• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI BARANG BUKTI DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMERASAN (Studi Putusan Nomor 102/Pid/B/2016/PN.TJK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EKSISTENSI BARANG BUKTI DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMERASAN (Studi Putusan Nomor 102/Pid/B/2016/PN.TJK)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI BARANG BUKTI DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMERASAN

(Studi Putusan Nomor 102/Pid/B/2016/PN.TJK)

(Jurnal Skripsi)

Oleh

RIKE RIA ANGGRAINI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

EKSISTENSI BARANG BUKTI DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMERASAN

(Studi Putusan Nomor 102/Pid/B/2016/PN.TJK) Oleh

Rike Ria Anggraini, Maroni, Rini Fathonah Email: rikeriaanggraini@gmail.com.

Pembuktian merupakan suatu proses yang dapat dijadikan atau digunakan hakim menilai kesalahan terdakwa di dalam persidangan. Pembuktian dalam penanganan perkara pidana dilaksanakan dengan mengacu pada alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan Terdakwa. Issu hukum dalam Putusan Nomor 102/Pid/B/2016/PN.TJK. adalah terdapat kerancuan antara alat bukti dan barang bukti, yaitu uang tunai sebesar Rp 5.000.000,00 (Lima Juta Rupiah) tidak temasuk dalam alat bukti, sebagaimana diatur dalam pasal tersebut, sedangkan 1 (satu) lembar surat perjanjian termasuk dalam alat bukti yaitu petunjuk, namun demikian dalam perkara ini uang tunai dijadikan sebagai alat pembuktian pidana. Permasalahan dalam adalah: (1) Bagaimanakah eksistensi barang bukti dalam proses pembuktian tindak pidana pemerasan? (2) Bagaimanakah kekuatan hukum pembuktian dalam tindak pidana pemerasan yang didasarkan pada barang bukti? Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Eksistensi barang bukti dalam proses pembuktian tindak pidana pemerasan adalah berkedudukan sebagai salah satu alat bukti untuk memenuhi rumusan minimum pembuktian, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pemerasan. Seseorang dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana pemerasan apabila dapat dibuktikan berdasarkan adanya minimal dua alat bukti sah yang dapat meyakinkan Majelis Hakim mengenai perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur delik yang didakwakan oleh Penuntut Umum. (2) Kekuatan hukum pembuktian dalam tindak pidana pemerasan yang didasarkan pada barang bukti adalah putusan hakim memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat, sebagai putusan pengadilan tingkat pertama yang diajukan banding dan dikuatkan oleh pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

(3)

ABSTRACT

THE EXISTENCE OF EVIDENCE IN THE PROOFING PROCESS OF EXTORTION CRIME

(Study of Decision Number 102/Pid/B/2016/PN.TJK)

By

Rike Ria Anggraini, Maroni, Rini Fathonah Email: rikeriaanggraini@gmail.com.

Proof is a process that can be used or used by a judge to assess the defendant's mistake in the trial. The evidence in the handling of criminal cases shall be conducted by referring to the evidence instruments as regulated in Article 184 Paragraph (1) of the Criminal Procedure Code, namely witness statements, expert statements, letters, instructions and explanations of the Defendant. The legal issue in Decision Number 102 / Pid / B / 2016 / PN.TJK. There is confusion between evidence and evidence, ie cash of Rp 5.000.000,00 (Five Million Rupiah) is not included in the evidence, as stipulated in the article, while 1 (one) sheets of agreement are included in the evidence ie Instructions, however, in this case cash is used as a criminal evidence. The problems of this research are: (1) How is the existence of evidence in the proof of the criminal act of extortion? (2) How is the legal power of proof in the extortion offense based on the evidence? The problem approach used is juridical normative and empirical juridical approach. The research subjects consisted of the Attorney at the District Attorney of Bandar Lampung, the Judge at the Tanjung Karang District Court and the Criminal Law Academician of the Law Faculty of the University of Lampung. Data collection was done by literature study and field study, then the data were analyzed qualitatively. The results of the study and discussion show: (1) The existence of evidence in the proofing process of extortion crime is to serve as one of the evidence to fulfill the minimum definition of proof, so that the judge gets the conviction that the defendant has been found guilty of extortion. A person may be blamed for an extortion offense if it can be proven based on the existence of at least two valid evidences that can convince the Panel of Judges of the defendant's conduct to have fulfilled all elements of the offense charged by the Prosecutor. (2) The legal power of proof of extortion based on evidence is the judge's decision to have permanent and binding legal force, as a first-rate court decision filed by appeal and strengthened by an appeals court which is not appealed within the period stipulated by the law on criminal procedure.

(4)

I. Pendahuluan

Hakikat manusia selain sebagai makhluk individu adalah makhluk sosial, tidak ada satu manusia pun yang dapat melepaskan diri dari kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi dengan

sesamanya dalam rangka

mempertahankan kehidupannya. Manusia merupakan zoon politicon, artinya manusia selalu hidup bersama, sejak lahir hingga saat meninggal dunia, berada dalam pergaulan dengan manusia lainnya, seorang manusia tidak dapat menyendiri, mereka saling membutuhkan, saling memerlukan bagi pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan hidupnya dan semuanya ini dapat berlangsung secara bermasyarakat.1

Hukum dalam hal ini memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena hukum bukan hanya menjadi parameter untuk keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Hukum dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada

1

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

2001. hlm. 14.

waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukannya.2

Tindak pidana sebagai fenomena sosial bukan merupakan hal yang terjadi secara tidak sengaja atau hanya kebetulan belaka, karena pada dasarnya pelaku tindak pidana melakukan tindakan melawan hukum tersebut dipicu oleh berbagai faktor penyebab yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan secara erat. Tindak pidana merupakan perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-Undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.3

Salah satu contoh tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah pemerasan. Kata pemerasan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar, peras yang bisa bermakna meminta uang dan jenis lain dengan ancaman. Tindak pidana pemerasan ditentukan dalam Bab XXII Pasal 368 KUHP tentang Tindak Pidana Pemerasan yaitu:

“Barangsiapa dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang,

2

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11

3

(5)

yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau 2 supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan

tahun”. Tindak pidana pemerasan sebenarnya terdiri dari dua macam tindak pidana, yaitu tindak pidana pemerasan (afpersing) dan tindak pidana pengancaman (afdreiging). Kedua macam tindak pidana tersebut mempunyai sifat yang sama, yaitu suatu perbuatan yangbertujuan memeras orang lain. Justru karena sifatnya yang sama itulah kedua tindak pidana ini biasanya disebut dengan nama yang sama, yaitu "pemerasan" serta diatur dalam bab yang sama. Walaupun demikian, tidak salah kiranya apabila orang menyebut, bahwa kedua tindak pidana tersebut mempunyai sebutan sendiri, yaitu "pemerasan" untuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 368 KUHP.4

Ancaman pidana penjara maksimal sembilan (9) tahun pada kenyataannya masih belum mampu mencegah terjadinya tindak pidana pemerasaan dan membuat pelaku tindak pidana pemerasan menjadi jera. Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus pemerasan yang ada di dalam masyarakat, yaitu tindak pidana pemerasan terhadap M. Said Zakaria oleh Bandi Als Alan dan seorang temannya (belum tertangkap), karena M. Said Zakaria diduga telah

4

Kismadi, pemerasan pengancaman, 10

November 2016,

http://kismadi.blogspot.com/2013/01/-pemerasanpengancaman.html, 20.00 WIB

melakukan hubungan badan dengan Ayu (istri Bandi Als Alan) di sebuah Kamar Hotel Gading. Bandi kemudian mengancam akan melaporkan M. Said Zakaria Arif ke polisi apabila M. Said Zakaria Arif tidak menyerahkan sejumlah uang. Bandi Als Alan dan temannya mengancam akan membawa saksi M. Said Zakaria Arif dan saksi Agus Fuadi ke polisi ke Kantor Polsek Tanjung Karang Barat dan memaksa meminta uang sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).5 Isu hukum dalam penelitian ini adalah masih adanya kerancuan antara barang bukti tindak pidana dengan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan Terdakwa. Uang tunai sebesar sebesar Rp 5.000.000,00 (Lima Juta Rupiah) tidak temasuk dalam alat bukti, sebagaimana diatur dalam pasal tersebut sedangkan 1 (satu) lembar surat perjanjian termasuk dalam alat bukti yaitu petunjuk, namun demikian dalam perkara ini uang tunai dijadikan sebagai alat pembuktian pidana.6

Pembuktian pada dasrnya merupakan ketentuan yang berisi pengarisan atau pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, dimana pembuktian merupakan ketentuan hukum acara pidana yang dapat digunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan. Pembuktian memegang peranan penting dalam

5

Dirangkum dari Putusan Nomor 102/Pid/B/2016/PN. TJK

(6)

proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah ditentukan nasib seseorang terdakwa apakah ia benar-benar bersalah atau tidak.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP, diketahui bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukan.

Pembuktian dengan alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang apabila tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa, maka harus dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang sah. Melatar belakangi penulisan skripsi ini ialah bahwa dalam pembuktian tersebut eksistensi barang bukti dalam tindak pidana pemerasan dengan kekeasan sangatlah mutlak, karena barang bukti yang diajukan kemuka sidang pengadilan haruslah sah menurut hukum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah eksistensi barang bukti dalam proses pembuktian tindak pidana pemerasan?

b. Bagaimana kekuatan hukum pembuktian dalam tindak pidana pemerasan yang didasarkan pada barang bukti?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

II. Pembahasan

A. Eksistensi Barang Bukti dalam Proses Pembuktian Tindak Pidana Pemerasan

Sistem pembuktian yang dianut ketentuan Pasal 183 KUHAP itu bermakna bahwa keyakinan hakim ditemukannya dengan memeriksa minimal dua alat bukti yang sah (menurut KUHAP ada lima alat bukti). Keyakinan hakim ditujukan terhadap benar terjadinya tindak pidana dan benar bahwa terdakwa yang melakukannya. Dengan demikian, titik tolak keyakinan hakim diperoleh dari dua alat bukti terjadinya tindak pidana dan dua alat bukti itu juga membenarkan pelakunya adalah terdakwa.

Menurut Iros Beru7 keyakinan hakim adalah hakim dapat memutuskan seseorang bersalah sesuai dengan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang dilandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu, jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.

Majelis Hakim dalam Putusan Nomor: 102/ Pid/B/2016/PN.TJK mempertimbangkan barang bukti berupa uang tunai sebesar sebesar Rp 5.000.000,00 (Lima Juta Rupiah) dan 1 (satu) lembar surat perjanjian. Majelis hakim berkeyakinan bahwa terdakwa 7

(7)

melakukan tindak pid sebagaimana didakwa demikian maka terdak telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana Menurut Tri Joko Sucah penyelidikan, penyelidi wewenang untuk men dan barang bukti, selain bersama-sama penyidi menerima laporan segera dan melarang setiap meninggalkan tempat pemeriksaan itu belum se Barang bukti dalam sua memiliki kegunaan penti penegakan hukum yan oleh lembaga penegak dari kepolisian, ke pengadilan sebagai peradilan pidan menyelenggarakan pen pidana dalam kerangka di mana tindakan lem hukum yang satu mem dan tidak dapat dipisah dengan lembaga la peradilan pidana terseb untuk menanggulangi bertujuan mencegah mas korban kejahatan, meny kejahatan yang ter masyarakat puas bahwa ditegakkan dan yang be serta mengusahakan mer melakukan kejahatan ti lagi kejahatannya.

8

Hasil Wawancara dengan Jaksa pada Kejaksaan Neger Kamis 6 April 2017

pidana pemerasan kwakan. Dengan dakwa dinyatakan ah dan meyakinkan dana pemerasan. ucahyo8 pada proses

lidik mempunyai encari keterangan lain itu penyelidik idik yang telah era datang ke TKP ap orang untuk pat itu selagi

selesai.

uatu tindak pidana nting dalam upaya gka kerja sitematik, lembaga penegak emiliki kaitan erat ahkan dari kinerja lainnya. Sistem hwa keadilan telah bersalah dipidana ereka yang pernah n tidak mengulangi

an Tri Joko Sucahyo. geri Bandar Lampung.

(8)

Surat perjanjian berperan dalam tahap sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, bahwa terdapat ada 5 (lima) alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam hal ini surat dijadikan sebagai barang bukti yaitu petunjuk mengenai terjadinya tindak pidana pemerasan tersebut.

Menurut Iros Beru9 Majelis Hakim dalam persidangan tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Majelis hakim menimbang bahwa terhadap barang bukti yang diajukan di persidangan untuk selanjutnya dipertimbangkan yaitu uang tunai sebesar Rp. 5.000.000,00 dan surat perjanjian sebagai petunjuk yang dapat membuat hakim menjadi yakin terhadap kesalahan terdakwa. Selain itu selama dipersidangan Terdakwa telah mengakui perbuatannya dan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai dasar untuk menentukan berat atau ringannya hukuman terdakwa sebagaimana termuat dalam amar putusan. Untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa. Keadaan yang memberatkan adalah perbuatan 9

Hasil Wawancara dengan Iros Beru. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Selasa 4 April 2017.

Terdakwa merugikan korban secara materi dan keadaan yang meringankan adalah terdakwa bersikap sopan selama proses persidangan, belum pernah dihukum, mengakui dan menyesali perbuatannya.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis menganalisi bahwa dasar pertimbangan hukum hakim terhadap kekuatan alat bukti uang tunai dan Surat perjanjian yang dijadikan petunjuk dalam Putusan Nomor: 102/Pid/B/2016/PN.TJK, sesuai dengan teori dasar pertimbangan hakim menurut Mackenzie dalam buku Ahmad Rifai, khususnya teori keseimbangan. Adapun yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa.10

Surat perjanjian yang dijadikan petunjuk

dalam Putusan Nomor:

102/Pid/B/2016/PN.TJK termasuk dalam alat bukti surat yang memenuhi syarat materiil, selain itu adanya kesesuaian alat bukti uang tunai dan Surat perjanjian dengan keterangan para saksi dan keterangan terdakwa. Dengan demikian maka dasar pertimbangan hukum hakim terhadap kekuatan alat bukti berupa uang tunai dan surat perjanjian yang dijadikan petunjuk dalam Putusan Nomor: 102/Pid/B/2016/PN.TJK memenuhi rumusan minimum pembuktian dan memperoleh keyakinan bahwa terdakwa 10

(9)

terbukti bersalah melakukan tindak pidana pemerasan. Seseorang dapat dipersalahkan melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam delik pemerasan apabila dapat dibuktikan berdasarkan adanya minimal 2 (dua) alat bukti sah yang karenanya dapat meyakinkan Majelis Hakim mengenai perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur delik yang didakwakan oleh Penuntut Umum. B. Kekuatan Hukum Pembuktian

dalam Tindak Pidana Pemerasan yang Didasarkan Pada Barang Bukti

Putusan Nomor 102/Pid/B/2016/ PN.TJK, memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat. Hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang menyatakan bahwa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah:

a) Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Hukum Acara Pidana;

b) Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau

c) Putusan kasasi.

Sesuai dengan ketentuan di atas maka suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah: pertama, Putusan

pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 Ayat (2)jo.Pasal 234 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP). Kedua, putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 Ayat (1) jo. Pasal 246 Ayat (1) KUHAP).KetigaPutusan kasasi. Tri Joko Sucahyo11menyatakan selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.

Putusan yang diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Permintaan untuk dilakukan 11

(10)

peninjauan kembali justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 Ayat (1) KUHAP. Berdasarkan uraian di atas maka penulis menganalisis bahwa kekuatan hukum putusan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan berdasarkan alat bukti uang tunai dan Surat perjanjian yang dijadikan petunjuk dalam Putusan Nomor: 102/Pid/B/2016/PN.TJK, sesuai dengan teori pembuktian. Salah satu asas umum Peradilan menurut Leden Marpaung adalah asas praduga tidak bersalah (presumption innonsence) yang dirumuskan pada butir c Penjelasan Umum KUHAP bahwa setiap orang yang disangka atau dihadapkan di muka sidang Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.12

Seorang Hakim dianggap sudah mengetahui hukum, sehingga dituntut untuk dapat menerima dan mengadili berbagai perkara yang diajukan kepadanya. Bahkan seorang hakim dapat dituntut jika menolak sebuah perkara yang diajukan kepadanya. Sebagai seorang penegak hukum, maka seorang hakim mempunyai fungsi yang penting 12

Leden Marpaung,Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika,Jakarta, 1992, hlm. 26.

dalam menyelesaikan sebuah perkara, yakni memberikan putusan terhadap perkara tersebut. Namun dalam memberikan putusan tersebut, hakim itu harus berada dalam keadaan yang bebas. Bebas maksudnya ialah hakim bebas mengadili, tidak dipengaruhi oleh apapun atau siapapun.hal ini menjadi penting karena jika hakim memberikan putusan karena dipengaruhi oleh suatu hal lain di luar konteks perkara maka putusan tersebut tida mencapai rasa keadilan yang diinginkan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang hakim, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh sorang hakim. Syarat-syarat tersebut ialah tangguh, terampil dan tanggap. Tangguh artinya tabah dalam menghadapi segala keadaan dan kuat mental, terampil artinya mengetahui dan menguasai segala peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan masih berlaku, dan tanggap artinya dalam melakukan pemeriksaan perkara harus dilakukan dengan cepat, benar serta menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat.

(11)

usaha menemukan siapakah yang melakukan perbuatan tersebut.

Sesuai dengan uraian di atas maka diketahui bahwa kekuatan hukum putusan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan berdasarkan alat bukti uang tunai dan Surat perjanjian yang dijadikan petunjuk dalam Putusan Nomor: 102/Pid/B/2016/PN.TJK adalah putusan hakim memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat, sebagai putusan pengadilan tingkat pertama yang diajukan banding dan dikuatkan oleh pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

III. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Eksistensi barang bukti dalam proses pembuktian tindak pidana pemerasan adalah berkedudukan sebagai salah satu alat bukti untuk memenuhi rumusan minimum pembuktian, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pemerasan. Seseorang dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana pemerasan apabila dapat dibuktikan berdasarkan adanya minimal dua alat bukti sah yang dapat meyakinkan Majelis Hakim mengenai perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur delik yang didakwakan oleh Penuntut Umum.

2. Kekuatan hukum pembuktian dalam tindak pidana pemerasan yang didasarkan pada barang bukti adalah putusan hakim memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat, sebagai putusan pengadilan tingkat pertama yang diajukan banding dan dikuatkan oleh pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hakim agar secara konsisten menjadi suatu objek sebagai barang bukti atau alat bukti sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184

KUHAP, sehingga tidak

menimbulkan kerancuan dalam mementukan dan membuktikan kesalahan yang didakwakan terhadap pelaku tindak pidana.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung.

_______. 1996. Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung.

Hamzah, Andi. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

_______. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 1998. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta. Kusumaatmadja, Mochtar. 1986.

Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung. Kelana, Momo. 1981. Hukum

Kepolisian. PTIK. Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1978. Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, BPHN-Binacipta, Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Adityta Bakti. Bandung,

Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika.Jakarta.

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.

_______. 2002. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta.

Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta. _______. 1993. Perbuatan Pidana dan

Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984. Teori-Teori Kebijakan Hukum Pidana,Alumni, Bandung. Mulyadi, Lilik.2007. Asas Pembalikan

Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi

(13)

Nawawi Arief, Barda. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

_______.2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan PenanggulanganKejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. _______. 2009. RUU KUHP Baru

Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Raharjo, Satjipto. 1996. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional.Rajawali. Jakarta. Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem

Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta:

Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum

oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

_______. 1986. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

Yanuar, Arifin, 2012. Perkembangan Kejahatan (Suatu Tinjauan Kitab Undang Undang Hukum Pidana), Pustaka Ilmu Bandung. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun

1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Sumber Lain

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Balai Pustaka

Kismadi, pemerasan pengancaman, 10

November 2016,

http://kismadi.blogspot. com /2013/01/pemerasan

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS PENERIMAAN MAHASISWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA TERHADAP NILAI-NILAI TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA DAN PLURALISME.. DALAM FILM ”?”

- Jawaban dibuktikan dengan dokumen rapat kelulusan seperti undangan, daftar hadir, notula rapat) yang dihadiri oleh guru kelas, guru mata pelajaran,

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Pemberlakuan Komitmen pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan Izin Usaha atau

The results of students’ basic science process skills based on gender shows that male students did outperform female students in some indicators and categories but it is

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Web yang dikhususkan bagi para remaja ini, merupakan media informasi yang dapat memberi jawaban dari pertanyaan para remaja mengenai segala sesuatu yang terjadi di lingkungan

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak