• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembakaran Terkendali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembakaran Terkendali"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA TULIS

PEMBAKARAN TERKENDALI

OLEH:

ACHMAD SIDDIK THOHA

NIP 132 259 563

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT, dengan pertolongan-Nya tulisan ini bisa diselesaikan. Tulisan dengan judul Pembakaran Terkendali merupakan karya tulis yang dibuat untuk menambah khasanah pustaka bagi yang memerlukannya. Tuisan ini merupakan hasil kompilasi dan penelusuran pustaka tentang pembakaran terkendali dan kebakaran hutan.

Pada Kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo yang telah mengarahkan penulis menyelesaikan tulisan ini.. Tidak lupa, terimakasih juga kepada rekan-rekan sesama praktikan yang dengan ikhlas membagi ilmu dan pengalamannya.

Penulis sangat mengharapkan adanya koreksi untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan Iini bermanfaat bagi yang membutuhkan.

(3)
(4)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... i

KATA PENGANTAR ... ii

PENDAHULUAN ... 1

PENGGUNAAN API TERKENDALI ... 2

Land Clearing ... 2

Konversi Lahan ... 2

Pengeloaan Alang-alang ... 2

Pengeloaan Hidupan Liar... 3

Manajemen Bahan Bakar... 3

Pemeliharaan Ekosistem... 4

Regenerasi Alami ... 4

PERILAKU MASYARAKAT MENGGUNAKAN API DALAM PENYIAPAN LAHAN ... 5

PRAKTEK PEMBAKARAN TERKENDALI PADA MAYARAKAT TRADISIONAL .. 6

Pola Penyiapan Lahan oleh Masyarakat Dayak Kanayatn... 7

Pembakaran Ladang oleh Penduduk Sampoku, Niigata, Jepang... 7

Pola Pembakaran Ladang di Sabanjeriji Sumatera Selatan ... 8

Penyiapan Lahan oleh Masyarakat Barao-Kavet Kamboja... 9

PENGEMBANGAN TEKNIK PEMBAKARAN TERKENDALI RAMAH LINGKUNGAN... 10

KESIMPULAN ... 12

(5)

PENDAHULUAN

Kebakaran hutan sering dikaitkan dengan aktivitas peladang berpindah. Berbagai pihak menduga teknik yang digunakan peladang berpindah dianggap menyebabkan kebakaran tak terkendali yang merusak lingkungan hidup. Padahal peladang berpindah sudah ribuan tahun mempraktekkan metode tebas bakar yang ramah lingkungan. Kejadian meluasnya kerusakan lingkungan akibat dampak kebakaran baru terjadi dalam beberapa dekade terakhir.

Pembakaran terkendali menurut Saharjo (2002) merupakan metode pembakaran yang disengaja dan dibawah kendali manusia yang dilakukan untuk maksud-maksud tertentu. Metode tersebut merupakan metode yang dilakukan oleh beberapa masyarakat tradisional di Indonesia yang juga merupakan peladang berpindah. Bahkan metode tersebut masih dipertahankan oleh beberapa masyarakat tradsional di berbagai negara. Di negara maju, metode ini telah mengalami perkembangan dan menjadi salah satu strategi manajemen kebakaran hutan dan lahan.

Meskipun kebijakan zero-burning masih berlaku di Indonesia, pembakaran terkendali masih diperbolehkan bagi masyarakat dimana pembakaran lahan merupakan bagian dari adat-istiadatnya. Pembakaran terkendali yang dilaksanankan masyarakat tradisional sebagai bagian dari kearifan lokal perlu dipertahankan dan dikembangkan. Sayangnya, beberapa masyarakat yang mengaku masih tradisional sudah enggan menerapkan aturan-aturan adat dalam pembukaan lahan. Akibatnya pembukaan lahan dengan api seringkali merusak lingkungan dan menjadi biang terjadinya kebakaran tidak terkendali.

(6)

PENGGUNAAN API TERKENDALI

Menurut Chandler et. al. (1983), api merupakan alat tertua dan paling berperan yang dipakai manusia. Masyarakat tradisional menggunakan api untuk pembersihan lahan pertanian, alat permainan, penertang dalam perjalanan dan senjata perang. Api sangat penting bagi beberapa masyarakat kuno dimana dipandang sebagai bagian dari 4 elemen dasar dari alam semesta dan digunakan dalam seremonial keagamaan. Saat ini, meskipun dampak negatif kebakaran tidak terkendali sangat besar, api masih mempunyai banyak manfaat bagi manusia. Beberapa penggunaan api terkendali dalam aktivitas masyarakat antara lain :

Land Clearing

Sebagian masyarakat di dunia masih menggunakan api sebagai alat utama untuk pembersihan lahan dalam penyiapan penanaman tanaman, pengembangan peternakan, atau penyiapan hutan tanaman. Keuntungan metode ini dibandingkan metode mekanik adalah nutrien yang dilepaskan oleh pembakaran tersedia untuk pertumbuhan tanaman pada saat awal pertumbuhan saat kebutuhan hara tinggi. Pembakaran terkendali bila dilaksanakan dengan hati-hati juga akan memperkecil kerusakan pada kualitas tapak daripada metode mekanik karena kerusakan tanah diminimalkan dan tidak ada pemadatan tanah oleh alat berat.

Konversi Lahan

Api sering digunakan sebagai metode terpilih ketika mengkonversi dari tutupan lahan satu ke tutupan lahan lain. Contohnya konversi semak belukar ke padang alang-alang atau mengganti tanaman kayu keras dengan campuran pinus dan tegakan tanaman kayu keras. Tetapi, perlakuan pasca pembakaran sangat dibutuhkan untuk kesuksesan pertumbuhan tegakan campuran seperti pembibitan, penanaman dan pemeliharaan.

Pengelolaan Alang-alang

(7)

kawasan mengalami understock atau persediaan pakan yang menipis. Tetapi,

overgrazing dan pembakaran yang sering merupakan tindakan yang sangat

merusak. Penggunaan api yang tepat pada manajemen alang-alang membutuhkan peraturan yang hati-hati, baik penggembalaan maupun pembakaran.. Penggembalaan dan pembakaran secara berotasi tiga hingga lima tahun dengan ternak diistirahatkan untuk satu musim pertumbuhan sebelum pembakaran dan beberapa minggu setelah pembakaran bisa cukup efektif dalam memelihara produktifitas tapak.

Pengelolaan Hidupan Liar.

The Bobwhite quail (Stoddard 1931 dalam Chandler et. al.1983) menyatakan bahwa penggunaan api secara hati-hati merupakan alat ekologi terkendali untuk manipulasi habitat. Api dengan Intensitas rendah hampir selalu menghasilkan manfaat pada hidupan liar yang ini terjadi diluar musim bertelur. Hal ini terjadi karena burung-burung dan hewan-hewan memilih habitat yang kaya atau edges dan api dengan intensitas rendah menghasilkan dampak kekayaan habitat. Pembakaran terkendali digunakan untuk menghasilkan habitat yang diinginkan untuk bagi keragaman yang luas bagi burung dan hewan-hewan.

Manajemen Bahan Bakar

(8)

Pemeliharaan Ekosistem

Api adalah energi potensial untuk pemeliharaan ekosistem pada sebuah kondisi keseimbangan dinamik. Ekosistem dibiarkan secara alami mengalami suksesi dan api diperkenankan untuk memainkan peran secara natural dalam modifikasi suksesi. Ketika kebakaran permukaan yang sering terjadi merupakan faktor penting dalam memelihara tegakan atau savana seperti yang terjadi di Taman Nasional di Afrika dan Amerika, maka api pembakaran terkendali dapat dan harus digunakan untuk melindungi kualitas dari lansekap.

Menurut (Pyne, et. al., 1996), sebagian besar biota dilahan hutan menggambarkan dua pengaruh terhadap air dan api. Dalam sistem yang tetap, keduanya harus berinteraksi di dalam daerah yang tertentu. Terlalu banyak genangan akan mengurangi potensial untuk api, terlalu sedikit air yang masuk pada kedalaman tanah akan membakar tanah organik atau merusak tumpukan bajan organik tersebut, dimana kaya akan biodiversity yang dikenal dengan hummocks. Dengan kata lain, terlalu banyak atau terlalu sedikit api akan mengubah hidrologi lahan hutan. Pola terbaik antara musim kemarau dan musim hujan adalah kondisi yang menjamin sebuah keseimbangan dinamik antara keduanya.

Regenerasi Alami

(9)

PERILAKU MASYARAKAT MENGGUNAKAN API DALAM PENYIAPAN LAHAN

Pada masyarakat di sekitar kawasan Hutan Lindung Sungai Wain Kaltim, mereka mengaku membuka lahan dengan api karena tidak mempunyai alternatif lain dalam mebuka lahan dengan cara yang mudah dan murah. Kebiasaan ini menyebabkan terjadinya kebakaran hutan di Kawasan Hutan Lindung Sungai Wain pada tahun 1998. Peladang dalam aktivitas pembakaran di arel tebas dan bakar tidak membuat sekat bakar untuk mencegah penjalaran api ke lahan sekitarnya yang bukan miliknya (Sukmajaya, 2000)

Dari studi Mangandar (2001) di daerah Riau, tujuan masyarakat melakukan pembakaran pada musim kemarau : 20% untuk mengantisipasi penanaman pada saat datangnya musim hujan, 33.33% karena bahan bakar pada waktu musim kemarau lebih mudah keringnya dan 46.67% agar pembersihan lahan dapat dilakukan secepatnya.

Sistem penyiapan lahan yang dilakukan masyarakat setelah merambah hutan adalah : 66.67% kayu ditebang, dikeringkan lalu dibakar, 20% setelah kayu ditebang, tanaman lalu ditanam diantara tunggul kayu yang berserakan dan 13.33% setelah kayu ditebang dikumpulkan di suatu tempat sehingga tidak mengganggu pertumbuhan.

Sedangkan perilaku peladang selama proses pembakaran berlangsung yaitu5% peldang meningggalkan ladang setelah api betu;-betul padam, 15% peladang meninggalkan ladang pada saat masih ada bara api, 80% peladang meninggalkan ladang pada saat masih ada nyala.

Kebiasaan masyarakat yang dilakukan ketika membakar tergambar bahwa : 11.67% pembakaran dilakukan sedikit demi sedikit dan api dijaga sampai padam, 36.67% pembakaran dilakukan secara bergiliran dan api dijaga sampai padam dan 51.66% pembakaran dilakukan secara serentak dan api dibiarkan mati sendiri.

Dalam hal tindakan pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat sebelum melakukan pembakaran diperoleh hasil : 1.67% membuat ilaran api di sekeliling lahan, mengumpulkan bahan bakar pada suatu tempat agar apinya tidak merembet ke tempat lain dan 85% tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap api.

(10)

berkurangnya penerapan nilai-nilai adat tersebut kepada generasi penerus dan 61.67% mengikuti sistem pembersihan lahan yang dilakukan oleh pendatang yang lebih cepat.

Menurut Leving (1991) Kettering et. al (1997 dan 1999) dalam Guyon dan Simorangkir (2002) keuntungan tebas dan bakar bagi peladang skala kecil mencakup :

a. Metode paling mudah, murah dan layak dipraktekkan bagi smallholders untuk mengurangi biomassa dan membersihkan areal pertanaman tanaman.

b. Sisa abu bermanfaat sebagai pupuk. Sebagian beasr tanah hutan tidak subur dan sebagian nutrien yang dikandung dalam biomassa yang dibakar melepaskan nutrien dalam jumlah besar ke atmosfer atau melalui pencucian. Dampak ini khususnya penting pada tahun pertama, ketika 80% nutrien dilepaskan.

c. Pembakaran memperbaiki struktur tanah, mampu mempercepat perkembangan tanaman (tanah longgar dan remah).

d. Pembakaran memperkecil kompetisi antara tanaman berkayu dan semak belukar. Hal ini sangat nyata pada satu atau dua tahun pertama, tetapi setelah itu belukar bertunas dari akar-akar dan benih-neih dan alang-alang mulai menjalar.

e. Pembakaran mengurangi kejadian penyakit dan hama pada tanaman.

PRAKTEK PEMBAKARAN TERKENDALI PADA MASYARAKAT TRADISIONAL

(11)

Pola Penyiapan Lahan oleh Masyarakat Dayak Kanayatn

Cara tradsional adat dayak di Kalbar dalam membuka lahan dengan pembakaran dilakukan dengan tahapan: Pertama, memperkirakan musim tanam. Kedua, mencari calon lokasi lahan pertanian. Ketiga, menetapkan lokasi lahan dan jenis pertanian (sawah/ladang). Keempat :menebas, membersihkan lahan dari semak belukar dan rumput. Kelima, membuat lajur batas antar lahan pertanian dengan lahan tetangga. Keenam, menebang pohon, tidak semua pohon ditebang, pohon-pohon yang besar hanya dibuang cabangnya sehingga menyisakan tempat burung bersarang. Ketujuh, pengeringan limbah selama dua minggu, membuat sekat bakar/parit selebar 3-5 m. Kedelapan, pembakaran, dengan memperhatikan arah angin, pembakaran dengan melingkar dan berlawanan dengan arah angin (Mekarryani, 2001)

Pada tahap persiapan pembakaran, mereka menyediakan peralatan seperti membuat galang dari bambu yang diisi dengan air, sumpit air, ember berisi air, ranting yang berdaun segar dan cangkul. Hal ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi apabila terjadi api liar.

Pembakaran benar-benar diawasi agar api jangan sampai membakar lahan orang lain, karena apabila sampai membakar lahan orang lain, maka akan dikenakan sanksi hukum adat. Hal ini sangat memalukan bagi masyarakat Dayak Kanayatn.

Kegiatan pembakaran dari tahap pertama hingga kedelapan tersebut dilaksanakan secara bersama dan bergiliran dari satu lahan ke lahan yang lain.

Pembakaran Ladang oleh penduduk Sampoku, Niigata, Jepang.

(12)

menghindari adanya api loncat ke tempat lain, maka pembakaran hanya diperkenankan pada siang hari, namun dalam prakteknya dilaksanakan hanya beberapa saat sebelum matahari terbit dimulai dari dinihari, karena pada saat itu kecepatan angin relatif rendah dan tidak berubah-ubah arah. Menurut penduduk Sampoku, pada saat tersebut adalah waktu yang paling mudah untuk mengontrol api dan juga menghindari bara api terbang.

Pola pembakaran Ladang di Sabanjeriji Sumatera Selatan.

Beberapa tahapan pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat peladang di Sabanjeriji sebagai berikut (Saharjo, 2001):

1. Persiapan

Membatasi atau memagar ladang yang akan dibakar dengan batang atau ranting kayu. Hal ini dimaksudkan untuk pencegahan agar hewan maupun ternak tidak dapat masuk baik pada saat pembakaran, penanaman maupun saat panen nantinya. Disamping itu pemagaran bertujuan untuk memperjelas pelaku pembakaran untuk menghindari keributan seandainya api melebar dan masuk lahan milik orang lain.

2. Penyiapan Bahan bakar

Semua pohon besar dan kecil ditebang, semak-semak dan alang-lang mereka tebas. Batang pohon yang berdiameter > 50 cm biasanya mereka keluarkan untuk dibuat kayu gergajian, sementara batang kayu yang berdiameter < 40 cm mereka biarkan bergelimpangan di ats lantai hutan setelah ditebang, bersama semak-semak dan alang-lang. Tumpukan bahan bakar diupayakan menyebar merata. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada musim kemarau antar bulan Agustus –September dimana saat itu suhu udara 35 –36oC dan kelemaban relatif 70 – 80%. Bahan bakar dibiarkan dibawah sengatan matahari paling tidak selama 2 minggu. 3. Pembakaran

Sebelum pembakaran dilakukan, diseputar bahan bakar yang akan dibakar dibuat sekat bakar dengan lebar 2 – 3 m. Sekat buatan ini dibuat dengan cara membersihkannya dari bahan bakar yang ada di atasnya. Tujuannnya adalah untuk memutuskan bahan bakar dan mencegah penjalaran api.

(13)

tengah areal yang akan dibakar, sehingga kepala api yang berasal dari berbagai titik api akan bergerak menuju satu pusat yaitu ditengah areal pembakaran. Dengan cara seperti itu, kemungkinan api loncat ke daerah lain dapat ditekan seminim mungkin. Penentuan arah dan kecepatan angin dilakukan dengan melemparkan daun atau rumput ke udara. Arah dan kecepatan angin sangat penting dalam menentukan titik awal dimulainya pembakaran, karena pembakaran mengikuti arah angin.

Pembakaran dimulai dari dari areal yang bertopografi relatif curam hingga landai. Untuk itu setiap pembakaran harus ada beberapa orang yang terlibat sebagai pembakar pada titik bakar yang berbeda. Pembakaran dimulai dibawah satu komando yang berarti bahwa pembakaran dimulai pada tiga posisi yang berbeda. Sambilbergerak setengah berlari dengan arah yang searah/berlawanan, setiap pembakar harus membuat titik api dengan jarak tidak lebih dari 1 m antar titik api, sehingga tidak ada celah yang tidak terbakar yang memungkinkan api loncat ke lain arah.

Penyiapan Lahan oleh Masyarakat Barao-Kavet Kamboja

(14)

PENGEMBANGAN TEKNIK PEMBAKARAN TERKENDALI RAMAH

LINGKUNGAN

Pada PP No. 4/2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, prinsip kebijakan zero burning mencakup : pertama, pelarangan pembakaran yang diberlakukan bagi perusahaan bidang kehutanan, perkebunan, pertanian, transmigrasi pariwisata dan pertambangan dalam penyiapan lahan. Kedua, pembakaran terkendali (prescribed burning), yaitu pemakaian api secara bijaksana dengan teknik tertentu yang memungkinkan api hanya membakar areal yang sudah ditentuakan dan pembakaran yang diperbolehkan (permissible control burning) bagi masyarakat adat atau tradisional (Deddy, 2001).

Pembakaran terkendali sudah diterapkan oleh masyarakat lahan pertanian dan kehutanan. Praktek-praktek yang disebutkan di atas terbukti relatif aman dan ramah lingkugan. Prinsip-prinsip tersebut perlu disosialisikan lebih luas agar aktivitas pembakaran senantiasa bisa dikontrol dan dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.

Agar tujuan pembakaran terkendali dapat mencapai tujuan seperti yang telah diungkapkan di atas perlu beberapa pertimbangan dalam penerapan pembakaran terkendali di lapangan :

1. Perlu adanya kejelasan mengenai satatus lahan yang akan dibakar, karakteristik lahan dan identitas pembakar. Hal ini akan memudahkan penyelidikan dan penindakan bila terjadi kasus kebakaran tak terkendali. 2. Aktivitas pembakaran dengan biomassa dan luasan yang cukup besar harus

mendapat ijin dari instansi terkait dan pemberitahuan kepada masyarakat sekitarnya. Hal ini akan membantu instansi terkait dan masyarakat untuk mengontrol dan membantu penanganan apabila terjadi kebakaran tak terkendali.

(15)

4. Pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat lokal untuk dapat menerapkan dan mengembangkan aktivitas penyiapan lahan yang ramah lingkungan. 5. Perluasan dukungan kelembagaan terutama pada tingkat masyarakat lokal

agar upaya pencegahan, pengawasan dan pengendalian kebakaran akibat pembakaran biomassa untuk penyiapan lahan dapat menjadi tanggung jawab bersama.

(16)

KESIMPULAN

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Chandler, C, Cheney, P., Thomas, P., Trabaud, L., and Williams, D. 1983. Fire and Forestry Vol Ii: Forest Management and Organization. John Wiley and Sons. Inc. Toronto. Canada.

Deddy, Antung, 2001. Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup dalam Kaitannya dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. Makalah dalam Pelatihan Pengendalian Kebakaran Hutan Tingkat Manajemen. Unit Manajemen Leuser. Medan

Guyon, A and Simorangkir, D. 2002. The Economics of Fire Use in Agriculture and Forestry. A Preliminary Review for Indonesia. Project FireFight Southeast Asia. Jakarta.

Karki, Sameer. 2002. Community Involvement in and Management of Forest Fire in Southeast Asia. Project FireFight Southeast Asia. Jakarta.

Mangandar, 2000. Keterkaitan Sosial Masyarakat di Sekitar Hutan dengan Kebakaran Hutan (Studi Kasus di Propinsi Daerah Tingkat I Riau). Tesis Mahasiswa Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan.

Mekarryani, Herkulana, 2001. Pemberdayaan Kearifan Nilai-nilai Tradisional dan Kelembagaan Masyarakat dalam Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahn dalam Kerangka Kebijakan Nasional dan Regional. Makalah dalam Pelatihan Pengendalian Kebakaran Hutan Tingkat Manajemen. Unit Manajemen Leuser. Medan

Pyne, J. Stephen, Andrews, L. Patricia and Laven, Richard D. 1996. Introduction to Wildland Fire. John Wilwy and Sons. Inc. Toronto. Canada.

Saharjo, B.H. 2001. Manajemen Penggunaan Api dan Bahan Bakar dalam Penyiapan Lahan. Makalah Pelatihan…… Bapedal. Jakarta.

Saharjo, B.H. 2002. Istilah Kebakaran/Pembakaran Hutan dan Lahan. Kerjasama Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan IPB dengan Proyek Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Asia Tenggara (FDRS-Project) Kanada-Indonesia. Bogor.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hasil lain yang diperoleh yaitu penggunaan mulsa alang-alang juga dapat mengurangi dosis FMA yang diberikan, terbukti pada perlakuan mulsa alang-alang dan 5 g FMA/polibag

Sedangkan menurut Al Bahra dalam bukunya Analisis dan Desain Sistem Informasi, adalah sebagai berikut: “Diagram Konteks adalah diagram yang terdiri dari suatu proses

Bahwa dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon termasuk Pasangan Calon Nomor Urut 2, yang bersifat terstruktur, sistemik, dan masif bahkan melibatkan dan

gambaran pola asuh orangtua pada anak usia dini dari sisi

Pengujian sistem yang dilakukan adalah cara kerja aplikasi secara keseluruhan, yaitu dimana sistem dapat mengirimkan sms pengingat sesuai dengan jadwal yang

dalam menginduksi kalus dari eksplan daun tanaman kaca piring dan lama waktu infeksi yang terbaik untuk transformasi genetik tanaman kaca piring.. Penelitian ini diharapkan

tim perumus melaksanakan paparan materi Standardisasi Komoditi Militer Indonesia yang telah disusun di depan Direktorat Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan

Penyaluran gaya-gaya tersebut disebarkan melalui elemen-elemen struktur dengan cara: mulai dari sistem struktur lantai, kemudian melalui balok-balok horizontal atau