• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus

Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman

Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan

Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung

Endang Sulismini

A44102001

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

ABSTRAK

ENDANG SULISMINI. Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur Dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh ENDANG SRI RATNA dan R. YAYI MUNARA KUSUMAH.

Larva Crocidolomia pavonana (F) (Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama penting pada pertanaman kubis yang dapat menimbulkan kerusakan ya ng cukup besar sehingga menyebabkan gagal panen. Salah satu metode pengendalian yang dapat dilakukan untuk menekan C. pavonana di lapang adalah dengan menggunakan pengendalian secara hayati yaitu dengan memanfaatkan musuh alaminya. E. argenteopilosus merupakan salah satu kelompok parasitoid yang berperan sebagai endoparasitoid pada serangga hama C. pavonana. Akan tetapi pada kenyatannya di lapang populasinya rendah. Rendahnya populasi diduga akibat penggunaan insektisida oleh petani secara berlebih. Selain itu penggunaan insektisida dapat menyebabkan penurunan kebugaran parasitoid akibat iunromental stress.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Tumbuhan dan Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tana man, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Maret 2006 sampai dengan Juli 2006. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati

fekunditi dan fluktuasi asimetri sayap sebagai parameter kebugaran

E. argenteopilosus dari tiga tempat pengambilan contoh daerah Lembang dan Cibodas.

Penangkapan sampel parasitoid E. argenteopilosus dilakukan di tiga lokasi yaitu Cibodas datar, Cibodas lereng dan Lembang. Penangkapan dilakukan secara acak dengan menggunakan jaring serangga. Waktu penangkapan parasitoid dipisahkan ke dalam empat periode masing-masing setiap mulai dari pukul 08.00-12.00 WIB. Parameter kebugaran yang diamati selama penelitian antara lain populasi, luas sayap, fluktuasi asimetri (FA) dan produksi telur dalam ovari E. argenteopilosus.

(3)
(4)

Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus

Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman

Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan

Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung

Endang Sulismini

A44102001

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian pada

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

(5)

Judul Skripsi : Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Nama Mahasiswa : Endang Sulismini

NRP : A44102001

Program Studi : Hama dan Penyakit Tumbuhan

Menyetujui,

Pembimbing I

Dra. Endang Sri Ratna, PhD NIP. 131124820

Pembimbing II

Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, M.Si NIP. 131879332

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130422698

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mataram pada tanggal 14 Oktober 1983, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan suami istri Muslimin dan Sunarti. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 08 Mataram pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiayah Nurul Hakim Kediri Lombok Barat. Selanjutnya penulis melanjutkan lagi di Madrasah Aliyah Nurul Hakim Kediri Lombok Barat dan lulus pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2002, penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan.

(7)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul fluktuasi asimetri sayap parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera:Ichneumonidae) di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Skripsi ini sebagai salah satu kelengkapan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Dra. Endang Sri Ratna, PhD sebagai dosen pembimbing pertama dan Dr.Ir. R. Yayi Munara Kusumah M.Si sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kepada Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc sebagai dosen penguji tamu yang telah banyak memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada mama dan ayahanda tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan semangat untuk keberhasilan penulis.

Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada staf laboran (Pak Yusuf dan Pak Agus), Mba Nana, Sahabat-sahabatku : Reyna, Mia, Dede, Ipunk, Lusie, Leni, Warti, Aa, Dona, Hari, Widya, Tata, Ninit, Dewi dan temen-teman HPT’39, dan tema n-teman WISMA Blobo serta pihak-pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan di dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi dunia ilmu pengetahuan dan pertanian. Penulis juga berharap semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan ridha-Nya.

Bogor, September 2006

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Eriborus argenteopilosus ... 4

Ukuran Sayap dan Fluktuasi Asimetri ... 6

Produksi telur ... 7

Kepadatan Populasi ... 9

BAHAN DAN METODE ... 10

Tempat dan Waktu ... 10

Metode Penelitian ... 10

Penetapan lahan dan pengambilan contoh serangga ... 10

Luas sayap dan fluktuasi asime tri sayap depan parasitoid E. argenteopilosus ... 11

Produksi telur ... 12

Analisis Data ... 12

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

Populasi Parasitoid Larva E. argenteopilosus ... 13

Ukuran Sayap Parasitoid Larva E. argenteopilosus ... 16

KESIMPULAN DAN SARAN ... 20

Kesimpulan ... 20

Saran ... 20

DAFTAR PUSTAKA ... 21

(9)

DAFTAR TABEL

No Halaman

Teks

1. Seks ratio dan jumlah telur Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan ... 16

2. Ukuran luas sayap depan dan fluktuasi asimetri (FA) sayap

(10)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

Teks

1. Karakter sayap berdasarkan System Comstock-Needhanm, c-sc :

crossveins antara costa dan subcosta, r: crossvein yang

berdekatan dengan cabag radius, r-m: crossveins antara radius

dan media, m-cu : crossveins antara media dan cubitus... 6

2. Sistem reproduksi serangga betina; covd, saluran telur umum;

ovd, saluran telur; ovl, ovariol; ovy, ovarium; sl, ligamen

penggantung; spth, spermateka; spthg, kelenjar spermateka; vag,

vagina (Borror et al.(1996) ... 8

3. Landmark titik pada venasi sayap depan parasitoid larva

Eriborus argentopilosus ... 12 4. Jumlah Parasitoid Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di

daerah Lembang dan Cibodas ... 13

5. Persentase Parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan ... 14

(11)

Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus

Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman

Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan

Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung

Endang Sulismini

A44102001

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

(12)

ABSTRAK

ENDANG SULISMINI. Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur Dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh ENDANG SRI RATNA dan R. YAYI MUNARA KUSUMAH.

Larva Crocidolomia pavonana (F) (Lepidoptera: Pyralidae) merupakan hama penting pada pertanaman kubis yang dapat menimbulkan kerusakan ya ng cukup besar sehingga menyebabkan gagal panen. Salah satu metode pengendalian yang dapat dilakukan untuk menekan C. pavonana di lapang adalah dengan menggunakan pengendalian secara hayati yaitu dengan memanfaatkan musuh alaminya. E. argenteopilosus merupakan salah satu kelompok parasitoid yang berperan sebagai endoparasitoid pada serangga hama C. pavonana. Akan tetapi pada kenyatannya di lapang populasinya rendah. Rendahnya populasi diduga akibat penggunaan insektisida oleh petani secara berlebih. Selain itu penggunaan insektisida dapat menyebabkan penurunan kebugaran parasitoid akibat iunromental stress.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Tumbuhan dan Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tana man, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Maret 2006 sampai dengan Juli 2006. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati

fekunditi dan fluktuasi asimetri sayap sebagai parameter kebugaran

E. argenteopilosus dari tiga tempat pengambilan contoh daerah Lembang dan Cibodas.

Penangkapan sampel parasitoid E. argenteopilosus dilakukan di tiga lokasi yaitu Cibodas datar, Cibodas lereng dan Lembang. Penangkapan dilakukan secara acak dengan menggunakan jaring serangga. Waktu penangkapan parasitoid dipisahkan ke dalam empat periode masing-masing setiap mulai dari pukul 08.00-12.00 WIB. Parameter kebugaran yang diamati selama penelitian antara lain populasi, luas sayap, fluktuasi asimetri (FA) dan produksi telur dalam ovari E. argenteopilosus.

(13)
(14)

Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus

Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman

Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan

Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung

Endang Sulismini

A44102001

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian pada

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

(15)

Judul Skripsi : Fluktuasi Asimetri Sayap Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) Asal Pertanaman Kubis di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Nama Mahasiswa : Endang Sulismini

NRP : A44102001

Program Studi : Hama dan Penyakit Tumbuhan

Menyetujui,

Pembimbing I

Dra. Endang Sri Ratna, PhD NIP. 131124820

Pembimbing II

Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, M.Si NIP. 131879332

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130422698

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mataram pada tanggal 14 Oktober 1983, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan suami istri Muslimin dan Sunarti. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 08 Mataram pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiayah Nurul Hakim Kediri Lombok Barat. Selanjutnya penulis melanjutkan lagi di Madrasah Aliyah Nurul Hakim Kediri Lombok Barat dan lulus pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2002, penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan.

(17)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul fluktuasi asimetri sayap parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera:Ichneumonidae) di Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Skripsi ini sebagai salah satu kelengkapan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Dra. Endang Sri Ratna, PhD sebagai dosen pembimbing pertama dan Dr.Ir. R. Yayi Munara Kusumah M.Si sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kepada Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc sebagai dosen penguji tamu yang telah banyak memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada mama dan ayahanda tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan semangat untuk keberhasilan penulis.

Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada staf laboran (Pak Yusuf dan Pak Agus), Mba Nana, Sahabat-sahabatku : Reyna, Mia, Dede, Ipunk, Lusie, Leni, Warti, Aa, Dona, Hari, Widya, Tata, Ninit, Dewi dan temen-teman HPT’39, dan tema n-teman WISMA Blobo serta pihak-pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan di dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi dunia ilmu pengetahuan dan pertanian. Penulis juga berharap semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan ridha-Nya.

Bogor, September 2006

(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Eriborus argenteopilosus ... 4

Ukuran Sayap dan Fluktuasi Asimetri ... 6

Produksi telur ... 7

Kepadatan Populasi ... 9

BAHAN DAN METODE ... 10

Tempat dan Waktu ... 10

Metode Penelitian ... 10

Penetapan lahan dan pengambilan contoh serangga ... 10

Luas sayap dan fluktuasi asime tri sayap depan parasitoid E. argenteopilosus ... 11

Produksi telur ... 12

Analisis Data ... 12

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

Populasi Parasitoid Larva E. argenteopilosus ... 13

Ukuran Sayap Parasitoid Larva E. argenteopilosus ... 16

KESIMPULAN DAN SARAN ... 20

Kesimpulan ... 20

Saran ... 20

DAFTAR PUSTAKA ... 21

(19)

DAFTAR TABEL

No Halaman

Teks

1. Seks ratio dan jumlah telur Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan ... 16

2. Ukuran luas sayap depan dan fluktuasi asimetri (FA) sayap

(20)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

Teks

1. Karakter sayap berdasarkan System Comstock-Needhanm, c-sc :

crossveins antara costa dan subcosta, r: crossvein yang

berdekatan dengan cabag radius, r-m: crossveins antara radius

dan media, m-cu : crossveins antara media dan cubitus... 6

2. Sistem reproduksi serangga betina; covd, saluran telur umum;

ovd, saluran telur; ovl, ovariol; ovy, ovarium; sl, ligamen

penggantung; spth, spermateka; spthg, kelenjar spermateka; vag,

vagina (Borror et al.(1996) ... 8

3. Landmark titik pada venasi sayap depan parasitoid larva

Eriborus argentopilosus ... 12 4. Jumlah Parasitoid Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di

daerah Lembang dan Cibodas ... 13

5. Persentase Parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan ... 14

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

Teks

1. Sidik ragam luas sayap depan parasitoid Eriborus argenteopilosus

jantan ... 26

2. Sidik ragam luas sayap depan parasitoid Eriborus argenteopilosus

betina ... 26

3. Sidik ragam jumlah telur Eriborus argenteopilosus pada tiap perlakuan ... 26

4. Sidik ragam Fluktuasi (FA) sayap Eriborus argenteopilosus jantan pada tiap perlakuan ... 26

5. Sidik ragam Fluktuasi (FA) sayap Eriborus argenteopilosus betina pada tiap perlakuan... 27

6. Rata-rata suhu udara (ºC) pada setiap jam di lapangan selama

penelitian ... 27

7. Rata-rata kelembaban udara (%) pada setiap jam di lapangan

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kubis-kubisan digolongkan ke dalam famili Brassicaceae atau lebih dikenal

dengan nama Cruciferae. Tanaman kubis merupakan sayuran yang mempunyai

peran penting untuk kesehatan manusia karena banyak mengandung vitamin dan

mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Kubis di Indonesia pada awalnya

hanya ditanam di daerah dataran tinggi yang bersuhu dingin, namun dalam

perkembangan saat ini kubis sudah mulai banyak ditanam di daerah bersuhu

sedang, bahkan di dataran rendah bersuhu panas (Pracaya 2001). Perkembangan

produksi dan luas panen kubis di beberapa wilayah di Indonesia mulai tahun

2000-2004 belum menunjukkan adanya peningkatan yang memuaskan bahkan

cenderung terus menurun (BPS 2005).

Penurunan produksi kubis ini diakibatkan oleh serangan organisme

pengganggu tanaman, diantaranya adalah hama. Kehilangan hasil yang

disebabkan oleh gangguan hama sangat besar nilainya, sehingga dapat

menyebabkan gagal panen di lapang. Menurut Permadi dan Sastrosiswojo (1993),

salah satu hama kubis yang banyak menimbulkan kerugian adalah ulat krop kubis

Crocidolomia pavonana (F) (Lepidoptera: Pyralidae). Ulat ini menyerang sejak awal pembentukan krop hingga panen. Kehilangan hasil akibat serangan ulat C. pavonana dapat mencapai 65,8% (Uhan 1993). Bahkan pada musim kemarau, kehilangan hasil akibat serangan ulat C. pavonana bersama hama kubis lain yaitu ulat Plutella xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae) dapat mencapai 100% (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993).

Hingga kini populasi hama di lapang tetap tinggi dan masih memerlukan

upaya pengendalian. Metode pengendalian hama secara kimiawi dengan

menggunakan insektisida masih digunakan oleh para petani (Rauf et al. 1993).

Suatu kenyataan bahwa sasaran penggunaan insektisida tidak hanya spesifik

mematikan hama, tetapi juga dapat menimbulkan dampak samping berupa

peracunan terhadap organisme lain di dalam ekosistem, diantaranya adalah musuh

alami (Van den Bosch 1973). Untuk mengatasi masalah tersebut, kiat

(23)

2

digantikan dengan pengendalian lain yaitu pemanfaatan parasitoid yang hidup

secara alami di habitat aslinya.

Penggunaan parasitoid pada praktek pengendalian hama merupakan

komponen dasar dari pengendalian hayati, serta merupakan alternatif

pengendalian hama yang tetap melestarikan lingkungan. Peran dan potensi

parasitoid di lapangan dapat ditingkatkan dengan teknik konservasi agar dapat

menekan populasi hama di lapangan. Kiat pengendalian C. pavonana dengan memanfaatkan parasitoid belum banyak dilakukan di Indonesia atau masih dalam

taraf penelitian. Tabuhan Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae) dilaporkan hidup di dalam inang ulat C. pavonana, dan perannya dapat diandalkan untuk membunuh dan mengurangi populasi hama ini.

Endoparasitoid larva E. argenteopilosus potensial digunakan untuk pengendalian hayati. Pada kenyataan di lapang populasi parasitoid tersebut

rendah. Hal ini diduga berkaitan dengan maraknya penggunaan insektisida oleh

petani pada pertanaman kubis dalam mengendalikan hama. Departemen kesehatan

RI tahun 1997 dalam Oginawati (2006) melaporkan bahwa penyemprotan

insektisida oleh petani telah mencapai 73,29% di lapangan. Musnanya populasi

hama dapat menyebabkan terputusnya kehidupan parasitoid yang hidup di dalam

tubuh inang hama. Speight et al. (1999) melaporkan bahwa dinamika populasi

musuh alami dan serangga inangnya dipengaruhi oleh kepadatan, mortalitas,

distribusi umur, pola pemencaran, serta potensi biotik dan abiotik. Dengan

demikian, keberadaan populasi parasitoid di lapangan akan mengikuti keberadaan

larva inangnya. Selain itu dampak langsung penggunaan insektisida dapat

menurunkan kebugaran parasitoid. Kebugaran parasitoid sebagai informasi dasar

penting diteliti untuk mendukung berjalannya program konservasi musuh alami

dalam pengendalian hayati.

Kemampuan terbang dan kapasitas reproduksi berpengaruh terhadap

kebugaran parasitoid. Kebugaran parasitoid dapat dikaitkan dengan variasi

morfologi sayap, produksi telur, tingkat parasitisasi dan lama hidup (Godfray

1994). Hoffmann and Shirriffs (2002) melaporkan bahwa perubahan bentuk sayap

(24)

3

telur Trichogramma yang dipelihara dalam laboratorium dengan di alam bisa memiliki bentuk sayap yang berbeda (Kolliker-Ott et al. 2004). Pengaruh

pengukuran sayap terhadap kebugaran parasitoid di lapang dapat diketahui dengan

menggunakan suatu proses pengukuran yaitu fluktuasi asimetri (FA) sayap.

Analisis fluktuasi asimetri sayap memiliki potensi yang baik untuk memantau

lingkungan yang tercemar (Mpho et al. 2000). Kebugaran parasitoid E. argenteopilosus asal lapang hingga kini belum pernah diteliti.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti fekunditi dan fluktuasi asimetri sayap

sebagai parameter kebugaran E. argenteopilosus dari tiga tempat pengambilan contoh daerah Lembang dan Cibodas.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan sebagai

dasar pengetahuan untuk mendukung kegiatan konservasi parasitoid dalam

program pengendalian hayati hama kubis C. pavonana bila diperlukan.

Hipotesis

• Sayap yang lebih luas memiliki fluktuasi asimetri sayap yang kecil.

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Eriborus argenteophilosus

Parasitoid larva Eriborus argenteopilosus (Cameron) tergolong dalam ordo Hymenoptera, subordo Apocrita, superfamili Ichneumonidea, famili

Ichneumonidae, genus Eriborus (CPC 2002). Parasitoid ini merupakan salah satu kelompok musuh alami serangga hama yang paling banya k diintroduksikan untuk

pengendalian serangga hama. Salah satu inangnya yang menjadi hama penting

pada tanaman kubis-kubisan adalah Crocidolomia pavonana (Zell.) (Lepidoptera: Pyralidae). E. argenteopilosus bersifat soliter dan dilaporkan dapat hidup di dalam inang C. pavonana, Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae),

S. exigua (Lepidoptera: Noctuidae) dan Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) (Kalshoven 1981).

Telur parasitoid E. argenteopilosus berukuran mikroskopis yaitu, mulai 0,18 x 0,004 mm sampai 0,52 x 0,11 mm (Othman 1982). Telur ini berwarna

putih dan berbentuk seperti kacang buncis, diletakkan secara tunggal di dalam

tubuh larva inang. Masa inkubasi telur parasitoid ini hampir sama dengan spesies

famili Ichneumonidae pada umumnya yaitu relatif pendek, berkisar 1-3 hari

dengan rata-rata persentase penetasan telur parasioid 96,1%. Larva berwarna

keputih-putihan dan dapat dibedakan antara kepala dan ruas abdomen terakhir.

Stadium larva membutuhkan waktu 10 sampai 13 hari atau rata-rata 9,3 hari

(Hadi 1985). Imago parasitoid mempunyai toraks yang berwarna hitam dan

abdomen berwarna coklat kemerahan. Ukuran tubuh imago jantan umumnya lebih

kecil dari imago betina (Sahari 1999). Panjang tubuh imago betina 7-8 mm

dengan rentang sayap 11-13 mm. Panjang tubuh jantan 5,5-8,5 mm dan rentang

sayap 9-12 mm (Othman 1982).

Beberapa penelitian menunjukkan adanya keragaman tingkat parasitisasi

yang berdeda di laboratorium pada perlakuan pemaparan dengan jumlah inang

tertentu. Tingkat parasitisasi ini ditunjukkan dengan kemampuan seekor parasitoid

(26)

5

(Utami 2001). Keberhasilan parasitoid dalam melakukan oviposisi tergantung

pada kemampuan parasitoid untuk menemukan habitat, menemukan inang,

penerimaan inang dan kesesuaian inang. Penemuan habitat inang oleh parasitoid

biasanya didasarkan pada jenis tanaman, dan kondisi lingkungan habitat inang

(Quicke 1997; Gordh et al. 1999). Di dalam aktivitas penemuan habitat inang,

biasanya parasitoid menggunakan indera penerima rangsang kimia, visual, suara

dan panas. Satu contoh adalah senyawa kimia kairomon dihasilkan oleh tanaman

yang dapat memikat serangga parasitoid untuk menentukan tanaman tempat

serangga inang hidup. Habitat inang digunakan oleh serangga parasitoid untuk

mengetahui keberadaan inangnya (Godfray 1994; Quicke 1997).

Proses penemuan habitat inang dengan menggunakan indera penglihatan dan

penciuman oleh parasitoid E. argenteopilosus dinyatakan bahwa parasitoid tertarik pada lekuk-lekuk dan tepi daun kubis serta bagian daun yang berlubang

bekas gigitan ulat, serta bau bahan kimia yang berasal dari faeses yang

dikeluarkan larva. Dalam pengendalian hayati, pemilihan jenis inang untuk

peletakkan telur sangat penting diperhatikan, karena akan mempengaruhi kualitas

parasitoid yang berkembang di dalam tubuhnya. Faktor-faktor yang menentukan

kualitas inang adalah jenis inang, umur inang, ukuran inang dan kandungan nutrisi

inang (Godfray 1994).

Setelah parasitoid menemukan inang, belum tentu parasitoid akan menerima

inang dan parasitisme belum tentu terjadi tanpa suatu rangsangan tertentu.

Rangsangan berupa bau, lokasi, ukuran, bentuk atau gerakan inang dapat

mempengaruhi perilaku parasitoid terhadap penerimaan inang (Hadi 1985). Dalam

hal ini parasitoid akan berusaha untuk menemukan inang yang spesifik (Utami

2001).

Kemamp uan terbang parasitoid dalam menemukan habitat dan inang

dipengaruhi oleh kebugaran. Menurut Godfray (1994), kebugaran parasitoid

berhubungan dengan kemampuan reproduksi yaitu dan eksistensi serangga, yaitu

keperidian yang tinggi atau potensi produksi telur, efisiensi mencari inang,

kemampuan berkompetisi, dapat mengkoloni dengan cepat, spesifik terhadap

inang tertentu, kemampuan beradaptasi dan sinkron dengan inangnya.

(27)

6

Ukuran Sayap dan Fluktuasi Asimetri

Sayap pada serangga dewasa merupakan alat gerak atau embelan yang

potensial terutama dalam aktivitas pemencaran suatu populasi spesies

(Meyer 2005). Pada serangga parasitoid, sayap digunakan untuk terbang terutama

berkaitan dalam potensi penemuan habitat inang dan penemuan inang. Umumnya

serangga memiliki dua pasang sayap yaitu sayap depan yang berpangkal di bagian

dorsal mesotoraks dan sayap belakang berpangkal di bagian dorsal metatoraks.

Fungsi sayap pada setiap individu atau kelompok spesies dapat bervariasi,

sebagai contohnya adalah fungsi adaptasi terhadap lingkungan sekitar atau

melindungi diri yaitu pada serangga ordo Coleoptera dan Dermaptera,

mengumpulkan panas (Lepidoptera), mengatur keseimbangan (Diptera),

menghasilkan suara (Orthoptera), atau sebagai isyarat pendengaran untuk

mengenal spesies dan jenis sex serangga lain (Lepidoptera). Pembuluh darah

(veins) ini merupakan perpanjangan dari system sirkulasi tubuh. Sistem ini diisi

dengan hemolymph dan diisi oleh sebuah pembuluh trakea dan sebuah saraf.

Dalam membran sayap, pembuluh darah menyediakan kekuatan selama terbang.

Bentuk sayap, tekstur dan venansi merupakan suatu kekhususan, oleh karena itu

dapat digunakan untuk identifikasi. Pembuluh darah merupakan nama yang sesuai

untuk menemukan sebuah sistem dari John Comstock dan George Needham.

Sistem Comstock-Needhanm : Costa (C), Subcosta (Sc), Radius (R), Media (M),

Cubitus (Cu), Anal veins (A1,A2,A3).

Gambar 1 Karakter sayap berdasarkan System Comstock-Needhanm, c-sc: crossveins antara costa dan subcosta, r: crossvein ya ng berdekatan dengan cabag radius, r-m: crossveins antara radius dan media, m-cu: crossveins antara media dan cubitus

Tofilski (2004) melaporkan bahwa ada sebuah pembuluh darah pada sayap

(28)

7

identifikasi taksonomi. Sebagai contoh titik koordinat dari beberapa karakteristik

pola sayap yang digunakan untuk membandingkan pola pembuluh darah.

Karakteristik-karakterintik tersebut sering merupakan persimpangan atau akhir

dari pembuluh darah. Gambaran suatu sayap serangga digunakan untuk

menentukan batas luar dari sayap dan pembuluh darah. Kerangka dari pembuluh

darah didapat dengan menggunakan suatu algoritma. Sumber dari program

tersebut tersedia dalam GNU General Public License. Berdasarkan penelitiannya

program tersebut secara otomatis diperoleh ukuran sayap serangga berdasarkan

angka. Hal tersebut meliputi gambar dari sayap serangga yang tersusun oleh

titik-titik koordinat pada persimpangan pembuluh darah dan diagram sayap yang dapat

digunakan sebagai uraian hasil. Titik koordinat pada persimpangan pembuluh

darah dihasilkan oleh program dari gambar sayap yang telah berhasil digunakan

untuk membedakan Dolichovespula sylvestris dan D. saxonica.

Kolliker-Ott et al. (2003) melaporkan bahwa Telenomus brassicae dan

Telenomus pretiosum dengan ukuran sayap lebih besar dan bentuk sayap relatif berbeda dengan populasi perbanyakan massal memiliki kemampuan menemukan

inang lebih baik. Variasi pada bentuk sayap kemungkinan berhubungan dengan

kemampuan terbang sehingga perubahan kecil pada bentuk dan ukuran sayap akan

mempengaruhi kemampuan parasitoid.

Anggara (2005) melaporkan bahwa kemampuan mencari inang Telenomus remus di lapangan terbukti cukup baik dan potensial dikembangkan sebagai agens pengendali hayati. Meskipun beragam ukuran sayapnya, setiap individu T. remus

memiliki kemampuan terbang, mencari, menemukan dan mengoviposisi inangnya

di lapangan. Parasitoid populasi tangkapan memiliki ukuran sayap lebih seragam

daripada parasitoid populasi perbanyakan massal dan mengumpul pada ukuran

kecil hingga sedang.

Produksi Telur

Lama waktu parasitoid larva Eriborus argenteopilosus tidak mendapatkan inang ternyata mempengaruhi kemampuan reproduksi parasitoid. Pemuasaan

parasitoid yang lama terhadap inang menyebabkan jumlah telur yang diletakkan

(29)

8

dimana makin lama parasitoid tersebut tidak menemukan inangnya makin sedikit

telur yang diproduksi (Heriano 2000).

Parasitoid yang sejak kemunculannya dari inang sudah dilengkapi dengan

sejumlah sel telur. Pada spesies yang bersifat proovigenik jumlah sel telur tidak

akan bertambah selama hidupnya sedangkan parasitoid yang bersifat sinovigenik

jumlah sel telur dapat bertambah dan pematangan telur terjadi selama hidupnya

(Godfray 1994; Heimpel dan Rosenheim 1998). Potensi produksi telur parasitoid

merupakan jumlah sel telur (oosit) yang diproduksi oleh imago betina (Bounchier

1993). Parasitod yang bersifat sinovigenik biasanya merupakan parasitoid

idiobion, yaitu parasitoid yang memiliki inang yang tidak berkembang bila

terparasit; dan parasitoid yang bersifat proovigenik biasanya merupakan sebagian

dari parasitoid koinobion, yaitu parasitoid yang memiliki inang yang masih dapat

berkembang walaupun terparasit (Quicke 1997; Johnson 2000).

Gambar 2 Sistem reproduksi serangga betina; covd, saluran telur umum; ovd, saluran telur; ovl, ovariol; ovy, ovarium; sl, ligamen penggantung; spth, spermateka; spthg, kelenjar spermateka; vag, vagina (Borror et al. 1996)

Kebugaran parasitoid berhubungan dengan kemampuan reproduksi dan

eksistensi serangga, yaitu keperidian yang tinggi, efisiensi mencari inang,

kemampuan berkompetisi, dapat mengkoloni dengan cepat, spesifik terhadap

inang tertentu, kemampuan beradaptasi dan sinkron dengan. Serangga yang

(30)

9

yang besar, tetapi keberhasilan reproduksi lebih dipengaruhi oleh ketersediaan

nutrisi dan inangnya (Godfray 1994).

Ke padatan Populasi

Islamiah (2003) melaporkan bahwa parasitisasi larva di pertanaman kubis

Cibodas memiliki kecendrungan lebih tinggi pada pola monokultur dibandingkan

tumpang sari. Hal ini mununjukkan bahwa perbedaan kondisi fisik lingkungan asli

dan lingkungan perlakuan dari parasitoid larva E. argenteopilosus diduga menyebabkan rendahnya tingkat parasitisasi. Sehingga setiap individu parasitoid

memiliki kemampuan beradaptasi yang berbeda-beda (Umayah 2003).

Abduchalek (2000) melaporkan bahwa keberadaan larva Crocidolomia binotalis dan Helicoverpa armigera di areal pertanaman selama musim hujan

menunjukkan adanya hubungan positif dengan kerapatan populasi

E. argenteopilosus. Jumlah populasi larva inang yang semakin sedikit, mengakibatkan menurunnya persentasi keberhasilan hidup E. argenteopilosus. Persentase keberhasilan hidup parasitoid larva E. argenteopilosus betina di lapangan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan parasitoid jantan (Heriyano

(31)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di dua lahan pertanaman kubis petani di Desa

Rarahan, Kecamatan Cibodas, Kabupaten Cianjur dan satu lahan pertanaman

kubis di Desa Cibedug, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung. Penimbangan

bobot tubuh dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi, dan

pengukuran serta pengambilan foto sayap dilakukan di Laboratorium Bioekologi

Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Institut Pertanian Bogor, mulai dari bulan Maret sampai Juli 2006.

Metode Penelitian

Penetapan Lahan dan Pengambilan Contoh Serangga

Lokasi pengambilan contoh ditentukan berdasarkan letak topografis habitat

imago parasitoid E. argenteopilosus di pertanaman kubis petani Cibodas dan Lembang (sebelumnya didahului dengan survei lapangan). Penangkapan imago

parasitoid di desa Rarahan ditetapkan di dua tempat yaitu lahan pertanaman kubis

berlereng curam dan lahan pertanaman kubis dengan permukaan datar, sedangkan

penangkapan parasitoid di Lembang dilaksanakan di lahan pertanaman kubis

berlereng. Luas area tempat penangkapan parasitoid secara umum berukuran ±

3000 m², dan di area tersebut tanaman kubis mulai berumur 8 MST sampai 10

MST. Di setiap area pengambilan parasitoid dilakukan pengukuran garis lintang

dan ketinggian tempat dengan menggunakan alat Global Position System (GPS).

Selain itu suhu serta kelembaban lingkungan diukur dengan menggunakan termo

-hygrometer.

Parasitoid E. argenteopilosus yang sedang terbang di atas permukaan kanopi tanaman ditangkap secara acak dengan menggunakan jaring serangga. Waktu

penangkapan parasitoid dipisahkan kedalam empat periode masing-masing setiap

satu jam mulai dari pukul 08.00 hingga 12.00 WIB. Parasitoid yang tertangkap

(32)

11

tersebut diberi pakan madu encer 70% selama berada dalam kurungan di

lapangan, kemudian dibawa ke laboratorium untuk diteliti.

Parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap sari lapang segera di data untuk di hitung persentase tangkapan . Perhitungan persentase jumlah tangkapan

E. argenteopilosus dilakukan dengan rumus sebagai berikut :

% 100

x N

n PJT =

Keterangan:

PJT = persentase jumlah tangkapan

n = jumlah tangkapan setiap jam

N = total tangkapan

Luas Sayap dan Fluktuasi Asime tri Sayap Depan Parasitoid

E. argenteopilosus

Parasitoid hasil tangkapan di lapang dibunuh dengan cara dimasukkan ke

dalam freezer. Bagian sayap depan parasitoid jantan maupun betina dicabut dan

diisolasi untuk diukur, sedangkan sisa bagian tubuh parasitoid betina direndam di

dalam larutan fisiologi Ringer dingin untuk diamati jumlah telur yang dikandung

di dalam abdomen.

Proses pembuatan preparat morfologi sayap dimulai dengan mencabut sayap

parasitoid kiri dan kanan parasitoid, kemudian dilekapkan pada permukaan atas

gelas objek yang telah ditempeli dobel selotip. Pencabutan sayap dilakukan

dengan hati-hati agar sayap tidak rusak, yaitu menggunakan sepasang pinset halus

di bawah mikroskop binokuler. Sayap yang sudah ditempelkan ditutup dengan

gelas preparat, kemudian disimpan dan dikoleksi di dalam kotak koleksi dan siap

untuk diambil fotonya.

Foto preparat sayap diambil dengan menggunakan kamera mikroskop

Olympus DP 11D. Selanjutnya luas sayap diukur dengan menentukan 13 titik

tertentu pada venasi sayap hasil pemotretan melalui program analisis morfometri

(33)

12

cara mengutip program dari jaringan internet dengan alamat

http:/life.bio.sunysb.edu/morph/morph. hmtl (Benet & Hoffmann 1998).

Pengukuran setiap titik landmark secara otomatis dirubah dalam program tersebut

ke dalam koordinat x dan y (pada tahap digitasi) dalam bentuk lembaran data bmp

di dalam microsoft excel software program sehingga dapat diketahui

masing-masing jarak antar titik tersebut. Data luas sayap dan fluktuasi asimetri sayap

[image:33.595.190.434.230.338.2]

disimpan di dalam file microsoft excel software program.

Gambar 3 Landmark titik pada venasi sayap depan parasitoid E. argentopilosus

Produksi Telur

Bagian abdomen yang telah diambil sayapnya seperti diuraikan di atas

dibedah di dalam media Ringer dengan menggunakan pinset tajam dan halus

(jarum mikro) yang sudah dibersihkan dengan ethanol 70% di bawah mikroskop

binokuler. Bagian ovari diisolasi dan dipindahkan di atas gelas objek yang telah

ditetesi larutan Ringer. Jumlah seluruh telur yang berada di saluran kaliks dan

telur di dalam setiap ovariol (T-1) dihitung dan dicatat.

Analisis Data

Rancangan percobaan di dalam penelitian ini digunakan rancangan acak

kelompok dengan tiga perlakuan pengambilan contoh yaitu Cibodas datar,

Cibodar berlereng, dan Lembang dengan jumlah ulangan yang tidak sama.

Analisis keragaman data digunakan program Statistical Analysis System (SAS)

for windows V6.12 dan nilai beda nyata rerata antar perlakuan dianalisa dengan

uji selang ganda Duncan pada taraf a = 5 %. Sedangkan hubungan antara luas

sayap, dan produksi telur dilihat dengan korelasi menggunakan Spearman Rank

(34)

13

0 5 10 15 20 25 30 35 40

08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 waktu penangkapan (jam)

rerata jumlah parasitoid

(ekor/jam)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi Parasitoid Larva Eriborus argenteopilosus

Imago parasitoid Eriborus argenteopilosus yang terdapat di lahan pertanaman kubis Cibodas dan Lembang cenderung aktif terbang sekitar pukul

10.00-11.00. Rerata jumlah parasitoid yang tertangkap pada pukul 10.00-11.00

adalah 33,5 ± 12,8 ekor/jam nyata lebih tinggi dari jumlah parasitoid yang

tertangkap pada dua jam sebelumnya berturut-turut jam 08.00-09.00 dan

09.00-10.00 serta jam 11.00-12.00 adalah 10,7 ± 3,7, 18,3 ± 6,8, dan 19,9 ± 12,6

(Gambar 4). Jumlah parasitoid yang diperoleh pada masing-masing tiga waktu

penangkapan pertama, kedua dan terakhir tidak berbeda nyata. Aktivitas terbang

imago parasitoid E. argenteopilosus pada waktu tersebut diduga berkaitan erat dengan perilaku mencari makan dan mencari inang untuk meletakkan telurnya

[image:34.595.142.485.386.569.2]

(Borror and De Long, 1954).

Gambar 4 Jumlah Parasitoid Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di daerah Lembang dan Cibodas

Meningkatnya jumlah tangkapan pada setiap jam dan kemudian mengalami

penurunan setelah meningkat pada jam 10.00-11.00 diduga karena adanya

aktifitas E. argenteopilosus dimana pada pagi hari mereka lebih memilih berada dalam semak-semak atau tanaman liar untuk melindungi dari embun pagi.

Tingginya jumlah tangkapan pada jam 10.00-11.00 diduga karena kondisi

lingkungan yang mulai stabil, sehingga memudahkan parasitoid untuk terbang

(35)

14

0 5 10 15 20 25

08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00

waktu penangkapan (jam)

% penangkapan

Cibodas datar Cibodas lereng Lembang

Apabila ditinjau dari hasil tangkapan parasitoid di setiap areal contoh maka

rerata 57,3% parasitoid E. argenteopilosus di Cibodas daerah lereng tertangkap lebih tinggi pada setiap jam penangkapan dibandingkan dengan parasitoid yang

tertangkap di Lembang daerah lereng dan Cibodas daerah datar yaitu berturut

turut hanya 35,8% dan 6,9%. Perbedaan persentase hasil tangkapan di tiga lahan

pertanaman pada setiap jam diduga dipengaruhi oleh keberadan populasi larva

serangga inang Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae). Van Driesche & Thomas (1996) melaporkan bahwa keberadaan populasi parasitoid di lapangan

akan mengikuti keberadaan larva serangga inangnya. Islamiah (2003) melaporkan

bahwa rata-rata persentase instar larva C. pavonana yang ditemui di lokasi pertanaman kubis monokultur Cibodas lebih banyak dibandingkan pertanaman

kubis tumpangsari Cibodas dan tumpangsari pertanian organik Cisarua. Selain itu

dilaporkan juga bahwa tingkat parasitisme E. argenteopilosus pada larva

C. pavonana di lokasi pertanaman kubis monokultur Cibodas lebih tinggi dibandingkan pertanaman kubis tumpangsari Cibodas dan tumpangsari pertanian

[image:35.595.145.504.432.597.2]

organik Cisarua.

Gambar 5 Persentase Parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan

Pada saat pengukuran suhu dan kelembaban diketahui bahwa rata-rata suhu

dan kelembaban di Cibodas datar, Cibodas berlereng, dan Lembang berturut-turut

(36)

15

terlihat bahwa suhu dan kelembaban di Cibodas datar dan Cibodas berlereng

memiliki suhu dan kelembaban yang sama, tetapi persentase jumlah serangga

yang tertangkap berbeda-beda yaitu berturut-turut 6,9% dan 57,3%. Perbedaan

jumlah tersebut diduga karena adanya perbedaan kondisi lingkungan dari

masing-masing lokasi.

Zultika (1996) melaporkan bahwa potensi abiotik meliputi habitat dari

tanaman inang yang merupakan faktor fisik berupa lingkungan seperti temperatur,

kelembaban, pencahayaan, curah hujan dan lainnya yang juga berpengaruh

terhadap kemampuan parasitoid untuk berinteraksi dengan inangnya. Faktor iklim,

teknik budidaya dan keragaman tumbuhan disuatu tempat juga dapat

mempengaruhi tingkah laku, jumlah populasi, karakteristik hama dan musuh

alaminya. Daerah yang berbeda dari segi karakteristik baik teknik budidaya,

tanaman inang dan junis inang yang berbeda dapat mengakibatkan tekanan seleksi

yang berbeda pada tingkat keberadaan hama serta serangannya.

Lahan pertanaman kubis di Cibodas datar tidak lebih luas dibandingkan

Cibodas berlereng dan Lembang, selain itu lokasi Cibodas datar dekat dengan

rumah penduduk dengan ketinggian 1200 mdpl dan jarang ditemukan tanaman liar

sebagai inang alternatif atau gulma bunga yang merupakan sumber pakan nektar

bagi imago parasitoid. Pada lahan pertanaman kubis di Cibodas lereng dan

Lembang memiliki suhu dan kelembaban yang berbeda tetapi dua lokasi ini

memiliki kesamaan dalam hal kondisi lingkungan, seperti kondisi lahan yang

berlereng dengan ketinggian berturut-turut 1330 mdpl dan 1342 mdpl, lokasi

pertanaman jauh dari rumah penduduk, banyak ditemukan tanaman liar atau

gulma berbunga, dan banyak lahan yang tidak terurus atau diberakan.

Populasi parasitoid E. argenteopilosus yang tertangkap di lapang menunjukkan ratio jantan dan betina yang bervariasi (Tabel 1). Populasi parasitoid

yang terdapat di Cibodas dan Lembang daerah lereng memiliki ratio betina lebih

kecil dibandingkan dengan jantan, sedangkan di Cibodas daerah datar memiliki

ratio betina lebih besar dibandingkan dengan jantan. Apabila ditinjau dari jumlah

populasi parasitoid yang diperoleh maka jumlah total parasitoid dari lokasi

Cibodas dan Lembang daerah lereng relatif lebih tinggi dibandingkan jumlah

(37)

16

dikaitkan bahwa jumlah parasitoid betina meningkat ketika populasi dilapang

rendah, sebaliknya jumlah jantan akan meningkat ketika populasi di lapang tinggi.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamilton (1967) dalam Gauthier et al. (1997)

bahwa parasitoid betina akan meletakkan lebih banyak telur yang tidak fertil atau

telur jantan pada saat kepadatan parasitoid pada sekelompok inang yang tetap

[image:37.595.112.512.251.324.2]

mulai bertambah.

Tabel 1 Seks ratio dan jumlah telur Eriborus argenteopilosus yang tertangkap di tiga lokasi penangkapan

Tempat jumlah parasitoid (ekor/hari)

seks ratio betina : jantan

jumlah telur ± SD (butir/betina) 1) Lembang 29 1 : 0,8 133,1 ± 79,8 a (n=26) Cibodas Lereng 46 1 : 0,5 121,6 ± 67,2 a (n=75) Cibodas datar 5 4,7 : 1 141,1 ± 40,1 a (n=12)

1) Angka rerata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda

nyata dengan uji duncan pada taraf nyata (a=0,05)

Populasi E. argenteopilosus betina di Cibodas lereng lebih banyak yaitu rata-rata 47 ekor setiap kali penangkapan, tetapi produksi telurnya paling sedikit

(121,6 ± 67,2) dibandingkan di dua lahan lainnya yaitu Cibodas datar dan

Lembang dengan rata-rata tangkapan dan jumlah telur berturut-turut yaitu 6 ekor

per hari, 141,1 ± 40,1 butir telur dan 30 ekor per hari, 133,1 ± 79,8 butir telur.

Beragamnya jumlah telur E. argenteopilosus tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada setiap lokasi. Hal ini diduga produksi telur di dalam

ovari tidak dapat dijadikan ukuran kebugaran tubuh E. argenteopilosus, karena kemampuan memproduksi telur dimiliki oleh setiap individu E. argenteopilosus

betina. Kebugaran tersebut akan terukur jika diketahui kemampuan besarnya

imago betina memarasit inang. Hal ini tidak dilakukan selama penelitian karena di

lakukan pada skala lapang yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan

menghasilkan telur pada saat kemunculan pertamanya sebagai imago dan tidak

memproduksi lagi selama hidupnya disebut proovigenik (Quicke 1997; Johnson

2000).

Ukuran Sayap Parasitoid Larva E. Argenteopilosus

(38)

17

Lembang daerah lereng ditunjukkan pada Tabel 2. Populasi parasitoid jantan yang

tertangkap di Cibodas daerah datar memiliki luas sayap depan nyata lebih kecil

yaitu sekitar 1,8 mm2 dibandingkan dengan luas sayap parasitoid yang tertangkap

di kedua lokasi Cibodas maupun Lembang daerah lereng yaitu sekitar 1,9 mm2,

sedangkan luas sayap dari kedua lokasi tersebut masing-masing tidak berbeda

nyata. Sebaliknya luas sayap populasi parasitoid betina yang diperoleh dari ketiga

lokasi penangkapan masing-masing tidak berbeda nyata yaitu sekitar 2,0-2,1

mm2. Apabila ditinjau dari fluktuasi asimetri (FA) sayap E. argenteopilosus

jantan menunjukkan bahwa FA sayap parasitoid yang tertangkap di Cibodas

daerah datar memiliki kisaran lebih lebar yaitu 0,2 mm dibandingkan dengan

kedua sayap yang terdapat di Cibodas dan Lembang daerah lereng berturut-turut

yaitu 0,1 dan 0,17 mm. Sebaliknya FA sayap parasitoid betina dari populasi

Cibodas daerah datar memiliki kisaran yang nyata paling sempit yaitu 0,06 mm,

diikuti FA populasi daerah Lembang 0,1 mm dan nyata paling lebar dari populasi

Cibodas daerah lereng yaitu 0,13 mm.

Bonn et al. (1996) melaporkan bahwa fluktuasi asimetri merupakan sebuah

ukuran yang diperoleh dari selisih bagian kanan dan kiri ukuran tubuh bilateral

yang simetri dan digunakan untuk memonitoring lingkungan sebagai akibat

adanya tekanan (stress). Stress lingkungan dapat meningkatkan FA pada kondisi

populasi yang stabil (Moller and Swaddle 1997 dalam Rourke 2004).

Tabel 2 Ukuran luas sayap depan dan fluktuasi asimetri (FA) sayap

E. argenteopilosus di tiga lokasi penangkapan

Daerah

Sayap jantan ± SD 1) Sayap betina ± SD

n

Luas sayap

depan (mm2) FA (mm) n

Luas sayap

depan (mm2) FA (mm) Cibodas

lereng 154 1,91 ± 0,07 a 0,10 ± 0,07 b 75 2,07 ± 0,09 a 0,13 ± 0,10 a Cibodas

datar 2 1,78 ± 0,06 b 0,20 ± 0,02 a 12 2,03 ± 0,09 a 0,06 ± 0,11 b Lembang 32 1,87 ± 0,07 a 0,17 ± 0,07 b 26 2,06 ± 0,09 a 0,10 ± 0,09 ab

1) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing

karakter morfologi tidak berbeda nyata dengan uji duncan pada taraf nyata (a=0,05)

[image:38.595.108.554.546.676.2]
(39)

18

Lembang y = 312,35x + 105,9

R2 = 0,073

0 50 100 150 200 250 300 350 400

0 0,1 0,2 0,3 0,4

jumlah telur (butir/betina)

Cibodas datar y = -198,76x + 143,22

R2 = 0,0057

0 50 100 150 200 250

0 0,1 0,2 0,3 0,4

jumlah telur (butir/betina)

Cibodas lereng

y = -74,656x + 128,39

R2 = 0,0115

0 50 100 150 200 250 300

0 0,1 0,2 0,3 0,4

fluktuasi asimetri (mm)

jumlah telur (butir/betina)

dibandingkan dengan parasitoid dari Cibodas datar dan Lembang, sebaliknya

parasitoid betina di Cibodas datar yang relatif memiliki luas sayap lebih kecil

menunjukkan kebugaran paling tinggi dibandingkan parasitoid dari daerah

lainnya.

Populasi parasitoid E. argenteopilosus betina tidak selalu menghasilkan produksi telur yang banyak pada saat populasinya tinggi. Produksi telur di

Cibodas 1 lebih tinggi dibandingkan Cibodas 2 dan Lembang meskipun populasi

[image:39.595.120.507.254.607.2]

di lapang paling rendah

Gambar 6 Korelasi jumlah telur dengan fluktuasi asimetri (FA) sayap

Produksi telur E. argenteopilosus dapat memberikan pengaruh terhadap kebugaran. Menurut Godfray (1994), kebugaran parasitoid berhubungan dengan

kemampuan reproduksi dan eksistensi serangga, yaitu keperidian yang tinggi,

(40)

19

cepat, spesifik terhadap inang tertentu, kemampuan beradaptasi dan sinkron

dengan inangnya, serta potensi produksi telur.

Dari hasil korelasi pada grafik 3 menunjukkan bahwa adanya variasi

pengaruh antara jumlah telur dengan FA di tiga lokasi penangkapan. Jumlah telur

yang diproduksi E. argenteopilosus betina daerah Lembang menggambarkan korelasi positif (r = 0,27) terhadap FA, artinya jika FA sayap kecil maka produksi

telurnya sedikit dan jika FA sayap besar maka produksi telurnya banyak.

Sementara produksi E. argenteopilosus betina daerah Cibodas datar dan lereng menggambarkan korelasi negatif (r = -0,08; r = -0,11) terhadap FA, artinya jika

FA sayap kecil maka produksi telurnya banyak dan jika FA sayap besar maka

produksi telurnya sedikit. Meskipun produksi telur tidak dapat dijadikan faktor

kebugaran hasil pengamatan pada gambar 3 dapat dijadikan sebagai informasi

tambahan bahwa produksi telur tidak dipengaruhi oleh FA sayap meskipun selang

(41)

20

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ukuran sayap depan jantan E. argenteopilosus di Cibodas lereng memiliki FA paling kecil dengan luas sayap yang besar dibandingkan FA di Cibodas datar

dan Lembang. Sedangkan luas sayap depan betina E. argenteopilosus di Cibodas datar memiliki FA dan luas sayap paling kecil dibandingkan FA dan luas sayap di

Cibodas lereng dan Lembang. E. argenteopilosus betina di tiga lokasi memiliki kemampuan menghasilkan telur (fekunditi) yang sama.

Saran

Perlu dilakukan penelitian sejenis untuk melihat pengaruh fluktuasi asimetri

dengan luas sayap E. argenteopilosus yang dipelihara di laboratorium. Melakukan pengukuran kondisi lingkungan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh

terhadap kebugaran parasitoid sebagai aspek pendukung agens pengendalian

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Abduchalek B. 2000. Kepadatan populasi Parasitoid Larva Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada Dua Jenis Inang di Pertanaman Brokoli dan Tomat Petani di Daerah Cibodas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Anggara AW. 2005. Pemencaran dan Kemampuan Parasitoid Telenomus remus

(Nixon) (Hymenoptera: Scelionidae) Pada Dua Tipe Agroekosistem [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Bennet DM, Hofmann AA. 1998. Effect of size and fluactuating asymmetry on field fitness of parasitoid Trichogramma carverae (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Entomological 67, 591-580.

Bouchier RS, Smith SM, Song SJ. 1994. Host acceptance and parasitoid size as predictors of parasitoid quality for mass-reared Trichogramma minutum.

Bio Con 3: 115-39.

[BPS] Biro Pusat Statistik. 2005. Data produksi kubis di Indonesia. http://www.google.com/www.bps.com[6 Agustus 2006].

Bonn A, Gasse M, Rolff J, Martens A. 1996. Increased fluctuating asymmetry in the damselfly Coenagrion puella is correlated with ectoparasitic water mites: implications for fluctuating asymmetry theory. Oecologia 108, 598-596.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan pelajaran serangga. Partosoedjono S, penterjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ pr. 1083h.

Crop Protection Compendium [CPC]. 2002. CPC Global Module. Wallingford.

Gauthier N, Monge JP, Huignard J. 1997. Sex-allocation behaviour of solitary ectoparasitoid: effects of host-patch characteristics and female density.

Entomol Exp Appl 82: 167-74

Godfray HCJ. 1994. Parasitoid: Behaviour and Evolutionary Ecology. New Jersey: Princeton Univercity Press.

Gordh G, Legner EF, Caltagirone LE. 1999. Biology of Parasitic Hymenoptera.

In: Bellows TS, Fisher TW (Eds). 1999. Handbook of biological control. California: Academic Press. Pp. 355-381.

(43)

22

(Zell) (Lepidoptera: Pyralidae) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Heimpel GE, Rosenheim JA. 1998. Egg limitation in parasitoids: a review of evidence and a case study. Bio Con 11: 160-8.

Heriyano N. 2000. Perubahan strategi reproduksi Eriborus argenteopilosus

Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) sebagai tanggap terhadap ketiadaan inang Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae). [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Hoffmann AA, Shirriffs J. 2002. Geographic variation for wing shape in Drosophila serrata. Evolution 56, 1073-1068.

Islamiah M. 2003. Populasi Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) di Pertanaman Kubis di Daerah Cibodas dan Cisarua. [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Johnson MW. 2000. Biological control of pest. Online page: www2.ctahr.hawaii.edu/ento/Faculty%20and%20post_docs/Marshall/text/Fa ll_2000_BC.pdf.

Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru, Van Hoeve.

Kolliker-Ott UM, Bigler F, Hoffman AA. 2004. Field dispersal and host location of Trichogramma brassicae is influenced by wing size but not wing shape.

Biocontrol 31, 10-1.

Meyer JR. 2005. External Anatomy Wings. In General Entomology ENT 425. Australia. (http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425/tutorial/wings.html)

Mpho M, Holloway GJ, Callaghan A. 2000. Fluctuating wing asymmetry and larva density stress in Culex quinquefasciatus (Diptera: Culicidae). Bulletin of Entomological Reseach 90,283-279.

Oginawati K. 2006. Analisis risiko penggunaan insektisida Organofosfat terhadap kesehatan petani penyemprot. http://tl.lib.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbtl-gdl-s3-2006-katharinao-878

Othman N. 1982. Biology of Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae) and its parasites fro Cipanas area, West Java (a report of training course research). Bogor: SEAMEO Regional Centre for Tropical Biology.

Permadi AH, Sastrosiswojo S. 1993. Kubis. Edisi Pertama. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Hortikultura. Lembang.

(44)

23

Quicke DLJ. 1997. Parasitic wasps. Chapman & Hall.London.

Rauf A, Hindayana D, Widodo, Anwar R. 1993. Studi baseline identifikasi dan pengembangan teknologi pengendalian hama terpadu pada sayuran dataran tinggi (survei eksplorasi), penelitian pendukung pengendalian hama terpadu pada sayuran dataran tinggi [Laporan Proyek]. Kerjasama Balai Penelitian Hortikultura Lembang dengan Fakultas Pertanian, IPB.

Rohlf FJ. 1999. Shape statistics: Procructes superimpositions and tangent spaces. State university of new york at stony brook. Journal of Classification 16: 197-223.

Rourke JW. 2004. An evaluation of fluctuating asymmetry as a tool in identifying imperiled Bird Populations. [Thesis]. Departemen of Biology, Faculty of San Diego State University.

Sahari B. 1999. Studi Enkapsulasi Parasitoid Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Implikasinya pada Inang Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae), dan Spodoptera litura (Fabr.) (Lepidoptera: Noctuidae) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1993. Hama-hama tanaman kubis dan cara pengendalian. Lembang: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Hortikultura.

Speight MR, Mark DH, Allan DW. 1999. Ecology of insect: Concepts and Applications. Oxford: Blackwell Science Ltd.

Tofilski A. 2004. Draw Wing, a program for numerical description of insect wings. Journal of Insect Science, 4:7, Available online: insectscience.org/4.17

Uhan ST. 1993. Kehilangan panen karena ulat krop kubis (Crocidolomia binotalis Zell.) dan cara pengendaliannya. Jurnal Hort 3(2): 26-22.

Umayah S. 2003. Pengaruh Perlakuan Insektisida Terhadap Parasitisasi Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada Larva

Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae) di Pertanaman Kubis. [Skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Utami S. 2001. Tanaman Brokoli (Brassica oleraceae var.italica), Pakan Larva

(45)

24

Van Driesche RG, Thomas SB. 1996. Biologycal Control. New York: Chapman & Hall.

Van den Bosch R. 1973. An Introduction to Biological Control. London: Plenum Press.

Van Driesche RG, Thomas SB. 1996. Biologycal Control. New York: Chapman & Hall.

Zultika R. 1996. Eksplorasi dan kepadatan populasi telur Spodoptera exigua

(46)
(47)
[image:47.595.111.515.132.219.2] [image:47.595.113.506.280.364.2] [image:47.595.110.518.425.512.2] [image:47.595.116.511.572.661.2]

26

Tabel Lampiran 1 Sidik ragam luas sayap depan jantan pada tiap perlakuan

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 5 0,096 0,019 4,51 0,0007

Galat 182 0,778 0,004

Total 187 0,875

Ket: R2=0,110 CV=3,444; Selang kritis ? 2=0,077; 3=0,081

Tabel Lampiran 2 Sidik ragam luas sayap depan betina pada tiap perlakuan

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 5 0,029 0,006 0,72 0.611

Galat 107 0,870 0,008

Total 112 0,899

Ket: R2=0,033; CV=4,366; Selang kritis ? 2=0,054; 3=0,056

Tabel Lampiran 3 Sidik ragam jumlah telur pada tiap perlakuan

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 5 24928,850 4985,770 1,08 0.03730

Galat 107 491706,513 4595,388

Total 112 516635,513

Ket: R2=0,040; CV=4,368; Selang kritis ? 2=40,33; 3=42,45

Tabel Lampiran 4 Sidik ragam Fluktuasi (FA) sayap jantan pada tiap perlakuan

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 5 0,155 0,0310 6,36 0,0001

Galat 182 0,888 0,0049

Total 187 1,043

(48)
[image:48.595.115.511.135.222.2]

27

Tabel Lampiran 5 Sidik ragam Fluktuasi (FA) sayap betina pada tiap perlakuan

Sumber db JK KT F P

Perlakuan 5 0,137 0,027 3,14 0,0111

Galat 107 0,937 0,009

Total 112 1,073

Ket: R2=0,128; CV=78,73; Selang kritis ? 2=0,094; 3=0,119

Tabel lampiran 6 Rata-rata harian suhu udara di lapangan selama penelitian

Tempat

Rata-rata suhu udara oC/jam pengambilan

08,00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00

Cibodas lereng 34 32.5 31 24

Cibodas lereng 26.5 32 38 37

Cibodas lereng 23.5 33 37 31

Cibodas lereng 34.5 38.5 44 39

Cibodas lereng 38 34.5 27 27

Cibodas datar 36 32 32.5 30

Cibodas datar 26.5 34 33.5 36

Cibodas datar 37 37 35.5 35

Lembang 27 26.5 24 25

[image:48.595.114.502.282.530.2]
(49)

28

Tabel lampiran 7 Rata-rata harian kelembaban udara di lapangan selama

penelitian

Tempat

Rata-rata suhu udara oC/jam pengambilan

08,00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00

Cibodas lereng 26 32.5 40.5 64.5

Cibodas lereng 75 64.5 55 55.5

Cibodas lereng 71 65.5 49.5 58

Cibodas lereng 56 51 52.5 53

Cibodas lereng 51.5 59 76 80

Cibodas datar 55 58.5 58 63.5

Cibodas datar 65.5 57.5 56.5 53

Cibodas datar 47 48.5 52.5 56.5

Lembang 65 66.5 71 65

(50)
(51)
(52)

28

Lampiran 4 Mortalitas Crocidolomia pavonana terhadap dua strain yang berbeda pada uji lanjutan

Strain Bt Protein Konsentrasi (ppm) Jumlah larva yang diujikan Ulangan Mortalitas (%) 24 JSP 48 JSP 72 JSP Kejajar (25 Mei 2006)

Cry 1B

kontrol 50 10 0 0 2

5 50 10 0 6 26

8.5 50 10 0 10 22

15 50 10 0 10 26

25 50 10 2 46 80

45 50 10 24 90 98

Cry 1C

kontrol 50 10 2 2 6

5 50 10 0 14 34

8.5 50 10 0 6 24

15 50 10 6 52 92

25 50 10 10 54 86

45 50 10 20 70 92

Batu (6 Juli 2006)

Cry 1B

kontrol 50 10 0 0 0

5 50 10 0 0 2

8.5 50 10 2 14 16

15 50 10 14 60 68

25 50 10 66 84 90

45 50 10 64 90 98

Cry 1C

kontrol 50 10 0 0 0

5 50 10 2 4 6

9 50 10 2 6 10

17 50 10 14 42 48

32 50 10 38 92 94

(53)

29

Lampiran 5 Larva yang diberi perlakuan Cry B. thuringiensis (a) P. xylostella

(b) C. pavonana

(a)

(54)

30

Lampiran 6 Analisis probit P. xylostella strain Lembang

Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 2) 1b72

Not estimating natural response

parameter standard error t ratio 1b72 -1.915 0.365 -5.243

SLOPE 2.121 0.322 6.595

Variance-Covariance matrix

1b72 SLOPE 1b72 .1333719 -.1132350 SLOPE -.1132350 .1034718 Chi-squared goodness of fit test

preparation subjects responses expected deviation probability 1b72 50. 22. 19.312 2.688 .386241 50. 26. 28.043 -2.043 .560859 50. 33. 37.078 -4.078 .741563 50. 47. 43.253 3.747 .865050 50. 47. 47.440 -.440 .948792

chi-square 5.1696 degrees of freedom 3 heterogeneity 1.7232

A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75.

Index of significance for potency estimation:

g(.90)=.21944 g(.95)=.40129 g(.99)=1.3518

"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than

1.0, and seldom greater than 0.4."

- D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79. We will use only the probabilities for which g is less than 0.5

Effective Doses

dose limits 0.90 0.95 0.99

LD50 1b72 7.991 lower 4.481 2.845

upper 11.117 12.419

---

Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 4) 1c72

Not estimating natural response

Maximum log-likelihood -149.60126

parameter standard error t ratio 1c72 -1.5408397 .31703222 -4.8601990

SLOPE 1.6274176 .26998757 6.0277500

Variance-Covariance matrix

1c72 SLOPE 1c72 .1005094 -.8231772E-01 SLOPE -.8231772E-01 .7289329E-01

(55)

31

preparation subjects responses expected deviation probability 1c72 50. 19. 17.824 1.176 .356488 50. 20. 24.947 -4.947 .498942 50. 38. 32.629 5.371 .652573 50. 38. 38.661 -.661 .773213 50. 43. 43.868 -.868 .877354

chi-square 4.8132 degrees of freedom 3 heterogeneity 1.6044

A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75.

Index of significance for potency estimation:

g(.90)=.24456 g(.95)=.44723 g(.99)=1.5065

"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4."

- D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.

We will use only the probabilities for which g is less than 0.5

Effective Doses

dose limits 0.90 0.95 0.99

LD50 1c72 8.84709 lower 4.66761 2.72337

(56)

32

Lampiran 7 Analisis probit P. xylostella strain Batu

Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 2) 1b72

Not estimating natural response

parameter standard error t ratio 1b72 -2.7279980 .42241737 -6.4580630

SLOPE 2.8417912 .37460298 7.5861414

Maximum log-likelihood -130.96155

Variance-Covariance matrix

1b72 SLOPE 1b72 .1784364 -.1529800 SLOPE -.1529800 .1403274

Chi-squared goodness of fit test

preparation subjects responses expected deviation probability 1b72 50. 15. 16.082 -1.082 .321646 50. 24. 26.479 -2.479 .529571 50. 42. 38.140 3.860 .762806 50. 47. 45.308 1.692 .906166 50. 47. 48.926 -1.926 .978515 chi-square 6.4486 degrees of freedom 3 heterogeneity 2.1495

A large chi-square indicates a poor fit of the data by the probit analysis model. Large deviations for expected probabilities near 0 or 1 are especially troublesome. A plot of the data should be consulted. See D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), pages 70-75.

Index of significance for potency estimation:

g(.90)=.20686 g(.95)=.37829 g(.99)=1.2743

"With almost all good sets of data, g will be substantially smaller than 1.0, and seldom greater than 0.4."

- D. J. Finney, "Probit Analysis" (1972), page 79.

We will use only the probabilities for which g is less than 0.5

Effective Doses

dose limits 0.90 0.95

LD50 1b72 9.11921 lower 5.76651 4.18379

upper 12.33333 13.80037

---

Intercepts and slopes unconstrained. Preparation is ( 4) 1c72

Not estimating natural response

parameter standard error t ratio 1c72 -.10317439 .47363411 -.21783564

SLOPE 1.4789809 .46045198 3.2120198

(57)

33

parameter standard error t ratio 1c72 -.10317439 .47363411 -.21783564 SLOPE 1.4789809 .46045198 3.2120198

Variance-Covariance matrix

1c72 SLOPE 1

Gambar

Gambar 1 Karakter sayap berdasarkan System Comstock-Needhanm, c-sc:
Gambar 2 Sistem reproduksi serangga betina; covd, saluran telur umum; ovd,
Gambar 3  Landmark titik pada venasi sayap depan parasitoid E. argentopilosus
Gambar 4  Jumlah Parasitoid Eriborus argenteopilosus yang tertangkap  di daerah Lembang dan Cibodas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatasi permasalahan tentang guru orientasi dan mobilitas yang belum memiliki kualifikasi yang belum memadai maka dapat dilakukan beberapa upaya, antara

[r]

Kegiatan-kegiatan emosional (emotional activities).. Minat, membedakan, berani, tenang, menaruh minat, semangat, bergairah, dan gugup. Dapat disimpulkan bahwa aktivitas

Secara umum, permasalahan yang akan dipecahkan melalui penelitian tindakan kelas ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimanakah penerapan pendekatan matematika

Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer (Bandung: Alfabeta, tt), h.50.. Sarana prasarana juga merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pencapaian mutu

[r]

As a comparison of the result of this research, especially concerning the improvement of students writing skill in descriptive text, the writer uses the

Penelitian ini dilakukan pada Pusat Koperasi Polisi Daerah Jawa Barat (Puskoppolda Jabar), tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini adalah untuk

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemecahan masalah dan hasil belajar matematika siswa melalui media pembelajaran e-learning dengan aplikasi eXe