• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Efektifitas Antasida, Ranitidin Dan Omeprazol Dalam Pencegahan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Dan Pengaruhnya Terhadap Terjadinya Pneumonia Serta Outcome Penderita Stroke Akut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Efektifitas Antasida, Ranitidin Dan Omeprazol Dalam Pencegahan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Dan Pengaruhnya Terhadap Terjadinya Pneumonia Serta Outcome Penderita Stroke Akut."

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

Selasa, 20 Mei 2014

TESIS AKHIR

PERBEDAAN EFEKTIFITAS ANTASIDA, RANITIDIN

DAN OMEPRAZOL DALAM PENCEGAHAN PERDARAHAN

SALURAN CERNA BAGIAN ATAS DAN PENGARUHNYA

TERHADAP TERJADINYA PNEUMONIA SERTA

OUTCOME

PENDERITA STROKE AKUT

OLEH:

CHAIRIL AMIN BATUBARA

Nomor Register CHS : 19549

PROGRAM STUDI NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERBEDAAN EFEKTIFITAS ANTASIDA, RANITIDIN DAN

OMEPRAZOL DALAM PENCEGAHAN PERDARAHAN

SALURAN CERNA BAGIAN ATAS DAN PENGARUHNYA

TERHADAP TERJADINYA PNEUMONIA SERTA

OUTCOME

PENDERITA STROKE AKUT

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis Saraf Pada Program

Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Pada Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

CHAIRIL AMIN BATUBARA

Nomor Register CHS : 19549

PROGRAM STUDI NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERNYATAAN

PERBEDAAN EFEKTIFITAS ANTASIDA, RANITIDIN DAN

OMEPRAZOL DALAM PENCEGAHAN PERDARAHAN

SALURAN CERNA BAGIAN ATAS DAN PENGARUHNYA

TERHADAP TERJADINYA PNEUMONIA SERTA

OUTCOME

PENDERITA STROKE AKUT

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat

karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di

suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak

terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan

oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini

dan disebutkan dalam daftar pustaka

.

Medan, 20 Mei 2014

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Perbedaan Efektifitas Antasida, Ranitidin Dan Omeprazol Dalam Pencegahan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Dan Pengaruhnya Terhadap Terjadinya Pneumonia Serta Outcome Penderita Stroke Akut.

Nama : Chairil Amin Batubara No Reg CHS : 19549

Program Studi : Neurologi

Hari/Tanggal : Selasa, 20 Mei 2014

Pembimbing I: Pembimbing II:

dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S dr. Aldy S. Rambe, Sp.S (K) NIP. 19610515 198911 2 001 NIP. 19660524 199203 1 002

Pembimbing III:

dr, Rusli Dhanu Sp.S (K) NIP. 19530916 198203 1 003

Mengetahui / Mengesahkan :

Ketua Departemen Neurologi FK USU/ RSUP HAM, Medan

dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K) NIP. 19530916 198203 1 003

Ketua Program Studi Neurologi FK USU/ RSUP HAM, Medan

(5)

Tanggal Lulus: 20 Mei 2014

Telah diuji pada tanggal: 20 Mei 2014

PANITIA TESIS

1. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K) 2. Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S (K) 3. dr. Darlan Djali Chan, Sp.S

4. dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K)

5. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K) (Penguji) 6. dr. Aldy S. Rambe, Sp.S (K)

7. dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S

8. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S (K) 9. dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS 10. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S 11. dr. Cut Aria Arina, Sp.S 12. dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S 13. dr. Alfansuri Kadri, Sp.S 14. dr. Aida Fitrie, Sp.S

15. dr. Irina Kemala Nasution, Sp.S 16. dr. Haflin S. Hutagalung, Sp.S

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan segala berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini.

Penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi persyaratan dan

merupakan tugas akhir Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf di

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum

Pusat Haji Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan

penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS-I Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan

Dokter Spesialis Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara.

2. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K), selaku Ketua Departemen Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam

Malik Medan dan guru penulis yang tidak pernah bosan dan penuh

kesabaran dalam membimbing, mengoreksi, serta selalu

(7)

dan arahan selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter

Spesialis Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K), Ketua Program Studi PPDS-I Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang banyak

memberikan masukan berharga kepada penulis selama mengikuti

Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf di Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara dan dalam penyelesaian tesis ini.

4. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S, Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S (K) dan Dr.

Rusli Dhanu, Sp.S (K), selaku pembimbing penulis yang dengan sabar

dan sepenuh hati dalam membimbing, mengoreksi dan mengarahkan

penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

5. Guru-guru penulis: Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K); Prof. dr.

Darulkutni Nasution, Sp.S (K); (Alm.) dr. Muchtar Nasution, Sp.S; dr.

Darlan Djali Chan, Sp.S; dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S; dr. Kiking

Ritarwan, MKT, Sp.S(K); dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS; dr. Khairul

P. Surbakti, Sp.S; dr. Cut Aria Arina, Sp.S; (Alm.) dr. S. Irwansyah,

Sp.S; dr. Kiki M.Iqbal, Sp.S; dr. Alfansuri Kadri, Sp.S; dr. Dina

Listyaningrum, Sp.S, MSi.Med; dr. Aida Fitrie, Sp.S; dr. Antun Subono,

Sp.S, M.Sc; dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked(Neu), Sp.S; dr. RA. Dwi

Pujiastuti, M.Ked(Neu), Sp.S dan guru-guru lainnya yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan

masukan selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis

(8)

6. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah

memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik

sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter

Spesialis Saraf.

7. Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah

banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan

penulis dalam pembuatan tesis ini.

8. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU/

RSUP. H. Adam Malik Medan, yang banyak memberikan masukan

berharga kepada penulis melalui berbagai diskusi dalam beberapa

pertemuan formal maupun informal, serta yang selalu memberikan

dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan Program

Pendidikan Dokter Spesialis Saraf.

9. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah

bertugas selama menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf

ini, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani

Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf.

10. Semua pasien stroke akut yang telah bersedia ikut serta untuk

berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.

11. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi (Alm.) dr.

Achmad Sjukri Batubara, Sp.S (K) dan (Alm.) Dra. Anggreni Lubis,

(9)

dalam membesarkan, mendidik, membimbing dan memotivasi serta

selalu mendoakan penulis semasa hidup mereka.

Semoga Allah SWT akan membalas semua jasa-jasa dan perbuatan

baik mereka yang telah membantu penulis dengan tanpa pamrih dalam

mewujudkan cita-cita penulis.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini

dapat bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP PENELITI

Nama Lengkap : dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked (Neu)

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat/ Tanggal Lahir : Medan, 28 Maret 1983

Agama : Islam

Pekerjaan : Staf Pengajar Departemen Neurologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Nama Ayah : (Alm.) dr. Achmad Sjukri Batubara, Sp.S(K)

Nama Ibu : (Alm.) Dra. Anggreni Lubis

Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dasar di SD Harapan 1 Medan, tamat tahun 1995

2. Sekolah Menengah Pertama di SLTP Negeri 1 Medan, tamat tahun 1998

3. Sekolah Menengah Atas di SMU Negeri 1 Medan, tamat tahun 2001

4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, tamat tahun 2007

5. Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Neurologi di Fakultas

(11)

ABSTRAK

Latar Belakang: Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) merupakan salah satu komplikasi stroke akut. Pemberian antasida, ranitidin atau omeprazol dapat mencegah PSCBA, namun dapat meningkatkan terjadinya pnumonia, dengan demikian akan mempengaruhi outcome penderita stroke akut.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektifitas antasida, ranitidin dan omeprazol dalam pencegahan PSCBA dan pengaruhnya terhadap terjadinya pneumonia serta outcome penderita stroke akut.

Metodologi: Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan randomized control-group pretest-post test design. Terdiri dari 3 kelompok, yang pertama diberikan antasida 400 mg, kedua diberikan ranitidin 150 mg dan yang ketiga diberikan omeprazol 20 mg, dengan 16 pasien tiap kelompoknya. Pasien diamati jika tejadi PSCBA dan atau pneumonia selama dirawat inap. Outcome diukur dengan NIHSS (< 4 = ringan; 4-15 = sedang; > 15 = berat) dan mRS (1-2 = baik; 3-6 = buruk).

Hasil: Dari 48 sampel yang diperoleh, didapati PSCBA sebanyak 3 orang (6,3%), dimana kelompok omeprazol tidak terdapat PSCBA dan pneumonia sebanyak 4 orang (8,3%), dimana kelompok antasida dan ranitidin paling sedikit masing-masing 1 orang (2,1%), namun tidak didapati perbedaan bermakna antar ketiga kelompok tersebut (p = 0,254 dan p = 0,593). Tidak didapati pengaruh dan perbedaan pengaruh yang bermakna pada pemberian ketiga obat tersebut terhadap outcome NIHSS dan mRS pada hari ke-14.

Kesimpulan: Hasil studi ini menunjukkan bahwa antasida, ranitidin dan omeprazol memberikan efektifitas yang sama terhadap pencegahan PSCBA dan pengaruh yang sama juga terhadap terjadinya pneumonia, serta tidak berpengaruh terhadap outcome penderita stroke akut.

(12)

ABSTRACT

Background: Upper gastrointestinal bleeding (UGIB) is one of acute stroke complications. Giving an antacid, ranitidine or omeprazole may prevent UGIB, but may increase the occurrence of pnumonia, thus it will affect the outcome of acute stroke patients.

Objective: This study aimed to determine the differences in the effectiveness of antacids, ranitidine and omeprazole in the prevention of UGIB and its influence on the occurrence of pneumonia and acute stroke patient outcomes.

Methodology: This study used an experimental method with randomized control-group pretest-posttest design. Consists of three groups, the first was given 400 mg antacids, the second was given ranitidine 150 mg and the third was given omeprazole 20 mg, with 16 patients per group. Patients were observed if UGIB and or pneumonia occurred during hospitalization. Outcome was measured by the NIHSS (< 4 = mild; 4-15 = moderate; > 15 = severe) and mRS (1-2 = good; 3-6 = bad).

Results: Of the 48 samples obtained, UGIB found as many as 3 patients (6,3%), where there was no UGIB in omeprazole group, and pneumonia as many as 4 patients (8,3%), which antacids and ranitidine groups effect on the outcome of acute stroke patients.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pernyataan………..……….. i

Lembar Pengesahan…..………..……….. iii

Susunan Panitia Tesis…..………..………... iv

Kata Pengantar……….……….. v

Riwayat Hidup Peneliti…...…..………..………... ix

Abstrak……….………. x

Abstract…..……….………. xi

Daftar Isi.……….…………. xii

Daftar Singkatan………..………... xvi

Daftar Gambar………..…………...………... xvii

Daftar Tabel …...………. xviii

Daftar Grafik……...………. xix

Daftar Lampiran……...………... xx

BAB I. PENDAHULUAN……….... 1

1. Latar Belakang ………... 1

2. Perumusan Masalah..……… 6

3.Tujuan Penelitian...……….. 6

4. Hipotesis…..……… 8

(14)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 10

1. Stroke……..………. 10

1.1. Definisi……….… 10

1.2. Epidemiologi………... 10

1.3. Faktor Risiko……….……. 11

1.4. Klasifikasi……… 13

1.5. Patofisiologi……….……….….. 14

2. Komplikasi Stroke….………..……… 17

2.1. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas……… 17

2.2. Pneumonia………..………..22

3. Antasida, Ranitidin dan Omeprazol…...………. 28

5. Kerangka Teori……….……….. 34

6. Kerangka Konsep………... 35

BAB III. METODE PENELITIAN………... 36

1. Tempat dan Waktu………. 36

2. Subjek Penelitian ………..………. 36

2.1. Populasi Sasaran ……….. 36

2.2. Populasi Terjangkau……….. 36

2.3. Besar Sampel…..………...…… 36

2.4. Kriteria Inklusi…..……… 37

2.5. Kriteria Eksklusi…..……… 37

(15)

4. Instrumen Penelitian...………..…………. 40

5. Rancangan..……… 41

6. Pelaksanaan Penelitian..……….. 41

6.1. Pengambilan Sampel….……… 41

6.2. Kerangka Operasional………... 42

7. Variabel yang Diamati……… 44

8. Analisa Statistik………..……… 44

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………..… 45

1. Hasil Penelitian.…..……… 45

1.1. Karakteristik Subjek…..………. 45

1.2. Perbedaan Efektifitas Antasida, Ranitidin Dan Omeprazol Dalam Pencegahan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Pada Penderita Stroke Akut…..…. 46

1.3. Perbedaan Pengaruh Antasida, Ranitidin Dan Terhadap Terjadinya Pneumonia Pada Penderita Stroke Akut……….... 48

1.4. Pengaruh Antasida, Ranitidin dan Omeprazol Terhadap Outcome Pada Ketiga Kelompok Perlakuan………….………....…… 50

1.5. Perbedaan Outcome NIHSS Dan mRS Antar Ketiga Kelompok Perlakuan...…………..……….... 51

(16)

2.1. Karakteristik Subjek Penelitaian…..….……… 53

2.2. Perbedaan Efektifitas Antasida, Ranitidin Dan Omeprazol Dalam Pencegahan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Pada Penderita Stroke Akut.….… 54 2.3. Perbedaan Pengaruh Antasida, Ranitidin Dan Terhadap Terjadinya Pneumonia Pada Penderita Stroke Akut……….... 56

2.4. Pengaruh Antasida, Ranitidin dan Omeprazol Terhadap Outcome NIHSS atau mRS Pada Ketiga Kelompok Perlakuan….……….... 57

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….……..… 59

1. Kesimpulan……….……….……..… 59

2. Saran………...……….……..… 60

Daftar Pustaka.………... 61

(17)

DAFTAR SINGKATAN AH2 : Anti Histamin 2

AIDS : Aquired Immuno Deficiency Syndrome

Al (OH)3 : Alumunium Hidroksida

Al : Alumunium

ALT : Alanine Amino Transferase

ASEAN : Association of South East Asia Nations

AST : Aspartat Amino Transferase

ATP : Adenosine Tri Phosphate

cAMP : cyclic Adenosine Mono Phosphat

CDC : Center for Disease Control

Cl : Chlorida

CT Scan : Computed Tomography Scan

ECL : Enterochromaffin-like

H : Hidrogen

Mg (OH)2 : Magnesium Hidroksida

Mg : Magnesium

MRI : Magnetic Resonance Imaging

mRS : Modified Rankin Scale

NGT : Naso Gastric Tube

NIHSS : National Institutes of Health Stroke Scale

O : Oksigen

OH : Hidroksida

PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

PERDOSSI : Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia

PIS : Perdarahan Intra Serebral

PPI : Proton Pump Inhibitor

PSA : Perdarahan Sub Arakhnoid

PSCBA : Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

SGOT : Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase

SGPT : Serum Glutamate Pyruvate Transaminase

TIA : Transient Ischemic Attack

TOAST : Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Anatomi Lambung dan Struktur Kelenjar Di Lambung 18

Gambar 2. Konsep Terjadinya Infeksi Pada Stroke 24

Gambar 3. Hipotesis Yang Merangkum Terapi Profilaksis

Stress Ulcer Dapat Mempengaruhi Kejadian Pneumonia

25

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Gambaran Karakteristik Demografik Subjek Penelitian 47

Tabel 2.1. Perbedaan Efektifitas Antasida, Ranitidin dan Omeprazol

Dalam Pencegahan PSCBA Pada Penderita Stroke Akut

48

Tabel 2.2. Perbedaan PSCBA Pada Penderita Stroke Iskemik dan

Hemoragik 48

Tabel 3. Perbedaan Pengaruh Antasida, Ranitidin dan Omeprazol

Terhadap Terjadinya Pneumonia Pada Penderita Stroke Akut 49

Tabel 4. Pengaruh Antasida, Ranitidin dan Omeprazol Terhadap

Outcome pada Ketiga Kelompok Perlakuan 51

Tabel 5. Perbedaan outcome NIHSS dan mRS antar kedua kelompok

(20)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Perbedaan Efektifitas Antasida, Ranitidin dan Omeprazol

Dalam Pencegahan PSCBA Pada Penderita Stroke Akut 48

Grafik 2. Pengaruh Antasida, Ranitidin dan Omeprazol Terhadap

(21)

LAMPIRAN

1. Lampiran 1: Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian... 68

2. Lampiran 2: Surat Persetujuan Ikut Dalam Penelitian... 70

3. Lampiran 3: Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaan

Penelitian Bidang Kesehatan………... 71

4. Lampiran 4: Lembar Pengumpulan Data……….. 72

5. Lampiran 5: National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS)… 74

6. Lampiran 6: Modified Rankin Scale (mRS)………..… 76

7. Lampiran 7: Data Karakteristik Sampel Penelitian…...…...… 77

(22)

ABSTRAK

Latar Belakang: Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) merupakan salah satu komplikasi stroke akut. Pemberian antasida, ranitidin atau omeprazol dapat mencegah PSCBA, namun dapat meningkatkan terjadinya pnumonia, dengan demikian akan mempengaruhi outcome penderita stroke akut.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektifitas antasida, ranitidin dan omeprazol dalam pencegahan PSCBA dan pengaruhnya terhadap terjadinya pneumonia serta outcome penderita stroke akut.

Metodologi: Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan randomized control-group pretest-post test design. Terdiri dari 3 kelompok, yang pertama diberikan antasida 400 mg, kedua diberikan ranitidin 150 mg dan yang ketiga diberikan omeprazol 20 mg, dengan 16 pasien tiap kelompoknya. Pasien diamati jika tejadi PSCBA dan atau pneumonia selama dirawat inap. Outcome diukur dengan NIHSS (< 4 = ringan; 4-15 = sedang; > 15 = berat) dan mRS (1-2 = baik; 3-6 = buruk).

Hasil: Dari 48 sampel yang diperoleh, didapati PSCBA sebanyak 3 orang (6,3%), dimana kelompok omeprazol tidak terdapat PSCBA dan pneumonia sebanyak 4 orang (8,3%), dimana kelompok antasida dan ranitidin paling sedikit masing-masing 1 orang (2,1%), namun tidak didapati perbedaan bermakna antar ketiga kelompok tersebut (p = 0,254 dan p = 0,593). Tidak didapati pengaruh dan perbedaan pengaruh yang bermakna pada pemberian ketiga obat tersebut terhadap outcome NIHSS dan mRS pada hari ke-14.

Kesimpulan: Hasil studi ini menunjukkan bahwa antasida, ranitidin dan omeprazol memberikan efektifitas yang sama terhadap pencegahan PSCBA dan pengaruh yang sama juga terhadap terjadinya pneumonia, serta tidak berpengaruh terhadap outcome penderita stroke akut.

(23)

ABSTRACT

Background: Upper gastrointestinal bleeding (UGIB) is one of acute stroke complications. Giving an antacid, ranitidine or omeprazole may prevent UGIB, but may increase the occurrence of pnumonia, thus it will affect the outcome of acute stroke patients.

Objective: This study aimed to determine the differences in the effectiveness of antacids, ranitidine and omeprazole in the prevention of UGIB and its influence on the occurrence of pneumonia and acute stroke patient outcomes.

Methodology: This study used an experimental method with randomized control-group pretest-posttest design. Consists of three groups, the first was given 400 mg antacids, the second was given ranitidine 150 mg and the third was given omeprazole 20 mg, with 16 patients per group. Patients were observed if UGIB and or pneumonia occurred during hospitalization. Outcome was measured by the NIHSS (< 4 = mild; 4-15 = moderate; > 15 = severe) and mRS (1-2 = good; 3-6 = bad).

Results: Of the 48 samples obtained, UGIB found as many as 3 patients (6,3%), where there was no UGIB in omeprazole group, and pneumonia as many as 4 patients (8,3%), which antacids and ranitidine groups effect on the outcome of acute stroke patients.

(24)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada

usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab

kematian sesudah penyakit jantung pada sebagian besar negara di dunia,

sedangkan di negara Barat yang telah maju, stroke menempati urutan

ketiga sebagai penyebab kematian sesudah penyakit jantung dan kanker.

Stroke adalah penyebab kedua kecacatan berat di seluruh dunia pada

usia di atas 60 tahun dan biaya perawatan stroke adalah sangat besar,

pada tahun 2004 diperkirakan 53,6 miliar dolar Amerika (Nasution, 2007).

Di Indonesia, data nasional stroke menunjukkan angka kematian

tertinggi, yaitu 15,4% stroke sebagai penyebab kematian (Soertidewi, dkk,

2011). Data di Indonesia juga menunjukkan kecendrungan peningkatan

kasus stroke baik dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan.

Angka kematian berdasarkan umur adalah sebesar 15,9% (umur 45 – 54

tahun), 26,8% (umur 55 – 64 tahun) dan 23,5% (umur ≥ 65 tahun).

Kejadian stroke (insiden) sebesar 51,6/100.000 penduduk, dan kecacatan

didapati 1,6% tidak berubah, serta 4,3% semakin memberat. Stroke

menyerang usia produktif dan usia lanjut, yang berpotensi menimbulkan

masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara nasional di

(25)

Penderita stroke mudah terjangkit banyak komplikasi. Penderita

stroke umumnya mempunyai komorbiditas seperti hipertensi, diabetes,

penyakit jantung atau penyakit lain yang meningkatkan risiko komplikasi

medis sistemik selama masa pemulihan. Namun demikian, beberapa

komplikasi dapat muncul sebagai akibat langsung dari kerusakan otak itu

sendiri, dari akibat disabilitas dan immobilitas yang menyertai penderita

stroke atau akibat terapi stroke yang diberikan. Hal-hal ini mempengaruhi

secara substansial outcome akhir dari penderita stroke dan sering

menghalangi pemulihan neurologis. Komplikasi jantung, pneumonia,

perdarahan gastrointestinal, tromboemboli vena, demam, nyeri, disfagia

dan depresi umumnya sering terjadi pada penderita stroke dan biasanya

membutuhkan intervensi untuk pencegahan dan pengobatannya (Kumar,

dkk, 2010).

Pada suatu studi prospektif oleh Davenport, dkk tahun 1996, didapati

ferkuensi perdarahan gastrointestinal pada penderita stroke (baik iskemik

maupun hemoragik) sebesar 3% dari 613 pasien, dimana separuhnya

berupa perdarahan yang berat (Davenport, dkk, 1996). Pada penelitian

akhir – akhir ini yang melibatkan 6.853 pasien stroke iskemik, 1,5%

menderita perdarahan gastrointestinal selama masa perawatan

(O’Donnel, dkk, 2008). Keparahan stroke, riwayat ulkus peptikum, sepsis,

gagal ginjal, fungsi hati yang abnormal merupakan prediktor independen

terjadinya perdarahan gastrointestinal pada penderita stroke (Kumar, dkk,

(26)

secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang tidak

mengalami pendarahan gastrointestinal (Alhazzani, dkk, 2012).

Infeksi saluran kemih dan terutama pneumonia merupakan

komplikasi yang serius pada penderita stroke. Komplikasi ini dilaporkan

terjadi 5 – 65% pada penderita stroke akut (Vermeij, dkk, 2009).Dimana

didapati frekuensi stroke-associated pneumonia antara 5 – 22% (Harms

dkk, 2010). Penelitian Vermeij, dkk, 2009 mendapati 15% infeksi terjadi

pada penderita stroke dalam 7 hari masa rawatan (stroke-associated

infection), dimana 7,5% menderita pneumonia dan 4,4% infeksi saluran

kemih (Vermeij, dkk, 2009). Penelitian Koennecke HC, dkk, 2011, dalam

waktu 3 tahun, mendapati dari 16.518 penderita stroke iskemik dan

hemoragik, 12,2% mengalami komplikasi berupa pneumonia (Koennecke,

dkk, 2011).Pneumonia erat kaitannya dengan risiko mortalitas yang tinggi

pada stroke fase akut, sehingga identifikasi yang segera pada pasien

dengan risiko tinggi mendapatkan pneumonia dapat menentukan

panderita stroke yang memerlukan pengawasan ketat dan pengobatan

profilaksis (Hoffman, dkk, 2012).

Suatu randomized controlled trial terdiri dari 244 pasien, yang

membandingkan antasida, ranitidin dan sukralfat pada pasien yang

memakai ventilasi mekanik, mendapati perdarahan gaster makroskopis

sebesar: antasida 4%, ranitidin 5% dan sukralfat 10% (p > 0,2).

Early-onset pneumonia dan mortalitas antara ketiga kelompok tersebut tidak

(27)

pneumonia didapati: antasida 16%, ranitidin 21% dan sukralfat 5%

(p=0,022) (Prod’hom, dkk, 1994). Pada studi lain, double-blind clinical trial,

yang membandingkan efek sukrafalfat dengan antasida pada gastric

pathogens, menyimpulkan sukralfat dan antasida keduanya memberikan

profilaksis terhadap stress ulcer yang aman dan efektif pada pasien

setelah operasi di unit perawatan intensif, namun didapati lebih banyak

patogen baru yang muncul di gaster pada pemberian antasida

dibandingkan sukralfat (p=0,04). Dan tidak dijumpai perbedaan morbiditas

atau mortalitas yang bermakna antara kedua kelompok tersebut

(Ephgrave dkk, 1998).

Ranitidin secara luas digunakan sebagai profilaksis stress ulcer pada

pasien yang dirawat di unit perawatan intensif. Studi metaanalisis yang

dilakukan oleh Cook, dkk tahun 1996 menunjukkan antagonis reseptor

histamin 2 (AH2) seperti simetidin dan ranitidin, lebih efektif dibandingkan

plasebo untuk pencegahan stress ulcer tersebut. Namun penelitiannya

tidak dapat menjelaskan peningkatan risiko pneumonia nasokomial yang

berkaitan dengan penggunaan AH2 (Cook, dkk, 1996; Messori, dkk, 2000).

Studi metanalisis oleh Messori dkk tahun 2000 mendapati beberapa

penelitian (yaitu Ruiz-Santana dkk, 1991; Apte dkk, 1992; Metz dkk, 1993;

Burgess dkk, 1995 dan Hanisch dkk, 1998) dengan hasil bahwa

perdarahan gastrointestinal lebih rendah pada kelompok ranitidin

dibandingkan plasebo (5% berbanding 7%) tetapi tidak bermakna secara

(28)

Hanisch dkk, 1998, yang membandingkan ranitidin dengan plasebo

terhadap terjadinya pneumonia nasokomial, dengan hasil bahwa

pneumonia nasokomial lebih rendah pada kelompok ranitidin daripada

plasebo (22% berbanding 23%) tetapi juga tidak bermakna secara

statistik. Namun pada metanalisisnya terhadap terjadinya pneumonia

nasokomial antara kelompok ranitidin dengan sukralfat maka didapati

secara bermakna peningkatan risiko pneumonia lebih tinggi pada

kelompok ranitidin dengan sukralfat (22% berbanding 18%) (Messori, dkk,

2000).

Proton pump inhibitor (PPI) juga secara luas digunakan untuk

profilaksis stress ulcer. Suatu metanalisis dari randomized control trial

yang membandingkan PPI dengan AH2 untuk pencegahan stress ulcer

dan kejadian pneumonia nasokomial, mendapati perdarahan

gastrointestinal pada kelompok PPI secara signifikan lebih rendah

dibandingkan kelompok AH2 namun kejadian pneumonia antara kedua

kelompok sama (Pongprasobchai, dkk, 2009). Metaanalisis lain oleh

Alhazzani dkk, 2013 mendapati pada pasien criticall ill, PPI lebih efektif

dibandingkan AH2 dalam pencegahan perdarahan saluran cerna bagian

atas, namun tidak dijumpai perbedaan di antara kedua kelompok terhadap

kejadian pneumonia nasokomial, mortalitas dan lama perawatan di unit

perawatan intensif (Alhazzani dkk, 2013).

Guideline stroke tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Kelompok Studi

(29)

mencegah timbulnya perdarahan lambung pada stroke, sitoprotektif atau

penghambat reseptor histamin 2 perlu diberikan. Tidak ada perbedaan

hasil antara pemberian penghambat reseptor histamin 2, agen sitoprotektif

ataupun inhibitor pompa proton. Antasida tidak perlu diberikan pada

profilaksis stress ulcer (Kelompok Studi Stroke PERDOSSI, 2011).

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian – penelitian terdahulu seperti yang

telah diuraikan di atas dirumuskanlah masalah sebagai berikut:

Bagaimanakah perbedaan efektifitas antasida, ranitidin dan omeprazol

dalam pencegahan perdarahan saluran cerna bagian atas dan

pengaruhnya terhadap terjadinya pneumonia serta outcome penderita

stroke akut ?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan efektifitas antasida, ranitidin dan

omeprazol dalam pencegahan perdarahan saluran cerna bagian

atas dan pengaruhnya terhadap terjadinya pneumonia serta

(30)

3.2 Tujuan Khusus

3.2.1 Untuk mengetahui perbedaan efektifitas antasida, ranitidin dan

omeprazol dalam pencegahan perdarahan saluran cerna bagian

atas dan pengaruhnya terhadap terjadinya pneumonia serta

outcome penderita stroke akut yang dirawat di rawat inap

terpadu A4 (Rindu A4) Departemen Neurologi RSUP. H. Adam

Malik Medan.

3.2.2 Untuk mengetahui perbedaan efektifitas dari antasida, ranitidin

dan omeprazol dalam pencegahan perdarahan saluran cerna

bagian atas pada penderita stroke akut yang dirawat di Rindu

A4 Departemen Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.2.3 Untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari antasida, ranitidin

dan omeprazol terhadap terjadinya pneumonia pada penderita

stroke akut yang dirawat di Rindu A4 Departemen Neurologi

RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.2.4 Untuk melihat outcome fungsional sesudah diberikan antasida,

ranitidin dan omeprazol pada hari ke-14 untuk masing - masing

kelompok pada pasien stroke akut yang dirawat di Rindu A4

Departemen Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan

3.2.5 Untuk melihat gambaran karakteristik demografik penderita

stroke akut yang dirawat di Rindu A4 Departemen Neurolologi

(31)

4. Hipotesis

Ada perbedaan efektifitas antasida, ranitidin dan omeprazol dalam

pencegahan perdarahan saluran cerna bagian atas dan

pengaruhnya terhadap terjadinya pneumonia serta outcome

penderita stroke akut.

5. Manfaat Penelitian

5.1. Manfaat Penelitian Untuk Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara

keilmuan tentang pemilihan obat yang paling efektif di antara

antasida, ranitidin dan omeprazol dalam pencegahan perdarahan

saluran cerna bagian atas dan efek yang minimal terhadap

terjadinya pneumonia, dengan demikian dapat memberikan

outcome yang lebih baik bagi penderita stroke akut.

5.2. Manfaat Penelitian Untuk Ilmu Kedokteran

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar untuk

penelitian selanjutnya tentang obat yang paling efektif dalam

pencegahan perdarahan saluran cerna bagian atas dan efek yang

minimal terhadap terjadinya pneumonia pada penderita stroke

akut, sehingga dapat meminimalkan komplikasi stroke dan

(32)

5.3. Manfaat Penelitian Untuk Masyarakat

Dengan mengetahui adanya perbedaan efektifitas antasida,

ranitidin dan omeprazol dalam pencegahan perdarahan saluran

cerna bagian atas dan pengaruhnya terhadap terjadinya

pneumonia serta outcome penderita stroke akut, maka dapat

dilakukan pencegahan komplikasi stroke yang lebih tepat terhadap

penderita stroke pada fase akut, sehingga dapat mengurangi

mortalitas, menekan biaya perawatan dan meningkatkan kualitas

(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. STROKE 1.1 Definisi

Stroke adalah suatu episode akut dari disfungsi neurologis yang

diduga disebabkan oleh iskemik atau hemoragik, yang berlangsung ≥ 24

jam atau sampai meninggal, tetapi tanpa bukti yang cukup untuk

diklasifikasikan (Sacco, dkk, 2013).

Iskemik adalah kurangnya aliran darah ke otak sehingga

mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak (Sjahrir, 2003;

Caplan, 2009). Sedangkan hemoragik adalah keluarnya darah ke jaringan

otak dan ke ektravaskular di dalam kranium (Caplan, 2009).

1.2 Epidemiologi

Insidens terjadinya stroke di Amerika Serikat lebih dari 700.000 orang

per tahun, dimana 20% darinya akan mati pada tahun pertama. Jumlah ini

akan meningkat menjadi 1 juta per tahun pada tahun 2050.

Secara internasional insidens global dari stroke tidak diketahui (Becker,

dkk, 2010).

Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada. Tetapi dari

data sporadik di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka

(34)

expentancy dan gaya hidup yang berubah (Modul Neurovaskular

PERDOSSI, 2009)

Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia dilaporkan

bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai dengan

tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan

naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100

penderita pada tahun 1986. Sedangkan di Jogyakarta pada penelitian

Lamsudin dkk (1998) dilaporkan bahwa proporsi morbiditas stroke di

rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan kecendrungan

meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita) dibandingkan

dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per 100

penderita) (Sjahrir, 2003).

Dari studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001,

ternyata pada 12 rumah sakit di Medan dirawat 1.263 kasus stroke terdiri

dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke hemoragik, dimana meninggal 201

orang (15,91%) terdiri dari 98 (11,93%) stroke iskemik dan 103 (23,30%)

stroke hemoragik (Nasution, 2007).

1.3 Faktor Risiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai

faktor-faktor yang dipertimbangkan sebagai risiko yang kuat terhadap timbulnya

stroke. Faktor risiko timbulnya stroke : (Sjahrir, 2003 ; Nasution, 2007 ;

(35)

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

a. Umur

b. Jenis kelamin

c. Ras dan suku bangsa

d. Faktor turunan

e. Berat badan lahir rendah

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Prilaku:

1. Merokok

2. Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol,

kurang buah

3. Alkoholik

4. Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, anti platelet,

amfetamin, pil kontrasepsi

5. Kurang gerak badan

b. Fisiologis

1. Penyakit hipertensi

2. Penyakit jantung

3. Diabetes mellitus

4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus

5. Gangguan ginjal

6. Kegemukan (obesitas)

(36)

8. Kelainan anatomi pembuluh darah

9. Stenosis karotis asimtomatik

1.4 Klasifikasi

Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis

stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosis yang

berbeda, walaupun patogenesisnya serupa (Misbach, dkk, 2011).

I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :

1. Stroke iskemik

a. Transient Ischemic Attack (TIA)

b. Thrombosis serebri

c. Embolia serebri

2. Stroke Hemoragik

a. Perdarahan intraserebral

b. Perdarahan subarakhnoid

II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu

1. Transient Ischemic Attack (TIA)

2. Stroke in evolution

3. Completed stroke

III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah

1. Sistem karotis

(37)

IV. Berdasarkan tipe infark (Sjahrir, 2003) :

1. Total Anterior Circulation Infarction

2. Partial Anterior Circulation Infarction

3. Posterior Circulation Infarction

4. Lacunar Infarction

V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti

TOAST (Adams, dkk, 1993 ; Sjahrir, 2003)

1. Aterosklerosis arteri besar (Embolus/ Trombosis)

2. Kardioembolisme (Risiko Tinggi/ Risiko Sedang)

3. Oklusi pembuluh darah kecil (Lakunar)

4. Stroke akibat dari penyebab lain yang menetukan

5. Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat ditentukan:

a. Dua atau lebih penyebab teridentifikasi

b. Tidak ada evaluasi

c. Evaluasi tidak lengkap

1.5 Patofisiologi

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh

emboli dari ekstrakranial atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga

disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak. Pada level seluler,

setiap proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan

suatu kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak

(38)

Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian

inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah

ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di

luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel

otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang

fungsi – fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat

iskemiknya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di

luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran

darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah

yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi

dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor

waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat

berangsur-angsur mengalami kematian (Misbach, 2007) .

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara

bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003):

Tahap 1 :

a. Penurunan aliran darah

b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion

Tahap 2 :

a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion

(39)

Tahap 3 : Inflamasi

Tahap 4 : Apoptosis

Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbnyak

setelah infark otak, yaitu 20 – 30% dari semua stroke di Jepang dan Cina.

Sedangkan di Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh

Misbach pada tahun 1997 menunjukkan stroke perdarahan 26%, terdiri

dari lobus 10%, ganglionik 9%, serebellar 1%, batang otak 2% dan

subarakhnoid 4% (Misbach dkk, 2011).

Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya

atas perdarahan intraserebral dan subarakhnoid. Sedangkan berdasarkan

penyebabnya, perdarahan intraserebral dibagi menjadi perdarahan

intraserebral primer dan sekunder. Perdarahan intraserebral primer

(hipertensif) disebabkan oleh hipertensif kronik yang menyebabkan

vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak.

Sedangkan perdarahan sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara lain

akibat anomali vaskular kongenital, koagulopati, obat anti koagulan.

Diperkirakan hampir 50% penyebab perdarahan intraserebral adalah

hipertensif kronis, 25% karena anomali kongenital dan sisanya penyebab

lain (Misbach, dkk, 2011).

Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di

dalam otak atau massa pada otak, sedangkan pada perdarahan

subarakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat di ruang subarakhnoid, di

(40)

oleh kerusakan dinding arteri (arteriosklerosis) atau karena kelainan

kongenital atau trauma (Misbach, dkk, 2011).

2. KOMPLIKASI STROKE

2.1. PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

Beberapa penderita stroke dan penyakit otak lainnya dapat

mengalami perdarahan gastrointestinal, dan bisa mengancam

nyawa jika berat. Hal ini biasanya dikenal dengan Cushing’s ulcers,

stress ulcer, hemorrhagic gastritis, stress erosions, stress gastritis,

erosive gastritis dan stress-related mucosal disease (Caplan, 2009;

Ali dkk, 2009). Davenport dkk melaporkan 18 dari 607 penderita

stroke (3%) di rumah sakit Edinburgh mengalami perdarahan

gastrointestinal dan setengahnya mengalami perdarahan yang

berat. Kebanyakan pasien tersebut mengalami hematemesis atau

melena, tapi seorang pasien menderita nyeri abdomen dan syok

(Davenport, dkk, 1996; Caplan, 2009). Pasien dengan usia tua,

stroke yang berat dan penurunan kesadaran lebih cendrung

mengalami perdarahan gastrointestinal. Pemberian kortikosteroid

pada edema otak juga meningkatkan risiko stress ulcer.

Penggunaan antagonis reseptor histamin 2 sebagai profilaksis

direkomendasikan untuk penderita stroke yang luas dengan

(41)

Mukosa lambung terdiri dari banyak kelenjar. Pada bagian

kardia dan pilorus, kelenjarnya menghasilkan mukus. Di bagian

tengah, termasuk fundus, kelenjar – kelenjar juga terdiri dari sel

parietal (oksintik) yang mensekresikan HCl dan faktor interinsik dan

sel chief (zimogen, peptik) yang mensekresikan pepsinogen

(Barret, dkk, 2010).

Gambar 1: Anatomi Lambung dan Struktur Kelenjar di Lambung. Dikutip

dari: Barrett,KE.; Barman,SM.; Boitano,S.; Brooks,H. 2010. Ganong’s

Review of Medical Physiology, 23rd Edition. McGraw-Hill. USA.

Sel parietal terdiri dari reseptor gastrin, histamin dan

asetilkolin. Saat asetilkolin atau gastrin berikatan dengan reseptor

di sel parietal, menyebabkan peningkatan kalsium sitosolik, yang

kemudian menstimulasi sekresi asam dari H+/K+ ATPase (pompa

proton) di permukaan kanalikular. Di dekat sel parietal ada sel

(42)

gastrin dan asetilkolin dan merupakan sumber pelepasan histamin.

Histamin berikatan dengan reseptornnya di sel parietal,

mengaktifasi adenil siklase, yang kemudian meningkatkan cyclic

adenosine monophosphate (cAMP). Cyclic adenosine

monophosphate mengaktifkan kinase protein yang menstimulasi

sekresi asam melalui H+/K+ ATPase (Katzung, 2005).

Patogenesis dari perdarahan saluran cerna bagian atas

pada penderita stroke masih belum jelas. Secara intuisi, hal ini

dihubungkan dengan “stress”. Erosi atau gastritis hemoragik

merupakan penemuan endoskopi yang sering pada penderita

stroke dengan perdarahan gastrointestinal. Namun demikian

penyebabnya tidaklah hanya “stress” saja, sejak penjelasan lain

tentang perdarahan tersebut muncul hampir pada semua kasus.

Dikemukan juga adanya hubungan yang kuat dengan penggunaan

obat anti inflamasi non steroid yang lama dan aspirin. Keberadaan

bakteri H. pylori. Dan faktor – faktor lain yang mempengaruhi

seperti penggunaan ventilasi mekanik dan koagulopati. Pada model

eksperimental menunjukkan stress mengaktifasi hipotalamus,

mengakibatkan stimulasi kolinergik ke lambung. Substansi seperti

asetilkolin, histamin dan hormon thyrotropin-releasing juga

meningkatkan kerentanan dari mukosa lambung (Wijdicks, dkk,

(43)

Pemasangan naso gastric tube (NGT) merupakan langkah

diagnostik awal yang penting. Perasat ini minimal untuk

mengetahui benar tidaknya terdapat perdarahan saluran cerna,

aktifnya proses perdarahan atau sudah berhentinya perdarahan,

perkiraan volume darah yang hilang. Di samping itu juga untuk

mengeluarkan asam lambung dan memungkinkan bilas lambung

serta pemberian obat. Adanya aspirat darah segar menunjukkan

sedang terjadinya perdarahan aktif. Tapi aspirat jernih tidak

menyingkirkan, terutama bila sumber perdarahan di duodenum,

bahwa perdarahan itu sudah berhenti. Dalam hal ini penilaian klinis

utuh harus menjadi dasar pertimbangan. Penilaian aspirat NGT ini

juga dapat dipakai sebagai parameter untuk memulai pemberian

nutrisi enteral cair bertahap pada kasus perdarahan saluran cerna

bagian atas. Dimana bila cairan sudah jernih atau hanya

mengandung cairan hematin minimal, makanan cair dapat dimulai

bertahap. Pemanfaatan NGT untuk proses bilas lambung harus

dipertimbangkan dengan baik. Sangat dianjurkan proses

pembilasan dilakukan secara pasif. Bila harus melakukan aspirasi

aktif pada perdarahan masif, harus dipertimbangkan jangan sampai

proses tersebut menyebabkan trauma pada mukosa lambung

(Djojoningrat, 2011).

Tatalaksana penderita stroke yang mengalami stress ulcer/

(44)

- Pasien dipuasakan

- Dilakukan penatalaksanaan airway, breathing dan circulation yang adekuat.

- Pada perdarahan yang banyak (lebih dari 30% dari volume sirkulasi), penggantian dengan transfusi darah perlu dilakukan.

Untuk mengganti kehilangan volume sirkulasi, cairan pengganti

berupa koloid atau kristaloid dapat diberikan sebelum transfusi.

- Lakukan irigasi melalui pipa nasogastrik dengan air es tiap 6 jam sampai darah berhenti.

- Pemberian penghambat pompa proton seperti omeprazol atau pantoprazol secara intravena dengan dosis 80 mg bolus,

kemudian diikuti pemberian infus 8 mg/ jam selama 72 jam

berikutnya.

- Hentikan pemakaian aspirin atau klopidogrel.

- Pemberian nutrisi makanan cair jernih diit paska hematemesis sangat membantu percepatan proses penyembuhan stress ulcer.

Pemberian nutrisi harus dengan kadar serat yang tinggi dan

dihindarkan dari makanan yang merangsang atau mengiritasi

lambung.

2.2. PNEUMONIA

Pneumonia merupakan salah satu komplikasi medis yang

(45)

yang paling sering dalam 48 jam setelah serangan stroke.

Pneumonia akan meningkatkan risiko kematian 3 kali lipat pada

penderita stroke (Kumar, dkk, 2010). Penelitian Vermeij, dkk, 2009

menunjukkan bahwa infeksi sebagai komplikasi stroke yang

terbanyak adalah pneumonia, dimana 7,5% (separuh dari total

infeksi pada penderita stroke (15%)) adalah penderita pneumonia.

Dan ditemukan juga outcome yang jelek saat keluar rumah sakit

9,5 kali, outcome jelek dalam 1 tahun 12 kali dan angka mortalitas

3,3 kali lebih tinggi dibandingkan dari penderita stroke yang tidak

pneumonia (Vermeij, dkk, 2009).

Pneumonia tersebut paling banyak disebabkan sebagai

akibat aspirasi yaitu terinhalasinya kolonisasi bakteri yang ada di

faring ataupun gingiva (Kumar, dkk, 2010). Pneumonia yang terjadi

juga dapat merupakan hospital-aquired/ nasocomial pneumonia

yaitu inflamasi dari parenkim paru yang disebabkan agen infeksius

dan tidak muncul pada saat masuk rumah sakit, dimana keadaan

tersebut didapat lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit

(Rotstein, dkk, 2008).

Bakteri penyebab tersering dari pneumonia aspirasi pada

orang dewasa meliputi: (Marrie, dkk, 2005)

- Enterobacteriaceae - S. Aureus

(46)

- H. influenzae.

Sedangkan bakteri penyebab tersering pada

hospital-aquired/ nasocomial pneumonia di Amerika: (Marrie, dkk, 2005)

- P. aeruginosa (21%) - Acinetobacter spp. (6%)

- Patogen enterik seperti Enterobacter spp. (9%) - K. pneumoniae (8%)

- S. aureus mencapai 2% sampai 64%

Aspirasi sebagai penyebab pneumonia pada penderita

stroke tidak dapat dibantah, namun demikian, aspirasi saja tidak

cukup untuk menjelaskan tingginya insiden pneumonia pada stroke

akut, sekitar 50% dari orang sehat juga teraspirasi sekret faringeal

tiap malam seperti yang terjadi pada penderita stroke, tapi tidak

menderita pneumonia. Bukti klinis dan eksperimen menunjukkan

bahwa pada cedera iskemik akut susunan saraf pusat berkaitan

dengan imunodefisiensi sementara dan gangguan antibakteri

pertahanan tubuh, ini merupakan faktor penting bagi peningkatan

kerentanan terhadap infeksi setelah cedera susunan saraf pusat.

Pada model eksperimental stroke, iskemik serebral menginduksi

penekanan yang cepat pada respon imunitas seluler di organ

limfatik paru – paru maupun di darah. Perubahan pada sistem

imunitas ini mendahului pekembangan infeksi bakteri di paru – paru

(47)

Gambar 2: Konsep Terjadinya Infeksi Pada Stroke. Dikutip dari:

Harm H dan Halle E. European Neurological Review, 2010;5(1):39–43.

Suatu hipotesis tentang terjadinya pneumonia pada

pemberian obat pencegah stress ulcer menjelaskan bahwa obat

pencegah stress ulcer (seperti antasida, sukralfat, dll)

mempengaruihi pH dalam lambung, dan perubahan pH itu akan

mempengaruhi keberadaan mikroorganisme baru di lambung.

Selanjutnya terjadi kolonisasi mikroorganisme di lambung ke

sputum dan akhirnya terjadi pneumonia. (Ephgrave dkk, 1998)

Sequele Klinis

 Immobilisasi

 Penurunan kesadaran

 Disfagia

 Kateterisasi

Imunodepresi

 Limfopenia

 Disfungsi limfosit

 Disfungsi monosit STROKE AKUT

(48)

Gambar 3: Hipotesis Yang Merangkum Terapi Profilaksis Stress Ulcer

Dapat Mempengaruhi Kejadian Pneumonia. Dikutip dari: Ephgrave KS,

Kleiman-Wexler R, Pfaller M, Booth Bm, Reed D, Werkmeister L, et al.

1998. Effects of Sucralfate vs Antacids on Gastric Pathogens. Arch

Surg;133:251-257.

Diagnosis umumnya ditegakkan secara klinis dengan

konfirmasi oleh hasil kultur cairan pleura, punksi paru atau kultur

darah. Diagnosis dengan demikian dapat dibuat menurut kriteria

diagnosis CDC (Center for Disease Control), yaitu: (Rotstein, dkk,

2008)

Pneumonia harus memenuhi satu dari kriteria berikut:

1. Ronki atau dullness pada perkusi toraks. Ditambah satu dari :

a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya.

b. Isolasi kuman dari kultur darah.

c. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirat

transtrakeal, biopsi atau hapusan bronkus.

2. Gambaran radiologik berupa infiltrat baru atau yang progresif,

konsolidasi, kavitasi, atau efusi pleura. Dan satu dari:

(49)

b. Isolasi kuman dari kultur darah.

c. Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirat

transtrakeal, biopsi atau hapusan bronkus.

d. Isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret saluran

nafas.

e. Diagnostik titer antibodi tunggal (IgM) atau peningkatan 4 kali

titer IgG dari kuman.

Diagnosis lain dapat dibuat dengan kriteria The Center for

Disease Control (CDC-Atlanta) yang telah diadaptasi oleh PDPI

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), yaitu: (Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia, 2003)

Pneumonia ditegakkan atas dasar:

1. Gambaran foto toraks terdapat infiltrat baru atau progresif.

2. Ditambah dua di antara kriteria berikut:

a. Batuk – batuk bertambah.

b. Perubahan karakteristik dahak/ sekret purulen

c. Suhu tubuh ≥ 38 0C (diukur di aksila).

d. Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda – tanda konsolidasi, suara

nafas bronkial dan ronki.

e. Leukositosis (≥10.000) atau leukopenia (<4500)

Pencegahan dan deteksi pneumonia pada penderita stroke

(50)

- Pneumonia akibat disfagia atau gangguan refleks menelan, erat hubungannya dengan aspirasi pneumonia, oleh karena itu maka

tes refleks batuk perlu dilakukan untuk mengidentifikasi risiko

pneumonia.

- Pemberian pipa nasogastrik segera (dalam 48 jam) dianjurkan pada pasien gangguan menelan.

- Pencegahan aspirasi dapat dilakukan dengan:

 Elevasi kepala 30 – 450

 Menghindari sedasi berlebihan

 Mempertahankan tekanan cuff endotrakeal yang tepat pada

pasien dengan intubasi dan trakeostomi.

 Memonitor volume residual lambung selama pemberian

makanan secara enteral.

 Menghindari pemakaian pipa nasogastrik yang lama.

 Seleksi diit yang tepat pada pasien dengan disfagia.

 Mengaspirasi sekret subglotis secara teratur

 Rehabilitasi fungsi menelan.

Penatalaksanaan pneumonia pada penderita stroke meliputi:

(Guideline Stroke, 2011)

- Pemberian antibiotik sesuai indikasi (kalau perlu tes resistensi kuman), antara lain:

 Tanpa komorbiditas: macrolide (azitromisin, klaritromisin atau

(51)

 Disertai penyakit lain seperti diabetes melitus, alkoholisme,

keganasan, penyakit jantung serta penyakit imunosupresi:

fluorokuinolon (moksifloksasin, gemifloksasin atau

levofloksasin) atau beta-laktam dengan macrolide. Alternatif

lainnya adalah ceftriakson dan doksisiklin sebagai pengganti

macrolide.

- Fisioterapi (chest therapy) dengan spirometri, inhalasi ritmik dan menepuk-nepuk dada.

3. ANTASIDA, RANITIDIN DAN OMEPRAZOL

Ulserasi dan erosi pada permukaan traktus gastrointestinal

merupakan hal yang sering terjadi. Beberapa obat digunakan untuk

penyakit tersebut, meliputi antasida, ranitidin, omperazol, dan

lain-lainnya (Trevor dkk, 2005).

3.1. ANTASIDA

3.1.1. Farmakodinamik

Antasida bekerja dengan menetralkan asam lambung,

tidak mengurangi volume asam lambung yang

disekresikan, tapi peninggian pH akan menurunkan

aktifitas pepsin. Antasida yang mengandung alumunium

hidroksida juga mempunyai efek proteksi terhadap

mukosa lambung, diduga menghambat pepsin secara

(52)

Al(OH)3 + 3HCl AlCl3 + 3H2O

Antasida yang paling sering digunakan ialah

alumunium hidroksida (Al(OH)3) dan magnesium

hidroksida (Mg(OH)2). Obat ini tersedia dalam bentuk

kombinasi keduanya. Senyawa alumunium hidroksida

(basa lemah) sukar untuk meninggikan pH di atas 4,

sedangkan basa yang lebih kuat seperti magnesium

hidroksida dapat meninggikan pH sampai 9 (Arif dkk,

2007).

3.1.2. Farmakokinetik

Antasida diabsorpsi pada keadaan perut kosong 20 –

60 menit, sedangkan 1 jam setelah makan sampai 3 jam.

Ekskresi alumunium hidroksida yang diabsorpsi melalui

urin (0,1 – 0,5 mg dari aluminium yang ada dalam

antasida diabsorpsi), yang tidak diabsorpsi diekskresikan

melalui feses. Magnesium hidroksida yang diabsorpsi

(30%) akan dibuang melalui urin, sisanya melalui feses

(Wehbi dkk, 2013).

3.1.3. Dosis

Antasida tersedia dalam bentuk tablet 400 mg atau

suspensi 400 mg/ 5 ml (Al(OH)3 200 mg dan Mg(OH)2

200 mg). Dosis yang diberikan 1- 2 tablet 3 – 4 kali

(53)

3.2. RANITIDIN

3.2.1. Farmakodinamik

Ranitidin menghambat reseptor histamin 2 (H2)

secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2

akan merangsang sekresi asam lambung, sehingga

pemberian ranitidin akan sekresi asam lambung dihambat.

Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan

perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun.

Ranitidin 300 mg per hari menyebabkan penurunan 70%

sekresi asam lambung (Sjamsudin dkk, 2007).

3.2.2. Farmakokinetik

Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral

sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati.

Masa paruhnya kira – kira 1,7 – 3 jam pada orang dewasa

dan memanjang pada pasien gagal ginjal. Pada pasien

penyakit hati masa paruh juga memanjang meskipun tidak

sebesar gagal pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma

dicapai dalam 1 – 3 jam setelah penggunaan ranitidin 150

mg secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya

15%. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di

hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral.

Ranitidin dan metabolitnya diekskresikan terutama melalui

(54)

yang diberikan intravena dan 30% dari yang diberikan

secara oral diekskresikan dalam urin dalam bentuk asal

(Sjamsudin dkk, 2007).

3.2.3. Dosis

Ranitidin tersedia dalam dalam bentuk tablet 150 mg

dan larutan suntik 25 mg/ml, dengan dosis 50 mg

intramuskular atau intravena tiap 8 – 12 jam. Dosis yang

dianjurkan dua kali 150 mg per hari (Sjamsudin dkk, 2007)

3.3. OMEPRAZOL

3.3.1. Farmakodinamik

Omeprazol merupakan basa lemah yang terkumpul

dan mengalami aktifasi di kanalikuli sekretoar. Bentuk

aktifnya berikatan dengan gugus sulfhidril enzim H+/K+

ATPase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan

berada di membran apikal sel parietal. Ikatan ini

menyebabkan terjadinya penghambatan enzim tersebut.

Produksi asam lambung praktis terhenti (> 90%) setelah

penghambatan pompa proton tersebut (Arif dkk, 2007).

3.3.2. Farmakokinetik

Omeprazol sebaiknya diberikan sebaiknya sebagai tablet

salut enterik. Sedian ini tidak mengalami aktifasi di

(55)

yang pecah di lambung mengalami aktifasi lalu terikat

pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan makanan.

Omeprazol mengalami metabolisme lengkap di hati

dengan waktu paruh 1 – 2 jam dan durasi kerja lebih

kurang 24 jam. Tidak ditemukan omeprazol dalam bentuk

asal di urin, 20% dari obat ini ditemukan dalam tinja (Arif

dkk, 2007; Trevor dkk, 2005).

3.3.3. Dosis

Dosis omeprazol 20 mg sehari, kecuali untuk pasien

Zollinger-Ellison yang memerlukan 60 – 70 mg/ hari (Arif

(56)

Gambar 4: Mekanisme Kerja Antasida, Ranitidin dan Omeprazol. Dikutip

dari: Lullmann H, Mohr K, Ziegler A, Bieger D. 2000. Color Atlas of

(57)

4. KERANGKA TEORI

STROKE AKUT

ANTASIDA RANITIDIN OMEPRAZOL

PSCBA Pneumonia PSCBA Pneumonia PSCBA Pneumonia

 Davenport dkk, 1996: - late-onset pneumonia:

antasida 16%, ranitidin 21%

(58)

5. KERANGKA KONSEP

STROKE AKUT

ANTASIDA RANITIDIN OMEPRAZOL

PSCBA Pneumonia PSCBA Pneumonia PSCBA Pneumonia

(59)

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK USU/ RSUP. H.

Adam Malik Medan dari tanggal 24 Juli 2013 s.d. 30 April 2014.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit. Penentuan

subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling konsekutif.

2.1. Populasi Sasaran

Semua penderita stroke akut yang ditegakkan dengan

pemeriksaan klinis dan CT-Scan kepala.

2.2. Populasi Terjangkau

Semua penderita stroke akut yang sedang dirawat di ruang Rindu

A4 Departemen Neurologi FK USU / RSUP. H. Adam Malik

Medan.

2.3. Besar Sampel

Besar sampel dihitung menurut rumus: (Dahlan, 2010; Madiyono dkk, 2011)

Zα √2PQ + Zβ √P1Q1 + P2Q2

2

n =

(60)

dimana :

Zα = deviat baku alfa, untuk α = 0,1 Zα= 0,82

Zβ = deviat baku beta, untuk  = 0,2 Zβ = 0,84

P2 = proporsi pneumonia pada penderita stroke akut

(diambil dari kepustakaan) = 33%

P1 – P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna (30%)

P = (P1 – P2)/ 2 ; Q = 1 – P ; Q1 = 1 – P1 ; Q2 = 1 – P2

Maka, sampel minimal untuk tiap kelompok = 16 orang.

2.4. Kriteria Inklusi

1. Semua pasien stroke fase akut yang dirawat di ruang Rindu

A4 Departemen Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan yang

ditegakkan dengan anamnese, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan neurologi dan CT-Scan kepala

2. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini

2.5. Kriteria Eksklusi

1. Pasien menderita perdarahan saluran cerna bagian atas dan

atau pneumonia pada saat masuk rumah sakit.

2. Pasien dengan penyakit/ gangguan hati dan ginjal serta

kelainan paru.

3. Pasien dengan riwayat alergi terhadap antasida, ranitidin

(61)

4. Pasien dengan skala koma Glasgow ≤ 8.

5. Penderita stroke infark lakunar

3. Batasan Operasional

3.1 Stroke adalah suatu episode akut dari disfungsi neurologis yang diduga disebabkan oleh iskemik atau hemoragik, yang

berlangsung ≥ 24 jam atau sampai meninggal, tetapi tanpa bukti

yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).

3.2 Fase akut stroke adalah jangka waktu antara awal mula serangan stroke yang berlangsung sampai satu minggu (Misbach,1999).

3.3 Stroke infark lakunar adalah stroke yang disebabkan oleh infark pada arteri kecil dalam otak (small deep infarct), yang lebih sensitif

dilihat dengan MRI daripada CT Scan otak. (Misbach J, dkk, 2011)

3.4 Skala koma Glasgow adalah skala untuk mengevaluasi pasien dengan gangguan kesadaran, yang terdiri dari respon membuka

mata, verbal dan motorik. Pada orang yang sadar skala bernilai 15

sedangkan koma yang dalam bernilai 3. (Campbell, 2005)

3.5 Perdarahan saluran cerna bagian atas ialah perdarahan saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz yang ditandai dengan

hematemesis dan atau melena/ hematokezia atau adanya darah

atau cairan seperti kopi pada selang nasogastrik. (Adi, 2009).

(62)

The Center for Disease Control (CDC-Atlanta) yang telah

diadaptasi oleh PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia).

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

3.7 Antasida adalah obat yang menetralkan asam lambung yang terdiri dari alumunium hidroksida (Al(OH)3) 200 mg dan

magnesium hidroksida (Mg(OH)2)200 mg (Trevor dkk, 2005).

3.8 Ranitidin ialah obat antagonis yang selektif dan reversibel terhadap reseptor histamin 2 (AH2) sehingga mengurangi sekresi

asam lambung, dengan struktur: (Katzung, 2005).

3.9 Omeprazol ialah obat yang menghambat pompa proton di sel parietal gaster, dengan strukur: (Katzung, 2005).

3.10 National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) adalah suatu skala penilaian yang dilakukan pada pasien stroke untuk

melihat kemajuan hasil perawatan fase akut. Penilaian ini

dilakukan dua kali, yaitu saat masuk (hari pertama rawatan) dan

(63)

tingkat kesadaran, respon terhadap pertanyaan, respon terhadap

perintah, gaze palsy, pemeriksaan lapangan pandang, facial

palsy, motorik, ataksia, sensori, bahasa, disartria dan inatensi.

Nilai NIHSS ini antara 0 – 42, dimana skor < 4 menunjukkan

stroke ringan, 4-15 stroke sedang dan > 15 menunjukkan stroke

berat (Soertidewi, 2011).

3.11 Modified Rankin Scale (mRS) merupakan skala yang menilai outcome secara global dengan rentang nilai dari 0 - 6. Nilai mRS

1-2 dikategorikan sebagai outcome baik dan nilai mRS 3-6

dikategorikan sebagai outcome buruk (Soertidewi, 2011).

3.12 Gangguan hati ditandai dengan peningkatan kadar alanine amino transferase (ALT) / serum glutatamate pyruvate

transaminase (SGPT) dan atau aspartate amino transferase

(AST) / serum glutatamic-oxaloacetic transaminase (SGOT),

alkaline phosphatase (ALP) > 2 kali batas atas nilai normalnya

(Akbar, 2009).

3.13 Gangguan ginjal ditandai dengan kenaikan kreatinin serum ≥ 1,5 kali nilai nilai dasar atau penurunan laju filtrasi glomerulus ≥

Gambar

Gambar 1: Anatomi Lambung dan Struktur Kelenjar di Lambung. Dikutip dari: Barrett,KE.; Barman,SM.; Boitano,S.; Brooks,H
Gambar 2: Konsep Terjadinya Infeksi Pada Stroke. Dikutip dari:          Harm H dan Halle E
Gambar 3: Hipotesis Yang Merangkum Terapi Profilaksis Stress Ulcer1998. Effects of Sucralfate vs Antacids on Gastric Pathogens
Gambar 4: Mekanisme Kerja Antasida, Ranitidin dan Omeprazol. Dikutip dari: Lullmann H, Mohr K, Ziegler A, Bieger D
+6

Referensi

Dokumen terkait