SKRIPSI
ANALISIS KAUSALITAS DAN KOINTEGRASI ANTARA
TINGKAT SUKU BUNGA BANK INDONESIA
(BI RATE) DENGAN SUKU BUNGA BANK
AMERIKA SERIKAT (THE FED)
OLEH
Lasma Melinda Siahaan
100501046
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Kausalitas dan Kointegrasi antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed), dengan menggunakan data time series yaitu data bulanan selama periode waktu Januari 2008 sampai dengan Nopember 2013. Metode yang digunakan untuk menguji kausalitas adalah metode Granger’s Causality dan menguji kointegrasi adalah metode Johansen’s Multivariate Cointegration Test.
Hasil dari analisis data menunjukkan bahwa terdapat kointegrasi antara tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed). Artinya, antara tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed) memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang.
Sedangkan dari hasil uji Granger Causality ditemukan adanya hubungan yang searah. Artinya hanya variabel tingkat suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed) yang mempengaruhi suku bunga Bank Indonesia (BI Rate), sedangkan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) tidak mempengaruhi tingkat suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).
ABSTRACT
This study aims to analyze Causality and Cointegration among Interest Rates of Bank Indonesia (BI Rate) and the U.S. Interest Rate (the Fed), using time series data, that is a monthly data during the time period January 2008 to November 2013. The method used to test the causality is Granger's Causality method, and the method used to test cointegration is Johansen's Multivariate Cointegration Test.
The results of the analysis data shows that there is a cointegration between the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate) and U.S. Interest Rate (the Fed). It means that between the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate) and U.S. Interest Rate (the Fed) have a long-term equilibrium relationship.
While the results of the Granger Causality test found a direct relationship. It means that only variable of U.S. Interest Rate (the Fed) affects the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate), while the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate) does not affect the U.S. Interest Rate (the Fed).
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
tugas akhir yang harus ditempuh untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Adapun judul skripsi ini adalah “Analisis Kausalitas dan Kointegrasi antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed)”.
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai
pihak, baik berupa dorongan semangat maupun sumbangan pemikiran. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan
bimbingan, yaitu:
1. Kepada kedua orang tua Penulis, Ayahanda Drs. Pintor Siahaan, M.Si
dan Ibunda Rotua Hotmida br. Saragih yang telah banyak memberikan
kasih sayang, dukungan, doa, semangat dan materi selama ini. Terima
kasih yang tak terhingga Penulis ucapkan buat Adinda tersayang,
Natasya Santa Elisabeth br. Siahaan dan Abangnda Penulis, Yoseph
Parlindungan Siahaan, SH dan Bistok Hamonangan Siahaan, S.Sos.
2. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, SE, M.Ec, Ak. selaku Dekan Fakultas
3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D selaku Ketua Program Studi S1
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara
dan Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S1
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara
dan Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga
dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam proses penulisan skripsi
ini.
4. Ibu Dr. Murni Daulay, SE, M.Si selaku Dosen Pembanding I, dan
Ibu Inggrita Gusti Sari Nasution, SE, M.Si selaku Dosen Pembanding II,
yang telah banyak memberikan masukan kepada Penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
5. Dosen dan Pegawai Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara,
khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan, yang telah memberikan
ilmu dan perhatiannya kepada Penulis selama mengikuti perkuliahan
hingga penyelesaian skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu Penulis dalam penyelesaian skripsi ini tidak dapat disebutkan satu
persatu. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan,
untuk itu Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk
penyempurnaan penelitian selanjutnya.
Medan, Maret 2014
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Umum Suku Bunga ... 9
2.1.1 Pengertian Suku Bunga ... 11
2.1.2 Jenis-Jenis Suku Bunga ... 11
2.1.2.1 Suku Bunga Nominal ... 11
2.1.2.2 Suku Bunga Riil ... 12
2.1.3 Teori Tingkat Suku Bunga ... 14
2.1.3.1 Teori Klasik ... 14
2.1.3.2 Teori Keynes ... 16
2.1.3.3 Teori Paritas Tingkat Bunga ... 18
2.2 Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) ... 20
2.2.1 Definisi ... 20
2.2.2 Fungsi ... 20
2.2.3 Jadwal Penetapan dan Penentuan ... 21
2.2.4 Besar Perubahan BI Rate ... 21
2.2.5 Mekanisme Bekerjanya Perubahan BI Rate ... 22
2.3 Tingkat Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed) ... 25
2.4 Kerangka Berpikir ... 27
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ... 28
3.2 Batasan Operasional ... 28
3.3 Definisi Operasional ... 29
3.4 Jenis dan Sumber Data ... 29
3.5 Metode dan Pengumpulan Data ... 29
3.6 Teknik Analisis ... 30
3.6.1 Uji akar unit (unit root test) ... 30
3.6.2 Uji Kointegrasi (Cointegration Test) ... 33
3.6.3 Uji Kausalitas (Granger Causality Test) ... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Perkembangan Kebijakan Moneter di Indonesia ... 39
4.1.1 Periode Pemerintahan Orde Lama ... 39
4.1.2 Masa Pemerintahan Orde Baru ... 40
4.1.3 Periode Setelah Krisis Ekonomi 1997 ... 41
4.1.4 Periode Setelah Krisis Finansial Global ... 42
4.2 Perkembangan Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) ... 44
4.3 Perkembangan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed) ... 49
4.4 Analisis dan Pembahasan ... 53
4.4.1 Hasil Uji akar unit (Unit root test) ... 53
4.4.2 Hasil Uji Kointegrasi (Cointegration Test) ... 55
4.4.3 Hasil Uji Kausalitas (Granger Causality Test) ... 56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 60
5.2 Saran ... 60
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
4.1 Kebijakan Moneter Seiring Waktu ... 43
4.2 Perkembangan Tingkat Suku Bunga Bank
Indonesia (BI Rate) dari Januari 2008 –
Nopember 2013 ...
44
4.3 Perkembangan Suku Bunga Bank Amerika Serikat
Dari Januari 2008 – Nopember 2013 ...
50
4.4 Hasil Uji Stasioneritas Variabel BI Rate
dengan Intercept ...
53
4.5 Hasil Uji Stasioneritas Variabel Fed Rate
dengan Intercept ...
54
4.6 Hasil Uji Kointegrasi dengan Metode Johansen .... 55
4.7 Penentuan Lag Length ... 56
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
2.1 Hubungan antara Tingkat Bunga dengan
Kuantitas Uang ... 10
2.2 Keseimbangan Tingkat Bunga ... 15
2.3 Kurva Liquidity Preference ... 17
2.4 Mekanisme Bekerjanya BI Rate dalam
Mempengaruhi Inflasi ... 23
4.1 Perkembangan Suku Bunga Bank Indonesia
(BI Rate) Periode Waktu 2008 –
Nopember 2013 ... 49
4.2 Perkembangan the Fed Rate
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Judul Halaman
1 Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI
Rate) ... 64
2 Tingkat Suku Bunga Bank Amerika Serikat
(the Fed) ... 66 3 Hasil Uji Stasioneritas Variabel BI Rate
dengan Intercept ... 68 4 Hasil Uji Stasioneritas Variabel Fed Rate
dengan Intercept ... 69 5 Hasil Uji Kointegrasi dengan Metode
Johansen ... 70 6 Penentuan Lag Length ... 71
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Kausalitas dan Kointegrasi antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed), dengan menggunakan data time series yaitu data bulanan selama periode waktu Januari 2008 sampai dengan Nopember 2013. Metode yang digunakan untuk menguji kausalitas adalah metode Granger’s Causality dan menguji kointegrasi adalah metode Johansen’s Multivariate Cointegration Test.
Hasil dari analisis data menunjukkan bahwa terdapat kointegrasi antara tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed). Artinya, antara tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed) memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang.
Sedangkan dari hasil uji Granger Causality ditemukan adanya hubungan yang searah. Artinya hanya variabel tingkat suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed) yang mempengaruhi suku bunga Bank Indonesia (BI Rate), sedangkan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) tidak mempengaruhi tingkat suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).
ABSTRACT
This study aims to analyze Causality and Cointegration among Interest Rates of Bank Indonesia (BI Rate) and the U.S. Interest Rate (the Fed), using time series data, that is a monthly data during the time period January 2008 to November 2013. The method used to test the causality is Granger's Causality method, and the method used to test cointegration is Johansen's Multivariate Cointegration Test.
The results of the analysis data shows that there is a cointegration between the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate) and U.S. Interest Rate (the Fed). It means that between the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate) and U.S. Interest Rate (the Fed) have a long-term equilibrium relationship.
While the results of the Granger Causality test found a direct relationship. It means that only variable of U.S. Interest Rate (the Fed) affects the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate), while the Interest Rate of Bank Indonesia (BI Rate) does not affect the U.S. Interest Rate (the Fed).
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, dikatakan bahwa untuk memelihara kesinambungan
pelaksanaan pembangunan nasional, pelaksanaan pembangunan ekonomi
diarahkan kepada terwujudnya perekonomian nasional yang berpihak pada
ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, andal, berkeadilan dan mampu bersaing
di kancah perekonomian internasional.
Guna mendukung terwujudnya perekonomian nasional tersebut dan sejalan
dengan tantangan perkembangan dan pembangunan ekonomi yang semakin
kompleks, sistem keuangan yang semakin maju serta perekonomian internasional
yang semakin kompetitif dan terintegrasi, kebijakan moneter harus dititikberatkan
pada upaya untuk memelihara stabilitas nilai rupiah.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter yang efektif dan efisien
diperlukan sistem keuangan yang sehat, transparan, terpercaya dan dapat
dipertanggungjawabkan yang didukung oleh sistem pembayaran yang lancar,
cepat, tepat dan aman, serta pengaturan dan pengawasan bank yang memenuhi
prinsip kehati-hatian. Sehingga diperlukan Bank Sentral yang memiliki
kedudukan yang independen.
Bank Indonesia, sebagai Bank Sentral Republik Indonesia, merupakan
pihak-pihak lainnya kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur di dalam
undang-undang. Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai tugas yaitu
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran. Dalam rangka melaksanakan tujuan tersebut,
Bank Indonesia dilarang dan wajib menolak atau mengabaikan segala bentuk
campur tangan dari pihak manapun.
Dalam menjalankan tugas menetapkan kebijakan moneter, Bank Indonesia
berwenang untuk menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan
sasaran laju inflasi yang ditetapkannya; dan melakukan pengendalian moneter
dengan menggunakan cara-cara yang tidak terbatas, seperti melalui operasi pasar
terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat
diskonto, penetapan cadangan wajib minimum dan pengaturan kredit atau
pembiayaan.
Anglingkusumo (2002) menyatakan bahwa komitmen yang tegas dan
konsisten dalam menjaga kestabilan moneter akan meningkatkan kinerja kerangka
kebijakan moneter yang diterapkan. Untuk menyempurnakan efektivitas kebijakan
moneter dalam pengendalian inflasi ke depan, ia menyarankan diterapkannya
strategi yang sarat informasi dalam kebijakan moneter seperti yang diterapkan
oleh European Central Bank (ECB).
Strategi ini menitikberatkan pada dua pilar utama. Pilar pertama yaitu
pertumbuhan uang diatas permintaanya, dan pilar kedua yaitu dikaitkan dengan
teori-teori non-moneter atas inflasi seperti kaitan inflasi dengan kesenjangan
output pada New Keynessian. Kedua pilar tersebut dikombinasikan dalam
memutuskan arah suku bunga ke depan yang diperlukan.
Dari segenap perangkat yang dimiliki Bank Indonesia, BI rate (suku bunga
BI) merupakan salah satu yang kerap disebut dan muncul dalam pemberitaan.
Suku bunga acuan ini pada satu sisi merupakan tanggapan atas sebuah situasi
ekonomi, sementara di sisi lain juga seperti aba-aba yang menjadi pertanda akan
seperti apa seluk beluk perekonomian nasional ditengah perekonomian global
(Gerai Info Bank Indonesia, 2013).
Bagaimanapun juga, sinyal BI rate akan turut menentukan kemana dan
secepat apa laju ekonomi Indonesia akan bergerak termasuk apakah target sasaran
inflasi bakal tercapai. Jadi, BI rate adalah indikator keseimbangan. Karena itu, BI
rate akan berubah kalau keseimbangan itu terganggu secara fundamental dan
dampaknya jangka panjang. Selain penjaga keseimbangan, BI rate juga pemberi
kepastian kepada pelaku usaha akan ekonomi ke depan.
Dalam rezim inflation targeting framework (ITF) yang dianut penuh mulai
Juli 2005, Bank Indonesia menetapkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI
rate) berdasarkan sasaran tingkat inflasi yang dituju, sebagai panduan bagi pasar.
BI rate merupakan policy rate, sebagai suku bunga acuan (benchmark). Dampak
BI rate terasa dalam implementasi operasi moneter yang dilakukan BI melalui
pengelolaan likuiditas di pasar yaitu suku bunga pasar uang antarbank overnight
Pentingnya peranan suku bunga dalam menentukan kebijakan moneter
di Indonesia diamati pula oleh Erawati dan Richard (2002). Dari hasil yang
diperoleh untuk jangka pendek, spread yang mampu menjelaskan ekspektasi
inflasi adalah spread suku bunga deposito 12-1 bulan; spread deposito 12-3 bulan;
spread deposito 12-6 bulan; spread deposito 6-1 bulan; dan spread deposito 6-3
bulan.
Sedangkan untuk jangka panjang hanya ada satu spread deposito yang dapat
menjelaskan pergerakan ekspektasi inflasi, yaitu spread deposito 12-3 bulan.
Karena itu, tingkat suku bunga menjadi penting, karena dapat digunakan untuk
menganalisis ekspektasi inflasi.
Sejalan dengan itu, hasil penelitian dari Dwijayanthy dan Prima (2009)
menyebutkan adanya korelasi yang cukup antara inflasi dan BI rate, karena pada
praktiknya BI rate merupakan kebijakan dari Bank Indonesia sebagai dampak dari
inflasi. Nilai BI Rate tergantung dari naik turunnya tingkat inflasi pada periode
tertentu. Hal ini dilakukan guna menstabilkan nilai rupiah. Dengan demikian
secara tidak langsung BI Rate mempengaruhi profitabilitas bank, karena dapat
mempengaruhi nilai suku bunga pokok perbankan.
Dalam menentukan besar kecilnya BI rate, Bank Indonesia mempunyai
pertimbangan-pertimbangan lain selain didasarkan pada tingkat inflasi semata.
Pertimbangan tersebut berasal dari faktor internal dan faktor eksternal yaitu kurs
nilai tukar, selisih dengan suku bunga Amerika Serikat, peringkat surat hutang
Kestabilan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, misalnya, akan dapat
menentukan tingkat BI rate. Tingkat BI rate yang tinggi akan menyebabkan dana
asing mengalir ke Indonesia dan sebaliknya tingkat BI rate yang rendah akan
menyebabkan dana asing keluar dari Indonesia.
Berdasarkan penelitian Bjornland dan Havard (2006) yang menyatakan
bahwa pentingnya peranan tingkat suku bunga dalam meramalkan nilai tukar atau
exchange rate. Hal yang sama juga ditemukan oleh Sandra (2006). Hasil
penelitiannya membuktikan bahwa selisih tingkat suku bunga the Fed dengan BI
rate dan jumlah uang beredar berpengaruh nyata terhadap nilai tukar rupiah.
Dan faktor eksternal yang sangat mempengaruhi besarnya tingkat BI rate
adalah selisih dengan suku bunga Amerika Serikat (the Fed). Semakin besar
selisihnya, maka akan semakin menarik pula negara Indonesia menjadi negara
tujuan investasi. Dengan kata lain, apabila pemerintah AS menaikkan tingkat suku
bunga (the Fed rate) sementara suku bunga Indonesia (BI rate) masih tetap, maka
hal tersebut akan mengurangi daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi.
Sejalan dengan hal tersebut, Prastowo (2008) dalam penelitiannya yang
berjudul “Dampak BI rate terhadap Pasar Keuangan” menunjukkan hasil estimasi
bahwa suku bunga deposito dan yield obligasi secara signifikan merespon
perubahan BI rate. Sementara untuk suku bunga pasar uang dan indeks harga
saham tidak ditemukan adanya respon yang signifikan. Selain itu, level BI rate
dan perbedaannya terhadap suku bunga luar negeri sangat berpengaruh bagi
The Fed (Federal Reserve) mengawasi pasar saham dan dapat
mempengaruhi suku bunga dan aktivitas ekonomi bagi Indonesia. Saat ini hampir
semua pasar saham termasuk di kawasan regional, mengamati dengan cermat
perkembangan saham di Amerika Serikat. Apa yang dikatakan the Fed akan
sangat diikuti oleh pasar. Pasar akan bereaksi cepat menyangkut rencana
kebijakan the Fed, demikian pula dengan Indonesia.
Misgiyanti (2009), dalam penelitian berjudul “Pengaruh Suku Bunga Luar
Negeri Fedearal Reserve (the Fed), Nilai Tukar Rupiah/ US $ dan Inflasi terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia periode 2006-2008”,
menyatakan bahwa the Fed rate, nilai tukar dan inflasi mempunyai pengaruh
secara signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek
Indonesia.
Hal yang sama juga ditemukan dalam hasil penelitian Antonio dkk (2013)
yang menyatakan bahwa Fed rate berpengaruh signifikan terhadap pergerakan JII
(Jakarta Islamic Index) dan FHSI (harga saham syariah). Fed berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap pergerakan JII, namun pengaruh Fed terhadap FHSI
berpengaruh positif dan signifikan.
Surbakti dan Lauw (2011) menemukan pula kesimpulan bahwa suku bunga
bank Amerika Serikat berpengaruh signifikan terhadap Jakarta Islamic Index
di Bursa Efek Indonesia. Penurunan suku bunga bank Sentral Amerika Serikat
sebesar satu persen diprediksi akan meningkatkan Jakarta Islamic Index sebesar
89,795 point dengan asumsi tingkat non-farm payroll dan indeks NIKKEI 225
Sebagai dampak rencana tapering off Quantitative Easing yang dilakukan
oleh the Fed maka Bank Indonesia telah menaikkan BI rate dalam tiga bulan
secara berturut-turut. BI rate yang semula berada di level 5,75 persen sejak
Februari 2012 hingga Mei 2013 dinaikkan 25 basis poin (0,25 persen) pada Juni
2013 menjadi 6 persen. BI lalu kembali menaikkan BI rate pada bulan Juli sebesar
0,5 persen menjadi 6,5 persen. Pada bulan Agustus, awalnya otoritas moneter itu
menahan BI rate, lalu diubah dalam rapat dewan gubernur bulanan tambahan pada
akhir Agustus menjadi 7 persen (Ahniar, 2013).
Dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, 12 September 2013, BI
memutuskan untuk kembali menaikkan BI rate sebesar 25 basis poin (bps) dari 7
persen menjadi 7,25 persen. Kebijakan tersebut merupakan yang keempat kali
diambil oleh BI sejak Juni 2013 lalu. Angka BI rate 7,25 persen bukanlah angka
tertinggi yang pernah dicapai BI rate. Tercatat, BI pernah menaikkan BI rate
hingga ke level 12,75 persen pada 6 Desember 2005. Langkah tersebut diambil BI
saat menghadapi gejolak ekonomi yang melanda sektor keuangan Indonesia pada
tahun 2005 (Wiyanti, 2013).
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk menganalisis
bagaimana Kausalitas antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI Rate)
dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang
1. Apakah terdapat Kointegrasi antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia
(BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).
2. Apakah terdapat hubungan Kausalitas antara Tingkat Suku Bunga Bank
Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui Kointegrasi antara Tingkat Suku Bunga Bank
Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).
2. Untuk mengetahui hubungan Kausalitas antara Tingkat Suku Bunga
Bank Indonesia (BI Rate) dengan Suku Bunga Bank Amerika Serikat
(the Fed).
1.4 Manfaat Penelitian
1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam
pengambilan keputusan mengenai tingkat suku bunga oleh lembaga yang
berwenang yaitu Bank Indonesia.
2. Dapat digunakan sebagai bahan studi atau tambahan ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa Fakultas Ekonomi, terutama Departemen Ekonomi
Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
3. Untuk memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan tentang tingkat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Umum Suku Bunga
Keynes berpendapat bahwa suku bunga itu adalah semata-mata gejala
moneter, bunga itu adalah sebuah pembayaran untuk menggunakan uang. Karena
tingkat bunga itu merupakan suatu gejala moneter, maka jelaslah bahwa teori
moneter dengan bahagiannya teori tentang bunga menjadi suatu bagian penting
dalam teori ekonomi umum, dan politik keuangan menjadi suatu bahagian yang
utama dalam politik ekonomi umum (Manullang, 1962).
Bunga sebagai suatu gejala keuangan, tingkatnya ditentukan oleh
permintaan kepada uang dan persediaan akan uang. Dengan kata lain, tingkat
bunga itu ditentukan oleh dua faktor yakni faktor permintaan terhadap uang dan
faktor penawaran akan uang. Faktor permintaan terhadap uang itu oleh Keynes
disebut liquidity preference. Jadi, sesuai pendapat Keynes, bunga itu ditentukan
oleh liquidity preference dan jumlah uang.
Dalam suatu curve liquidity preference tertentu, bertambahnya jumlah
uang akan menyebabkan turunnya tingkat bunga. Dan sebaliknya, turunnya
jumlah uang akan menyebabkan naiknya tingkat bunga. Selanjutnya, jika curve
liquidity preference mengalami perubahan maka dengan jumlah uang tertentu
akan menyebabkan naik turunnya tingkat bunga.
Semakin murah biaya peminjaman uang, semakin banyak uang yang akan
semakin besar persediaan dana yang dapat dipinjamkan. Tingkat keseimbangan
dari bunga ditentukan oleh perpotongan dari permintaan (Dm) dan penawaran (Sm)
dana yang dapat dipinjamkan (Pass dkk, 1994).
Tingkat
Sm
Bunga
i Sm’
i’
Dm
Kuantitas Uang
0 Q1 Q2
Gambar 2.1
Hubungan antara Tingkat Bunga dengan Kuantitas Uang
Dalam teori, penguasaan moneter dapat mengawasi tingkat bunga dengan
mengubah persediaan uang. Jika jumlah uang meningkat dari Sm ke Sm’ maka
akan menurunkan keseimbangan tingkat bunga dari i ke i1, dan melalui tingkat
bunga, menurunkan juga total pengeluaran dalam perekonomian.
Dengan demikian, secara sederhana suku bunga adalah harga uang. Suku
bunga akan naik apabila jumlah uang sedikit dan permintaan terhadapnya besar.
Sebaliknya, suku bunga akan turun bilamana jumlah uang besar dan permintaan
2.1.1 Pengertian Suku Bunga
Menurut Kamus Lengkap Ekonomi (Pass dkk, 1994), yang dimaksud
dengan tingkat bunga (interest rate) adalah jumlah tertentu bunga yang harus
dibayarkan peminjam kepada pemberi pinjaman atas sejumlah uang tertentu untuk
membiayai konsumsi (consumption) dan investasi (investment).
Bagi dunia perbankan, tingkat bunga atau yang disebut dengan bunga bank
dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan
prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.
Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah
yang memiliki simpanan dengan yang harus dibayar oleh nasabah yang
memperoleh pinjaman kepada bank (Kasmir, 2008).
2.1.2 Jenis-Jenis Suku Bunga
Secara umum, suku bunga dibedakan menjadi suku bunga nominal dan
suku bunga riil.
2.1.2.1Suku Bunga Nominal
Suku bunga nominal dapat diartikan sebagai tingkat bunga yang harus
dibayar oleh debitur kepada kreditur disamping pengembalian pinjaman pokoknya
pada saaat jatuh tempo. Tingkat suku bunga yang terbentuk merupakan tingkat
suku bunga yang disepakati oleh debitur dan kreditur. Tingkat bunga nominal ini
sebenarnya adalah penjumlahan dari unsur-unsur tingkat bunga, yaitu tingkat
bunga “murni” (pure interest rate), premi risiko (risk premium), biaya transaksi
(transaction costs), dan premi untuk inflasi yang diharapkan. Jadi:
dimana :
i = tingkat bunga nominal r = tingkat bunga murni Rp = premi risiko
Tc = biaya transaksi
Pi = premi inflasi
Jadi, tingkat bunga nominal (i) atau tingkat bunga yang tercatat di pasar
berubah apabila unsur-unsurnya berubah (Boediono, 1985).
Collins secara sederhana mengartikan tingkat bunga nominal sebagai
tingkat bunga yang dibayarkan pada suatu (loan) tanpa dilakukan suatu
penyesuaian terhadap akibat-akibat inflasi (Pass dkk, 1994).
2.1.2.2Suku Bunga Riil
Tingkat bunga riil adalah tingkat bunga nominal dikurangi laju inflasi
yang terjadi selama periode yang sama. Bagi kreditur, tingkat bunga riil
merupakan imbalan riil bagi pengorbanannya untuk menyerahkan penggunaan
uangnya untuk jangka waktu tertentu. Bagi debitur, tingkat bunga riil merupakan
beban riil atas penggunaan uang orang lain. Beban ini disebut “biaya (riil) dari
kapital” atau real cost of capital bagi debitur tersebut, terutama apabila si debitur
adalah investor di bidang produksi barang-barang dan jasa (Boediono, 1985).
Sebagai contoh, apabila seseorang meminjamkan uang Rp 1.000.000,00
selama setahun, dan selama itu terjadi laju inflasi sebesar 10%, maka dinilai dari
daya belinya terhadap barang-barang, nilai uang tersebut telah turun menjadi
(100% : 110%) x 1.000.000 dan hasilnya sekitar 909.000. Jadi, secara riil kreditur
telah menanggung capital loss sebesar 1.000, meskipun uang 1.000.000
Oleh karena itu, kreditur harus memperhitungkan kemungkinan kerugian
kapital ini dengan cara memperkirakan berapa persen penurunan nilai uang (yaitu
berapa persen laju inflasi) yang akan terjadi selama uangnya dipinjamkan dan
kemudian membebankannya pada debitur dalam bentuk tambahan persentase pada
tingkat bunga yang harus dibayarnya.
Selain dua jenis suku bunga diatas, dalam kegiatan perbankan sehari-hari
ada dua macam bunga yang diberikan kepada nasabahnya yaitu:
a. Bunga simpanan
Bunga simpanan adalah bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau
balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Bunga
simpanan merupakan harga yang harus dibayar bank kepada
nasabahnya. Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan, dan bunga
deposito.
b. Bunga pinjaman
Bunga pinjaman adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam
atau harga yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank.
Sebagai contoh bunga kredit.
Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan
pendapatan bagi bank. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus
dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan
yang diterima dari nasabah. Baik bunga simpanan maupun bunga pinjaman
seandainya bunga simpanan tinggi, maka secara otomatis bunga pinjaman juga
terpengaruh ikut naik dan demikian pula sebaliknya (Kasmir, 2008).
2.1.3 Teori Tingkat Suku Bunga 2.1.3.1Teori Klasik
Teori tingkat bunga dari klasik ini adalah untuk menganalisis arus dari
uang dalam suatu perekonomian moneter, misalnya melakukan analisis sebagai
akibat dari perubahan tingkat bunga. Beberapa asumsi adalah:
a. Benar-benar terjadi subsitusi antara bentuk uang yang ditahan (cash on hand)
dengan surat berharga dari bank.
b. Nilai tukar valuta asing tetap.
c. Asumsi pada skala perekonomian yang sempit.
d. Mekanisme pasar mendorong persaingan tingkat bunga (Waluya, 1993).
Menurut teori klasik, bunga adalah ”harga” yang terjadi di pasar dana
investasi. Dalam suatu periode, ada anggota masyarakat yang menerima
pendapatan melebihi apa yang mereka perlukan untuk kebutuhan konsumsinya
selama periode tersebut. Mereka ini adalah kelompok “penabung”. Jumlah seluruh
tabungan mereka membentuk suplai atau penawaran akan loanable funds
(Boediono, 1985).
Di lain pihak, ada anggota masyarakat yang membutuhkan dana, mungkin
karena mereka ingin berkonsumsi lebih daripada pendapatan yang diterima selama
periode tersebut, atau karena mereka adalah pengusaha yang memerlukan dana
untuk operasi/ perluasan usahanya. Mereka ini adalah “investor” dan jumlah dari
funds. Selanjutnya, para penabung dan para investor ini bertemu di pasar loanable
funds, dan dari proses tawar-menawar antara mereka akhirnya akan dihasilkan
tingkat bunga kesepakatan atau keseimbangan.
Tingkat bunga dalam keadaan keseimbangan (artinya tidak ada dorongan
untuk naik atau turun) akan tercapai apabila keinginan menabung masyarakat
sama dengan keinginan pengusaha untuk melakukan investasi. Secara grafik
keseimbangan tingkat bunga dapat digambarkan seperti dalam Gambar 2.2.
Tingkat bunga
Tabungan
i1
i0 Investasi i
Investasi 0
S0 Jumlah uang yang ditabung
dan diinvestasikan
Gambar 2.2
Keseimbangan Tingkat Bunga
Keseimbangan tingkat bunga ada pada titik i0, dimana jumlah tabungan
sama dengan investasi. Apabila tingkat bunga diatas i0, jumlah tabungan melebihi
bersaing untuk meminjamkan dananya dan persaingan ini akan menekan tingkat
bunga turun balik ke posisi i0.
Sebaliknya, apabila tingkat bunga dibawah i0, para pengusaha akan saling
bersaing untuk memperoleh dana yang relatif jumlahnya lebih kecil. Persaingan
ini akan mendorong tingkat bunga naik lagi ke i0. Jadi, menurut kaum klasik
tingkat bunga itu merupakan hasil interaksi antara tabungan (S) dan investasi atau
Investment (Nopirin, 1992).
2.1.3.2Teori Keynes
Menurut Keynes, tingkat bunga merupakan suatu fenomena moneter.
Artinya, tingkat bunga ditentukan oleh penawaran dan permintaan akan uang
(ditentukan dalam pasar uang). Uang akan mempengaruhi kegiatan ekonomi
(GNP), sepanjang uang ini mempengaruhi tingkat bunga. Perubahan tingkat bunga
selanjutnya akan mempengaruhi keinginan untuk mengadakan investasi dan
dengan demikian akan mempengaruhi GNP. Sedang menurut klasik, uang
hanyalah mempengaruhi harga barang (Nopirin, 1992).
Teori Keynes juga mengatakan bahwa ada tiga motif mengapa orang
menghendaki memegang uang tunai. Ketiga motif tersebut adalah transaction
motive, precautionary motive dan speculative motive. Tiga motif inilah yang
merupakan sumber timbulnya “permintaan akan uang” yang dikenal dengan nama
“liquidity preference” (Manullang, 1977).
Permintaan akan uang, yang oleh Keynes disebut dengan “liquidity
mengukur jumlah dan permintaan uang dengan sumbu vertikal untuk tingkat
bunga.
Tingkat bunga
Jumlah uang
ieq
Liquidity preference
Jumlah uang yang ditabung
dan diinvestasikan
Gambar 2.3
Kurva Liquidity Preference
Permintaan akan uang mempunyai hubungan negatif dengan tingkat
bunga. Keynes menyatakan bahwa masyarakat mempunyai keyakinan adanya
suatu tingkat bunga yang normal. Apabila tingkat bunga turun dibawah tingkat
normal, makin banyak orang yakin bahwa tingkat bunga akan kembali ke tingkat
normal (jadi mereka yakin bahwa tingkat bunga akan naik di waktu yang akan
datang).
Jika mereka memegang surat berharga pada waktu tingkat bunga naik,
mereka akan menderita kerugian. Mereka akan menghindari kerugian ini dengan
uang kas yang dipegang, pada waktu tingkat bunga naik hubungan ini disebut
motif spekulasi permintaan uang.
Selain itu, menurut Keynes, makin tinggi tingkat bunga maka makin tinggi
pula ongkos memegang uang kas (dalam bentuk tingkat bunga yang tidak
diperoleh karena kekayaan dinyatakan dalam bentuk uang kas) sehingga
keinginan memegang uang kas juga menurun. Sebaliknya, apabila tingkat bunga
turun berarti ongkos memegang uang kas juga makin rendah sehingga permintaan
akan uang kas naik (Nopirin, 1992).
2.1.3.3Teori Paritas Tingkat Bunga
Teori paritas tingkat bunga adalah salah satu teori yang penting mengenai
penentuan tingkat bunga dalam sistem devisa bebas (yaitu apabila penduduk
masing-masing negara bebas memperjualbelikan devisa). Teori ini pada dasarnya
menyatakan bahwa:
“Dalam sistem devisa bebas tingkat bunga di negara satu akan cenderung
sama dengan tingkat bunga di negara lain, setelah diperhitungkan
perkiraan mengenai laju depresiasi mata uang negara yang satu terhadap
negara yang lain.”
atau secara aljabar,
in≈ if + E*
dimana:
in = tingkat bunga (nominal) didalam negeri
if = tingkat bunga (nominal) diluar negeri
Jadi, apabila tingkat bunga di Amerika Serikat untuk, katakan, pinjaman
jangka 6 bulan adalah 10% per tahun, dan selama 6 bulan mendatang kurs dollar
AS terhadap rupiah diperkirakan meningkat dengan 4% (atau 8% apabila
dinyatakan dalam laju per tahun), maka tingkat bunga untuk pinjaman jangka 6
bulan di Indonesia akan cenderung sama dengan 10% + 8% = 18% per tahun.
Hal ini terjadi apabila tingkat bunga yang berlaku di dalam negeri (untuk
pinjaman 6 bulan tersebut) lebih rendah daripada 18% per tahun, maka akan lebih
menguntungkan bagi pemilik dana untuk meminjamkan uangnya di Amerika
Serikat (dollar) dan menerima imbalan 10% per tahun tanpa harus menanggung
kerugian kapital berupa penurunan nilai mata uang rupiah sebesar 8% per tahun.
Dana akan mengalir ke Amerika Serikat dan ini akan mengurangi tersedianya
dana (rupiah) di dalam negeri, dan selanjutnya akan mendorong tingkat bunga
di dalam negeri untuk naik mendekati 18% per tahun.
Sebaliknya, apabila tingkat bunga di dalam negeri ternyata lebih tinggi
dari 18% per tahun (katakanlah 20%), maka akan lebih menguntungkan bagi
orang Amerika Serikat untuk menukarkan dollarnya menjadi rupiah dan
selanjutnya meminjamkannya di Indonesia dengan bunga 20% per tahun.
Meskipun seandainya perkiraan bahwa nilai rupiah akan turun 8% per
tahun benar-benar terjadi, ia masih menerima imbalan 20% - 8% = 12% per tahun
(dinyatakan dalam dollar). Jadi akan ada aliran dana (dollar) masuk ke Indonesia,
sehingga suplai dana (rupiah) di Indonesia meningkat dan ini cenderung akan
Perlu dicatat bahwa dalam praktek ada “biaya transaksi” untuk
memindahkan dana dari dan ke luar negeri. Oleh sebab itu, teori paritas tingkat
bunga ini akan lebih tepat apabila berbunyi: bahwa tingkat bunga antara dua
negara cenderung sama, setelah dikoreksi dengan laju depresiasi yang
diperkirakan dari mata uang negara satu terhadap mata uang negara lain dan
“biaya transaksi” ( biaya memindahkan dana).
Dalam sistem devisa bebas, “biaya transaksi tersebut rendah, tetapi dalam
sistem devisa yang kurang bebas, biaya tersebut bisa tinggi. Oleh sebab itu, dalam
sistem devisa yang tidak bebas, ada kemungkinan tingkat bunga di dalam negeri
sangat berbeda dengan tingkat bunga di luar negeri, meskipun telah dikoreksi
dengan laju depresiasi yang diperkirakan (Boediono, 1985).
2.2 Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia (BI rate) 2.2.1 Definisi
BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau
stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan
kepada publik (Bank Indonesia, 2012).
2.2.2 Fungsi
BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat
Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang
dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management)
di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.
Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan
bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga
deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan.
Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian,
Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan
diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia
akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah
sasaran yang telah ditetapkan.
2.2.3 Jadwal Penetapan dan Penentuan
Penetapan respons (stance) kebijakan moneter dilakukan setiap bulan
melalui mekanisme RDG Bulanan dengan cakupan materi bulanan.
Respon kebijakan moneter (BI Rate) ditetapkan berlaku sampai dengan
RDG berikutnya
Penetapan respon kebijakan moneter (BI Rate) dilakukan dengan
memperhatikan efek tunda kebijakan moneter (lag of monetary policy)
dalam memengaruhi inflasi.
Dalam hal terjadi perkembangan di luar prakiraan semula, penetapan
stance Kebijakan Moneter dapat dilakukan sebelum RDG Bulanan melalui
RDG Mingguan.
2.2.4 Besar Perubahan BI Rate
Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (secara
konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis poin (bps). Dalam kondisi untuk
sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam
kelipatan 25 bps.
2.2.5 Mekanisme Bekerjanya Perubahan BI Rate
Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara
kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang
rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu, Bank Indonesia menetapkan suku
bunga kebijakan atau BI rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk
mempengaruhi kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi.
Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan
pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time
lag). Mekanisme bekerjanya perubahan BI rate sampai mempengaruhi inflasi
tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui
perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai
variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir
inflasi.
Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral,
perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate
mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur
kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi. Gambar 2.4 akan
menjelaskan bagaimana BI rate bekerja hingga dapat mempengaruhi tingkat
Sumber: Bank Indonesia
Gambar 2.4
Mekanisme Bekerjanya BI Rate dalam Mempengaruhi Inflasi
Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga
deposito dan suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang
mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang
ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi.
Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga
Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal
perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas
konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah.
Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia
merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas
perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.
Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro
melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset
seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan
perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk
melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi.
Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar.
Mekanisme ini sering juga disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai
contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan
suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut
mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam
instrumen-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan
tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada
gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah
mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar
negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong
impor dan mengurangi ekspor. Turunya net ekspor ini akan berdampak pada
Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga
mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku
bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya
inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta
upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen
kepada konsumen melalui kenaikan harga.
2.3 Tingkat Suku Bunga Bank Amerika Serikat (the Fed)
Sebelumnya tidak ada sistem bank sentral di Amerika Serikat sampai
tahun 1913. Namun, hal itu berubah dengan dibuatnya Undang-Undang Federal
Reserve tahun 1913. Semenjak saat itu, Federal Reserve menjadi bank sentral
Amerika Serikat. Pada awalnya, the Fed hanya sebuah institusi Pemerintah federal
di Amerika Serikat. Pada perkembangannya, the Fed menjadi organisasi swasta
yang dikuasai oleh beberapa orang kaya.
Ada dua belas bank-bank regional Sistem Federal Reserve di seluruh
Amerika Serikat. Federal Reserve System, seperti bank sentral pada umumnya,
yang tujuannya mengatasi inflasi. Pada awalnya, bank sentral bertindak sebagai
lender of resort, Pemerintah sebagai institusi yang berdiri siap untuk mem-bail
out segala permasalahan perbankan. Fed selalu berusaha untuk terus beradaptasi
pada berbagai kebijakan moneter, dalam upaya memerangi tekanan inflasi dan
deflasi yang membawa akibat perubahan dalam perekonomian domestik dan
global. (Yeager, 1984).
Lantas, bagaimana the Fed dapat mempengaruhi tingkat suku bunga?
memberikan pinjaman dana. Namun perbedaannya adalah “klien” the Fed bukan
masyarakat umum, melainkan bank-bank komersial. The Fed pada dasarnya
mengambil keuntungan dari biaya bunga pinjaman atas pinjaman yang dilakukan
oleh pihak bank lain. Ini disebut tingkat diskonto.
Bank atau pemberi pinjaman kemudian meminjamkan uang ke konsumen
atau peminjam suku bunga utama mereka. Implikasinya jelas: semakin tinggi
tingkat diskonto the Fed pada biaya bank, semakin tinggi tingkat suku bunga
utama akan diberikan kepada peminjam sebab bank harus memenuhi persyaratan
minimum yang diinstruksikan oleh the Fed.
Banyak orang berpikir bahwa ketika mendengar ketua Federal Reserve
membuat perubahan kebijakan moneter dengan Tingkat Perdana, secara otomatis
mempengaruhi tingkat suku bunga. Tidak demikian. Kenaikan tarif Perdana atau
penurunannya dapat mempengaruhi Garis Depan Kredit Ekuitas (HELOC), tetapi
tidak akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Suku bunga juga berfluktuasi
dengan program pinjaman yang tersedia untuk para peminjam.
Jadi, suku bunga secara jangka pendek langsung berdampak pada valuta
asing dan secara jangka panjang akan berdampak pada harga biaya dalam
masyarakat secara umum (SFTEAM, 2013).
Di Indonesia, suku bunga dalam negeri selain dipengaruhi oleh inflasi,
juga dipengaruhi oleh suku bunga the Fed. Penurunan dan peningkatan suku
bunga BI akan sejalan dengan perubahan yang terjadi pada tingkat suku bunga the
2.4 Kerangka Berpikir
Pada penulisan proposal skripsi ini, penulis menjelaskan variabel-variabel
yang saling mempengaruhi dalam bentuk gambar kerangka berpikir dan
variabel-variabel lain yang dimaksud.
Untuk lebih memperjelas kerangka berpikir tersebut, maka penulis
[image:39.595.172.456.346.389.2]membuat gambar seperti yang terlihat di dalam skema di bawah ini dimana
gambar tersebut menjelaskan adanya hubungan dua arah antara suku bunga Bank
Indonesia (BI rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat.
2.5 Hipotesis
Dalam melakukan analisis terlebih dahulu harus ditentukan hipotesis yang
digunakan. Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan yang
menjadi objek penelitian, yang kebenarannya masih perlu dikaji dan diteliti
melalui data yang terkumpul kemudian diolah dan diuji secara empiris.
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis penelitiannya adalah
sebagai berikut:
a. Terdapat Kointegrasi antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia
(BI rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).
b. Terdapat Kausalitas antara Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia
(BI rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).
The Fed (X) BI rate
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Dalam penelitian
kuantitatif, proses analisis memiliki maksud umum meringkas dan
menghubungkan data. Pada analisis data kuantitatif, maka pengolahan data
merupakan kegiatan pendahuluan yang meliputi tahap editing dan coding
(pembuatan kode), penyederhanaan data dan mengode data (Suyanto dkk, 2005).
3.2 Batasan Operasional
Batasan operasional penelitian ini mencakup hubungan antara suku bunga
Bank Indonesia (BI Rate) dengan suku bunga Amerika Serikat (the Fed). Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data suku bunga Bank Indonesia (BI
Rate) dan suku bunga Amerika Serikat (the Fed) yang dibatasi pada data rata-rata
setiap bulan (data bulanan) selama periode waktu antara tahun 2008-2013. Alasan
pemilihan periode tahun yang digunakan adalah untuk mendapatkan hasil yang
lebih akurat sesuai dengan keadaan sekarang ini. Pemilihan data bulanan adalah
untuk menghindari bias yang terjadi akibat kepanikan pasar dalam merespon suatu
informasi, sehingga dengan penggunaan data bulanan diharapkan dapat
3.3 Definisi Operasional
a. Tingkat Bunga BI (BI rate) adalah suku bunga kebijakan yang
mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh
bank Indonesia dan dihitung dalam satuan persen (%).
b. Tingkat Bunga Amerika Serikat (the Fed) merupakan piranti moneter
bank sentral Amerika Serikat untuk mempengaruhi jumlah uang beredar
dan dihitung dalam satuan persen (%).
3.4 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam
bentuk time series yang bersifat kuantitatif, yaitu berupa data bulanan dalam
bentuk angka dalam kurun waktu 2008-2013 (6 tahun). Sumber data diperoleh
dari Bank Indonesia, situs resmi Bank Amerika Serikat, jurnal-jurnal ilmiah, hasil
penelitian dan sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan variabel-variabel
yang digunakan untuk keperluan penelitian ini.
3.5 Metode dan Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang telah tersedia dan tidak perlu dikumpulkan lagi
melalui pengamatan langsung maupun wawancara. Data-data sekunder yang
digunakan adalah data-data yang berhubungan langsung dengan penelitian yang
dilaksanakan.
Data-data yang diperlukan dikumpulkan dengan melakukan non-participant
observation, yaitu dengan men-download situs resmi Bank Indonesia
mencatat dan mengkopi data laporan keuangan Bank Indonesia yang merupakan
financial report dari berbagai literatur pendukung lainnya serta melakukan studi
pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini.
Selain itu, sebagai referensi dalam penelitian, dibutuhkan juga studi pustaka
yang memadai seperti literatur-literatur ilmiah, jurnal ilmiah, buku panduan dari
sumber lain yang dapat diakui sebagai literatur yang layak untuk dijadikan acuan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan
pencatatan langsung berupa data seri waktu (time series) yaitu dari tahun 2000
hingga 2012 yang diperoleh dari laporan tahunan Bank Indonesia dan Bank
Amerika Serikat.
3.6 Teknik Analisis
Sebelum dilakukan estimasi melalui metode Cointegration Test dan
Granger Causality Test, maka terlebih dahulu dilakukan langkah-langkah berikut:
3.6.1 Uji akar unit (Unit root test)
Untuk menguji cointegration, maka perlu melakukan uji akar unit (Unit
root test). Uji akar unit ini digunakan untuk melihat apakah data yang diamati
stasioner atau tidak stasioner. Test ini sebenarnya hanya merupakan pelengkap
dari analisis VAR, mengingat tujuan utama VAR adalah untuk menilai adanya
hubungan timbal balik diantara variabel-variabel yang diamati dan bukan test
untuk data.
Akan tetapi, apabila data yang diamati adalah stasioner maka hal ini akan
meningkatkan akurasi dari analisis VAR. Tujuan dari test ini adalah untuk
Ha : “terdapat hubungan jangka panjang antara suku bunga Bank Indonesia
(BI rate) dengan suku bunga Bank Amerika Serikat (the Fed).”
Dalam statistik dan ekonometrik, uji akar unit yang biasa digunakan
adalah uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Uji lain yang sama yaitu uji
Phillips-Perron (PP). Keduanya mengindikasikan keberadaan akar unit sebagai hipotesis
null. Perlu diketahui bahwa data yang stasioner adalah data yang bersifat flat,
tidak mengandung komponen trend, dengan keragaman yang tetap, dan tidak
terdapat fluktuasi periodik.
Untuk mengetahui adanya akar unit, maka perlu dilakukan pengujian
Augmented Dickey-Fuller (ADF-test) sebagai berikut:
Jika variabel Yt sebagai variabel independen, maka akan diubah menjadi:
Yt = þ Yt-1 + t ………..……… (3.1)
dimana -1≤ þ ≤ 1 dan t adalah variabel gangguan yang bersifat random
atau stokastik dengan rata-rata nol, varian yang konstan dan tidak saling
berhubungan. Jika koefisien þ=1 maka variabel Yt mempunyai akar unit, dalam
arti hipotesis diterima, yang bergerak secara random (random walk) tanpa trend
dimana varian Yt tidak stasioner. Hal ini menunjukkan bahwa Yt merupakan data
yang tidak stasioner karena memiliki akar unit. Untuk mengubah trend yang
bersifat non-stasioner menjadi stasioner maka dilakukan uji orde pertama (first
difference)
ΔYt = (þ – 1) (Yt – Yt-1) ……….. (3.2)
Koefisien þakan bernilai nol, dan hipotesis akan ditolak sehingga model
Hipotesis yang digunakan pada pengujian Augmented Dickey-Fuller
(ADF-test) adalah:
H0 b : þ = 0 (terdapat unit roots, variabel Y tidak stasioner)
H1 b : þ ≠ 0 (tidak terdapat unit roots, variabel Y stasioner)
Hipotesisnya adalah H0 mengandung arti bahwa terdapat akar-akar unit, H1
mengandung arti bahwa tidak terdapat akar-akar unit. Pengujian hipotesis statistik
tersebut dilakukan dengan membandingkan ADFtest statistik hasil regresi dengan
tstatistik Mackinnon critical value 1 persen, 5 persen,10 persen. Bila ADFtest statistik
hitung lebih kecil daripada Mackinnon critical value, maka H0 diterima dan H1
ditolak, tidak cukup bukti untuk menolak hipotesis bahwa di dalam persamaan
mengandung akar-akar unit, artinya data tidak stasioner. Sebaliknya, jika ADFtest
statistik hitung lebih besar daripada Mackinnon critical value maka H0 ditolak dan H1
diterima, cukup bukti untuk menolak hipotesis nol bahwa didalam persamaan
mengandung akar-akar unit, artinya data stasioner.
Dalam hal hasil ADFtest menunjukkan bahwa data time series yang diamati
tidak stasioner dalam bentuk level, maka perlu dilakukan transformasi melalui
proses differencing agar data menjadi stasioner. Cara differencing dilakukan
dengan cara mengurangi data tersebut dengan data periode data sebelumnya. Data
dalam bentuk difference merupakan data yang telah diturunkan dengan periode
sebelumnya, dimana bentuk derajat pertama (first difference) dapat dinotasikan
dengan I(1) dengan fungsi:
Dengan demikian melalui differencing pertama (first difference) akan
diperoleh data selisih. Prosedur data ADF kemudian diaplikasikan kembali untuk
menguji data first difference. Jika dari hasil uji ternyata data first difference telah
stasioner, maka dikatakan data time series tersebut terintegrasi pada derajat
pertama I(1) untuk seluruh variabel. Tetapi jika data first difference tersebut
belum stasioner maka perlu dilakukan differencing yang kedua (second difference)
pada data tersebut untuk memperoleh data yang stasioner. Prosedur ini seterusnya
dilakukan hingga diperoleh data yang stasioner. Uji ini dilakukan dengan program
E-views versi 5.0.
3.6.2 Uji Kointegrasi (Cointegration Test)
Regresi dari dua variabel yang tidak stasioner akan menyebabkan
timbulnya spurios regression sehingga proses differensiasi harus terlebih dahulu
dilakukan. Tetapi proses ini justru akan menghilangkan informasi hubungan
jangka panjang yang mungkin terdapat di dalam variabel-variabel time series yang
diteliti dan hanya memberikan informasi mengenai hubungan jangka pendek time
series. Dan disinilah pentingnya konsep kointegrasi dimana konsep ini membantu
memberikan informasi mengenai hubungan jangka panjang yang ada dengan
menggunakan time series non-stasioner.
Kointegrasi merupakan kombinasi hubungan linear dari variabel-variabel
yang non-stasioner dan semua variabel tersebut harus terintegrasi pada orde atau
derajat yang sama. Variabel-variabel yang terintegrasi akan menunjukkan bahwa
variabel-variabel tersebut mempunyai trend stokhastik yang sama dan selanjutnya
Uji kointegrasi merupakan kelanjutan dari uji akar-akar unit dan uji derajat
integrasi. Untuk melakukan uji kointegrasi, pertama-tama peneliti perlu
mengamati perilaku data ekonomi runtun waktu yang akan digunakan. Ini berarti
pengamat harus yakin terlebih dahulu apakah data yang akan digunakan stasioner
atau tidak, yang antara lain dapat dilakukan dengan uji akar-akar unit dan uji
integrasi. Apabila terjadi satu atau lebih variabel mempunyai derajat integrasi
yang berbeda, maka variabel tersebut tidak dapat terkointegrasi (Engle dan
Granger, 1987).
Dalam penelitian ini, pengujian kointegrasi menggunakan metode
Johansen’s Multivariate Cointegration Test. Pendekatan multivariat Johansen
diawali dengan pendefinisian suatu vektor dari n potensial peubah endogen Zt. Zt
diasumsikan sebagai suatu sistem VAR yang tidak terestriksi dan memiliki sampai
k-lags:
Zt = A1 Zt-1 + ………+ Ak Zt-k + Φ Dt + + εt ………..………… (3.4)
Dimana: A1 adalah n x n koefisien matriks, adalah konstanta, Dt adalah peubah
boneka musiman yang orthogonal terhadap konstanta dan εt diasumsikan
independen dan secara identik berdistribusi berdasarkan proses Gaussian.
Persamaan (3.4) dapat diformulasikan kembali ke dalam bentuk vector
error correction (VECM) dengan mengurangkan Zt-1 dari kedua sisi persamaan.
Δ Zt = Γ1Δ Zt-1 + …….. + Γk-1 Δ Zt-k+1 + Π Zt-k + Φ Dt + + εt ……... (3.5)
dimana, Γi = - (I - A1 -……- Ai ), (i = 1, … , k-1), dan Π = - (I - A1 - … - Ak).
Sistem persamaan yang terspesifikasi dalam persamaan (3.5) mengandung
perubahan Zt. Ranking Π, ditandai sebagai r, menentukan berapa banyak
kombinasi linear Ztyang bersifat stasioner.
Jika r = N, maka semua peubah bersifat stasioner, sedangkan jika r = 0
sehingga Π = 0, maka tidak satupun kombinasi linear tersebut bersifat stasioner.
Jika 0 < r < N, r vektor kointegrasi atau r kombinasi linear stasioner Zt akan
terjadi. Dalam kasus ini, Π dapat difaktorisasi, sehingga Π =
α
ß
dimanaα
merepresentasikan kecepatan penyesuaian terhadap disekuilibrium dan
ß
adalahmatriks dari koefisien jangka panjang dan mengandung vektor kointegrasi.
Penentuan berapa banyak vektor kointegrasi yang timbul di dalam
ß
,konsekuensinya mengarah pada pengujian kointegrasi.
Uji Kointegrasi bertujuan untuk mengetahui hubungan keseimbangan
dalam jangka panjang antara tingkat suku bunga Bank Indonesia dengan tingkat
suku bunga Bank Amerika Serikat dengan menggunakan Johansen test. Untuk
menentukan jumlah dari arah kointegrasi tersebut maka Johansen menyarankan
untuk melakukan dua uji statistik yaitu uji trace (Trace test) dan uji maksimum
eigenvalue.
Uji statistik pertama adalah uji trace (Trace test, trace) yaitu menguji
hipotesis nol (null hypothesis) yang mensyaratkan bahwa jumlah dari arah
kointegrasi adalah kurang dari atau sama dengan þ dan uji ini dapat dilakukan
sebagai berikut:
dimana r+1,…, n adalah nilai eigenvectors terkecil (p – r) . Null hypothesis yang
disepakati adalah jumlah dari arah kointegrasi sama dengan banyaknya r. dengan
kata lain, jumlah vektor kointegrasi lebih kecil atau sama dengan r (≤ r), dimana
r = 0,1,2, dan seterusnya.
Untuk uji statistik yang kedua adalah uji maksimum eigenvalue ( max)
yang dilakukan dengan formula sebagai berikut:
max (r, r + 1) = -T in(1 – r + 1) ……….. (3.7)
Uji berdasarkan pada uji null hypothesis bahwa terdapat r dari vektor
kointegrasi yang berlawanan (r + 1) dengan vektor kointegrasi. Untuk melihat
hubungan kointegrasi tersebut maka dapat dilihat dari besarnya nilai Trace
statistik dan Max-eigen statistik dibandingkan dengan nilai critical value pada
kepercayaan (
α
)
sama dengan 5 persen.3.6.3 Uji Kausalitas (Granger Causality Test)
Uji kausalitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu variabel endogen
dapat diperlakukan sebagai variabel eksogen. Hal ini bermula dari ketidaktahuan
pengaruh antar variabel. Jika ada dua variabel y dan z, maka apakah y
menyebabkan z atau z menyebabkan y atau berlaku keduanya atau tidak ada
hubungan keduanya. Variabel y menyebabkan variabel z artinya berapa banyak
nilai z pada periode sekarang dapat dijelaskan oleh nilai z pada periode
sebelumnya dan nilai y pada periode sebelumnya. Uji kausalitas dapat dilakukan
dengan berbagai metode diantaranya metode Granger’s Causality dan Error
Pada penelitian ini digunakan metode Granger’s Causality. Granger’s
Causality digunakan untuk menguji adanya hubungan kausalitas antara dua
variabel. Kekuatan prediksi (predictive power) dari informasi sebelumnya dapat
menunjukkan adanya hubungan kausalitas antara y dan z dalam jangka waktu
lama. Penggunaan jumlah lag atau efek tunda dianjurkan dalam waktu lebih lama,
sesuai dengan dugaan terjadinya kausalitas. Diharapkan hasil Granger’s Causality
ini dapat memberikan hasil yang menunjukkan adanya hubungan kausalitas dan
arah pengaruh antara suku bunga Bank Indonesia (BI rate) dengan suku bunga
Bank Amerika Serikat (the Fed).
Pengujian hubungan kausalitas dengan metode Granger’s Causality
dikembangkan oleh Granger. Model Granger’s Causality dinyatakan dalam
bentuk vektor autoregresi yang dinyatakan dalam persamaan berikut ini:
n n
Yt =
Σ
α
ty
t-i +Σ
ßj
Xt-j + 1t ; X Y jikaßj
> 0 …….………….... (3.8)i=1 j=1
m m
Xt =
Σ
λ
ty
t-i+Σ
γj
Xt-j + 2t;
Y X jikaγj
> 0 ……...… (3.9)i=1 j=1
keterangan :
Y = suku bunga Bank Indonesia
X = suku bunga Bank Amerika
1, 2 = error of term
Dimana 1, 2 adalah error of term yang diasumsikan tidak mengandung
korelasi serial dan m = n. Berdasarkan hasil regresi linear diatas, akan dihasilkan
empat kemungkinan mengenai nilai koefisien-koefisien regresi dari persamaan
n s
1) Jika secara statistik
∑
ß
j≠ 0 dan∑
γj
= 0,j=1 j=1
maka terdapat kausalitas satu arah (unindirectional causality) dari Y ke X.
n s
2) Jika secara statistik
∑
ß
j= 0 dan∑
γj
≠ 0,j=1 j=1
maka terdapat kausalitas satu arah (unindirectional causality) dari X ke Y.
n s
3) Jika secara statistik
∑
ß
j= 0 dan∑
γj
= 0,j=1 j=1
maka X dan Y bebas antara satu dengan yang lainnya, artinya antara Y ke X
tidak saling mempengaruhi (independence atau tidak signifikan) antara satu
dengan lainnya.
n s
4) Jika secara statistik
∑
ß
j≠ 0 dan∑
γj
≠ 0,j=1 j=1
maka terdapat kausalitas dua arah antara Y dan X atau terdapat hubungan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Perkembangan Kebijakan Moneter di Indonesia
Dalam perjalanannya, kebijakan moneter di Indonesia sangat dipengaruhi
oleh kondisi politik dan ekonomi nasional dan juga global. Secara garis besar,
sejarah perjalanan kebijakan tersebut dapat dibedakan menjadi: 1) periode
pemerintahan Orde Lama; 2) periode pemerintahan Orde Baru; 3) periode setelah
Krisis Moneter 1997; dan 4) periode setelah Krisis Finansial Global 2008.
4.1.1 Periode Pemerintahan Orde Lama
Pada tahun 1828, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan De Javasche
Bank (DJB) sebagai bank sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan
uang. DJB kemudian diputuskan sebagai bank sentral pada penyerahan kedaulatan
Indonesia pada pemerintah Republik Indonesia Serikat.
Kemudian, di tahun 1953, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 11
Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia. Dua hal penting dari diberlakukannya
undang-undang tersebut adalah (Bank Indonesia, 2007a):
1. Pendirian sebuah bank dengan nama “Bank Indonesia” sebagai
pengganti DJB dan berfungsi sebagai bank sentral.
2. Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan
Penasihat.
Prawiro (1998) mencatat bahwa pelaksanaan kebijakan moneter pada
Lama menerapkan kebijakan fiskal yang ekspansif yang berujung pada defisit
anggaran pemerintah. Kebijakan fiskal yang ekspansif tersebut dipicu oleh
pengeluaran militer, impor beras, subsidi, proyek Mercu Suar, dan Dana Bebas
(Discretionary Funds).
Defisit anggaran tersebut kemudian dibiayai dengan pinjaman dari BI.
Uang yang beredar meningkat tajam jauh melebihi kebutuhan riil perekonomian
sehingga mendorong melambungnya harga. Akibatnya, inflasi menjadi tidak
terkendali hingga mencapai 635% pada tahun 1966. Keadaaan ini dikenal dengan
periode hiperinflasi. Ekonomi Indonesia dapat dikatakan mandeg, tidak tumbuh
(PPSK BI, 2003).
4.1.2 Masa Pemerintahan Orde Baru
Pemerintah menerapkan kebijakan moneter yang agak paradoks, yaitu
kebijakan uang ketat (termasuk kredit ketat) yang dibarengi dengan kebijakan
kredit longgar pada jenis investasi yang diseleksi, seperti rehabilitasi dari
fasilitas-fasilitas yang telah tersedia atau proyek-proyek yang memiliki potensi paling
besar untuk memperluas kapasitas produksi negara.
Pemerintah mulai memberikan fleksibilitas di sektor perbankan dengan
memberlakukan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Pada tahun 1974,
dari sisi moneter, pemerintah mulai melaksanakan kebijakan kredit selektif. Hal
ini dilakukan agar jumlah uang beredar tetap terkendali sehingga inflasi dapat
tetap terjaga.
Kebijakan penting lainnya yang dilakukan oleh pemerintah di tahun 1983
mengambang dengan rentang fluktuasi yang diredam untuk memelihara nilai tukar
yang stabil. Saat harga minyak kembali jatuh di tahun 1986, pemerintah
mendevaluasi rupiah dengan penurunan nilai sebesar 31%. Cara ini mampu
mengendalikan inflasi.
Rata-rata inflasi di bawah 7% sepanjang tahun 1986-1989 setelah
devaluasi sebesar 31% merupakan pencapaian yang luar biasa. Faktor utama yang
berperan dalam rendahnya inflasi adalah pengendalian ketat terhadap pasokan
uang, pengendalian fiskal, dan koordinasi yang baik antara BI dan bank-bank
negara lainnya.
4.1.3 Periode Setelah Krisis Ekonomi 1997
Kebijakan khusus yang dilakukan oleh Indonesia adalah dengan
melakukan restrukturisasi sistem perbankan secara keseluruhan, termasuk
restrukturisasi peran dan tugas bank sentral. Dengan tujuan agar BI lebih
independen, pemerintah memberlakukan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagai pengganti UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.
Inti dari UU yang baru adalah bahwa kebijakan moneter harus
dititikberatkan