• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Karakteristik Kerupuk Ikan Sapu-Sapu (Hyposarcus Pardalis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Karakteristik Kerupuk Ikan Sapu-Sapu (Hyposarcus Pardalis)"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP

KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU

(

Hyposarcus pardalis

)

Oleh :

Iis Istanti

C34101028

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

RINGKASAN

IIS ISTANTI (C34101028). Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Karakteristik Kerupuk Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis). Dibimbing oleh KOMARIAH TAMPUBOLON dan DJOKO POERNOMO.

Ikan sapu-sapu merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang ada di Indonesia. Ikan ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber pangan karena mempunyai kulit yang tebal dan keras. Untuk meningkatkan preferensi masyarakat terhadap ikan ini perlu adanya upaya diversifikasi menjadi produk yang digemari salah satu diantaranya adalah kerupuk. Produk kerupuk dapat mengalami kemunduran mutu setelah disimpan pada jangka waktu tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan terhadap sifat fisik, sensori dan perubahan kandungan gizi kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcsus pardalis).

Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Pada penelitian pendahuluan panelis lebih menyukai kerupuk dengan konsentrasi daging ikan sebesar 32,36 % berdasarkan uji sensori. Uji volume pengembangan terhadap kerupuk menunjukkan kerupuk ikan dengan konsentrasi 32,36 % memiliki pengembangan terkecil yaitu sebesar 185 %.

Pada penelitian lanjutan dilakukan uji sensori, sifat fisik dan nilai gizi (analisis kimia). Hasil uji sensori dianalisis statistik dengan metode Kruskal Wallis yang menunjukkan bahwa konsentrasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan dan warna kerupuk(minggu 1, 2, 3, 4); aroma (minggu ke-0, 1, 2, 3); rasa (minggu ke-0, 1, 2).

Analisis sifat fisik meliputi tingkat kekerasan, derajat putih, aktivitas air, kapang dan volume pengembangan. Tingkat kekerasan kerupuk ikan sapu-sapu dari minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3 dan ke-4 berturut-turut sebesar 1,95; 1,85; 1,8; 1,65 dan 1,78. Derajat putih kerupuk ikan sapu-sapu dari penyimpanan minggu ke-0 hingga minggu ke-4 berturut-turut adalah sebesar 21,18 %; 21,55 %; 20,51 %; 21,10 % dan 20,64 %. Aktivitas air kerupuk ikan sapu-sapu dari penyimpanan minggu ke-0 hingga minggu ke-4 berturut-turut sebesar 0,559; 0,565; 0,570; 0,575; 0,580. Hasil pengamatan kapang secara visual pada permukaan kerupuk tidak ditemukan adanya pertumbuhan kapang. Volume pengembangan kerupuk ikan selama penyimpanan berturut-turut 211,69 %; 185,96 %; 203,83 %; 192,74 % dan 203,29 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kekerasan, aktifitas air, dan volume pengembangan kerupuk.

(3)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Iis Istanti C34101028

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(4)

Judul : PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis)

Nama Mahasiswa : Iis Istanti Nomor Pokok : C34101028

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Hj. Komariah Tampubolon, MS Ir. Djoko Poernomo, BSc NIP.131 355 555 NIP. 131 288 097

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 14 Mei 1982 sebagai anak terakhir dari sepuluh bersaudara pasangan Bapak Suminta dan Ibu Siti Salamah. Penulis menjalankan pendidikan di SMU Negeri 1 Ciawigebang Kabupaten Kuningan pada tahun 1998 hingga tamat tahun 2001.

Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan di terima pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Departemen Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini adalah hasil penelitian yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul ”Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Karakteristik Kerupuk Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Ibu Ir. Hj. Komariah Tampubolon, MS dan Bapak Ir. Djoko Poernomo, BSc

selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS dan Ibu Ir. Nurjanah, MS yang telah menjadi dosen penguji dan memberikan masukan kepada penulis.

3. Ibu Ir. Hj. Winarti Zahiruddin, MS yang telah menjadi moderator pada acara seminar penulis.

4. Kedua orang tua, kakak-kakak dan seluruh keluarga atas doa, pengorbanan, semangat dan kasih sayang yang telah diberikan.

5. Sahabat-sahabat penulis ”Desy, Yuyun, Nurul, Arin, Teni, T’Henti, Ira dan Wini” atas bantuan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. 6. Teman-teman THP dan AHP angkatan 38, 39, 40 dan 41 atas bantuan dan

kerjasamanya. Serta semua pihak yang telah membantu penulis baik secara moril maupun materiil, sehingga selesainya penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya dan untuk kemajuan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)... 3

2.2 Komposisi Kimia Daging Ikan... 4

2.3 Kerupuk... 6

2.4 Bahan-bahan dalam Pembuatan Kerupuk ... 7

2.4.1 Tepung tapioka ... 7

2.4.2 Bahan tambahan... 9

2.4.2.1 Bawang putih ... 10

2.4.2.2 Garam ... 10

2.4.2.3 Gula ... 11

2.4.2.4 Telur... 11

2.5 Proses Pembuatan Kerupuk... 12

2.6 Pengeringan... 14

2.7 Penyimpanan ... 15

2.8 Pengemasan... 16

2.9 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mutu Kerupuk ... 19

2.10 Kerusakan pada Kerupuk ... 20

3. METODOLOGI... 22

3.1 Waktu dan Tempat... 22

3.2 Bahan dan Alat ... 22

3.3 Metode Penelitian... 23

3.2.1 Penelitian pendahuluan. ... 23

3.2.2 Penelitian lanjutan... 23

3.2.3 Formula bahan. ... 23

(8)

3.3 Pengamatan dan Analisis Produk ... 25

3.3.1 Pengukuran rendemen... 25

3.3.2 Analisis sifat fisik. ... 25

3.3.2.1 Uji kekerasan metode penetrometri... 25

3.3.2.2 Uji volume pengembangan. ... 27

3.3.2.3 Uji derajat putih... 27

3.3.3 Analisis proksimat. ... 27

3.3.3.1 Kadar air. ... 28

4.1.2 Komposisi kimia daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)... 33

4.1.4 Volume pengembangan kerupuk ikan... 42

4.2 Penelitian Lanjutan ... 43

4.2.1 Uji sensori kerupuk selama penyimpanan... 43

4.2.1.1 Penampakan ... 44

4.2.1.2 Warna... 45

4.2.1.3 Aroma ... 46

4.2.1.4 Rasa... 47

4.2.1.5 Kerenyahan ... 49

4.2.2 Analisis sifat fisik kerupuk selama penyimpanan... 50

4.2.2.1 Tingkat kekerasan... 50

4.2.2.2 Derajat putih... 52

4.2.2.3 Aktivitas air... 54

(9)

4.2.2.5 Volume pengembangan ... 56

4.2.3 Analisis proksimat ... 57

4.2.3.1 Kadar air... 58

4.2.3.2 Kadar abu ... 59

4.2.3.3 Kadar lemak ... 61

4.2.3.4 Kadar protein... 62

4.2.3.5 Kadar karbohidrat ... 63

5. KESIMPULAN DAN SARAN... 65

5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA... 67

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan protein ... 5

2. Kandungan gizi ikan sapu-sapu segar dari Waduk Cirata ... 6

3. Syarat mutu kerupuk ikan ... 7

4. Komposisi kimia tapioka per 100 gram bahan ... 8

5. Komposisi kimia bawang putih (Allium sativum) per 100 g yang dapat dimakan... 10

6. Formula bahan dalam pembuatan kerupuk ikan ... 23

7. Komposisi kimia daging ikan sapu-sapu ( Hyposarcus pardalis) dari berbagai lokasi yang berbeda ... 34

8. Tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan (mm/ detik/g) ... 50

9. Derajat putih kerupuk selama penyimpanan ... 52

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Gambar ikan sapu-sapu ... 3 2. Alur proses pembuatan kerupuk ikan ... 18 3. Skema pembuatan kerupuk ikan (modifikasi metode Wiriano 1984) ... 26 4. Histogram rata-rata uji sensori terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu ... 35

5. Histogram rata-rata uji sensori terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu. 37 6. Histogram rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu. 38 7. Histogram rata-rata uji sensori terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu .... 40 8. Histogram rata-rata uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu ... 41

9. Histogram rata-rata volume pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu 42 10. Histogram rata-rata uji sensori terhadap penampakan kerupuk selama

penyimpanan ... 44 11. Histogram rata-rata uji sensori terhadap warna kerupuk selama

penyimpanan ... 45 12. Histogram rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk selama

penyimpanan ... 47 13. Histogram rata-rata uji sensori terhadap rasa kerupuk selama

penyimpanan ... 48 14. Histogram rata-rata uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk

selama penyimpanan ... 49 15. Histogram nilai rata-rata tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan ... 51 16. Histogram rata-rata derajat putih kerupuk selama penyimpanan . 53 17. Histogram rata-rata aktivitas air kerupuk selama penyimpanan .. 54 18. Histogram rata-rata volume pengembangan kerupuk selama

(12)
(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Score sheet uji sensori kerupuk ikan sapu-sapu ... 71 2a. Hasil uji sensori terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ... 72 2b. Hasil uji sensori terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ... 72 2c. Hasil uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ... 73 2d. Hasil uji sensori terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ... 73 2e. Hasil uji sensori terhadap kerenyahan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) pada penelitian pendahuluan ... 74

(14)

penyimpanan ... 85

7c. Hasil uji Kruskal Wallis kerupuk kontrol selama penyimpanan ... 87

7d. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons kerupuk kontrol selama penyimpanan ... 88

8a. Hasil analisis tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan... 89

8b. Hasil analisis ragam tingkat kekerasan kerupuk selama penyimpanan ... 89

9a. Hasil analisis derajat putih kerupuk selama penyimpanan ... 89

9b. Hasil analisis ragam derajat putih kerupuk selama penyimpanan... 89

10a. Hasil analisis aktivitas air kerupuk selama penyimpanan... 90

10b. Hasil analisis ragam aktivitas air kerupuk selama penyimpanan... 90

11a. Hasil analisis volume pengembangan kerupuk selama penyimpanan... 90

11b. Hasil analisis ragam volume pengembangan kerupuk selama penyimpanan ... 90

12a. Hasil analisis kadar air kerupuk selama penyimpanan ... 91

12b. Hasil analisis ragam kadar air kerupuk selama penyimpanan ... 91

(15)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beranekaragam, namun potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Masih banyak potensi perikanan baik dari perikanan tawar maupun laut yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan yang dapat dikonsumsi, sehingga konsumsi produk hasil perikanan masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat konsumsi ikan rakyat Indonesia pada tahun 2000 sebesar 21,57 kilogram per kapita per tahun dan pada tahun 2003 sebesar 24,67 kilogram per kapita per tahun. Meskipun mengalami peningkatan, tingkat konsumsi ini relatif masih rendah bila dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan di negara tetangga ASEAN seperti Malaysia sudah mencapai 45 kilogram per kapita per tahun dan Thailand sebesar 35 kilogram per kapita per tahun (Dahuri 2004).

Ikan sapu-sapu bukan merupakan ikan asli Indonesia melainkan merupakan jenis ikan hasil introduksi dari Brazil (Susanto 2004). Ikan sapu-sapu merupakan jenis ikan yang sering ditemukan di sungai, danau atau rawa. Ikan ini paling bisa beradaptasi dengan perairan yang kandungan oksigen terlarutnya rendah dimana pertumbuhannya relatif cepat tanpa membutuhkan pemeliharaan yang intensif seperti jenis ikan lainnya. Selain itu ikan Sapu-sapu merupakan hewan pemakan alga atau sisa-sisa pakan sehingga selama ini sebagian besar masyarakat memanfaatkan ikan tersebut hanya sebagai pembersih akuarium. Ikan ini belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai sumber pangan.

(16)

sapu-sapu lainnya yang dapat dilakukan adalah berkaitan langsung dengan penganekaragaman produk perikanan berbasis sumberdaya alam, dan meningkatkan preferensi masyarakat terhadap ikan ini yaitu dengan adanya usaha diversifikasi ikan sapu-sapu menjadi produk yang lebih digemari oleh masyarakat seperti halnya kerupuk ikan.

Kerupuk ikan merupakan salah satu jenis makanan ringan yang sudah cukup dikenal oleh masyarakat. Kerupuk ikan mempunyai rasa yang lezat dan gurih sehingga banyak disukai oleh masyarakat. Disamping selain dapat dimakan sebagai makanan selingan seperti halnya makanan camilan, kerupuk ikan juga dapat dikonsumsi sebagai lauk pauk bersama nasi. Selain itu proses pembuatan kerupuk ikan cukup sederhana, sehingga dapat dijadikan usaha pokok atau sampingan bagi keluarga petani-nelayan.

Bahan pangan yang disimpan selama jangka waktu tertentu akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun nilai gizi yang terkandung pada bahan pangan tersebut. Begitu pula dengan kerupuk ikan yang mengalami penyimpanan dapat mengalami perubahan baik secara fisik maupun nilai gizi yang terkandung pada kerupuk ikan, sehingga perlu adanya kajian mengenai pengaruh lama penyimpanan terhadap sifat fisik, sensori dan komposisi kimia kerupuk ikan yang dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mempelajari proses pembuatan kerupuk ikan sebagai salah satu upaya pemanfaatan ikan sapu-sapu dalam diversifikasi produk perikanan.

2. Mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap karakteristik kerupuk ikan sapu-sapu.

(17)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Sapu-sapu

Menurut Kotellat et al (1993), klasifikasi ikan sapu-sapu adalah sebagai berikut:

Filum: Chordata

Subfilum: Vertebrata Kelas: Pisces

Ordo: Siluridea

Famili: Loricarinae Genus: Hypostosmus

Hyposarcus

Spesies: Hypostosmus sp

Hyposarcus pardalis

Ikan sapu-sapu dari jenis Hyposarcus pardalis yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ikan sapu-sapu

(18)

warna tubuh cokelat atau abu-abu dengan bintik-bintik hitam diseluruh tubuhnya (Kottelat et al 1993). Ikan sapu-sapu berasal dari Amerika Selatan tepatnya dari Argentina Utara, Uruguay, Paraguay, dan Brazil bagian Selatan yaitu di sungai Rio de Plate, Rio Paraguay, Rio Panama dan Rio Uruguay (Kottelat et al 1993). Selain terdapat di kawasan Jakarta dan sekitarnya, ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) sudah menyebar hingga di kawasan Depok bahkan daerah Bogor dengan jumlah yang sangat besar (Prihardhyanto 1995).

Menurut Prihardhyanto (1995), keberadaan ikan sapu-sapu diperairan umum di kawasan Jakarta dan sekitarnya tidak terlepas dari aktivitas penggemar dan pembudidaya ikan hias yang mungkin tanpa sengaja melepas jenis ikan tersebut di perairan umum.

Habitat asli ikan sapu-sapu adalah sungai dengan aliran air yang deras dan jernih, tetapi dapat juga hidup di perairan tergenang seperti rawa dan danau (Prihardyanto 1995). Ikan sapu-sapu dapat hidup di perairan dengan kadar oksigen terlarut yang rendah, sehingga hanya sedikit spesies lain yang dapat hidup di perairan tersebut (sampai hanya ikan sapu-sapu yang dapat bertahan hidup).

Jika diamati cara makan ikan sapu-sapu, gerakannya yang lambat dan cenderung menetap di dasar perairan, dengan kemampuan hidup yang kuat, ikan ini cenderung memiliki kandungan logam berat yang hampir sama dengan lingkungan tempat hidupnya. Bila perairannya bersih, maka ikan ini aman untuk dikonsumsi demikian juga sebaliknya. Berdasarkan ususnya yang panjang dan tersusun melingkar seperti spiral, ikan sapu-sapu dapat dikelompokkan ke dalam jenis ikan herbivora. Sedangkan berdasarkan relung makannya yang luas maka ikan sapu-sapu dikelompokkan ke dalam jenis eurifagik (ikan pemakan bermacam-macam makanan ) (Prihardhyanto 1995).

2.2 Komposisi Kimia Daging Ikan

(19)

golongan ikan, umur, dan jenis kelamin. Jenis atau golongan ini sangat berpengaruh terhadap variabilitas komposisi daging ikan.

Peranan umur dalam variabilitas komposisi kimiawi tampak nyata pada kandungan lemak daging ikan. Makin tua ikan, kandungan lemaknya cenderung makin banyak. Sedangkan pengaruh jenis kelamin terutama erat hubungannya dengan kematangan seksualnya atau kedewasaannya. Demikian pula kebiasaan makan ikan (feeding habit) sangat mempengaruhi komposisi dagingnya.

Faktor alami (ekstrinsik), yaitu semua faktor luar, yang tidak berasal dari ikan, yang dapat mempengaruhi daging ikan. Golongan faktor ini terdiri atas daerah kehidupannya, musim dan jenis makanan yang tersedia. Daerah kehidupannya erat sekali hubungannya dengan sumber makanan baik dalam jumlah maupun jenisnya (Muchtadi dan Sugiyono 1992). Menurut Stansby dan Olcott (1963), penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya. Golongan Ikan Kadar lemak Kadar protein Lemak rendah - protein sedang < 5 15 – 20 Lemak sedang - protein sedang 5 – 15 15 – 20 Lemak tinggi - protein rendah > 5 < 15 Lemak rendah - protein tinggi < 5 > 20 Lemak rendah - protein rendah < 5 < 15 Sumber: Stansby dan Olcott (1963)

Lemak dan protein ikan dapat digolongkan menjadi ikan lemak rendah-protein sedang, lemak sedang – rendah-protein sedang, lemak tinggi – rendah-protein rendah, lemak rendah – protein tinggi dan lemak rendah – protein rendah. Lemak ikan banyak mengandung asam lemak tak jenuh. Diantara asam-asam lemak tak jenuh tersebut, yang paling banyak terdapat dalam ikan antara lain linoleat (C18:2), linolenat (C18:3) dan arakhidonat (C20:4) yang merupakan asam-asam lemak esensial (Zaitsev at al 1969). Adanya asam-asam lemak tak jenuh ini dapat menimbulkan ketengikan karena asam lemak mudah teroksidasi.

(20)

vitamin, pigmen (berupa senyawa-senyawa yang larut dalam lemak, antara lain karotenoid, xantofil, astaxanthin, yang warnanya bervariasi antara kuning sampai merah) dan citarasa. Dari hasil penelitian Chaidir (2001), kandungan gizi ikan

sapu-sapu dari waduk Cirata dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan gizi ikan sapu-sapu segar dari Waduk Cirata

Jenis uji Satuan Nilai

Kandungan air % 77,50

Kandungan abu % 1,01

Kandungan lemak % 1,23

Kandungan protein % 19,71

Merkuri Mg/kg 0,006 mg/kg

Sumber : Chaidir (2001)

Kandungan gizi ikan sapu-sapu digolongkan pada kelompok ikan berlemak rendah dan berprotein sedang (Stansby dan Olcott 1963). Sementara kandungan logam merkuri masih berada dibawah ambang batas maksimum yang ditetapkan Departemen Kesehatan RI maupun Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu sebesar 0,5 mg/kg, artinya ikan ini aman untuk dikonsumsi, walaupun demikian perlu dilakukan pemantauan secara rutin.

2.3 Kerupuk

Kerupuk merupakan produk makanan yang dibuat dari tepung tapioka dan tepung sagu dengan atau tanpa penambahan makanan dan bahan tambahan makanan lain yang diijinkan. Produk ini disiapkan dengan cara menggoreng atau memanggang sebelum disajikan.

(21)

sumber protein seperti ikan, udang, kedelai dan sebagainya dalam proses pembuatannya.

Ikan dan udang yang ditambahkan ke dalam kerupuk dimaksudkan untuk meningkatkan nilai gizi dan memperoleh cita rasa yang khas dari udang atau ikan. Ikan dan udang merupakan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral. Perbandingan antara tepung ikan, ikan atau udang akan menentukan mutu kerupuk yang dihasilkan (Djumali et al 1982).

Kerupuk ikan didefinisikan sebagai hasil olahan dari campuran yang terdiri atas ikan segar, tepung tapioka dan bahan-bahan lain yang mengalami perlakuan: pengadonan, pencetakan, pengukusan, pengangin-anginan, pengirisan dan pengeringan. Ada juga sebagian yang menambahkan monosodium glutamat sebagai penyedap.

Bahan baku kerupuk ikan adalah semua jenis ikan segar yang dapat ditangani dan atau diolah untuk dijadikan produk berupa ikan segar. Jenis bahan baku yang umumnya digunakan sebagai bahan baku kerupuk ikan adalah ikan tenggiri, ikan gabus, ikan kakap, ikan gurami, ikan nila dan lain-lain. Bentuk bahan baku kerupuk ikan berupa ikan segar utuh tanpa kepala. Syarat mutu kerupuk ikan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Syarat mutu kerupuk ikan

No Parameter Nilai

1. Aroma dan rasa Khas kerupuk ikan

2. Serangga dalam bentuk stadia dan potongan serta benda asing

Tidak nyata

3. Kapang Tidak nyata

4. Air (%) Maksimal 12

5. Abu, tanpa garam (%) Maksimal 1

6. Protein (%) Minimal 5

7. Serat kasar (%) Maksimal 1

8. BTM Tidak nyata

9. Logam berbahaya (Pb, Cu, Hg) dan As Tidak nyata Sumber: Standar Nasional Indonesia 01-2713, 1999

2.4 Bahan-bahan dalam Pembuatan Kerupuk 2.4.1 Tepung tapioka

(22)

membuat kerupuk dikarenakan harganya yang relatif murah, mempunyai daya ikat yang tinggi, serta membentuk tekstur yang kuat. Menurut Wiriano (1984), tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) atau singkong segar setelah melalui proses pemarutan, penyairan serta penyaringan, pengendapan pati dan kemudian pengeringan.

Tepung tapioka merupakan salah satu contoh bahan makanan yang banyak mengandung karbohidrat. Jenis karbohidrat yang terdapat dalam tepung tapioka adalah pati. Menurut Brautlecht (1953) diacu dalam Susilo (2001), tapioka terdiri dari granula-granula pati yang berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Semakin putih warna tepung pati, ternyata tepung pati akan nampak semakin mengkilat dan terasa licin. Komposisi kimia tepung tapioka per 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi kimia tapioka per 100 g bahan

Komponen Satuan Jumlah

Karbohidrat gram 86,9

Protein gram 0,5

Lemak gram 0,3

Air gram 12

Abu gram 0,3

Sumber: Anonim (1995) diacu dalam Susilo (2001)

Menurut Winarno (1984), pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan á-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan á-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4 -5 % dari berat total.

(23)

Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang diserap dan pembengkakannya terbatas. Air yang diserap hanya dapat mencapai kadar 30 %.

Peningkatan volume granula pati yang sesungguhnya yaitu pada suhu 55 °C – 65 °C. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat

tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi yang dapat dilakukan dengan penambahan air panas (Winarno 1992).

Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Pati yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi molekul-molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat-sifatnya sebelum gelatinisasi. Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap jenis pati. Suhu gelatinisasi pada tepung tapioka berkisar antara 52-64 °C (Winarno 1992).

Penggunaan sumber pati yang berbeda, akan menghasilkan daya kembang kerupuk yang berbeda. Pati sagu dan tapioka menghasilkan pembengkakan (swelling) yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Pada proses pembuatan kerupuk, gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati yang terjadi saat pengukusan adonan pada pembuatan kerupuk yang mempengaruhi daya kembang kerupuk. Dengan adanya proses gelatinisasi ini akan terbentuk struktur yang elastis yang dapat mengembang pada tahap penggorengan (Lavlinesia 1995).

Mutu kerupuk yang dihasilkan seperti volume pengembangan, kerenyahan dan tingkat kesukaan konsumen terhadap rasa dipengaruhi oleh mutu tepung yang digunakan. Oleh karena itu digunakan tepung yang memenuhi persyaratan organoleptik, seperti penampakan putih, kering, bersih dan tidak bau asam (Wijandi et al 1975 diacu dalam Lavlinesia 1995).

2.4.2 Bahan tambahan

(24)

1992). Bahan tambahan yang diperlukan dalam pembuatan kerupuk antara lain bawang putih, garam, gula dan telur.

2.4.2.1 Bawang putih (Allium sativum L.)

Bawang putih (Allium sativum L.) termasuk tanaman rempah yang bernilai ekonomi tinggi karena memiliki beragam kegunaan. Manfaat utama bawang putih adalah sebagai bumbu penyedap masakan yang membuat masakan menjadi beraroma dan mengandung selera. Meskipun kehadiran dalam bumbu masak hanya sedikit, namun tanpa kehadirannya masakan akan terasa hambar. Selain itu juga bawang putih berfungsi untuk meningkatkan daya awet bahan makanan (bersifat fungistatik dan fungisidal). Bau khas dari bawang putih berasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur (Palungkun dan Budiarti 1992). Komposisi kimia bawang putih dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi kimia bawang putih (Allium sativum) per 100 g yang dapat dimakan.

Kandungan Satuan Jumlah

Air gram 66,20 – 71,00

Energi kalori 95,00 – 122,00

Protein gram 4,50 – 7,00

Lemak gram 0,20 – 0,30

Karbohidrat gram 23,10 – 24,60

Kalsium (Ca) miligram 26,0 0– 42,00

Fosfor (P) miligram 15,00 – 109,00

Kalium (K) miligram 346,00

Sumber: Palungkun dan Budiarti (1992)

2.4.2.2 Garam

Istilah garam biasanya digunakan untuk garam dapur dengan nama kimia natrium chlorida (NaCl). Pemakaiannya dipilih yang mempunyai mutu yang baik, warna putih mengkilat, kotorannya sedikit dan sesuai dengan syarat mutu garam yang telah ditentukan (Wiriano 1984). Garam mungkin terdapat secara alamiah dalam makanan atau ditambahkan pada waktu pengolahan dan penyajian makanan. Makanan yang mengandung kurang dari 0,3 % garam akan terasa hambar dan tidak disukai (Winarno et.al 1980).

(25)

pertumbuhan jamur pada produk akhir. Banyaknya garam yang digunakan dalam pembuatan kerupuk biasanya 2,5 – 3,0 %. Pemakaian yang berlebihan

menyebabkan warna kerupuk menjadi lebih tua dan tekstur agak kasar (Wiriano 1984). Selain itu penggunaan garam yang berlebihan akan

menyebabkan terjadinya penggumpalan (salting out) dan rasa produk menjadi asin.

2.4.2.3 Gula

Meskipun dalam jumlah sedikit, gula sangat berperan penting dalam proses pembuatan kerupuk. Gula yang sering digunakan dalam pembuatan kerupuk adalah gula pasir (gula tebu). Penambahan gula dalam pembuatan kerupuk bertujuan untuk memberikan rasa manis, memberi warna pada produk akhir sehingga menjadi lebih indah (Wiriano 1984).

Menurut Djumali et al (1982) penambahan gula dalam adonan kerupuk berperan dalam memperbaiki mutu kerupuk, menambah nilai gizi dan sebagai bahan pengikat. Selain itu dapat menurunkan kadar air yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme.

Pemakaian gula dalam pembuatan kerupuk biasanya antara 2,0 - 2,5 %. Pemakaian yang berlebihan menyebabkan makin sedikit kadar air yang diserap oleh tepung di dalam adonan, sehingga waktu pengadukan perlu diperpanjang.

Selain itu pengembangan kerupuk pada waktu digoreng berkurang (Wiriano 1984).

2.4.2.4 Telur

(26)

diantaranya besi, fosfor, kalsium, tembaga, yodium, magnesium, mangan, potasium, sodium, seng, klorida dan sulfur.

Penambahan telur dalam pembuatan kerupuk bertujuan untuk meningkatkan nilai gizi dari kerupuk yang dihasilkan. Kuning telur cenderung lebih mengelastiskan bahan dibandingkan dengan putih telur, sedangkan putih telur memberikan struktur yang berongga yang lebih dibanding dengan kuning telur. Hasil penelitian Purnomo dan Choliq (1987), membuktikan bahwa penggunaan putih telur dalam pembuatan kerupuk menghasilkan kerupuk dengan volume pengembangan yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan kuning telur. Karena putih telur cenderung memberikan struktur yang berongga yang lebih, sehingga menghasilkan volume pengembangan yang lebih besar daripada kuning telur.

2.5 Proses Pembuatan Kerupuk

Dalam pembuatan kerupuk terdapat 4 tahap proses yang amat penting dalam menentukan produk akhir yang dihasilkan, yakni pembuatan adonan, pengukusan, pengeringan dan penggorengan.

a. Pembuatan adonan

Faktor terpenting dalam tahap pembuatan adonan adalah homogenitas adonan, karena sifat ini akan mempengaruhi keseragaman produk akhir yang dihasilkan, baik karakteristik fisik, kimia maupun organoleptik. Untuk itu pada saat pencampuran bahan hendaknya dilakukan sampai benar-benar homogen. (Siahaan 1988 diacu dalam Susilo 2001).

Menurut Liepa (1976) diacu dalam Susilo (2001), suhu adonan yang baik untuk pembuatan lembaran adalah 26,7-76,7 °C. Kadar air adonan yang baik untuk dapat mengahasilkan lembaran yang tipis adalah 25-55 % dan kadar air yang terbaik berkisar antara 35 % sampai 45 %.

b. Pengukusan

(27)

granula pati sedemikian rupa sehinggga granula tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula (Winarno 1992).

Dalam pengukusan, panas dipindahkan ke produk melalui konveksi. Pengukusan yang kurang atau berlebihan akan mengakibatkan penurunan mutu. Pengukusan yang terlalu lama akan menyebabkan berkurangnya kadar air bahan, menurunkan berat produk dan denaturasi protein. Lama pengukusan akan mempengaruhi hilangnya kandungan air bahan sebesar 10 % sampai 40 % dari berat total sebelumnya (Lund 1984).

c. Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan sebagian air dari suatu bahan dengan menggunakan energi panas (Winarno et al 1980). Pengeringan kerupuk bertujuan untuk menyediakan bahan dengan kadar air tertentu dimana adanya air akan mengurangi kualitas atau kapasitas kemekaran kerupuk dalam proses penggorengan selanjutnya. Disamping itu, pengeringan kerupuk bersifat mengawetkan dan mempertahankan mutu (Winarno et el 1980).

Produk yang digoreng tanpa pengeringan, akan menghasilkan produk yang tidak mengembang, keras dan permukaan tidak merata. Agar dapat mengembang, gel pati kerupuk memerlukan tekanan uap yang maksimum pada proses penggorengan, untuk itu diperlukan tingkat kadar air tertentu pada kerupuk mentah (Wiriano 1984). Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan suatu alat pengering (artificial dryer) atau dengan penjemuran alami dengan sinar matahari (sun drying).

d. Penggorengan

(28)

Minyak yang digunakan sebagai medium penggorengan berfungsi sebagai penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi kalori dalam bahan pangan (Winarno 1992). Menurut Weiss (1983) diacu dalam Susilo (2001), suhu minyak yang baik untuk menggoreng berkisar antara 168-196 °C, tergantung dari bahan yang digoreng. Suhu minyak yang rendah (kurang dari 168 °C) akan menyebabkan terjadinya kekerasan yang tidak diinginkan (bantat). Suhu minyak yang tinggi (lebih dari 196 °C) akan menyebabkan makanan gosong pada bagian luar sedangkan pada bagian dalam belum matang.

Selama proses penggorengan berlangsung, terjadi penguapan air yang terkandung dalam bahan. Ruang tempat air yang teruapkan itu lalu diisi oleh udara yang dikenal dengan pengembangan (kemekaran). Alur proses pembuatan kerupuk ikan dapat dilihat pada Gambar 2.

2.6 Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air tersebut dikurangi sampai batas agar mikroba tidak dapat tumbuh di dalamnya (Winarno et al 1980).

Tujuan pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat, demikian juga perubahan-perubahan akibat aktivitas enzim. Beberapa keuntungan dari pengeringan antara lain bahan menjadi awet, dengan volume bahan yang lebih kecil sehingga memudahkan dan menghemat ruang pengepakan dan pengangkutan dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah (Winarno et al 1980).

Disamping itu pengeringan juga dapat menyebabkan kerugian antara lain hilangnya sifat asal dari bahan yang dikeringkan misalnya bentuk, sifat-sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan lain-lain. Menurut Buckle et al (1985), faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan bahan pangan antara lain:

(29)

2. Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat/media perantara pemindah panas (seperti nampan untuk pengeringan).

3. Sifat-sifat fisik dari lingkungan dan alat pengering (suhu, kelembaban, dan kecepatan udara).

4. Karakteristik alat pengering (efisiensi pemindahan panas).

Pengeringan alami merupakan metode pengeringan yang memanfaatkan energi matahari sebagai energi pengeringnya. Pengeringan ini biasanya dilakukan dengan cara menjemur di bawah terik cahaya matahari dan pada umumnya dilakukan diatas para-para yang terbuat dari berbagai bahan padat. Keuntungan dari pengeringan alami yaitu tidak memerlukan peralatan yang khusus dan mahal serta prosesnya mudah sehingga dapat dilakukan oleh siapapun. Sedangkan kelemahannya adalah pengeringan berjalan lambat karena tergantung kepada cuaca sehingga terjadi pembusukan sebelum produk kering.

2.7 Penyimpanan

Penyimpanan adalah usaha untuk melindungi bahan pangan dari kerusakan yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain seperti mikroorganisme, serangga, tikus dan kerusakan fisiologis atau biokimia (Damayanti dan Mudjajanto 1995). Penyimpanan bahan pangan atau hasil pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pengolahan, khususnya pengawetan dan pengemasan bahan pangan. Penyimpanan berfungsi sebagai pengendali persediaan makanan.

Cara penyimpanan bahan pangan selama proses pengolahan dan tingkat distribusi serta penjualan merupakan salah satu faktor dalam menentukan keamanan dan mutu bahan pangan (Buckle et al 1985). Faktor yang sangat berpengaruh selama penyimpanan bahan pangan adalah faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor biotik dapat disebabkan oleh serangga, tungau, hewan pengerat, dan mikroorganisme (kapang, khamir dan bakteri). Sedangkan faktor abiotik adalah suhu, kelembaban, O2, dan CO2 di tempat penyimpanan. Interaksi antara kedua faktor tersebut akan menentukan kondisi penyimpanan selanjutnya berpengaruh pada tingkat penyusutan bahan pangan yang disimpan (Sinha dan Muir 1973 diacu dalam Erawaty 2001).

(30)

organoleptik yang mencirikan berlangsungnya proses pembusukan yang relatif cepat dengan berjalannya waktu penyimpanan (Suparno dan Martini 1980 diacu dalam Lestari 2002).

Kerusakan bahan pangan dapat diartikan sebagai perubahan yang terjadi pada pangan (mentah atau olahan) dimana sifat-sifat kimiawi, fisik dan organoleptik bahan pangan telah ditolak oleh konsumen. Suatu bahan pangan dikatakan rusak bila menunjukkan adanya penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh panca indera atau parameter lain yang digunakan (Muchtadi 1989).

Menurut Winarno dan Jennie (1983) diacu dalam Amelia (2000) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyimpanan adalah kadar air. Pengaruh kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet dari makanan, karena faktor ini akan mempengaruhi sifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat-sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia (browning

non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan enzimatis terutama pada makanan yang tidak diolah. Tumbuhnya kapang di dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi bahan pangan. Beberapa mikroba dapat menghidrolisa lemak sehingga menyebabkan ketengikan. Jika makanan mengalami kontaminasi secara spontan dari udara, maka akan terdapat campuran beberapa tipe mikroba (Muchtadi 1989). 2.8 Pengemasan

Pengemasan bertujuan untuk mencegah kebusukan, memudahkan dalam transportasi, penyimpanan, pengawasan mutu, dan membuat produk menjadi lebih menarik (Zaitsev et al 1969). Selain itu kemasan mempunyai peranan penting dalam mempertahankan mutu bahan.

Kerusakan yang terjadi dalam bahan pangan dapat terjadi secara spontan dan hal ini sering disebabkan oleh pengaruh keadaan dari luar. Pengemasan juga digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan keadaan sekelilingnya untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu tertentu (Buckle et al

1985).

(31)

ditentukan oleh sifat alamiah dari produk dan tidak dapat dicegah dengan pengemasan, misalnya keruskan kimia, biokimia, fisik dan mikrobiologi. Kedua, kerusakan yang ditentukan oleh lingkungan dan hampir seluruhnya dapat dikontrol dengan pengemasan yang digunakan, misalnya kerusakan mekanis, perubahan kadar air bahan, absorbsi dan interaksi dengan oksigen serta kehilangan dan penambahan citarasa yang diinginkan.

Syarief et al (1989) menyatakan bahwa dalam pemilihan jenis kemasan produk pangan harus dihindari adanya perubahan fisik dan kimia karena migrasi dari bahan kemas seperti monomer plastik, timah putih dan korosi. Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas memungkinkan banyak variasi dan serba guna seperti melindungi, mengawetkan, menyimpan dan memamerkan hasil. Bahan kemasan yang dibutuhkan untuk mengemas produk-produk perikanan adalah yang dapat mencegah kehilangan atau peningkatan kadar air dan tidak dapat melewatkan komponen-komponen flavor yang berupa senyawa organik volatil. Aroma dan flavor dari produk perikanan olahan kemungkinan dapat lolos melalui permeabilitas bahan kemas, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran flavor antara produk pangan yang berbeda dalam tempat penyimpanan (Saccharow dan Griffin 1984).

(32)

Ikan

Penyiangan dan pemfiletan

Daging ikan (skinless fillet)

Pelumatan

Tepung tapioka pencampuran

(mixer)

Pengadonan

Pencetakan (dodolan)

Pengukusan sampai matang (1.5 – 2 jam, 80 °C)

pendinginan (suhu ruang, 24 jam)

pemotongan (2 – 3 mm)

pengeringan dengan sinar matahari (1 – 2 hari)

penggorengan (168-196 °C)

kerupuk ikan

(33)

2.9 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Mutu Kerupuk

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu kerupuk mentah ataupun matang, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Kadar air

Kadar air yang terikat dalam kerupuk sebelum digoreng sangat menentukan volume pengembangan kerupuk matang (Muliawan 1991 diacu dalam Amelia 2000). Jumlah air yang terikat dalam bahan pangan akan menentukan banyaknya letusan yang menguap selama penggorengan. Jumlah uap air yang terdapat dalam bahan pangan ditentukan oleh lamanya pengeringan, suhu penggorengan, kecepatan aliran udara, kondisi bahan dan cara penumpukan serta penambahan air sewaktu pembuatan adonan pada proses gelatinisasi pati (Lavlinesia 1995).

2) Volume pengembangan

Pengembangan merupakan salah satu parameter mutu kerupuk goreng (Muliawan 1991 diacu dalam Amelia 2000). Sedangkan volume pengembangan dipengaruhi oleh kadar air kerupuk mentah dan suhu pengorengan (Zulviani 1992). Volume pengembangan kerupuk juga dipengaruhi oleh adanya penambahan jenis pengembang makanan pada adonan kerupuk mentah. Dari hasil penelitian penggunaan soda kue, soda abu dan amoniak kue dapat meningkatkan volume pengembangan kerupuk sekitar 20 % (Tahir 1985).

Menurut Lavlinesia (1995), daya kembang kerupuk dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

a. Sumber pati yang digunakan. Penggunaan sumber pati yang berbeda akan menghasilkan daya kembang kerupuk yang berbeda. Penggunaan pati tapioka dan sagu memberikan derajat pengembangan linear yang tinggi dibandingkan dari jenis pati lainnya pada pembuatan kerupuk.

b. Kandungan dan jenis protein. Kandungan protein yang tinggi cenderung menurunkan daya kembang kerupuk. Selain jumlah protein yang mempengaruhi daya kembang kerupuk, sumber protein yang berbeda juga berpengaruh terhadap daya kembang kerupuk.

(34)

terikat dalam bahan akan menentukan banyaknya letusan yang menguap selama penggorengan. Jumlah uap air yang terdapat di dalam bahan, selain ditentukan oleh lamanya pengeringan, suhu penggorengan, kecepatan aliran udara, kondisi bahan dan cara penumpukan. Selain itu juga dipengaruhi oleh penambahan air sewaktu pembuatan adonan pada proses gelatinisasi.

d. Suhu penggorengan. Kerupuk yang digoreng dalam minyak yang kurang panas dalam waktu yang lama akan dihasilkan pengembangan yang kurang baik, sedangkan bila suhu penggorengan yang terlampau panas, walaupun waktu dibutuhkan untuk mengembang lebih cepat akan tetapi kerupuk goreng akan mudah hangus.

e. Penggunaan bahan pengembang. Penggunaan bahan pengembang seperti soda kue, soda abu dan amoniak kue dapat meningkatkan kerupuk sekitar 20 %. f. Faktor lain yang berpengaruh terhadap daya kembang kerupuk adalah

pengadukan. Pengaruh pengadukan terhadap volume pengembangan adalah selain hubungannya dengan pengumpulan udara dan gas juga berpengaruh terhadap proses gelatinisasi pati.

3) Kemasan

Pengemasan berfungsi untuk melindungi produk dari pengaruh lingkungan dan untuk memberi pengaruh visual. Selain itu pengemasan juga untuk mempermudah penanganan serta distribusi dan memperpanjang masa simpan produk yang dikemas (Nelson 1995 diacu dalam Amelia 2000). Syarief et al

(1989) menerangkan bahwa terdapat hubungan antara kemasan dengan mutu produk yang dikemas. Pengemas akan menjaga produk dari perubahan aroma, warna tekstur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan oksigen.

2.10 Kerusakan pada Kerupuk

Bahan pangan selain sebagai sumber gizi bagi manusia juga menjadi sumber makanan bagi perkembangan bakteri yang mengakibatkan berbagai perubahan fisik maupun kimiawi yang tidak diinginkan. Bahan pangan dikatakan rusak apabila telah mengalami perubahan cita rasa, penurunan nilai gizi, atau tidak aman lagi untuk dikonsumsi karena dapat mengganggu kesehatan (Syarief et al

(35)

Kerusakan pada kerupuk ikan ditandai dengan berkurangnya kerenyahan dan tumbuhnya kapang pada permukaan kerupuk mentah. Pertumbuhan kapang pada permukaan kerupuk ditandai dengan adanya miselium berwarna putih yang kemudian akan berubah warna menjadi kehitaman atau kehijauan. Kapang membutuhkan kondisi fisik tertentu dalam melakukan pertumbuhannya antara lain kelembaban, temperatur, pH, oksigen dan nutrisi. Kelembaban mempengaruhi terjadinya perubahan kadar air dan aktivitas air produk selama penyimpanan sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan kapang (Muchtadi 1989).

Menurut Banwart (1983), umumnya masing-masing jenis kapang memerlukan kisaran aktivitas air tertentu untuk mengoptimalkan pertumbuhannya. Berdasarkan nilai aktivitas air minimal, maka kapang yang menginfestasi bahan simpanan dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:

a. Kapang hidrofilik ialah kapang yang sporanya berkembang pada aw diatas 0,9

b. Kapang mesofilik ialah kapang yang sporanya berkembang pada aw 0,8 – 0,9

(36)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Mei 2005 bertempat di Laboratorium Penanganan dan Pengolahan, Laboratorium Industri, Laboratorium Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Biokimia Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Laboratorium Pilot Plan Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi, serta Laboratorium Biokimia Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat 3.1.1 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang diperoleh dari sungai Cangkurawok yang terletak di

Desa Babakan, Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor dengan harga Rp 1.000,./kg dengan ukuran ± 15 – 20 cm. Bahan lainnya yang digunakan

adalah tepung tapioka, gula, garam, bawang putih dan telur. Selain bahan-bahan tersebut digunakan pula bahan lainnya yaitu minyak goreng dan bahan-bahan untuk menganalisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, kadar karbohidrat, volume pengembangan. seperti HCl, kjeltab, aquades, H2SO4 , pelarut heksan, NaOH, H3BO3, indikator metil merah, NaCl dan lain-lain.

3.1.2 Alat

(37)

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi daging ikan sapu-sapu terpilih. Konsentrasi daging ikan sapu-sapu yang digunakan adalah 0 % (kontrol); 6,47 % (10 g); 12,94 % (20 g); 19,42 % (30 g), 25,89 % (40 g) dan 32,36 % (50 g). Kemudian kerupuk yang dihasilkan dilakukan uji sensori (skala hedonik) sehingga diperoleh konsentrasi daging ikan terpilih. Selain itu, pada penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran terhadap rendemen daging ikan dan volume pengembangan kerupuk ikan sapu-sapu.

3.2.2 Penelitian lanjutan

Pada penelitian lanjutan dilakukan penyimpanan selama 4 minggu terhadap kerupuk ikan sapu-sapu terpilih ternasuk kontrol berdasarkan uji sensori pada penelitian pendahuluan. Pada penelitian lanjutan ini dilakukan uji sensori, uji tingkat kekerasan, uji aktivitas air, uji derajat putih, pengukuran volume pengembangan dan analisis proksimat.

3.2.3 Formula bahan

Formula bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk ikan adalah disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Formula bahan dalam pembuatan kerupuk ikan

Tepung tapioka Daging ikan Garam Putih telur Gula Bawang putih Air

(gram) (gram) (%) (gram) (gram) (gram) (gram) (ml)

100 0 0 3 11 2,5 3 35

90 10 6,47 3 11 2,5 3 35

80 20 12,94 3 11 2,5 3 35

70 30 19,42 3 11 2,5 3 35

60 40 25,89 3 11 2,5 3 35

50 50 32,36 3 11 2,5 3 35

3.2.4 Prosedur pembuatan kerupuk ikan

(38)

a. Penyiapan bahan

Ikan sapu-sapu yang digunakan dalam pembuatan kerupuk dicuci dan disiangi sampai bersih selanjutnya dilakukan pengambilan daging dengan cara: pembedahan ikan dilakukan dari perut bagian bawah yaitu dari mulai anus hingga bagian kepala, kemudian jeroan dan kotoran yang terdapat dalam perut ikan dibuang dan dibersihkan. Selanjutnya pengambilan daging ikan dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam untuk memisahkan daging tersebut dari tulang dan kulit ikan. Setelah itu daging ikan yang diperoleh dicuci dan kemudian dihaluskan (dilumatkan).

b. Pembuatan adonan

Bumbu-bumbu (bawang putih, garam, gula dan monosodium glutamat) yang telah dihaluskan dicampur dengan daging ikan yang telah dilumatkan. Demikian pula dengan telur dan seperempat bagian tepung tapioka yang dilarutkan dalam air ditambahkan ke dalam campuran daging ikan dan bumbu yang sudah dihaluskan. Kemudian dipanaskan sampai suhu mencapai 55 – 60 º C selama kurang lebih 5 menit atau sampai terjadi pembentukan gel dari tepung tapioka tersebut (gelatinisasi) sambil diaduk hingga diperoleh campuran berbentuk bubur. Selanjutnya sisa tepung tapioka ditambahkan kedalam adonan dan dilakukan pengadukan sampai diperoleh adonan yang homogen, sehingga mudah dicetak atau dibentuk menjadi dodolan. Apabila adonan tersebut dipegang dengan tangan atau alat tidak lengket, menunjukkan pengadonan telah cukup. c. Pencetakan

Adonan dicetak atau dibentuk dengan menggunakan tangan menjadi bentuk lontongan (silinder) dengan panjang ± 15 cm dengan diameter ± 1,5 cm. d. Pengukusan

(39)

e. Pengirisan

Setelah adonan selesai dimasak, yang ditandai dengan warna bening, dodolan diangkat dari penangas kemudian diangin-anginkan selama kurang lebih 24 jam. Setelah dingin dodolan diiris dengan ketebalan 1 – 2 mm dengan menggunakan pisau.

f. Pengeringan (penjemuran)

Pengeringan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pengeringan alami. Pengeringan alami yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar matahari, dimana dodolan yang telah diiris diatur diatas tampah kemudian dijemur dibawah sinar matahari. Pengeringan dilakukan selama 2 hari. Untuk lebih jelasnya alur proses pembuatan kerupuk ikan dapat dilihat pada Gambar 3.

3.3 Pengamatan dan Analisis Produk

Kerupuk ikan yang telah dikeringkan kemudian dikemas dengan menggunakan plastik polipropilen setelah itu dilakukan penyimpanan dengan lama penyimpanan yang berbeda-beda yaitu 0 minggu, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu dan 4 minggu.

3.3.1 Pengukuran rendemen (AOAC 1995)

Rendemen merupakan hasil akhir yang dihitung berdasarkan proses input dan output. Rendemen dihitung berdasarkan berat basah.

% Rendemen = 100% awal

ikan berat

akhir daging berat

x

3.3.2 Analisis sifat fisik

Analisis sifat fisik dilakukan pada setiap titik pengamatan yaitu pada minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4. Analisis sifat fisik yang dilakukan adalah kekerasan, volume pengembangan, dan derajat putih.

3.3.2.1 Uji kekerasan metode penetrometri (Ranganna 1986)

(40)

pada angka yang ditunjukkan oleh meter. Semakin kecil nilai yang didapatkan, maka tingkat kekerasan semakin besar.

Ikan sapu-sapu segar

Penyiangan dan pengambilan daging

Pelumatan

Pencampuran

Pemanasan (55-60 °C, ± 5 menit)

Pengadonan (diuleni) (+ ¾ bagian tepung tapioka)

Pencetakan (dodolan)

Pengukusan (1,5 – 2 jam, 80 - 90 °C)

Pendinginan (suhu ruang, 24 jam)

Pengirisan (tebal : 1 – 2 mm)

Penjemuran ( 2 hari)

kerupuk ikan

Gambar 3. Skema proses pembuatan kerupuk ikan (Modifikasi metode Wiriano, 1984)

Daging lumat (0, 10, 20, 30, 40, 50 %) Bawang putih , garam,

(41)

3.3.2.2 Uji volume pengembangan (Zulviani 1992)

Pengukuran volume mengembang kerupuk dilakukan dengan menggunakan 5 keping kerupuk untuk setiap kali pengukuran. Sampel dimasukkan dalam posisi vertikal dalam gelas ukur yang ¼ bagiannya telah diisi manik-manik, kemudian gelas ukur diisi kembali dengan manik-manik sampai penuh dengan membentuk permukaan yang rata. Volume manik-manik yang digunakan baik tanpa atau dengan contoh diukur dengan gelas ukur. Volume jenis kerupuk ditentukan dengan rumus:

Keterangan: V1 = volume manik-manik dalam wadah gelas tanpa berisi contoh V2 = volume manik-manik dalam wadah gelas berisi contoh

Selisih volume jenis kerupuk goreng dengan volume jenis kerupuk mentah merupakan volume mengembang kerupuk yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Keterangan: Vg = volume jenis kerupuk goreng

Vm = volume jenis kerupuk mentah

3.3.2.3 Uji derajat putih (Kett Whiteness Electric Laboratory 1981 diacu dalam Nurhayati 1994)

Analisis derajat putih dilakukan terhadap kerupuk mentah. Sampel berupa kerupuk dimasukkan kedalam cawan whiteness meter hingga padat dan penuh. Kemudian cawan berisi sampel serta cawan berisi standar (berupa white plate atau serbuk BaSO4) dimasukkan kedalam sistem Kett Whiteness Meter. Derajat putih diukur dengan membandingkan warna sampel dengan warna kontrol, ditunjukkan oleh jarum meter pada monitor.

3.3.3 Analisis proksimat

(42)

kecuali pada analisis kadar air dilakukan setiap kali pengamatan (minggu ke-0 hingga minggu ke-4)

3.3.3.1 Analisis kadar air (AOAC 1995)

Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan dalam oven selama 15 menit atau sampai didapat berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 gram ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 3 – 4 jam pada suhu 105-110 º C. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan :B = berat sampel (gram)

B1 = berat (sample + cawan) sebelum dikeringkan B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan 3.3.3.2 Analisis kadar abu metode gravimetri (AOAC 1995)

Cawan kosong dipanaskan dalam oven kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Sampel ditimbang kurang lebih 3 gram dan diletakkan dalam cawan, kemudian dibakar dalam kompor listrik sampai tidak berasap. Cawan kemudian dimasukkan dalam tanur. Pengabuan dilakukan pada suhu 550 º C selama 2-3 jam. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator, setelah dingin cawan kemudian ditimbang. Persentase dari kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

% Kadar abu = x 100%

3.3.3.3 Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

(43)

selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Lebu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105º C selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus:

% Lemak = x 100%

Berat lemak = (berat labu + lemak) – berat labu

3.3.3.4 Analisis kadar protein metode mikro kjeldahl (AOAC 1995)

(44)

3.3.3.5 Analisis kadar karbohidrat by difference (Winarno 1997)

Analisis kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh kepada zat gizi lainnya. Analisis kadar karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

% Kadar karbohidrat = 100 % - (kadar air + kadar abu +kadar lemak + kadar protein)

3.3.4 Kapang (SNI 1992)

Pengujian terhadap kapang dilakukan setiap kali pengamatan yaitu pada minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4. Pengujian terhadap kapang ini dilakukan secara visual yaitu dengan cara mengamati permukaan kerupuk dengan menggunakan kaca pembesar (loupe).

3.3.5 Uji aktivitas air (Apriyantono et al 1989)

Analisa aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan aw meter Shibaura WA-360. Sampel diletakkan dalam cawan pengukur aw. Setelah cawan ditutup dan dikunci, kemudian aw meter di dijalankan. Sebelum digunakan untuk pengukuran untuk terlebih dahulu aw meter dikalibrasi dengan menggunakan garam NaCl (suhu 30 ° C).

3.3.6 Uji sensori (Soekarto 1985)

Pengujian sifat organoleptik dilakukan berdasarkan uji kesukaan berskala hedonik. Sampel disajikan dengan memberi nomor secara acak dan panelis sebanyak 30 orang diminta memberikan penilaian kesukaan terhadap warna, aroma, rasa, kerenyahan dan penampakan kerupuk ikan setelah digoreng. Pengujian organoleptik dilakukan pada setiap waktu penyimpanan.

3.4 Rancangan Percobaan (Steel dan Torrie 1993)

(45)

berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut BNJ untuk melihat perbedaan antar perlakuan.

Model Rancangan: Yik = µµ + Ai + εεik

Keterangan:

Yik = respon percobaan karena pengaruh faktor A taraf ke-i, ulangan ke-k µ = nilai tengah umum / rataan

Ai = pengaruh taraf ke-i faktor A (i = 1, 2,..n)

εik = kesalahan percobaan karena pengaruh faktor A taraf ke-i pada ulangan ke-k Sedangkan rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian lanjutan yaitu Rancangan Acak Lengkap pola faktorial dengan dua faktor sebanyak 2 kali ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi daging ikan sapu-sapu (A) sebanyak duan taraf yang terdiri dari 0 % (A0) dan 50 % (A1). Faktor kedua adalah lama penyimpanan (B) sebanyak 5 taraf yang terdiri dari penyimpanan minggu ke-0 (B0), minggu ke-1 (B1), minggu ke-2 (B3), minggu ke-3 (B4) dan minggu ke-4 (B5). Model rancangan tersebut menurut Steel dan Torrie (1993) adalah sebagai berikut:

Yij = µµ + ái + âj+ (áâ)ijijk

Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor á dan taraf ke-j dari faktor â) µ = nilai tengah populasi

ái = pengaruh perlakuan á taraf ke-i (i = 1, 2)

âj =pengaruh perlakuan â taraf ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5)

(áâ)ij = pengaruh interaksi perlakuan á ke-i dan perlakuan â ke-j

εijk = pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij.

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis ragam untuk mengetahui adanya pengaruh konsentrasi dan lama waktu penyimpanan terhadap kerupuk ikan.

(46)

parametrik dengan metode uji Kruskal-Wallis dan apabila berbeda nyata dilakukan uji lanjut MultipleCcomparison (Steel dan Torrie, 1993).

Langkah-langkah metode pangujian Kruskal-Wallis adalah sebagai berikut:

1. Rangking dari data yang terkecil sampai terbesar untuk seluruh perlakuan dalam satu parameter.

2. Hitung total rangking untuk setiap perlakuan dan hitung pula rata-ratanya. 3. Data yang diperoleh dihitung dengan menggunakan rumus:

H =

+

ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan Ri = jumlah rangking dalam perlakuan ke-i t = banyaknya pengamatan seri dan kelompok H’ = H terkoreksi

Uji Multiple Comparison:

Ri - Rj >><< Zαα / 2p (n+1)k / 6 Keterangan:

Ri = rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i

Rj = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j k = banyaknya ulangan

(47)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui rendemen daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis), komposisi kimia daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dan konsentrasi terpilih (tidak termasuk kontrol) yang diperoleh melalui uji sensori yang selanjutnya akan digunakan pada penelitian lanjutan. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian tahap awal meliputi kontrol, penambahan daging ikan sapu-sapu sebesar 0 % (kontrol); 6,47 %; 12,94 %; 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 %.

4.1.1 Rendemen daging ikan

Rendemen merupakan suatu parameter yang paling penting untuk mengetahui nilai efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan rendemen berdasarkan persentase perbandingan antar berat akhir dengan berat awal proses (Amiarso 2003). Rendemen dapat dinyatakan dalam desimal atau persen.

Rendemen ikan yang dihitung berdasarkan persentase ikan sapu-sapu utuh terhadap daging ikan sapu-sapu yang diperoleh adalah sebesar 26,06 %. Hal ini menunjukkan bahwa ikan sapu-sapu memiliki nilai rendemen yang rendah, karena ikan tersebut memiliki kulit yang sangat keras sehingga proses pengambilan daging sulit untuk dilakukan. Rendemen daging ikan sapu-sapu salah satunya dapat dipengaruhi oleh cara pengambilan daging yang dilakukan. Cara pengambilan daging yang baik dapat dilihat dari sedikitnya daging ikan sapu-sapu yang masih menempel pada kulit dan tulang. Semakin baik cara pengambilan daging yang dilakukan maka semakin tinggi nilai rendemen daging ikan yang dihasilkan.

4.1.2 Komposisi kimia daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)

(48)

ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dari berbagai lokasi yang berbeda dan dihitung berdasarkan berat basah adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Komposisi kimia daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dari berbagai lokasi yang berbeda

Nilai (%) Komposisi

kimia Sungai Cangkurawok 1)

Sungai Darmaga 2)

Waduk Cirata 3)

Air 81,89 83,16 77,50

Abu 1,07 2,51 1,01

Lemak 1,02 0,03 1,23

Protein 13,48 11,97 19,71

Karbohidrat 2,54 2,33 0,55

Keterangan : 1) hasil penelitian 2) Mahdiah (2002) 3) Chaidir (2003)

Hasil analisis proksimat pada tabel diatas menunjukkan bahwa besarnya kandungan gizi ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang digunakan pada penelitian ini tergolong kedalam jenis ikan yang berlemak rendah dan berprotein rendah (Stansby dan Olcott 1963). Besarnya komposisi kimia ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang berasal dari Sungai Cangkurawok mempunyai perbedaan nilai terhadap komposisi kimia ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) baik yang berasal dari Sungai Darmaga maupun Waduk Cirata. Ikan sapu-sapu yang berasal dari Waduk Cirata memiliki kadar protein yang paling tinggi dibandingkan dengan kadar protein ikan sapu-sapu dari Sungai Darmaga maupun Sungai Cangkurawok. Ini dapat disebabkan oleh habitat tempat ikan tersebut berada sehingga habitat ini erat sekali hubungannya dengan sumber makanan baik dalam hal jumlah maupun jenisnya. Karena makanan yang dimakan oleh ikan akan menentukan komposisi daging dari ikan tersebut (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

(49)

4.1.3 Uji sensori kerupuk ikan

Penerimaan konsumen terhadap suatu produk dapat diukur secara subyektif yaitu dengan menggunakan alat indera. Pada penelitian ini menggunakan uji sensori dengan penilaian skala hedonik (hedonic scale test) skala 1 – 7. Uji skala hedonik dilakukan terhadap kerupuk matang untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang dihasilkan yang meliputi kerupuk 0 % (kontrol); 6,47 %; 12,94 %; 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 %. Berdasarkan uji sensori dengan skala hedonik ini akan dipilih satu perlakuan terbaik dan bukan termasuk kontrol. Adapun score sheet dan hasil dari penerimaan panelis dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil uji sensori kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) secara rinci adalah sebagai berikut:

4.1.3.1 Penampakan

Uji sensori terhadap penampakan merupakan penilaian produk secara menyeluruh. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis berdasarkan uji skala hedonik terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) disajikan dalam Gambar 4.

0 6,47 12,94 19,42 25,89 32,36

Ko n s e n tr as i (%)

(50)

terkecil terdapat pada kerupuk kontrol dan kerupuk dengan penambahan daging ikan 6,47 %. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan kerupuk semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ikan sapu-sapu yang ditambahkan. Hal ini disebabkan karena kerupuk dengan penambahan daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) memiliki permukaan yang lebih halus dan kompak dibandingkan dengan kerupuk kontrol (tanpa penambahan daging ikan).

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 3) menunjukkan bahwa penambahan daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis). Hasil uji lanjut Multiple Comparison terhadap penampakan kerupuk (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa penampakan kerupuk dengan konsentrasi 0 %; 6,47 % dan 12,94 % berbeda nyata dengan kerupuk 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 %. Hal ini disebabkan karena penampakan kerupuk ikan dengan konsentrasi 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 % memiliki permukaan yang lebih kompak. dibandingkan dengan kerupuk dengan konsentrasi 0 %; 6,47 % dan 12,94 %. Sehingga perlakuan penambahan daging ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) sebanyak 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 % merupakan konsentrasi terbaik yang dapat memberikan penampakan kerupuk ikan terbaik. 4.1.3.2 Warna

Mutu bahan pangan pada umumnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain rasa, tekstur, nilai gizi, mikrobiologis, dan warna. Sebelum faktor-faktor lain yang dipertimbangkan, secara visual faktor warna akan tampil lebih dahulu (Winarno 1997). Nilai rata-rata uji sensori terhadap warna kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) yang dihasilkan disajikan pada Gambar 5.

(51)

5.10 4.97

Gambar 5. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap warna kerupuk Pada umumnya panelis menyukai warna kerupuk dengan penambahan konsentrasi daging ikan sebesar 19,42 %; 25,89 % dan 32,36 %. Penambahan daging ikan cenderung memberikan kontribusi warna kecoklatan yang disebabkan kandungan protein yang terdapat pada ikan tersebut, sehingga apabila terjadi proses pemanasan akan terjadi reaksi Maillard. Reaksi Maillard adalah reaksi yang terjadi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus asam amina primer yang terdapat pada bahan sehingga akan menghasilkan bahan berwarna coklat yang disebut melanoidin (Winarno 1997). Reaksi Maillard

sangat dipengaruhi oleh kadar air, pH, suhu, dan jenis gula yang berperan. Reaksi ini diperlukan pada bahan pangan tertentu untuk mendapatkan warna, aroma dan cita rasa tertentu (Lund 1989).

(52)

4.1.3.3 Aroma

Aroma merupakan suatu hal yang menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa enak dari suatu produk makanan. Industri pangan menganggap sangat penting untuk melakukan uji terhadap aroma dengan cepat memberikan produknya disukai atau tidak disukai (Soekarto 1985).

Hasil uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu diperoleh nilai rata-rata berkisar antara 5,0 sampai 5,9 yang secara deskriptif panelis menilai agak suka terhadap kerupuk tersebut. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada kerupuk ikan dengan penambahan daging ikan sebesar 32,36 %. Sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat pada kerupuk dengan penambahan daging ikan sebesar 6,47 % dan 12,94 %. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap aroma kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) dapat dilihat pada Gambar 6.

5 .3 0

(53)

khususnya asam glutamat akan menimbulkan rasa dan aroma yang lezat. Menurut Winarno (1992), asam glutamat mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengolahan makanan, karena dapat menimbulkan rasa dan aroma yang lezat. Selain itu adanya penambahan bumbu seperti bawang putih dan garam. Karena bawang putih dan garam yang ditambahkan dalam pembuatan kerupuk salah satunya berfungsi untuk mempertinggi aroma kerupuk.

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 3) pada tingkat kesukaan panelis terhadap aroma kerupuk menunjukkan bahwa penambahan daging ikan sapu-sapu memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Uji lanjut Multiple Comparisons

menunjukkan bahwa kerupuk dengan penambahan daging ikan 6,47 % dan 12,94 % berbeda nyata dengan kerupuk yang mengalami penambahan daging ikan sebesar 32,36 %. Hal ini disebabkan karena kerupuk dengan konsentrasi 32,36 % memiliki aroma kerupuk yang lebih khas yaitu aroma kerupuk ikan. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons dapat dilihat pada Lampiran 4c.

4.1.3.4 Rasa

(54)

5.5 3 5.5 7

Gambar 7. Histogram nilai rata-rata uji sensori terhadap rasa kerupuk Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa kerupuk ikan sapu-sapu mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya konsentrasi daging ikan sapu-sapu yang ditambahkan. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan daging yang diberikan dapat meningkatkan rasa kerupuk menjadi lebih memiliki rasa yang khas yaitu khas kerupuk ikan. Rasa gurih yang terdapat pada kerupuk ikan dapat disebabkan oleh kandungan protein yang terdapat pada kerupuk tersebut sehingga pada saat proses pengukusan, protein akan terhidrolisis menjadi asam amino dan salah satu asam amino yaitu asam glutamat dapat menimbulkan rasa yang lezat (Winarno 1992). Menurut Somaatmadja (1976), pemanasan basah seperti merebus dan mengukus dapat memberikan keuntungan karena akan menimbulkan hidrolisis pada protein dan pelunakan pada makanan keseluruhan. Selain itu rasa yang terdapat pada kerupuk dapat disebabkan karena adanya penambahan bumbu-bumbu seperti bawang putih, gula, garam dan telur yang dapat meningkatkan citarasa kerupuk ikan.

Gambar

Gambar 1.  Ikan sapu-sapu
Tabel 1. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan proteinnya.
Tabel 3.  Syarat mutu kerupuk ikan
Gambar 2.  Alur proses pembuatan kerupuk ikan (Arsyad 1990)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi kapur sirih dalam proses perendaman terhadap kualitas Kadar Protein, Kadar Air, Daya Kembang dan

Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengembangan dan daya terima kerupuk karak dengan penambahan tepung tapioka sebagai pengganti “bleng” atau

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan penggunaan tepung terigu, pati singkong dan pati jagung terhadap tingkat pengembangan dan daya terima kerupuk pepaya..

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan tepung tapioka dan tepung gandum pada pembuatan kerupuk ikan teri nasi berpengaruh sangat nyata terhadap kadar

Untuk menghasilkan kerupuk dengan kandungan gizi yang baik, porsi tepung kacang hijau banding tapioka diharapkan semaksimal mungkin, tetapi bila tepung kacang

Kerupuk udang dengan penambahan nanokalsium tulang ikan nila dengan konsentrasi yang berbeda dianalisa karakteristik fisiko-kimianya yang meliputi kadar air, kadar

Untuk menghasilkan kerupuk dengan kandungan gizi yang baik, porsi tepung kacang hijau banding tapioka diharapkan semaksimal mungkin, tetapi bila tepung kacang

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa kerupuk atom ikan jelawat dengan jenis kemasan berbeda selama penyimpan an suhu ruang memberi pengaruh nyata terhadap nilai