• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebaran Empirik Nilai EBTANAS Dan UMPTN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sebaran Empirik Nilai EBTANAS Dan UMPTN"

Copied!
310
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)
(135)
(136)
(137)
(138)
(139)
(140)
(141)
(142)
(143)
(144)
(145)
(146)
(147)
(148)
(149)
(150)
(151)
(152)
(153)
(154)
(155)
(156)
(157)
(158)
(159)
(160)
(161)

SEBARAN EMPIRIK

N l U l

EBTANAS DAN

UMPTN

Serta Kaitannya Dengan Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Barn Perguruan Tinggi Negeri

di Indonesia

Disertasi

oleh

Toemin A. Masoem

Nrp. 93528

(162)

Ringkasan

(163)

karena lulusan SMTA di Jawa tidak tertarik pada PTN di luar Jawa. Sehingga kualitas

mahasiswa baru PTN luar Jawa sangat rendah. Dan dari sini akan dihasilkan sumber daya

manusia sarjana yang kualitasnya rendah. Ini suatu pemborosan. Sebagai jalan ke luarnya

penulis menyarankan diperkenalkan transmigran intelektual, dengan cara memberi rangsangan

beasiswa bagi lulusan SMTA yang potensial untuk mau melanjutkan pendidikan di PTN luar

Jawa. Hal yang serupa juga terjadi pada IKIP/FKIF'. Banyak lulusan SMTA yang sangat

potensial tidak diterima di manapun, sementara lulusan SMTA yang nilainya sangat rendah

masih bisa di terima di IKIP/FKIP. Sehingga kualitas mahasiswa baru dan lulusan

IKIP

juga rendah. Padahal mereka ini yang akan menjadi guru dari anak cucu kita semua. Ini juga

merupakan pemborosan. Dibeberkan pula bahwa judah guru sudah cukup memadai, sehingga

sudah bukan waktunya untuk mernikirkan guru dari segi kuantitas, tetapi harus bergeser

mernikirkan kualitas. Untuk meningkatkan kualitas guru, penulis menyarankan agar pendidikan

(164)

SEBARAN EMPIRIK

NllAl EBTANAS DAN UMPTN

Serta Kaitannya Dengan Seleksi Penerimaan

Ma hasiswa Baru Perguruan Tinggi Negeri

di Indonesia

oleh

Toernin A. Masoem

Nrp. 93528

Disertasi

Sebagai

salah

satu

syarat

untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program

Pascasarjana

Institut

Pertanian

Bogor

(165)

Judul

:

SebaranEmpirikNilaiEbtanasdanm

Serta Kaitannya Dengan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Pergunran Tinggi Negeri di Indonesia

Nama Mahasiswa

:

Toemin A. Masoem

Nomor Pokok

93528

1

STK

Menyetujui

:

1. Komisi Pembimbing

:

Ic

~ r o f . 6 d ;

~ a k i m

Nasoetion

Dr. Abdurrauf Rambe

Ketua

AWgota

Dr. Aunuddin

Anggota

Dr.

Tonnv

Ungerer

Anggota

2.

Ketua Program Studi

gram Pascasarjana

Dr. Aunuddin

(166)

Riwayat Hidup

Toemin A. Masoem lahir di Kebumen. Tanggal lahir yang tepat tidak diketahui,

tetapi untuk keperluan adrninistrasi oleh gurunya di kelas 1 Sekolah Rakyat

ditentukan tanggal 7 Januari 1949 sebagai tanggal lahirnya. Merupakan

anak

bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya bemama Achmad Masoem

(alm.)

dan

ibunya bernama Taslimah (alm.), mereka adalah pasangan petani kecil yang

menghabiskan seluruh hidupnya di pesisir selatan Kabupaten Kebumen.

Karena bosan menjadi petani, setelah lulus dari SMA Negeri Kebumen pada

tahun 1968, penulis merantau ke ibu kota dan bekerja sebagai pegawai rendahan.

Berkat beasiswa dari Lembaga Minyak dan Gas Burni, pada tahun 1970 penulis

melanjutkan pendidikan pada Jurusan Matematika, Fakultas Ilmu Pasti

dan

Ilmu

Alam,

Universitas Indonesia. Sarjana Matematlka diperolehnya pada tahun 1975.

Sejak masih mahasiswa (1974) penulis sudah bergabung dengan Dr. Indro

Suwandi untuk membangun Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia

(Pusilkom-UI),

yang

pada saat itu mas& dalam tahap perintisan. Atas seijin

Lemigas, setelah lulus (sampai sekarang) penulis tetap mengabdikan dirinya

sebagai

tenaga

akademik

pada

Pusilkom-UI.

Sejak

Pusilkom-UI

menyelenggarakan Program Studi Ilmu Komputer pada tahun 1986, dan akhirnya

menjadi Fakultas Ilmu Komputer pada tahun 1993, penulis juga menjadi tenaga

pengajar di fakultas tersebut. Dengan dukungan beasiswa dari Bank Dunia, pada

tahun 1987 penulis memperoleh gelar Master

of Science dari University of

Minnesota, Amerika Senkat. Dan dengan biaya dari Pusilkom-UI, sejak tahun

1993 penulis meneruskan pendidikan pada program S3 Program Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor. Pendidikan dalam bidang pengukuran penbdrkan

(167)

Educational Testing Service (1 979) dan American College Testing (1 990).

Keterlibatannya dalam ujian masuk dimulai tahun 1974, ketika penulis ikut dalam

panitia pemeriksa ujian masuk UI. Sejak Pusilkom-UI ditunjuk sebagai Pusat

Pengolahan Data

UMPTN (mulai dari SKALU, PPl, Sipenmam dan akhirnya

UMPTN)

sampai sekarang penulis menjadi anggota Tim Pengolah Data Ujian

Masuk, dan sejak 1981 menjadi ketua dari tim tersebut. Pengalaman mengajar

dimulai di Jurusan Matematika Fipia-UI (1 974-1 985), Fakultas Teknik (1976-

(168)

Kata Pengantar

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mahaesa. Semoga Tuhan selalu memberi ilham kepada penulis untuk selalu mensyukun nikmat yang telah dianugerahkan kepada penulis dan kepada kedua orang tua penulis.

Disertasi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih :

1. Kepada Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion, yang telah memperjuangkan penulis

untuk diterima pada pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan atas kesediannya untuk menjadi Ketua Komisi Pembimbing.

2. Kepada Dr. Tonny Ungerer, yang selalu siap dengan bantuannya kapan saja

penulis membutuhkannya, dan atas kesediannya untuk menjadi anggota komisi pembirnbing

.

3. Kepada Dr. Abdurrauf Rambe dan Dr. Aunuddin, anggota komisi pembimbing

yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan masukan yang sangat

berguna dalam penulisan disertasi hi.

4. Kepada Prof. Dr. Soesmalijah Soewondo dan Dr. Belawati Widjaja dari

Universitas Indonesia, atas kesediaanya sebagai penguji dari luar IPB.

5. Kepada Direktur Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta seluruh

jajarannya, yang telah banyak membantu penulis dari segi administrasi.

6. Kepada seluruh dosen dan rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana Institut

.

Pertanian Bogor, atas segala bantuan dan kerjasama yang baik.

7. Kepada Rektor Universitas Indonesia dan Dekan Fasilkom-UI 1 Direktur Pusilkom-

UI, yang telah memberi ijin dan menyediakan segala fasilitas yang penulis

(169)

8. Kepada rekan-rekan sejawat dan seluruh karyawan Fasilkom-UYPusilkom-UI yang

telah banyak membantu, baik moril maupun materiil, selama penulis m e n g h t i

pendidikan di Institut Pertanian Bogor.

9. Kepada Prof. Dr. James Maxey, yang pertama kali memberi masukan kepada

penulis bahwa data UMPTN yang penulis kelola sangat layak

untuk

bahan disertasi

Doktor, dan telah memberi kesempatan untuk melakukan penelitian awal di American College Testing dan University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat.

10. Kepada istri tercinta Netty Soesilowaty dan anak-anak kesayangan Pwwaningrum

Widiyastuti, Abie Widyatmojo dan Bani Widyatmiko, yang telah banyak

berkorban d m banyak rnemberi dukunban moral selama penulis mengikuti

pendidikan di Institut Pertanian Bogor.

Dari

lubuk hati yang paling dalam penulis sadar bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis akan sangat menghargai segala saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan disertasi ini.

Sebagai penutup, mudah-mudahan disertasi ini dapat merupakan urun rembug yang

(170)

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

Latar Belakang UMPTN Pokok Permasalahan Kegunaan Hasil Penelitian

Bab I1 Tinjauan Pustaka

Sebaran Empirik f

Pencilan

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Kehandalan Ujian Seleksi

Bab IIIBahan dan Metode Penelitian

Bahan Penelitian Metode Penelitian

Bab

IV

Hasil dan Pembahasan

Sebaran Nilai UMPTN Sebaran Nilai Ebtanas

Hubungan antara Nilai UMPTN dan Nilai Ebtanas Sebaran Nilai Mahasiswa Baru PTN

Kualitas Mahasiswa Baru PTN

di

Luar Jawa Kualitas Mahasiswa IKIP

Kualitas Mahasiswa Baru per PTN

Hubungan antara Nilai Eb-, Nilai UMPTN dan IPK

Bab V Kesimpulan dan Saran

Kesirnpulan

Saran e

Daftar Pustaka

(171)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar

Belakang

UMPTN

Pada jaman penjajahan Belanda, pendidikan di Indonesia sangatlah

diskriminatif. ELS misalnya, adalah sekolah dasar yang hanya diperuntukkan

bagi anak-anak dari orang Eropa yang sedang bertugas di Indonesia. Hanya

orang pribumi yang berpangkat tinggi (paling rendah wedana) yang boleh

menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Bagi anak-anak pejabat pribumi

dengan pangkat di bawah wedana tersedia sekolah HIS, sekolah yang hanya

boleh dirnasuki oleh anak dari orang-orang pribumi yang mempunyai jabatan

terhormat di dalam pemerintah penjajah. Pegawai rendahan tidak

diperkenankan mengirim anaknya ke sekolah tersebut. Untuk mereka clan

tokoh-tokoh masyarakat yang kaya tersedia Sekolah Rakyat 5 tahun, yaitu

sekolah untuk mendidik calon juru tulis rendahan. Sisanya, yaitu ralcyat kebanyakan, bila ingin menyekolahkan anaknya hanya tersedia Sekolah Ongko

Loro, yaitu sekolah dasar 3 tahun yang fbngsinya tidak lebih dari kursus

pemberantasan buta huruf. Sekolah menengah lanjutan hanya disediakan untuk

lulusan ELS dm HIS. Dengan aturan seperti tersebut di atas, clan kenyataan bahwa saat itu hanya pribumi dari golongan ningrat yang dapat menduduki

jabatan terhormat, maka praktis hanya anak kaum ningrat atau paling tidak

diaku sebagai anak oleh kaum ningrat, yang bisa mengenyam pendidikan di

(172)

Sekolah Tinggi Pertanian di Bogor, Sekolah Tinggi Teknik di Bandung, Sekolah Tinggi Hukum dan Sekolah Dokter di Jakarta, narnun sampai tahun 1945 orang Indonesia asli yang menjadi sarjana tidak lebih dari 100 orang.

Itupun hampir semua berasal dari kaurn ningrat. Baru setelah proklamasi

kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, kita melakukan revolusi besar-

besaran dalam dunia pendidikan. Diskriminasi dalam pendidikan dihapuskan.

Di dalam pasal 31 Undang Undang Dasar tahun 1945 yang disyahkan pada

tanggal 18 Agustus 1945 dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak

mendapat pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan

satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Setiap

warga negara, baik pria maupun wanita, kaya maupun miskin, ningrat maupun

rakyat jelata, anak pejabat maupun buruh tani, asal mempunyai kemarnpuan

akademik ymg sama, bisa duduk sama-sama dalam setiap jenjang pendidikan,

dari sekolah dasar sampai pendidikan tinggi. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dilakukan dengan menyertakan partisipasi seluruh lapisan

masyarakat. Di desa-desa banyak sekali penduduk yang dengan sukarela

meminjamkan pendopo rumahnya untuk ruang kelas, sambil menunggu

pemerintah mampu membuat gedung sekolah. Kekurangan tenaga guru diatasi

dengan pengad- guru model pesantren, yaitu siswa pada tingkat tertentu

boleh menjadi guru untuk tingkat di bawahnya. Keadaan memaksa kita untuk

lebih mementingkan kuantitas dari pada kualitas. Untuk memenuhi kebutuhan

guru Sekolah Dasar 6 tahun (SD), hanya diperlukan tamatan SD plus

.

pendidikan Sekolah Guru Bantu 3 tahun (SGB). Lulusan Sekolah Menengah

Tingkat Atas (SMTA) plus Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama

(PGSLP)

1 tahun dapat menjadi

p

Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP), d m SMTA plus Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Atas (PGSLA) 2
(173)

tambahan, langsung dapat menjadi dosen Perguruan Tinggi. Setelah kuantitas

terpenuhi, baru sedikit demi sedikit kualitas diperhatikan. Begitu jumlah guru

SD sudah terpenuhi, persyaratan untuk menjadi guru SD ditingkatkan, SGB

ditutup dan untuk menjadi guru SD harus lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG)

yang setingkat SMTA. Belakangan SPG juga ditutup dan untuk menjadi guru

SD minimum harus lulusan SMTA ditambah program diploma 1 tahun (D-1).

Begitu juga untuk menjadi guru Sekolah Menengah, lambat laun PGSLP dan

PGSLA ditutup. Sekarang untuk menjadi guru SMTP minimum harus lulus SMTA ditambah program diploma 2 tahm (D-2) dan untuk menjadi guru

SMTA minimum harus lulusan program diploma 3 tahun (D-3). Pada tingkat

pendidikan tinggi, di beberapa universitas sudah mulai diberlakukan

pemyaratan S2 untuk menjadi dosen. Saat ini, apabila dilihat dari persyaratan ijazah, kualitas tenaga pengajar pada tingkat SD dan SMTA kelihatannya tidak

ada masalah. Pada tingkat SD, penataran atau pendidikan tambahan telah

mampu meningkatkan sebagian besar lulusan SPG menjadi setingkat dengan

kualifAasi D-2, sehingga jumlah guru SD dengan kualifikasi D-2 sudah cukup

memadahi. Keadaan pada tingkat SMTA juga sudah cukup baik, karena lebih

dari 90% guru SMTA mempunyai ijazah D-3 atau S1. Yang masih menyedihkan adalah pada tingkat SMTP dan universitas. Sekitar 75% guru

SMTP hanya memiliki pendidikan PGSLP atau setingkat D-1. Sementara lebih

dari 70% dosen perguruan tinggi negeri (dari 46,735) hanya memiliki ijazah Sl.

Angka tersebut akan meningkat menjadi

.

79% (dari 91,846), bila digabung seluruh dosen baik negeri maupun swasta. Peningkatan mutu tenaga pengajar

sedang digalakkan dengan merangsang mereka untuk meneruskan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Misalnya dengan diberlakukannya persyaratan

untuk menduduki jabatan atau pangkat tertentu, seorang tenaga pengajar

(174)

Setelah perang kemerdekaan selesai sekitar tahun 1950, semua anak Indonesia

mempunyai kesempatan clan kesadaran untuk sekolah. Hampir semua anak

umur antara 7 sampai 12 tahun berbondong-bondong mendatangi Sekolah

Dasar untuk mendaftarkan diri. Oleh sebab itu jumlah anak-anak yang mulai

sekolah pada dekade 50an meledak luar biasa, dan banyak di antara mereka

yang berhasil tamat SMTA dan berminat untuk meneruskan ke pendidikan

tinggi. Sejak pertengahan tahun 60an jumlah peminat ke perguruan tinggi

begitu besarnya sehingga tidak semua bisa tertarnpung. Walaupun di setiap

propinsi, kecuali propinsi termuda Timor Timur, sudah ada paling tidak satu

perguruan tinggi negeri, namun jumlah perguruan tinggi tersebut masih terlalu

sedikit untuk bisa menampung seluruh calon mahasiswa. Peningkatan daya

tampung, baik berupa penambahan ruang kelas maupun pembukaan fakultas dan universitas baru, selalu kalah berpacu dengan makin meningkatnya jumlah

lulusan SMTA yang berminat masuk ke perguruan tinggi. Itulah sebabnya,

penggunaan ujian masuk atau alat seleksi lainnya untuk memilih calon

mahasiswa baru yang mempunyai kemampuan akademik terbaik dan diharapkan dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi sesuai dengan

waktu yang telah ditetapkan menjadi sangat penting.

Sampai tahun 1976, setiap universitaslinstitut di Indonesia mempunyai

cara dan kriteria sendiri untuk memilih calon mahasiswanya. Masing-masing universitas/institut mengembangkan ujian masuk untuk keperluannya sendiri.

Calon mahasiswa yang berniat masuk pada universitaslinstitut tertentu h m s

secara fisik datang ke kampus di mana universitas/institut tersebut berada.

Kalau calon mahasiswa mendafiar pada lebih dari satu universitas/institut,

maka dia harus mondar-mandir dari satu kota ke kota yang lain, di mana

masing-masing universitaslinstitut berada. Di masing-masing kota h m s tinggal

(175)

menempuh ujian masuk yang saling berbeda. Setiap akhir tahun ajaran, mobilitas Galon mahasiswa yang bergerak dari satu universitas ke universitas

yang lain sangat tinggi. Secara nasional biaya yang harus dikeluarkan untuk

keperluan penerimaan mahasiswa baru sangat besar. Pemerintah harus

mengalokasikan dana yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan sarana

transportasi dan akomodasi yang meledak pada setiap akhir tahun ajaran. Setiap universitaslinstitut harus menyediakan dana dan tenaga untuk pembuatan sod

dan penyelenggaraan ujian masuk. Sementara masyarakat, terutarna orang tua calon mahasiswa, harus mengeluarkan b a y & uang untuk membayar uang

ujian, biaya transportasi dan akomodasi selama calon mahasiswa tinggal di kota

di mana universitaslinstitut pilihannya berada. Jelas ini merupakan pemborosan secara nasional yang harus segera ditanggulangi.

Persoalan daya tampung juga menimbulkan masalah yang tidak kalah

seriusnya. Banyak calon mahasiswa yang dari segi akademik cukup potensial

mendaftar diri pada beberapa program studi di beberapa universiWinstitut.

Karena calon tersebut cukup potensial, maka ia akan diterima di beberapa

beberapa program studi, atau bahkan di beberapa universitaslinstitut. Karena tidak mungkm seorang mahasiswa dapat mengikuti kuliah di beberapa tempat

yang berlainan, &a tidak ada alternatif lain kecuali calon mahasiswa tersebut

harus memilih salah satu, dm meninggalkan tempat yang lain tetap kosong. Padahal kalau calon mahasiswa tersebut tidak mendaftar, maka tempat kosong

tadi bisa diisi oleh calon mahasiswa lain yang minatnya lebih serius, walaupun

kemampuannya sedikit di bawahnya. Sementara pihak universitaslinstitut sudah

tidak ada waktu lagi untuk mengadakan ujian susulan untuk mengisi tempat

yang kosong tersebut. Sehingga tempat tersebut tetap dibiarkan kosong dan

fasilitas yang telah disediakan menjadi mubadzir. Keadaan seperti ini jelas

(176)

terdidik untuk mempercepat proses pembangunan. Sehingga tidak ada pilihm

yang lebih baik kecuali harus menyederhanakan sistem penerimaan mahasiswa

baru.

Pada tahun 1976 universitas/institut terkemuka di tanah air yang

tergabung dalam paguyuban yang disebut Sekretariat Kerjasama Antar Lima

Universitas (SKALU), yaitu Universitas Indonesia di Jakarta, Institut Pertanian

Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada di Yogyakarta,

dan Universitas Airlangga di Surabaya, memutuskan untuk menyelenggarakan ujian masuk bersama. Ujian masuk tersebut dikenal dengan nama Ujian Masuk

SKALU. Sistem pendaftaran dan pelaksanaan ujian benar-benar baru dan

berbeda dengan sistem sebelumnya. Ujian dengan soal yang persis sama diselenggarakan pada waktu yang bersamaan di lima kota di mana kelima

universitadinstitut anggota SKALU berada, yaitu Jakarta, Bogor, Bandung,

Yogyakarta dan Surabaya. Dokumen pendaftaran dan lembar jawaban dikumpulkan dan diolah di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Sebanyak 75% peserta ujian dengan nilai terbaik dinyatakan lulus dan

kepadanya diberikan kartu yang dapat dipakai untuk mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa di universitas/institut anggota SKALU. Sedang 25% sisanya

dinyatakan gaga1 dan tidak diijinkan untuk mendaftar sebagai calon mahasiswa.

Sistem baru ternyata hanya berhasil mengurangi beberapa masalah yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan ujian masuk. Antara lain dapat

mengwangi mobilitas peserta ujian yang hams mondar-mandir dari satu kota ke

kota lain untuk mengikuti ujian. Soal ujian bisa dibuat baku dan pengadaannya

bisa lebih efisien, karena masing-masing universitas/institut tidak perlu

membuat soal sendiri. Beban biaya secara nasional, baik dari sisi pemerintah

(177)

Walaupun sistem baru tersebut berhasil mengurangi beberapa masalah,

tetapi sistem baru juga menimbulkan masalah baru. Banyak calon mahasiswa

yang salah mengerti dan menganggap kartu yang diterimanya sebagai tanda

bahwa dia telah diterirna menjadi mahasiswa. Setelah mengetahui bahwa k@

yang diterima belum merupakan jaminan bahwa yang bersangkutan diterima

sebagai mahasiswa, mereka menjadi resah. Persoalan lama tentang tempat

kosong juga belum teratasi. Hampir semua peserta ujian yang dinyatakan lulus

masih tetap mondar-mandir dari satu kota ke kota lain untuk mendaftarkan di

universitaslinstitut pilihannya. Beberapa di antaranya ada yang mendaftar di

lebih dari satu program studi atau universitas, bahkan ada yang mend& di

kelima universitas/institut anggota SKALU. Masalah tempat kosong menjadi

semakin parah. Karena setiap universitas/institut berusaha untuk menerima

calon yang terbaik menurut acuan yang sama, yaitu hasil ujian yang persis

sama, maka banyak calon mahasiswa dengan nilai ujian tinggi diterima di

beberapa program studi, sementara mahasiswa dengan nilai ujian yang kurang

baik tidak diterima di manapun. Karena calon mahasiswa yang diterima di

beberapa tempat harus memilih salah satu, maka banyak tempat terutama pada program studi yang h a n g populer tetap kosong. Bahkan ada program studi

yang tempat kosongnya mencapai 50%.

Pada tahun 1977 beberapa perbaikan dilakukan. Pada saat mengisi formulir pendaftarm, peserta ujian langsung menentukan dua program studi

pilihannya, pilihan pertama dan pilihan kedua. Setelah diperoleh hasil ujian, peserta diurutkan menurut nilai ujiannya, dari yang tertinggi sampai yang

terendah. Panitia mengalokasikan peserta ujian pada program studi pilihannya

dengan ketentuan bahwa peserta dengan nilai yang lebih baik mendapat

prioritas untuk dialokasikan lebih dahulu. Peserta ujian hanya bisa diterima di

(178)

program studi atau universitas yang tidak dipilihnya. Jika masih ada tempat

kosong pada program studi pilihan pertama, dia akan diterima di program studi

pilihan pertama. Jika tempat pada program studi pertama sudah penuh, dan

masih ada tempat pada program studi pilihan kedua, dia akan diterima di

program studi pilihan kedua. Jika tempat pada program studi pilihan pertama

dan kedua sudah penuh, maka peserta tersebut tidak diterima, walaupun

nilainya mash cukup tinggi. Pemeriksaan hasil ujian dan proses pengalokasian

dilakukan sepenuhnya dengan komputer di Pusat Ilmu Komputer Universitas

Indonesia. Dengan SKALU sistem bani, mobilitas peserta ujian masuk

perguruan tinggi dapat ditekan. Calon mahasiswa hanya perlu datang ke salah

satu tempat (Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta atau Surabaya) untuk

mengisi formulir pendaftarm dan mengikuti ujian masuk. Mereka tidak perlu

datang ke kampus di mana program studi pilihannya berada. Pengumuman hasil ujian juga dapat dilihat di tempat calon mahasiswa mengikuti ujian masuk.

Karena setiap peserta ujian hanya bisa diterima di satu program studi, maka

bangku kosong yang ditinggalkan oleh calon mahasiswa yang diterima di

beberapa program studi juga hilang dengan sendirinya.

Karena keberhasilan SKALU dalam menyederhanakan sistem

penerimaan mahasiswa b m , dan untuk memberi kesempatan yang lebih besar

kepada lulusan SMTA di daerah lain, maka pada tahun 1979 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menawarkan kepada 6 universitas lain untuk

bergabung dengan SKALU dalam penerimaan mahasiswa baru. Universitas

Padjadjaran

di

Bandung, Universitas Diponegoro di Semarang, Universitas

Brawijaya di Malang, Institut Teknologi Sepuluh Nopember di Surabaya, dan

Universitas Sumatera Utara di Medan memutuskan untuk bergabung dengan

SKALU. Sementara Universitas Hasannuddin di Ujung Pandang belum

(179)

diselenggarakan oleh sepuluh universitas/institut tersebut di atas kemudian

dikenal sebagai Proyek Perintis I (PPI). Di bawah pimpinan Institut Pertanian

Bogor empat universitas terkemuka (IPB, UI, ITB dan UGM) juga

melaksanakan sistem penerimaan mahasiswa baru tanpa ujian yang sejak tahun

1972 telah dikembangkan oleh IPB, yang dikenal sebagai Proyek Perintis I1

(PP2). PP2 menjaring calon mahasiswa baru melalui pemanduan bakat dan

informasi yang diberikan oleh sekolah. Sekolah yang diikutsertakan dalam

seleksi tersebut adalah sekolah-sekolah yang mempunyai sejarah yang baik, di

antaranya adalah sekolah yang lulusannya mempunyai prestasi yang cukup baik

di universitaslinstitut anggota PP2. Masing-masing SMTA biasanya diberi jatah tertentu untuk mencalonkan siswanya sebagai calon mahasiswa di perguruan tinggi tersebut. Sistem PP2 hanya dimanfaatkan untuk menjaring calon

mahasiswa pada program studi yang kurang populer, seperti Pertanian,

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sementara itu 23 universitas lainnya

mengembangkan sistem penerirnaan mahasiswa baru yang lain lagi. Mereka

menyelenggarakan ujian yang mirip dengan PP1. Sod ujiannya menggunakan

acuan yang sudah dibakukan, tetapi memberi kesempatan kepada universitas anggotanya untuk menambahkan muatan lokal, yaitu soal-sod yang dianggap cocok dengan keadaan setempat. Sistem yang d i e oleh ke 23 universitas ini

disebut Proyek Perintis I11 (PP3). Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)

negeri yang jumlahnya ada 10 juga mengembangkan sistem penerimaan

mahasiswa baru sendiri, yang disebut Proyek Perintis IV (PP4). Sistem PP4

hampir sarna dengan PPl, perbedaannya hanya pada sod-soalnya yang lebih

menekankan pada soal untuk menggali kemampuan peserta ujian dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Keempat sistem tersebut (PP1, PP2, PP3 dan PP4) berlangsung sampai

(180)

menggunakan sistem PP1 dan PP2 secara nasional. Sistem baru tersebut

dinamakan Sistem Penerirnaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru), terdiri dari Ujian

Tulis yang seratus persen sama dengan PP1 dan Penelusuran Minat Dan

Kemampuan (PMDK) yang merupakan perluasan dari PP2. Perbedaan antara

PP2 dan PMDK, adalah peserta PP2 hanya siswa terpandai dari SMTA yang

terpilih, sedang PMDK menyertakan seluruh siswa dari seluruh SMTA yang

ada di Indonesia.

Pada tahun 1989 PMDK ditiadakan dan Ujian Tulis Sipenmaru berganti

nama menjadi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). UMPTN (juga

Sipenmaru) di selenggarakan di setiap kota di mana ada perguruan tinggi negeri

yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

kecuali Institut Kesenian, di tambah beberapa lokasi yang dianggap strategis.

Di setiap propinsi paling tidak ada satu lokasi ujian, bahkan untuk propinsi

Maluku dan Irian Jaya di hampir setiap kabupaten ada lokasi ujian. Lulusan SMTA yang ingin melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri tidak

perlu ujian di Perguruan Tinggi pilihannya. Mereka dapat mengikuti ujian di

salah satu lokasi ujian yang menurutnya paling ekonomis.

Peserta ujian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Kelompok Ilmu

Pengetah- Alam (IPA) dan Kelompok Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Peserta ujian dapat mengikuti kelompok IPA saja, atau kelompok IPS saja, atau

mengikuti keduanya, kelompok IPA dan IPS. Peserta yang mengikuti satu

kelompok ujian hanya boleh memilih dua program studi yang termasuk dalam

kelompoknya, sedang peserta ujian yang mengikuti dua kelompok ujian boleh

memilih tiga program studi dengan ketentuan dua kelompok IPA dan satu

kelompok IPS atau dua kelompok IPS dan satu kelompok IPA. Ujian

diselenggarakan dalam dua hari. Pada hari pertama semua peserta ujian

(181)

Pendidikan Moral Pancasila (15 sod), Bahasa Indonesia (40 soal) dan

Matematika Dasar (30 soal). Hari kedua pagi hanya diperuntukan bagi peserta

ujian kelompok IPA. Materi ujian terdiri atas Matematika Lanjut (10 soal),

Biologi (15 soal), Kimia (15 soal), Fisika (15 soal) dan IPA Terpadu (20 sod).

Ujian pada hari kedua siang diperuntukan bagi peserta kelompok IPS, dan

terdiri dari Ilmu Pengetahuan Sosial(30 soal), Bahasa Inggris (30 sod) dan IPS

Terpadu (20 sod).

Untuk memudahkan koordinasi, wilayah Indonesia dibagi menjadi 3

Rayon : A, B dan C. Jawa Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan semua

propinsi di pulau Sumatera tennasuk dalam Rayon A. Rayon B terdiri dari Jawa

Tengah, Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah d m Kalimantan

Tiinur. Sedang sisanya, yaitu Jawa Timur, Bali dan seluruh Kawasan Timur

Indonesia termasuk dalam Rayon C. Semua dokumen pendafhran d m lembar

jawaban dari Rayon A dikumpulkan dan dibaca di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Dokumen dari Rayon B dikumpulkan dan dibaca di UPT

Komputer UGM, dan dokumen dari Rayon C dikerjakan di UPT Komputer ITS.

Validasi

data

peserta dan proses penilaian dilakukan di ketiga pusat pengolahan

data tersebut.

Data peserta yang sudah bersih dan sudah dilengkapi dengan nilai

mentah yang dihasilkan oleh ketiga pusat pengolahan data ini kemudian dikumpulkan di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Di sini dilakukan pembakuan nilai menjadi nilai nasional. Berdasarkan nilai nasional tersebut

peserta ujian diurutkan dari nilai tertinggi sampai terendah. Kemudian

dialokasikan pada program studi pilihannya, dengan ketentuan peserta dengan

nilai yang lebih baik mendapat prioritas untuk didokasikan lebih dahulu. Peserta hanya bisa diterima di satu program studi yang dipilihnya. Peserta ujian

(182)

studi hanya menerima sejumlah mahasiswa baru sesuai dengan daya

tampungnya. Walaupun masih banyak calon dengan nilai sangat bak, kalau

daya tampung sudah penuh maka alokasi untuk program studi bersangkutan

akan ditutup. Sebaliknya kalau daya tampung belum penuh akan terus

d i W a n alokasi, walaupun nilai dari peserta yang mendaftar sudah sangat

rendah. Tidak ada nilai batas untuk menentukan diterima atau tidaknya peserta.

Yang lebih menentukan adalah daya tampung dan jumlah peminat pada

program studi yang bersangkutan.

Selama ini nilai UMPTN dipakai sebagai alat untuk memilih calon-calon

mahasiswa perguruan tinggi negeri. Tetapi belum pernah ada penelitian yang

komprehensif dengan data yang mewakili kondisi nasional, yang menunjukkan

bahwa penggunaan nilai UMPTN sebagai alat seleksi penerimaan mahasiswa

baru perguruan tinggi negeri dapat dipertanggungjawabkan. Ada dugaan bahwa

UMPTN lebih bersahabat dengan orang kota dan kurang rarnah terhadap siswa-

siswa dari daerah terpencil. Untuk dapat mengikuti UMPTN, siswa dari daerah

terpencil harus mengeluarkan tenaga dan biaya yang lebih besar dibanding dengan teman-teman mereka yang berasal dari kota besar.

Kecuali untuk keperluan seleksi, masyarakat secara tidak langsung juga

menggunakan hasil UMPTN untuk menilai pendidikan di tingkat SMTA.

Misalnya, kalau lulusan sekolah tertentu banyak yang di terima di perguruan a

tinggi negeri, maka pendapat umum akan setuju mengatakan bahwa sekolah

tersebut lebih baik dari sekolah lain yang jumlah lulusannya yang diterima

lebih sedikit. Atau jika rataan nilai UMPTN dari lulusan sekolah tertentu lebih

tinggi

dari

sekolah lain, maka akan disimpulkan bahwa selokah tersebut lebih baik. Pembandingan seperti tersebut di atas sangatlah berbahaya, selama
(183)

Seperti kita ketahui bahwa salah satu syarat untuk lulus SMTA, siswa

harus mengikuti Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) yang

diselenggarakan secara terpusat di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Materi yang diuji dalam Ebtanas tidak jauh

berbeda dengan materi yang diuji dalam UMPTN. Untuk SMA kelompok IPA

(jurusan A1 dan A2) yang diuji adalah Pendidikan Moral Pancasila, Bahasa

Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi dan Kirnia. Sedang

untuk SMA kelompok IPS yang diuji adalah Pendidikan Moral Pancasila,

Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi, Tata Negara dan

Sosiologi/Antropologi. Dalam prakteknya, Ebtanas sebagai salah satu

persyaratan untuk bisa lulus SMTA hanyalah persyaratan formal. Andil nilai

Ebtanas dalam menentukan lulusltidaknya siswa sangat kecil. Kepala Sekolah

biasanya mendapat tekanan (baik nyata maupun tersamar) untuk sedapat

mungkin meluluskan semua siswanya. Hanya siswa yang sehari-harinya luar

biasa bodohnya yang terpaksa tidak lulus SMTA. Biasanya Kepala Sekolah

sudah dapat mengetahui siapa yang tidak lulus, sebelum Ebtanas

diselenggarakan. Yang sangat ironis, untuk mengevaluasi kualitas SMTA, ada

beberapa pejabat yang lebih percaya pada nilai UMPTN. Padahal mereka

adalah pejabat yang bertanggung jawab pada pelaksanaan Ebtanas.

Baik Ebtanas maupun UMPTN merupakan uji sesaat yang

diselenggarakan dalam waktu yang tidak jauh berbeda, dan dengan materi ujian

yang hampir sama. Ada dugaan bahwa kedua ujian tersebut akan menghasilkan

ukuran yang tidak jauh berbeda. Sepintas terlihat adanya duplikasi atau

turnpang-tindih antara Ebtanas dan UMPTN. Seandainya dugaan-dugaan

tersebut di atas benar, berarti merupakan pemborosan sumber daya dan dana,

baik yang ditanggung oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Yang paling

(184)

dan pikiran untuk mempersiapkan diri menghadapai kedua ujian tersebut,

sementara orang tua harus mengeluarkan biaya dua kali lipat dari yang

seharusnya apabila tidak terjadi duplikasi tersebut.

Pokok Permasalahan

Selama ini banyak pihak yang secara tidak langsung menggunakan hasil

UMPTN untuk menilai pendidikan di tingkat SMTA. Ada pihak-pihak tertentu

yang menggunakan jumlah lulusan yang diterirna di Perguruan Tinggi Negeri

atau rataan nilai UMPTN dari lulusan suatu sekolah untuk menilai kualitas dari

sekolah yang bersangkutan. Penggunaan seperti ini bisa berbahanya, terutama

apabila kehandalan dari nilai UMPTN sendiri belum dibuktikan. Panitia

UMPTN belurn dapat menunjukkan bukti bahwa secara nasional prestasi

mahasiswa baru dapat diduga secara tepat dengan nilai UMPTN, sehingga kita

yakin bahwa penggunaan nilai UMPTN untuk memilih calon mahasiswa baru

perguruan tinggi negeri adalah benar dan dapat dipertanggungiawabkan. Hal

yang sama juga terjadi pada Ebtanas. Belum pernah ada laporan yang disajikan

oleh penyelenggara Ebtanas yang membuktikan bahwa nilai Ebtanas cukup

handal apabila digunakan untuk memilih calon mahasiswa baru di perguruan

tinggi.

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa ada dugaan b&wa terjadi

duplikasi antara Ebtanas dan UMPTN. Kalau dugaan ini benar, maka ha1 ini

jelas suatu pemborosan pendidikan. Sehingga tirnbul pertanyaan : Mengapa

tidak dipilih salah satu, Ebtanas saja atau UMPTN saja? Apa ruginya jika

Ebtanas ditiadakan? Atau sebaliknya, apa ruginya jika UMPTN ditiadakan dan

(185)

perguruan tinggi? Tujuan dari disertasi ini adalah untuk meneliti bagaimana

sebenamya hubungan antara nilai UMPTN dan nilai Ebtanas. Akan ditelaah

seberapa besar kerugiannya apabila salah satu, UMPTN atau Ebtanas

ditiadakan. Juga akan diselidiki apakah mata pelajaran yang diuji dalam

UMPTN sudah optimal, atau masih bisa dilakukan penyederhanaan. Penelitian

juga akan diarahkan untuk mengetahui berapa besar pemborosan pendidikan

yang diakibatkan adanya peserta ujian yang cukup potensial tetapi tidak

diterima di manapun, karena semua pilihannya merupakan program studi yang sangat ketat persaingannya. Sementara lada program studi yang terpaksa

menerima calon mahasiswa yang nilainya sangat rendah, karena tidak ada

peserta potensial yang memilihnya.

Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa merupakan masukan bagi

pengambil kebijakan dalarn penyelenggaraan ujian dan penerimaan mahasiswa

baru. Apakah penyelenggaraan Ebtanas dan UMPTN, seperti yang selama ini

dilaksanakan, dengan segala kekurangan dan kelebihannya sudah merupakan

keadaan yang terbaik dan tidak perlu ada perubahan apapun. Atau kita harus

memilih salah satu, Ebtanas atau UMPTN, dengan mengadakan perbaikan-

perbaikan seperlunya untuk bisa mencapai hasil yang maksimal. Atau kita

tinggalkan era Ebtanas dan UMPTN dengan mencari alternatif lain yang

mungkin lebih bisa dipertanggungiawabkan. Hasil penelitian ini juga

diharapkan dapat menjadi dasar dari penelitian-penelitian selanjutnya. Di

tingkat universitas/institut, penelitian semacam ini dengan data yang lebih

(186)

perguruan tinggi? Tujuan dari disertasi ini adalah untuk meneliti bagaimana

sebenarnya hubungan antara nilai UMPTN dan nilai Ebtanas. Akan ditelaah

seberapa besar kerugiannya apabila salah satu, UMPTN atau Ebtanas

ditiadakan. Juga akan diselidiki apakah mata pelajaran yang diuji dalam

UMPTN sudah optimal, atau masih bisa dilakukan penyederhanaan. Penelitian

juga akan diarahkan untuk mengetahui berapa besar pemborosan pendidikan

yang diakibatkan adanya peserta ujian yang cukup potensial tetapi tidak

diterima di manapun, karena semua pilihannya merupakan program studi yang sangat ketat persaingannya. Sementara lada program studi yang terpaksa

menerima calon mahasiswa yang nilainya sangat rendah, karena tidak ada

peserta potensial yang memilihnya.

Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa merupakan masukan bagi

pengambil kebijakan dalam penyelenggaraan ujian dan penerimaan mahasiswa

baru. Apakah penyelenggaraan Ebtanas dan UMPTN, seperti yang selama ini

dilaksanakan, dengan segala kekurangan dan kelebihannya sudah merupakan

keadaan yang terbaik dan tidak perlu ada perubahan apapun. Atau kita harus memilih salah satu, Ebtanas atau UMPTN, dengan mengadakan perbaikan-

perbaikan seperlunya untuk bisa mencapai hasil yang maksimal. Atau kita

tinggalkan era Ebtanas dan UMPTN dengan mencari alternatif lain yang

munglun lebih bisa dipertanggungjawabkan. Hasil penelitian ini juga

diharapkan dapat menjadi dasar dari penelitian-penelitian selanjutnya. Di

tingkat universitaslinstitut, penelitian semacam ini dengan data yang lebih

(187)

bersangkutan, akan merupakan masukan yang sangat berharga bagi pimpinan

universitaslinstitut tersebut. Dari hasil penelitian tersebut, Rektor sebagai pemegang otonomi dalam penerimaan mahasiswa baru, dapat memilih alat

seleksi yang paling baik dan cocok dengan kondisi lokal dari universitaslinstitut

(188)

BAB I1

TINJAUAN PUSTAKA

Sebaran Empirik

Perbedaan yang mendasar antara sebaran teoritis dan sebaran empirik

adalah bahwa sebaran empirik didasarkan pada data yang merupakan hasil

pengamatan yang diperoleh dari dunia nyata, sedang sebaran teoritis lebih

I

didasarkan pada asumsi-asumsi matematis. Dalam kenyataan sehari-hari fungsi

sebaran yang sebenarnya dari suatu peubah acak hampir pasti tidak diketahui.

Untuk

memperoleh gambaran tentang bentuk sebaran tersebut biasanya dilakukan pendugaan. Salah satu cara pendugaan yang sudah teruji cukup baik

adalah dengan mengamati beberapa harga dari peubah acak yang bersangkutan

dan dari hasil pengamatan ini dibentuk grafii F*(x) yang diharapkan dapat dipergunakan

untuk

menduga fungsi F(x) yang tidak diketahui.

Misal X, ,

X,

,

. .

. ,

. .

, X,, adalah peubah acak yang saling bebas dan mempunyai sebaran yang identik, dengan fhgsi sebaran bersama F, dan F, (x,w), x

ER,

o

E Q, adalah h g s i sebarm empirik dari

X,

pada n percobaan, maka (Teorema

Glivenko-Cantelli) :

F, (x,o) = ( I/n) [ jumlah XI(@), X,(o),

. . .

, &(a) yang lebih kecil hau sama dengan x ]

Apabila n cukup besar maka fungsi sebaran empirik akan sama seperti f h g s i

(189)

Untuk menguji bahwa dua buah sebaran merupakan sebaran ang sama atau berbeda, bisa dipergunakan statistik T = sup

I

F*(x)

-

F(x)

X

r

Hipotesis H, : F(x) = F*(x) ditolak jika T besar (Kolmogorov-Srnirnov).

Pencilan

Pola hubungan antara peubah Y dan X yang bersifat linier dapat

dirnodelkan dengan persamaan Y = X

P

,

+

e dan dengan metode kwadrat

terkecil, akan diperoleh dugaan dari

P

: b = (XTX)-1XTY.

Koefisien determinasi didefrnisikan sebagai

R*

= SSreg 1 SYY yang merupakan proporsi keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh keragaman X.

Nilai

R2

antara 0 dan 1. Semakin dekat nilai

R2

dengan 1, berarti makin dekat pula titik-titik pengamatan ke persamaan regresinya. Ini berarti persamaan

regresinya semakin baik. Bila

R2=l

berarti semua titik pengamatan akan tepat berada pada persamaan regresi.

Idealnya, jika model persamaan regresinya baik, maka model tersebut akan pas

untuk semua data. Di dalam kenyataannya bukan tidak mungkm ada satu atau

lebih pengamatan yang kelihatannya lain dari pada yang lain. Pengamatan yang

tidak mengkuti model yang berlaku bagi mayoritas teman-temannya disebut

pencilan. Cara yang paling mudah untuk mengidentifikasi pencilan adalah

(190)

dianggap pencilan. Biasanya dipakai sisaan yang sudah dibakukan, yaitu sisaan

dibagi dengan simpangan bakunya (standardized residual),

ri = ei / Se

atau simpangan baku student (studentized residual), yaitu simpangan baku di

mana pengamatan ke i tidak diikutsertakan dalam model,

Sebagai patokan kasar, jika lri1>2 atau lti1>2, maka kita harus hati-hati terhadap

I

kemunglunan adanya pencilan. Apabila lri1>3 atau lti1>3 maka dapat dipastikan

bahwa pengamatan yang bersangkutan adalah pencilan.

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

Pendidikan tinggi adalah salah satu wahana untuk mendidik dan memilih

pemimpin bangsa di masa mendatang. Oleh sebab itu seleksi penerimaan

mahasiswa baru menjadi sangat penting. Kualitas calon mahasiswa yang

diterima akan berdampak langsung pada kualitas pemimpin di masa mendatang

(Klitgaard, 199 1). Tanpa universitas kelas dunia dengan mahasiswa kelas

dunia, harnpi. tidak mungkm bangsa kita mampu bersaing dalam pasar global yang dicanangkan

akan

berlaku mulai tahun 2020 mendatang. Bahwa saat ini di

Indonesia terdapat 12.6% sarjana yang rhenganggur (World Bank, 1994),

merupakan satu isyarat bahwa masih banyak lulusan kita yang kualitasnya

belum memenuhi persyaratan yang diharapkan oleh pasar tenaga kerja. Padahal

persaingan bebas belum lagi dimulai. Kualitas lulusan seperti tersebut di atas

(191)

bidang studi yang diminatinya dan lain sebagainya, kadang-kadang memberikan

suatu kenyataan yang sangat menyedihkan. Indonesia, seperti halnya negara-

negara berkembang lainnya, memberi subsidi yang besar terhadap pendidikan

tinggi, lebih besar dari subsidi untuk pendidikan dasar dan pendidikan

menengah. Karena sebagian besar mahasiswa perguruan tinggi berasal dari

golongan ekonomi menengah ke atas, berarti subsidi yang besar untuk

pendidikan tinggi bertentangan dengan pemerataan yang sedang giat-giatnya

kita laksanakan. Hal tersebut masih ditambah dengan adanya kebijakan- kebijakan lain yang kadang-kadang kurang kamah terhadap golongan ekonomi

lemah. Dalam menganalisis data PP1 yang penulis sajikan, Robert Klitgaard

menguraikan secara gamblang untung-ruginya memberikan perlakuan khusus,

seperti kuota, terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat yang kondisinya

h a n g diuntungkan (Klitgaard, 1986). Umpan balik dari Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru Perguruan Tinggi kepada Sekolah Menengah Tingkat Atas kadang-kadang malah memperburuk keadaan. Apa yang dipersyaratkan oleh

panitia seleksi sering djadikan pedoman untuk menentukan apa yang hams

diutamakan dalam pendidikan di sekolah lanjutan. Bahkan apa yang diuji oleh

panitia seleksi bisa merubah kurikulum sekolah lanjutan, sehingga kurikulum

tersebut tidak cocok untuk sebagian anak didik yang sebenamya tidak akan

meneruskan ke pendidikan tinggi (Klitgaard, 1991).

Kehandalan Ujian Seleksi

Kehandalan dari suatu ujian seleksi diukur dengan hubungan antara nilai

ujian tersebut dengan sesuatu nilai atau kriteria lain yang diukur di kemudian

hari. Perhatian utama dalam mempelajari kehandalan tersebut adalah indikator

(192)

1982). Penelitian tentang kehandalan seperti ini berkaitan erat dengan

penafsiran yang tepat dari penggunaan ukuran-ukuran pengujian (Cronbach,

1971). Derajat kehandalan merupakan aspek terpenting dalam setiap ujian. Baik

pimpinan perguruan tinggi maupun panitia ujian masuk perguruan tinggi

tidaklah secara langsung tertarik pada seberapa hebat calon mahasiswa

mengerjakan sod-sod ujian masuk. Mereka lebih tertarik menggunakan nilai

ujian untuk memilih calon mahasiswa yang mempunyai peluang paling tinggi

untuk berhasil di perguruan tinggi dan dapat menyelesaikan pendidikan di

perguruan tinggi sesuai dengan waktu yang 'telah ditentukan. Jadi, secara

ti&

langsung mereka tertarik pada kehandalan pendugaan dari nilai-nilai ujian

masuk perguruan tinggi. Data mengenai kehandalan biasanya dikumpulkan

untuk mendukung pernyataan bahwa suatu ujian berguna untuk suatu maksud

tertentu. Apabila ujian digunakan sebagai alat seleksi, seharusnya panitia ujian

dapat menyajikan kehandalan pendugaannya dalam bentuk korelasi antara nilai

ujian dengan ukuran prestasi di kemudian hari (Angoff, 1988). Biasanya para

pendidik menggunakan hdeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebagai ukuran

prestasi di perguruan tinggi (Mehrens dan Lehmann, 1987). Penelitian yang

dilakukan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia terhadap mahasiswa

yang diterima melalui Sipemaru tahun 1984 dan 1985 di 14 Perguruan Tinggi

Negeri (UI, ITB, UGM, Unair, USU, Unand, Unila, Unlam, Unhas, Unsrat,

Untad, IKIP Malang, IKIP Jakarta dan IKIP Padang) menunjukkan bahwa kehandalan pendugaan dari Sipenmaru unt& Kelompok IPA Non-kependidikan

tidak mengecewakan. Tetapi untuk Kelompok IPS dan Kependidikan (baik IPA

maupun IPS) hasilnya h a n g menggembirakan. Koefisien korelasi antara IPK

dan nilai Sipenmaru sangat bervariasi antara -0.63 sampai dengan 0.63

(Soewondo, et al., 1988). Penelitian yang bersumber pada data mahasiswa baru

(193)

0.64, sedang koefisien korelasi antara IPK dan nilai UMPTN berkisar antara

0.43 dan 0.65 (Masoem, 1990). Penelitian dengan data yang mewakili

universitas-universitas di Amerika Serikat telah dilakukan oleh penyelenggara

The American College Testing Assessment Program (ACT-AP) dan The

Scholastic Aptitude Test (SAT), yaitu dua ujian yang dipakai secara luas di

seluruh Amerika. Para peneliti dari College Entrance Examination Board

(CEEB, penyelenggara SAT) melaporkan (Donlon, 1984) bahwa hasil

penelitian kehandalan pendugaan pada 685 universitas (seluruh Amerika ada

lebih dari 3000 universitas) untuk mahasiswa yang diterirna antara tahun 1964

sampai 1981 menunjukkan bahwa nilai SMTA merupakan peubah penjelas

terbaik untuk menduga IPK mahasiswa tahun pertama. Di 232 universitas (34%

dari 685 universitas tersebut di atas), jika dibadingkan dengan nilai SMTA,

nilai total SAT mempunyai andil yang lebih besar dalam menduga IPK

mahasiswa tingkat pertama. Keadaan sebaliknya terjadi di 453 universitas (66%). Rataan koefisien korelasi masing-masing adalah 0.48 untuk nilai SMTA, 0.36 untuk nilai verbal SAT, 0.35 untuk nilai matematika SAT, dan

0.42 untuk nilai total (verbal + matematika) SAT. Penggunaan ketiga peubah

penjelas secara bersamaan (nilai SMTA, nilai verbal SAT, dan nilai matematika

SAT) untuk menduga IPK memberikan rataan korelasi sebesar 0.55. Kalau

diperhatikan rataan koefisien korelasinya, terlihat bahwa penambahan nilai total

SAT sebagai peubah penjelas akan memperbesar koefisien korelasi sebesar 0.07

(dari 0.48 menjadi 0.55) dibanding dengaq koefisien korelasi yang diperoleh

dari dari dugaan yang hanya menggunaan nilai SMTA saja. Penggunaan nilai

SMTA meningkatkan koefisien korelasi sebesar 0.13 (dari 0.42 menjadi 0.55)

dari koefisien korelasi yang diperoleh dengan menggunakan nilai SAT saja.

Salah satu cara untuk melihat seberapa besar andil dari nilai SMTA dan nilai SAT dalam rnemperoleh dugaan IPK mahasiswa tahun pertama, menurut

(194)

persamaan regresi. Untuk keperluan tersebut koefisien persamaan regresi

dibakukan, kemudian dihitung proporsi bobot baku dari masing-masing peubah

terhadap bobot baku total. Nilai rataan dari besarnya andil untuk nilai verbal

SAT, nilai matematika SAT dan nilai SMTA masing-masing adalah 26%, 20%

dan 54%. Dalam penelitian dari College Entrance Examination Board yang lain (Morgan, 1989) dilaporkan bahwa sejak awal tahun 60an sampai dengan

pertengahan 70an rataan koefisien korelasi antara nilai SAT dengan IPK tahun

pertama di perguruan tinggi naik secara dramatis. Dalam dekade berikutnya

kuatnya hubungan tersebut menurun sedikit demi sedikit. Data contoh dari

mahasiswa tingkat pertama yang mendaftar di 222 perguruan tinggi dari tahun

1976 sampai dengan 1985 menunjukkan bahwa rataan koefisien korelasi antara

nilai SAT dan IPK perguruan tinggi tahun pertama tunrn dari sekitar 0.51 menjadi sekitar 0.47, yaitu p e n m a n sekitar 0.04. Dibanding dengan koefisien

korelasi dari model regresi yang hanya menggunakan nilai SAT saja,

penambahan peringkat siswa sewaktu di SMTA pada model regresi

mengakibatkan kenaikan koefisien korelasi dari 0.13 sampai 0.17. Penelitian

yang komprehensif telah dikerjakan oleh American College Testing Program

(Sawyer and Maxey, 1979) berdasarkan data yang dikumpulkan dari 260

perguruan tinggi,

dari

tahun 1972- 1973 sampai tahun 1976- 1977. Hasilnya

menunjukkan bahwa keakuratan dugaan dengan peubah penjelas nilai ACT dan

nilai SMTA secara bersama-sama terlihat stabil dalam kurun waktu yang

(195)

BAB I11

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Bahan Penelitian

Data yang dipergunaan dalam penelitian ini adalah data peserta Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) selama tiga tahun terakhir (1993,

1994 dan 1995). Data tersebut terdiri dari data pribadi dan latar belakang

peserta ujian yang dikumpulkan melalui formulir pendaftaran dan data nilai

UMPTN yang diperoleh dari hasil pengolahan lembar jawaban hasil pekerjaan

peserta dalam ujian tersebut. Setiap tahun UMPTN dilaksanakan pada hari

Selasa dan Rabu minggu ketiga bulan Juni. Untuk dapat mengikuti UMPTN, calon peserta harus mendaftarkan diri. Pendaftaran biasanya dirnulai pada awal

bulan Juni dan berlangsung selama 2 minggu. Yang pertama kali dilakukan oleh

calon peserta ujian adalah membeli formulir pendafiaran. Pada formulir

tersebut telah tercetak nomor peserta (10 digit). Nomor peserta ini sebenarnya merupakan gabungan dari : kode kelompok (digit pertama), tahun (digit 2 dan

3), kode lokasi ujian (digit 4 dan 5) dan nomor urut peserta (digit ke 6 sampai ke 10). Setiap calon peserta UMPTN wajib mengisi formulir p e n d e a n

tersebut. Informasi yang harus diisi antara lain data pribadi (nama, alamat,

kewarganegaraan, jenis kelamin, agama, tanggal dan tempat lahir, pendidikan dan pekerjaan orang tua, penghasilan keluarga), asal sekolah (kode sekolah,

tahun lulus, jurusan, nilai STTB, nilai ebtanas murni), serta kode program studi

yang dipilihnya. Pasfoto terbaru (paling lama 6 bulan) ukuran 4x6 cm juga

hams ditempel dalam formulir tersebut. Formulir tersebut h a s dikembalikan

kepada panitia pada waktu yang telah ditentukan oleh panitia. Untuk

(196)

boleh diwakilkan, dengan membawa dokumen-dokumen asli untuk

membuktikan kebenaran dari informasi yang telah ditulis atau diisikan ke dalam

formulir pendaftaran. Pada saat pengembalian formulir, petugas memeriksa

tanda pengenal calon peserta (Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Pelajar).

Akan diperiksa apakah calon yang datang untuk mendaftar sesuai dengan orang

yang nama dan fotonya tercantum dalam formulir pendaftaran. Juga akan

diperiksa apakah informasi yang diisikan pada formulir tersebut cocok dengan

yang tertera dalam dokumen-dokumen asli. Dalam formulir pendaftaran, calon

peserta ujian juga diharuskan membuat' pernyataan "Dengan ini saya

menyatakan bahwa data yang diisikan dalam formulir ini adalah benar" dan

menandatanganinya di depan panitia. Dalam buku petunjuk pendaftaran juga

terdapat peringatan "Bila diketahui anda tidak memberikan keterangan yang

diminta atau memberikan keterangan yang ti& benar/palsu dalam mengisi

formulir pendajlaran dun lembar jawaban, anda akan dikenakan sanksi

dikeluarkan walaupun sudah diterima menjadi mahasiswa ".

Dengan proses pendaftaran yang begitu ketat seperti diuraikan di atas, panitia

mengharapkan bahwa data ya

Gambar

Sebaran Nilai Ebtanas Murni Lulusan Gambar-08 SMTA Jawa dun Luar Jawa
Diagram Pencar antara Gambar-09 NEM dbn Nilai UMPW
Tabel-04 Frekuensi Pada Nem dan Nilai W P l N  Tertentu
Gambar-1 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

sedangkan untuk metode yang digunakan, yaitu gabor filter dan Template Matching, telah digunakan juga sebelumnya untuk pengenalan rambu lintas dengan data uji berupa

Untuk fasilitas pembiayaan, KJKS Kalbar Madani memiliki standar operasional dengan menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent), dimana setiap permohonan

dsarnya dalam hisab awal waktu salat adalah menghitung kapan matahari menempati posisi tertentu yang sekaligus menjadi penunjuk masuknya awal waktu salat. Faktor penyebab

Pancasila secara keilmuan menjelaskan Nilai Pengembangan Kuliah Pakar Presentasi menit mahasiswa dalam. Pancasila secara Ilmu • Problem • Laporan

Instalasi Rawat Intensif (IRI) / ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang Instalasi Rawat Intensif (IRI) / ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit

[3.29] Menimbang bahwa berdasarkan penilaian hukum di atas, dalam rangkaian satu dengan yang lain, Mahkamah berpendapat bahwa pokok permohonan para Pemohon tidak

Alat penyaring ini digunakan pada jalur pipa guna menyaring kotoran pada aliran sehingga aliaran yg akan diproses atau hasil proses lebih baik mutunya.... Tipe ini digunakan

Terwujudnya peningkatan kualitas dokumen perencanaan pembangunan daerah yang partisipatif dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik terdiri dari 12