2014
Oleh
JAYA NDARU PRASETIO
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
KORELASI USIA DENGAN RASIO KELENJAR DAN STROMA PADA PASIENBENIGN PROSTATE HYPERPLASIA DI RSUD DR. H. ABDUL MOELEOK PROVINSI LAMPUNG PERIODE AGUSTUS 2012 – JULI
2014
JAYA NDARU PRASETIO ABSTRAK
Benign Prostate Hyperplasia atau BPH merupakan pembesaran nodular kelenjar yang disebabkan oleh hiperplasia dari kelenjar dan stroma pada prostat. Angka kejadian dari penyakit ini meningkat seiring dengan peningkatan usia yaitu: 8% pada usia 30−40 tahun, 40−50% pada 51−60 tahun, dan >80% pada >80 tahun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui korelasi usia dengan rasio kelenjar dan stroma pada pasien BPH di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung periode Agustus 2012−Juli 2014.
Penelitian ini menggunakan data rekam medik Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Dr. H. Abdul Moeloek. Sampel penelitian merupakan semua kasus BPH yang memenuhi kriteria inklusi dan dihitung menggunakan rumus Slovin, berjumlah 92 sampel.
Disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara usia dengan rasio kelenjar dan stroma pada pasien BPH dengan nilai p sebesar 0,001, koefisien korelasi lambda 0,647, arah korelasi positif dan kekuatan korelasi yang kuat.
2014
JAYA NDARU PRASETIO
ABSTRACT
Benign prostate hyperplasia or BPH is an enlargement of nodular gland caused by prostate gland and stroma hyperplasia. Incidence of this disease is increased along with age, 8% at 30−40 years old, 40−50% at 51−60 years old, and >80% at >80 years old. Aim of this study is to know the corellation between age and ratio of gland and stroma on benign prostate hyperplasia patient in RSUD Dr.H.Abdul Moeloek Lampung Province period of August 2012 to July 2014.
Data of this study obtained from medical record of Anatomical Pathology laboratory in RSUD Dr. H. Abdul Moeloek. There were 92 samples in this study. There is a significant correlation of age and gland and stroma ratio on BPH patient with p value is 0.001, correlation coefficient is 0.647, positive, and strong correlation.
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, Provinsi Lampung pada tanggal 7 Februari 1993, sebagai anak pertama dari empat bersaudara, dari Bapak dr. Wien Wiratmoko GTP, Sp.PA dan Ibu Yuniastini, SKM, M.Kes.
Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Al-Mutaqien Surabaya diselesaikan tahun 1998, Sekolah Dasar (SD) diseleseikan di SD Hang Tuah 6, Surabaya pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 18 Surabaya pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas di SMAN 9 Bandar Lampung pada tahun 2010.
Wahai Orang-orang Yang Beriman! Bertakwalah Kepada Allah dan
Hendaklah Setiap Orang Memperhatikan Apa Yang Telah
Diperbuatnya Untuk Hari Esok (Akhirat), dan Bertakwalah kepada
Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti Terhadap Apa Yang Kamu
Kerjakan
(QS. Al-Hasyr: 18)
Ku persembahkan karya ini untuk Ayah dan Ibu tercinta
DAFTAR ISI
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.5 Kerangka Penelitian ... 5
1.5.1 Kerangka Teori ... 5
1.5.2 Kerangka Konsep ... 6
1.6 Hipotesis ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Kelenjar Prostat ... 7
2.1.1 Anatomi Kelenjar Prostat ... 7
2.1.2 Histologi Kelenjar Prostat. ... 10
2.1.3 Fisiologi Kelenjar Prostat ... 11
2.2 Benign Prostate Hyperplasia ... 12
xiii
2.2.8 Pemeriksaan Penunjang ... 25
2.2.9 Penatalaksanaan ... 31
III. METODE PENELITIAN ... 41
3.1 Jenis Penelitian ... 41
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 41
3.3 Populasi dan Sampel ... 41
3.4 Teknik Sampling... 42
3.5 Variabel Penelitian ... 43
3.6 Rancangan Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 43
3.6.1 Pengumpulan Data ... 43
3.6.2 Pengolahan Data ... 43
3.7 Definisi Operasional Variabel ... 44
3.8 Alur Penelitian ... 45
3.9 Analisis Data... 45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47
4.1 Hasil Penelitian ... 47
4.1.1 Analisis Univariat ... 49
4.1.2 Analisis Bivariat ... 51
4.2 Pembahasan ... 52
4.2.1 Kejadian BPH Berdasarkan Usia ... 52
4.2.2 Kejadian BPH Berdasarkan Gambaran Histopatologi... 53
4.2.3 Korelasi Usia Dengan Rasio Kelenjar Dan Stroma ... 54
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 56
5.1 Kesimpulan ... 56
5.2 Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 57
DAFTAR TABEL
Daftar Tabel Halaman
1. Derajat Penyakit BPH ... 19
2. Definisi Operasional ... 44
3. Kejadian BPH Berdasarkan Usia dan Gambaran Histopatologi ... 51
DAFTAR GAMBAR
Daftar Gambar Halaman
1. Kerangka Teori ... 5
2. Kerangka Konsep ... 6
3. Anatomi Kelenjar Prostat ... 8
4. Persarafan Otonom ... 9
5. Histologi Kelenjar Prostat ... 11
6. Prostat Normal dan BPH ... 12
7. Patogenesis BPH ... 14
8. Perubahan Testosteron Menjadi Dihidrotestosteron ... 15
9. Pengaruh BPH Pada Saluran Kemih ... 20
10. Mikroskopik BPH ... 22
11. Transrectal Ultrasonography ... 29
12. Transurethra Resection of Prostate ... 38
13.Alur Penelitian ... 45
14.Kejadian BPH Periode Agustus 2012−Juli 2014 ... 47
15.Dominan Kelenjar ... 48
16.Kelenjar Sama Dengan Stroma ... 48
17.Dominan Kelenjar ... 49
18.Kasus BPH Berdasarkan Usia ... 49
Daftar Lampiran Halaman
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Angka harapan hidup penduduk di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pada tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk
Indonesia sebanyak 225.642 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2010 sebanyak 237.641 juta jiwa. Peningkatan sebanyak 11.999 juta jiwa terjadi dalam kurun
waktu tiga tahun. Di Provinsi Lampung, jumlah penduduk pada tahun 2000 sebanyak 6.730 juta jiwa dan pada tahun 2010 melonjak hingga 7.608 juta jiwa dengan jumlah laki-laki pada tahun 2010 sebanyak 3.916 juta jiwa
(Badan Pusat Statistik Indonesia, 2012). Peningkatan usia harapan hidup tentunya akan meningkatkan kejadian kesakitan pada laki-laki, salah satu pernyakit yang persentasenya meningkat seiring dengan peningkatan usia
adalah Benign Prostate Hyperplasia atau BPH.
Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Pembesaran prostat jinak merupakan
penyakit tersering kedua pada kelenjar prostat di klinik urologi di Indonesia. Kelenjar periuretra mengalami pembesaran, sedangkan jaringan prostat asli
seiring dengan bertambahnya usia, sebab BPH erat kaitannya dengan proses
penuaan (Amalia, 2007).
Pembesaran prostat dianggap sebagai bagian dari proses pertambahan usia, seperti halnya rambut yang memutih. Oleh karena itulah dengan
meningkatnya usia harapan hidup, meningkat pula prevalensi BPH. Office of Health Economic Inggris telah mengeluarkan proyeksi prevalensi BPH bergejala di Inggris dan Wales beberapa tahun ke depan. Pasien BPH bergejala yang berjumlah sekitar 80.000 pada tahun 1991, diperkirakan akan meningkat menjadi satu setengah kalinya pada tahun 2031 (IAUI, 2003).
Penyakit ini ditandai dengan hiperplasia kelenjar dan stroma prostat sehingga mengakibatkan pembesaran pada prostat dengan nodul di daerah periuretra prostat yang dapat bertambah besar dan mempersempit saluran uretra sehingga
dapat menyebabkan obstruksi uretra. Penyakit BPH sampai saat ini masih menjadi problem kesehatan di bidang urologi yang selalu dibahas oleh pakar nasional maupun internasional karena jumlahnya yang semakin meningkat
sesuai dengan semakin meningkatnya angka harapan hidup di dunia termasuk di Indonesia.Umumnya proses hiperplasia mulai pada umur 30 tahun, dengan
kejadian 8% pada laki-laki 30−40 tahun, 40−50% pada laki-laki berumur 51−60 tahun dan pada umur lebih dari 80 tahun angka kejadian lebih dari
80%. Pada umur 30−40 tahun terjadi hiperplasia mikroskopis, 40−50 tahun
3
Di Amerika Serikat hampir 1/3 laki-laki berumur 40−79 tahun mempunyai
gejala traktus urinarius bagian bawah sedang sampai berat dengan penyebab utama adalah BPH. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum
pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran kejadian di dua rumah sakit besar di Jakarta yaitu Cipto Mangunkusumo dan Sumberwaras selama tiga tahun (1994−1997) terdapat 1040 kasus (Kidingallo dkk., 2011).
Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, tetapi sampai saat ini berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria, terutama testosteron, sedangkan kadar estrogen relatif tetap
sehingga terjadi proliferasi sel-sel kelenjar prostat maupun sel stroma (Amalia, 2007). Oleh karena itu, peneliti mencoba melihat kembali adakah korelasi usia
dengan rasio kelenjar dan stroma pada pasien BPH.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka penulis menetapkan perumusan masalah adalah apakah terdapat korelasi usia dengan rasio kelenjar dan stroma pada pasien BPH di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung periode Agustus 2012−Juli 2014.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi usia dengan rasio kelenjar
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak terkait antara lain:
1.4.1 Penulis
Dapat mengetahui korelasi usia dengan rasio kelenjar dan stroma pada pasien hiperplasia prostat di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung periode Agustus 2012−Juli 2014 sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang ilmu Patologi Anatomi dan Urologi serta penerapan ilmu metodologi penelitian yang telah didapatkan
selama kuliah.
1.4.2 Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai data untuk
penelitian lebih lanjut yang lebih spesifik.
1.4.3 Pembaca
Memberikan informasi mengenai korelasi usia dengan rasio kelenjar dan stroma pada pasien BPH di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi
5
1.5 Kerangka Penelitian 1.5.1 Kerangka Teori
Kerangka teori mengenai korelasi usia dengan rasio kelenjar dan stroma
pada pasien BPH disajikan pada gambar 11.
1.5.2 Kerangka Konsep
Kerangka konsep mengenai korelasi usia dengan rasio kelenjar dan stroma pada pasien BPH disajikan pada gambar 12.
1.6 Hipotesis Ho:
Tidak terdapat korelasi antara usia dengan rasio kelenjar dan stroma pada
pemeriksaan histopatologi pasien BPH.
H1:
Terdapat korelasi antara usia dengan rasio kelenjar dan stroma pada
pemeriksaan histopatologi pasien BPH.
BPH Usia ↑
Gambar 12. Kerangka konsep Peningkatan kelenjar di
prostat ↑
<51tahun
51−60 tahun
>60 tahun
Peningkatan sel stroma di prostat ↑
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelenjar Prostat
2.1.1 Anatomi Kelenjar Prostat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti
buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2012).
Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior
dari prostat berhubungan dengan vesika urinaria, sedangkan bagian inferior bersandar pada diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat
Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai
menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan
kandung kemih, uretra, vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul sehingga uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat terobek bersama diafragma bila terjadi cedera.
Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur (Sjamsuhidajat dkk., 2012).
Selain mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat mengandung
cukup banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot polos. Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh
9
hipogastrik, sacral, obturator, dan iliaka eksterna (Sjamsuhidajat dkk.,
2012).
Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteria vesicalis inferior dan arteria rectalis media, cabang arteria iliaca interna. Vena-vena bergabung membentuk plexus venosus prostaticus sekeliling sisi-sisi dan alas prostat. Plexus venosus prostaticus yang terletak antara kapsula fibrosa dan sarung prostat, ditampung oleh vena iliaka interna. Plexus venosus prostaticus juga berhubungan dengan plexus venosus vesicalis dan plexus venosi vertebrales. Pembuluh limfe terutama berakhir pada nodi lymphoidei iliaci interni dan nodi lymphoidei externi (Moore & Agur, 2002). Persarafan otonom pada testis, duktus deferens, prostat dan
vesikula seminalis disajikan pada gambar 2.
2.1.2 Histologi Kelenjar Prostat
Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua lapis sel, bagian basal adalah epitel kuboid yang ditutupi oleh lapisan sel sekretori
kolumnar. Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma fibromuskular. Hormon androgen testis berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel-sel prostat (Kumar dkk., 2007).
Prostat merupakan suatu kumpulan 30−50 kelenjar tubuloalveolar yang bercabang. Duktusnya bermuara ke dalam uretra pars prostatika, yang menembus prostat. Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara
lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periurethra. Zona perifer adalah zona yang paling
besar, yang terdiri dari 70% jaringan kelenjar sedangkan zona sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona transisional hanya terdiri dari 5% jaringan kelenjar. Sebagian besar kejadian BPH terdapat pada zona
transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer (Junqueira & Carneiro, 2007).
Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat silindris
atau kuboid. Stroma fibromuskular mengelilingi kelenjar-kelenjar. Prostat dikelilingi suatu simpai fibroelastis dengan otot polos. Septa dari simpai ini menembus kelenjar dan membaginya dalam lobus-lobus yang
11
(Junqueira & Carneiro, 2007). Histologi kelenjar prostat disajikan pada
gambar 3.
Gambar 3. Histologi kelenjar prostat (Sumber: Junqueira & Carneiro, 2007).
2.1.3 Fisiologi Kelenjar Prostat
Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan
profibrinolisin. Selama pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah jumlah semen lebih
banyak lagi. Sifat cairan prostat yang sedikit basa mungkin penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif
asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme sperma, dan sebagai akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma. Selain itu, sekret
vagina bersifat asam (pH 3,5−4). Sperma tidak dapat bergerak optimal
sampai pH sekitarnya meningkat menjadi 6−6,5. Akibatnya, cairan
seminalis lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan
fertilitas sperma (Guyton & Hall, 2008; Sherwood, 2011).
2.2 Benign Prostate Hyperplasia
Benign Prostate Hyperplasia adalah nama yang biasa digunakan untuk kelainan jinak umum dari prostat, ketika meluas, mengakibatkan berbagai tingkat obstruksi saluran kemih, kadang-kadang membutuhkan intervensi
bedah. Istilah hiperplasia nodular, seperti yang diusulkan oleh Moore dalam studi klasiknya, adalah sebutan yang lebih tepat. Penyakit ini merupakan pembesaran nodular kelenjar yang disebabkan oleh hiperplasia
dari kedua kelenjar dan komponen stromanya (Rosai, 2004). Perbandingan prostat normal dan BPH disajikan pada gambar 4.
13
2.2.1 Epidemiologi
Di Amerika Serikat hampir 1/3 laki-laki berumur 40−79 tahun mempunyai gejala traktus urinarius bagian bawah sedang sampai berat
dengan penyebab utama adalah BPH. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran kejadian dua rumah sakit besar di Jakarta yaitu Cipto Mangunkusumo dan
Sumberwaras selama tiga tahun (1994−1997) terdapat 1040 kasus (Kidingallo dkk., 2011).
2.2.2 Etiopatogenesis
Saat ini, tidak ada konsensus tentang etiologi BPH. Ada banyak pendapat, seperti perubahan fungsi urodinamik karena meningkatnya
uretra angulasi prostat. Beberapa telah mengidentifikasi peristiwa molekuler, seperti peningkatan stress oksidatif, kerusakan iskemik akibat gangguan pembuluh darah, hilangnya regulator negatif kontrol siklus sel,
atau perubahan kadar hormon terkait usia. Namun, sebagian besar postulasi etiologi mengarah ke peradangan prostat sebagai inisiator BPH. Meskipun masih belum ada kesepakatan apakah peradangan hanyalah
sebuah kejadian paralel atau penyebab langsung, beberapa dalam penelitian telah menemukan hubungan yang signifikan antara
Gambar 5. Patogenesis BPH (Sumber: Kumar dkk., 2010).
Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah:
a. Teori Dihidrotestosteron
Untuk pertumbuhan sel kelenjar prostat sangat dibutuhkan suatu
metabolit androgen yaitu dihidrotestosteron atau DHT.
Dihidrotestosteron dihasilkan dari reaksi perubahan testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. Dihidrotestosteron yang telah berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
15
pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2012). Perubahan testosteron
menjadi dihidrotestosteron oleh enzim 5α-reduktase disajikan pada gambar 6.
NADPH NADP
Testosteron Dihidrotestosteron
5α-reduktase
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal (Purnomo, 2012).
b. Teori Ketidakseimbangan Estrogen dan Testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen
dan testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel prostat
terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat menjadi lebih besar (Purnomo, 2012).
c. Teori Interaksi Stroma dan Epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma (Purnomo, 2012).
d. Berkurangnya Kematian Sel Prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya
sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel-sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom (Purnomo,
2012).
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai
17
prostat. Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti
faktor-faktor yang menghambat proses apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGF-β berperan dalam proses
apoptosis (Purnomo, 2012).
e. Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apotosis, selalu
dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu suatu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi
sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis.
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel kelenjar (Purnomo, 2012).
2.2.3 Faktor Resiko
Dalam penelitian terakhir, pengaruh makanan terhadap pembesaran prostat telah menjadi kontroversi. Menurut sebuah studi yang
meningkatkan risiko BPH, dan tingginya konsumsi sayuran dikaitkan
dengan penurunan risiko BPH. Lycopene dan suplemen dengan vitamin D bisa menurunkan risiko pembesaran prostat, tetapi vitamin C, vitamin
E, dan selenium dilaporkan tidak ada hubungannya dengan BPH. Aktivitas fisik juga terbukti mengurangi kemungkinan pembesaran prostat dan Lower Urinary Tract Symptom (LUTS). Dalam meta-analisis
yang terdaftar 43.083 pasien laki-laki, intensitas latihan itu terkait dengan pengurangan risiko pembesaran prostat. Sebuah korelasi negatif
antara asupan alkohol dan pembesaran prostat telah ditunjukkan dalam banyak studi penelitian (Yoo & Cho, 2012).
Pria yang mengkonsumsi alkohol secara sedang memiliki risiko 30%
lebih kecil kemungkinan terjadi gejala BPH, 40% lebih kecil kemungkinan untuk mengalami transurethral resection prostate, dan 20% lebih kecil kemungkinan mengalami gejala nokturia. Namun, dalam
meta-analisis dari 19 studi terakhir, menggabungkan 120.091 pasien, pria yang mengkonsumsi 35 gram atau lebih alkohol per hari dapat menurunkan risiko BPH sebesar 35% tetapi peningkatan risiko LUTS
dibandingkan dengan pria yang tidak mengkonsumsi alkohol (Yoo & Cho, 2012).
2.2.4 Klasifikasi
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO Prostate Symptom
19
skor 20−35 (Sjamsuhidajat dkk, 2012). Selain itu, ada juga yang
membaginya berdasarkan gambaran klinis penyakit BPH. Derajat penyakit BPH disajikan pada tabel 1.
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat, batas atas
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau LUTS
yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Purnomo, 2012).
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
Ginjal dan ureter
atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2012). Pengaruh BPH pada saluran
kemih disajikan pada gambar 7.
Benign Prostate Hyperplasia
- Divertikel buli-buli
Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan intervensi untuk
membuka jalan keluar urin. Metode yang mungkin adalah prostatektomi parsial, Transurethral Resection of Prostate (TURP) atau insisi prostatektomi terbuka, untuk mengangkat jaringan periuretral hiperplasia
insisi transuretral melalui serat otot leher kandung kemih untuk memperbesar jalan keluar urin, dilatasi balon pada prostat untuk
21
memperbesar lumen uretra, dan terapi antiandrogen untuk membuat
atrofi kelenjar prostat (Price & Wilson, 2012).
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap kelenjar. Pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar adalah 2:1,
pada BPH, rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan
prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat (Purnomo, 2012).
2.2.6 Patologi
Patologis BPH ditandai dengan pertumbuhan kelenjar hiperplastik dan stroma yang bergabung menjadi nodul mikroskopis dan makroskopis di
kelenjar prostat. Ada lima jenis umum dari nodul BPH, yaitu
Fibromyoadenomatous (umum), Fibroadenomatous, Fibrous/
fibrovaskular, Fibromuskular, dan Muskular (jarang). Umumnya BPH
terdiri dari kelenjar (mengandung sebagian besar sel kelenjar prostat), campuran (mengandung stroma dan sel epitel kelenjar), dan stroma
(yang hanya berisi sel stroma). Nodul awal yang berkembang pada BPH ditemukan di daerah periuretra dan biasanya stroma, terdiri dari jaringan fibrosa dan beberapa otot polos. Pada beberapa kasus, nodul BPH dapat
ditemukan di zona perifer, yang dapat teraba dengan pemeriksaan colok dubur, dan biasanya terdiri dari unsur-unsur kelenjar epitel. Kurangnya
awal nodul BPH menyebabkan etiologi yang berbeda dari nodul stroma
dibandingkan dengan BPH komponen kelenjar. Ketika zona transisi membesar secara makroskopik, karena pertumbuhan BPH nodular,
keadaan ini dapat menghambat aliran urin melalui uretra prostat dan karenanya menjadi LUTS (Nicholson & Ricke, 2012). Mikroskopik BPH disajikan pada gambar 8.
Gambar 8. Mikroskopik BPH (Sumber: Kumar dkk., 2010).
2.2.7 Gejala Klinis
Gejala klinis hanya terjadi sekitar 10% pada laki-laki yang mengidap kelainan ini. Hal ini dikarenakan BPH mengenai bagian dalam prostat,
manifestasinya yang tersering adalah gejala obstruksi saluran kemih bawah (Kumar dkk., 2007).
Gejala klinis berkembang lambat karena hipertrofi detrusor kandung
kemih mengkompensasi untuk kompresi uretra. Seiring dengan osbtruksi berkembang, kekuatan pancaran urin menurun, dan terjadi
23
dan urgensi merupakan tanda klinis iritasi kandung kemih (mungkin
sebagai akibat peradangan atau tumor) dan biasanya tidak terlihat pada hiperplasia prostat. Ketika residual pasca-miksi bertambah, dapat timbul
nokturia dan overflow incontinence (Saputra, 2009).
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih, yaitu:
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala voiding, storage, dan pasca-miksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih bagian bawah, beberapa ahli dan organisasi urologi membuat sistem penilaian yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem penilaian yang
dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah Skor Internasional Gejala Prostat atau International Prostatic Symptom Score (IPSS) (Purnomo, 2012).
Sistem penilaian IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan
dengan keluhan miksi dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan miksi diberi nilai 0−5, sedangkan keluhan yang menyangkut
kualitas hidup diberi nilai 1−7. Dari skor IPSS itu dapat
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa
faktor pencetus, seperti volume kandung kemih tiba-tiba terisi penuh, yaitu pada saat cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama,
mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah yang berlebihan, massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah
melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut, setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi
otot detrusor atau dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain: golongan antikolinergik atau adrenergik alfa (Purnomo, 2012).
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), dan demam
yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis (Purnomo, 2012).
c. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra-abdominal (Purnomo, 2012).
25
disadari oleh pasien yaitu merupakan tanda dari inkontinensia
paradoksa. Pada colok dubur yang diperhatikan adalah tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan
buli-buli neurogenik, mukosa rektum, dan keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetrisitas antara lobus dan batas prostat (Purnomo, 2012).
Colok dubur pada pembesaran prostat jinak menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma
prostat, konsistensi prostat keras atau teraba nodul dan mungkin di antara prostat tidak simetri (Purnomo, 2012).
2.2.8 Pemeriksaan Penunjang a. Endapan Urin
Untuk memeriksa unsur-unsur pada endapan urin ini diperlukan pemeriksaan sedimen urin. Pemeriksaan tersebut merupakan salah
satu dari tiga jenis pemeriksaan rutin urin yaitu pemeriksaan makroskopis, pemeriksaan miskroskopis (pemeriksaan sedimen) dan
pemeriksaan kimia urin. Pada pemeriksaan makroskopis yang diperiksa adalah volume, warna, kejernihan, berat jenis, bau dan pH urin. Pemeriksaan kimia urin dipakai untuk pemeriksaan pH, protein,
Yang dimaksud dengan pemeriksaan mikroskopik urin yaitu
pemeriksaan sedimen urin. Ini penting untuk mengetahui adanya kelainan pada ginjal dan saluran kemih serta berat ringannya
penyakit. Pada BPH sendiri, unsur sedimen yang paling banyak terdapat antara lain adalah eritrosit, leukosit, dan bakteri. Keberadaan dari endapan urin ini mengiritasi dan dapat menyebabkan luka pada
dinding kandung kemih sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan mukosa. Hal ini lebih lanjut terlihat pada terjadinya hematuria makros
(darah pada urin). Terkumpulnya endapan urin yang lebih banyak dapat menyebabkan obstruksi aliran kemih sehingga lama kelamaan
menjadi tidak dapat mengeluarkan urin sama sekali (Hapsari, 2010).
b. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. Benign Prostate Hyperplasia yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, yaitu: karsinoma buli-buli insitu atau striktur uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya
kelainan. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urin, dan kalau terdapat
kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urin. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urin
27
c. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal
ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 3−30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal
(17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalis
0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin serum. Oleh karena itu pemeriksaan
faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas (IAUI, 2003).
d. Pemeriksaan Prostate Specific Antigen
Prostate Specific Antigen (PSA) disintesis oleh sel epitel kelenjar prostat dan bersifat organ spesifik tetapi bukan kanker spesifik. Serum PSA dapat dipakai untuk mengetahui perjalanan penyakit dari BPH, dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti pertumbuhan volume
prostat lebih cepat, keluhan akibat BPH atau laju pancaran urin lebih buruk, dan lebih mudah terjadinya retensi urin akut. Pertumbuhan
volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Semakin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat.
Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2−1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar
ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Kadar PSA di dalam serum dapat
mengalami peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urin akut, kateterisasi,
keganasan prostat, dan usia yang makin tua (IAUI, 2003).
e. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urin selama proses
miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi,
pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.
Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah urin yang dikemihkan, serta terdapat variasi individual yang cukup besar. Oleh karena itu hasil uroflometri menjadi bermakna jika volume urin (>150 mL) dan
diperiksa berulang kali pada kesempatan yang berbeda. Spesifisitas dan nilai prediksi positif Qmax untuk menentukan (Direct Bladder Outlet Obstruction (BOO) harus diukur beberapa kali. Untuk menilai ada tidaknya BOO sebaiknya dilakukan pengukuran pancaran urin 4 kali (IAUI, 2003).
f. Ultrasonografi (USG)
29
pada transduser untuk membantu diagnosis. Yang digunakan dalam bidang kedokteran antara 1−10 MHz (Hapsari, 2010).
Gelombang tersebut berjalan melewati tubuh dan dipantulkan kembali secara bervariasi, tergantung pada jenis jaringan yang terkena
gelombang. Dengan transduser yang sama, selain mengirimkan suara, juga menerima suara yang dipantulkan dan mengubah sinyal menjadi
arus listrik, yang kemudian diproses menjadi gambar skala abu-abu. Citra yang bergerak didapatkan saat transduser digerakkan pada tubuh. Potongan-potongan dapat diperoleh pada setiap bidang dan
kemudian ditampilkan pada monitor. Tulang dan udara merupakan konduktor suara yang buruk, sehingga tidak dapat divisualisasikan
dengan baik, sedangkan cairan memiliki kemampuan menghantarkan suara dengan sangat baik (Hapsari, 2010). Contoh hasil pemeriksaan TRUS disajikan pada gambar 9.
Pada pemeriksaan USG kelenjar prostat, zona sentral dan perifer
prostat terlihat abu-abu muda sampai gelap homogen. Sedangkan zona transisional yang terletak lebih anterior terlihat hipoekogenik
heterogen. Keheterogenan dan kehipoekogenikan tergantung dari variasi jumlah sel stromal dan epitelial kelenjar (Hapsari, 2010).
Zona transisional biasanya merupakan 5% bagian pada prostat
laki-laki muda. Akan tetapi dapat menjadi 90% bagian prostat pada pasien BPH. Dengan meningkatnya ukuran zona transisional, zona perifer dan sentral prostat menjadi tertekan ke belakang. Selain itu, zona
transisional yang membesar juga melebar ke arah distal sehingga menyebabkan overhanging apex zona perifer. Hal tersebut dapat dilihat melalui TRUS. Selain itu, melalui TAUS, dapat dilihat terdapat pembesaran lobus median prostat ke arah intra-vesikal (protrusi) dan gambaran residu urin dalam jumlah banyak (>40 cc)
(Hapsari, 2010).
g. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan suatu cara yang dilakukan
untuk melihat perubahan metabolisme dari perubahan jaringan yang terjadi. Pemeriksaan ini sangat penting dalam kaitan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis
31
Metode teknik pembuatan preparat histopatologi: (1) Organ yang
telah dipotong secara representatif dan telah difiksasi formalin 10% 3 jam; (2) Bilas dengan air mengalir 3−5 kali; (3) Dehidrasi dengan:
alkohol 70% selama 0,5 jam, alkohol 96% selama 0,5 jam, alkohol 96% selama 0,5 jam, alkohol absolut selama 1 jam, alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam; (4) Clearing:xylolI selama 1 jam, xylolII selama 1 jam; (5) Impregnansi dengan parafin selama 1 jam dalam oven suhu 65°C; (6) Pembuatan blok parafin: sebelum dilakukan pemotongan
blok parafin didinginkan dalam lemari es. Pemotongan menggunakan rotary microtome dengan menggunakan disposable knife. Pita parafin dimekarkan pada water bath dengan suhu 60°C. Selanjutnya dilakukan pewarnaan hematoksilin eosin (HE) (Muhartono dkk., 2013).
2.2.9 Penatalaksanaan
Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi
saja (Purnomo, 2012).
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat
keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi objektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari tanpa terapi
a. Tanpa terapi (watchful waiting)
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS <8 dan ≥8, tetapi gejala LUTS tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuau hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya tidak boleh mengkonsumsi kopi atau alkohol
sebelum tidur malam, kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat), dan hindari penggunaan obat
dekongestan atau antihistamin (McVary & Roehrborn, 2010; Purnomo, 2012)
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
keluhannya yang mungkin menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah buruk
daripada sebelumnya, mungkin dipikirkan untuk memilih terapi yang lain (Purnomo, 2012).
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi intravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik-α
(adrenergic α-blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai
komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
33
Selain kedua cara di atas, sekarang banyak dipakai obat golongan
fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas (Purnomo, 2012).
- Penghambat reseptor α-adrenergik
Fenoksibenzamin, yaitu penghambat alfa yang tidak selektif yang ternyata mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi
keluhan miksi (Purnomo, 2012).
Fenoksibenzamin mengikat reseptor alfa secara kovalen, yang menimbulkan penyekatan irreversibel berjangka lama (14−48 jam atau lebih lama). Obat ini cukup selektif terhadap reseptor α1, tetapi
lebih lemah dari prasozin. Obat ini juga menghambat ambilan kembali norepinefrin yang dilepas oleh ujung saraf presinaptik
adrenergik. Fenoksibenzamin menyekat reseptor histamin (H1), asetilkolin, dan serotonin seperti halnya reseptor α (Katzung, 2012).
Obat ini diserap per oral, walaupun biovailabilitasnya rendah dan sifat kinetiknya tidak diketahui dengan baik. Biasanya obat ini
diberikan per oral, dimulai dengan dosis rendah sebesar 10−20 mg/hari yang dapat dinaikkan sampai mencapai efek yang
diinginkan. Dosis kurang dari 100 mg/hari biasanya sudah cukup untuk menyekat reseptor alfa secara adekuat (Katzung, 2012).
Banyak efek samping yang ditimbulkan terutama hipotensi postural
terjadi. Karena fenoksibenzamin memasuki sistem saraf pusat, obat
ini akan menimbulkan efek sentral yang kurang spesifik seperti kelemahan, sedasi, dan mual. Obat ini dapat menimbulkan tumor
pada binatang, tetapi implikasi klinisnya belum diketahui (Katzung, 2012).
Prasozin merupakan suatu piperazinyl quinazoline yang efektif pada
penanganan hipertensi. Obat ini sangat selektif terhadap reseptor α1 dan 1000 kali kurang kuat pada reseptor α2. Hal ini dapat
menjelaskan sebagian mengenai ketiadaan relatif takikardi pada
pemberian prasozin dibandingkan dengan pemberian fentolamin dan fenoksibenzamin. Prasozin melemaskan otot polos arteri dan vena serta otot polos di prostat akibat penyekatan reseptor α1 (Katzung,
2012).
Tamsulosin adalah suatu antagonis kompetitif α1 dengan struktur
yang agak berbeda dari struktur kebanyakan penyekat α1.
Biovailabilitasnya tinggi dan memiliki waktu paruh yang lama sekitar 9−15 jam. Obat ini dimetabolisme secara ekstensif di hati.
Tamsulosin memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor α1A dan α1D dibandingkan dengan subtipe α1B. Percobaan
mengindikasikan bahwa tamsulosin memiliki potensi yang lebih
besar dalam menghambat kontraksi otot polos prostat versus otot polos vaskular dibandingkan dengan antagonis selektif α1 lain.
35
memiliki efek yang lebih kecil terhadap tekanan darah pasien pada
kondisi berdiri (Katzung, 2012).
- Penghambat 5α-reduktase (5-ARI)
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron yang dikatalis oleh enzim 5α-reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT
menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel prostat menurun. Preparat yang tersedia mula-mula adalah finasteride, yang menghambat 5α-reduktase tipe 2. Dilaporkan bahwa pemberian obat ini 5mg sehari yang diberikan sekali setelah enam bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28%. Hal ini
memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Saat ini telah tersedia preparat yang menghambat enzim 5α-reduktase tipe 1 dan tipe 2 (dual inhibitor), yaitu Duodart (Purnomo, 2012).
- Fitofarma
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data
farmakologis tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitofarma sampai saat ini belum diketahui pasti. Kemungkinan fitofarma bekerja sebagai: antiestrogen,
prostaglandin, efek antiinflamasi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume prostat. Diantara fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya (Purnomo, 2012).
c. Intervensi
Penyelesaian masalah pasien BPH jangka panjang yang paling baik
saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi non-invasif lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk melihat hasil terapi (Purnomo, 2012).
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan miksi yang tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi TURP, atau Insisi Prostat Transurehtra (TUIP atau BNI).
Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa, mengalami retensi urin, infeksi saluran kemih berulang, hematuria, gagal ginjal,
dan timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah (Purnomo, 2012).
- Pembedahan terbuka
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik atau perineal. Pada operasi melalui kandung kemih
37
untuk mengangkat batu buli-buli atau divertikelektomi apabila ada
divertikulum yang cukup besar (Katzung, 2012).
Cara pembedahan retropubik dikerjakan melalui sayatan kulit perut bagian bawah dengan membuka simpai prostat tanpa membuka
kandung kemih, kemudian prostat dienukleasi. Kedua cara pembedahan tersebut masih kalah dibandingkan dengan cara TURP,
yaitu mordibitasnya yang lebih lama, tetapi dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang khusus, dengan alat bedah baku. Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak lagi dikerjakan
(Katzung, 2012).
- Transurethra Resection of Prostate
Transurethral Resection of The Prostate adalah tatalaksana bedah standar untuk pasien BPH. Cairan irigan (pembilas) non-konduktif digunakan selama TURP untuk menjaga visibilitas yang baik dari lapangan operasi selama tindakan berlangsung. Cairan ini tidak
mengandung elektrolit, dan penyerapan larutan hipotonik ini ke dalam aliran darah dapat menyebabkan kelebihan cairan dan
hiponatremia, sehingga dapat menyebabkan efek kardiovaskular dan sistem saraf yang merugikan. Sindrom TURP didefinisikan sebagai tingkat natrium serum <125 mmol/L yang dikombinasikan dengan
gejala klinis kardiovaskular atau manifestasi neurologis. Namun, manifestasi klinis juga dapat terjadi dengan tingkat natrium serum
Menurut The European Association of Urology Guidelines 2009, TURP adalah pengobatan pilihan untuk prostat, namun memiliki angka morbiditas pasca operasi yang signifikan. TURP dapat
mengakibatkan komplikasi seperti perdarahan pascaoperasi, striktur uretra, inkontinensia urin, ejakulasi retrograde, dan sindrom TURP. Komplikasi yang menyebabkan perdarahan membutuhkan transfusi
darah sesegera mungkin (Lee dkk., 2011). Contoh tindakan TURP disajikan pada gambar 10.
Gambar 10. Transurethra Resection of Prostate (Sumber: Fujiwara dkk., 2014).
- Elektrovaporasi prostat
Cara ini sama dengan TURP, hanya saja teknik yang dilakukan memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan
pada saat operasi, dan masa rawat inap di rumah sakit lebih singkat.
Bladder Prostate
Os Pubis
39
Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada prostat yang tidak
terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih lama (Purnomo, 2012).
- Laser prostatektomi
Energi laser mulai dipakai sebagai terapi BPH sejak tahun 1986, yang dari tahun ke tahun mengalami penyempurnaan. Terdapat 4
jenis energi yang dipakai, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melaui bare fibre, right angle fibre, atau interstitial fibre. Kelenjar protat pada suhu 60−65 C akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari
100°C akan mengalami evaporasi (Purnomo, 2012).
Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara
poliklinis, penyembuhan lebih cepat, dan dengan hasil yang kurang lebih sama. Sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang sebesar
2% setiap tahun. Kekurangannya adalah tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan disuria pasca-bedah yang dapat berlangsung
- Transurethral Needle Ablation of Prostate (TUNA)
Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai mencapai 100°C, sehingga menyebabkan nekrosis
jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke dalam uretra
melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada
kelenjar prostat. Pasien sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urin, dan epididimo-orkitis
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik non-eksperimental
dengan pendekatan cross sectional yakni meneliti kasus BPH yang
terdokumentasi di Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung periode Agustus 2012–Juli 2014.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Dr. H.
Abdul Moeloek Provinsi Lampung pada bulan Oktober 2014.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah semua sediaan mikroskopik
jaringan prostat yang didiagnosa BPH di laboratorium Patologi Anatomi
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung periode Agustus 2012−Juli
2014.
Pada penelitian ini, jumlah sampel yang diperoleh adalah sebanyak 92 sampel.
Rumus yang digunakan adalah rumus Slovin, yaitu: (Sugiyono, 2006).
Catatan:
n = Number of samples
N = Total population
α = Error tolerance( α = 0,05)
jadi:
= + , 5
= , = 9
Adapun kriteria inklusi dan ekslusi sebagai berikut:
- Kriteria Inklusi
Semua data rekam medis penderita BPH yang telah dilakukan TURP di
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung periode Agustus 2012–Juli
2014.
- Kriteria Eksklusi
Data rekam medis penderita BPH di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung periode Agustus 2012–Juli 2014 yang tidak lengkap (usia).
3.4 Teknik Sampling
Sampel yang diambil adalah yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi di
atas, dalam hal ini sampel dipilih dengan cara probability sampling, yakni
43
memperhatikan tingkatan yang ada dalam populasinya (Dahlan, 2010;
Dahlan, 2012).
3.5 Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Usia dengan diagnosis BPH
2. Variabel terikat: Gambaran histopatologi BPH yaitu rasio kelenjar dan
stroma.
3.6 Rancangan Pengumpulan dan Pengolahan Data
3.6.1 Pengumpulan Data
Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan dokumentasi dari rekam medik pasien BPH di
Laboratorium RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung periode
Agustus 2012−Juli 2014.
3.6.2 Pengolahan Data
Setelah dokumentasi dikumpulkan, data yang diperoleh dari rekam
medis akan diolah dan disajikan secara analitik dalam bentuk tabel dan
grafik distribusi frekuensi dari karakteristik usia terhadap banyaknya
pasien BPH. Selanjutnya semua data yang didapat akan dibandingkan
3.7 Definisi Operasional Variabel
Tabel 2. Definisi operasional
No Variabel Definisi Operasional Pengukuran Katagori Skala
Variabel Bebas
1 Usia Usia pasien pada saat
didiagnosa BPH
1 BPH Pembesaran prostat
jinak yang ditandai
Kelenjar Kumpulan sel epitel
45
3.8 Alur Penelitian
Alur penelitian tentang hubungan usia dengan rasio kelenjar dan stroma pada
pasien BPH disajikan pada gambar 13.
Gambar 13. Alur Penelitian
3.9 Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dirangkum dalam tabel induk untuk diolah
secara statistik dan dilakukan uji statistik lambda. Bermakna secara statistik
jika p value<0,05. Uji lambdamerupakan uji non-parametrik yang bertujuan
untuk menentukan apakah suatu hipotesis ditolak atau diterima, yaitu mencari
korelasi antar variabel bertipe nominal. Parameter kekuatan korelasi (r)
Data rekam medik pasien yang didiagnosis BPH di
Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek dari Agustus 2012–Juli 2014
Slide dikumpulkan berdasarkan data rekam medik Patologi Anatomi
Review slideoleh ahli Patologi Anatomi
Usia Gambaran histopatologi:
1. Dominan kelenjar atau
2. Dominan stroma
memiliki nilai yang berbeda-beda yaitu: sangat lemah (0,1 s.d <0,2), lemah
(0,2 s.d <0,4), sedang (0,4 s.d <0,6), kuat (0,6 s.d <0,8), dan sangat kuat (0,8
s.d < 1). Selain itu juga terdapat parameter arah korelasi yaitu: positif (searah,
semakin besar nilai satu variabel maka semakin besar nilai variabel lainnya)
dan negatif (berlawanan arah, semakin besar nilai satu variabel maka semakin
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah terdapat korelasi usia dengan
rasio kelenjar dan stroma pada pasien BPH dengan arah korelasi positif, dan
kekuatan korelasi yang kuat.
5.2 Saran
Adapun saran dalam penelitian ini adalah
1. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut mengenai korelasi usia
dengan rasio kelenjar dan stroma pada pasien BPH.
2. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi rasio kelenjar dan stroma pada pasien BPH
3. Sebaiknya diterapkan sistem komputerisasi pada rekam medis sehingga
Amalia R. 2007. Faktor-faktor resiko terjadinya pembesaran prostat jinak. [Thesis]. Semarang: Universitas Diponegoro.
Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Perkembangan beberapa indikator utama
sosial ekonomi indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Dahlan MS. 2010. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian
kedokteran dan kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Salemba Medika.
Dahlan MS. 2012. Langkah-langkah membuat proposal penelitian bidang
kedokteran dan kesehatan. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto.
Fujiwara A, Nakahira J, Sawai T, Inamoto T, Minami T. 2014. Prediction of clinical manifestations of transurethral resection syndrome by preoperative
ultrasonographic estimation of prostate weight. Journal of BMC Urology.
14(67): 1−6.
Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta:
EGC.
Hapsari CP. 2010. Hubungan antara pembesaran prostat jinak dengan gambaran
endapan urin di kandung kemih pada pemeriksaan ultrasonografi.
[Skripsi]. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Surakarta.
Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). 2003. Panduan penatalaksanaan
(Guidelines) benign prostatic hyperplasia (BPH) di Indonesia. Surabaya.
Izumi K, Mizokami A, Lin WJ, Lai KP, Chang C. 2013. Androgen receptor roles
in the development of benign prostate hyperplasia. The American Journal
of Pathology. 182(6): 1942−1949.
Junqueira LC, Carneiro C. 2007. Histologi dasar: teks dan atlas. Edisi ke-10.
Jakarta: EGC.
58
Kidingallo Y, Murtala B, Ilyas M, Palinrungi AM. 2011. Kesesuaian ultrasonografi transabdominal dan transrektal pada penentuan karakteristik
pembesaran prostat. JST Kesehatan. 1(2): 158−164.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. 2010. Robbins and Cotran pathologic
basis of disease. Edisi ke-8. Philadelpia: Saunders Company.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku ajar patologi Robbins. Edisi ke-7.
Jakarta: EGC.
Lai KP, Huang CK, Fang LY, Izumi K, Lo CW, Wood R. 2013. Targeting stromal androgen receptor suppresses prolactin-driven benign prostatic hyperplasia
(BPH). Journal of Molecular Endocrinology. 27(10): 1617−1631.
Lee YT, Ryu YW, Lee DM, Park SW, Yum SH, Han JH. 2011. Comparative analysis of the efficacy and safety of conventional transurethral resection of the prostate, transurethral resection of the prostate in saline (TURIS), and TURIS-plasma vaporization for the treatment of benign prostatic
hyperplasia: a pilot study. Korean Journal of Urology. 52(11): 763−768.
McVary KT, Roehrborn CG. 2010. Guideline: management of benign prostatic
hyperplasia (BPH). American urological association.
Moore KL, Agur AMR. 2002. Anatomi klinik dasar. Jakarta: Hipokrates.
Muhartono, Fiana DN, Kurrahman GN. 2013. Efek perlindungan madu terhadap
kerusakan lambung tikus yang diberi etanol. Medical Journal of Lampung
University. 1(2): 52−62.
Nicholson TM, Ricke WA. 2012. Androgens and estrogens in benign prostatic
hyperplasia: past, present and future. NIH Public Access. 82(4): 184−199.
Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC.
Purnomo B. 2012. Dasar-dasar urologi. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto.
Rosai J. 2004. Ackerman’s surgical pathology. Edisi ke-9. Philadelpia: Mosby.
Saputra L. 2009. Harrison manual kedokteran. Tangerang: Karisma.
Schauer IG, Rowley DR. 2012. The functional role of reactive stroma in benign
prostatic hyperplasia. NIH Public Access. 82(4): 200−210.
Sherwood L. 2012. Fisiologi manusia; dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta:
Singh M, Shaheen F, Singh B, Khwaja R, Gojwari T, Hussain H. 2006.
Transrectal ultrasonography of prostate-correlation with histopatology.
JK-Practitioner. 13(3): 138−139.
Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. 2012. Buku
ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-De jong. Edisi ke-3. Jakarta: EGC.
Sugiyono. 2006. Teknik penelitian. Yogyakarta: Pines.
Yoo TK, Cho HJ. 2012. Benign prostatic hyperplasia: from bench to clinic.