Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus
Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman
Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung
Endang Sulismini
A44102001
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
ABSTRAK
ENDANG SULISMINI. Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur Dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh ENDANG SRI RATNA dan R. YAYI MUNARA KUSUMAH.
Larva Crocidolomia pavonana (F) (Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama penting pada pertanaman kubis yang dapat menimbulkan kerusakan ya ng cukup besar sehingga menyebabkan gagal panen. Salah satu metode pengendalian yang dapat dilakukan untuk menekan C. pavonana di lapang adalah dengan menggunakan pengendalian secara hayati yaitu dengan memanfaatkan musuh alaminya. E. argenteopilosus merupakan salah satu kelompok parasitoid yang berperan sebagai endoparasitoid pada serangga hama C. pavonana. Akan tetapi pada kenyatannya di lapang populasinya rendah. Rendahnya populasi diduga akibat penggunaan insektisida oleh petani secara berlebih. Selain itu penggunaan insektisida dapat menyebabkan penurunan kebugaran parasitoid akibat iunromental stress.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Tumbuhan dan Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tana man, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Maret 2006 sampai dengan Juli 2006. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati
fekunditi dan fluktuasi asimetri sayap sebagai parameter kebugaran
E. argenteopilosus dari tiga tempat pengambilan contoh daerah Lembang dan Cibodas.
Penangkapan sampel parasitoid E. argenteopilosus dilakukan di tiga lokasi yaitu Cibodas datar, Cibodas lereng dan Lembang. Penangkapan dilakukan secara acak dengan menggunakan jaring serangga. Waktu penangkapan parasitoid dipisahkan ke dalam empat periode masing-masing setiap mulai dari pukul 08.00-12.00 WIB. Parameter kebugaran yang diamati selama penelitian antara lain populasi, luas sayap, fluktuasi asimetri (FA) dan produksi telur dalam ovari E. argenteopilosus.
Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus
Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman
Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung
Endang Sulismini
A44102001
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian pada
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
Judul Skripsi : Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Nama Mahasiswa : Endang Sulismini
NRP : A44102001
Program Studi : Hama dan Penyakit Tumbuhan
Menyetujui,
Pembimbing I
Dra. Endang Sri Ratna, PhD NIP. 131124820
Pembimbing II
Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, M.Si NIP. 131879332
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130422698
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mataram pada tanggal 14 Oktober 1983, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan suami istri Muslimin dan Sunarti. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 08 Mataram pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiayah Nurul Hakim Kediri Lombok Barat. Selanjutnya penulis melanjutkan lagi di Madrasah Aliyah Nurul Hakim Kediri Lombok Barat dan lulus pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2002, penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan.
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul fluktuasi asimetri sayap parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera:Ichneumonidae) di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Skripsi ini sebagai salah satu kelengkapan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Dra. Endang Sri Ratna, PhD sebagai dosen pembimbing pertama dan Dr.Ir. R. Yayi Munara Kusumah M.Si sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kepada Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc sebagai dosen penguji tamu yang telah banyak memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada mama dan ayahanda tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan semangat untuk keberhasilan penulis.
Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada staf laboran (Pak Yusuf dan Pak Agus), Mba Nana, Sahabat-sahabatku : Reyna, Mia, Dede, Ipunk, Lusie, Leni, Warti, Aa, Dona, Hari, Widya, Tata, Ninit, Dewi dan temen-teman HPT’39, dan tema n-teman WISMA Blobo serta pihak-pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan di dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi dunia ilmu pengetahuan dan pertanian. Penulis juga berharap semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan ridha-Nya.
Bogor, September 2006
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
Hipotesis ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Eriborus argenteopilosus ... 4
Ukuran Sayap dan Fluktuasi Asimetri ... 6
Produksi telur ... 7
Kepadatan Populasi ... 9
BAHAN DAN METODE ... 10
Tempat dan Waktu ... 10
Metode Penelitian ... 10
Penetapan lahan dan pengambilan contoh serangga ... 10
Luas sayap dan fluktuasi asime tri sayap depan parasitoid E. argenteopilosus ... 11
Produksi telur ... 12
Analisis Data ... 12
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13
Populasi Parasitoid Larva E. argenteopilosus ... 13
Ukuran Sayap Parasitoid Larva E. argenteopilosus ... 16
KESIMPULAN DAN SARAN ... 20
Kesimpulan ... 20
Saran ... 20
DAFTAR PUSTAKA ... 21
DAFTAR TABEL
No Halaman
Teks
1. Seks ratio dan jumlah telur Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan ... 16
2. Ukuran luas sayap depan dan fluktuasi asimetri (FA) sayap
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
Teks
1. Karakter sayap berdasarkan System Comstock-Needhanm, c-sc :
crossveins antara costa dan subcosta, r: crossvein yang
berdekatan dengan cabag radius, r-m: crossveins antara radius
dan media, m-cu : crossveins antara media dan cubitus... 6
2. Sistem reproduksi serangga betina; covd, saluran telur umum;
ovd, saluran telur; ovl, ovariol; ovy, ovarium; sl, ligamen
penggantung; spth, spermateka; spthg, kelenjar spermateka; vag,
vagina (Borror et al.(1996) ... 8
3. Landmark titik pada venasi sayap depan parasitoid larva
Eriborus argentopilosus ... 12 4. Jumlah Parasitoid Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di
daerah Lembang dan Cibodas ... 13
5. Persentase Parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan ... 14
Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus
Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman
Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung
Endang Sulismini
A44102001
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
ABSTRAK
ENDANG SULISMINI. Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur Dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh ENDANG SRI RATNA dan R. YAYI MUNARA KUSUMAH.
Larva Crocidolomia pavonana (F) (Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama penting pada pertanaman kubis yang dapat menimbulkan kerusakan ya ng cukup besar sehingga menyebabkan gagal panen. Salah satu metode pengendalian yang dapat dilakukan untuk menekan C. pavonana di lapang adalah dengan menggunakan pengendalian secara hayati yaitu dengan memanfaatkan musuh alaminya. E. argenteopilosus merupakan salah satu kelompok parasitoid yang berperan sebagai endoparasitoid pada serangga hama C. pavonana. Akan tetapi pada kenyatannya di lapang populasinya rendah. Rendahnya populasi diduga akibat penggunaan insektisida oleh petani secara berlebih. Selain itu penggunaan insektisida dapat menyebabkan penurunan kebugaran parasitoid akibat iunromental stress.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Tumbuhan dan Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tana man, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Maret 2006 sampai dengan Juli 2006. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati
fekunditi dan fluktuasi asimetri sayap sebagai parameter kebugaran
E. argenteopilosus dari tiga tempat pengambilan contoh daerah Lembang dan Cibodas.
Penangkapan sampel parasitoid E. argenteopilosus dilakukan di tiga lokasi yaitu Cibodas datar, Cibodas lereng dan Lembang. Penangkapan dilakukan secara acak dengan menggunakan jaring serangga. Waktu penangkapan parasitoid dipisahkan ke dalam empat periode masing-masing setiap mulai dari pukul 08.00-12.00 WIB. Parameter kebugaran yang diamati selama penelitian antara lain populasi, luas sayap, fluktuasi asimetri (FA) dan produksi telur dalam ovari E. argenteopilosus.
Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus
Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman
Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung
Endang Sulismini
A44102001
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian pada
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
Judul Skripsi : Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Nama Mahasiswa : Endang Sulismini
NRP : A44102001
Program Studi : Hama dan Penyakit Tumbuhan
Menyetujui,
Pembimbing I
Dra. Endang Sri Ratna, PhD NIP. 131124820
Pembimbing II
Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, M.Si NIP. 131879332
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130422698
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mataram pada tanggal 14 Oktober 1983, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan suami istri Muslimin dan Sunarti. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 08 Mataram pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiayah Nurul Hakim Kediri Lombok Barat. Selanjutnya penulis melanjutkan lagi di Madrasah Aliyah Nurul Hakim Kediri Lombok Barat dan lulus pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2002, penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan.
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul fluktuasi asimetri sayap parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera:Ichneumonidae) di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Skripsi ini sebagai salah satu kelengkapan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Dra. Endang Sri Ratna, PhD sebagai dosen pembimbing pertama dan Dr.Ir. R. Yayi Munara Kusumah M.Si sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kepada Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc sebagai dosen penguji tamu yang telah banyak memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada mama dan ayahanda tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan semangat untuk keberhasilan penulis.
Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada staf laboran (Pak Yusuf dan Pak Agus), Mba Nana, Sahabat-sahabatku : Reyna, Mia, Dede, Ipunk, Lusie, Leni, Warti, Aa, Dona, Hari, Widya, Tata, Ninit, Dewi dan temen-teman HPT’39, dan tema n-teman WISMA Blobo serta pihak-pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan di dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi dunia ilmu pengetahuan dan pertanian. Penulis juga berharap semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan ridha-Nya.
Bogor, September 2006
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
Hipotesis ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Eriborus argenteopilosus ... 4
Ukuran Sayap dan Fluktuasi Asimetri ... 6
Produksi telur ... 7
Kepadatan Populasi ... 9
BAHAN DAN METODE ... 10
Tempat dan Waktu ... 10
Metode Penelitian ... 10
Penetapan lahan dan pengambilan contoh serangga ... 10
Luas sayap dan fluktuasi asime tri sayap depan parasitoid E. argenteopilosus ... 11
Produksi telur ... 12
Analisis Data ... 12
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13
Populasi Parasitoid Larva E. argenteopilosus ... 13
Ukuran Sayap Parasitoid Larva E. argenteopilosus ... 16
KESIMPULAN DAN SARAN ... 20
Kesimpulan ... 20
Saran ... 20
DAFTAR PUSTAKA ... 21
DAFTAR TABEL
No Halaman
Teks
1. Seks ratio dan jumlah telur Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan ... 16
2. Ukuran luas sayap depan dan fluktuasi asimetri (FA) sayap
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
Teks
1. Karakter sayap berdasarkan System Comstock-Needhanm, c-sc :
crossveins antara costa dan subcosta, r: crossvein yang
berdekatan dengan cabag radius, r-m: crossveins antara radius
dan media, m-cu : crossveins antara media dan cubitus... 6
2. Sistem reproduksi serangga betina; covd, saluran telur umum;
ovd, saluran telur; ovl, ovariol; ovy, ovarium; sl, ligamen
penggantung; spth, spermateka; spthg, kelenjar spermateka; vag,
vagina (Borror et al.(1996) ... 8
3. Landmark titik pada venasi sayap depan parasitoid larva
Eriborus argentopilosus ... 12 4. Jumlah Parasitoid Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di
daerah Lembang dan Cibodas ... 13
5. Persentase Parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan ... 14
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
Teks
1. Sidik ragam luas sayap depan parasitoid Eriborus argenteopilosus
jantan ... 26
2. Sidik ragam luas sayap depan parasitoid Eriborus argenteopilosus
betina ... 26
3. Sidik ragam jumlah telur Eriborus argenteopilosus pada tiap perlakuan ... 26
4. Sidik ragam Fluktuasi (FA) sayap Eriborus argenteopilosus jantan pada tiap perlakuan ... 26
5. Sidik ragam Fluktuasi (FA) sayap Eriborus argenteopilosus betina pada tiap perlakuan... 27
6. Rata-rata suhu udara (ºC) pada setiap jam di lapangan selama
penelitian ... 27
7. Rata-rata kelembaban udara (%) pada setiap jam di lapangan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kubis-kubisan digolongkan ke dalam famili Brassicaceae atau lebih dikenal
dengan nama Cruciferae. Tanaman kubis merupakan sayuran yang mempunyai
peran penting untuk kesehatan manusia karena banyak mengandung vitamin dan
mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Kubis di Indonesia pada awalnya
hanya ditanam di daerah dataran tinggi yang bersuhu dingin, namun dalam
perkembangan saat ini kubis sudah mulai banyak ditanam di daerah bersuhu
sedang, bahkan di dataran rendah bersuhu panas (Pracaya 2001). Perkembangan
produksi dan luas panen kubis di beberapa wilayah di Indonesia mulai tahun
2000-2004 belum menunjukkan adanya peningkatan yang memuaskan bahkan
cenderung terus menurun (BPS 2005).
Penurunan produksi kubis ini diakibatkan oleh serangan organisme
pengganggu tanaman, diantaranya adalah hama. Kehilangan hasil yang
disebabkan oleh gangguan hama sangat besar nilainya, sehingga dapat
menyebabkan gagal panen di lapang. Menurut Permadi dan Sastrosiswojo (1993),
salah satu hama kubis yang banyak menimbulkan kerugian adalah ulat krop kubis
Crocidolomia pavonana (F) (Lepidoptera: Pyralidae). Ulat ini menyerang sejak awal pembentukan krop hingga panen. Kehilangan hasil akibat serangan ulat C. pavonana dapat mencapai 65,8% (Uhan 1993). Bahkan pada musim kemarau, kehilangan hasil akibat serangan ulat C. pavonana bersama hama kubis lain yaitu ulat Plutella xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae) dapat mencapai 100% (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993).
Hingga kini populasi hama di lapang tetap tinggi dan masih memerlukan
upaya pengendalian. Metode pengendalian hama secara kimiawi dengan
menggunakan insektisida masih digunakan oleh para petani (Rauf et al. 1993).
Suatu kenyataan bahwa sasaran penggunaan insektisida tidak hanya spesifik
mematikan hama, tetapi juga dapat menimbulkan dampak samping berupa
peracunan terhadap organisme lain di dalam ekosistem, diantaranya adalah musuh
alami (Van den Bosch 1973). Untuk mengatasi masalah tersebut, kiat
2
digantikan dengan pengendalian lain yaitu pemanfaatan parasitoid yang hidup
secara alami di habitat aslinya.
Penggunaan parasitoid pada praktek pengendalian hama merupakan
komponen dasar dari pengendalian hayati, serta merupakan alternatif
pengendalian hama yang tetap melestarikan lingkungan. Peran dan potensi
parasitoid di lapangan dapat ditingkatkan dengan teknik konservasi agar dapat
menekan populasi hama di lapangan. Kiat pengendalian C. pavonana dengan memanfaatkan parasitoid belum banyak dilakukan di Indonesia atau masih dalam
taraf penelitian. Tabuhan Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae) dilaporkan hidup di dalam inang ulat C. pavonana, dan perannya dapat diandalkan untuk membunuh dan mengurangi populasi hama ini.
Endoparasitoid larva E. argenteopilosus potensial digunakan untuk pengendalian hayati. Pada kenyataan di lapang populasi parasitoid tersebut
rendah. Hal ini diduga berkaitan dengan maraknya penggunaan insektisida oleh
petani pada pertanaman kubis dalam mengendalikan hama. Departemen kesehatan
RI tahun 1997 dalam Oginawati (2006) melaporkan bahwa penyemprotan
insektisida oleh petani telah mencapai 73,29% di lapangan. Musnanya populasi
hama dapat menyebabkan terputusnya kehidupan parasitoid yang hidup di dalam
tubuh inang hama. Speight et al. (1999) melaporkan bahwa dinamika populasi
musuh alami dan serangga inangnya dipengaruhi oleh kepadatan, mortalitas,
distribusi umur, pola pemencaran, serta potensi biotik dan abiotik. Dengan
demikian, keberadaan populasi parasitoid di lapangan akan mengikuti keberadaan
larva inangnya. Selain itu dampak langsung penggunaan insektisida dapat
menurunkan kebugaran parasitoid. Kebugaran parasitoid sebagai informasi dasar
penting diteliti untuk mendukung berjalannya program konservasi musuh alami
dalam pengendalian hayati.
Kemampuan terbang dan kapasitas reproduksi berpengaruh terhadap
kebugaran parasitoid. Kebugaran parasitoid dapat dikaitkan dengan variasi
morfologi sayap, produksi telur, tingkat parasitisasi dan lama hidup (Godfray
1994). Hoffmann and Shirriffs (2002) melaporkan bahwa perubahan bentuk sayap
3
telur Trichogramma yang dipelihara dalam laboratorium dengan di alam bisa memiliki bentuk sayap yang berbeda (Kolliker-Ott et al. 2004). Pengaruh
pengukuran sayap terhadap kebugaran parasitoid di lapang dapat diketahui dengan
menggunakan suatu proses pengukuran yaitu fluktuasi asimetri (FA) sayap.
Analisis fluktuasi asimetri sayap memiliki potensi yang baik untuk memantau
lingkungan yang tercemar (Mpho et al. 2000). Kebugaran parasitoid E. argenteopilosus asal lapang hingga kini belum pernah diteliti.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti fekunditi dan fluktuasi asimetri sayap
sebagai parameter kebugaran E. argenteopilosus dari tiga tempat pengambilan contoh daerah Lembang dan Cibodas.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan sebagai
dasar pengetahuan untuk mendukung kegiatan konservasi parasitoid dalam
program pengendalian hayati hama kubis C. pavonana bila diperlukan.
Hipotesis
• Sayap yang lebih luas memiliki fluktuasi asimetri sayap yang kecil.
TINJAUAN PUSTAKA
Eriborus argenteophilosus
Parasitoid larva Eriborus argenteopilosus (Cameron) tergolong dalam ordo Hymenoptera, subordo Apocrita, superfamili Ichneumonidea, famili
Ichneumonidae, genus Eriborus (CPC 2002). Parasitoid ini merupakan salah satu kelompok musuh alami serangga hama yang paling banya k diintroduksikan untuk
pengendalian serangga hama. Salah satu inangnya yang menjadi hama penting
pada tanaman kubis-kubisan adalah Crocidolomia pavonana (Zell.) (Lepidoptera: Pyralidae). E. argenteopilosus bersifat soliter dan dilaporkan dapat hidup di dalam inang C. pavonana, Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae),
S. exigua (Lepidoptera: Noctuidae) dan Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) (Kalshoven 1981).
Telur parasitoid E. argenteopilosus berukuran mikroskopis yaitu, mulai 0,18 x 0,004 mm sampai 0,52 x 0,11 mm (Othman 1982). Telur ini berwarna
putih dan berbentuk seperti kacang buncis, diletakkan secara tunggal di dalam
tubuh larva inang. Masa inkubasi telur parasitoid ini hampir sama dengan spesies
famili Ichneumonidae pada umumnya yaitu relatif pendek, berkisar 1-3 hari
dengan rata-rata persentase penetasan telur parasioid 96,1%. Larva berwarna
keputih-putihan dan dapat dibedakan antara kepala dan ruas abdomen terakhir.
Stadium larva membutuhkan waktu 10 sampai 13 hari atau rata-rata 9,3 hari
(Hadi 1985). Imago parasitoid mempunyai toraks yang berwarna hitam dan
abdomen berwarna coklat kemerahan. Ukuran tubuh imago jantan umumnya lebih
kecil dari imago betina (Sahari 1999). Panjang tubuh imago betina 7-8 mm
dengan rentang sayap 11-13 mm. Panjang tubuh jantan 5,5-8,5 mm dan rentang
sayap 9-12 mm (Othman 1982).
Beberapa penelitian menunjukkan adanya keragaman tingkat parasitisasi
yang berdeda di laboratorium pada perlakuan pemaparan dengan jumlah inang
tertentu. Tingkat parasitisasi ini ditunjukkan dengan kemampuan seekor parasitoid
5
(Utami 2001). Keberhasilan parasitoid dalam melakukan oviposisi tergantung
pada kemampuan parasitoid untuk menemukan habitat, menemukan inang,
penerimaan inang dan kesesuaian inang. Penemuan habitat inang oleh parasitoid
biasanya didasarkan pada jenis tanaman, dan kondisi lingkungan habitat inang
(Quicke 1997; Gordh et al. 1999). Di dalam aktivitas penemuan habitat inang,
biasanya parasitoid menggunakan indera penerima rangsang kimia, visual, suara
dan panas. Satu contoh adalah senyawa kimia kairomon dihasilkan oleh tanaman
yang dapat memikat serangga parasitoid untuk menentukan tanaman tempat
serangga inang hidup. Habitat inang digunakan oleh serangga parasitoid untuk
mengetahui keberadaan inangnya (Godfray 1994; Quicke 1997).
Proses penemuan habitat inang dengan menggunakan indera penglihatan dan
penciuman oleh parasitoid E. argenteopilosus dinyatakan bahwa parasitoid tertarik pada lekuk-lekuk dan tepi daun kubis serta bagian daun yang berlubang
bekas gigitan ulat, serta bau bahan kimia yang berasal dari faeses yang
dikeluarkan larva. Dalam pengendalian hayati, pemilihan jenis inang untuk
peletakkan telur sangat penting diperhatikan, karena akan mempengaruhi kualitas
parasitoid yang berkembang di dalam tubuhnya. Faktor-faktor yang menentukan
kualitas inang adalah jenis inang, umur inang, ukuran inang dan kandungan nutrisi
inang (Godfray 1994).
Setelah parasitoid menemukan inang, belum tentu parasitoid akan menerima
inang dan parasitisme belum tentu terjadi tanpa suatu rangsangan tertentu.
Rangsangan berupa bau, lokasi, ukuran, bentuk atau gerakan inang dapat
mempengaruhi perilaku parasitoid terhadap penerimaan inang (Hadi 1985). Dalam
hal ini parasitoid akan berusaha untuk menemukan inang yang spesifik (Utami
2001).
Kemamp uan terbang parasitoid dalam menemukan habitat dan inang
dipengaruhi oleh kebugaran. Menurut Godfray (1994), kebugaran parasitoid
berhubungan dengan kemampuan reproduksi yaitu dan eksistensi serangga, yaitu
keperidian yang tinggi atau potensi produksi telur, efisiensi mencari inang,
kemampuan berkompetisi, dapat mengkoloni dengan cepat, spesifik terhadap
inang tertentu, kemampuan beradaptasi dan sinkron dengan inangnya.
6
Ukuran Sayap dan Fluktuasi Asimetri
Sayap pada serangga dewasa merupakan alat gerak atau embelan yang
potensial terutama dalam aktivitas pemencaran suatu populasi spesies
(Meyer 2005). Pada serangga parasitoid, sayap digunakan untuk terbang terutama
berkaitan dalam potensi penemuan habitat inang dan penemuan inang. Umumnya
serangga memiliki dua pasang sayap yaitu sayap depan yang berpangkal di bagian
dorsal mesotoraks dan sayap belakang berpangkal di bagian dorsal metatoraks.
Fungsi sayap pada setiap individu atau kelompok spesies dapat bervariasi,
sebagai contohnya adalah fungsi adaptasi terhadap lingkungan sekitar atau
melindungi diri yaitu pada serangga ordo Coleoptera dan Dermaptera,
mengumpulkan panas (Lepidoptera), mengatur keseimbangan (Diptera),
menghasilkan suara (Orthoptera), atau sebagai isyarat pendengaran untuk
mengenal spesies dan jenis sex serangga lain (Lepidoptera). Pembuluh darah
(veins) ini merupakan perpanjangan dari system sirkulasi tubuh. Sistem ini diisi
dengan hemolymph dan diisi oleh sebuah pembuluh trakea dan sebuah saraf.
Dalam membran sayap, pembuluh darah menyediakan kekuatan selama terbang.
Bentuk sayap, tekstur dan venansi merupakan suatu kekhususan, oleh karena itu
dapat digunakan untuk identifikasi. Pembuluh darah merupakan nama yang sesuai
untuk menemukan sebuah sistem dari John Comstock dan George Needham.
Sistem Comstock-Needhanm : Costa (C), Subcosta (Sc), Radius (R), Media (M),
Cubitus (Cu), Anal veins (A1,A2,A3).
Gambar 1 Karakter sayap berdasarkan System Comstock-Needhanm, c-sc: crossveins antara costa dan subcosta, r: crossvein ya ng berdekatan dengan cabag radius, r-m: crossveins antara radius dan media, m-cu: crossveins antara media dan cubitus
Tofilski (2004) melaporkan bahwa ada sebuah pembuluh darah pada sayap
7
identifikasi taksonomi. Sebagai contoh titik koordinat dari beberapa karakteristik
pola sayap yang digunakan untuk membandingkan pola pembuluh darah.
Karakteristik-karakterintik tersebut sering merupakan persimpangan atau akhir
dari pembuluh darah. Gambaran suatu sayap serangga digunakan untuk
menentukan batas luar dari sayap dan pembuluh darah. Kerangka dari pembuluh
darah didapat dengan menggunakan suatu algoritma. Sumber dari program
tersebut tersedia dalam GNU General Public License. Berdasarkan penelitiannya
program tersebut secara otomatis diperoleh ukuran sayap serangga berdasarkan
angka. Hal tersebut meliputi gambar dari sayap serangga yang tersusun oleh
titik-titik koordinat pada persimpangan pembuluh darah dan diagram sayap yang dapat
digunakan sebagai uraian hasil. Titik koordinat pada persimpangan pembuluh
darah dihasilkan oleh program dari gambar sayap yang telah berhasil digunakan
untuk membedakan Dolichovespula sylvestris dan D. saxonica.
Kolliker-Ott et al. (2003) melaporkan bahwa Telenomus brassicae dan
Telenomus pretiosum dengan ukuran sayap lebih besar dan bentuk sayap relatif berbeda dengan populasi perbanyakan massal memiliki kemampuan menemukan
inang lebih baik. Variasi pada bentuk sayap kemungkinan berhubungan dengan
kemampuan terbang sehingga perubahan kecil pada bentuk dan ukuran sayap akan
mempengaruhi kemampuan parasitoid.
Anggara (2005) melaporkan bahwa kemampuan mencari inang Telenomus remus di lapangan terbukti cukup baik dan potensial dikembangkan sebagai agens pengendali hayati. Meskipun beragam ukuran sayapnya, setiap individu T. remus
memiliki kemampuan terbang, mencari, menemukan dan mengoviposisi inangnya
di lapangan. Parasitoid populasi tangkapan memiliki ukuran sayap lebih seragam
daripada parasitoid populasi perbanyakan massal dan mengumpul pada ukuran
kecil hingga sedang.
Produksi Telur
Lama waktu parasitoid larva Eriborus argenteopilosus tidak mendapatkan inang ternyata mempengaruhi kemampuan reproduksi parasitoid. Pemuasaan
parasitoid yang lama terhadap inang menyebabkan jumlah telur yang diletakkan
8
dimana makin lama parasitoid tersebut tidak menemukan inangnya makin sedikit
telur yang diproduksi (Heriano 2000).
Parasitoid yang sejak kemunculannya dari inang sudah dilengkapi dengan
sejumlah sel telur. Pada spesies yang bersifat proovigenik jumlah sel telur tidak
akan bertambah selama hidupnya sedangkan parasitoid yang bersifat sinovigenik
jumlah sel telur dapat bertambah dan pematangan telur terjadi selama hidupnya
(Godfray 1994; Heimpel dan Rosenheim 1998). Potensi produksi telur parasitoid
merupakan jumlah sel telur (oosit) yang diproduksi oleh imago betina (Bounchier
1993). Parasitod yang bersifat sinovigenik biasanya merupakan parasitoid
idiobion, yaitu parasitoid yang memiliki inang yang tidak berkembang bila
terparasit; dan parasitoid yang bersifat proovigenik biasanya merupakan sebagian
dari parasitoid koinobion, yaitu parasitoid yang memiliki inang yang masih dapat
berkembang walaupun terparasit (Quicke 1997; Johnson 2000).
Gambar 2 Sistem reproduksi serangga betina; covd, saluran telur umum; ovd, saluran telur; ovl, ovariol; ovy, ovarium; sl, ligamen penggantung; spth, spermateka; spthg, kelenjar spermateka; vag, vagina (Borror et al. 1996)
Kebugaran parasitoid berhubungan dengan kemampuan reproduksi dan
eksistensi serangga, yaitu keperidian yang tinggi, efisiensi mencari inang,
kemampuan berkompetisi, dapat mengkoloni dengan cepat, spesifik terhadap
inang tertentu, kemampuan beradaptasi dan sinkron dengan. Serangga yang
9
yang besar, tetapi keberhasilan reproduksi lebih dipengaruhi oleh ketersediaan
nutrisi dan inangnya (Godfray 1994).
Ke padatan Populasi
Islamiah (2003) melaporkan bahwa parasitisasi larva di pertanaman kubis
Cibodas memiliki kecendrungan lebih tinggi pada pola monokultur dibandingkan
tumpang sari. Hal ini mununjukkan bahwa perbedaan kondisi fisik lingkungan asli
dan lingkungan perlakuan dari parasitoid larva E. argenteopilosus diduga menyebabkan rendahnya tingkat parasitisasi. Sehingga setiap individu parasitoid
memiliki kemampuan beradaptasi yang berbeda-beda (Umayah 2003).
Abduchalek (2000) melaporkan bahwa keberadaan larva Crocidolomia binotalis dan Helicoverpa armigera di areal pertanaman selama musim hujan
menunjukkan adanya hubungan positif dengan kerapatan populasi
E. argenteopilosus. Jumlah populasi larva inang yang semakin sedikit, mengakibatkan menurunnya persentasi keberhasilan hidup E. argenteopilosus. Persentase keberhasilan hidup parasitoid larva E. argenteopilosus betina di lapangan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan parasitoid jantan (Heriyano
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di dua lahan pertanaman kubis petani di Desa
Rarahan, Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan satu lahan pertanaman
kubis di Desa Cibedug, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Penimbangan
bobot tubuh dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi, dan
pengukuran serta pengambilan foto sayap dilakukan di Laboratorium Bioekologi
Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, mulai dari bulan Maret sampai Juli 2006.
Metode Penelitian
Penetapan Lahan dan Pengambilan Contoh Serangga
Lokasi pengambilan contoh ditentukan berdasarkan letak topografis habitat
imago parasitoid E. argenteopilosus di pertanaman kubis petani Cibodas dan Lembang (sebelumnya didahului dengan survei lapangan). Penangkapan imago
parasitoid di desa Rarahan ditetapkan di dua tempat yaitu lahan pertanaman kubis
berlereng curam dan lahan pertanaman kubis dengan permukaan datar, sedangkan
penangkapan parasitoid di Lembang dilaksanakan di lahan pertanaman kubis
berlereng. Luas area tempat penangkapan parasitoid secara umum berukuran ±
3000 m², dan di area tersebut tanaman kubis mulai berumur 8 MST sampai 10
MST. Di setiap area pengambilan parasitoid dilakukan pengukuran garis lintang
dan ketinggian tempat dengan menggunakan alat Global Position System (GPS).
Selain itu suhu serta kelembaban lingkungan diukur dengan menggunakan termo
-hygrometer.
Parasitoid E. argenteopilosus yang sedang terbang di atas permukaan kanopi tanaman ditangkap secara acak dengan menggunakan jaring serangga. Waktu
penangkapan parasitoid dipisahkan kedalam empat periode masing-masing setiap
satu jam mulai dari pukul 08.00 hingga 12.00 WIB. Parasitoid yang tertangkap
11
tersebut diberi pakan madu encer 70% selama berada dalam kurungan di
lapangan, kemudian dibawa ke laboratorium untuk diteliti.
Parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap sari lapang segera di data untuk di hitung persentase tangkapan . Perhitungan persentase jumlah tangkapan
E. argenteopilosus dilakukan dengan rumus sebagai berikut :
% 100
x N
n PJT =
Keterangan:
PJT = persentase jumlah tangkapan
n = jumlah tangkapan setiap jam
N = total tangkapan
Luas Sayap dan Fluktuasi Asime tri Sayap Depan Parasitoid
E. argenteopilosus
Parasitoid hasil tangkapan di lapang dibunuh dengan cara dimasukkan ke
dalam freezer. Bagian sayap depan parasitoid jantan maupun betina dicabut dan
diisolasi untuk diukur, sedangkan sisa bagian tubuh parasitoid betina direndam di
dalam larutan fisiologi Ringer dingin untuk diamati jumlah telur yang dikandung
di dalam abdomen.
Proses pembuatan preparat morfologi sayap dimulai dengan mencabut sayap
parasitoid kiri dan kanan parasitoid, kemudian dilekapkan pada permukaan atas
gelas objek yang telah ditempeli dobel selotip. Pencabutan sayap dilakukan
dengan hati-hati agar sayap tidak rusak, yaitu menggunakan sepasang pinset halus
di bawah mikroskop binokuler. Sayap yang sudah ditempelkan ditutup dengan
gelas preparat, kemudian disimpan dan dikoleksi di dalam kotak koleksi dan siap
untuk diambil fotonya.
Foto preparat sayap diambil dengan menggunakan kamera mikroskop
Olympus DP 11D. Selanjutnya luas sayap diukur dengan menentukan 13 titik
tertentu pada venasi sayap hasil pemotretan melalui program analisis morfometri
12
cara mengutip program dari jaringan internet dengan alamat
http:/life.bio.sunysb.edu/morph/morph. hmtl (Benet & Hoffmann 1998).
Pengukuran setiap titik landmark secara otomatis dirubah dalam program tersebut
ke dalam koordinat x dan y (pada tahap digitasi) dalam bentuk lembaran data bmp
di dalam microsoft excel software program sehingga dapat diketahui
masing-masing jarak antar titik tersebut. Data luas sayap dan fluktuasi asimetri sayap
[image:33.595.190.434.230.338.2]disimpan di dalam file microsoft excel software program.
Gambar 3 Landmark titik pada venasi sayap depan parasitoid E. argentopilosus
Produksi Telur
Bagian abdomen yang telah diambil sayapnya seperti diuraikan di atas
dibedah di dalam media Ringer dengan menggunakan pinset tajam dan halus
(jarum mikro) yang sudah dibersihkan dengan ethanol 70% di bawah mikroskop
binokuler. Bagian ovari diisolasi dan dipindahkan di atas gelas objek yang telah
ditetesi larutan Ringer. Jumlah seluruh telur yang berada di saluran kaliks dan
telur di dalam setiap ovariol (T-1) dihitung dan dicatat.
Analisis Data
Rancangan percobaan di dalam penelitian ini digunakan rancangan acak
kelompok dengan tiga perlakuan pengambilan contoh yaitu Cibodas datar,
Cibodar berlereng, dan Lembang dengan jumlah ulangan yang tidak sama.
Analisis keragaman data digunakan program Statistical Analysis System (SAS)
for windows V6.12 dan nilai beda nyata rerata antar perlakuan dianalisa dengan
uji selang ganda Duncan pada taraf a = 5 %. Sedangkan hubungan antara luas
sayap, dan produksi telur dilihat dengan korelasi menggunakan Spearman Rank
13
0 5 10 15 20 25 30 35 40
08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 waktu penangkapan (jam)
rerata jumlah parasitoid
(ekor/jam)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Parasitoid Larva Eriborus argenteopilosus
Imago parasitoid Eriborus argenteopilosus yang terdapat di lahan pertanaman kubis Cibodas dan Lembang cenderung aktif terbang sekitar pukul
10.00-11.00. Rerata jumlah parasitoid yang tertangkap pada pukul 10.00-11.00
adalah 33,5 ± 12,8 ekor/jam nyata lebih tinggi dari jumlah parasitoid yang
tertangkap pada dua jam sebelumnya berturut-turut jam 08.00-09.00 dan
09.00-10.00 serta jam 11.00-12.00 adalah 10,7 ± 3,7, 18,3 ± 6,8, dan 19,9 ± 12,6
(Gambar 4). Jumlah parasitoid yang diperoleh pada masing-masing tiga waktu
penangkapan pertama, kedua dan terakhir tidak berbeda nyata. Aktivitas terbang
imago parasitoid E. argenteopilosus pada waktu tersebut diduga berkaitan erat dengan perilaku mencari makan dan mencari inang untuk meletakkan telurnya
[image:34.595.142.485.386.569.2](Borror and De Long, 1954).
Gambar 4 Jumlah Parasitoid Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di daerah Lembang dan Cibodas
Meningkatnya jumlah tangkapan pada setiap jam dan kemudian mengalami
penurunan setelah meningkat pada jam 10.00-11.00 diduga karena adanya
aktifitas E. argenteopilosus dimana pada pagi hari mereka lebih memilih berada dalam semak-semak atau tanaman liar untuk melindungi dari embun pagi.
Tingginya jumlah tangkapan pada jam 10.00-11.00 diduga karena kondisi
lingkungan yang mulai stabil, sehingga memudahkan parasitoid untuk terbang
14
0 5 10 15 20 25
08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00
waktu penangkapan (jam)
% penangkapan
Cibodas datar Cibodas lereng Lembang
Apabila ditinjau dari hasil tangkapan parasitoid di setiap areal contoh maka
rerata 57,3% parasitoid E. argenteopilosus di Cibodas daerah lereng tertangkap lebih tinggi pada setiap jam penangkapan dibandingkan dengan parasitoid yang
tertangkap di Lembang daerah lereng dan Cibodas daerah datar yaitu berturut
turut hanya 35,8% dan 6,9%. Perbedaan persentase hasil tangkapan di tiga lahan
pertanaman pada setiap jam diduga dipengaruhi oleh keberadan populasi larva
serangga inang Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae). Van Driesche & Thomas (1996) melaporkan bahwa keberadaan populasi parasitoid di lapangan
akan mengikuti keberadaan larva serangga inangnya. Islamiah (2003) melaporkan
bahwa rata-rata persentase instar larva C. pavonana yang ditemui di lokasi pertanaman kubis monokultur Cibodas lebih banyak dibandingkan pertanaman
kubis tumpangsari Cibodas dan tumpangsari pertanian organik Cisarua. Selain itu
dilaporkan juga bahwa tingkat parasitisme E. argenteopilosus pada larva
C. pavonana di lokasi pertanaman kubis monokultur Cibodas lebih tinggi dibandingkan pertanaman kubis tumpangsari Cibodas dan tumpangsari pertanian
[image:35.595.145.504.432.597.2]organik Cisarua.
Gambar 5 Persentase Parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan
Pada saat pengukuran suhu dan kelembaban diketahui bahwa rata-rata suhu
dan kelembaban di Cibodas datar, Cibodas berlereng, dan Lembang berturut-turut
15
terlihat bahwa suhu dan kelembaban di Cibodas datar dan Cibodas berlereng
memiliki suhu dan kelembaban yang sama, tetapi persentase jumlah serangga
yang tertangkap berbeda-beda yaitu berturut-turut 6,9% dan 57,3%. Perbedaan
jumlah tersebut diduga karena adanya perbedaan kondisi lingkungan dari
masing-masing lokasi.
Zultika (1996) melaporkan bahwa potensi abiotik meliputi habitat dari
tanaman inang yang merupakan faktor fisik berupa lingkungan seperti temperatur,
kelembaban, pencahayaan, curah hujan dan lainnya yang juga berpengaruh
terhadap kemampuan parasitoid untuk berinteraksi dengan inangnya. Faktor iklim,
teknik budidaya dan keragaman tumbuhan disuatu tempat juga dapat
mempengaruhi tingkah laku, jumlah populasi, karakteristik hama dan musuh
alaminya. Daerah yang berbeda dari segi karakteristik baik teknik budidaya,
tanaman inang dan junis inang yang berbeda dapat mengakibatkan tekanan seleksi
yang berbeda pada tingkat keberadaan hama serta serangannya.
Lahan pertanaman kubis di Cibodas datar tidak lebih luas dibandingkan
Cibodas berlereng dan Lembang, selain itu lokasi Cibodas datar dekat dengan
rumah penduduk dengan ketinggian 1200 mdpl dan jarang ditemukan tanaman liar
sebagai inang alternatif atau gulma bunga yang merupakan sumber pakan nektar
bagi imago parasitoid. Pada lahan pertanaman kubis di Cibodas lereng dan
Lembang memiliki suhu dan kelembaban yang berbeda tetapi dua lokasi ini
memiliki kesamaan dalam hal kondisi lingkungan, seperti kondisi lahan yang
berlereng dengan ketinggian berturut-turut 1330 mdpl dan 1342 mdpl, lokasi
pertanaman jauh dari rumah penduduk, banyak ditemukan tanaman liar atau
gulma berbunga, dan banyak lahan yang tidak terurus atau diberakan.
Populasi parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap di lapang menunjukkan ratio jantan dan betina yang bervariasi (Tabel 1). Populasi parasitoid
yang terdapat di Cibodas dan Lembang daerah lereng memiliki ratio betina lebih
kecil dibandingkan dengan jantan, sedangkan di Cibodas daerah datar memiliki
ratio betina lebih besar dibandingkan dengan jantan. Apabila ditinjau dari jumlah
populasi parasitoid yang diperoleh maka jumlah total parasitoid dari lokasi
Cibodas dan Lembang daerah lereng relatif lebih tinggi dibandingkan jumlah
16
dikaitkan bahwa jumlah parasitoid betina meningkat ketika populasi dilapang
rendah, sebaliknya jumlah jantan akan meningkat ketika populasi di lapang tinggi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamilton (1967) dalam Gauthier et al. (1997)
bahwa parasitoid betina akan meletakkan lebih banyak telur yang tidak fertil atau
telur jantan pada saat kepadatan parasitoid pada sekelompok inang yang tetap
[image:37.595.112.512.251.324.2]mulai bertambah.
Tabel 1 Seks ratio dan jumlah telur Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan
Tempat jumlah parasitoid (ekor/hari)
seks ratio betina : jantan
jumlah telur ± SD (butir/betina) 1) Lembang 29 1 : 0,8 133,1 ± 79,8 a (n=26) Cibodas Lereng 46 1 : 0,5 121,6 ± 67,2 a (n=75) Cibodas datar 5 4,7 : 1 141,1 ± 40,1 a (n=12)
1) Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata dengan uji duncan pada taraf nyata (a=0,05)
Populasi E. argenteopilosus betina di Cibodas lereng lebih banyak yaitu rata-rata 47 ekor setiap kali penangkapan, tetapi produksi telurnya paling sedikit
(121,6 ± 67,2) dibandingkan di dua lahan lainnya yaitu Cibodas datar dan
Lembang dengan rata-rata tangkapan dan jumlah telur berturut-turut yaitu 6 ekor
per hari, 141,1 ± 40,1 butir telur dan 30 ekor per hari, 133,1 ± 79,8 butir telur.
Beragamnya jumlah telur E. argenteopilosus tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada setiap lokasi. Hal ini diduga produksi telur di dalam
ovari tidak dapat dijadikan ukuran kebugaran tubuh E. argenteopilosus, karena kemampuan memproduksi telur dimiliki oleh setiap individu E. argenteopilosus
betina. Kebugaran tersebut akan terukur jika diketahui kemampuan besarnya
imago betina memarasit inang. Hal ini tidak dilakukan selama penelitian karena di
lakukan pada skala lapang yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan
menghasilkan telur pada saat kemunculan pertamanya sebagai imago dan tidak
memproduksi lagi selama hidupnya disebut proovigenik (Quicke 1997; Johnson
2000).
Ukuran Sayap Parasitoid Larva E. Argenteopilosus
17
Lembang daerah lereng ditunjukkan pada Tabel 2. Populasi parasitoid jantan yang
tertangkap di Cibodas daerah datar memiliki luas sayap depan nyata lebih kecil
yaitu sekitar 1,8 mm2 dibandingkan dengan luas sayap parasitoid yang tertangkap
di kedua lokasi Cibodas maupun Lembang daerah lereng yaitu sekitar 1,9 mm2,
sedangkan luas sayap dari kedua lokasi tersebut masing-masing tidak berbeda
nyata. Sebaliknya luas sayap populasi parasitoid betina yang diperoleh dari ketiga
lokasi penangkapan masing-masing tidak berbeda nyata yaitu sekitar 2,0-2,1
mm2. Apabila ditinjau dari fluktuasi asimetri (FA) sayap E. argenteopilosus
jantan menunjukkan bahwa FA sayap parasitoid yang tertangkap di Cibodas
daerah datar memiliki kisaran lebih lebar yaitu 0,2 mm dibandingkan dengan
kedua sayap yang terdapat di Cibodas dan Lembang daerah lereng berturut-turut
yaitu 0,1 dan 0,17 mm. Sebaliknya FA sayap parasitoid betina dari populasi
Cibodas daerah datar memiliki kisaran yang nyata paling sempit yaitu 0,06 mm,
diikuti FA populasi daerah Lembang 0,1 mm dan nyata paling lebar dari populasi
Cibodas daerah lereng yaitu 0,13 mm.
Bonn et al. (1996) melaporkan bahwa fluktuasi asimetri merupakan sebuah
ukuran yang diperoleh dari selisih bagian kanan dan kiri ukuran tubuh bilateral
yang simetri dan digunakan untuk memonitoring lingkungan sebagai akibat
adanya tekanan (stress). Stress lingkungan dapat meningkatkan FA pada kondisi
populasi yang stabil (Moller and Swaddle 1997 dalam Rourke 2004).
Tabel 2 Ukuran luas sayap depan dan fluktuasi asimetri (FA) sayap
E. argenteopilosus di tiga lokasi penangkapan
Daerah
Sayap jantan ± SD 1) Sayap betina ± SD
n
Luas sayap
depan (mm2) FA (mm) n
Luas sayap
depan (mm2) FA (mm) Cibodas
lereng 154 1,91 ± 0,07 a 0,10 ± 0,07 b 75 2,07 ± 0,09 a 0,13 ± 0,10 a Cibodas
datar 2 1,78 ± 0,06 b 0,20 ± 0,02 a 12 2,03 ± 0,09 a 0,06 ± 0,11 b Lembang 32 1,87 ± 0,07 a 0,17 ± 0,07 b 26 2,06 ± 0,09 a 0,10 ± 0,09 ab
1) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing
karakter morfologi tidak berbeda nyata dengan uji duncan pada taraf nyata (a=0,05)
[image:38.595.108.554.546.676.2]18
Lembang y = 312,35x + 105,9
R2 = 0,073
0 50 100 150 200 250 300 350 400
0 0,1 0,2 0,3 0,4
jumlah telur (butir/betina)
Cibodas datar y = -198,76x + 143,22
R2 = 0,0057
0 50 100 150 200 250
0 0,1 0,2 0,3 0,4
jumlah telur (butir/betina)
Cibodas lereng
y = -74,656x + 128,39
R2 = 0,0115
0 50 100 150 200 250 300
0 0,1 0,2 0,3 0,4
fluktuasi asimetri (mm)
jumlah telur (butir/betina)
dibandingkan dengan parasitoid dari Cibodas datar dan Lembang, sebaliknya
parasitoid betina di Cibodas datar yang relatif memiliki luas sayap lebih kecil
menunjukkan kebugaran paling tinggi dibandingkan parasitoid dari daerah
lainnya.
Populasi parasitoid E. argenteopilosus betina tidak selalu menghasilkan produksi telur yang banyak pada saat populasinya tinggi. Produksi telur di
Cibodas 1 lebih tinggi dibandingkan Cibodas 2 dan Lembang meskipun populasi
[image:39.595.120.507.254.607.2]di lapang paling rendah
Gambar 6 Korelasi jumlah telur dengan fluktuasi asimetri (FA) sayap
Produksi telur E. argenteopilosus dapat memberikan pengaruh terhadap kebugaran. Menurut Godfray (1994), kebugaran parasitoid berhubungan dengan
kemampuan reproduksi dan eksistensi serangga, yaitu keperidian yang tinggi,
19
cepat, spesifik terhadap inang tertentu, kemampuan beradaptasi dan sinkron
dengan inangnya, serta potensi produksi telur.
Dari hasil korelasi pada grafik 3 menunjukkan bahwa adanya variasi
pengaruh antara jumlah telur dengan FA di tiga lokasi penangkapan. Jumlah telur
yang diproduksi E. argenteopilosus betina daerah Lembang menggambarkan korelasi positif (r = 0,27) terhadap FA, artinya jika FA sayap kecil maka produksi
telurnya sedikit dan jika FA sayap besar maka produksi telurnya banyak.
Sementara produksi E. argenteopilosus betina daerah Cibodas datar dan lereng menggambarkan korelasi negatif (r = -0,08; r = -0,11) terhadap FA, artinya jika
FA sayap kecil maka produksi telurnya banyak dan jika FA sayap besar maka
produksi telurnya sedikit. Meskipun produksi telur tidak dapat dijadikan faktor
kebugaran hasil pengamatan pada gambar 3 dapat dijadikan sebagai informasi
tambahan bahwa produksi telur tidak dipengaruhi oleh FA sayap meskipun selang
20
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ukuran sayap depan jantan E. argenteopilosus di Cibodas lereng memiliki FA paling kecil dengan luas sayap yang besar dibandingkan FA di Cibodas datar
dan Lembang. Sedangkan luas sayap depan betina E. argenteopilosus di Cibodas datar memiliki FA dan luas sayap paling kecil dibandingkan FA dan luas sayap di
Cibodas lereng dan Lembang. E. argenteopilosus betina di tiga lokasi memiliki kemampuan menghasilkan telur (fekunditi) yang sama.
Saran
Perlu dilakukan penelitian sejenis untuk melihat pengaruh fluktuasi asimetri
dengan luas sayap E. argenteopilosus yang dipelihara di laboratorium. Melakukan pengukuran kondisi lingkungan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap kebugaran parasitoid sebagai aspek pendukung agens pengendalian
DAFTAR PUSTAKA
Abduchalek B. 2000. Kepadatan populasi Parasitoid Larva Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada Dua Jenis Inang di Pertanaman Brokoli dan Tomat Petani di Daerah Cibodas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Anggara AW. 2005. Pemencaran dan Kemampuan Parasitoid Telenomus remus
(Nixon) (Hymenoptera: Scelionidae) Pada Dua Tipe Agroekosistem [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Bennet DM, Hofmann AA. 1998. Effect of size and fluactuating asymmetry on field fitness of parasitoid Trichogramma carverae (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Entomological 67, 591-580.
Bouchier RS, Smith SM, Song SJ. 1994. Host acceptance and parasitoid size as predictors of parasitoid quality for mass-reared Trichogramma minutum.
Bio Con 3: 115-39.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2005. Data produksi kubis di Indonesia. http://www.google.com/www.bps.com[6 Agustus 2006].
Bonn A, Gasse M, Rolff J, Martens A. 1996. Increased fluctuating asymmetry in the damselfly Coenagrion puella is correlated with ectoparasitic water mites: implications for fluctuating asymmetry theory. Oecologia 108, 598-596.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan pelajaran serangga. Partosoedjono S, penterjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ pr. 1083h.
Crop Protection Compendium [CPC]. 2002. CPC Global Module. Wallingford.
Gauthier N, Monge JP, Huignard J. 1997. Sex-allocation behaviour of solitary ectoparasitoid: effects of host-patch characteristics and female density.
Entomol Exp Appl 82: 167-74
Godfray HCJ. 1994. Parasitoid: Behaviour and Evolutionary Ecology. New Jersey: Princeton Univercity Press.
Gordh G, Legner EF, Caltagirone LE. 1999. Biology of Parasitic Hymenoptera.
In: Bellows TS, Fisher TW (Eds). 1999. Handbook of biological control. California: Academic Press. Pp. 355-381.
22
(Zell) (Lepidoptera: Pyralidae) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Heimpel GE, Rosenheim JA. 1998. Egg limitation in parasitoids: a review of evidence and a case study. Bio Con 11: 160-8.
Heriyano N. 2000. Perubahan strategi reproduksi Eriborus argenteopilosus
Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) sebagai tanggap terhadap ketiadaan inang Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae). [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hoffmann AA, Shirriffs J. 2002. Geographic variation for wing shape in Drosophila serrata. Evolution 56, 1073-1068.
Islamiah M. 2003. Populasi Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) di Pertanaman Kubis di Daerah Cibodas dan Cisarua. [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Johnson MW. 2000. Biological control of pest. Online page: www2.ctahr.hawaii.edu/ento/Faculty%20and%20post_docs/Marshall/text/Fa ll_2000_BC.pdf.
Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru, Van Hoeve.
Kolliker-Ott UM, Bigler F, Hoffman AA. 2004. Field dispersal and host location of Trichogramma brassicae is influenced by wing size but not wing shape.
Biocontrol 31, 10-1.
Meyer JR. 2005. External Anatomy Wings. In General Entomology ENT 425. Australia. (http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425/tutorial/wings.html)
Mpho M, Holloway GJ, Callaghan A. 2000. Fluctuating wing asymmetry and larva density stress in Culex quinquefasciatus (Diptera: Culicidae). Bulletin of Entomological Reseach 90,283-279.
Oginawati K. 2006. Analisis risiko penggunaan insektisida Organofosfat terhadap kesehatan petani penyemprot. http://tl.lib.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbtl-gdl-s3-2006-katharinao-878
Othman N. 1982. Biology of Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae) and its parasites fro Cipanas area, West Java (a report of training course research). Bogor: SEAMEO Regional Centre for Tropical Biology.
Permadi AH, Sastrosiswojo S. 1993. Kubis. Edisi Pertama. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Hortikultura. Lembang.
23
Quicke DLJ. 1997. Parasitic wasps. Chapman & Hall.London.
Rauf A, Hindayana D, Widodo, Anwar R. 1993. Studi baseline identifikasi dan pengembangan teknologi pengendalian hama terpadu pada sayuran dataran tinggi (survei eksplorasi), penelitian pendukung pengendalian hama terpadu pada sayuran dataran tinggi [Laporan Proyek]. Kerjasama Balai Penelitian Hortikultura Lembang dengan Fakultas Pertanian, IPB.
Rohlf FJ. 1999. Shape statistics: Procructes superimpositions and tangent spaces. State university of new york at stony brook. Journal of Classification 16: 197-223.
Rourke JW. 2004. An evaluation of fluctuating asymmetry as a tool in identifying imperiled Bird Populations. [Thesis]. Departemen of Biology, Faculty of San Diego State University.
Sahari B. 1999. Studi Enkapsulasi Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Implikasinya pada Inang Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae), dan Spodoptera litura (Fabr.) (Lepidoptera: Noctuidae) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1993. Hama-hama tanaman kubis dan cara pengendalian. Lembang: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Hortikultura.
Speight MR, Mark DH, Allan DW. 1999. Ecology of insect: Concepts and Applications. Oxford: Blackwell Science Ltd.
Tofilski A. 2004. Draw Wing, a program for numerical description of insect wings. Journal of Insect Science, 4:7, Available online: insectscience.org/4.17
Uhan ST. 1993. Kehilangan panen karena ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis Zell.) dan cara pengendaliannya. Jurnal Hort 3(2): 26-22.
Umayah S. 2003. Pengaruh Perlakuan Insektisida Terhadap Parasitisasi Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada Larva
Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae) di Pertanaman Kubis. [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Utami S. 2001. Tanaman Brokoli (Brassica oleraceae var.italica), Pakan Larva
24
Van Driesche RG, Thomas SB. 1996. Biologycal Control. New York: Chapman & Hall.
Van den Bosch R. 1973. An Introduction to Biological Control. London: Plenum Press.
Van Driesche RG, Thomas SB. 1996. Biologycal Control. New York: Chapman & Hall.
Zultika R. 1996. Eksplorasi dan kepadatan populasi telur Spodoptera exigua
26
Tabel Lampiran 1 Sidik ragam luas sayap depan jantan pada tiap perlakuan
Sumber db JK KT F P
Perlakuan 5 0,096 0,019 4,51 0,0007
Galat 182 0,778 0,004
Total 187 0,875
Ket: R2=0,110 CV=3,444; Selang kritis ? 2=0,077; 3=0,081
Tabel Lampiran 2 Sidik ragam luas sayap depan betina pada tiap perlakuan
Sumber db JK KT F P
Perlakuan 5 0,029 0,006 0,72 0.611
Galat 107 0,870 0,008
Total 112 0,899
Ket: R2=0,033; CV=4,366; Selang kritis ? 2=0,054; 3=0,056
Tabel Lampiran 3 Sidik ragam jumlah telur pada tiap perlakuan
Sumber db JK KT F P
Perlakuan 5 24928,850 4985,770 1,08 0.03730
Galat 107 491706,513 4595,388
Total 112 516635,513
Ket: R2=0,040; CV=4,368; Selang kritis ? 2=40,33; 3=42,45
Tabel Lampiran 4 Sidik ragam Fluktuasi (FA) sayap jantan pada tiap perlakuan
Sumber db JK KT F P
Perlakuan 5 0,155 0,0310 6,36 0,0001
Galat 182 0,888 0,0049
Total 187 1,043
27
Tabel Lampiran 5 Sidik ragam Fluktuasi (FA) sayap betina pada tiap perlakuan
Sumber db JK KT F P
Perlakuan 5 0,137 0,027 3,14 0,0111
Galat 107 0,937 0,009
Total 112 1,073
Ket: R2=0,128; CV=78,73; Selang kritis ? 2=0,094; 3=0,119
Tabel lampiran 6 Rata-rata harian suhu udara di lapangan selama penelitian
Tempat
Rata-rata suhu udara oC/jam pengambilan
08,00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00
Cibodas lereng 34 32.5 31 24
Cibodas lereng 26.5 32 38 37
Cibodas lereng 23.5 33 37 31
Cibodas lereng 34.5 38.5 44 39
Cibodas lereng 38 34.5 27 27
Cibodas datar 36 32 32.5 30
Cibodas datar 26.5 34 33.5 36
Cibodas datar 37 37 35.5 35
Lembang 27 26.5 24 25
[image:48.595.114.502.282.530.2]28
Tabel lampiran 7 Rata-rata harian kelembaban udara di lapangan selama
penelitian
Tempat
Rata-rata suhu udara oC/jam pengambilan
08,00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00
Cibodas lereng 26 32.5 40.5 64.5
Cibodas lereng 75 64.5 55 55.5
Cibodas lereng 71 65.5 49.5 58
Cibodas lereng 56 51 52.5 53
Cibodas lereng 51.5 59 76 80
Cibodas datar 55 58.5 58 63.5
Cibodas datar 65.5 57.5 56.5 53
Cibodas datar 47 48.5 52.5 56.5
Lembang 65 66.5 71 65
28
Lampiran 4 Mortalitas Crocidolomia pavonana terhadap dua strain yang berbeda pada uji lanjutan
Strain Bt Protein Konsentrasi (ppm) Jumlah larva yang diujikan Ulangan Mortalitas (%) 24 JSP 48 JSP 72 JSP Kejajar (25 Mei 2006)
Cry 1B
kontrol 50 10 0 0 2
5 50 10 0 6 26
8.5 50 10 0 10 22
15 50 10 0 10 26
25 50 10 2 46 80
45 50 10 24 90 98
Cry 1C
kontrol 50 10 2 2 6
5 50 10 0 14 34
8.5 50 10 0 6 24
15 50 10 6 52 92
25 50 10 10 54 86
45 50 10 20 70 92
Batu (6 Juli 2006)
Cry 1B
kontrol 50 10 0 0 0
5 50 10 0 0 2
8.5 50 10 2 14 16
15 50 10 14 60 68
25 50 10 66 84 90
45 50 10 64 90 98
Cry 1C
kontrol 50 10 0 0 0
5 50 10 2 4 6
9 50 10 2 6 10
17 50 10 14 42 48
32 50 10 38 92 94
29
Lampiran 5 Larva yang diberi perlakuan Cry B. thuringiensis (a) P. xylostella
(b) C. pavonana
(a)
30
Lampiran 6 Analisis probit P. xylostella strain Lembang
Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 2) 1b72
Not estimating natural response
parameter standard error t ratio 1b72 -1.915 0.365 -5.243
SLOPE 2.121 0.322 6.595
Variance-Covariance matrix
1b72 SLOPE 1b72 .1333719 -.1132350 SLOPE -.1132350 .1034718 Chi-squared goodness of fit test
preparation subjects responses expected deviation probability 1b72 50. 22. 19.312 2.688 .386241 50. 26. 28.043 -2.043 .560859 50. 33. 37.078 -4.078 .741563 50. 47. 43.253 3.747 .865050 50. 47. 47.440 -.440 .948792
chi-square 5.1696 degrees of freedom 3 heterogeneity 1.7232
A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75.
Index of significance for potency estimation:
g(.90)=.21944 g(.95)=.40129 g(.99)=1.3518
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than
1.0, and seldom greater than 0.4."
- D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79. We will use only the probabilities for which g is less than 0.5
Effective Doses
dose limits 0.90 0.95 0.99
LD50 1b72 7.991 lower 4.481 2.845
upper 11.117 12.419
---
Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 4) 1c72
Not estimating natural response
Maximum log-likelihood -149.60126
parameter standard error t ratio 1c72 -1.5408397 .31703222 -4.8601990
SLOPE 1.6274176 .26998757 6.0277500
Variance-Covariance matrix
1c72 SLOPE 1c72 .1005094 -.8231772E-01 SLOPE -.8231772E-01 .7289329E-01
31
preparation subjects responses expected deviation probability 1c72 50. 19. 17.824 1.176 .356488 50. 20. 24.947 -4.947 .498942 50. 38. 32.629 5.371 .652573 50. 38. 38.661 -.661 .773213 50. 43. 43.868 -.868 .877354
chi-square 4.8132 degrees of freedom 3 heterogeneity 1.6044
A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75.
Index of significance for potency estimation:
g(.90)=.24456 g(.95)=.44723 g(.99)=1.5065
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4."
- D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.
We will use only the probabilities for which g is less than 0.5
Effective Doses
dose limits 0.90 0.95 0.99
LD50 1c72 8.84709 lower 4.66761 2.72337
32
Lampiran 7 Analisis probit P. xylostella strain Batu
Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 2) 1b72
Not estimating natural response
parameter standard error t ratio 1b72 -2.7279980 .42241737 -6.4580630
SLOPE 2.8417912 .37460298 7.5861414
Maximum log-likelihood -130.96155
Variance-Covariance matrix
1b72 SLOPE 1b72 .1784364 -.1529800 SLOPE -.1529800 .1403274
Chi-squared goodness of fit test
preparation subjects responses expected deviation probability 1b72 50. 15. 16.082 -1.082 .321646 50. 24. 26.479 -2.479 .529571 50. 42. 38.140 3.860 .762806 50. 47. 45.308 1.692 .906166 50. 47. 48.926 -1.926 .978515 chi-square 6.4486 degrees of freedom 3 heterogeneity 2.1495
A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75.
Index of significance for potency estimation:
g(.90)=.20686 g(.95)=.37829 g(.99)=1.2743
"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4."
- D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.
We will use only the probabilities for which g is less than 0.5
Effective Doses
dose limits 0.90 0.95
LD50 1b72 9.11921 lower 5.76651 4.18379
upper 12.33333 13.80037
---
Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 4) 1c72
Not estimating natural response
parameter standard error t ratio 1c72 -.10317439 .47363411 -.21783564
SLOPE 1.4789809 .46045198 3.2120198
33
parameter standard error t ratio 1c72 -.10317439 .47363411 -.21783564 SLOPE 1.4789809 .46045198 3.2120198
Variance-Covariance matrix
1c72 SLOPE 1