij +

ε

dimana Y = Pengamatan hasil percobaan μ = Rataan umum

aij = Faktor ke-i, taraf ke-j

(32)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Suhu Terhadap Produksi Asap Cair Secara Pirolisis

Gambar 3. Sabut dan tempurung kelapa

Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan asap cair pada penelitian ini adalah tempurung dan sabut kelapa (Gambar 3) yang mengalami proses pirolisis pada dua suhu yang berbeda, yaitu 300 °C dan 500 °C. Suhu 300 °C dipilih sebagai suhu pembakaran, karena menurut Girard (1992) dan Maga (1988), pada suhu 300 °C komponen selulosa terdekomposisi menghasilkan asam-asam organik. Suhu 500 °C dipilih sebagai suhu pembakaran, karena menurut Girard (1992) dan Maga (1988) pada suhu 500 °C komponen kayu seperti lignin dapat diuraikan dan menghasilkan berbagai macam senyawa seperti fenol, guaiakol, dan sebagainya. Selain itu, suhu 500 °C juga merupakan suhu pembakaran maksimal pada proses pembuatan asap cair. Pada suhu diatas 500 °C, yang terjadi bukan lagi dekomposisi komponen-komponen kayu menjadi senyawa-senyawa organik, melainkan proses pemanasan dan pemasakan arang. Menurut Girard (1992), reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa kayu adalah :

1. Penghilangan air dari kayu pada suhu 120-150 °C;

2. Pirolisa hemiselulosa pada suhu 200-250 °C yang menghasilkan furfural, furan, asam asetat, dan homolognya;

3. Pirolisa selulosa pada suhu 280-320 °C yang menghasilkan senyawa asam asetat, dan senyawa karbonil seperti asetaldehid, glioksal, dan akreolin; dan 4. Pirolisa lignin pada suhu 400 °C menghasilkan senyawa fenol, guaiakol,

(33)

Perbedaan suhu reaksi penguraian komponen-komponen kayu tersebut menjadi dasar pemilihan suhu pada penelitian ini. Banyaknya kondensat yang diperoleh dihitung dengan membandingkan antara bobot kondensat yang diperoleh dengan bobot awal bahan baku yang dibakar.

Jumlah Kondensat (%b/b) = Bobot kondensat hasil pirolisis (gram) Bobot awal bahan yang dibakar (gram) Jumlah Arang (%b/b) = Bobot arang hasil pirolisis (gram)

Bobot awal bahan yang dibakar (gram) Produksi asap cair sabut dan tempurung kelapa kotor pada dua suhu pirolisis yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Produksi Asap Cair pada Dua Suhu Pirolisis yang Berbeda No Bahan

Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 15

Hasil yang didapat pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tranggono et al. (1996) yaitu sebesar 52,85 %. Tranggono menggunakan bahan baku berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa serta dilakukan pada suhu pembakaran 350 - 400 °C.

Asap cair dari sabut kelapa pada suhu pembakaran 500 °C memiliki bobot yang paling tinggi yaitu sebesar 57,45 %. Hal ini disebabkan karena pada pirolisis dengan suhu 300 °C belum terjadi dekomposisi lignin yang sempurna sehingga jumlah asap yang dihasilkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan pirolisis suhu 500 °C.

(34)

awal sebesar 23,14 % dan 27,04 %, sedangkan tempurung kelapa yang dibakar pada suhu 300 °C dan 500 °C memiliki kadar air masing-masing sebesar 14,06 % dan 14,88 %. Bahan yang memiliki kadar air yang tinggi cenderung menghasilkan kondensat yang lebih banyak. Hal ini dikarenakan pada saat pembakaran berlangsung, kandungan air pada bahan akan ikut menguap pada suhu 100 °C dan mengalami kondensasi ketika uap air melalui kondensor sehingga meningkatkan jumlah kondensat asap cair yang dihasilkan.

Selisih jumlah kondensat yang dihasilkan dari pembakaran sabut pada suhu 300 °C dan 500 °C adalah sebesar 17,16 %, sedangkan selisih jumlah kondensat dari pembakaran tempurung kelapa pada suhu 300 °C dan 500 °C adalah sebesar 2,02 %. Ini menunjukkan bahwa perbedaan kandungan komponen lignin pada sabut, yang lebih besar daripada tempurung kelapa, berpengaruh terhadap jumlah kondensat yang dihasilkan. Sabut kelapa mengandung 29,23-45,84 % lignin, sedangkan tempurung kelapa mengandung 33,30 % lignin (Joseph dan Kindagen (1993); Djatmiko et al. (1985)). Jumlah kondensat asap cair pada suhu pembakaran 500 °C lebih banyak daripada jumlah kondensat pada suhu pembakaran 300 °C karena pada suhu pembakaran 500 °C terjadi dekomposisi lignin pada suhu 400 °C sehingga meningkatkan jumlah kondensat dari asap cair.

Gambar 4. Asap cair sabut dan tempurung kelapa

(35)

tidak terkondensasi dan langsung manguap setelah melewati kondesor. Selain itu, kehilangan bobot pada proses pirolisis ini juga dapat berupa kerak yang tertinggal pada alat pembakaran ataupun pada kondensor.

B. Komponen-Komponen pada Asap Cair

Analisis GC-MS dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis senyawa yang terdapat pada asap cair. Campuran senyawa yang dilewatkan pada kromatografi gas akan terpisah menjadi komponen-komponen individual. Lima senyawa dominan dari masing-masing sampel asap cair dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Senyawa Dominan di dalam Asap Cair Hasil Deteksi GC-MS

No Sampel Komponen %

1 Kondensat Sabut Kelapa Suhu 300 °C 2 Kondensat Sabut Kelapa

Suhu 500 °C

Fenol 44,30 1,2-benzenediol 15,06

2,6-dimethoxy fenol 13,64 4 methyl catechol 5,55 3 methyl-1,2-benzenediol 2,90 3 Kondensat Tempurung Kelapa

Suhu 300 °C

4 Kondensat Tempurung Kelapa Suhu 500 °C

Dari hasil spektra kromatografi gas, senyawa dominan dari masing-masing sampel adalah fenol (C6H6O, BM = 94) dengan luas area bervariasi antara

(36)

cair hasil penelitiannya adalah fenol dengan luas area sebesar 44,13 %. Senyawa dominan lainnya adalah 2,6-dimethoxy fenol yang terdapat pada seluruh sampel dan merupakan senyawa dominan kedua pada sampel yang menggunakan bahan pengasap tempurung kelapa. Senyawa lainnya yang terdapat pada keempat sampel adalah 1,2-benzenediol yang terdapat pada masing-masing sampel dengan persentase luas area yang bervariasi, lalu diikuti oleh 2-methoxy fenol, 4 methyl catechol, 3 methoxy 1,2-benzenediol, dan 3 methyl 1,2-benzenediol.

Dari hasil pengukuran menggunakan GC-MS diatas juga dapat diketahui bahwa asap cair sabut kelapa memiliki kadar fenol yang lebih besar bila dibandingkan dengan asap cair dari tempurung kelapa. Asap cair sabut kelapa memiliki fenol sebesar 44,10 - 44,30 % sedangkan asap cair tempurung kelapa memiliki fenol sebesar 31,93 - 34,45 %. Hal ini berarti bahwa sabut kelapa memiliki potensi yang lebih besar sebagai asap cair daripada tempurung kelapa apabila dilihat dari kandungan fenol pada asap cairnya.

Selain itu, dari pengukuran asap cair menggunakan GC-MS juga dapat diketahui bahwa asap cair yang dibakar pada suhu pembakaran 300 °C memiliki fenol yang tidak jauh berbeda dengan asap cair yang dibakar pada suhu pembakaran 500 °C. Padahal berdasarkan teori, kadar fenol pada asap cair berasal dari dekomposisi lignin pada suhu pembakaran 400 °C yang berarti pada suhu pembakaran 300 °C seharusnya tidak terdapat fenol. Namun, pada penelitian ini diketahui bahwa pada suhu pembakaran 300 °C terdapat fenol yang jumlahnya tidak jauh berbeda dengan fenol yang terdapat pada asap cair dengan suhu pembakaran 500 °C. Dengan kata lain, fenol ternyata tidak hanya dihasilkan dari dekomposisi lignin saja, namun juga dapat dihasilkan dari dekomposisi hemiselulosa atau selulosa pada suhu pembakaran dibawah 300 °C.

(37)

C. Fraksinasi Asap Cair

Distilasi merupakan salah satu cara pemurnian terhadap asap cair, yaitu merupakan proses pemisahan kembali suatu larutan berdasarkan perbedaan titik didihnya. Distilasi asap cair dilakukan untuk memisahkan zat aktif pada asap cair, dalam hal ini berupa fenol dan asam asetat, sehingga didapatkan asap cair yang memiliki sifat pengawetan yang tinggi. Selain itu, distilasi asap cair juga dilakukan untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dan ,berbahaya, seperti Poliaromatik Hidrokarbon (PAH) dan ter, dengan cara pengaturan suhu didih sehingga diharapkan didapat asap cair yang jernih, bebas ter dan benzopiren.

Distilasi ini dilakukan pada empat rentang suhu yang berbeda untuk mendapatkan empat fraksi asap cair. Fraksi-fraksi tersebut yaitu fraksi suhu sampai 100 °C, 100 °C sampai 125 °C, 125 °C sampai 150 °C, dan 150 °C sampai 200 °C (Darmadji, 2002). Rentang suhu distilasi ini dipilih berdasarkan titik didih komponen yang akan dipisahkan. Seperti yang terlihat pada subbab B, komponen dominan pada asap cair adalah fenol. Fenol merupakan zat aktif pada asap cair yang akan dipisahkan dari asap cair. Fraksi suhu sampai 100 °C dipilih untuk menghilangkan kandungan air pada asap cair. Fraksi suhu 100 °C sampai 125 °C dipilih untuk memisahkan senyawa asam organik berupa asam asetat. Asam asetat adalah senyawa yang memiliki titik didih 118 °C. Fraksi suhu 150 °C sampai 200 °C dipilih untuk memisahkan komponen senyawa fenol pada asap cair. Fenol merupakan zat aktif pada asap cair yang memiliki titik didih 181,8 °C.

(38)

Jumlah kondensat hasil pemurnian yang diperoleh dihitung berdasarkan perbandingan volume kondensat yang diperoleh dalam satuan mililiter dengan volume asap cair yang didistilasi dalam satuan mililiter.

Jumlah kondensat (%v/v) = Volume asap cair terdistilasi (ml) Volume awal asap cair yang didistilasi (ml) Jumlah kondensat asap cair pada berbagai rentang suhu distilasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah Kondensat Asap Cair Pada Berbagai Rentang Suhu Distilasi

No Bahan Pengasap Jumlah Kondensat (% v/v)

T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200

Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 16

(39)

Berdasarkan hasil pengamatan dari keempat sampel kondensat yang didistilasi, rendemen distilat asap cair yang terbesar terdapat pada fraksi suhu distilasi sampai 100 °C. Hal ini dikarenakan pada suhu sampai 100 °C hampir semua fraksi air yang ada pada asap cair tersebut menguap sehingga memperbesar rendemen yang diperoleh. Selanjutnya semakin tinggi suhu fraksi distilasi, persentase asap cair yang terekstrak semakin kecil. Hal ini dikarenakan pada suhu fraksi diatas 100 °C, komponen yang teruapkan tidak lagi mengandung air bebas, melainkan hanya komponen-komponen penyusun asap cair sehingga jumlah fraksi asap cair yang dihasilkan tidak terlalu besar.

Fraksi suhu sampai 100 °C diharapkan memiliki komponen dominan berupa air karena 100 °C merupakan titik didih air. Kehadiran air pada fraksi asap cair akan menurunkan kemurnian dari asap cair yang dihasilkan. Oleh karena itu diharapkan fraksi asap cair pada suhu distilasi antara 100 °C sampai 125 °C, fraksi suhu antara 125 °C sampai 150 °C, dan fraksi suhu 150 °C sampai 200 °C tidak lagi mengandung air bebas dan hanya mengandung senyawa aktif yang memiliki sifat pengawet. Pada fraksi suhu 100 °C sampai 125 °C diharapkan mengandung senyawa asam asetat. Asam asetat merupakan senyawa yang memiliki sifat antimikroba. Fraksi suhu 150 °C sampai 200 °C diharapkan memiliki komponen dominan berupa fenol. Fenol merupakan zat aktif pada asap cair yang memiliki sifat antibakteri dan antioksidan.

Hasil pengukuran pada penelitian ini berbeda dengan hasil yang didapat oleh Darmadji (2002) yang menggunakan bahan tempurung kelapa dimana jumlah fraksi suhu sampai 100 °C sebesar 15,72 %, jumlah fraksi suhu 100 °C sampai 125 °C sebesar 42,11 %, jumlah fraksi suhu 125 °C sampai 150 °C sebesar 27,22 %, dan fraksi suhu 150 °C sampai 200 °C sebesar 3,69 %.

D. Sifat Fisik dan Kimia Asap Cair

(40)

diamati adalah bobot jenis, sedangkan sifat kimia yang diamati meliputi pH, kadar asam, dan kadar fenol.

1. Nilai pH

Nilai pH merupakan salah satu parameter kualitas dari asap cair yang dihasilkan. Nilai pH ini menunjukkan tingkat proses penguraian komponen kayu yang terjadi untuk menghasilkan asam organik pada asap cair. Bila asap cair memiliki nilai pH yang rendah, maka kualitas asap cair yang dihasilkan tinggi karena secara keseluruhan berpengaruh terhadap nilai awet dan daya simpan produk asap maupun sifat organoleptiknya. Pengukuran nilai pH ini dilakukan dengan menggunakan alat pH meter.

Hasil pengukuran sampel sebelum distilasi menunjukkan bahwa kenaikan suhu pembakaran tidak mempengaruhi nilai pH dari asap cair. Hal ini dikarenakan komponen kayu yang menghasilkan asam organik dan homolognya, yaitu hemiselulosa dan selulosa, telah mengalami proses pirolisis pada suhu pembakaran dibawah 300 °C. Nilai pH asap cair pada suhu pembakaran 300 °C lebih rendah daripada asap cair pada suhu pembakaran 500 °C karena kadar asam asap cair suhu pembakaran 300 °C lebih besar daripada asap cair suhu 500 °C (lihat Tabel 9).

(41)

kadar fenol yang lebih tinggi daripada sabut kelapa sehingga tempurung kelapa memiliki pH yang kebih rendah daripada sabut kelapa. Nilai pH asap cair pada suhu pembakaran 500 °C lebih besar daripada pH asap cair pada suhu pembakaran 300 °C. Hal ini juga disebabkan karena kadar fenol pada asap cair pada suhu pembakaran 500 °C lebih besar daripada kadar fenol asap cair pada suhu pembakaran 300 °C (lihat Tabel. 12). Seperti yang sudah dikatakan diatas bahwa kadar fenol mempengaruhi keasaman asap cair dimana semakin tinggi kadar fenol maka asap cair akan semakin asam. Nilai pH asap cair pada berbagai variasi bahan pengasap dan suhu pembakaran dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran

No Sampel pH

300 °C 500 °C

1 Sabut Kelapa 3,51 3,55

2 Tempurung Kelapa 2,75 2,80

Nilai pH asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil uji ANOVA dari nilai pH asap cair setelah distilasi (Lampiran 11) menunjukkan bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi menghasilkan nilai pH yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari nilai pH yang semakin kecil (semakin asam) seiring dengan peningkatan suhu distilasi. Dari hasil analisis ANOVA juga dapat diketahui baha suhu pembakaran tidak mempengaruhi nilai pH yang diperoleh. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi nilai pH dari kondensat asap cair.

(42)

sebelumnya bahwa kandungan fenol pada asap cair dapat menurunkan pH asap cair tersebut.

Tabel 8. Nilai pH Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi

(43)

memiliki pH yang sangat rendah karena fraksi-fraksi asap cair tersebut memiliki kadar asam yang sangat tinggi yaitu berkisar antara 43-60 % (Tabel 11). Hasil pengukuran nilai pH pada penelitian ini sesuai dengan standar kualitas wood vinegar asal Jepang yaitu berkisar antara 1,5 sampai 3,7.

2. Kadar Asam

Kadar asam merupakan salah satu sifat kimia yang menentukan kualitas dari asap cair yang diproduksi. Asam organik yang memiliki peranan tinggi dalam asap cair adalah asam asetat. Asam asetat kemungkinan terbentuk sebagian dari lignin dan sebagian lagi dari komponen karbohidrat dari selulosa. Achsan dalam Browning (1963) memformulasikan produksi asam asetat sebagai berikut :

CH2OH CH2OH CH2OH

HOH HO OH OH OH

OH OH OH

CH2OH CH2 CH2OH

HO OH HO OH HO OH

OH OH - H2O - H2O

CH2OH CH2OH CH2

HOCH O HOH

HO OH OH

OH O OH

- H2O

C6H10O5 Dehidration and

(44)

Lalu apabila (C6H10O5)n dihidrolisis akan membentuk glukosa :

(C6H10O5)n + nH2O (C6H12O6)

C6H12O6 3CH3COOH

C6H12O6 CH3CH2CH2COOH + 2HCOOH

Senyawa-senyawa asam pada asap cair memiliki sifat antimikroba. Sifat antimikroba tersebut akan semakin meningkat apabila asam organik ada bersama-sama dengan senyawa fenol.Ssenyawa asam organik terbentuk dari pirolisis komponen-komponen kayu seperti hemiselulosa dan selulosa pada suhu tertentu. Penentuan kadar asam ini dengan menggunakan metode total asam tertitrasi yang dihitung sebagai jumlah asam asetat dalam asap cair.

(45)

Kadar asam asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil uji ANOVA dari kadar asam asap cair setelah distilasi (Lampiran 12) menunjukkan bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi mempengaruhi persentase kadar asam dari asap cair. Hal ini dapat dilihat dari persentase kadar asam yang semakin tinggi (semakin asam) seiring dengan peningkatan suhu distilasi. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi nilai rendemen yang diperoleh.

Kadar asam yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 4,262 % sampai 59,934 % yang jauh berbeda dengan hasil Darmadji (2002) yang dihasilkan pada suhu 400 °C selama 1 jam dengan kadar asam berkisar antara 4,94 % sampai 29,10 %. Hal ini terjadi karena proses pirolisis pada penelitian ini berlangsung selama 5 jam sehingga memungkinkan bagi komponen dari kayu untuk terdekomposisi seluruhnya menghasilkan senyawa-senyawa penyusun asap cair, termasuk asam-asam organik. Apabila pembakaran dilakukan secara cepat, maka ada kemungkinan komponen kayu tersebut tidak terdekomposisi secara sempurna. Selain itu, suhu pembakaran yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi daripada suhu yang digunakan pada penelitian Darmadji (2002). Pirolisis pada suhu 400 °C akan menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas organoleptik tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatik (Girrard, 1992; Maga, 1988).

(46)

Tabel 10. Kadar Asam Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap,

Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 17

Apabila data kadar asam pada Tabel 9 dikalikan dengan jumlah persen kondensat hasil pirolisis pada Tabel 4 dan hasilnya dirata-ratakan, maka akan didapat data kadar asam sebagai asam asetat yang terdapat pada bahan baku asap cair.

Kadar asam pada bahan baku (%)= Kadar asam pada asap cair (%) Jumlah kondensat hasil pirolisis (%) Dari hasil perhitungan kadar asam pada bahan baku didapatkan bahwa kandungan asam organik yang berperan sebagai zat antimikroba pada asap cair pada sabut dan tempurung kelapa relatif sama yaitu sekitar 3,5 %. Data kadar asam pada sabut dan tempurung kelapa dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Kadar Asam pada Bahan Pengasap

No Sampel Kadar Asam (%)

1 Sabut Kelapa 3,552

(47)

3. Kadar Fenol

Fenol merupakan zat aktif yang dapat memberikan efek antibakteri dan antimikroba pada asap cair. Selain itu, fenol juga dapat memberikan efek antioksidan kepada bahan makanan yang akan diawetkan. Identifikasi fenol terhadap kualitas asap cair yang dihasilkan diharapkan dapat mewakili kriteria dari mutu asap cair tersebut, sehingga hasilnya dapat diaplikasikan kepada semua produk pengasapan. Kadar fenol pada asap cair juga menentukan aplikasi asap cair tersebut. Kadar fenol yang rendah digunakan untuk asap cair yang dapat dikonsumsi langsung oleh manusia. Kadar fenol asap cair pada berbagai variasi bahan pengasap dan suhu pembakaran dapat dilihat pada Tabel 12.

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa perbedaan suhu pembakaran dari suatu bahan tidak mempengaruhi kadar fenol dari asap cair. Hal ini dapat dilihat dari kadar fenol yang nilainya hampir sama pada asap cair dengan suhu pembakaran yang berbeda. Sedangkan perbedaan penggunaan bahan pengasap mempengaruhi kadar fenol pada asap cair yang dihasilkan. Perbedaan kadar fenol pada bahan pengasap ini disebabkan oleh perbedaan kandungan lignin pada bahan pengasap. Lignin merupakan komponen kayu yang apabila terdekomposisi akan menghasilkan senyawa fenol. Menurut Djatmiko, et al. (1985), tempurung kelapa mengandung lignin sebesar 33,30 % sedangkan menurut Joseph dan Kindagen (1993), sabut kelapa mengandung lignin sebesar 29,23 %.

Tabel 12. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran

No Sampel Kadar Fenol (%)

300 °C 500 °C

1 Sabut Kelapa 0,89 0,91

2 Tempurung Kelapa 1,40 1,44

(48)

keberadaan oksigen (reaksi oksidasi). Sedangkan bahan pengasap berhubungan langsung dengan jenis bahan yang terdiri atas kayu keras ataupun bahan yang dapat dibakar yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin, persenyawaan protein dan mineral yang mempengaruhi keberadaan senyawa-senyawa kimia asap (Djatmiko et al., 1985).

Kadar fenol asap cair hasil distilasi dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil uji ANOVA dari kadar asam asap cair setelah distilasi (Lampiran 13) menunjukkan bahwa untuk masing-masing sampel (sabut dan tempurung kelapa), suhu distilasi mampu menghasilkan nilai kadar fenol yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari kadar fenol yang cenderung semakin besar seiring dengan peningkatan suhu distilasi kecuali pada fraksi suhu distilasi keempat. Dari analisis ANOVA ini juga dapat dikatahui bahwa suhu pembakaran tidak mempengaruhi kadar fenol yang diperoleh. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi kedua, suhu distilasi mempengaruhi nilai kadar fenol dari asap cair yang diperoleh.

Asap cair yang didistilasi memiliki kadar fenol yang lebih rendah daripada asap cair sebelum distilasi. Hal ini dikarenakan asap cair tersusun dari berbagai macam senyawa fenolat dengan titik didih yang bervariasi. Senyawa fenolat tersebut diantaranya fenol, 2-methyl fenol, 2-methoxy fenol, 2-ethyl fenol, 2,4-dimethyl fenol, 3-ethyl fenol, 3,4-2,4-dimethyl fenol, dan 2-methoxy-4-methyl fenol. Dengan distilasi pada suhu yang berbeda-beda, senyawa-senyawa fenolat tersebut terfraksinasi berdasarkan titik didihnya masing-masing. Selain itu, ada beberapa senyawa fenolat yang memiliki titik didih tinggi sehingga tidak terfraksinasi pada distilasi sampai suhu 200 °C yang digunakan pada penelitian ini sehingga menyebabkan kadar fenol pada asap cair setelah distilasi lebih rendah daripada kadar fenol asap cair sebelum distilasi.

(49)

Tabel 13. Kadar Fenol Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap,

Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 18

Apabila data Tabel 12 dibagi dengan jumlah kondensat pirolisis (Tabel 4) maka akan didapatkan data kadar fenol yang terdapat pada bahan baku asap cair.

Kadar fenol pada bahan pengasap (%) = Kadar fenol asap cair (%)

Jumlah kondensat hasil pirolisis (%) Dari hasil perhiungan kadar asam pada bahan baku dapat dilihat bahwa kandungan fenol pada sabut kelapa lebih sedikit bila dibandingkan dengan kadar fenol yang terdapat pada tempurung kelapa. Hal ini disebabkan karena pada asap cair sabut kelapa tidak mengandung fenol yang bertitik didih tinggi. Hal ini dapat terlihat dari hasil distilasi dimana asap cair sabut kelapa hanya mampu terdistilasi sampai fraksi suhu 100 °C-125 °C. Data kadar fenol pada bahan pengasap dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Kadar Fenol pada Bahan Pengasap

No Sampel Kadar Fenol (%)

1 Sabut Kelapa 0,087

(50)

4. Bobot Jenis

Bobot jenis merupakan rasio antara berat suatu sampel dengan volumenya. Dalam sifat fisik asap cair, bobot jenis tidak berhubungan langsung dengan tinggi rendahnya kualitas asap cair. Namun bobot jenis dapat menunjukkan banyaknya komponen di dalam asap cair. Penentuan bobot jenis asap cair ini dilakukan dengan menggunakan alat piknometer.

Hasil pengamatan bobot jenis asap cair sebelum distilasi menunjukkan bahwa jenis sampel dan suhu pembakaran tidak mempengaruhi nilai bobot jenis dari asap cair. Bobot jenis dari keempat sampel asap cair diatas menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 1,084 sampai 1,119. Bobot jenis asap cair pada berbagai variasi bahan pengasap dan suhu pembakaran dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap dan Suhu Pembakaran

No Sampel Bobot Jenis

300 °C 500 °C

1 Sabut Kelapa 1,091 1,084

2 Tempurung Kelapa 1,113 1,119

Hasil pengamatan bobot jenis fraksi asap cair pada penelitian ini berkisar antara 1,076 sampai 1,151. Hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Nurhayati (2000) yang menggunakan bahan pengasap kayu mengium dan tusam dengan bobot jenis asap cair antara 1,019 sampai 1,028. Hasil pengamatan bobot jenis fraksi asap cair pada penelitian ini lebih besar daripada standar wood vinegar Jepang yang bernilai 1,001 sampai 1,005.

(51)

mempengaruhi nilai bobot jenis asap cair. Apabila dianalisis sampai pada suhu distilasi fraksi kedua, jenis sampel dan suhu distilasi mempengaruhi nilai bobot jenis asap cair yang diperoleh. Bobot jenis ini dipengaruhi oleh berat molekul dari senyawa-senyawa yang menyusun asap cair.

Tabel 16. Bobot Jenis Asap Cair Pada Berbagai Variasi Bahan Pengasap, Suhu Pembakaran dan Suhu Distilasi

Keterangan : Data dan perhitungan pada Lampiran 19

E. Produktivitas Asap Cair Hasil Pemurnian

Perhitungan produktivitas asap cair ini berguna untuk memperkirakan jumlah kondensat asap cair yang didapatkan per 1000 gram bahan baku, dihitung dengan mengalikan persentase kondensat hasil pirolisis (Tabel 4) dengan berat bahan baku, lalu dibagi bobot jenisnya masing-masing (Tabel 15).

Jumlah kondensat pirolisis (ml) = Persen kondensat (%) × 1000 gram Bobot jenis (gr/ml)

Jumlah kondensat distilasi (ml) = Jumlah kondensat pirolisis (ml) × Persen kondensat distilasi (%) Jumlah kondensat distilasi (gr) = Jumlah kondensat distilasi (ml) ×

(52)

Produktivitas = Jumlah kondensat distilasi (gr) × 100 % 1000 gram

Perhitungan produktivitas asap cair ini berguna ketika kita akan mendirikan suatu industri pembuatan asap cair yang dimurnikan, terutama pada saat penentuan kapasitas produksi. Data jumlah kondensat hasil pemurnian per 1000 gram sabut dan tempurung kelapa disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Produktivitas Asap Cair Hasil Pemurnian No Bahan Pengasap Produktivitas (%)

T≤100 100<T≤125 125<T≤150 150<T≤200

Keterangan : Data dan perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 20

(53)

fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi 150<T≤200 °C, grade 2 adalah fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi 125<T≤150 °C, grade 3 adalah fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi 100<T≤125 °C, dan grade 4 adalah fraksi asap cair yang dihasilkan pada suhu distilasi T≤100 °C. Grade 1 adalah asap cair yang memiliki kualitas yang paling tinggi, sedangkan grade 4 adalah asap cair yang memiliki kualitas paling rendah. Kualitas dan kuantitas asap cair pada berbagai grade dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Kualitas Dan Kuantitas Asap Cair pada Berbagai Grade No Grade* Kuantitas

(% b/b)

Kualitas

Kadar Fenol (%) Kadar Asam (%)

1 Grade 1 1,3 - 1,4 0,64 - 0,78 58,63 - 59,93

2 Grade 2 1,8 - 2,1 0,64 43,96 - 44,24

3 Grade 3 7,5 - 14,7 0,59 - 0,64 8,08 - 18,92 4 Grade 4 15,9 - 45,5 0,37 - 0,47 4,15 - 9,65

*Keterangan : Penentuan grade oleh penulis

(54)

cair grade 2 ini hanya terdiri dari asap cair dengan bahan baku tempurung kelapa pada suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C.

Grade 3 merupakan asap cair yang berasal dari distilasi pada suhu 100 °C sampai 125 °C. Asap cair grade 3 ini memiliki kualitas dibawah kualitas asap cair grade 2 karena memiliki kadar fenol dan kadar asam yang lebih rendah. Asap cair grade 3 ini memiliki kadar fenol sebesar 0,59 - 0,64 % dan kadar asam sebesar 8,08 - 18,92 %. Asap cair grade 2 ini memiliki kuantitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan asap cair grade 2 dan grade 1. Jumlah distilat yang bisa dihasilkan pada grade 3 ini adalah sebesar 7,5 - 14,7 %. Asap cair grade 3 ini terdiri dari asap cair dengan bahan baku sabut dan tempurung kelapa dengan suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C.

Grade 4 merupakan asap cair yang berasal dari distilasi pada suhu sampai 100 °C. Asap cair grade 4 ini merupakan asap cair dengan kualitas yang paling rendah karena memiliki kadar fenol dan kadar asam yang paling kecil, yaitu sebesar 0,37 - 0,47 % dan 4,15 - 9,65 %. Walaupun memiliki kualitas yang paling rendah, asap cair drade 4 ini memiliki kuantitas yang paling tinggi diantara grade lainnya, yaitu sebesar 15,9 - 45,5 %. Kuantitas yang tinggi ini disebabkan karena asap cair grade 4 ini memiliki komponen air dalam jumlah yang banyak. Air dapat menurunkan kepekatan dan kualitas dari asap cair. Asap cair grade 4 ini terdiri dari asap cair dengan bahan baku sabut dan tempurung kelapa dengan suhu pembakaran 300 °C dan 500 °C.

(55)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Tempurung dan sabut kelapa memiliki potensi sebagai bahan baku pembuatan asap cair.

2. Kualitas asap cair, yaitu kadar fenol dan asam asetat, dari asap cair tempurung kelapa lebih tinggi dari asap cair sabut kelapa yaitu masing-masing sebesar 19,23 % dan 128,13 % pada suhu pembakaran 300 °C, serta sebesar 30,30 % dan 132,98 % pada suhu pembakaran 500 °C.

3. Distilasi mampu memisahkan berbagai komponen asap cair tempurung dan sabut kelapa menjadi empat fraksi dengan suhu distilasi antara 0 sampai 200 °C. Namun perlu dilakukan aplikasi secara langsung untuk mengetahui kemampuan masing-masing fraksi sebagai pengawet atau fungsi lainnya.

B. Saran

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis. 16th edition. Assiciation of Official Analytical Chemist, Inc. Washington.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. Indonesian University Press. Jakarta.

Boetje. 1998. pengaruh Cara Aplikasi Asap Cair Terhadap Umur Simpan Cakalang Asar dalam Bentuk ‘Steak’. Penelitian Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Browning, B. L. 1963. The Chemistry of Wood. Interscience Publishers John Wiley & Sons, Inc. USA.

Cutting, C. I. 1965. Smoking dalam Fish As Food. Vol 3. Edited by Borgstorm. G. New York. Academic Press. 55-105p.

Darmadji, P. 1995 Produksi Asap Cair dan Sifat-Sifat Fungsionalnya. Fakultas Teknologi Pangan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Darmadji, P. 2002. Optimasi Pemurnian Asap Cair dengan Metode Redistilasi. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 8(3);267-171.

Daun, H.1979. Interaction of Wood Smoke Components and Foods. Food Technol. 33 (5) 66-71.

(57)

Departemen Pertanian. 2002. Statistik Perkebunan Kelapa Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Djatmiko, B., S. Ketaren dan Setyakartini. 1985. Arang Pengolahan dan Kegunaannya. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Eklund. 1982. Inhibitor of Clostridium botulinum Types A and B Toxin Production by Liquid Smoke and NaCl in Hot Process Smoke Flavoured Fish. J. Food Protect. 6:32-41.

Foster, W. W. 1977. The Physic of Wood Smoke dalam Fish as Food. Vol. 3. Edited by Borgstorm. G. London. Three Academic Press.

Fremond,Y., R. Ziller, dan M. De La Motte. 1966. Le Cocotier. Maisonneuve and La Rose, Paris.

Fretheim, K., P. E. Granum dan Vold. 1980 Influence of Generation Temperature on The Chemical Composition, Antioxidative Antimicrobial Effects of Wood Smoke. J. Food Science 45 : 999-1007.

Geankoplis, C. J. 1983. Transport Processes and Unit Operations, 2nd ed. Allyn and Bacon, Inc., Boston.

Girrard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Products. Ellis horwood. New York.

Grimwood, B. E. 1975. Coconut Palm Product Tropical. London. Product Institute.

(58)

Hendra, D. 1992. Hasil Pirolisis dan Nilai Kalor dari 8 Jenis Kayu di Indonesioa Bagian Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 10(4);122-124.

Holleman, H. F. 1903. A Text Book of Organic Chemistry. John Wiley & Sons, New York.

Hollenbeck, C. M. 1978. Summaries of Addition Paper on Smoke Curing. The Symposium Smoke Curing Advances in Theory of Food Tech. Dallas. Texas June 4-7.

Holzschuh, Pierre ; et al. Process for the production of alimentary smoke by pyrolysis, the use of means particularly adapted to said process, smoke and smoked foodstuffs obtained. www.uspto.gov

Immamura, E., dan Y. Watanabe. 2004. Anti-Allergy Composition Comprising Wood Vinegar or Bamboo Vinegar-Distilled Solution. United States Patent Application. Cleveland.

Joseph, G. H. dan J. G. Kindagen. 1993. Potensi dan Peluang Pengembangan Tempurung, Sabut dan Batang Kelapa untuk Bahan Baku. Prosiding Konperensi Nasional Kelapa III, Yogyakarta.

Kuriyama, A. 1961. Destructive distillation of Wood. Overseas Technical Corporation Agency. Tokyo.

Maga, J.A. 1988. Smoke in Food Processing. CRC Press, Florida.

Moeljanto. 1982. Pengasapan dan Fermentasi Ikan. Jakarta. Penebar Swadaya.

Gambar

Tabel 1. Komposisi Kimia Asap Cair
Tabel 2. Komposisi Kimia Tempurung Kelapa
Tabel 3. Komposisi Kimia Sabut dan Serbuk Sabut Kelapa
Gambar 1. Alat pembuat asap cair
+7

Referensi

Dokumen terkait

keterangan tentang kandungan kimia asap cair sabut kelapa yang dihasilkan dari penggunaan berbagai model alat destilator- pirolisis, dilakukan analisis kandungan

Pengambilan fenol dari bio-oil hasil pirolisis tempurung kelapa dapat dilakukan.. dengan pelarut metanol dan asam asetat menggunakan metode

Jika dibandingkan dengan kadar karet kering yang diperoleh dari penggumpalan menggunakan asap cair cangkang kelapa sawit (34,95%) dan asam formiat (31,93%) maka kadar

Fraksi desorpsi yang memiliki kadar asam dan total fenol tertinggi diperoleh pada penggunaan zeolit alam aktivasi sebanyak 90 gram yakni masing-masing sebesar 6,3 % dan 9,4

Dapat dilihat juga hasil dari peneliti lainnya yang melakukan pemurnian asap cair tempurung kelapa secara redistilasi pada suhu 100-125 o C menunujukkan kadar total fenol sebesar

Kadar fenol ini bila dikaitkan dengan pH dan total asam tertitrasi dalam asap cair pada masing- masing perlakuan diperoleh hubungan yaitu semakin tinggi kadar fenol dalam asap cair

Kadar asam asetat yang diperoleh dari hasil pirolisis tandan kosong kelapa sawit berbeda dengan kadar asam asetat hasil pirolisis tempurung kelapa, karena pada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa asap cair yang dihasilkan melalui proses pirolisis TKKS memiliki pH 3,20, kadar fenol 6,85%, kadar asam asetat 16,45%, dan kadar tar 2,96% tergolong