ABSTRAK
ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN BARANG BUKTI TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN
( STUDI PUTUSAN NO. 215/Pid.B/2013/PN.KLD)
Oleh
ELLYZABET BERLIANA
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka sangat diperlukan kehadiran benda-benda yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, benda-benda tersebut disebut sebagai “Barang Bukti”. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana dan keabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus perkara No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris, sedangkan sumber data yang digunakan bersumber pada data primer dan data sekunder. Responden sebanyak 4 orang, yakni : 1 orang Hakim Pengadilan Negeri Kalianda, 1 orang Jaksa Kejaksaan Negeri Kalianda, 1 orang Penyidik Kepolisian Sektor Tegineneng, 1 orang Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.Keseluruhan Data yang telah diperoleh, baik dari kepustakaan maupun penelitian lapangan kemudian diprosesdan dianalisis secara kualitatif.
Ellyzabet Berliana
dikeluarkan oleh Korlantas Polri dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku. Berdasarkan penilaian hakim mengenai keabsahan barang bukti, hakim cenderung menilai sah tidaknya barang bukti melihat dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa yang saling memiliki keterkaitan.Saran dalam penelitian ini : (1) kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana, sebaiknya lebih diperjelas melalui peraturan yang mengaturnya, sehingga dalam pelaksanaannya untuk upaya pembuktian, tidak ada lagi kesenjangan. (2) keabsahan barang bukti berdasarkan penilaian hakim, hendaknya hakim bisa lebih cermat dalam menilai keabsahan barang buktibukan hanya meyakinkan keyakinannya saja, tetapi juga harus memikirkan kerugian pihak korban, dan memikirkan keadilan bagi terdakwa dalam memutus perkara.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ellyzabet Berliana, dilahirkan di Kota
Metro, tanggal 05 November 1993, sebagai anak kedua dari
dua bersaudara, anak dari Bapak Catur Wicaksono dan Ibu
Inawati. Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Kartika
Candrakirana Metro tahun 1999.
Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 08 Metro tahun 2005, melanjutkan ke
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 03 Metro 2008, dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) di SMAN 04 Metro tahun 2011. Tahun 2011, penulis
terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur
SMPTN.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi anggota PSBH (Pusat Studi
Bantuan Hukum) di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 2014,
penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Wilayah Lampung Selatan,
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur oleh karena berkat dan anugerah Tuhan
Yesus Kristus, karya ini ku persembahkan untuk :
Papa dan mama, Catur Wicaksono dan Inawati yang dengan tulus telah
membesarkanku hingga sampai saat ini, aku ucapkan terima kasih untuk
semua yang telah di berikan pada ku, selalu mendukungku dan
mendoakanku.
Untuk Kakakku Wahyu Nugroho, terima kasih untuk semuanya untuk
dukungan, doa dan traktiran setiap hari minggunya.
Untuk Asido Dionisius Situmorang, terima kasih untuk dukungan dan
doa-doamu untukku.
Tidak ada yang sia-sia, kesia-siaan hanyalah untuk orang yang putus asa. Hidup itu untuk belajar dan menghasilkan
SANWACANA
Puji syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas
campurtangan-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi dengan judul :“Analisis Yuridis Penggunaan Barang Bukti Terhadap
Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Putusan Nomor 215/ Pid.B/ 2013/PN.KLD).” Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam penulisan skripsi ini jauh
dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan Penulis. Pada kesempatan ini,
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.Hum., Ketua Bagian Hukum Pidana
3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., Sekretaris Jurusan Hukum Pidana dan selaku
Dosen Pembahas I yang senantiasa memberikan waktu, masukan dan saran
selama penulisan skripsi ini.
4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I yang telah banyak
memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran yang sungguh luar biasa
luar biasa serta kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan
skripsi ini.
6. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., Dosen Pembahas I yang telah memberikan
waktu, masukan, dan saran selama penulisan skripsi ini.
7. Bapak Budi Rizki, S.H., M.H., Dosen Pembahas II yang telah memberikan
waktu, masukan, dan saran selama penulisan skripsi ini.
8. Ibu Sri Sulastuti, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah memberikan
nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan Penulis di Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
9. Seluruh dosen, staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung,
terima kasih atas bantuannya selama ini.
10. Ibu Siti Yuristia Akuan, S.H.,M.H., Hakim Pengadilan Negeri Kalianda,Ibu
Fransisca, S.H, Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Kalianda, Bapak AIPTU.
Bambang Heryanto Kanit Reskrim Polsek Tegineneng dan Bapak Shafruddin,
S.H.,M.H., Dosen bagian Hukum Pidana yang menjadi narasumber penelitian
ini.
11. Terkhusus dan teristimewa untuk kedua orang tuaku, Ayahanda Catur
Wicaksono dan Ibunda Inawati yang senantiasa mendoakanku, memberiku
dukungan semangat dan motivasi, nasehat serta pengarahan dalam
keberhasilanku dalam menyelesaikan studi maupun kedepannya.
12. Untuk Kakakku Wahyu Nugroho, terima kasih untuk dukungan dan
13. Spesial untuk masa depanku yang terkasih Asido Dionisius Situmorang
terima kasih untuk perhatianmu, kasih sayangmu, pengorbananmu, dukungan
serta doa-doamu.
14. Sahabat seperjuangan di kampus Desy Dwi Katrin, Dian Tri Puspa, Dopdon,
Selvi, Gusti, Ivan, Ninis, Yola, Elsha Venca, Aisyah, Tria, Natalia Khaterine,
Lia Aprilia, Sefti, Andre, Rizky Oktaviani, Dian Anggraeni, Maharani yang
sering berbagi info dan sharing dikampus.
15. Sahabat terbaikku di Fakultas Hukum Universitas Lampung : Dwi Nur Aulia,
Desy, Dian gendut, Dian Anggraeni, Elsha Venca, Eva, terima kasih untuk
kebersamaannya selama kuliah.
16. Untuk teman-teman Kosan Asrama Sultan, Nikmatul Amalia, Fitri Bubun,
Fitri Mop, Elly kurnia, Lia Dn, Erlina, Hilda, Tika, Ami, terimakasih untuk
keseruan dan kehebohannya.
17. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat dalam
penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga semua diberkati Tuhan. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat bagi kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan
kesejahteraan bangsa ini. Aamiin.
Bandarlampung, Penulis
DAFTAR ISI
Halaman I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup...7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual...9
E. Sistematika Penulisan...13
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian...15
B. Pengertian dan Asas-asas yang Berlaku dalam Pembuktian KUHAP...21
C. Tinjauan Umum Tentang Barang Bukti...23
D. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti...25
E. Pengertian Tindak Pidana...29
F. Pengertian Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan...31
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 34
B. Sumber dan Jenis Data... 34
C. Penentuan Responden... 36
D. Proses Pengumpulan dan Pengolahan Data... 37
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana...39
1. Kualifikasi Barang Bukti...39
2. Proses Suatau Benda Menjadi Barang Bukti di Persidangan...41
3. Kualifikasi Alat Bukti...47
4. Perbedaan Antara Barang Bukti dan Alat Bukti...50
B. Keabsahan Barang Bukti oleh Hakim dalam Memutus Perkara Nomor 215/Pid.B/2013/PN.KLD...56
1. Kasus Posisi...56
2. Kekuatan Barang Bukti Pelat Nomor Polisi Kendaraan Bermotor dalam Pembuktian Perkara Pidana...58
3. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Pidana Putuan Nomor 215/Pid.B/2013/PN.KLD...63
V. PENUTUP
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, dimana hak
asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa
dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti
yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.1
Berkaitan dengan pembuktian Hukum Acara Pidana mengenal asas-asas yang
menjadi dasar pemeriksaan, yaitu asas praduga tak bersalah dan asas kebenaran
materiil. Hal ini menjadi dasar pemeriksaan karena untuk melindungi hak asasi
manusia yang dimiliki setiap orang.2
Setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah
sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan itu, asas ini
disebut asas praduga tak bersalah. Asas kebenaran materiil adalah suatu asas yang
menghendaki bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan pada
penemuan kebenaran materiil (materiale warheid) yakni kebenaran yang
sesungguhnya sesuai kenyataan.3 Seperti halnya pembuktian ada untuk
mendapatkan kebenaran yang sebenar-benarnya dalam peradilan.
1
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 249
2
Tri Andrisman, 2010, Hukum Acara Pidana, Bandarlampung, Penerbit Universitas Lampung, hlm. 14
2
Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana adalah suatu upaya mendapatkan
keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti, guna memperoleh
suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta
dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.4 Untuk kepentingan
pembuktian tersebut maka sangat diperlukan kehadiran benda-benda yang
berkaitan dengan suatu tindak pidana, lazimnya benda-benda tersebut disebut
sebagai “Barang Bukti”.
Istilah barang bukti di dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana) tidak ditafsirkan secara eksplisit da lam Pasal 1, tetapi istilah barang bukti
terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat (2) dan Pasal
181.
Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan, dan
atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau
menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.5
Barang bukti juga dikenal dengan istilah benda sitaan karena barang bukti
diperoleh melalui proses penyitaan oleh penyidik, yang berfungsi untuk
kepentingan pembuktian dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan.6
Pasal 42 ayat (1) menjelaskan bahwa “Penyidik berwenang memerintahkan
kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda
tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang
menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.”
Barang-barang yang bisa dilakukan penyitaan untuk kepentingan pemeriksaan
atau pembuktian, menurut Pasal 39 ayat (1) KUHAP adalah :
a. Benda atau tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana;
b. Benda-benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
c. Benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana;
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.
fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:
1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat (1) KUHAP);
2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang
ditangani;
3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang
bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan Hakim atas kesalahan yang
didakwakan Jaksa Penuntut Umum. 7
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perbuatan, dimana
dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian
guna menimbulkan keyakinan Hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana
yang telah dilakukan oleh terdakwa.8
7
Flora Dianti, Perbedaan Barang Bukti dengan Alat Bukti, http://www.hukumonline.com/,diakses pada [03/09/2014]
8
4
Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa,
kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
tersebut, Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Alat-alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut :
(1) Alat bukti yang sah adalah :
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Apabila dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 181 KUHAP tentang
pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara
material barang bukti seringkali sangat berguna bagi Hakim untuk menyandarkan
keyakinannya.9 Beberapa contoh kasus dibawah ini akan menggambarkan
pentingnya peranan barang bukti dalam persidangan.
Beberapa waktu lalu kasus pencurian sepasang sendal jepit oleh seorang anak
marak diberitakan dimedia, karena terdapat beberapa kejanggalan dalam
pemeriksaan di persidangan. Kasus pencurian sendal jepit berwarna putih dengan
merek Eiger milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap yang dilakukan oleh Anjar
9Ibid,
Andreas Lagaronda, seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Palu, Sulawesi
Tengah.10 Kejanggalan dalam pemeriksaan di persidangan tersebut yang menjadi
masalah adalah barang bukti yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum yaitu
sepasang sandal jepit.
Barang bukti sepasang sandal jepit tersebut adalah barang bukti yang keliru,
dimana ketika Hakim menyuruh memasangkan sendal tersebut di kaki saksi
korban ternyata sendal tersebut ukurannya lebih kecil dari kaki saksi korban.11
Hakim tetap memutuskan perkara tersebut dengan Nomor Putusan
31/Pid.Anak/2011/PN.PL.
Isi putusan Hakim bahwa terdakwa Anjar Andreas Lagaronda tetap bersalah
secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya untuk dikembalikan kepada orang tuanya, karena menurut pengakuan
terdakwa, terdakwa benar mengaku bahwa dia yang mencuri sendal jepit tersebut.
Akan tetapi pada putusannya, Hakim menyuratkan ketidakyakinan perihal milik
siapa sandal jepit tersebut yang dihadirkan di persidangan, yang dijadikan barang
hasil tindak pidana sesuai dengan yang terdapat didalam surat dakwaan.12
Kasus di atas menggambarkan sikap penyidik yang tidak bertanggungjawab dalam
mencari barang bukti, hal ini tidak sepatutnya dilakukan. Kasus berikutnya masih
mengenai barang bukti, yaitu kasus Pencurian Sepeda Motor dengan Nomor
Putusan 307/Pid.B/2013/PN.Kpj. Terdakwa Poniran terbukti bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Terdakwa Poniran
10“Kejamnya Keadilan”,
http://nasional.kompas.com, diakses pada [06/09/2014]
6
mencuri satu unit sepeda motor Honda Gl. Pro warna hitam No. Polisi E6407LA
tahun 1996 milik Harianto. Pada kasus ini diketahui yang menjadi barang bukti
dalam persidangan adalah satu unit sepeda motor Jenis Honda Gl. Pro warna
hitam dengan No. Polisi E 6407 LA tahun 1996.13
Terdakwa Poniran terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana pencurian dalam keadaan memberatkan (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP)
dan dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun 3 bulan. Dalam kasus tersebut, barang
bukti yang dihadirkan dalam persidangan sangat kuat sehingga Hakim
memperoleh keyakinan dalam memutus perkara tersebut.
Beberapa kasus diatas menjadi contoh bagaimana barang bukti yang sah dan yang
tidak sah, atau dibuat - buat. Pada kasus dengan Nomor Putusan 215 /Pid.B
/2013/PN.KLD, penulis ingin melakukan penelitian terhadap putusan tersebut,
dimana diketahui bahwa dalam kasus tersebut terdakwa bernama Rifai dan
rekannya Herdian (Daftar Pencarian Orang) melakukan tindak pidana pencurian
dengan kekerasan di wilayah Tegineneng, Lampung Selatan.
Terdakwa Rifai beserta rekannya berhasil merampas satu unit sepeda motor jenis
Honda Beat dengan Nomor Polisi BE 7642 FQ tahun 2011 berserta Surat Tanda
Nomor Kendaraan (STNK), 2 buah Handphone dan sejumlah uang milik korban.
Terdakwa didakwa dengan Pasal 365 ayat (1) dan (2) ke-1, 2 KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana). Kejanggalan dalam kasus ini yaitu pada barang
bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum.
13
Barang bukti tersebut adalah dua buah pelat Nomor Polisi BE 7642 FQ dan dua
buah baju, satu baju bermotif kotak-kotak warna hitam dan satu kaos berwarna
coklat. Barang bukti ini dirasa belum kuat untuk membuktikan perkara tersebut.
Seharusnya yang menjadi barang bukti adalah satu unit sepeda motor jenis Honda
Beat dengan Nomor Polisi BE 7642 FQ tahun 2011. Akan tetapi dalam kasus ini
hanya pelat Nomor Polisinya saja.
Penilaian Hakim terhadap keabsahan barang bukti dinilai kurang memenuhi
unsur-unsur pembuktian dalam menyamakan pelat Nomor Polisi dengan Surat
Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan keterangan saksi. Hal ini yang ingin diteliti
oleh penulis, dengan judul “ Analisis Yuridis Penggunaan Barang Bukti Terhadap
Pembuktian Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Putusan No.
215/Pid.B/2013/PN.KLD).”
B. Permasalahan Ruang Lingkup 1. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana ?
2. Bagaimana keabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus perkara No.
215/Pid.B/2013/PN.KLD ?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian dalam Hukum Pidana formil yang
membahas mengenai penggunaan barang bukti terhadap pembuktian tindak
8
215/Pid.B/2013/PN.KLD). Wilayah penelitian yaitu bertempat di wilayah hukum
Pengadilan Negeri Kalianda meliputi Pengadilan Negeri Kalianda, Kejaksaan
Negeri Kalianda dan POLSEK Tegineneng. Penelitian dilaksanakan pada Tahun
2014.
C. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka
tujuan dalam penelitian ini yaitu :
a. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan barang bukti dalam proses
peradilan pidana.
b. Untuk mengetahui keabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus
Putusan No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD
2. Kegunaan Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu
pengetahuan hukum khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka
memberikan penjelasan mengenai Penggunaan Barang Bukti Terhadap
Pembuktian Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan.
2. Kegunaan Praktis
Kegunaan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
Pidana khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan masyarakat
umum mengenai Penggunaan Barang Bukti Terhadap Pembuktian Tindak Pidana
Pencurian Dengan Kekerasan.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.14
Adapun teori yang digunakan penulis dalam penelitian ini, yaitu mencakup teori
pembuktian.
Pembuktian merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana yang mengatur
macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem dan tata cara mengajukan bukti
tersebut serta kewenangan Hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu
pembuktian.15
Menurut Van Bummelen, berkaitan dengan hal membuktikan adalah memberikan
kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang :
a) Apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi;
b) Apa sebabnya demikian halnya. 16
14
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm.125
15
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.Cit, hlm. 10
16 Ibid,
10
Senada dengan hal tersebut, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan
membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas
suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa
tersebut.17
Pembuktian merupakan kekuatan-kekuatan yang berisi penggarisan dan pedoman
tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh
dipergunakan oleh Hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.18
Apabila dilihat dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 181 KUHAP tentang
pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara
material barang bukti seringkali sangat berguna bagi Hakim untuk menyandarkan
keyakinannya.
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang untuk mengadili.
Hakim menjamin tegaknya kebenaran materiil, keadilan dan kepastian hukum
bagi seseorang maka dasar yang digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan
putusan harus mengacu pada Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana yaitu Pasal 183 yang berbunyi :
17
Ibid,
18
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
2. Konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau
menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang
berkaitan dengan istilah.19 Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok
permasalahan, maka penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan
acuan sebagai pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul yaitu
Analisis Yuridis Penggunaan Barang Bukti Terhadap Pembuktian Tindak Pidana
Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Putusan No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD).
Adapun pengertian istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah :
a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.20
b. Barang bukti adalah barang mengenai mana delik dilakukan (objek delik) dan
barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan
delik misalnya pisau yang dipakai menikam orang. Termasuk juga barang
bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (Korupsi)
19
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm. 32
20
12
untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi itu merupakan barang
bukti, atau hasil delik.21
c. Pelat Nomor Polisi atau Tanda Nomor Kendaraan dalam Pasal 1 ayat (7)
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012
tentang Penerbitan Rekomendasi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Khusus dan Rahasia Bagi Kendaraan
Bermotor Dinas, yaitu tanda berbentuk pelat, yang dipasang pada kendaraan
bermotor, berfungsi sebagai bukti regristrasi yang sah dan identifikasi
kendaraan bermotor berisikan nomor regristrasi dan masa berlaku yang
ditertibkan oleh POLRI dengan spesifikasi teknis tertentu.
d. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana adalah suatu upaya mendapatkan
keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna
memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang
didakwakaan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri
terdakwa.22
e. Tindak pidana menurut Simons adalah tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.23
21
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 100
22
Tri Andrisman, Op.cit, hlm. 62
23
f. Pencurian dengan kekerasan (geweld) adalah suatu perbuatan mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya ataupun sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului,
disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap
orang, dengan maksud mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau
dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri
atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.24
E. Sistematika Penulisan I. PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang kerangka teori dan konseptual. Kerangka teori meliputi
tinjauan umum tentang Hukum Acara Pidana yang berkaitan dengan keabsahan
penggunaan barang bukti tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Sedangkan
konseptual meliputi pengertian dari istilah-istilah yang digunakan dalam
penelitian.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan
mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu
dalam memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur
24 Ibid,.
14
pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul
dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan
masalah, yaitu bagaimana keabsahan barang bukti oleh Majelis Hakim dalam
memutus perkara No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan kumpulan tulisan mengenai kesimpulan dan saran-saran yang
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Pembuktian
Hukum pembuktian merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana yang menjadi
sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah
menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan Hakim untuk menerima, menolak
dan menilai suatu pembuktian. Selain bersumber dari KUHAP, hukum
pembuktian bersumber dari doktrin atau ajaran dan yurisprudensi.1
Menurut Van Bemmelen, maksud dari pembuktian ialah usaha untuk memperoleh
kepastian yang layak dengan jalan memeriksa dan penalaran dari Hakim :
a. Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh
pernah terjadi
b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi. 2
Penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa pembuktian terdiri dari :
1. Menunjukan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh pancaindra;
2. Memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima
tersebut;
3. Menggunakan pikiran logis;
1
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.cit, hlm 10
2
16
Tujuan dan guna pembuktian itu sendiri bagi para pihak yang terlibat dalam
proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut :
a. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk
meyakinkan Hakim yakni berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.
b. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian merupakan usaha
sebaliknya, untuk meyakinkan Hakim yakni berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya.
c. Bagi Hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat
bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntutan umum atau penasihat hukum atau terdakwa dibuat dasar untuk membuat
keputusan.3
Apabila dilihat dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 181 KUHAP tentang
pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara
material barang bukti seringkali sangat berguna bagi Hakim untuk menyandarkan
keyakinannya.
Macam-macam alat bukti yang sah menurut Hukum :
(1) Alat bukti yang sah :
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
3
Beban pembuktian dalam proses pemeriksaan disidang pengadilan didasarkan atas
surat dakwaan yang dirumuskan oleh Penuntut Umum yang dilimpahkan ke
Pengadilan. Hal tersebut berdasarkan Pasal 143 ayat (1) KUHAP yaitu :
“Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan
permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai surat dakwaan.”4
Perkara yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri adalah yang menurut Penuntut
Umum memenuhi syarat. Hal ini berarti menurut pendapat Penuntut Umum
perbuatan atau delik yang didakwakan kepada terdakwa telah didukung oleh alat
bukti yang cukup. 5
Secara logika, karena Penuntut Umum yang mendakwakan maka Penuntut Umum
dapat membuktikan perbuatan terdakwanya. Akan tetapi secara kenyataan karena
alat bukti dan barang bukti yang sah tercantum pada berkas perkara yang
dipersiapkan oleh Penyidik, maka jika pada pemeriksaan di persidangan ada
perubahan-perubahan tentang nilai pembuktian adalah hal yang tidak wajar jika
dipertanggungjawabkan kepada Penuntut Umum.6
Misalnya suatu perkara yang hanya didukung satu orang saksi dan keterangan
terdakwa yang mengakui perbuatan yang didakwakan tersebut maka terdakwalah
pelakunya, kemudian pada pemeriksaan di persidangan berubah keterangannya
maka Penuntut Umum seharusnya menuntut agar terdakwa dibebaskan.7
4
Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 24
18
Berdasarkan Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, Pasal 30 ayat (1) huruf e :
“Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Penyidik.”
Pasal 138 ayat (2) KUHAP yaitu “ dalam hasil penyidikan ternyata belum
lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu
empat belas hari sejak tanggal kembalinya berkas perkara itu kepada penuntut
umum.”
Selain itu dalam Pasal 139 KUHAP, menyatakan bahwa “ setelah penuntut umum
menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia
segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk
dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.”
Kedua rumusan pasal diatas, dapat diketahui bahwa beban pembuktian pada
hakikatnya dilaksanakan oleh “ penyidik ” yang berupaya maksimal untuk
mengumpulkan alat bukti dan barang bukti yang sah yang selanjutnya diteliti oleh
penuntut umum.
Hukum Pembuktian juga mengatur mengenai sistem pembuktian. Sistem
boleh dipergunakan, penguraian alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara
bagaimana Hakim harus membentuk keyakinan.8
Berdasarkan teori, dikenal 4 (empat) sistem pembuktian :
a. Convition In Time
Ajaran pembuktian Convition In Time adalah suatu ajaran pembuktian yang
menyandarkan pada keyakinan Hakim semata. Hakim dalam menjatuhkan
putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana Hakim
menyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah, ia hanya boleh
menyimpulkan dari alat bukti yang ada di dalam persidangan atau
mengabaikan alat bukti yang ada di persidangan. Hakim dalam memutuskan
perkara tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar
putusannya, akibatnya dalam memutuskan perkara menjadi subyektif. 9
b. Conviction In Raisone
Ajaran ini juga masih menyandarkan pada keyakinan Hakim, Hakim tetap
tidak terikat pada alat-alat bukti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Namun demikian didalam mengambil keputusan tentang bersalah atau
tidaknya seorang terdakwa haruslah didasarkan alasan-alasan yang jelas.
Keyakinan Hakim haruslah didasari dengan alasan yang logis dan dapat
diterima oleh akal.10
8
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.cit, hlm. 11
20
c. Sistem Pembuktian Positif
Sistem Pembuktian Positif ( positief wetelijk ) adalah sistem pembuktian yang
menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan
oleh undang-undang. Seorang terdakwa dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana hanya didasarkan pada alat bukti yang sah. Sistem pembuktian
positif yang dicari adalah kebenaran formal. Menurut D. Simons, sistem ini
berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan Hakim dan mengikat
Hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembukian keras.11
d. Sistem Pembuktian Negatif
Sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk) adalah sistem pembuktian
dimana Hakim dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya
seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang
dan keyakinan (nurani) Hakim itu sendiri. Alat bukti yang ditentukan
undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat
bukti yang diajukan di persidangan seperti yang ditentukan oleh
undang-undang belum bisa memaksa seorang Hakim menyatakan terdakwa terbukti
bersalah seperti yang didakwakan.12
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang untuk mengadili.
Hakim menjamin tegaknya kebenaran materiil, keadilan dan kepastian hukum
bagi seseorang maka dasar yang digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan
putusan harus mengacu pada Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana yaitu Pasal 183 yang berbunyi :
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Sistem pembuktian yang dianut KUHAP, apabila diamati baik masa Hetterziene
Inlandcsh Reglement (HIR) maupun setelah KUHAP berlaku, penghayatan penerapan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
sebagaimana dirumuskan pada Pasal 183 KUHAP, meskipun dalam persidangan
telah diajukan dua atau lebih alat bukti, namun bila Hakim tidak yakin bahwa
terdakwa bersalah, maka terdakwa tersebut dibebaskan.13
B. Pengertian dan Asas-asas yang Berlaku dalam Pembuktian
Hukum Acara Pidana mengenal asas-asas yang menjadi dasar pemeriksaan dalam
proses pembuktian di sidang pengadilan, yaitu :
1. Asas Kebenaran Materiil
Asas kebenaran materiil adalah suatu asas yang menghendaki bahwa dalam
pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan pada penemuan kebenaran
materiil (materiale warheid) yakni kebenaran yang sesungguhnya sesuai
22
2. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah adalah suatu asas yang menghendaki agar setiap orang
yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan itu.15
3. Asas Batas Minimum Pembuktian
Asas batas minimum pembuktian adalah suatu prinsip yang harus dipedomani
dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya
terdakwa, artinya sampai “batas minimum pembuktian” mana yang dapat dinilai
cukup atau tidaknya dalam membuktikan kesalahan terdakwa .16
4. Keterangan Atau Pengakuan Terdakwa (Confession By On Accused)
Keterangan atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup membuktikan kesalahan
terdakwa dan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian. Pasal 189 ayat (4)
KUHAP, mempunyai makna, pengakuan menurut KUHAP, bukan merupakan alat
bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang “sempurna”. Oleh karena itu,
pengakuan atau keterangan terdakwa belum dianggap sebagai perwujudan
kebenaran sejati tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain.17
5. Hal Yang Secara Umum Sudah Diketahui, Tidak Perlu Dibuktikan (Notoire
M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Edisi kedua, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 262
17 Ibid,
yaitu mengenai hal-hal yang sudah demikian adanya, sudah demikian sebenarnya
tidak perlu lagi dibuktikan dalam persidangan.
Hal ini dapat pula berarti perihal kenyataan atau pengalaman yang akan selalu dan
selamanya mengakibatkan “resultan” atau kesimpulan yang demikian, yaitu kesimpulan yang didasarkan pada pengalaman umum atau berdasarkan
pengalaman Hakim sendiri bahwa setiap peristiwa dan keadaan yang seperti itu
senantiasa menimbulkan akibat yang pasti demikian.18
C. Tinjauan Umum Tentang Barang Bukti
Barang bukti dalam Pasal 42 Hetterziene Inlandcsh Reglement (HIR) disebutkan
bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan
mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas
barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang
yang didapatkan dari sebuah kejahatan.19
Istilah barang bukti itu sendiri di dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana) tidak ditafsirkan secara eksplisit dalam Pasal 1, tetapi istilah barang
bukti terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat (2) dan
Pasal 181.
Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan, dan
atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau
18
Ibid,hlm. 255
19
24
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.20
Barang bukti juga dikenal dengan istilah benda sitaan karena barang bukti
diperoleh melalui proses penyitaan oleh penyidik, yang berfungsi untuk
kepentingan pembuktian dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Pasal 42 ayat (1) menjelaskan bahwa “ Penyidik berwenang memerintahkan
kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda
tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang
menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.”
Barang-barang yang bisa dilakukan penyitaan untuk kepentingan pemeriksaan
atau pembuktian, menurut Pasal 39 ayat (1) KUHAP adalah :
a. Benda atau tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana;
b. Benda-benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
c. Benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana;
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.
fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut :
1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat (1) KUHAP);
2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang
ditangani;
20Loc.cit,
Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti
tersebut dapat menguatkan keyakinan Hakim atas kesalahan yang didakwakan
Jaksa Penuntut Umum.21
Kegunaan barang bukti itu sendiri dalam persidangan yaitu :
1. Apabila dilihat dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 181 KUHAP tentang
pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara material barang bukti seringkali sangat berguna bagi Hakim untuk menyandarkan keyakinannya.
2. Seperti yang kita ketahui KUHAP menganut sistem pembuktian negatif,
yakni :
a. Adanya macam-macam alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang;
b. Adanya keyakinan bagi Hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah
telah melakukan tindak pidana. 22
Namun demikian meskipun telah ada alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang serta telah melebihi minimum pembuktian, tetapi Hakim tidak harus yakin
bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan.
Hakim tidak dapat dipaksakan yakin atau tidaknya berdasarkan alat bukti yang
ada, meskipun alat bukti yang ada sudah memenuhi syarat pembuktian.23
D. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti
Alat bukti adalah segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan suatu perbuatan
pidana, dimana alat-alat bukti tersebut digunakan sebagai pembuktian dalam
persidangan untuk menimbulkan keyakinan Hakim atas kebenaran adanya suatu
tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.24
21
Flora Dianti, Loc.cit ,
22
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Loc.cit, hlm.100
23 Ibid, 24 Loc.cit,
26
Alat bukti itu sendiri diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa.
Berikut adalah penjelasan dari Pasal 184 ayat (1) yaitu :
1. Keterangan Saksi
Saksi adalah setiap orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan
mengalami sendiri tentang suatu tindak pidana. Suatu keterangan saksi atau
kesaksian dapat dianggap sah dan memiliki kekuatan pembuktian, maka harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Keterangan saksi merupakan keterangan atas suatu peristiwa pidana yang
telah saksi lihat, dengar atau alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya tersebut (Pasal 1 ayat 27 KUHAP).
b. Keterangan satu orang saksi saja tidak cukup tanpa disertai oleh alat bukti
yang sah lainnya.
c. Keterangan saksi bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh
sebagai hasil dari pemikiran.
d. Keterangan saksi harus diberikan oleh saksi yang telah mengucapkan
sumpah.
e. Keterangan saksi harus diberikan atau diungkapkan di muka sidang
pengadilan.
f. Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri dapat digunakan sebagai alat
bukti apabila keterangan tersebut bersesuaian satu sama lain sehingga
dapat menggambarkan suatu kejadian tertentu.25
25
Seorang Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan
mempertimbangkan keterangan saksi-saksi untuk menilai kebenaran atas
keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti (Pasal 185 ayat (6) KUHAP), hal-hal
yang harus diperhatikan oleh Hakim adalah sebagai berikut :
1. Kesesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya.
2. Kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
3. Alasan saksi dalam memberikan keterangan tertentu.
4. Cara hidup dan kesusilaan serta hal-hal lain yang pada umumnya
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan tersebut dipercaya.
2. Keterangan Ahli
Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus mengenai suatu hal yang diperlukan guna membuat
terang suatu perkara pidana demi kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli harus
dinyatakan dalam sidang pengadilan dan diberikan dibawah sumpah (Pasal 186
KUHAP). Selain itu, keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum dan dituangkan dalam suatu
bentuk laporan (Pasal 133 Jo penjelasan Pasal 186 KUHAP).
3. Surat
Surat sebagai alat bukti yang sah harus dibuat atas sumpah jabatan dan dikuatkan
dengan sumpah. Pasal 187 KUHAP memaparkan secara luas bentuk-bentuk surat
28
1. Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialamnya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.
4. Petunjuk
Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut : “Petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya .”
5. Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas pengertiannya
dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut Memorie van Teolichting Ned. Sv,
penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi alat bukti. Keterangan terdakwa tidak
perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai
syarat-syarat berikut :
a) Mengaku ia yang melakukannya syarat-syarat berikut.
b) Mengaku ia bersalah. 26
26
E. Pengertian Tindak Pidana
Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan
tersebut.27
Adapun beberapa tokoh yang memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang
istilah “strafbaarfeit”atau tindak pidana, antara lain :
a) Simons berpendapat bahwa tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang
yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.28
b) Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, kata perbuatan dalam
perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang
merujuk pada dua kejadin yang konkret, yaitu:
1. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang
2. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu. 29
Jadi pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.30
27
Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm.71.
28
Tongat, Loc.cit, hlm.105.
29
Suharto RM, 1996, Hukum Pidana Materil, Jakarta , Sinar Grafika, hlm. 29
30
30
c) Pompe berpendapat, suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan
oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut
adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan
umum sebagai “denormovertreding (verstoring de rechtsorde), waaran
deovertrederschuldheeft en waarvan de bestraffing is voor de handhaving der
rechtsorde en de behartiging van het algemeenwelzijn”.31
d) Van Hattum, Perkataan “Strafbaar” itu berarti “voorsraaf in
aanmerkingkomend” atau “straafverdienend” yang juga mempunyai arti
sebagai pantas untuk dihukum, sehingga perkataan“strafbaarfeit” seperti yang
telah digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana itu secara “eliptis” haruslah diartikan sebagai suatu
“tindakan”, yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat
seseorang menjadi dapat dihukum atau suatu “feitterzake van hetwelkeen
person strafbaar is”.32
e) Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana
berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.33
f) Menurut Vos, Peristiwa pidana (strafbaar feit) adalah suatu kelakuan manusia
(menselijke gerdragring) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi
hukuman.34
31
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.182
32
Ibid, hlm. 184.
33
g) Menurut Hukum Positif, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan
hukuman.35
F. Pengertian Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan
Pencurian dengan kekerasan (geweld) adalah suatu perbuatan mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya ataupun sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului, disertai atau diikuti
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud
mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan,
untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap
menguasai barang yang dicuri (Pasal 365 KUHP).36
Pasal 365 KUHP mengatur tentang pencurian khusus atau disebut juga “pencurian dengan kekerasan” (geweld). Unsur khusus atau istimewa yang ditambahkan pada pencurian biasa ialah “ mempergunakan kekerasan atau ancaman kekerasan”,
dengan dua macam maksud, yaitu :
1. Maksud untuk “mempersiapkan” pencurian yaitu, perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mendahului pengambilan barang. Misalnya mengikat
penjaga rumah, memukul dan lain-lain.
34
E Utrecht, 1986, Hukum Pidana 1, Bandung, Pustaka Tinta Mas, hlm. 251
35
Ibid, hlm. 253
36
32
2. Maksud untuk “mempermudah” pencurian yaitu pengambilan barang dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Misalnya : menodong
agar tidak melawan, sehingga pelaku dapat dengan leluasa mengambil
barang.37
Unsur- unsur dari Pasal tersebut yaitu :
1. Barang siapa;
Yang dimaksud dengan barang siapa adalah subjek hukum sebagai
pengemban atau pendukung hak dan kewajiban, meliputi subyek hukum
orang ( Natuurlije persoon ) maupun badan hukum (recht person) yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatanya yang dilakukannya.
2. Mengambil sesuatu barang yang seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain;
Yang dimaksud dengan mengambil dalam hal ini diartikan sebagai suatu
perbuatan yang dilakukan dengan atau tanpa alat yang mengakibatkan
berpindahnya suatu barang dalam penguasaan si pelaku, yang mana sewaktu
barang tersebut diambil, barang tersebut belum berada dalam kekuasaan si
pelaku.
3. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum;
Pengertian “dengan maksud” dalam konteks keseluruhan unsur ini merujuk pada konsep “ kesengajaan “ (opzettelijke) yang secara umum maknanya meliputi arti dari istilah “menghendaki” (willen) dan “mengetahui” (wetens),
dalam arti bahwa pelaku memang menghendaki terjadinya perbuatan tersebut
dan mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah melawan hukum yang
37 Ibid
dilarang oleh undang-undang, serta si pelaku mengetahui pula akibat yang
timbul dari perbuatan itu.
4. Yang didahului, disertai atau diikuti dengan keakerasan atau ancaman
kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk
memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap
menguasai barang yang dicuri yang dilakukan dijalan umum.
34
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Proses pengumpulan dan penyajian data penelitian ini digunakan pendekatan
secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Yuridis Normatif adalah
suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data
dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta
peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan
penulisan skripsi ini. Sedangkan Pendekatan Yuridis Empiris dilakukan untuk
mempelajari hukum dan kenyataan yang ada serta penegakan hukum di Indonesia.
B. Sumber dan Jenis Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada data sekunder dan
data primer. Data primer adalah data-data yang diperoleh dari hasil penelitian
langsung di lapangan yang berupa keterangan dari responden yang dilakukan
dengan cara observasi secara langsung.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara
membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku,
dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan
a. Bahan Hukum Primer, antara lain :
1) Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang berlakunya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
3) Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
4) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010
tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepolisian
Republik Indonesia
5) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012
tentang Penerbitan Rekomendasi Surat Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Khusus dan Rahasia
Bagi Kendaraan Bermotor Dinas
6) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012
tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor
7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (LLAJ)
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
36
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Literatur,
Kamus, Internet, Makalah dan lain-lain.
C. Penentuan Responden
Responden merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada
sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara “purposive
sampling” atau penarikan sampel yang bertujuan dilakukan dengan
caramengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu.1 Adapun Responden
dalam penelitian ini sebanyak 4 (empat) orang, yaitu :
Dalam penelitian ini diambil responden sebanyak 4 orang, yaitu :
1. Hakim Pengadilan Negeri Kalianda : 1 Orang
2. Jaksa Kejaksaan Negeri Kalianda : 1 Orang
3. Penyidik Kepolisisan Sektor Tegineneng : 1 Orang
4. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum UNILA : 1 Orang +
Jumlah : 4 Orang
1
D. Proses Pengumpulan dan Pengelolahan Data 1. Proses Pengumpulan Data :
a. Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan dilakukan terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan
buku-buku literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang
sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan cara
membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisa lebih lanjut.
b. Studi Lapangan
Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan wawancara
(interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan. Teknik wawancara dilakukan secara langsung dan
terbuka kepada narasumber.
2. Proses Pengelolahan Data
Keseluruhan Data yang telah diperoleh, baik dari kepustakaan maupun
penelitian lapangan kemudian diproses, diteliti kembali dan disusun kembali
secara seksama. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
kesalahan- kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan serta belum lengkap dan lain
sebagainya, terhadap data yang telah diperoleh. Pengelolahan data yang
dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan Data (Editing)
Data yang telah dikumpulkan baik data sekunder maupun data primer,
dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah data yang dibutuhkan
38
b. Pengelompokan Data (Klasifikasi)
Data yang sudah terkumpul dikelompokkan sesuai dengan jenis dan sifatnya
agar mudah dibaca selanjutnya dapat disusun secara sistematis.
c. Penyusunan Data (Sistematis Data)
Data yang sudah dikelompokan disusun secara sistematis sesuai dengan
pokok permasalahan konsep dan tujuan penelitian agar mudah dalam
menganalisis data.
E. Analisis Data
Proses analisis data adalah usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan
perihal pembinaan dan hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan.
Dalam proses analisis rangkaian data yang telah disusun secara sistematis dan
menurut klasifikasinya, diuraikan, dianalisis secara kualitatif dengan cara
merumuskan dalam bentuk uraian kalimat, sehingga merupakan jawaban. Pada
pengambilan kesimpulan dan hasil analisis tersebut penulis berpedoman pada cara
berfikir induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan atas fakta-fakta
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dan telah dijelaskan
pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan yaitu :
1. Kedudukan barang bukti, barang bukti memiliki kedudukan sebagai
pendukung alat bukti yang sah, yang menguatkan alat bukti dalam peradilan,
karena barang bukti dan alat bukti pada hakekatnya dalam praktiknya tidak
dapat dipisahkan dalam upaya pembuktian meskipun sudah terpenuhinya
syarat minimum pembuktian tetapi kehadiran barang bukti pun penting,
secara jelas dipaparkan dalam Pasal 197 ayat (1) dan (2).
Barang bukti merupakan komponen yang sama pentingnya dengan alat bukti
yang sah. Dilihat dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa
apabila tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d,
e, f, g, h, i, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
2. Keabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus perkara No. 215/
Pid.B/2013/PN.KLD. Pada kasus yang diteliti penulis, barang bukti yang
dihadirkan berupa dua buah pelat Nomor Polisi BE 7642 FQ dan dua buah
baju milik terdakwa. Terfokus pada barang bukti pelat Nomor Polisi tersebut,
70
Berdasarkan Pasal 39 ayat (5) Peraturan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 yang mengatakan bahwa Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor atau Pelat Nomor Polisi yang tidak dikeluarkan oleh
Korlantas Polri dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku.
Hakim dalam menilai keaslian barang bukti tersebut tidak terbatas pada
keterangan yang diberikan saksi-saksi dan keterangan terdakwa saja (Pasal
189 ayat (4)). Hal ini untuk menghindari penyelundupan orang-orang yang
benar-benar bersalah. Seandainya keterangan terdakwa mempunyai kekuatan
mengikat dan menentukan, akan banyak terjadi penyelewengan hukum dalam
bentuk menjatuhkan pidana kepada orang bukan pelaku tindak pidana.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka yang menjadi saran penulis adalah :
1. Kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana, sebaiknya lebih
diperjelas melalui peraturan yang mengaturnya, sehingga dapat dijadikan
sebagai dasar hukum dalam pertimbangan hakim dalam memutus suatu
perkara, atau adanya peraturan khusus yang mengatur barang bukti. Sehingga
dalam pelaksanaannya untuk upaya pembuktian, tidak ada lagi kesenjangan.
2. Keabsahan barang bukti berdasarkan penilaian hakim, seharunya hakim lebih
cermat dalam menilai keabsahan barang bukti, bukan hanya meyakinkan
keyakinannya saja, tetapi juga harus memikirkan kerugian pihak korban, dan
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Afiah, Ratna Nurul. 1989. Barang Bukti dalam Proses Pidana, Cetakan Pertama.
Jakarta.Sinar Grafika
Andrisman Tri. 2010.Hukum Acara Pidana. Bandarlampung.Universitas
Lampung
Chazawi Adam.2002. Pelajaran Hukum Pidana bagian I.Jakarta. Raja Grafindo
Persada
Hamzah Andi. 1986. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Sinar Grafik
---1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta
---2008.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika
Harahap Yahya.1993.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid
2. Jakarta .Sinar Grafika
---2006. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Edisi kedua.
Jakarta. Sinar Grafika
Kuffal HMA. 2010. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Ed.
Revisi.Jakarta. UMM Press
Lamintang P.A.F.1997.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.Bandung. Citra
Aditya Bakti
Mertokusumo Sudikno, A. Pitlo. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,
Cetakan Pertama .Jakarta. Citra Aditya Bakti
Manan Bagir. 2006. Hakim Dan Pemidanaan, Majalah Hukum Varia Peradilan
Nomor 249
Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi.
Rineka Cipta
Marpaung, Leden. 2009.Proses Penanganan Perkara Pidana.Jakarta.
Sinar Grafika
Soekanto Soerjono.2010.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press
Sasangka Hari, Lily Rosita. 2003.Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana.
Bandung .Mandar Maju
Sabuan Ansori, dkk.1990. Hukum Acara Pidana. Bandung. Angkasa
Tongat.2009.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif
Pembaharuan.Malang.UMM Press.
Tim Penyususn Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1997
Utrecht E.1986.Hukum Pidana 1. Bandung. Pustaka Tinta Mas
Waluyo Bambang. 1992.Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Cetakan
Pertama. Jakarta. Sinar Grafika
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981tentang Hukum Acara Pidana
Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Penerbitan Rekomendasi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Khusus dan Rahasia Bagi Kendaraan Bermotor Dinas
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor
http://www.hukumonline.com
http://nasional.kompas.com