• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN BARANG BUKTI TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN ( STUDI PUTUSAN NO. 215/Pid.B/2013/PN.KLD)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN BARANG BUKTI TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN ( STUDI PUTUSAN NO. 215/Pid.B/2013/PN.KLD)"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN BARANG BUKTI TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

( STUDI PUTUSAN NO. 215/Pid.B/2013/PN.KLD)

Oleh

ELLYZABET BERLIANA

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka sangat diperlukan kehadiran benda-benda yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, benda-benda tersebut disebut sebagai “Barang Bukti”. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana dan keabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus perkara No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris, sedangkan sumber data yang digunakan bersumber pada data primer dan data sekunder. Responden sebanyak 4 orang, yakni : 1 orang Hakim Pengadilan Negeri Kalianda, 1 orang Jaksa Kejaksaan Negeri Kalianda, 1 orang Penyidik Kepolisian Sektor Tegineneng, 1 orang Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.Keseluruhan Data yang telah diperoleh, baik dari kepustakaan maupun penelitian lapangan kemudian diprosesdan dianalisis secara kualitatif.

(2)

Ellyzabet Berliana

dikeluarkan oleh Korlantas Polri dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku. Berdasarkan penilaian hakim mengenai keabsahan barang bukti, hakim cenderung menilai sah tidaknya barang bukti melihat dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa yang saling memiliki keterkaitan.Saran dalam penelitian ini : (1) kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana, sebaiknya lebih diperjelas melalui peraturan yang mengaturnya, sehingga dalam pelaksanaannya untuk upaya pembuktian, tidak ada lagi kesenjangan. (2) keabsahan barang bukti berdasarkan penilaian hakim, hendaknya hakim bisa lebih cermat dalam menilai keabsahan barang buktibukan hanya meyakinkan keyakinannya saja, tetapi juga harus memikirkan kerugian pihak korban, dan memikirkan keadilan bagi terdakwa dalam memutus perkara.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ellyzabet Berliana, dilahirkan di Kota

Metro, tanggal 05 November 1993, sebagai anak kedua dari

dua bersaudara, anak dari Bapak Catur Wicaksono dan Ibu

Inawati. Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Kartika

Candrakirana Metro tahun 1999.

Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 08 Metro tahun 2005, melanjutkan ke

Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 03 Metro 2008, dan Sekolah

Menengah Atas (SMA) di SMAN 04 Metro tahun 2011. Tahun 2011, penulis

terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur

SMPTN.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi anggota PSBH (Pusat Studi

Bantuan Hukum) di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 2014,

penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Wilayah Lampung Selatan,

(8)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur oleh karena berkat dan anugerah Tuhan

Yesus Kristus, karya ini ku persembahkan untuk :

Papa dan mama, Catur Wicaksono dan Inawati yang dengan tulus telah

membesarkanku hingga sampai saat ini, aku ucapkan terima kasih untuk

semua yang telah di berikan pada ku, selalu mendukungku dan

mendoakanku.

Untuk Kakakku Wahyu Nugroho, terima kasih untuk semuanya untuk

dukungan, doa dan traktiran setiap hari minggunya.

Untuk Asido Dionisius Situmorang, terima kasih untuk dukungan dan

doa-doamu untukku.

(9)

Tidak ada yang sia-sia, kesia-siaan hanyalah untuk orang yang putus asa. Hidup itu untuk belajar dan menghasilkan

(10)

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas

campurtangan-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul :“Analisis Yuridis Penggunaan Barang Bukti Terhadap

Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Putusan Nomor 215/ Pid.B/ 2013/PN.KLD).” Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan

bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam penulisan skripsi ini jauh

dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan Penulis. Pada kesempatan ini,

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.Hum., Ketua Bagian Hukum Pidana

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., Sekretaris Jurusan Hukum Pidana dan selaku

Dosen Pembahas I yang senantiasa memberikan waktu, masukan dan saran

selama penulisan skripsi ini.

4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I yang telah banyak

memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran yang sungguh luar biasa

(11)

luar biasa serta kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan

skripsi ini.

6. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., Dosen Pembahas I yang telah memberikan

waktu, masukan, dan saran selama penulisan skripsi ini.

7. Bapak Budi Rizki, S.H., M.H., Dosen Pembahas II yang telah memberikan

waktu, masukan, dan saran selama penulisan skripsi ini.

8. Ibu Sri Sulastuti, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah memberikan

nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan Penulis di Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

9. Seluruh dosen, staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung,

terima kasih atas bantuannya selama ini.

10. Ibu Siti Yuristia Akuan, S.H.,M.H., Hakim Pengadilan Negeri Kalianda,Ibu

Fransisca, S.H, Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Kalianda, Bapak AIPTU.

Bambang Heryanto Kanit Reskrim Polsek Tegineneng dan Bapak Shafruddin,

S.H.,M.H., Dosen bagian Hukum Pidana yang menjadi narasumber penelitian

ini.

11. Terkhusus dan teristimewa untuk kedua orang tuaku, Ayahanda Catur

Wicaksono dan Ibunda Inawati yang senantiasa mendoakanku, memberiku

dukungan semangat dan motivasi, nasehat serta pengarahan dalam

keberhasilanku dalam menyelesaikan studi maupun kedepannya.

12. Untuk Kakakku Wahyu Nugroho, terima kasih untuk dukungan dan

(12)

13. Spesial untuk masa depanku yang terkasih Asido Dionisius Situmorang

terima kasih untuk perhatianmu, kasih sayangmu, pengorbananmu, dukungan

serta doa-doamu.

14. Sahabat seperjuangan di kampus Desy Dwi Katrin, Dian Tri Puspa, Dopdon,

Selvi, Gusti, Ivan, Ninis, Yola, Elsha Venca, Aisyah, Tria, Natalia Khaterine,

Lia Aprilia, Sefti, Andre, Rizky Oktaviani, Dian Anggraeni, Maharani yang

sering berbagi info dan sharing dikampus.

15. Sahabat terbaikku di Fakultas Hukum Universitas Lampung : Dwi Nur Aulia,

Desy, Dian gendut, Dian Anggraeni, Elsha Venca, Eva, terima kasih untuk

kebersamaannya selama kuliah.

16. Untuk teman-teman Kosan Asrama Sultan, Nikmatul Amalia, Fitri Bubun,

Fitri Mop, Elly kurnia, Lia Dn, Erlina, Hilda, Tika, Ami, terimakasih untuk

keseruan dan kehebohannya.

17. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat dalam

penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga semua diberkati Tuhan. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini

bermanfaat bagi kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan

kesejahteraan bangsa ini. Aamiin.

Bandarlampung, Penulis

(13)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup...7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual...9

E. Sistematika Penulisan...13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian...15

B. Pengertian dan Asas-asas yang Berlaku dalam Pembuktian KUHAP...21

C. Tinjauan Umum Tentang Barang Bukti...23

D. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti...25

E. Pengertian Tindak Pidana...29

F. Pengertian Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan...31

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 34

B. Sumber dan Jenis Data... 34

C. Penentuan Responden... 36

D. Proses Pengumpulan dan Pengolahan Data... 37

(14)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana...39

1. Kualifikasi Barang Bukti...39

2. Proses Suatau Benda Menjadi Barang Bukti di Persidangan...41

3. Kualifikasi Alat Bukti...47

4. Perbedaan Antara Barang Bukti dan Alat Bukti...50

B. Keabsahan Barang Bukti oleh Hakim dalam Memutus Perkara Nomor 215/Pid.B/2013/PN.KLD...56

1. Kasus Posisi...56

2. Kekuatan Barang Bukti Pelat Nomor Polisi Kendaraan Bermotor dalam Pembuktian Perkara Pidana...58

3. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Pidana Putuan Nomor 215/Pid.B/2013/PN.KLD...63

V. PENUTUP

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, dimana hak

asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa

dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti

yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.1

Berkaitan dengan pembuktian Hukum Acara Pidana mengenal asas-asas yang

menjadi dasar pemeriksaan, yaitu asas praduga tak bersalah dan asas kebenaran

materiil. Hal ini menjadi dasar pemeriksaan karena untuk melindungi hak asasi

manusia yang dimiliki setiap orang.2

Setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah

sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan itu, asas ini

disebut asas praduga tak bersalah. Asas kebenaran materiil adalah suatu asas yang

menghendaki bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan pada

penemuan kebenaran materiil (materiale warheid) yakni kebenaran yang

sesungguhnya sesuai kenyataan.3 Seperti halnya pembuktian ada untuk

mendapatkan kebenaran yang sebenar-benarnya dalam peradilan.

1

Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 249

2

Tri Andrisman, 2010, Hukum Acara Pidana, Bandarlampung, Penerbit Universitas Lampung, hlm. 14

(16)

2

Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana adalah suatu upaya mendapatkan

keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti, guna memperoleh

suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta

dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.4 Untuk kepentingan

pembuktian tersebut maka sangat diperlukan kehadiran benda-benda yang

berkaitan dengan suatu tindak pidana, lazimnya benda-benda tersebut disebut

sebagai “Barang Bukti”.

Istilah barang bukti di dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana) tidak ditafsirkan secara eksplisit da lam Pasal 1, tetapi istilah barang bukti

terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat (2) dan Pasal

181.

Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan, dan

atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau

menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk

kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.5

Barang bukti juga dikenal dengan istilah benda sitaan karena barang bukti

diperoleh melalui proses penyitaan oleh penyidik, yang berfungsi untuk

kepentingan pembuktian dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan.6

Pasal 42 ayat (1) menjelaskan bahwa “Penyidik berwenang memerintahkan

kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda

(17)

tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang

menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.”

Barang-barang yang bisa dilakukan penyitaan untuk kepentingan pemeriksaan

atau pembuktian, menurut Pasal 39 ayat (1) KUHAP adalah :

a. Benda atau tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana;

b. Benda-benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;

c. Benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana;

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.

fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut:

1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat (1) KUHAP);

2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang

ditangani;

3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang

bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan Hakim atas kesalahan yang

didakwakan Jaksa Penuntut Umum. 7

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perbuatan, dimana

dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian

guna menimbulkan keyakinan Hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana

yang telah dilakukan oleh terdakwa.8

7

Flora Dianti, Perbedaan Barang Bukti dengan Alat Bukti, http://www.hukumonline.com/,diakses pada [03/09/2014]

8

(18)

4

Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa,

kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

tersebut, Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Alat-alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut :

(1) Alat bukti yang sah adalah :

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Apabila dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 181 KUHAP tentang

pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara

material barang bukti seringkali sangat berguna bagi Hakim untuk menyandarkan

keyakinannya.9 Beberapa contoh kasus dibawah ini akan menggambarkan

pentingnya peranan barang bukti dalam persidangan.

Beberapa waktu lalu kasus pencurian sepasang sendal jepit oleh seorang anak

marak diberitakan dimedia, karena terdapat beberapa kejanggalan dalam

pemeriksaan di persidangan. Kasus pencurian sendal jepit berwarna putih dengan

merek Eiger milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap yang dilakukan oleh Anjar

9Ibid,

(19)

Andreas Lagaronda, seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Palu, Sulawesi

Tengah.10 Kejanggalan dalam pemeriksaan di persidangan tersebut yang menjadi

masalah adalah barang bukti yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum yaitu

sepasang sandal jepit.

Barang bukti sepasang sandal jepit tersebut adalah barang bukti yang keliru,

dimana ketika Hakim menyuruh memasangkan sendal tersebut di kaki saksi

korban ternyata sendal tersebut ukurannya lebih kecil dari kaki saksi korban.11

Hakim tetap memutuskan perkara tersebut dengan Nomor Putusan

31/Pid.Anak/2011/PN.PL.

Isi putusan Hakim bahwa terdakwa Anjar Andreas Lagaronda tetap bersalah

secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya untuk dikembalikan kepada orang tuanya, karena menurut pengakuan

terdakwa, terdakwa benar mengaku bahwa dia yang mencuri sendal jepit tersebut.

Akan tetapi pada putusannya, Hakim menyuratkan ketidakyakinan perihal milik

siapa sandal jepit tersebut yang dihadirkan di persidangan, yang dijadikan barang

hasil tindak pidana sesuai dengan yang terdapat didalam surat dakwaan.12

Kasus di atas menggambarkan sikap penyidik yang tidak bertanggungjawab dalam

mencari barang bukti, hal ini tidak sepatutnya dilakukan. Kasus berikutnya masih

mengenai barang bukti, yaitu kasus Pencurian Sepeda Motor dengan Nomor

Putusan 307/Pid.B/2013/PN.Kpj. Terdakwa Poniran terbukti bersalah melakukan

tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Terdakwa Poniran

10Kejamnya Keadilan”,

http://nasional.kompas.com, diakses pada [06/09/2014]

(20)

6

mencuri satu unit sepeda motor Honda Gl. Pro warna hitam No. Polisi E6407LA

tahun 1996 milik Harianto. Pada kasus ini diketahui yang menjadi barang bukti

dalam persidangan adalah satu unit sepeda motor Jenis Honda Gl. Pro warna

hitam dengan No. Polisi E 6407 LA tahun 1996.13

Terdakwa Poniran terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana pencurian dalam keadaan memberatkan (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP)

dan dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun 3 bulan. Dalam kasus tersebut, barang

bukti yang dihadirkan dalam persidangan sangat kuat sehingga Hakim

memperoleh keyakinan dalam memutus perkara tersebut.

Beberapa kasus diatas menjadi contoh bagaimana barang bukti yang sah dan yang

tidak sah, atau dibuat - buat. Pada kasus dengan Nomor Putusan 215 /Pid.B

/2013/PN.KLD, penulis ingin melakukan penelitian terhadap putusan tersebut,

dimana diketahui bahwa dalam kasus tersebut terdakwa bernama Rifai dan

rekannya Herdian (Daftar Pencarian Orang) melakukan tindak pidana pencurian

dengan kekerasan di wilayah Tegineneng, Lampung Selatan.

Terdakwa Rifai beserta rekannya berhasil merampas satu unit sepeda motor jenis

Honda Beat dengan Nomor Polisi BE 7642 FQ tahun 2011 berserta Surat Tanda

Nomor Kendaraan (STNK), 2 buah Handphone dan sejumlah uang milik korban.

Terdakwa didakwa dengan Pasal 365 ayat (1) dan (2) ke-1, 2 KUHP (Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana). Kejanggalan dalam kasus ini yaitu pada barang

bukti yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum.

13

(21)

Barang bukti tersebut adalah dua buah pelat Nomor Polisi BE 7642 FQ dan dua

buah baju, satu baju bermotif kotak-kotak warna hitam dan satu kaos berwarna

coklat. Barang bukti ini dirasa belum kuat untuk membuktikan perkara tersebut.

Seharusnya yang menjadi barang bukti adalah satu unit sepeda motor jenis Honda

Beat dengan Nomor Polisi BE 7642 FQ tahun 2011. Akan tetapi dalam kasus ini

hanya pelat Nomor Polisinya saja.

Penilaian Hakim terhadap keabsahan barang bukti dinilai kurang memenuhi

unsur-unsur pembuktian dalam menyamakan pelat Nomor Polisi dengan Surat

Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan keterangan saksi. Hal ini yang ingin diteliti

oleh penulis, dengan judul “ Analisis Yuridis Penggunaan Barang Bukti Terhadap

Pembuktian Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Putusan No.

215/Pid.B/2013/PN.KLD).”

B. Permasalahan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana ?

2. Bagaimana keabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus perkara No.

215/Pid.B/2013/PN.KLD ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian dalam Hukum Pidana formil yang

membahas mengenai penggunaan barang bukti terhadap pembuktian tindak

(22)

8

215/Pid.B/2013/PN.KLD). Wilayah penelitian yaitu bertempat di wilayah hukum

Pengadilan Negeri Kalianda meliputi Pengadilan Negeri Kalianda, Kejaksaan

Negeri Kalianda dan POLSEK Tegineneng. Penelitian dilaksanakan pada Tahun

2014.

C. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka

tujuan dalam penelitian ini yaitu :

a. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan barang bukti dalam proses

peradilan pidana.

b. Untuk mengetahui keabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus

Putusan No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD

2. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu

pengetahuan hukum khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka

memberikan penjelasan mengenai Penggunaan Barang Bukti Terhadap

Pembuktian Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan.

2. Kegunaan Praktis

Kegunaan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan

(23)

Pidana khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan masyarakat

umum mengenai Penggunaan Barang Bukti Terhadap Pembuktian Tindak Pidana

Pencurian Dengan Kekerasan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.14

Adapun teori yang digunakan penulis dalam penelitian ini, yaitu mencakup teori

pembuktian.

Pembuktian merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana yang mengatur

macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem dan tata cara mengajukan bukti

tersebut serta kewenangan Hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu

pembuktian.15

Menurut Van Bummelen, berkaitan dengan hal membuktikan adalah memberikan

kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang :

a) Apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi;

b) Apa sebabnya demikian halnya. 16

14

Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm.125

15

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.Cit, hlm. 10

16 Ibid,

(24)

10

Senada dengan hal tersebut, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan

membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas

suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa

tersebut.17

Pembuktian merupakan kekuatan-kekuatan yang berisi penggarisan dan pedoman

tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang

mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh

dipergunakan oleh Hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.18

Apabila dilihat dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 181 KUHAP tentang

pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara

material barang bukti seringkali sangat berguna bagi Hakim untuk menyandarkan

keyakinannya.

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang untuk mengadili.

Hakim menjamin tegaknya kebenaran materiil, keadilan dan kepastian hukum

bagi seseorang maka dasar yang digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan

putusan harus mengacu pada Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana yaitu Pasal 183 yang berbunyi :

17

Ibid,

18

(25)

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

2. Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau

menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang

berkaitan dengan istilah.19 Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok

permasalahan, maka penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan

acuan sebagai pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul yaitu

Analisis Yuridis Penggunaan Barang Bukti Terhadap Pembuktian Tindak Pidana

Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Putusan No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD).

Adapun pengertian istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah :

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan

penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh

pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.20

b. Barang bukti adalah barang mengenai mana delik dilakukan (objek delik) dan

barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan

delik misalnya pisau yang dipakai menikam orang. Termasuk juga barang

bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (Korupsi)

19

Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm. 32

20

(26)

12

untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi itu merupakan barang

bukti, atau hasil delik.21

c. Pelat Nomor Polisi atau Tanda Nomor Kendaraan dalam Pasal 1 ayat (7)

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012

tentang Penerbitan Rekomendasi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor

dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Khusus dan Rahasia Bagi Kendaraan

Bermotor Dinas, yaitu tanda berbentuk pelat, yang dipasang pada kendaraan

bermotor, berfungsi sebagai bukti regristrasi yang sah dan identifikasi

kendaraan bermotor berisikan nomor regristrasi dan masa berlaku yang

ditertibkan oleh POLRI dengan spesifikasi teknis tertentu.

d. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana adalah suatu upaya mendapatkan

keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna

memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang

didakwakaan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri

terdakwa.22

e. Tindak pidana menurut Simons adalah tindakan melanggar hukum yang telah

dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah

dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.23

21

Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 100

22

Tri Andrisman, Op.cit, hlm. 62

23

(27)

f. Pencurian dengan kekerasan (geweld) adalah suatu perbuatan mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya ataupun sebagian kepunyaan orang lain,

dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului,

disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap

orang, dengan maksud mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau

dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri

atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.24

E. Sistematika Penulisan I. PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang kerangka teori dan konseptual. Kerangka teori meliputi

tinjauan umum tentang Hukum Acara Pidana yang berkaitan dengan keabsahan

penggunaan barang bukti tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Sedangkan

konseptual meliputi pengertian dari istilah-istilah yang digunakan dalam

penelitian.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan

mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu

dalam memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur

24 Ibid,.

(28)

14

pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul

dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan

masalah, yaitu bagaimana keabsahan barang bukti oleh Majelis Hakim dalam

memutus perkara No. 215/Pid.B/2013/PN.KLD.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan kumpulan tulisan mengenai kesimpulan dan saran-saran yang

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Pembuktian

Hukum pembuktian merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana yang menjadi

sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara

mengajukan bukti tersebut serta kewenangan Hakim untuk menerima, menolak

dan menilai suatu pembuktian. Selain bersumber dari KUHAP, hukum

pembuktian bersumber dari doktrin atau ajaran dan yurisprudensi.1

Menurut Van Bemmelen, maksud dari pembuktian ialah usaha untuk memperoleh

kepastian yang layak dengan jalan memeriksa dan penalaran dari Hakim :

a. Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh

pernah terjadi

b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi. 2

Penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa pembuktian terdiri dari :

1. Menunjukan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh pancaindra;

2. Memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima

tersebut;

3. Menggunakan pikiran logis;

1

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.cit, hlm 10

2

(30)

16

Tujuan dan guna pembuktian itu sendiri bagi para pihak yang terlibat dalam

proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut :

a. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk

meyakinkan Hakim yakni berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.

b. Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian merupakan usaha

sebaliknya, untuk meyakinkan Hakim yakni berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya.

c. Bagi Hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat

bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntutan umum atau penasihat hukum atau terdakwa dibuat dasar untuk membuat

keputusan.3

Apabila dilihat dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 181 KUHAP tentang

pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara

material barang bukti seringkali sangat berguna bagi Hakim untuk menyandarkan

keyakinannya.

Macam-macam alat bukti yang sah menurut Hukum :

(1) Alat bukti yang sah :

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

3

(31)

Beban pembuktian dalam proses pemeriksaan disidang pengadilan didasarkan atas

surat dakwaan yang dirumuskan oleh Penuntut Umum yang dilimpahkan ke

Pengadilan. Hal tersebut berdasarkan Pasal 143 ayat (1) KUHAP yaitu :

“Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan

permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai surat dakwaan.”4

Perkara yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri adalah yang menurut Penuntut

Umum memenuhi syarat. Hal ini berarti menurut pendapat Penuntut Umum

perbuatan atau delik yang didakwakan kepada terdakwa telah didukung oleh alat

bukti yang cukup. 5

Secara logika, karena Penuntut Umum yang mendakwakan maka Penuntut Umum

dapat membuktikan perbuatan terdakwanya. Akan tetapi secara kenyataan karena

alat bukti dan barang bukti yang sah tercantum pada berkas perkara yang

dipersiapkan oleh Penyidik, maka jika pada pemeriksaan di persidangan ada

perubahan-perubahan tentang nilai pembuktian adalah hal yang tidak wajar jika

dipertanggungjawabkan kepada Penuntut Umum.6

Misalnya suatu perkara yang hanya didukung satu orang saksi dan keterangan

terdakwa yang mengakui perbuatan yang didakwakan tersebut maka terdakwalah

pelakunya, kemudian pada pemeriksaan di persidangan berubah keterangannya

maka Penuntut Umum seharusnya menuntut agar terdakwa dibebaskan.7

4

Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 24

(32)

18

Berdasarkan Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia, Pasal 30 ayat (1) huruf e :

“Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Penyidik.”

Pasal 138 ayat (2) KUHAP yaitu “ dalam hasil penyidikan ternyata belum

lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai

petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu

empat belas hari sejak tanggal kembalinya berkas perkara itu kepada penuntut

umum.”

Selain itu dalam Pasal 139 KUHAP, menyatakan bahwa “ setelah penuntut umum

menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia

segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk

dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.”

Kedua rumusan pasal diatas, dapat diketahui bahwa beban pembuktian pada

hakikatnya dilaksanakan oleh “ penyidik ” yang berupaya maksimal untuk

mengumpulkan alat bukti dan barang bukti yang sah yang selanjutnya diteliti oleh

penuntut umum.

Hukum Pembuktian juga mengatur mengenai sistem pembuktian. Sistem

(33)

boleh dipergunakan, penguraian alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara

bagaimana Hakim harus membentuk keyakinan.8

Berdasarkan teori, dikenal 4 (empat) sistem pembuktian :

a. Convition In Time

Ajaran pembuktian Convition In Time adalah suatu ajaran pembuktian yang

menyandarkan pada keyakinan Hakim semata. Hakim dalam menjatuhkan

putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana Hakim

menyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah, ia hanya boleh

menyimpulkan dari alat bukti yang ada di dalam persidangan atau

mengabaikan alat bukti yang ada di persidangan. Hakim dalam memutuskan

perkara tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar

putusannya, akibatnya dalam memutuskan perkara menjadi subyektif. 9

b. Conviction In Raisone

Ajaran ini juga masih menyandarkan pada keyakinan Hakim, Hakim tetap

tidak terikat pada alat-alat bukti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

Namun demikian didalam mengambil keputusan tentang bersalah atau

tidaknya seorang terdakwa haruslah didasarkan alasan-alasan yang jelas.

Keyakinan Hakim haruslah didasari dengan alasan yang logis dan dapat

diterima oleh akal.10

8

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.cit, hlm. 11

(34)

20

c. Sistem Pembuktian Positif

Sistem Pembuktian Positif ( positief wetelijk ) adalah sistem pembuktian yang

menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan

oleh undang-undang. Seorang terdakwa dinyatakan bersalah melakukan

tindak pidana hanya didasarkan pada alat bukti yang sah. Sistem pembuktian

positif yang dicari adalah kebenaran formal. Menurut D. Simons, sistem ini

berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan Hakim dan mengikat

Hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembukian keras.11

d. Sistem Pembuktian Negatif

Sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk) adalah sistem pembuktian

dimana Hakim dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya

seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang

dan keyakinan (nurani) Hakim itu sendiri. Alat bukti yang ditentukan

undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat

bukti yang diajukan di persidangan seperti yang ditentukan oleh

undang-undang belum bisa memaksa seorang Hakim menyatakan terdakwa terbukti

bersalah seperti yang didakwakan.12

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang untuk mengadili.

Hakim menjamin tegaknya kebenaran materiil, keadilan dan kepastian hukum

bagi seseorang maka dasar yang digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan

putusan harus mengacu pada Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana yaitu Pasal 183 yang berbunyi :

(35)

“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Sistem pembuktian yang dianut KUHAP, apabila diamati baik masa Hetterziene

Inlandcsh Reglement (HIR) maupun setelah KUHAP berlaku, penghayatan penerapan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

sebagaimana dirumuskan pada Pasal 183 KUHAP, meskipun dalam persidangan

telah diajukan dua atau lebih alat bukti, namun bila Hakim tidak yakin bahwa

terdakwa bersalah, maka terdakwa tersebut dibebaskan.13

B. Pengertian dan Asas-asas yang Berlaku dalam Pembuktian

Hukum Acara Pidana mengenal asas-asas yang menjadi dasar pemeriksaan dalam

proses pembuktian di sidang pengadilan, yaitu :

1. Asas Kebenaran Materiil

Asas kebenaran materiil adalah suatu asas yang menghendaki bahwa dalam

pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan pada penemuan kebenaran

materiil (materiale warheid) yakni kebenaran yang sesungguhnya sesuai

(36)

22

2. Asas Praduga Tak Bersalah

Asas praduga tak bersalah adalah suatu asas yang menghendaki agar setiap orang

yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum

putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan itu.15

3. Asas Batas Minimum Pembuktian

Asas batas minimum pembuktian adalah suatu prinsip yang harus dipedomani

dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya

terdakwa, artinya sampai “batas minimum pembuktian” mana yang dapat dinilai

cukup atau tidaknya dalam membuktikan kesalahan terdakwa .16

4. Keterangan Atau Pengakuan Terdakwa (Confession By On Accused)

Keterangan atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup membuktikan kesalahan

terdakwa dan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian. Pasal 189 ayat (4)

KUHAP, mempunyai makna, pengakuan menurut KUHAP, bukan merupakan alat

bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang “sempurna”. Oleh karena itu,

pengakuan atau keterangan terdakwa belum dianggap sebagai perwujudan

kebenaran sejati tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain.17

5. Hal Yang Secara Umum Sudah Diketahui, Tidak Perlu Dibuktikan (Notoire

M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Edisi kedua, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 262

17 Ibid,

(37)

yaitu mengenai hal-hal yang sudah demikian adanya, sudah demikian sebenarnya

tidak perlu lagi dibuktikan dalam persidangan.

Hal ini dapat pula berarti perihal kenyataan atau pengalaman yang akan selalu dan

selamanya mengakibatkan “resultan” atau kesimpulan yang demikian, yaitu kesimpulan yang didasarkan pada pengalaman umum atau berdasarkan

pengalaman Hakim sendiri bahwa setiap peristiwa dan keadaan yang seperti itu

senantiasa menimbulkan akibat yang pasti demikian.18

C. Tinjauan Umum Tentang Barang Bukti

Barang bukti dalam Pasal 42 Hetterziene Inlandcsh Reglement (HIR) disebutkan

bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan

mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas

barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang

yang didapatkan dari sebuah kejahatan.19

Istilah barang bukti itu sendiri di dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana) tidak ditafsirkan secara eksplisit dalam Pasal 1, tetapi istilah barang

bukti terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat (2) dan

Pasal 181.

Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan, dan

atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau

18

Ibid,hlm. 255

19

(38)

24

menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk

kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.20

Barang bukti juga dikenal dengan istilah benda sitaan karena barang bukti

diperoleh melalui proses penyitaan oleh penyidik, yang berfungsi untuk

kepentingan pembuktian dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

Pasal 42 ayat (1) menjelaskan bahwa “ Penyidik berwenang memerintahkan

kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda

tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang

menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.”

Barang-barang yang bisa dilakukan penyitaan untuk kepentingan pemeriksaan

atau pembuktian, menurut Pasal 39 ayat (1) KUHAP adalah :

a. Benda atau tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana;

b. Benda-benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;

c. Benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana;

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.

fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut :

1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat (1) KUHAP);

2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang

ditangani;

20Loc.cit,

(39)

Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti

tersebut dapat menguatkan keyakinan Hakim atas kesalahan yang didakwakan

Jaksa Penuntut Umum.21

Kegunaan barang bukti itu sendiri dalam persidangan yaitu :

1. Apabila dilihat dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 181 KUHAP tentang

pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara material barang bukti seringkali sangat berguna bagi Hakim untuk menyandarkan keyakinannya.

2. Seperti yang kita ketahui KUHAP menganut sistem pembuktian negatif,

yakni :

a. Adanya macam-macam alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang;

b. Adanya keyakinan bagi Hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah

telah melakukan tindak pidana. 22

Namun demikian meskipun telah ada alat-alat bukti yang ditentukan oleh

undang-undang serta telah melebihi minimum pembuktian, tetapi Hakim tidak harus yakin

bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan.

Hakim tidak dapat dipaksakan yakin atau tidaknya berdasarkan alat bukti yang

ada, meskipun alat bukti yang ada sudah memenuhi syarat pembuktian.23

D. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan suatu perbuatan

pidana, dimana alat-alat bukti tersebut digunakan sebagai pembuktian dalam

persidangan untuk menimbulkan keyakinan Hakim atas kebenaran adanya suatu

tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.24

21

Flora Dianti, Loc.cit ,

22

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Loc.cit, hlm.100

23 Ibid, 24 Loc.cit,

(40)

26

Alat bukti itu sendiri diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu :

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa.

Berikut adalah penjelasan dari Pasal 184 ayat (1) yaitu :

1. Keterangan Saksi

Saksi adalah setiap orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan

mengalami sendiri tentang suatu tindak pidana. Suatu keterangan saksi atau

kesaksian dapat dianggap sah dan memiliki kekuatan pembuktian, maka harus

memenuhi ketentuan sebagai berikut :

a. Keterangan saksi merupakan keterangan atas suatu peristiwa pidana yang

telah saksi lihat, dengar atau alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya tersebut (Pasal 1 ayat 27 KUHAP).

b. Keterangan satu orang saksi saja tidak cukup tanpa disertai oleh alat bukti

yang sah lainnya.

c. Keterangan saksi bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh

sebagai hasil dari pemikiran.

d. Keterangan saksi harus diberikan oleh saksi yang telah mengucapkan

sumpah.

e. Keterangan saksi harus diberikan atau diungkapkan di muka sidang

pengadilan.

f. Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri dapat digunakan sebagai alat

bukti apabila keterangan tersebut bersesuaian satu sama lain sehingga

dapat menggambarkan suatu kejadian tertentu.25

25

(41)

Seorang Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan

mempertimbangkan keterangan saksi-saksi untuk menilai kebenaran atas

keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti (Pasal 185 ayat (6) KUHAP), hal-hal

yang harus diperhatikan oleh Hakim adalah sebagai berikut :

1. Kesesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya.

2. Kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

3. Alasan saksi dalam memberikan keterangan tertentu.

4. Cara hidup dan kesusilaan serta hal-hal lain yang pada umumnya

mempengaruhi dapat tidaknya keterangan tersebut dipercaya.

2. Keterangan Ahli

Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang

memiliki keahlian khusus mengenai suatu hal yang diperlukan guna membuat

terang suatu perkara pidana demi kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli harus

dinyatakan dalam sidang pengadilan dan diberikan dibawah sumpah (Pasal 186

KUHAP). Selain itu, keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu

pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum dan dituangkan dalam suatu

bentuk laporan (Pasal 133 Jo penjelasan Pasal 186 KUHAP).

3. Surat

Surat sebagai alat bukti yang sah harus dibuat atas sumpah jabatan dan dikuatkan

dengan sumpah. Pasal 187 KUHAP memaparkan secara luas bentuk-bentuk surat

(42)

28

1. Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialamnya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau

surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari

alat pembuktian yang lain.

4. Petunjuk

Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut : “Petunjuk

adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara

yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,

menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya .”

5. Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas pengertiannya

dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut Memorie van Teolichting Ned. Sv,

penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi alat bukti. Keterangan terdakwa tidak

perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai

syarat-syarat berikut :

a) Mengaku ia yang melakukannya syarat-syarat berikut.

b) Mengaku ia bersalah. 26

26

(43)

E. Pengertian Tindak Pidana

Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan

tersebut.27

Adapun beberapa tokoh yang memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang

istilah “strafbaarfeit”atau tindak pidana, antara lain :

a) Simons berpendapat bahwa tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum

yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.28

b) Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, kata perbuatan dalam

perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang

merujuk pada dua kejadin yang konkret, yaitu:

1. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang

2. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu. 29

Jadi pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.30

27

Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm.71.

28

Tongat, Loc.cit, hlm.105.

29

Suharto RM, 1996, Hukum Pidana Materil, Jakarta , Sinar Grafika, hlm. 29

30

(44)

30

c) Pompe berpendapat, suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib

hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan

oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut

adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan

umum sebagai “denormovertreding (verstoring de rechtsorde), waaran

deovertrederschuldheeft en waarvan de bestraffing is voor de handhaving der

rechtsorde en de behartiging van het algemeenwelzijn”.31

d) Van Hattum, Perkataan “Strafbaar” itu berarti “voorsraaf in

aanmerkingkomend” atau “straafverdienend” yang juga mempunyai arti

sebagai pantas untuk dihukum, sehingga perkataan“strafbaarfeit” seperti yang

telah digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana itu secara “eliptis” haruslah diartikan sebagai suatu

“tindakan”, yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat

seseorang menjadi dapat dihukum atau suatu “feitterzake van hetwelkeen

person strafbaar is”.32

e) Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana

berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.33

f) Menurut Vos, Peristiwa pidana (strafbaar feit) adalah suatu kelakuan manusia

(menselijke gerdragring) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi

hukuman.34

31

P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.182

32

Ibid, hlm. 184.

33

(45)

g) Menurut Hukum Positif, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh

undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan

hukuman.35

F. Pengertian Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan

Pencurian dengan kekerasan (geweld) adalah suatu perbuatan mengambil barang

sesuatu, yang seluruhnya ataupun sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud

untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului, disertai atau diikuti

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud

mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan,

untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap

menguasai barang yang dicuri (Pasal 365 KUHP).36

Pasal 365 KUHP mengatur tentang pencurian khusus atau disebut juga “pencurian dengan kekerasan” (geweld). Unsur khusus atau istimewa yang ditambahkan pada pencurian biasa ialah “ mempergunakan kekerasan atau ancaman kekerasan”,

dengan dua macam maksud, yaitu :

1. Maksud untuk “mempersiapkan” pencurian yaitu, perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mendahului pengambilan barang. Misalnya mengikat

penjaga rumah, memukul dan lain-lain.

34

E Utrecht, 1986, Hukum Pidana 1, Bandung, Pustaka Tinta Mas, hlm. 251

35

Ibid, hlm. 253

36

(46)

32

2. Maksud untuk “mempermudah” pencurian yaitu pengambilan barang dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Misalnya : menodong

agar tidak melawan, sehingga pelaku dapat dengan leluasa mengambil

barang.37

Unsur- unsur dari Pasal tersebut yaitu :

1. Barang siapa;

Yang dimaksud dengan barang siapa adalah subjek hukum sebagai

pengemban atau pendukung hak dan kewajiban, meliputi subyek hukum

orang ( Natuurlije persoon ) maupun badan hukum (recht person) yang dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatanya yang dilakukannya.

2. Mengambil sesuatu barang yang seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain;

Yang dimaksud dengan mengambil dalam hal ini diartikan sebagai suatu

perbuatan yang dilakukan dengan atau tanpa alat yang mengakibatkan

berpindahnya suatu barang dalam penguasaan si pelaku, yang mana sewaktu

barang tersebut diambil, barang tersebut belum berada dalam kekuasaan si

pelaku.

3. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum;

Pengertian “dengan maksud” dalam konteks keseluruhan unsur ini merujuk pada konsep “ kesengajaan “ (opzettelijke) yang secara umum maknanya meliputi arti dari istilah “menghendaki” (willen) dan “mengetahui” (wetens),

dalam arti bahwa pelaku memang menghendaki terjadinya perbuatan tersebut

dan mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah melawan hukum yang

37 Ibid

(47)

dilarang oleh undang-undang, serta si pelaku mengetahui pula akibat yang

timbul dari perbuatan itu.

4. Yang didahului, disertai atau diikuti dengan keakerasan atau ancaman

kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau

mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk

memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap

menguasai barang yang dicuri yang dilakukan dijalan umum.

(48)

34

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian data penelitian ini digunakan pendekatan

secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Yuridis Normatif adalah

suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data

dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta

peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan

penulisan skripsi ini. Sedangkan Pendekatan Yuridis Empiris dilakukan untuk

mempelajari hukum dan kenyataan yang ada serta penegakan hukum di Indonesia.

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada data sekunder dan

data primer. Data primer adalah data-data yang diperoleh dari hasil penelitian

langsung di lapangan yang berupa keterangan dari responden yang dilakukan

dengan cara observasi secara langsung.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara

membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku,

dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan

(49)

a. Bahan Hukum Primer, antara lain :

1) Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang berlakunya Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP)

3) Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia

4) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010

tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepolisian

Republik Indonesia

5) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012

tentang Penerbitan Rekomendasi Surat Tanda Nomor Kendaraan

Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Khusus dan Rahasia

Bagi Kendaraan Bermotor Dinas

6) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012

tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor

7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan (LLAJ)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan

hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan

(50)

36

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Literatur,

Kamus, Internet, Makalah dan lain-lain.

C. Penentuan Responden

Responden merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada

sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara “purposive

sampling” atau penarikan sampel yang bertujuan dilakukan dengan

caramengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu.1 Adapun Responden

dalam penelitian ini sebanyak 4 (empat) orang, yaitu :

Dalam penelitian ini diambil responden sebanyak 4 orang, yaitu :

1. Hakim Pengadilan Negeri Kalianda : 1 Orang

2. Jaksa Kejaksaan Negeri Kalianda : 1 Orang

3. Penyidik Kepolisisan Sektor Tegineneng : 1 Orang

4. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum UNILA : 1 Orang +

Jumlah : 4 Orang

1

(51)

D. Proses Pengumpulan dan Pengelolahan Data 1. Proses Pengumpulan Data :

a. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan dilakukan terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan

buku-buku literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang

sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan cara

membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisa lebih lanjut.

b. Studi Lapangan

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan wawancara

(interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan. Teknik wawancara dilakukan secara langsung dan

terbuka kepada narasumber.

2. Proses Pengelolahan Data

Keseluruhan Data yang telah diperoleh, baik dari kepustakaan maupun

penelitian lapangan kemudian diproses, diteliti kembali dan disusun kembali

secara seksama. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat

kesalahan- kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan serta belum lengkap dan lain

sebagainya, terhadap data yang telah diperoleh. Pengelolahan data yang

dilakukan dengan cara :

a. Pemeriksaan Data (Editing)

Data yang telah dikumpulkan baik data sekunder maupun data primer,

dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah data yang dibutuhkan

(52)

38

b. Pengelompokan Data (Klasifikasi)

Data yang sudah terkumpul dikelompokkan sesuai dengan jenis dan sifatnya

agar mudah dibaca selanjutnya dapat disusun secara sistematis.

c. Penyusunan Data (Sistematis Data)

Data yang sudah dikelompokan disusun secara sistematis sesuai dengan

pokok permasalahan konsep dan tujuan penelitian agar mudah dalam

menganalisis data.

E. Analisis Data

Proses analisis data adalah usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan

perihal pembinaan dan hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan.

Dalam proses analisis rangkaian data yang telah disusun secara sistematis dan

menurut klasifikasinya, diuraikan, dianalisis secara kualitatif dengan cara

merumuskan dalam bentuk uraian kalimat, sehingga merupakan jawaban. Pada

pengambilan kesimpulan dan hasil analisis tersebut penulis berpedoman pada cara

berfikir induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan atas fakta-fakta

(53)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dan telah dijelaskan

pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan yaitu :

1. Kedudukan barang bukti, barang bukti memiliki kedudukan sebagai

pendukung alat bukti yang sah, yang menguatkan alat bukti dalam peradilan,

karena barang bukti dan alat bukti pada hakekatnya dalam praktiknya tidak

dapat dipisahkan dalam upaya pembuktian meskipun sudah terpenuhinya

syarat minimum pembuktian tetapi kehadiran barang bukti pun penting,

secara jelas dipaparkan dalam Pasal 197 ayat (1) dan (2).

Barang bukti merupakan komponen yang sama pentingnya dengan alat bukti

yang sah. Dilihat dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa

apabila tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d,

e, f, g, h, i, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

2. Keabsahan barang bukti oleh Hakim dalam memutus perkara No. 215/

Pid.B/2013/PN.KLD. Pada kasus yang diteliti penulis, barang bukti yang

dihadirkan berupa dua buah pelat Nomor Polisi BE 7642 FQ dan dua buah

baju milik terdakwa. Terfokus pada barang bukti pelat Nomor Polisi tersebut,

(54)

70

Berdasarkan Pasal 39 ayat (5) Peraturan Kepala Kepolisian Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 yang mengatakan bahwa Tanda Nomor

Kendaraan Bermotor atau Pelat Nomor Polisi yang tidak dikeluarkan oleh

Korlantas Polri dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku.

Hakim dalam menilai keaslian barang bukti tersebut tidak terbatas pada

keterangan yang diberikan saksi-saksi dan keterangan terdakwa saja (Pasal

189 ayat (4)). Hal ini untuk menghindari penyelundupan orang-orang yang

benar-benar bersalah. Seandainya keterangan terdakwa mempunyai kekuatan

mengikat dan menentukan, akan banyak terjadi penyelewengan hukum dalam

bentuk menjatuhkan pidana kepada orang bukan pelaku tindak pidana.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka yang menjadi saran penulis adalah :

1. Kedudukan barang bukti dalam proses peradilan pidana, sebaiknya lebih

diperjelas melalui peraturan yang mengaturnya, sehingga dapat dijadikan

sebagai dasar hukum dalam pertimbangan hakim dalam memutus suatu

perkara, atau adanya peraturan khusus yang mengatur barang bukti. Sehingga

dalam pelaksanaannya untuk upaya pembuktian, tidak ada lagi kesenjangan.

2. Keabsahan barang bukti berdasarkan penilaian hakim, seharunya hakim lebih

cermat dalam menilai keabsahan barang bukti, bukan hanya meyakinkan

keyakinannya saja, tetapi juga harus memikirkan kerugian pihak korban, dan

(55)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Afiah, Ratna Nurul. 1989. Barang Bukti dalam Proses Pidana, Cetakan Pertama.

Jakarta.Sinar Grafika

Andrisman Tri. 2010.Hukum Acara Pidana. Bandarlampung.Universitas

Lampung

Chazawi Adam.2002. Pelajaran Hukum Pidana bagian I.Jakarta. Raja Grafindo

Persada

Hamzah Andi. 1986. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Sinar Grafik

---1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta

---2008.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika

Harahap Yahya.1993.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid

2. Jakarta .Sinar Grafika

---2006. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Edisi kedua.

Jakarta. Sinar Grafika

Kuffal HMA. 2010. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Ed.

Revisi.Jakarta. UMM Press

Lamintang P.A.F.1997.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.Bandung. Citra

Aditya Bakti

Mertokusumo Sudikno, A. Pitlo. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,

Cetakan Pertama .Jakarta. Citra Aditya Bakti

Manan Bagir. 2006. Hakim Dan Pemidanaan, Majalah Hukum Varia Peradilan

Nomor 249

Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi.

Rineka Cipta

Marpaung, Leden. 2009.Proses Penanganan Perkara Pidana.Jakarta.

Sinar Grafika

(56)

Soekanto Soerjono.2010.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press

Sasangka Hari, Lily Rosita. 2003.Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana.

Bandung .Mandar Maju

Sabuan Ansori, dkk.1990. Hukum Acara Pidana. Bandung. Angkasa

Tongat.2009.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif

Pembaharuan.Malang.UMM Press.

Tim Penyususn Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1997

Utrecht E.1986.Hukum Pidana 1. Bandung. Pustaka Tinta Mas

Waluyo Bambang. 1992.Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Cetakan

Pertama. Jakarta. Sinar Grafika

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981tentang Hukum Acara Pidana

Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Penerbitan Rekomendasi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Khusus dan Rahasia Bagi Kendaraan Bermotor Dinas

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor

(57)

http://www.hukumonline.com

http://nasional.kompas.com

Referensi

Dokumen terkait

Kesesuaian Penilaian Hakim tehadap Alat Bukti Visum Et Repertum Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Yang Dilakukan Secara Berencana pada Kasus Putusan

Nilai Pembuktian Short Message Service Sebagai Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Tindak Pidana Perjudian Toto Gelap... Dasar Pertimbangan Hakim Menilai Short Message

dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut; kedua , Pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah berdasarkan fakta. yang

Didalam Pasal 188 ayat (3) dijelaskan, “Penilaian atas kekuatan pembuktian suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan dan untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul: “KEKUATAN HUKUM PENGGUNAAN REKAMAN VIDEO SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA

Tujuan penulisan skripsi yang pertama adalah untuk mengetahui pencapaian rasa keadilan fungsi dan tujuan visum et repertum dalam Putusan No.999/Pid.B/2004/PN.BB,

Berdasarkan dari barang bukti tersebutlah Hakim dapat mengetahui bahwa benar terdakwa telah melakukan tindak pidana dan hal tersebut akan menjadi pertimbangan dalam