PENGUJIAN DAYA HASIL DAN
KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT HAWAR DAUN
BAKTERI TANAMAN PADI HIBRIDA
ERMELINDA MARIA LOPES HORNAI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengujian Daya Hasil dan Ketahanan Terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri Tanaman Padi Hibrida adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Ermelinda Maria Lopes Hornai
RINGKASAN
ERMELINDA MARIA LOPES HORNAI. Uji Daya Hasil dan Ketahanan Terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri Tanaman Padi Hibrida. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO, WILLY BAYUARDI SUWARNO, ISWARI SARASWATI DEWI.
Tanaman padi hibrida sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah. Dari hasil penelitian telah ditemukan sejumlah hibrida berheterosis tinggi dari galur mandul jantan tipe Wild Abortive dan tipe Kalinga
yang tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri patotipe III, IV dan VIII. Padi hibrida dan galur mandul jantan dengan dua sumber sitoplasma perlu diuji lebih lanjut pada skala yang lebih besar untuk mengidentifikasi genotipe yang resisten terhadap penyakit hawar daun bakteri.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi penampilan karakter agronomi, ragam genetik, tipe daun bendera, eksersi malai dan nilai repeatabilitas
.
Percobaan pertama adalah uji daya
hasil genotipe-genotipe harapan padi hibrida di Indramayu dan KP Muara pada bulan November 2013 hingga bulan Maret 2014. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan genotipe sebagai faktor tunggal dan terdiri atas 3 ulangan di tiap lokasi. Perlakuan terdiri atas 17 genotipe padi hibrida dan tiga varietas pembanding. Karakter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan vegetatif, jumlah anakan produktif, panjang malai, umur berbunga, umur panen, jumlah gabah total per malai, persen gabah isi per malai, persen gabah hampa per malai, bobot 1000 biji dan produktivitas. Percobaan kedua bertujuan untuk menguji ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri di rumah kaca. Bahan tanam yang digunakan adalah 20 genotipe yang sama seperti percobaan pertama. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dua faktor, yaitu genotipe dan hawar daun bakteri patotipe (IV dan VIII) dengan tiga ulangan.Berdasarkan hasil analisis, terdapat pengaruh genotipe yang nyata diantara beberapa karakter agronomi yang diamati. BI485A/BP1(IR53942) memiliki potensi hasil rata-rata 5.8 ton/ha. Jumlah anakan produktif pada genotipe BI485A/BP1(IR53942) termasuk kategori sedang (8-15 batang), persen gabah isi 90.36%, bobot 1000 butir 27.98 g, dan memiliki eksersi malai yang keluar sempurna. Karakter agronomi dari genotipe yang diuji pada umumnya mempunyai koefisien keragaman genetik, koefisien keragaman fenotip, dan repeatabilitas yang rendah. Repeatabilitas yang tinggi terdapat pada karakter umur berbunga. Terdapat sembilan genotipe yang terindikasi tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri yang ditanam pada lokasi Indramayu. Dari hasil penelitan kedua, genotipe yang menunjukkan reaksi agak rentan terhadap penyakit hawar daun bakteri di rumah kaca adalah 29A/H12 pada patotipe IV dan Hipa 6 Jete pada patotipe VIII.
SUMMARY
ERMELINDA MARIA LOPES HORNAI.Evaluation of Yield and Resistance to Bacterial Leaf Blight Disease of Hybrid Rice Plants. Supervised by BAMBANG SAPTA PURWOKO,WILLY BAYUARDI SUWARNO, ISWARI SARASWATI DEWI.
Hybrid rice genotypes are an alternative to improve the productivity of paddy fields. Previous research results showed that several hybrids with high heterosis and resistant to bacterial leaf blight disease pathotype III, IV and VIII were identified. Several hybrid rice genotypes from two sources of cytoplasm (Kalinga and Wild Abortive) need to be tested further on a larger scale to identify genotypes resistant to bacterial leaf blight disease. The objectives of the research were to obtain information on agronomic characters, genetic parameters, and repeatability estimates. The first experiments was yield evaluation of hybrid rice at two locations, i.e. Indramayu and Muara. Evaluation was conducted in November 2013- Maret 2014. The experimental design used was a Randomized Complete Block Design, consisted of three replicates at each site. Factor consisted of 17 genotypes of hybrid rice and three check varieties. Observation was conducted on agronomic characters such as plant height, number of vegetative tiller, number of productive tiller, panicle length, days to flowering, and days to harvesting, total grain number per panicle, percentage of filled grains per panicle, percentage of empty grains per panicle, grain yield per plot, 1000 weight of seeds and productivity. The second experiments was to test resistance to bacterial leaf blight in a greenhouse. The planting material used were the same as the first experiment. The design used in this study is a Randomized Complete Block Design with two factors (genotype and patotipees IV and VIII) and three replications.
Based on the results of the analysis, genotype has significant effect on several variables. Genotype BI485A/BP1 (IR53942) has the potential average yield of 5.8 tons per hectare. The number of productive tillers of genotype BI485A/BP1 (IR53942) was 8-15, percentage of filled grains per panicle was 90.36% and 1000 grain weight was 27.98 g, perfect panicle exertion. Agronomic characters of the tested genotypes have a low coefficient of genetic and phenotypic variability and repeatability estimates for several agronomic traits. There are nine genotypes resistant to bacterial leaf blight disease planted on Indramayu location. Genotypes 29A/H12 and Hipa 6 Jete were susceptible to bacterial leaf blight disease of patotipee IV and VIII, respectively in the greenhouse study.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
PENGUJIAN DAYA HASIL DAN
KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT HAWAR DAUN
BAKTERI TANAMAN PADI HIBRIDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat-NYA penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengujian Daya Hasil dan Ketahanan Terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri Tanaman Padi Hibrida” dengan baik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, M.Sc, Dr. Willy Bayuardi Suwarno SP, M.Si dan Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi, sebagai komisi pembimbing yang memberikan arahan dan motivasi, Dr Desta Wirnas SP, M.Si sebagai penguji luar komisi, Dr Ir Yudiwanti Wahyu E.K, MS sebagai ketua program studi.
2. Kepala Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi) yang telah mengizinkan dan memfasilitasi dalam melakukan penelitian serta menugaskan bapak Mansyur dan bapak Adeng untuk membantu penelitian lapangan dan Dra. Anggi Nasution, bapak Rizal yang telah membantu kelancaran pengujian ketahanan genotipe terhadap HDB patotipe IV dan VIII di rumah kaca 3. Kepala BB Biogen yang telah mengizinkan dan memfasilitasi serta
menugaskan bapak Iman dan bapak Deny untuk membantu dalam penyiapan tanam dan membuat persemaian.
4. Bapak Warlim serta keluarga yang telah membantu percobaan lapang hingga panen di Indramayu
5. Kementerian Pertanian Timor Leste (MAP) program penelitian yang didukung oleh program Seeds of Life yang telah memberikan kesempatan untuk belajar, beasiswa, dan dana penelitian
6. Teman-teman seperjuangan program PBT 2012 yang saling melengkapi melalui belajar kelompok, kekompakan, dan persahabatan.
7. Ayahanda tercinta Victor Lopes Hornai dan ibunda tersayang Flavia Goveia Lopes, Kakak terkasih Asica Hornai dan Julio Bau Loco, Adik Ajo Lopes, Ikun Hornai serta keponakan Netu, Ayu, Ajas, Ersi dan Tanya atas doa, dorongan dan kasih sayang yang telah menguatkan penulis. 8. Suami tercinta Rogerio da Silva dan buah hati yang dinanti kelahirannya
serta keluarga besar Lo’os Locar, Sirigatal, Lonai, Manehitu dan Lo’os cu’u, Leohes, Lokogatal, Lo’os, Mabelis dan Leomalis
Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat dimasa yang akan datang
Bogor, Januari 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian Error! Bookmark not defined.
Hipotesis 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Pemuliaan Padi Hibrida 5
Karakterisasi Tanaman Padi Hibrida 5
Heterosis Pada Tanaman Padi Hibrida 6
Sistim Mandul Jantan Padi Hibrida 6
Penyakit Hawar Daun Bakteri 7
3 METODE 9 Percobaan I Uji Daya Hasil Genotipe-Genotipe Padi Hibrida 9 Tempat dan Waktu Penelitian 9
Bahan dan Alat 9 Metode Penelitian 10
Pelaksanaan Penelitian 10
Pengamatan 11
Analisis Data 12
Percobaan II Uji Ketahanan Terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri 14
Tempat dan Waktu Penelitian 14
Bahan dan Alat 14
Metode Penelitian 15
Pelaksanaan Penelitian 15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16 I Uji Daya Hasil Genotipe-Genotipe Padi Hibrida 16 II Uji Ketahanan Terhadap Hawar Daun Bakteri Error! Bookmark not defined.4 5 SIMPULAN Error! Bookmark not defined.7 DAFTAR PUSTAKA Error! Bookmark not defined.7 LAMPIRAN 42 RIWAYAT HIDUP 50
DAFTAR TABEL
1 Daftar genotipe-genotipe padi hibrida (AxR) 9 2 Sidik ragam analisis per lokasi 124 Kriteria penilaian Ketahanan terhadap HDB Xanthomonas Oryzae
Pv.Oryze 15
5 Hasil analisis ragam gabungan pengaruh genotipe (G), dan interaksi genotipe x lokasi (G x E) terhadap karakter agronomi genotipe padi
hibrida 17
6 Rata-rata tinggi tanaman (cm) dari 20 genotipe padi hibrida pada dua
lokasi 18
7 Rata-rata jumlah anakan fase vegetatif (rumpun) dari 20 genotipe padi
pada dua lokasi 19
8 Rata-rata jumlah anakan produktif (rumpun) dari 20 genotipe padi pada
dua lokasi 20
9 Rata-rata panjang malai (cm) dari 20 genotipe padi hibrida pada dua
lokasi 22
10 Rata-rata umur berbunga (hari) dari 20 genotipe padi pada dua lokasi 23 11 Rata-rata umur panen (hari) dari 20 genotipe padi hibrida pada dua
lokasi 24
12 Rata-rata gabah total (butir) per malai dari 20 genotipe padi pada dua
lokasi 24
13 Rata-rata persen gabah isi per malai (%) dari 20 genotipe padi pada dua
lokasi 25
14 Rata-rata persen gabah hampa per malai (%) dari 20 genotipe padi pada
dua lokasi 26
15 Rata-rata bobot 1000 butir dari 20 genotipe padi pada dua lokasi 27 16 Rata-rata produktivitas (t/ha) dari 20 genotipe padi hibrida pada dua
lokasi 28
17 Tipe daun bendera dari 20 genotipe padi hibrida 29 18 Eksersi malai dari 20 genotipe padi hibrida 30 19 Skoring intensitas serangan hawar daun bakteri di lapangan 31 20 Komponen ragam genetik, ragam lingkungan, ragam interaksi genotipe
x ligkungan, dan ragam fenotipe untuk karakter yang diamati 32 21 Nilai koefisien keragaman genetik, koefisien keragaman fenotipe, dan
nilai repeatabilitas untuk karakter yang diamati 33 22 Hasil uji ketahanan 20 genotipe terhadap pathogen hawar daun bakteri
pada pengamatan I (7 HSI) 35
23 Hasil uji ketahanan 20 genotipe terhadap pathogen hawar daun bakteri
pada pengamatan II (14 HSI) 36
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan Alir Penelitian 3
2 Skema Produksi Benih Padi Hibrida 4
DAFTAR LAMPIRAN
1 Deskripsi varietas pembanding 422 Lay out pelaksanaan percobaan di lapangan lokasi Indramayu 45
3 Lay out lokasi Kebun Percobaan Muara (Bogor) 46
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Padi merupakan tanaman yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi seperti gandum dan jagung. Permintaan akan beras dari tahun ke tahun semakin meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Berdasarkan data sensus penduduk 2005-2010 penduduk Indonesia berjumlah 233.48 juta jiwa (BPS 2012). Kebutuhan konsumsi beras per kapita adalah 139.5 kg per kapita, maka kebutuhan beras mencapai 32.49 juta ton. Pada tahun 2025-2030 laju pertumbuhan penduduk Indonesia diperkirakan 286.02 juta jiwa kebutuhan beras 39.8 juta ton. (Ditjen PSP 2013). Hal tersebut menjadikan padi sebagai tanaman budidaya yang selalu harus diusahakan. Penanaman varietas unggul baru tidak selalu memberikan hasil yang memadai sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan metode-metode baru dikembangkan untuk perbaikan tanaman antara lain dengan cara persilangan, bioteknologi dan rekayasa genetika. Dengan teknik tersebut telah diperoleh antara lain varietas padi unggul baru, padi tipe baru, dan padi transgenik. Sejak penghujung abad ke-20 dikembangkan pula tanaman padi hibrida sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah.
Negara Cina telah sukses menerapkan teknologi padi hibrida dalam meningkatkan produksi padi total dari 128 juta ton menjadi 189 juta ton walaupun terjadi penurunan luas lahan padi dari 36.5 juta ha pada tahun 1975 menjadi 29.2 juta ha pada tahun 2007. Peningkatan produktivitas padi sejak digunakanya padi hibrida tersebut sangat besar yaitu dari 3.5 t/ha menjadi 6.35 t/ha (FAO 2008). Negara di Asia seperti India dan Vietnam juga sedang mengembangkan budidaya tanaman padi hibrida dalam skala yang besar (You et al. 2006).
Padi hibrida berpotensi dikembangkan di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas padi. Padi hibrida dihasilkan melalui pemanfaatan fenomena heterosis pada turunan pertama (F1) dari hasil persilangan antara dua tetua yang
berbeda. Fenomena heterosis menyebabkan tanaman F1 lebih vigor, tumbuh lebih
cepat, anakan lebih banyak, malai lebih lebat dan dapat menghasilkan sekitar 1 t/ha lebih tinggi dibandingkan varietas unggul padi sawah inbrida (Virmani 1999). Keunggulan akibat heterosis tersebut tidak diperoleh pada populasi generasi kedua (F2) dan berikutnya.
Pengembangan padi hibrida di Indonesia menghadapi masalah karena varietas hibrida yang telah dilepas umumnya tidak mempunyai gen ketahanan terhadap hama dan penyakit utama padi yaitu penyakit hawar daun bakteri (HDB) dan wereng batang coklat. Penyakit hawar daun bakteri disebabkan oleh bakteri
2
daun bakteri dapat menyebabkan kehilangan hasil padi 50%. Serangan hawar daun bakteri di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 81.199 hektar (Direktorat Perlindungan Tanaman 2012).
Pengembangan galur mandul jantan dengan tiga sumber sitoplasma dalam perakitan padi hibrida telah dilaporkan oleh Rumanti (2012) dari penelitian tersebut telah diperoleh tujuh belas genotipe padi hibrida berheterosis tinggi dan galur mandul jantan (GMJ) tipe Wild Abortive yang tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri patotipe III (GMJ BI703A), dan patotipe VIII (GMJ BI543A dan I571A), galur mandul jantan tipe Gambiaca tahan patotipe III, IV dan VIII (GMJ BI855A), serta galur mandul jantan tipe Kalinga yang tahan terhadap patotipe III (GMJ BI703A). Patotipe hawar daun bakteri yang paling virulen di Indonesia yaitu patotipe VIII.
Galur mandul jantan tipe Wild Abortive (WA) merupakan galur yang banyak digunakan dalam pengembangan varietas padi hibrida sebagai tetua betina. Galur mandul jantan WA ini dikembangkan pada padi indica dengan sitoplasma yang berasal dari padi liar Oryza rufipogon (Jing et al. 2001). Di Indonesia GMJ tipe WA yang telah digunakan untuk merakit hibrida unggul berasal dari IRRI dan telah diseleksi sehingga memiliki ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri, dan wereng batang coklat yaitu GMJ3, GMJ4 dan GMJ5 (Satoto et al. 2008)
Padi hibrida yang dirakit menggunakan galur mandul jantan dengan tiga sumber sitoplasma (Rumanti 2012) telah diuji oleh Afa et al. (2012) di Sukabumi dan Indramayu. Berdasarkan permasalahan di atas maka padi hibrida galur mandul jantan dengan dua sumber sitoplasma perlu diuji lebih lanjut pada skala yang lebih besar untuk memperoleh padi hibrida yang resisten terhadap penyakit hawar daun bakteri. Serangkaian penelitian dan pengujian dilakukan sebagaimana tercantum pada Gambar 1
Gambar 1 Bagan Alir Penelitian
Genotipe padi hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri
Percobaan I Uji daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri genotipe-genotipe harapan padi hibrida di lapangan (Muara dan Indramayu)
1. Informasi keragaan karakter agronomi padi hibrida
2. Informasi ragam genetik dan repeatabilitas
Percobaan II Uji ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri
1. Informasi ketahanan genotipe-genotipe harapan padi hibrida tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri
3
Tujuan
Penelitian ini bertujuan
1. Untuk mendapatkan informasi penampilan karakter agronomi dan daya hasil dari genotipe-genotipe harapan padi hibrida
2. Untuk mendapatkan informasi ragam genetik dan repeatabilitas pada karakter agronomi dan daya hasil
3. Untuk mengetahui tingkat ketahanan genotipe harapan padi hibrida terhadap penyakit hawar daun bakteri
Hipotesis
1. Terdapat perbedaan keragaan karakter agronomi dan daya hasil di antara genotipe-genotipe harapan padi hibrida yang dievaluasi
2. Terdapat perbedaan nilai repeatabilitas antara karakter agronomi dan daya hasil yang diamati
3. Terdapat genotipe harapan padi hibrida yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri
2
TINJAUAN PUSTAKA
Pemuliaan Padi Hibrida
Pemuliaan tanaman yang memanfaatkan fenomena heterosis telah memberikan hasil lebih tinggi dari varietas inbrida pada berbagai jenis tanaman. Pengaruh heterosis inilah yang dimanfaatkan oleh pemulia tanaman dalam teknologi hibrida yang telah berhasil pada berbagai komoditas seperti jagung, sorgum, kapas, kedelai dan padi. Pada saat ini, sistem CMS (cytoplasmic genetic male sterile) atau galur mandul jantan dan pemulihan kesuburan (restorer) merupakan alat genetik yang efektif digunakan untuk pemuliaan padi hibrida.
4
Gambar 2 Skema Produksi Benih Hibrida Sistim Tiga Galur (BB-Biogen 2006). Varietas padi hibrida diharapkan memiliki daya hasil lebih tinggi dibandingkan varietas yang umum ditanam petani saat ini. Selain keunggulan potensi hasil, padi hibrida juga harus mempunyai berbagai sifat unggul yang terdapat pada varietas yang saat ini banyak ditanam petani. Virmani (1994) melaporkan bahwa berdasarkan penelitian pada musim kemarau 1986 hingga musim hujan 1992, padi hibrida dapat meningkatkan hasil 15-20% di atas varietas inbrida. Padi hibrida yang dihasilkan banyak memiliki latar belakang genetik galur yang berasal dari IRRI. Namun demikian, pemanfaatan galur-galur yang beradaptasi baik di Indonesia mulai dilaksanakan, sehingga pada masa mendatang diharapkan hibrida yang dihasilkan sudah beradaptasi terhadap kondisi agroekosistem di Indonesia. Peluang untuk memperoleh padi hibrida yang demikian cukup besar, karenaVirmani et al.(1997) melaporkan bahwa persilangan indica/japonica tropika prospektif menghasilkan hibrida yang unggul. Perakitan dan pengujian padi hibrida di Indonesia telah menghasilkan tiga kombinasi hibrida harapan dan telah diuji multilokasi pada tahun 2002, dua varietas hibrida telah dilepas, yaitu Maro dan Rokan (BBPTP 2010a).
Deptan (2007) melaporkan bahwa saat ini telah dilepas 31 varietas unggul padi hibrida, 6 varietas dirakit oleh BB Padi, 25 varietas padi hibrida lainnya dimiliki oleh perusahaan berupa 2 padi hibrida rakitan Indonesia, 14 padi hibrida introduksi dari China, 5 dari Jepang, dan 4 dari India. Keunggulan padi hibrida rakitan BB Padi adalah relatif lebih tahan terhadap hama wereng coklat, penyakit tungro dan penyakit hawar daun bakteri. Varietas-varietas padi hibrida yang telah dilepas yaitu: Intani 1, Intani 2, Miki1, Miki 2, Miki 3, Maro, Rokan, Longping Pusaka1, Longping Pusaka 2, Hibrindo R1, Hibrindo R2, Batang Kampar, Batang Samo, Hipa 3, Hipa 4, Manis 4, Manis 5, Segara Anak, Brang Biji, Adirasa-1, Adirasa-64, PP-1, PP-2, Mapan-P.02, Bernas Super, SL-8-SHS, SL-11-SHS, Hipa 5 Ceva, Hipa 6 Jete.
5 rentan terhadap hawar daun bakteri patotipe III dan VIII serta rentan terhadap penyakit tungro, rata-rata produksi 10.6 ton/ha (Suprihatno 1994). Varietas inbrida Ciherang merupakan padi sawah yang dilepas pada tahun 2000 dengan rata-rata produksi 6.0 ton/ha, tahan terhadap hawar daun bakteri patotipe III dan IV (Deptan 2007).
Dewi et al. (2005) melaporkan bahwa pengembangan padi hibrida menghadapi beberapa kendala antara lain: 1) standar heterosis tidak stabil pada lingkungan yang berbeda, 2) produksi benih hibrida masih rendah, karena tidak sinkronnya pembungaan galur CMS dengan restorer (R) dan maintainer (B), 3) galur-galur CMS sangat peka terhadap hama dan penyakit daerah tropis. Namun, dengan pemanfaatan restorer yang tahan, kelemahan tersebut diharapkan dapat tertutupi. BBPTP (2010b) melaporkan bahwa sinkronisasi pembungaan antara galur CMS dan restorer cukup baik dan tidak ada interaksi yang nyata antara galur dan lingkungan. Berbagai penelitian dan percobaan terus dilakukan dengan melibatkan para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, sehingga diharapkan kendala-kendala tersebut dapat teratasi. Rumanti (2012) mengembangkan galur mandul jantan yang lebih stabil fertilitasnya dimana tipe Wild Abortive Gambiaca dan Kalinga bereaksi tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri patotipe III dan IV. Penyakit hawar daun bakteri yang paling virulen di Indonesia adalah patotipe VIII.
Karakteristik Tanaman Padi Hibrida
Padi hibrida merupakan generasi F1 hasil persilangan antara galur mandul
jantan sebagai tetua betina dengan galur pemulih kesuburan sebagai tetua jantan, sehingga ekspresi heterosisnya ditentukan oleh-sifat-sifat dari kedua tetuanya. Tetua-tetua yang superior dapat meningkatkan penampilan agronomis dan bobot hasil hibrida turunan dari berbagai kombinasi persilangan antara galur mandul jantan dan galur pemulih kesuburan (You et al. 2006). Oleh karena itu, penelitian padi hibrida diutamakan pada proses perakitan dan perbaikan galur-galur tetua padi serta proses pembentukan kombinasi persilangan yang menghasilkan produksi dan heterosis tinggi.
Penggunaan sistem tiga galur dalam pengembangan padi hibrida harus menggunakan galur mandul jantan yang dikendalikan oleh gen resesif cms.
Sebagian besar varietas hibrida yang berkembang masih menggunakan galur mandul jantan tipe Wild Abortive (WA), seperti di Cina (Jing et al. 2001) dan di Indonesia (Suwarno et al. 2002). Galur mandul jantan tipe WA merupakan galur mandul jantan yang dikembangkan pada padi indica dengan sitoplasma yang berasal dari populasi padi liar Oryza rufipogon Griff (Eckardt 2006).
Padi hibrida yang dirakit dengan sistem tiga galur merupakan generasi F1
6
Heterosis Pada Tanaman Padi Hibrida
Heterosis adalah salah satu fenomena biologis yang mengacu pada keunggulan fenotipe hibrida yang berasal dari persilangan tetua dengan banyak sifat (Birchler et al. 2003). Nilai heterosis standar dapat digunakan untuk mendapatkan genotipe hibrida yang mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan pembanding varietas komersial. Penyebab heterosis adalah (1) akumulasi gen dominan, (2) heterosigositas dalam arti overdominan (3) interaksi antara alel berbeda lokus. Ekspresi heterosis bisa terwujud bila kedua tetua dengan karakter genetik yang berbeda secara komplementer dapat mewariskanya kedalam hibrida turunan (Syukur et al. 2012)
Sistem Mandul Jantan Padi
Mandul jantan sitoplasmik merupakan kondisi tanaman tidak mampu menghasilkan polen atau tepung sari secara fungsional. Karakter mandul jantan diwariskan secara maternal karena adanya gangguan pada Open Reading Frame
(ORF) pada genom mitokonria (Hanson dan Bentotila 2004). Pistil galur mandul jantan tumbuh normal akan memproduksi biji bila diserbuki oleh polen normal (male fertili) jika tanaman normal memiliki faktor kemandulan pada sitoplasma dengan gen inti yang memulihkan kesuburan bersifat resesif, maka tanaman akan mempertahankan sifat mandul jantan. Menurut Virmani et al. (1999) galur pelestari (maintainer line) adalah galur yang mempunyai sitoplasma normal dimana gen inti berkaitan dengan pemulih kesuburan resesif yang berfungsi untuk melestarikan keberadaan mandul jantan pasangannya. Adanya gen restorer dominan di nukleus pada suatu galur mampu memulihkan kesuburan pada hibrida hasil persilangan antara galur tersebut dengan galur CMS sehingga galur ini disebut sebagai galur pemulih kesuburan atau restorer.
Perakitan tetua tanaman hibrida untuk mendapatkan galur mandul jantan (GMJ atau galur A) dapat dilakukan secara konvensional dengan cara melakukan silang balik sehingga sifat mandul jantan dapat ditransfer pada galur-galur elit yang merupakan galur pelestari (galur B) yang efektif serta beradaptasi dengan lingkungan. Virmani et al. (1997) melaporkan bahwa galur perbaikan kesuburan (galur R) perlu penyeleksian hasil persilangan R x R’ atau A x R dengan seleksi berulang. Dewi et al. (2005) menunjukkan bahwa galur mandul jantan 100% steril yang dirakit dari tetua tahan hawar daun bakteri dapat dihasilkan melalui kombinasi kultur antera dan silang balik. Galur pelestari dan GMJ yang dihasilkan ada yang tahan hawar daun bakteri.
7 Dua faktor utama yang menentukan daya komersial varietas padi hibrida adalah keunggulan daya hasil varietas hibrida yang bersangkutan dan kemudahan produksi benihnya. Teknik produksi padi hibrida lebih rumit dibandingkan teknik produksi jagung hibrida. Kondisi tersebut disebabkan oleh bunga tanaman padi yang bersifat menyerbuk sendiri. Produksi benih padi yang efisien adalah dengan menggunakan persilangan alami antara tanaman CMS dengan tanaman restorer sehingga memerlukan kondisi sinkronisasi pembungaan yang baik. Dengan demikian jumlah benih padi hibrida yang dihasilkan bersifat fluktuatif dan sangat bergantung pada fenotip kedua tetuanya (BBPTP 2010a). Permasalahan produksi akan teratasi bila genotipe dari galur mandul jantan memiliki karakter agronomis, morfologi dan perilaku bunga yang mendukung terjadinya penyerbukan silang. Oleh karena itu selain memiliki sterilitas polen yang baik (100%) dan stabil, maka galur mandul jantan juga harus didukung sejumlah karakter di atas.
Lahan potensial untuk pengembangan padi hibrida di Indonesia luas dan sangat beragam, serangkaian pengujian perlu dilakukan sehingga padi hibrida tidak hanya mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi tetapi juga tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri, tungro, dan wereng batang coklat. Selain itu mutu beras harus diperhatikan agar dapat diterima konsumen (BBPTP 2010b). Rumanti (2012) mengembangkan padi hibrida dengan tiga sumber sitoplasma, secara bertahap yaitu mengevaluasi galur-galur haploid sebagai calon galur pelestari, kemudian menguji ketahanan calon galur pelestari terhadap penyakit hawar daun bakteri dan dilanjutkan perakitan galur mandul jantan yang dilakukan dengan mentransfer sifat mandul jantan ke galur pelestari melalui persilangan antara tiga sumber sitoplasma (WA, Gambiaca dan Kalinga) dengan dihaploid calon galur pelestari.
Galur mandul jantan diperoleh Rumanti (2012) dengan melakukan silang balik berulang dengan galur dihaploid pelestari sebagai recurrent parent, sedangkan padi hibrida diperoleh dengan menyilangkan GMJ yang diperoleh dengan restorer dari Balai Besar Padi. Galur pelestari merupakan polinator spesifik bagi galur mandul jantan sehingga benih yang dihasilkan ketika menyilangkan galur pelestari dengan mandul jantan sebagai tetua betina akan menghasilkan tanaman galur mandul jantan. Galur pelestari mempunyai sitoplasma normal dengan gen rf didalam nukleusnya, sedangkan galur mandul jantan yang juga mempunyai gen pemulih kesuburan resesif (gen rf) mempunyai sitoplasma tidak normal sehingga menyebabkan terjadinya gangguan pada pembentukan polen yang tidak fungsional dengan demikian karakteristik utama galur mandul jantan sangat ditentukan oleh karakter agronomi galur pelestari pasangannya (Virmani et al. 1997).
Penyakit Hawar Daun Bakteri
8
tropis yang panas dan lembab, sehingga perkembangan penyakit lebih optimal (Ismail et al. 2011).
Datta (1981) mengemukakan bahwa gejala serangan Xoo di daerah tropik dapat dibedakan atas tiga tipe, yaitu gejala kresek, gejala leaf – blight dan gejala kuning muda. Gejala kresek dan leaf blight adalah gejala utama dari infeksi Xoo, sedangkan gejala kuning sebagai gejala sekunder. Infeksi pada pembibitan menyebabkan bibit menjadi kering. Manik (2011) melaporkan pemicu serangan hawar daun bakteri dapat disebabkan oleh faktor iklim seperti peralihan musim kemarau ke musim penghujan atau sebaliknya. Adanya kelembaban pada struktur tanah yang memudahkan bakteri untuk berkembang. Pemakaian pupuk N yang berlebihan juga dapat menyebabkan munculnya serangan HDB karena kelebihan N dapat mematahkan sistem ketahanan pada tanaman. Pada permukaan bawah daun bercak yang masih muda, terdapat tetesan cairan (bakteriooze) berwarna kekuning-kuningan mudah diamati pada pagi hari. Apabila diamati di bawah mikroskop, koloni bakteri akan keluar dari tepi irisan daun yang bergejala. Pada varietas peka gejala dapat berkembang sampai ke arah pelepah tanaman (BBPOPT 2007).
Banjarnahor (2010) mengemukakan bahwa bakteri Xoo menginfeksi daun padi melalui hidatoda atau luka, pada pembibitan, gejala pertama tampak berupa bercak-bercak kecil kebasahan pada pinggir daun. Bercak kemudian membesar, daun menguning dan kering dengan cepat. Infeksi juga dapat terjadi mulai pada fase persemaian sampai fase pembentukan anakan. Pada sumber infeksi dapat berasal dari jerami yang telah terinfeksi, tunggul jerami, sisa tanaman yang terinfeksi, benih dan gulma inang. Sel-sel bakteri membentuk butir-butir embun pada pagi hari yang mengeras dan melekat pada permukaan, ada dua macam gejala penyakit hawar daun bakteri yaitu gejala yang terjadi pada tanaman muda kurang dari 30 hari setelah tanam disebut gejala kresek sedangkan gejala yang timbul setelah tanaman mencapai stadia anakan sampai pemasakan disebut hawar (blight). Kresek merupakan gejala yang paling merusak, sedangkan gejala yang paling umum dijumpai adalah hawar. Bakteri ini terdapat dalam berkas-berkas pembuluh, jika daun yang sakit dipotong dan diletakkan di dalam ruangan yang lembab, dari berkas pembuluhnya akan mengalir lendir (Kadir et al. 2011).
Berdasarkan karakteristik fenotipik maupun genotipiknya, Xoo
dikelompokkan ke dalam strain (pathotype) maupun haplotype yang berbeda antar geografi yang berbeda (Leach et al. 1990; George et al. 1996). Di Indonesia telah dijumpai 11 kelompok strain Xoo dengan tingkat virulensi yang berbeda (Hifni et al. 1996). Kadir et al. (2011) melaporkan terdapat 12 kelompok strain Xoo. Sampai saat ini perbedaan antar strain Xoo belum dapat diketahui dengan jelas. Munculnya strain baru memerlukan teknik diagnosis yang erat kaitannya dengan deteksi dan identifikasi. Diagnosis penyakit bakteri biasanya dilakukan berdasarkan kemunculan suatu gejala dan eksudat bakteri dari jaringan tanaman. Identifikasi diperlukan terhadap patotipe bakteri, sehingga validitas patotipe dapat dilanjutkan kepada uji kelompok strain yang telah diketahui.
9 dalam senyawa tersebut dapat meracuni manusia, ternak piaraan, serangga penyerbuk, musuh alami, tanaman, serta lingkungan sehingga dapat menimbulkan pengaruh negatif disamping itu penggunaan senyawa kimia yang berlebihan dan terus menerus membuat hama dan penyakit menjadi resisten (Ismail et al. 2011)
3
METODE
Percobaan I Uji Daya Hasil Genotipe-Genotipe Harapan Padi Hibrida
Tempat dan Waktu Penelitian
Percobaan ini dilakukan pada bulan November 2013 sampai dengan bulan Maret 2014. Penanaman bahan percobaan dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Muara dan sawah petani di Indramayu dengan luas lahan percobaan masing-masing 376 m2.
Bahan dan Alat
Bahan tanam yang digunakan dalam percoban ini adalah 17 genotipe hibrida dan tiga varietas pembanding yang terdiri atas dua varietas padi unggul hibrida nasional dan satu varietas padi inbrida (Tabel 1). Alat yang digunakan traktor, cangkul, tali rafia, bambu, alat ukur serta alat tulis.
Tabel 1 Daftar genotipe-genotipe padi hibrida (A x R)
No Genotipe Sumber Sitoplasmik
1 25A/H3 Wild Abortive
2 29A/H1 Wild Abortive
3 29A/H2 Wild Abortive
4 29A/H11 Wild Abortive
5 29A/H12 Wild Abortive
6 29A/H13 Wild Abortive
7 29A/H16 Wild Abortive
8 29A/H19 Wild Abortive
9 97A/H4 Wild Abortive
10 97A/H6 Wild Abortive
11 97A/H20 Wild Abortive
12 BI485A/BPI (IR53942) Wild Abortive
13 BI485A/BP4 (BP1028F) Wild Abortive
14 BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B) Wild Abortive
15 BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1) Wild Abortive
16 BI485A/BP10 (CRS9:BP2278-2E 17-1) Wild Abortive
17 BI639A/BP5(BH25B-MR-2-2-B) Kalinga
18 Hipa 6 Jete Wild Abortive
19 Maro Wild Abortive
10
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan genotipe sebagai faktor tunggal dan terdiri atas 3 ulangan di tiap lokasi. Masing-masing ulangan terdiri atas 17 genotipe padi hibrida dan 3 varietas pembanding. Unit percobaan ialah petak berukuran 2 m x 3 m. Model aditif linear yang digunakan untuk analisis per lokasi menurut Gomez dan Gomez (1995) adalah :
ij j
i ij
Y
Keterangan :
i : 1, 2, …, 20 dan j=1, 2,3
Yij : Hasil pengamatan pada genotipe ke-i dan ulangan ke-j
: Rataan umum i
: Pengaruh genotipe ke-i j : Pengaruh ulangan ke-j
ij : Pengaruh galat percobaan pada genotipe ke-i dan ulangan ke-j yang
menyebar normal (0, 2)
Model aditif linear untuk ragam gabungan yang digunakan antara genotipe dan lingkungan menurut Gomez dan Gomez (1995) adalah sebagai berikut :
ijk ij
i j
k j
ijk
Y
( )
(
)
Keterangan :
i : 1, 2, …, 20 dan k=1, 2, 3 ijk
Y : Hasil pengamatan genotipe ke-i, lokasi ke-j, dan ulangan ke-k : Rataan umum
j : Pengaruh lokasi ke-j
) (j k
: Pengaruh ulangan ke-k dalam lokasi ke-j i
: Pengaruh genotipe ke-i ij
)
( : Pengaruh interaksi dari genotipe ke-i dengan lokasi ke-j ijk
: Pengaruh galat percobaan pada genotipe ke-i, lokasi ke-j dan ulangan ke-k yang menyebar normal (0,2)
Pelaksanaan Penelitian
Pengolahan tanah dilakukan dua hingga tiga kali dengan kedalaman 10 cm - 20 cm menggunakan bajak singkal. Pada pengolahan tanah tahap pertama, setelah tanah diolah dibiarkan selama satu minggu dengan digenangi air. Pada pengolahan tahap kedua tanah dibajak dan digaru untuk melumpurkan dan meratakan tanah. Petak percobaan dengan ukuran 2 m x 3 m sebanyak 60 petak tiap lokasi, jarak tanam 25 cm x 25 cm sehingga jumlah baris 8 dan tanaman dalam baris 12, total tanaman 96 rumpun per petak.
11 Bibit ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm pada kedalaman 2 cm, sebanyak 1 bibit per lubang. Penyulaman tanaman dilakukan bersamaan pada umur 2 MST dengan sistem sulam pindah. Pengendalian gulma dilakukan pada saat tanaman berumur 2 –7 MST. Pengairan kedalaman air dalam petak setinggi 2-5 cm hingga tanaman berumur 10 HST. Pada fase keluar bunga sampai 10 hari sebelum panen, lahan terus digenangi air setinggi 5 cm, selanjutnya lahan dikeringkan untuk mempercepat dan meratakan pemasakan gabah dan memudahkan panen.
Aplikasi pemupukan dilakukan sebanyak tiga kali. Pupuk yang digunakan adalah Urea dengan dosis 200 kg/ha. SP36 150 kg/ha dan KCl 100 kg/ha (Balitbang 2007). Kebutuhan pupuk dalam penelitian per lokasi yaitu: Urea 7.52 kg diberikan 3 kali dengan dosis 2.51 kg/lokasi pada saat tanam, 2.51 kg/ lokasi pada 4 minggu setelah tanam, 2.51 kg/lokasi pada 7 minggu setelah tanam. Dosis SP36 yaitu 5.64 kg/lokasi dan KCl 3.76 kg/lokasi, diberikan pada saat tanam saja. Pemupukan dilakukan dengan cara menebar pupuk merata ke seluruh areal tanam. Pada saat pemupukan dan 3 hari setelah pemupukan, saluran pemasukan dan pembuangan air ditutup. Penyiangan gulma sesuai dengan kondisi gulma; pengendalian hama dan penyakit disesuaikan pada tingkat serangan.
Pemanenan dilakukan menggunakan kriteria masak fisiologis yang ditandai oleh malai yang berwarna kuning hingga mencapai 80% dalam satu plot.
.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada saat fase vegetatif dengan mengambil 5 tanaman contoh dari setiap varietas pembanding dan genotipe yang diambil secara acak.
a. Karakter Kuantitatif
1. Tinggi tanaman (cm), diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai, pada saat tanaman menjelang panen
2. Jumlah anakan vegetatif (batang/rumpun), hitung dari jumlah anakan pada saat fase vegetatif umur 8 minggu setelah tanam (MST) yang berasal dari tanaman contoh
3. Jumlah anakan produktif (batang/rumpun), dihitung dari jumlah anakan yang menghasilkan malai normal pada rumpun yang berasal dari 5 tanaman contoh, pengukuran dilakukan menjelang panen
4. Panjang malai (cm), diukur dari leher malai sampai ujung malai pengukuran dilakukan saat panen
5. Umur berbunga (hari), dihitung mulai dari semai benih sampai populasi tanaman berbunga ≥ 50% pada setiap petak
6. Umur panen (hari), dihitung mulai dari semai benih sampai gabah berwarna kuning (masak) telah mencapai 80% dalam tiap petak
7. Jumlah gabah total per malai (butir), dihitung dari jumlah gabah dalam tiap malai dari 5 tanaman contoh, jumlah gabah total per malai berasal dari total gabah yang yang berisi maupun gabah hampa dalam tiap malai 8. Persen gabah isi per malai (%) dihitung dengan menggunakan rumus :
% 100 malai per al gabah tot Jumlah
malai per isi gabah Jumlah
12
9. Persen gabah hampa per malai (%), dihitung dengan rumus %
100 malai per al gabah tot Jumlah malai per hampa gabah Jumlah x
10.Bobot 1000 biji (gram), ditimbang dari 1000 biji (gabah isi dari setiap plot)
11.Hasil gabah (ton/ha) pada kadar air 14 %, dihitung menggunakan rumus : Hasil gabah per petak =
kg 1000 ton 1 x 14% kering bobot dipanen yang rumpun jumlah asli rumpun m petak luas m 10000 2 2 x x
12.Skor terhadap gejala penyakit hawar daun bakteri (HDB) menggunakan standar IRRI (2002) dilakukan di lokasi Indramayu dan Muara dengan mengamati semua petak percobaan pada fase tanaman berbunga, pengisiian biji hingga menjelang panen.
b. Karakter Kualitatif
1. Tipe daun bendera, tipe daun bendera diamati dengan mengamati tipe daun bendera yang ada mendatar, miring atau tegak
2. Eksersi malai, diamati pada saat panen dengan mengamati tangkai malai tertutup oleh daun bendera atau tidak
Analisis Data
Semua data pengamatan dianalisis menggunakan bantuan program SAS 9.0 untuk menghitung data yang diperoleh dianalisis dengan uji F dan uji lanjut DMRT pada taraf 5% per lokasi dilakukan jika interaksi GxE nyata dan korelasi ranking (Spearman) antar lokasi tidak nyata. Sidik ragam per lokasi disajikan pada tabel 2.
Tabel 2 Sidik ragam analisis per lokasi. Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah Nilai Harapan
Kuadrat Tengah F-Hitung
Ulangan (r) r-1 Mr - Mr/ Me
Genotipe (G) g-1 Mg
2 2
g e r
Mg / Me Galat (e) (r-1) (g-1) Me
2 e
-
Total rg-1
Sumber dari : Singh dan Chaudhary (1979)
Keterangan : R : Banyaknya ulangan, g : Banyaknya genotipe, r2g : Ragam ulangan, e2 : Ragam galat,
2 g
13 Analisis Ragam Gabungan Antar Lokasi
Analisis ragam gabungan menggunakan model tetap (Tabel 3) dilakukan untuk menganalisis dan komponen ragam pada karakter-karakter agronomi dan daya hasil dari dua lokasi uji, dan selanjutnya digunakan untuk analisis genetik. Uji F dilakukan dengan prosedur model tetap karena genotipe-genotipe yang diuji adalah genotipe terpilih, dan kesimpulan yang diperoleh ditujukan untuk genotipe-genotipe tersebut (tidak dilakukan ekstrapolasi).
Tabel 3 Sidik ragam analisis gabungan antar lokasi Sumber
Keragaman
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
Nilai Harapan Kuadrat Tengah
Lingkungan (E) l -1 Mr
Ulangan/lingkungan (r1)l r/l
Genotipe (G) g1 g e r gl rl
2
2
Interaksi (GxE) (l1)(g1) gl
2 2
gl e r
Galat l(r1)(g1) e2
Total r l g-1
Sumber dari: Annicchiarico (2002)
Keterangan: r : Banyaknya ulangan, l : Banyaknya lokasi, g : Banyaknya genotipe, 2
l
: Ragam lokasi, g2 : Ragam genotipe, gl2 : Ragam interaksi, 2 e
: Ragam galat, M: musim.
Analisis Genetik
Analisis ini digunakan untuk menduga nilai komponen ragam, koefisien keragaman dan repeatabilitas
Pendugaan Nilai Komponen Ragam
Nilai komponen ragam yang diperoleh adalah ragam genetik (g2), ragam lingkungan (l2), ragam interaksi genotipe x lingkungan (gl2 ) dan ragam fenotipe ( 2p). Analisis dilakukan berdasarkan pemisahan nilai harapan kuadrat tengah dan hasil analisis gabungan (Tabel 3). Hasil analisis komponen ragam digunakan untuk menduga nilai repeatabilitas arti luas dan koefisien keragaman. Pendugaan ragam genetik, ragam lingkungan, ragam interaksi genotipe x lingkungan dan ragam fenotipe (Annicchiarico 2002) adalah sebagai berikut:
a. Ragam genetik (G) : g2=
rl M Mg gl
b. Ragam lingkungan (L) : 2 e
14
c. Ragam interaksi (G x L) : 2gl=
r M Mgl e
d. Ragam fenotipe (P) : 2p= 2 g + rl e 2
+ lgl 2
Koefisien Keragaman
Pendugaan koefisien keragaman genetik dan fenotipe dilakukan menggunakan ragam dari analisis komponen ragam genetik dan fenotipe. Rumus koefisien keragaman genetik (KKG) dan koefisien keragaman fenotipe (KKP) (Sleper dan Poehlman 2006; Singh dan Chaudhary 1979) adalah sebagai berikut:
a. Koefisien keragaman genetik (KKG) 100% 2
x
g
b. Koefisien keragaman fenotipe (KKP) = 100% 2
x
p
Keterangan : g2 : Ragam genetik, 2p : Ragam fenotipe, : Rataan umum Repeatabilitas
Nilai repeatabilitas dalam konteks ini equivalen dengan nilai heritabilitas arti luas. Pendugaan repeatabilitas (R) dilakukan dengan membandingkan ragam genetik (g2) dan ragam fenotipe mean basis (2p) (Singh dan Chaudhary 1979, Annicchiarico 2002). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
l gl rl e g g p g R 2 2 2 2 2 2
Stanfield (1983) memberikan kriteria atas nilai heritabilitas dalam arti luas sebagai berikut :
a. 0.50 < h2 < 1.00 : Tinggi
b. 0.20 ≤ h2≤ 0.50 : Sedang
c. h2 < 0.20 : Rendah
Percobaan II Uji Ketahanan Terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri
Waktu dan Tempat Penelitian
Percobaan ini dilakukan pada bulan Februari 2014 hingga Juni 2014 di rumah kaca Kebun Percobaan Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi), Muara-Bogor, Jawa Barat.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 17 genotipe padi hibrida dan tiga varietas pembanding sama seperti pada Percobaan 1, media Wakimoto, patotipe patotipe IV dan VIII. Alat yang digunakan adalah autoclaf,
15
Metode Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT). Dua faktor yaitu genotipe dan dua patotipe (IV dan VIII) terdiri atas 3 ulangan. Unit percobaan terdiri atas satu ember per patotipe sehingga terdapat 120 ember untuk penelitian ini.
Pelaksanaan Penelitiaan
Penanaman dilakukan pada pot yang berdiameter 40 dan tinggi 20 cm dengan cara pindah tanam. Benih dikecambahkan terlebih dahulu selama tiga hari kemudian ditanam pada pot sebanyak empat bibit untuk setiap potnya. Selanjutnya tanaman dipelihara sesuai standar pemeliharaan tanaman padi.
Perbanyakan patotipe bakteri patotipe IV dan VIII menggunakan media Wakimoto dilakukan pada tabung kaca, setelah 48 jam, patotipe dipanen. Suspensi konidia dibuat dengan cara menambahkan 10 ml air steril yang sudah mengandung Tween 20 dan digosok sehingga didapatkan suspensi konidia Xoo. Konidia yang digunakan untuk menginfeksi tanaman 108 cfu (Suparyono et al. 2004). Patotipe bakteri Xoo yang diuji, diinokulasikan dengan metode gunting yang telah dicelupkan ke dalam bakteri patotipe IV dan VIII. Setiap genotipe terdiri atas tiga rumpun tanaman yang diuji. Inokulasi dilakukan dengan mengunting setiap lima helai daun pada tanaman berumur 55-60 hari. Reaksi ketahanan genotipe dikelompokkan berdasarkan keparahan penyakit menggunakan skala sesuai kriteria IRRI pada Standard Evaluation System for Rice (IRRI 2002) (Tabel 4).
Tabel 4 Kriteria penilaian ketahanan terhadap hawar daun bakteri Xanthomonas Oryzae pv.Oryzae (IRRI 2002)
Skala Gejala Serangan Tingkat ketahanan
0 Tidak ada gejala Sangat Tahan (ST)
1 Keparahan 1-6% Tahan (T)
3 Keparahan > 6-12% Agak Tahan (AT) 5 Keparahan > 12-25% Agak Rentan (AR) 7 Keparahan > 25-50% Rentan (R)
16
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
I Uji Daya Hasil Genotipe-Genotipe Harapan Padi Hibrida
Pelaksanaan penelitian dilakukan pada dua lokasi yaitu lokasi Indramayu dan kebun percobaan Muara Bogor. Penelitian pada dua lokasi secara umum berjalan cukup baik. Kondisi dalam penelitian ini berbeda untuk tiap lokasi. Lokasi Indramayu memiliki keterbatasan air karena tergantung pada air hujan. Lokasi KP Muara merupakan daerah endemik hawar daun bakteri memiliki ketersediaan air sangat memadai karena ada jaringan irigasi.
Daya tumbuh dari beberapa genotipe kurang dari 50% sehingga dilakukan penyulaman 2 minggu setelah tanam sebanyak 10-15 bibit per genotipe. Penyulaman dilakukan pada ulangan I dan ulangan II. Genotipe-genotipe yang disulam adalah 25A/H3, 29A/H1, 29A/H2, 97A/H6, 97A/H20, BI485A/BP1(IR53942), BI485A/BP4 (BP1028F), BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B), BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1), BI485A/BP10 (CRS9:BP2278-2E 17-1), BI639A/BP5(BH25B-MR-2-2-B) dan tiga varietas pembanding Hipa 6 Jete, Maro, Ciherang.
Di lokasi KP Muara tanaman pada fase vegetatif ada serangan wereng sehingga air di dalam petak dikeringkan dan saat tanaman pada fase pengisian biji terjadi serangan hawar daun bakteri dan hama walang sangit (Leptocorisa oratoris). Walang sangit mengisap cairan bulir padi sehingga menyebabkan gabah berubah warna, mengapur dan hampa sehingga hama ini sangat mempengaruhi pengisian biji gabah, serangan ini ditanggulangi dengan penggunaan insektisida pada lokasi uji
A Karakter Kuantitatif
Keragaan Karakter Agronomi
Keragaan karakter agronomi yang diamati pada genotipe-genotipe padi hibrida yang diuji terdiri atas tinggi tanaman, jumlah anakan vegetatif jumlah anakan produktif, panjang malai, umur berbunga, umur panen, jumlah gabah total per malai, persen gabah isi per malai, persen gabah hampa per malai, bobot 1000 butir dan produktivitas.
17 Tabel 5 Hasil analisis ragam gabungan pengaruh genotipe (G), dan interaksi genotipe x lokasi (G x E) terhadap karakter agronomi genotipe padi hibrida
Kuadrat Tengah Karakter pengamatan Genotipe (G) Interaksi G x L
Tinggi tanaman 122.35** 66.97**
Jumlah anakan vegetatif 27.60** 12.12tn Jumlah anakan produktif 28.11** 10.37tn
Umur berbunga 101.31** 10.04**
Panjang malai 9.89** 1.91tn
Umur panen 27.09** 9.33**
Jumlah gabah total 2229.34** 962.40** Persen gabah Isi per malai 135.43* 102.09** Persen gabah hampa per malai 135.43* 102.09** Bobot 1000 butir 7.02** 1.24*
Produktivitas 9.67** 3.14**
Keterangan * Berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** Berpengaruh nyata pada taraf 1%, tn: tidak berpengaruh nyata.
[image:31.595.109.510.129.349.2]18
Tabel 6 Rata-rata tinggi tanaman (cm) dari 20 genotipe padi hibrida pada dua lokasi
No Genotipe
Lokasi
Indramayu
KP
Muara Rataan
1 25A/H3 104.0a 108.6ab 106.3a
2 29A/H1 90.2 defgh 108.9ab 99.6bcd
3 29A/H2 89.6efgh 108.9ab 99.3bcd
4 29A/H11 86.4fgh 111.5a 99.0bcd
5 29A/H12 81.1i 100.1bc 90.6f
6 29A/H13 83.9ih 100.4bc 92.2ef
7 29A/H16 84.4gih 97.9c 91.1f
8 29A/H19 93.8bcdef 107.2ab 100.5abcd
9 97A/H4 92.1cdefg 101.4bc 96.7cde
10 97A/H6 91.8cdefg 99.7bc 95.7def
11 97A/H20 100.4ab 107.8ab 104.1ab
12 BI485A/BP1(IR53942) 99.2abc 105.6abc 102.4abc 13 BI485A/BP4 (BP1028F) 98.0abcd 108.2ab 103.1ab 14 BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B) 96.1abcde 109.0ab 102.6abc 15 BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1) 100.7ab 106.3abc 103.5ab 16 BI485A/BP10(CRS9:BP2278-2E 17-1) 103.2a 104.7abc 103.9ab 17 BI639A/BP5(BH25B-MR-2-2-B) 96.5abcde 102.8abc 99.6bcd
18 Hipa 6 Jete 91.1cdefg 111.6a 101.3abcd
19 Maro 100.5ab 108.0ab 104.3ab
20 Ciherang 100.5ab 102.4abc 101.4abcd
Rata-rata 94.1 105.3 99.8
Koefisien Keragaman (%) 4.4 4.4 4.4
Korelasi antar lokasi 0.13tn
Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
[image:32.595.49.490.101.521.2]19 Tabel 7 Rata-rata jumlah anakan fase vegetatif (rumpun) dari 20 genotipe padi
pada dua lokasi
No Genotipe
Lokasi
Indramayu
KP
Muara Rataan
1 25A/H3 16.1 22.8 19.5bc
2 29A/H1 19.6 25.0 22.3abc
3 29A/H2 18.2 20.0 19.1bc
4 29A/H11 18.3 23.9 21.1bc
5 29A/H12 22.0 24.6 23.3abc
6 29A/H13 19.8 28.2 24.0ab
7 29A/H16 20.8 23.0 21.9abc
8 29A/H19 21.5 21.7 21.6abc
9 97A/H4 18.6 23.8 21.2bc
10 97A/H6 18.4 19.1 18.7bc
11 97A/H20 18.9 24.8 21.8abc
12 BI485A/BP1(IR53942) 21.7 23.9 22.8abc
13 BI485A/BP4 (BP1028F) 19.6 19.8 19.7bc
14 BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B) 17.4 22.5 20.0bc 15 BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1) 20.1 16.8 18.5c 16 BI485A/BP10(CRS9:BP2278-2E 17-1) 17.0 20.6 18.8bc 17 BI639A/BP5(BH25B-MR-2-2-B) 18.1 18.0 18.0c
18 Hipa 6 Jete 24.7 28.2 26.5a
19 Maro 21.7 23.2 22.4abc
20 Ciherang 19.9 20.6 20.2bc
Rata-rata 19.6 22.5 21.0
Koefisien Keragaman (%) 14.5 20.5 18.2
Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
20
genotipe yang mempengaruhi keragaan jumlah anakan vegetatif per rumpun. Soemartono (1993) menjelaskan karakter jumlah anakan selain dipengaruhi secara genetik dan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Menurut Rachmawati et al
[image:34.595.69.489.213.620.2](2014), jumlah anakan berkorelasi positif nyata dengan hasil, dengan adanya peningkatan jumlah anakan akan cenderung diikuti dengan penambahan hasil gabah per rumpun tanaman.
Tabel 8 Rata-rata jumlah anakan produktif (rumpun) dari 20 genotipe padi pada dua lokasi
No Genotipe
Lokasi
Indramayu
KP
Muara Rataan
1 25A/H3 11.6 15.0 13.3f
2 29A/H1 18.0 21.4 19.7abcd
3 29A/H2 15.6 19.8 17.7abcde
4 29A/H11 16.8 22.2 19.5abcd
5 29A/H12 15.8 25.8 20.8abc
6 29A/H13 13.5 24.6 19.1abcd
7 29A/H16 15.2 23.8 19.5abcd
8 29A/H19 17.6 26.7 22.1a
9 97A/H4 13.2 22.6 17.9abcde
10 97A/H6 14.5 19.8 17.2cde
11 97A/H20 12.9 24.0 18.5abcde
12 BI485A/BP1(IR53942) 13.6 20.0 16.8def
13 BI485A/BP4 (BP1028F) 13.9 18.8 16.4def
14 BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B) 13.4 21.0 17.2cde 15 BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1) 13.6 18.7 16.1def 16 BI485A/BP10(CRS9:BP2278-2E 17-1) 12.6 17.4 15.0ef 17 BI639A/BP5(BH25B-MR-2-2-B) 16.0 21.2 18.6abcde
18 Hipa 6 Jete 15.6 26.8 21.2ab
19 Maro 12.5 19.8 16.0def
20 Ciherang 12.9 21.6 17.2cde
Rata-rata 14.4 21.8 17.9
Koefisien Keragaman (%) 17.7 13.7 15.4
Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
21 per rumpun, dan yang terendah adalah 25A/H3 yaitu 15.0 per rumpun. Menurut Peng et al.(2008), jumlah anakan produktif yang ideal untuk padi tipe baru (PTB) yaitu 10-15 batang untuk kondisi sawah. Jumlah anakan produktif sebaiknya seimbang dengan jumlah anakan vegetatif (Dewi et al. 2009). Varietas padi dikategorikan menjadi empat kelompok berdasarkan jumlah anakan total per rumpun, yaitu (1) jumlah anakan sedikit (<8 anakan), (2) jumlah anakan kategori sedang yaitu 8-15 anakan dan (3) jumlah anakan kategori banyak yaitu > 15 anakan (Las et al. 2004). Dari 20 genotipe yang diuji yang termasuk kategori banyak pada lokasi Indramayu adalah genotipe 29A/H1, 29A/H2, 29A/H11, 29A/H12, 29A/H16, 29A/H19, BI639A/BP5(BH25B-MR-2-2-B), dan varietas Hipa 6 Jete. Di lokasi KP Muara dari 20 genotipe yang diuji jumlah anakan produktif termasuk dalam kategori memiliki anakan produktif yang banyak karena berkisar 15.0- 26.8 anakan.
Tabel 9 Rata-rata panjang malai (cm) dari 20 genotipe padi hibrida pada dua lokasi
No Genotipe
Lokasi
Indramayu
KP
Muara Rataan
1 25A/H3 23.9 26.4 25.1bcd
2 29A/H1 24.2 25.5 24.8bcd
3 29A/H2 24.2 25.1 24.6bcde
4 29A/H11 23.2 24.9 24.1def
5 29A/H12 21.4 23.1 22.2g
6 29A/H13 22.2 23.3 22.8fg
7 29A/H16 23.0 23.1 23.0efg
8 29A/H19 23.7 23.5 24.6cde
9 97A/H4 24.5 25.8 25.2bcd
10 97A/H6 24.4 25.1 24.8bcd
11 97A/H20 25.9 25.0 25.4bcd
12 BI485A/BP1(IR53942) 25.9 26.9 26.4ab
13 BI485A/BP4 (BP1028F) 23.7 24.3 24.0def
14 BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B) 24.8 27.8 26.3abc 15 BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1) 24.6 25.5 25.1bcd 16 BI485A/BP10(CRS9:BP2278-2E 17-1) 28.0 26.2 27.1a 17 BI639A/BP5(BH25B-MR-2-2-B) 25.5 25.2 25.4bcd
18 Hipa 6 Jete 24.2 25.7 24.9bcd
19 Maro 25.1 27.4 26.2abc
20 Ciherang 22.8 23.4 23.1efg
Rata-rata 24.2 25.1 24.7
[image:35.595.110.517.313.702.2]22
Panjang malai terdiri atas tiga kelompok yaitu: (1) kategori pendek ≤ 20 cm, (2) kategori sedang 20-30 cm dan (3) kategori > 30 cm (Rusdiansyah 2006). Berdasarkan kriteria maka 20 genotipe yang di uji termasuk dalam kategori panjang malai sedang karena rata-rata panjang malai berkisar antara 21.4 cm -27.8 cm untuk dua lokasi uji.
[image:36.595.81.484.177.755.2]Hasil analisis gabungan dua lokasi menunjukkan bahwa rata-rata panjang malai dari 20 genotipe pada dua lokasi berkisar antara 22.2 cm -27.1 cm. Di lokasi KP Muara rata-rata panjang malai terpanjang yaitu 27.8 cm sedangkan panjang malai terendah yaitu 23.1 cm. Rataan genotipe yang memiliki panjang malai terpanjang pada lokasi Indramayu adalah BI485A/BP10 (CRS9:BP2278-2E 17-1) yaitu 28.0 cm, dan panjang malai terendah yaitu pada genotipe 29A/H12.
Tabel 10 Rata-rata umur berbunga (hari) dari 20 genotipe padi pada dua lokasi
No Genotipe
Lokasi
Indramayu
KP
Muara Rataan
1 25A/H3 88 87 87dc
2 29A/H1 87 93 90ab
3 29A/H2 87 93 90ab
4 29A/H11 87 93 90ab
5 29A/H12 78 81 79h
6 29A/H13 79 84 81f
7 29A/H16 79 84 81fg
8 29A/H19 86 93 89ab
9 97A/H4 78 81 79gh
10 97A/H6 78 81 79h
11 97A/H20 82 88 85e
12 BI485A/BP1(IR53942) 89 93 91a
13 BI485A/BP4 (BP1028F) 84 88 86de
14 BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B) 86 93 89ab
15 BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1) 84 93 88bc
16 BI485A/BP10(CRS9:BP2278-2E 17-1) 84 88 86de
17 BI639A/BP5(BH25B-MR-2-2-B) 82 88 85e
18 Hipa 6 Jete 88 93 90a
19 Maro 86 84 85e
20 Ciherang 89 93 91a
Rata-rata 84 88 86
Koefisien Keragaman (%) 2.4 0.2 1.7
Korelasi antar lokasi 0.77**
Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
23 kedua lokasi berkisar antara 78-93 hari setelah disemai. Lokasi Indramayu umur berbunga terlama pada 89 hari yaitu pada genotipe BI485A/BP1(IR53942)dan Ciherang dan umur berbunga terpendek pada 78 hari pada genotipe 97A/H6, 97A/H4, 29A/H12. Di lokasi KP Muara umur berbunga terlama 93 hari yaitu pada genotipe 29A/H1, 29A/H2, 29A/H11, BI485A/BP1(IR53942), BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B), BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1), Hipa 6 Jete, Ciherang. Umur berbunga terpendek pada genotipe 29A/H12, 29A/H19, 97A/H6. Umur berbunga akan menentukan periode pengisian benih (Takai et al. 2006). Korelasi antar kedua lokasi berpengaruh sangat nyata hal ini menunjukkan bahwa genotipe yang diuji pada kedua lokasi memiliki ranking yang tidak berubah tidak terlalu pada karakter yang diamati.
Tabel 11 Rata-rata umur panen (hari) dari 20 genotipe padi hibrida pada dua lokasi
No Genotipe
Lokasi
Indramayu
KP
Muara Rataan
1 25A/H3 123a 126b 124b
2 29A/H1 123a 127a 125a
3 29A/H2 123a 127a 125a
4 29A/H11 123a 127a 125a
5 29A/H12 117bc 122d 119g
6 29A/H13 117bc 127a 122d
7 29A/H16 116bc 127a 121e
8 29A/H19 123a 127a 125a
9 97A/H4 117bc 126b 121e
10 97A/H6 114c 122d 120f
11 97A/H20 122a 126b 124b
12 BI485A/BP1(IR53942) 121a 127a 124b
13 BI485A/BP4 (BP1028F) 122a 126b 124b
14 BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B) 122a 127a 124b 15 BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1) 119ab 127a 123c 16 BI485A/BP10(CRS9:BP2278-2E 17-1) 119ab 122d 120f 17 BI639A/BP5(BH25B-MR-2-2-B) 122a 126b 124b
18 Hipa 6 Jete 122a 127a 124b
19 Maro 117bc 123c 120f
20 Ciherang 117bc 127a 122d
Rata-rata 119 125 122
Koefisien Keragaman (%) 1.5 0.1 1.0
Korelasi antar lokasi 0.35tn
[image:37.595.108.513.218.717.2]24
[image:38.595.81.484.207.746.2]Secara umum umur panen tanaman padi dikelompokkan menjadi tiga dihitung dari hari setelah semai benih yaitu (1) umur panen genjah 90-104 hari setelah tanam (2) umur panen sedang 105-120 hari setelah tanam (3) umur panen dalam > 120 hari setelah tanam (BB Padi 2009). Rata-rata umur panen dari 17 genotipe dan tiga varietas pembanding pada dua lokasi berkisar antara 119-125 hari. Di lokasi Indramayu umur panen tertinggi 123 hari yaitu pada genotipe 25A/H3, 29A/H1, 29A/H2, 29A/H11, umur panen terendah pada 114 hari yaitu genotipe 97A/H6. Di lokasi KP Muara umur panen tertinggi 127 hari yaitu pada genotipe 29A/H1, 29A/H2, 29A/H11, 29A/H13, 29A/H16, 29A/H19, BI485A/BP1(IR53942), BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B), BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1), Hipa 6 Jete, Ciherang. Umur panen terendah pada 122 hari yaitu genotipe 29A/H12, 97A/H6, BI485A/BP10 (CRS9:BP2278-2E 17-1)
Tabel 12 Rata-rata jumlah gabah total (butir) per malai dari 20 genotipe padi pada dua lokasi
No Genotipe
Lokasi
Indramayu
KP
Muara Rataan
1 25A/H3 172.7abc 215.0ab 194.2ab
2 29A/H1 177.8abc 207.4abc 192.6abc
3 29A/H2 167.3abc 182.0cdef 174.6bcde
4 29A/H11 158.9abcd 184.5cde 171.7bcde
5 29A/H12 153.5bcd 125.0ij 139.3fg
6 29A/H13 146.4cd 133.7hij 140.1fg
7 29A/H16 163.8abc 163.8defgh 163.8def
8 29A/H19 146.8cd 172.5defg 159.7def
9 97A/H4 164.1abc 162.4defgh 163.3def
10 97A/H6 161.0abcd 144.1ghij 152.6def
11 97A/H20 193.5a 160.7defgh 177.1bcd
12 BI485A/BP1(IR53942) 155.1abcd 157.2efghi 156.1def 13 BI485A/BP4 (BP1028F) 190.7ab 147.3ghij 169.0cde 14 BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B) 144.6cd 171.6defg 158.1def 15 BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1) 144.2cd 155.1efghi 149.7ef 16 BI485A/BP10(CRS9:BP2278-2E 17-1) 160.9abcd 150.6fghij 155.8def 17 BI639A/BP5(BH25B-MR-2-2-B) 163.7abc 146.1ghij 154.9def
18 Hipa 6 Jete 178.7abc 221.8a 200.3a
19 Maro 160.5abcd 190.6bcd 175.6bcd
20 Ciherang 124.8d 120.2j 122.5g
Rata-rata 161.4 165.6 10.2
Koefisien Keragaman (%) 12.1 10.2 11.2
Korelasi antar lokasi 0.42tn
Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
25 Jumlah gabah total sangat dipengaruhi oleh genotipe. Rata-rata jumlah gabah total per malai (butir) di dua lokasi uji berkisar antara 122 hingga 200 butir. Di lokasi Indramayu jumlah gabah total per malai tertinggi pada genotipe 97A/H6 yaitu 193.5 butir jumlah gabah, terendah pada genotipe pembanding inbrida Ciherang yaitu 124.8 butir. Di lokasi KP Muara jumlah gabah total tertinggi terdapat pada genotipe Hipa 6 Jete 221.8 butir, sedangkan gabah total terendah pada varietas pembanding inbrida yaitu Ciherang 120.2 butir.
Tabel 13 Rata-rata persen gabah isi per malai (%) dari 20 genotipe padi pada dua lokasi
No Genotipe Lokasi
Indramayu KP Muara Rataan
1 25A/H3 84.1abcde 39.8de 62.0cdef
2 29A/H1 82.8abcde 38.1de 60.5cdef
3 29A/H2 76.6de 37.2e 56.9f
4 29A/H11 81.8abcde 51.7abcde 66.7abcde
5 29A/H12 77.5cde 61.3a 69.4abc
6 29A/H13 79.9bcde 53.6abcd 66.7abcde
7 29A/H16 78.4cde 59.4ab 68.9abc
8 29A/H19 82.6abcde 51.0abcde 66.8abcde
9 97A/H4 76.8de 45.8bcde 61.3cdef
10 97A/H6 76.4de 41.4cde 58.9def
11 97A/H20 84.5abcde 38.9de 61.7cdef
12 BI485A/BP1(IR53942) 90.3ab 59.9ab 75.1a
13 BI485A/BP4 (BP1028F) 90.9a 47.6abcde 69.2abc 14 BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B) 83.1abcde 43.5cde 63.3bcdef 15 BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1) 85.0abcd 48.5abcde 66.8abcde 16 BI485A/BP10(CRS9:BP2278-2E 17-1) 86.9abcd 48.5abcde 67.7abcd 17 BI639A/BP5(BH25B-MR-2-2-B) 79.0cde 49.0abcde 64.0bcdef
18 Hipa 6 Jete 73.8e 42.5cde 58.2ef
19 Maro 86.7abcd 42.5cde 64.6bcdef
20 Ciherang 88.2abc 55.6abc 71.9ab
Rata-rata 82.3 47.8 65.0
Koefisien Keragaman (%) 6.7 16.4 10.4
Korelasi antar lokasi 0.15tn
Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
[image:39.595.107.522.221.634.2]
26
[image:40.595.81.495.228.755.2]Berdasarkan nilai rata-rata pada dua lokasi pengujian, genotipe yang paling banyak menghasilkan persen gabah hampa pada penelitian ini adalah 29A/H2 yaitu 43.0 %, sedangkan BI485A/BP1(IR53942) menghasilkan gabah hampa sedikit yaitu 24.8 %. Pada lokasi KP Muara rata-rata persen gabah hampa 52.1 %, di lokasi Indramayu rata-rata persen gabah hampa lebih sedikit yaitu 17.6 %. Di lokasi Indramayu genotipe Hipa 6 Jete menghasilkan persen gabah hampa yang terbanyak (26.1 %) dan genotipe yang menghasilkan persen gabah hampa yang sedikit adalah BI485A/BP4 (BP1028F) (9.0%). Menurut Abdullah et al. (2008) persen gabah hampa sebagai gambaran seberapa besar gabah yang tidak terisi penuh. Kehampaan disebabkan oleh asimilat yang dihasilkan rendah dan tidak mencukupi pengisian gabah.
Tabel 14 Rata-rata persen gabah hampa per malai (%) dari 20 genotipe padi pada dua lokasi
No Genotipe Lokasi
Indramayu KP Muara Rataan
1 25A/H3 15.8abcde 60.1ab 37.9abcd
2 29A/H1 17.1abcde 61.8ab 39.4abcd
3 29A/H2 23.3ab 62.7a 43.0a
4 29A/H11 18.1abcde 48.2abcde 33.2bcdef
5 29A/H12 22.4abc 38.6e 30.5def
6 29A/H13 20.0abcd 46.4bcde 33.2bcdef
7 29A/H16 21.5abc 40.5de 31.0def
8 29A/H19 17.3abcde 48.9abcde 33.1bcdef
9 97A/H4 23.1ab 54.1abcd 38.6abcd
10 97A/H6 23.5ab 58.5abc 41.0abc
11 97A/H20 15.4abcde 61.0ab 38.2abcd
12 BI485A/BP1(IR53942) 9.6de 40.0de 24.8f
13 BI485A/BP4 (BP1028F) 9.0e 52.3abcde 30.7def 14 BI485A/BP5 (BH25B-MR-2-2-B) 16.8abcde 56.4abc 36.6abcde 15 BI485A/BP7 (BP2274-3E-4-1) 14.9bcde 51.4abcde 33.1bcdef 16 BI485A/BP10(CRS9:BP2278-2E 17-1) 13.0bcde 51.4abcde 32.2cdef 17 BI639A/BP5(BH25B-MR-2-2-B) 20.abc 50.9abcde 35.9abcde
18 Hipa 6 Jete 26.1a 57.4abc 41.8ab
19 Maro 13.2bcde 57.4abc 35.3abcde
20 Ciherang 11.7cde 44.3cde 28.0ef
Rata-rata 17.6 52.1 34.9
Koefisien Keragaman (%) 31.4 15.0 19.4
Korelasi antar lokasi 0.15tn
Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
27 Bobot 1000 butir di dua lokasi berkisar antara 25.3-26.9 gram. Di lokasi Indramayu varietas inbrida Ciherang memiliki bobot 1000 butir 28.3 gram, sedangkan varietas hibrida Maro memiliki bobot 1000 butir 27.4 gram, varietas Hipa 6 Jete memiliki bobot terendah yaitu 25.3 gram. Di lokasi KP Muara ketiga varietas pembanding tergolong memiliki bobot yang sedang. Bobot 1000 butir tertinggi dicapai oleh genotipe BI485A/BP10 (CRS9:BP2278-2E 17-1) yaitu 27.2 gram dan bobot 1000 butir terendah pada genotipe 29A/H11 yaitu 23.3 gram. Genotipe yang memiliki bobot yang tertinggi berarti mempunyai ukuran yang besar.
Tabel 15 Rata-rata bobot 1000 butir dari 20 genotipe padi pada dua lokasi
No Genotipe
Lokasi
Indramayu
KP
Muara Rataan
1 25A/H3 27.0 24.4 25.7defg
2 29A/H1 25.9 23.7 24.8fgh
3 29A/H2 25.6 23.7 24.7gh
4 29A/H11 25.4 23.3 24.3h
5 29A/H12 25.6 24.5 25.1fgh
6 29A/H13 25.6 26.0 25.8def
7 29A/H16 26.2 24.3 25.3efgh
8 29A/H19 25.7 24.8 25.3efgh
9 97A/H4 27.5 26.4 27.0abc
10 97A/H6 27.6 26.5 27.1abc
11 97A/H20 27.8 25.8 26.8bcd
12 BI485A/BP1(IR53942) 27.9 26.3 27.1abc
13 BI485A/BP4 (BP1028