• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PENGADAAN BARANG SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HUKUM PERSAINGAN USAHA (Studi pada Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dan No. 01/KPPU-L/2008)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PENGADAAN BARANG SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HUKUM PERSAINGAN USAHA (Studi pada Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dan No. 01/KPPU-L/2008)"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PENGADAAN BARANG SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HUKUM PERSAINGAN USAHA (Studi pada Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dan No. 01/KPPU-L/2008)

Oleh

Faishal Rahman Eka Saputra

Konspirasi usaha atau persekongkolan adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dan atau pihak lain dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol yang merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Anti Monopoli. Undang-Undang Anti Monopoli melarang kegiatan persekongkolan yang salah satu bentuknya adalah persekongkolan untuk mengatur pemenang tender. Meskipun Undang-Undang Anti Monopoli melarang kegiatan tersebut, namun hal tersebut masih saja terjadi. Salah satunya terjadi pada tender pengadaan alat kedokteran, kesehatan dan KB RSUD Kabupaten Buleleng, Singaraja, Bali Tahun Anggaran 2007. Perkara ini telah diputus dan ditetapkan oleh KPPU dalam surat putusan nomor 15/KPPU-L/2008, dan pada tender pengadaan alat kesehatan, kedokteran dan KB Program Upaya Kesehatan Perorangan Badan Pengelolaan RSUD dr. Soesilo Kab. Tegal Dana Tugas Pembantuan Tahun 2007. Perkara ini juga telah diputus dan ditetapkan oleh KPPU dalam surat putusan nomor 01/KPPU-L/2008. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan mempelajari dan menganalis Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2008 dan Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 tersebut mengenai tata cara penanganan perkara, bentuk persekongkolan yang terjadi dalam pelaksanaan tender tersebut dan uapaya hukum dari putusan tersebut.

(2)

Faishal Rahman Eka Saputra Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa proses penyelesaian perkara dilakukan KPPU dengan mengacu pada Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU yang dimulai dengan laporan yang masuk ke KPPU. Berdasarkan hasil pemeriksaan pendahuluan dan lanjutan, Komisi mendapatkan bukti bahwa benar telah terjadi pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Anti Monopoli dan memenuhi semua unsur persekongkolan dalam Pasal 22 Undang-Undang Anti Monopoli. Komisi menetapkan 8 (delapan) Terlapor dalam perkara No. 15/KPPU-L/2008 dan 5 (lima) terlapor dalam perkara No. 01/KPPU-L/2008 serta memberikan sanksi administratif dan denda. Bentuk persekongkolan yang terjadi pada putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 adalah gabungan antara persekongkolan horizontal dan persekongkolan vertikal. Sedangkan pada putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2008 persekongkolan yang terjadi hanyalah persekongkolan horizontal. Penjatuhan sanksi hukum pada putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2008 dan putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 adalah menyatakan para terlapor secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Anti Monopoli. Para terlapor dilarang mengikuti tender di wilayah hukum tersebut, serta menghukum terlapor dengan membayar denda yang harus disetorkan ke kas negara.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan dan iklim persaingan usaha harus dapat tumbuh dengan sehat dan terhindar dari praktek monopoli dan berbagai bentuk persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat. Demi terlaksananya hal tersebut, maka perlu disusun peraturan yang mengatur tentang hal itu.

Pada tanggal 5 Maret 1999 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mengesahkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Selanjutnya disebut Undang-Undang Anti Monopoli). Implementasi Undang-Undang Anti Monopoli harus berjalan dengan efektif sebagaimana tujuannya yaitu mencegah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Tujuan tersebut dapat terlaksana bila diawasi pelaksanaannya. kemudian pemerintah membentuk suatu lembaga yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Anti Monopoli. Lembaga tersebut adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

(4)

pengemban amanat Undang Undang No 5 tahun 1999, KPPU berkewajiban untuk memastikan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif di Indonesia.

Iklim persaingan usaha yang sehat akan menjamin tercapainya efisiensi dan efektifitas sistem perekonomian. Melalui persaingan usaha yang sehat pula, akan terjamin adanya kesempatan berusaha yang sama antara pelaku usaha besar, menengah dan kecil. Selain itu, persaingan usaha yang sehat akan meningkatkan daya saing industri dalam negeri sehingga mampu bersaing baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Dengan demikian penegakan hukum persaingan dan implementasi kebijakan persaingan yang efektif akan menjadi pengawal bagi terimplementasinya sistem ekonomi pasar yang wajar, yang akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam menjalankan tugasnya KPPU melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran persaingan usaha atas inisiatif sendiri. Namun KPPU juga membuka pintu seluas-luasnya bagi masyarakat dan atau pelaku usaha lain untuk melaporkan dugaan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, untuk ditindaklanjuti. Hal tersebut diketahui melalui penyelidikan dan pemeriksan. KPPU dapat memberikan putusan dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang terbukti melakukan praktek yang menghambat persaingan usaha tersebut.

(5)

ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli, KPPU akan memberikan jaminan kerahasiaan terhadap identitas pelapor dalam hal penanganan perkara melalui laporan.

KPPU melakukan monitoring dan atau menerima laporan dan menindaklanjuti serta menyelesaikan perkara pelanggaran Undang-Undang Anti Monopoli secara tuntas sampai menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang terbukti melakukan persaingan usaha tidak sehat. Pelaksanaan tugas tersebut memerlukan aturan/dasar hukum sebagai acuannya. KPPU membuat sendiri aturan atau dasar hukum dalam beracara karena Undang-Undang Anti Monopoli tidak mengatur secara jelas mengenai hal tersebut, dan memberikan wewenang kepada KPPU untuk membuat hukum acaranya sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka akhirnya KPPU mengeluarkan Keputusan KPPU Nomor 05/KPPU/Kep/IX/2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran terhadap Undang-Undang Anti Monopoli sebagai dasar hukum acaranya yang kemudian telah disempurnakan kembali menjadi Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. Sejak tanggal 18 April 2006, pedoman tata cara penanganan perkara di KPPU harus mengacu pada Peraturan KPPU No.1 Tahun 2006.

(6)

Salah satu bentuk kegiatan yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah kegiatan persekongkolan. Menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Anti Monopoli, persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.

Persekongkolan dibagi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu persekongkolan untuk mengatur pemenang tender, persekongkolan untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaing yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan, dan persekongkolan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang dan jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar yang bersangkutan menjadi kurang baik dari jumlah, kualitas maupun ketetapan waktu yang dipersyaratkan.

Undang-Undang Anti Monopoli melarang pelaku usaha untuk melakukan persekongkolan dalam tender. Pasal 22 Undang-Undang Anti Monopoli melarang pelaku usaha bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

(7)

pelanggaran persaingan usaha, dan hampir 60% dari kasus yang ditangani KPPU adalah kasus dugaan persekongkolan tender. (http://www.hukumonline.com)

Fakta tersebut menunjukkan bahwa kondisi terkini pengadaan barang dan jasa masih banyak diwarnai perilaku usaha yang tidak sehat, dimana pelaku usaha cenderung memupuk insentif untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan melakukan tindakan-tindakan anti persaingan, seperti melakukan pembatasan pasar, praktek persekongkolan, serta melakukan kolusi dengan panitia pengadaan untuk menentukan hasil akhir lelang.

(8)

Kedua perkaran tersebut berawal dari laporan masyarakat. Dari hasil monitoring yang dilakukan oleh KPPU telah terjadi persaingan usaha tidak sehat berupa persekongkolan dalam tender. KPPU membentuk tim pemeriksa guna melakukan pendalaman lebih lanjut mengenai adanya dugaan persekongkolan dalam tender tersebut. Selanjutnya tim memeriksa semua pihak yang terkait dalam tender ini untuk mendapatkan keterangan dan bukti. Perkara ini terus diproses dan diselesaikan hingga akhirnya ditemukan fakta dan dipastikan terjadi persekongkolan dalam pelaksanaan tender tersebut. Namun dalam pelaksanaan penyelesaian perkara yang dilakukan oleh KPPU pastilah terdapat perbedaan baik dalam bentuk proses penyelesaian perkarannya ataupun bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan dalam suatu tender pengadaan meskipun tender pengadaan tersebut merupakan jenis pengadaan barang yang sama. Jadi, walaupun jenis perkaranya sama yaitu pengadaan barang dalam sebuah tender bisa saja terdapat perbedaan-perbedaan seperti perbedaan bentuk pelanggaran yang dilakukan, tata cara penanganan perkara oleh KPPU, dan sanksi hukum yang dijatuhkan oleh sidang majelis komisi pada proses persidangan.

Dari latar belakang permasalahan di atas menarik kiranya jika dilakukan sebuah penelitian mengenai Persekongkolan Dalam tender Pengadaan Barang Sebagai Bentuk Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha (Studi Terhadap

(9)

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah persekongkolan yang terjadi dalam tender pengadaan barang sebagai bentuk pelanggaran persaingan usaha antara Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dan Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2008.

Sedangkan ruang lingkup kajian dari permasalahan di atas antara lain meliputi: 1. Tata cara penanganan perkara oleh KPPU.

2. Bentuk-bentuk persekongkolan yang terjadi dalam tender yang merupakan hal yang dilarang dalam Undang-Undang Antimonopoli.

3. Upaya hukum yang ditimbulkan dari putusan sidang majelis KPPU terhadap putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dan No. 01/KPPU-L/2008.

Ruang lingkup bidang ilmu dalam penelitian ini adalah Hukum Perdata Ekonomi khususnya Hukum Persaingan Usaha.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan ruang lingkup di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Putusan No. 15/KPPU-L/2008 dengan Putusan No. 01/KPPU-L/2008 tentang:

1. Tata cara penanganan perkara oleh KPPU dalam kedua perkara persekongkolan dalam tender tersebut.

(10)

3. Upaya hukum dari putusan sidang majelis komisi terhadap pelanggaran dalam kedua tender tersebut.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini mempunyai 2 (dua) aspek kegunaan, yaitu: 1. Kegunaan teoritis

Penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pendidikan ilmu hukum perdata ekonomi khususnya tentang Hukum Persaingan Usaha, mengenai bentuk bentuk persekongkolan dalam tender dan tata cara penanganan perkaranya.

2. Kegunaan praktis

Secara praktis, penelitian ini berguna untuk:

a. Upaya perluasan pengetahuan penulis dalam bidang ilmu hukum, khususnya hukum persaingan usaha.

b. Dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi pembangunan hukum yang ada di Indonesia khususnya tentang persaingan usaha.

(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Persaingan usaha

1. Dasar Hukum Persaingan Usaha

Dasar pengaturan hukum persaingan usaha adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, pengaturan mengenai hukum persaingan usaha diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelumnya, diantaranya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. (Munir Fuady, 2003: 42).

Dalam buku pedoman pelaksanaan KPPU-RI (2006: 7-87) bahwa dasar hukum dalam pengaturan hukum persaingan usaha pada saat ini adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

(12)

b. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha Indonesia. Keppres tersebut merupakan pengaturan mengenai pembentukan, tujuan, tugas, fungsi dan tata kerja KPPU; c. Keputusan KPPU Nomor 05/KPPU/Kep/IX/2000 Tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Keputusan KPPU tersebut merupakan peraturan mengenai penyampaian laporan, pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan lanjutan, dan putusan KPPU. Akan tetapi pada bulan April ditetapkan Peraturan KPPU Nomor 01/KPPU/Per/IV/2006 tentang Penanganan Perkara di KPPU, yang menggantikan Keputusan KPPU Nomor 05/KPPU/Kep/2000;

d. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU. Perma tersebut merupakan pengaturan mengenai tata cara pemeriksaan keberatan, dan pelaksanaan putusan.

2. Pengertian Hukum Persaingan Usaha

Arie Siswanto (2002: 17) berpendapat bahwa persaingan usaha sehat adalah: a. Persaingan yang pelaku usahanya tidak terpusat pada tangan tertentu dan

tersentralisasi pada beberapa pihak saja, akan tetapi berjalan sesuai mekanisme pasar yang sehat yaitu dalam dunia ekonomi semua pelaku usaha mempunyai hak kewajiban yang sama;

(13)

c. Persaingan yang sehat yaitu dalam kegiatannya tidak adanya penguasaan terhadap produksi barang dan jasa baik dari produksi sampai pada pemasarannya.

Ada beberapa aspek positif persaingan dalam perspektif ekonomi (Arie Siswanto, 2004: 16), yaitu sebagai berikut:

a. Persaingan merupakan sarana untuk melindungi para pelaku ekonomi terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan. Kondisi persaingan menyebabkan kekuatan ekonomi para pelaku ekonomi tidak terpusat pada tangan tertentu;

b. Persaingan mendorong alokasi dan realokasi sumber-sumber daya ekonomi sesuai dengan keinginan konsumen, karena ditentukan oleh pemintaan, perilaku para penjual dalam kondisi persaingan akan cenderung mengikuti pergerakan permintaan para pembeli;

c. Persaingan bisa menjadi kekuatan untuk mendorong penggunaan sumber daya ekonomi dan metode pemanfaatannya secara efisien. Dalam hal perusahaan bersainga secara bebas, maka mereka akan cenderung menggunakan sumber daya yang ada secara efisien;

d. Persaingan bisa merangsang peningkatan mutu produk, pelayanan, proses produksi, dan teknologi. Dalam kondisi persaingan setiap pesaing akan berusaha mengurangi biaya produksi serta memperbesar pangsa pasar.

(14)

bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan keuntungan atau menimbulkan kerugian. Apabila persaingan dilakukan secara jujur, tidak akan merugikan pihak manapun.

Persaingan merupakan pendorong untuk memajukan perusahaan dengan menciptakan produk bermutu melalui penemuan-penemuan baru dan teknik menjalankan perusahaan yang serba canggih. Persaingan inilah yang disebut dengan persaingan sehat yang dihargai oleh hukum. Persaingan sehat adalah persaingan yang dibenarkan oleh hukum dan mendatangkan keuntungan tanpa merugikan pesaing. Selain dari persaingan sehat, ada pula persaingan tidak sehat, yang dilakukan secara tidak wajar, melanggar hukum, dan merugikan pesaing. Persaingan tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiataan produksi dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melanggar hukum atau menghambat persaingan usaha.

Unsur-unsur persaingan usaha menurut Abdulkadir Muhammad (1999: 310), dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Beberapa orang pengusaha (pelaku usaha); b. Dalam bidang usaha yang sama (sejenis);

c. Bersama-sama menjalankan perusahaan (kegiatan usaha); d. Dalam daerah pemasaran yang sama;

(15)

Persaingan yang dinyatakan oleh Abdulkadir Muhammad tersebut, mencerminkan bahwa persaingan usaha berdasarkan unsur-unsur tersebut adalah persaingan usaha sehat. Untuk itu, dari segi ekonomi persaingan usaha menimbulkan manfaat (Abdulkadir Muhammad, 1999: 256) antara lain:

a. Menghasilkan produk bermutu melalui penemuan-penemuan baru dan manajemen usaha yang serba canggih;

b. Memperlancar arus distribusi karena pelayanan yang baik dan cepat;

c. Menguntungkan perusahaan karena kepercayaan masyarakat pada produk yang dihasilkan atau bemutu.

Berdasarkan pengertian di atas, maka pengertian persaingan usaha identik atau sama dengan pengertian persaingan usaha sehat. Persaingan usaha yang dilakukan dengan memenuhi unsur persaingan adalah persaingan usaha sehat. Secara khusus Undang-UndangNo. 5 Tahun 1999 tidak mengatur pengertian, unsur dan lingkup persaingan usaha sehat. Namun, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur secara khusus dan rinci pengertian, konsep dan lingkup persaingan usaha tidak sehat.

3. Bentuk Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 telah mengatur bahwa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan.

a. Perjanjian yang Dilarang

(16)

lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri tehadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan melalui unsur-unsur perjanjian yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 meliputi:

(1) perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;

(2) perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam perjanjian;

(3) perjanjiannya dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis.

Undang-UndangNo. 5 Tahun 1999 mengatur bentuk-bentuk perjanjian yang dilarang, yaitu:

(1) oligopoli, yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) dan (2); (2) penetapan harga, yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (1); (3) pembagian wilayah, yang diatur dalam Pasal 9;

(4) pemboikotan, yang diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2); (5) kartel, yang diatur dalam Pasal 11;

(6) trust, yang diatur dalam Pasal 12;

(7) oligopsoni, yang diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) dan (2); (8) integrasi vertikal, yang diatur dalam Pasal 14;

(9) perjanjian tertutup, yang diatur dalam Pasal 15 Ayat (1) sampai (3); (10) perjanjian dengan pihak luar, yang diatur dalam Pasal 16.

b. Kegiatan yang dilarang

(17)

yang diberikan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan kegiatan adalah tindakan atau perbuatan hukum sepihak yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa ada keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha lainnya (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2000: 31). Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menentukan bentuk-bentuk kegiatan yang dilarang, meliputi: (1) monopoli, yang diatur daalm Pasal 17 Ayat (1) dan (2);

(2) monopsoni, yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) dan (2);

(3) penguasaan pasar, yang diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 21; (4) persekongkolan dalam tender, yang diatur dalam Pasal 22 sampai dengan

Pasal 24.

c. Posisi Dominan

Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

(18)

Posisi dominan yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut meliputi:

(1) Posisi dominan secara umum, yang diatur dalam Pasal 25 Ayat (1) dan (2): (2) Jabatan rangkap, yang diatur dalam Pasal 26;

(3) Pemilikan saham minoritas, yang diatur dalam Pasal 27;

a. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, yang diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) sampai (3).

B. Persekongkolan dalam tender

1. Pengertian Persekongkolan dalam tender

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dalam Pasal 1 Ayat (8) menjelaskan bahwa persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, persekongkolan termasuk dalam bentuk kegiatan yang dilarang yang diatur dalam Pasal 22, 23, dan 24. Berdasarkan Pasal 22, 23 dan 24 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, ditentukan bentuk-bentuk persekongkolan yaitu sebagai berikut:

a. pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. (Pasal 24 Undang-UndangNo. 5 Tahun 1999) b. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan

(19)

perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. (Pasal 24 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999)

c. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan. (Pasal 24 Undang-UndangNo. 5 Tahun 1999)

Secara khusus, Undang-Undang No.5 Tahun 1999 mengatur secara rinci kegiatan persekongkolan tender pada Pasal 22 dalam Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan Tender. Berdasarkan Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender (2005: 8), praktek persaingan usaha tidak sehat dalam persekongkolan dapat terjadi apabila memenuhi unsur-unsur persekongkolan dalam tender yaitu:

1. Unsur Pelaku Usaha

(20)

2. Unsur Bersekongkol

Bersekongkol adalah kerjasama dan dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu. Unsur bersekongkol antara lain dapat berupa:

(1) kerjasama antara dua belah pihak atau lebih;

(2) secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lain;

(3) membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan; (4) menciptakan persaingan semu;

(5) menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan.

3. Unsur Pihak Lain

Pihak lain adalah para pihak (vertikal maupun horizontal) yang terlibat dalam proses tender yang melakukan persekongkolan baik pelaku usaha sebagai peserta tender dan atau subyek hukum lainnya yeng terkait dengan tender.

4. Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

(21)

pengadaan alat kesehatan RSUD Brebes dalam studi putusan KPPU No. 20/KPPU-L/2007. Untuk itu, penelitian ini akan mengkaji pula ketentuan normatif persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dan Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan Tender.

2. Bentuk Persekongkolan dalam Tender

Persekongkolan dalam tender dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal, dan gabungan persekongkolan vertikal dan horizontal (Pedoman Pasal 22). Berikut adalah penjelasan atas ketiga bentuk persekongkolan tersebut:

a. Persekongkolan Horizontal

Persekongkolan horizontal adalah persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia barang dan atau jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan atau jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan sebagai persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu di antara peserta tender (Pedoman Pasal 22).

b. Persekongkolan Vertikal

(22)

atau pemberi pekerjaan bekerja sama dengan salah satu atau beberapa peserta tender (Pedoman Pasal 22).

c. Gabungan dari persekongkolan Horizotal dan Vertikal

Gabungan dari persekongkolan horizontal dan vertikal adalah persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender. Salah satu bentuk tender ini adalah tender fiktif, dimana baik panitia tender, pemberi pekerjaan, maupun sesama para pelaku usaha melakukan suatu proses tender hanya secara administratif dan tertutup ( Pedoman Pasal 22 ).

C. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

1. Tugas KPPU

(23)

2. Wewenang KPPU

Wewenang yang diberikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terhadap KPPU adalah menerima laporan dari masyarakat tentang adanya dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, melakukan penelitian, penyelidikan serta pemeriksaan terhadap bukti-bukti yang terkait atas dugaan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, menetapkan dan memutuskan serta menjatuhkan sanksi hukuman terhadap pelaku usaha yang melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Mengenai wewenang KPPU secara rinci terdapat dalam ketentuan Pasal 36 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

(24)

D. Tata Cara Penanganan Perkara

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 secara umum telah mengatur tentang tata cara penanganan perkara. Namun, pengaturan tata cara penanganan perkara tersebut belum diatur secara rinci dan jelas. Berdasarkan peraturan KPPU berwenang pula mengeluarkan peraturan berupa tata cara penanganan perkara. Untuk itu, dikeluarkanlah Surat Keputusan KPPU Nomor 05/KPPU/KEP/IX/2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana telah disempurnakan kembali menjadi Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. Sejak tanggal 18 April 2006, pedoman tata cara penanganan perkara di KPPU harus mengacu pada Peraturan KPPU No.1 Tahun 2006.

Penelitian ini akan mengkaji dan membahas proses penyelesaiaan perkara pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 oleh KPPU yang telah mengacu pada Peraturan KPPU No.1 Tahun 2006 dalam studi komparatif terhadap putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dan No. 01/KPPU-L/2008

(25)

tata cara pemeriksaan di KPPU atau tata cara penyelesaian perkara adalah seperti berikut:

1. Penelitian dan Klarifikasi Laporan

Penyampaian laporan atas dugaan pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ini diatur dalam Pasal 38 Ayat (1) dan (2), dan dalam Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 Pasal 12 sampai Pasal 13. Berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dan Peraturan KPPU No.1 Tahun 2006, maka penyampaian laporan atas dugaan pelanggaran dibuat secara tertulis dengan ditandatangani oleh pelapor dan dalam bahasa Indonesia dengan memuat keterangan jelas dan lengkap mengenai telah terjadi atau dugaan terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang dengan menyertakan identitas diri. Selain itu, diatur pula bahwa setiap orang yang mengetahui telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut dapat melaporkan secara tertulis kepada komisi dengan menyertakan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor. Kemudian laporan tersebut disampaikan kepada ketua komisi untuk dilakukan penelitian dan klarifikasi terhadap laporan tersebut. Penelitian dan klarifikasi ini ditugaskan kepada sekretariat komisi, dan jika memang diperlukan maka sekretariat komisi dapat membentuk tim penelitian dan klarifikasi.

(26)

dan atau pihak lain. Jika memang laporan yang diterima dinilai sudah jelas dan lengkap, maka sekretariat komisi akan membuatnya dalam bentuk resume laporan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 15 Ayat (2) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006. Pasal 15 Ayat (3) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 jelas mengatur bahwa resume laporan tersebut sekurang-kurangnya memuat uraian yang menjelaskan: a. identitas pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran;

b. perjanjian dan atau kegiatan yang diduga melanggar;

c. cara perjanjain dan atau kegiatan usaha dilakukan atau dampak perjanjian dan atau kegiatan terhadap persaingan, kepentingan umum, konsumen, dan atau kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran;

d. ketentuan undang-undang yang dilanggar.

Jika memang setelah resume laporan selesai dibuat dan memenuhi dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 15 Ayat (3) di atas, maka laporan akan dimasukkan ke dalam buku daftar penghentian laporan. Terhadap laporan yang memenuhi syarat maka akan dilanjutkan ke tahap pemberkasan untuk dilakukan gelar laporan. Penelitian dan klarifikasi laporan tersebut dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.

2. Pemberkasan

(27)

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu dalam Pasal 15 Ayat (3) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006. Selanjutnya sekretariat komisi akan menyampaikan berkas laporan dugaan pelanggaran kepada komisi untuk dilakukan gelar laporan.

Terhadap resume laporan atau resume monitoring yang ditemukan belum layak untuk dilakukan gelar laporan, sekretariat komisi akan melakukan perbaikan sehingga jelas dan lengkap. Apabila berkas laporan yang telah dilakukan perbaikan ternyata tetap tidak jelas dan lengkap, maka sekretariat komisi akan merekomendasikan kepada komisi untuk menghentikan penanganan laporan yang dimaksud kemudian mencatatnya dalam buku daftar penghentian laporan. Selanjutnya, sekretariat komisi akan memberitahukannya kepada pelapor yang bersangkutan. Jangka waktu pemberkasan terhadap resume laporan atau resume monitoring, ini dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari.

3. Gelar Laporan

Dalam gelar laporan sekretariat komisi memaparkan laporan dugaan pelanggaran dalam suatu rapat gelar laporan yang dihadiri oleh pimpinan komisi dan sejumlah anggota komisi yang memenuhi kuorum. Dalam rapat ini, komisi melakukan penilaian layak atau tidaknya dilakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran (Hermansyah, 2008: 105-106).

(28)

Di dalam Pasal 19 Ayat (2) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 disebutkan jelas bahwa suatu laporan dugaan pelanggaran dinilai layak dilakukan pemeriksaan pendahuluan apabila memenuhi syarat, yaitu:

a. identitas pelaku usaha yang diduga melakukan melakukan pelanggaran; b. perjanjian dan atau kegiatan yang diduga melanggar:

c. cara perjanjian dan atau kegiatan usaha dilakukan atau dampak perjanjian dan atau kegiatan terhadap persaingan, kepentingan umum, konsumen dan atau kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran;

d. ketentuan undang - undang yang diduga dilanggar;

e. rekomendasi perlu tidaknya dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan.

(29)

4. Pemeriksaan Pendahuluan

Pemeriksaan pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tim pemeriksa pendahuluan terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan, seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 angka (14) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006. Apabila pemeriksaan dilakukan atas dasar inisiatif, jangka waktu pemeriksaan pendahuluan dihitung sejak tanggal surat penetapan majelis komisi untuk memulai pemeriksaan pendahuluan. Apabila pemeriksaan pendahuluan atas dasar adanya laporan, KPPU berdasarkan laporan tersebut wajib terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap kejelasan laporan sesuai dengan Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006. Jika laporan tersebut dinyatakan telah lengkap dan jelas, KPPU melalui surat penetapan, akan menentukan mulainya waktu pemeriksaan pendahuluan, dan jangka waktu pemeriksaan pendahuluan atas dasar adanya laporan ini dihitung sejak tanggal surat penetapan komisi (Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, 2005: 18).

(30)

memberikan kesempatan kepada terlapor untuk mengajukan pembelaan diri. Mengenai kesempatan untuk melakukan pembelaan diri ini ditentukan Pasal 35 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006.

Jangka waktu pemeriksaan pendahuluan oleh tim pemeriksa pendahuluan terhadap terlapor dan para pihak yang terkait paling lama adalah 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkan pemeriksaan pendahuluan (Pasal 36 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006).

Dalam Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 memang tidak disebut adanya pengecualian dalam pemeriksaan terhadap terlapor yang diduga melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun Tahun 1999. Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 37 Ayat (1) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 yang menyatakan adanya pengecualian dalam proses pemeriksaan terhadap terlapor yang diduga melakukan pelanggaran, bahwa komisi dapat menetapkan tidak perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan meskipun terdapat dugaan pelanggaran, apabila terlapor menyatakan bersedia melakukan perubahan perilaku. Perubahan perilaku tersebut dapat dilakukan dengan membatalkan perjanjian dan atau menghentikan kegiatan dan atau menghentikan penyalahgunaan posisi dominan yang diduga melanggar dan atau membayar kerugian akibat dari pelanggaran yang dilakukan. Pelaksanaannya dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari dan dapat diperpanjang sesuai dengan penetapan Komisi.

(31)

melakukan perubahan perilaku dan mewujudkan pernyataan tersebut dalam tindakan yang nyata, misalnya dengan segera membatalkan perjanjian dan atau menghentikan kegiatan dan atau menghentikan penyalahgunaan posisi dominan yang diduga melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, dan atau membayar kerugian akibat dari dugaan pelanggaran yang dilakukannya dapat diberi pengecualian oleh Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 melalui penetapan komisi dengan tidak melakukan pemeriksaan lanjutan. Tentu hal ini harus dilihat sebagai sebuah kebijakan dalam penegakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Namun, pelaksanaan ketentuan ini harus secara selektif dan hati-hati, sehingga tidak menimbulkan presedent yang justru menghambat penegakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 itu sendiri.

Dalam jangka waktu seperti yang telah dijelaskan mengenai perubahan perilaku tersebut, untuk tujuan memastikan agar terlapor sungguh-sungguh konsisten dalam melaksanakan perubahan perilaku sesuai yang dinyatakannya, maka sekretariat komisi atau tim monitoring pelaksanaan penetapan melakukan monitoring. Lebih lanjut, dapat dikemukakan bahwa monitoring ini perlu dilakukan untuk menilai pelaksanaan penetapan komisi tentang perubahan perilaku.

(32)

menyampaikan dan memaparkan laporan pelaksanaan penetapan tersebut dalam suatu rapat komisi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 40 dan 41 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006, setelah mendengar pemaparan yang disampaikan oleh sekretariat komisi, maka berdasarkan penilaian yang dilakukan, komisi dapat menetapkan 2 (dua) hal, yaitu:

(1) Menetapkan untuk menghentikan monitoring pelaksanaan penetapan perubahan perilaku dan tidak melanjutkan kepemeriksaan lanjutan;

(2) Menetapkan untuk menghentikan monitoring pelaksanaan penetapan perubahan perilaku sekaligus menetapkan untuk melanjutkan ke Pemeriksaan Lanjutan.

5. Pemeriksaan Lanjutan

(33)

6. Sidang Majelis Komisi

Pasal 52 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 menjelaskan bahwa sidang majelis komisi dilakukan untuk menilai, menyimpulkan dan memutuskan perkara berdasarkan bukti yang cukup, tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran yaitu pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Sidang komisi ini diatur dalam ketentuan Pasal 53 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006. Pada dasarnya ketentuan ini mengatur tentang hak terlapor untuk membela diri atas dugaan pelanggaran yang dituduhkan kepadanya sekaligus prosedur yang dapat ditempuh oleh terlapor dalam menggunakan haknya tersebut.

Hermanyah (2008: 121), berpendapat bahwa sidang komisi merupakan suatu kewajiban hukum, bagi setiap dugaan pelanggaran hukum yang ditujukan kepada seseorang wajib disertai dan didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan pula secara hukum. Untuk itu, atas dugaan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh terlapor, maka dugaan itu harus didukung oleh alat-alat bukti.

Pasal 64 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 menjelaskan bahwa dalam menilai terjadi atau tidaknya pelanggaran, tim pemeriksa atau majelis komisi menggunakan alat-alat bukti berupa:

a. keterangan saksi; b. keterangan ahli;

c. surat dan atau dokumen; d. petunjuk;

(34)

Di dalam menilai alat-alat bukti atas dugaan pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 itu, majelis komisi wajib melakukan penilaian secara seksama dan cermat terhadap sah atau tidak sahnya suatu alat bukti dengan memperhatikan kesesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti lainnya. Artinya bahwa perlu dilakukan pemeriksaan kembali oleh majelis komisi secara penuh ketelitian terhadap setiap alat bukti yang diajukan oleh pihak Pelapor.

Setelah melalui tahap pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan lanjutan, dan sidang komisi mengenai dugaan pelanggaran atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka majelis komisi wajib memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut paling lambat 30 (tiga puluh hari) terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan. (Hermansyah, 2008: 123).

7. Putusan KPPU

Putusan adalah sesuatu yang telah disetujui dan ditetapkan. Apabila dikaitkan dengan proses pengadilan maka yang dimaksud dengan putusan adalah ketetapan pengadilan mengenai suatu perkara (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976: 784). Menurut Riduan Syahrani (2000: 136), putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.

Sudikno Mertokusumo (1998: 95) berpendapat bahwa putusan dapat dibagi tiga, yaitu:

(35)

c. Putusan yang bersifat menerangkan atau menyatakan (declaratoir).

Sudikno menjelaskan bahwa keputusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Putusan constitutif adalah putusan yang menciptakan atau meniadakan suatu keadaan hukum. Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, dan pada hakikatnya semua putusan baik yang condemnatoir maupun constitutif bersifat declaratoir.

Pasal 43 Ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa KPPU wajib memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini selambat-selambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan Ayat (2). Berdasarkan uraian Pasal 43 Ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, dapat dirumuskan dua bentuk putusan komisi, yaitu:

a. Putusan telah terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 oleh pelaku usaha;

b. Putusan tidak terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 oleh pelaku usaha.

E. Kerangka Pikir

(36)

Keterangan:

Pemerintah (dalam hal ini DPR) membuat dan mensahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Undang-Undang Persaingan Usaha) agar persaingan usaha di Indonesia terhindar dari praktek monopoli dan berbagai bentuk persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat.

Pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Persaingan Usaha tersebut dilakukan pemerintah dengan membentuk suatu lembaga negara yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU menjalankan tugasnya berlandaskan Undang-Undang Persaingan Usaha yang memberikan wewenang besar untuk mengeliminasi praktek usaha tidak sehat yang menghambat persaingan efektif.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dan

Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2008

Tatacara Penanganan

Perkara

Upaya hukum Putusan Sidang

Majelis Komisi Bentuk

(37)

Undang-Undang Persaingan Usaha membagi persaingan tidak sehat dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan. Salah satu bentuk kegiatan yang dilarang Undang-Undang Persaingan Usaha adalah kegiatan persekongkolan dalam tender. Walaupun Undang-Undang Persaingan Usaha melarang, namun hal tersebut masih saja terjadi. Salah satunya adalah pada tender pengadaan alat kedokteran, kesehatan dan KB RSUD Kabupaten Buleleng, Singaraja, Bali Tahun Anggaran 2007 yang telah diputus dan ditetapkan oleh KPPU dalam surat putusan nomor 15/KPPU-L/2008 dan pada tender pengadaan alat kesehatan, kedokteran dan KB Program Upaya Kesehatan Perorangan Badan Pengelolaan RSUD dr. Soesilo Kab. Tegal Dana Tugas Pembantuan Tahun 2007 yang telah diputus dan ditetapkan oleh KPPU dalam surat putusan nomor 01/KPPU-L/2008.

(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (normative law research), yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasi (Abdulkadir Muhammad, 2004: 101). Hukum tertulis yang digunakan dalam penelitian ini adalah putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dan No. 01/KPPU-L/2008 mengenai persekongkolan dalam tender pengadaan barang dan jasa pemerintah.

B. Tipe Penelitian

(39)

ditempuh terhadap putusan sidang majelis komisi. Aturan hukum yang digunakan yaitu Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dan No. 01/KPPU-L/2008.

C. Pendekatan Masalah

Berdasarkan jenis penelitian ini, maka pendekatan masalah yang digunakan adalah dengan menggunakan metode pendekatan normatif-terapan (applied law approach). Untuk menggunakan applied law approach methode, peneliti terlebih dahulu telah merumuskan permasalahan dan tujuan penelitian. Masalah dan tujuan tersebut perlu dirumuskan secara rinci, jelas, dan akurat. Tipe pendekatan normatif-terapan yang digunakan pada penelitian ini adalah judicial case study yaitu pendekatan studi kasus pada peristiwa hokum tertentu yang menimbulkan konflik kepentingan, namun tidak dapat dieselesaikan oleh pihak-pihak tetapi tetap melalui proses pengadilan melalui putusannya.

D. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka yang meliputi:

1. Bahan hukum primer

(40)

2. Bahan hukum sekunder

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang berupa buku-buku ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pokok bahasan yaitu persekongkolan dalam tender.

3. Bahan hukum tersier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dari kamus, pedoman penulisan karya ilmiah, internet dan informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian permasalahan persekongkolan dalam tender.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah: 1. Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data sekunder dengan cara mengumpulkan, kemudian mengutip literatur dan perundangan-undangan yang mendukung dan berkaitan dengan masalah yang akan dibahas, 2. Studi dokumen

Studi dokumen dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari, mengutip, menelaah dan menganalisis Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dan No. 01/KPPU-L/2008.

F. Pengolahan Data

(41)

1. Pemeriksaan data (editing)

Yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah lengkap, benar, dan sesuai dengan masalah.

2. Rekonstruksi data (reconstructing)

Yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.

3. Sistematisasi data (sistematizing)

Yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

G.Analisis Data

(42)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tata Cara Penanganan Perkara Oleh KPPU Dalam Perkara

Persekongkolan Dalam Tender

1. Studi Pada Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008

Penyelesaian perkara persekongkolan dalam tender pengadaan barang/jasa SPBN RSUD Kabupaten buleleng Tahun Anggaran 2007 adalah proses atau tahapan yang dilakukan KPPU dalam melakukan pemeriksaan kasus persekongkolan dalam tender pengadaan barang/jasa SPBN RSUD Kabupaten buleleng Tahun Anggaran 2007 berdasarkan Undang-Undang Anti Monopoli dan Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. Pemeriksaan perkara pelanggaran Undang-Undang Anti Monopoli dalam kasus ini dilakukan berdasarkan adanya laporan yang masuk ke KPPU.

Berdasarkan laopran tersebut, maka KPPU mekalukan serangkaian pemeriksaan dugaan pelanggaran pasal 22 Undang-Undang Anti Monopoli yang dilakukan oleh para pelaku usaha sebagai berikut :

(a) Panitia Pengadaan Barang/jasa APBN RSUD Kabupaten Buleleng sebagai Terlapor I

(43)

(e) PT Siemens Indonesia sebagai Terlapor V (f) PT Surya Bali Makmur sebagai Terlapor VI (g) DV Medika sebagai terlapor VII

(h) Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng, Singaraja, Bali sebagai terlapor VIII

Adapun tahap-tahap pemeriksaan yang dilakukan KPPU terhadap kasus persekongkolan dalam tender pengadaan barang dan jasa APBN RSUD Kabupaten Buleleng Tahun Anggaran 2007 tersebut mengacu pada Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 dan dimuat dalam Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 adalah sebagai berikut :

1. Penelitian dan Klarifikasi

Menurut Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006, penelitian dan klarifikasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Sekretariat Komisi untuk mendapatkan kelengkapan dan kejelasan laporan dari pelapor. Laporan yang disampaikan oleh pelapor kepada KPPU baik oleh masyarakat yang dirugikan atau atas dasar laporan dari pelaku usaha yang dirugikan mengenai telah terjadi atau dugaan terjadinya pelanggaran terhadap Undag-Undang Anti monopoli.

(44)

(a) Panitia lelang tidak memberi peluang kepada peserta lelang, tidak memuat usulan dan penolakan dalam BeritavAcara menjelasan/aanwijzing, dan memberitahukan pengumuman pemenang lelang satu hari sebelum masa sanggah berakhir

(b) PD Sadha Agung, UD Azka Graha Mandiri dan CV. Surya Chandra Nata melakukan kerja sama dalam menyusun Lembaran Rencana Kegiatan (Time schedule)

(c) PT. Surya Bali Makmur tidak memberikan surat dukungan kepada seluruh peserta lelang

(d) DV Medika – Diponegoro dijadikan Kop surat PT. Surya Bali Makmur; (e) PT. Siemens Indonesia tidak melakukan pemantauan.

(45)

Penelitian dan klarifikasi laporan dilakukan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Setelah resume laporan telah lengkap dan jelas maka ketua Komisi menugaskan Sekretariat Komisi untuk melakukan monitoring kepada pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran.

Berdasarkan peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006, monitoring pelaku usaha adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Sekretariat Komisi untuk mendapatkan kelengkapan dan kejelasan mengenai pelanggaran yang diduga atau patut diduga dilakukan oleh pelaku usaha berdasarkan data dan informasi yang berkembang di masyarakat. Kegiatan tersebut dilakukan Sekretariat Komisi untuk mendapatkan kejelasan identitas maupun atas dugaan ada atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha atau para terlapor. Kemudian Sekretariat Komisi menyimpulkan hasil penelitian serta klarifikasi tersebut dalam bentuk resume monitoring. Namun dalam putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 tersebut tidak dimuat kapan sekretariat komisi melakukan penelitian dan klarifikasi.

2. Pemberkasan

(46)

dilakukan untuk menilai layak tidaknya dilakukan gelar laporan. Untuk melakukan penelitian tersebut Sekretariat Komisi kembali melakukan penelitian terhadap kejelasan serta kelengkapan resume monitoring.

Hasil penilaian atau pemberkasan tersebut berisi data dan informasi mengenai identitas pelaku usaha, perjanjian dan atau kegiatan usaha yang diduga dilanggar, cara perjanjian dan atau kegiatan usaha dilakukan atau dampak perjanjian dan atau kegiatan terhadap pesaing, kepentingan umum, konsumen dan atau kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran tersebut serta ketentuan Undang-Undang yang diduga dilanggar.

Jangka waktu pemberkasan terhadap resume monitoring dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Hasil penelitian dan pemberkasan tersebut dituangkan dalam bentuk laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh para terlapor yang selanjutnya oleh Sekretariat Komisi disampaikan kepada Rapat Komisi untuk dilakukan gelar laporan. Namun dalam putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 tersebut tidak dimuat kapan sekretariat komisi melakukan pemberkasan.

3. Gelar laporan

(47)

komisi menilai layak tidaknya dilakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap laporan dugaan pelanggaran. Dalam kasus Putusan KPPU No. 15/KPPU-L/2008 dinilai layak untuk dilakukan pemeriksaan pendahuluan karena telah memenuhi unsure pasa 19 aya (2) peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 yaitu :

(48)

Perubahan Anggaran Dasar No. 1 Tanggal 1 Maret 1993 di buat di Denpasar oleh Notaris I Putu Chandra, SH. Kegiatan usaha Terlapor IV diantaranya adalah menjalankan usaha alat kesehatan, Terlapor V, PT Siemens Indonesia adalah Badan Usaha yang berbentuk badan hukum dengan fasilitas Penanaman Modal Asing (PMA), yang didirikan dan berkedudukan di Jakarta, yang Perubahan Anggaran Dasarnya terakhir diubah berdasarkan Akte Nomor 01 tanggal 09 Juli 2007, dibuat dihadapan Leolin Jayayanti, SH., Notaris 54 di Jakarta, yang merupakan anak perusahaan dari Siemens AG Medical Solutions USA, INC. USA, Terlapor VI, PT Surya Bali Makmur, Badan usaha yang berbentuk badan hukum, didirikan berdasarkan Akte Pendirian Nomor 1 tanggal 8 Oktober 2005, dibuat oleh Andy Shindhunata, SH., Notaris di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, Kuta, Bali. Kegiatan usaha Terlapor VI diantaranya adalah melakukan kegiatan usaha di bidang ekspor – impor peralatan perdagangan peralatan kesehatan, supplier, grosir, distributor, agen dan perwakilan dari perusahaan lainnya, Terlapor VII, DV Medika - Diponegoro adalah merek jasa, sehingga DV Medika-Diponegoro/Terlapor VII tidak tepat didudukkan sebagai Terlapor dalam perkara ini, Terlapor VIII, Direktur RSUD Kabupaten Buleleng, Singaraja Bali, adalah Pejabat Pemerintah Daerah yang dijabat oleh dr. I Nyoman Mardana, Sp.B, selaku Pegawai Negeri Sipil, berdasarkan Keputusan Bupati Buleleng No. 821/016/BKD, Tahun 2003 dan No. 800/1431/BKD, Tahun 2007.

(49)

penawaran dan antara pelaku usaha dengan pihak panitian lelang yang bersekongkol untuk mengatur pemenang tender.

(c) Cara perjanjian dan atau kegiatan usaha dilakukan atau dampak perjanjian dan atau kegiatan terhadap persaingan, kepentingan umum, konsumen dan atau kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran yaitu kegiatan yang dilakukan oleh PT Surya Bali Makmur yang tidak memberikan surat dukungan kepada seluruh peserta lelang sehingga mengakibatkan peserta lelang lain tidak dapat memenuhi persyaratan yang diajukan panitia lelang dalam tender tersebut.

(d) Ketentuan Undang-Undang yang diduga dilanggar yaitu Pasal 19 huruf d dan pasal 22 Undang-Undang Anti Monopoli.

Jangka waktu gelar laporan dilakukan selambat lambatnya 14 (empat belas) hari sejak selesainya pemberkasan. Dengan demikian setelah dilakukan penelitian dan klarifikasi, pemberkasan serta laporan telah dinyatakan lengkap dan jelas maka ketua Komisi merekomendasikan kepada rapat Komisi untuk dilakukan pemeriksaan pendahuluan.

4. Pemeriksaan Pendahuluan

Menurut Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 yang dimaksud dengan Pemeriksaan Pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Pendahuluan terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan.

(50)

Pemeriksaan Pendahuluan Perkara No. 15/KPPU-L/2008. Pemeriksaan pendahuluan dilakukan terhitung sejak tanggal 12 Maret 2008 sampai dengan tanggal 22 April 2008.

Dengan pertimbangan bahwa berdasarkan Peraturan Komisi Nomor 2 tahun 2008 tentang kewenangan Sekretariat Komisi Dalam Penanganan Perkara, Plt. Direktur Eksekutif Sekretariat Komisi menerbitkan surat tugas No. 128/SET/DE/ST/III/2008, tanggal 12 Maret 2008, kemudian menugaskan 3 orang investigator atau Tim Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap perkara no. 15/KPPU-L/2008.

Tim pemeriksa meminta dan mendengar keterangan dari para terlapor selama pemeriksaan pendahuluan. Identitas serta keterangan terlapor ada pada tim pemeriksa, dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan ditandatangani oleh yang bersangkutan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pendahuluan, tim pemeriksa menemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap Pasal 22 Undang-Undang Anti Monopoli, yaitu indikasi adanya persekongkolan dalam proses tender dalam bentuk:

(a) Pada proses perencanaan tender tersebut, dr. Ketut Susila, SPJP sebelumnya telah didatangi oleh penyalur alat kesehatan yang menawarkan dan member brosur asli alat Transducer for USG Type Sonoline G-50 merek Siemens (b) Terdapat kesamaan dokumen penawaran berupa Rencapa Pekerjaan (Time

(51)

(c) Bahwa prilaku PT. Surya Bali Makmur tidak memberikan surat dukungan alat Transducer fot G50 oleh PT. surya Bali Makmur kepada seluruh peserta yang merupakan tindakan mengatur dan menentukan pemenang lelang.

(d) Tindakan direktur RSUD buleleng yang tidak memisahkan alat Transducer for G50 dari alat kesehatan lainnya yang merupakan prilaku panitia lelang dan Direktur RSUD Buleleng untuk mengatur agar PT PD Sadha Agung ditetapkan sebagai pemenang lelang.

(e) Kedekatan hubungan antara PT PD Sadha Agung dan Direktur RSUD Buleleng yang merupakan bentuk panitia lelang mengatur untuk menentukan PT PD Agung sebagai pemenang lelang.

(f) Keterlambatan peserta lelang dalam menerima surat pemberitahuan pemenang yang merupakan prilaku panitia lelang mengatur untuk menentukan PT PD Sadha agung sebagai pemenang lelang.

(g) Prilaku panitia lelang yang tidak memasukkan usulan peserta dalam penjelasan ke dalam penjelasan berita acara penjelasan merupakan prilaku panitia lelang mengatur untuk menentukan PT PD Sadha agung sebagai pemenang lelang.

(h) Prilaku panitia lelang yang tidak menuangkan hasil evaluasi penawaran semua peserta ke dalam berita acara evaluasi penawaran merupakan prilaku panitia lelang mengatur untuk menentukan PT PD Sadha agung sebagai pemenang lelang.

(52)

5. Pemeriksaan lanjutan

Menurut pasal 1 ayat (15) peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006, pemeriksaan lanjutan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Lanjutan terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan ada atau tidak adanya bukti pelanggaran. Oleh sebab itu pemeriksaan lanjutan pada perkara No. 15/KPPU-L/2008 adalah sebagai tindak lanjut dari pemeriksaan pendahuluan yang telah dilakukan oleh Komisi sebelumnya.

Jangka waktu pemeriksaan lanjutan adalah 60 (enam puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30(tiga puluh) hari. Berdasarkan rekomendasi dari Tim Pemeriksa, setelah melakukan pemeriksaan pendahuluan dan mendengarkan keterangan terlapor maka pada tanggal 22 April 2008 Ketua Komisi menerbitkan Penetapan No. 69/KPPU/PEN/IV/2008 tentang Pemeriksaan Lanjutan perkara No. 15/KPPU-L/2008 terhitung sejak tanggal 23 April 2008 sampai dengan tanggal 17 juli 2008. Kemudian Plt. Direktur Eksekutif menerbitkan surat tugas No. 302/SET/DE/ST/IV/2008 dan menugaskan Tim Pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan Lanjutan terhadap perkara No. 15/KPPU-L/2008.

Kemudian dalam rangka melaksanakan Pemeriksaan Lanjutan Perkar No. 15/KPPU-L/2008, ketua komisi menerbitkan keputusan No. 171/KPPU/KPE/V/2008 pada tanggal 19 Mei 2008 tentang Penunjukan Tempat Pemeriksaan di Luar Kantor KPPUdalam Pemeriksaan Lanjutan Perkara No. 15/KPPU-L/2008.

(53)

228/KPPU/PEN/VII/2008 tentang Perpanjangan pemeriksaan Lanjutan Perkara No. 15/KPPU-L/2008 pada tanggal 18 Juli 2008, terhitung sejak tanggal 18 Juli 2008 sampai dengan 1 September 2008 dan Plt. Direktur Eksekutif menerbitkan surat tugas No. 676/SET/DE/ST/VII/2008 pada tanggal 18 Juli 2008 dan menugaskan Tim Pemeriksa untuk melakukan perpanjangan pemeriksaan lanjutan terhadap perkara yang dimaksud.

Selama perpanjangan pemeriksaan lanjutan, Tim Pemerikasa melakukan pemeriksaan terhadap para terlapor dan menemukan fakta-fakta dugaan terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Anti Monopoli.

Berdasarkan keterangan pelaku usaha, saksi-saksi, dan dokumen terkait dengan putusan No. 15/KPPU-L/2008 mengenai persekongkolan dalam tender pengadaan barang/jasa SPBN RSUD Kabupaten buleleng Tahun Anggaran 2007 maka ditemukan fakta-fakta berdasarkan hasil pemeriksaan dan penyelidikan dalam perkara ini adalah sebagai berikut :

a. Tentang Lelang

(1) Bahwa Tim Pemeriksa telah menemukan fakta adanya suatu proses lelang pengadaan alat kedokteran, kesehatan dan KB RSUD Kabupaten Buleleng, Singaraja, Bali Tahun Anggaran 2007 dengan pagu anggaran 2.329.872.000 (dua miliar tiga ratus dua puluh sembilan juta delapan ratus tujuh puluh dua ribu rupiah)

(54)

harga satuan Rp. 88.900.000,- (delapan puluh delapan juta sembilan ratus ribu rupiah)

(3) Bahwa Tim Pemeriksa menemukan fakta yang menyatakan, proses pengadaan barang tersebut dimulai dengan adanya pengumuman di media cetak Nusa Bali, Jawa Post dan di Papan Pengumuman RSUD Buleleng (4) Bahwa proses pengadaan barang dan jasa dilakukan secara terbuka dan

diikuti oleh para pelaku usaha, yaitu PT PD Sadha Agung, UD Azka Graha Mandiri, CV Surya Chandra Nata, dan pelaku usaha lainnya

(5) Bahwa Panitia Lelang telah melakukan Penjelasan dan menerima 3 (tiga) usulan dari peserta lelang

(6) Bahwa usulan dari peserta lelang tersebut tidak dimasukkan dalam Berita Acara Penjelasan dan Berita Acara Penjelasan tersebut tidak ditanda tangani oleh saksi

(7) Bahwa Panitia Lelang tidak menerbitkan addendum yang berisi permintaan Panitia agar PT Siemens Indonesia memberikan dukungan kepada seluruh peserta lelang untuk alat Transducer for G50

(8) Bahwa 11 (sebelas) peserta lelang yaitu PT. Utun Nusantara, PT.PD Sadha Agung, UD Azka Graha Mandiri, PT. Rajawali Nusindo, PT. Surya Chandra Dwipa, CV. Surya Chandra Nata, PT. Grahadesa Intisarana, UD. Sarana Medika, PT Kimia Farma, PT. Ensenval Putera Megatrading, Tbk., dan Indofarma Global Medika, menyampaikan dokumen penawaran kepada panitia lelang

(55)

Grahadesa Intisarana, UD.Sarana Medika, PT. Utun Nusantara, PT. Rajawali Nusindo, dan PT. Surya Chandra Dwipa

(10)Bahwa dari hasil evaluasi dokumen penawaran diusulkan bahwa PT PD Sadha Agung sebagai pemenang lelang, UD Azka Graha Mandiri sebagai pemenang cadangan I, dan CV Surya Chandra Nata sebagai pemenang cadangan II

b. Tentang Persekongkolan Horizontal

(1) Bahwa PT PD Sadha Agung, UD Azka Graha Mandiri, dan CV Surya Chandra Nata memiliki kesamaan dokumen penawaran berupa Rencana Pekerjaan (time Schedule)

(2) Bahwa PT PD Sadha Agung mengakui meminta format Rencana Pekerjaan (time Schedule) kepada Direktur UD Azka Graha Mandiri

(3) Bahwa UD Azka Graha Mandiri mengakui memberikan format Rencana Pekerjaan (time Schedule) kepada PT PD Sadha Agung

(4) Bahwa PT PD Sadha Agung dalam Pendapat atau Pembelaannya, pada pokoknya menyatakan bahwa PT PD Sadha Agung meminta format mengenai mekanisme Jadwal Pelaksanaan lelang, yang dilakukan sebelum terjadinya proses lelang, dan Jadwal Pelaksanaan (time schedule) tidak termasuk dalam penilaian merit point

(56)

(6) Bahwa CV Surya Chandra Nata dalam Pendapat atau Pembelaannya, pada pokoknya menyatakan Time Schedule benar-benar dibuat oleh CV Surya Chandra Nata dan tanpa meminta bantuan pihak manapun, sehingga jika ada kesamaan, hal ini karena time schedule telah ditentukan secara umum oleh Panitia dalam RKS, dan Jadwal Pelaksanaan (time schedule) tidak termasuk dalam penilaian merit point

c. Tentang Surat Dukungan

(1) Bahwa PT Siemens Indonesia telah menyampaikan surat dari Panitia Lelang kepada PT Surya Bali Makmur agar ditindak-lanjuti

(2) Bahwa PT PD Sadha Agung, UD Azka Graha Mandiri, CV Surya Chandra Nata, PT Indofarma Global Medika, PT Enseval Putera Megatrading Tbk meminta surat dukungan kepada PT Surya Bali Makmur

(3) Bahwa PT Surya Bali Makmur memberikan surat dukungan alat Tranducer for G50 kepada PT PD Sadha Agung, UD Azka Graha Mandiri, CV Surya Chandra Nata, dan PT Indofarma Global Medika Cabang Denpasar

(4) Bahwa PT Enseval Putera Megatrading Tbk. tidak mendapatkan surat dukungan alatTransducer for G50

(5) Bahwa cek yang diterima PT Surya Bali Makmur dari PT PD Sadha Agung, UD Azka Graha Mandiri, CV Surya Chandra Nata, serta uang dari PT Indofarma Global Medika Cabang Denpasar bukan pembayaran uang muka (down payment) sebagai syarat mendapatkan surat dukungan

(57)

tidak dapat diklasifikasikan sebagai persekongkolan, karena sesuai dengan ketentuan dari PT Surya Bali Makmur

(7) Bahwa PT PD Sadha Agung menyatakan, cek yang diserahkan kepada PT Surya Bali Makmur merupakan bukti kesungguhan PT PD Sadha Agung meminta surat dukungan

(8) Bahwa UD Azka Graha Mandiri dalam Pendapat atau Pembelaannya, pada pokoknya menyatakan UD Azka Graha Mandiri menyerahkan cek kepada PT Surya Bali Makmur sebagai jaminan dan bukti kesungguhan UD Azka Graha Mandiri untuk meminta surat dukungan, namun karena kalah, maka cek tersebut dikembalikan kepada UD Azka Graha Mandiri

(9) Bahwa CV Surya Chandra Nata dalam Pendapat atau Pembelaannya, pada pokoknya menyatakan CV Surya Chandra Nata menyerahkan cek kepada PT Surya Bali Makmur sebagai jaminan dan bukti kesungguhan CV Surya Chandra Nata untuk meminta surat dukungan, namun karena kalah, maka cek tersebut dikembalikan kepada CV Surya Chandra Nata

(10)Bahwa PT Surya Bali Makmur dalam Pendapat atau Pembelaannya, pada pokoknya menyatakan tidak ada informasi atau bukti yang membuktikan PT Surya Bali Makmur memiliki kepentingan ekonomis yang sama dengan dokumen yang diajukan para Terlapor

(58)

memproses pencairan cek kepada Bank (penerbit cek) bagi pihak-pihak yang kalah lelang

d. Tentang Persekongkolan Vertikal

(1) Bahwa usulan pengadaan Transducer for G50 disatukan dengan 11 paket alat kesehatan lainnya

(2) Bahwa penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) didasarkan pada informasi berbagai sumber

(3) Bahwa Panitia Lelang dalam Pendapat atau Pembelaannya, pada pokoknya menyatakan tetap berpegang pada Rencana Kerja SATKER 2007 dan pengesahan Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) Satuan Kerja RSUD kepada Dirjen Perbendaharaan Negara Kanwil XX, Propinsi Bali

(4) Bahwa dalam Pendapat dan Pembelaannya, Panitia Lelang menyatakan, keberadaan Transducer for G 50 dalam 1 paket anggaran sudah sesuai dengan Lampiran 1 Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003

(5) Bahwa Direktur RSUD Buleleng dalam Pendapat atau Pembelaannya, pada pokoknya menyatakan Direktur RSUD Buleleng telah mendelegasikan kewenangan kepada Panitia Pengadaan

(6) Bahwa mengenai usulan pengadaan Transducer for G50, seharusnya proses perencanaan pengadaan alat Transducer for G50 dipisahkan dari paket lainnya sesuai Lampiran I huruf C angka 1 huruf a 4) huruf b (2) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003

(59)

Mandiri, dan CV Surya Chandra Nata yang memiliki surat dukungan yang diusulkan oleh Panitia Lelang sebagai calon pemenang, calon pemenang cadangan I dan calon pemenang II yang dapat memenuhi persyaratan lelang sesuai permintaan Panitia Lelang

(8) Bahwa PT PD Sadha Agung pernah memenangkan paket lelang di RSUD Buleleng pada tahun 2004 dengan demikian antara PT PD Sadha Agung dan Direktur RSUD Buleleng sudah saling mengenal

e. Tentang Berita Acara Penjelasan dan Berita Acara Evaluasi Penawaran

(1) Bahwa Panitia Lelang tidak menuangkan tanya-jawab yang terjadi dalam pelaksanaan Penjelasan (aanwijzing) ke dalam Berita Acara Penjelasan

(2) Bahwa karena tidak ada satupun pendapat atau pembelaan Panitia Lelang menyembunyikan fakta yang terjadi pada Penjelasan mengenai penggabungan Transducer for G50 dengan 11 (sebelas) alat kesehatan lainnya

(3) Bahwa Berita Acara Penjelasan tidak ditandatangani oleh saksi

(4) Bahwa Panitia Lelang dalam Pendapat atau Pembelaannya, pada pokoknya menyatakan Berita Acara Aanwijzing tidak ditandatangani oleh saksi-saksi, tetapi telah dilakukan oleh Panitia Pengadaan

(5) Bahwa berkaitan dengan fakta tersebut, Panitia Lelang seharusnya mencantumkan tanda tangan saksi pada Berita Acara Penjelasan dan bukan pada Daftar Hadir Saksi

(6) Bahwa Panitia Lelang tidak menuangkan semua hasil evaluasi penawaran seluruh peserta dalam Berita Acara evaluasi penawaran

(60)

(8) Bahwa Panitia Lelang menyatakan, penilaian merit point berdasarkan nilai total dari 12 item alat yang ditawarkan

f. Tentang Pemberitahuan Pemenang Lelang

(1) Bahwa pemberitahuan pemenang lelang baru diterima oleh peserta lelang sehari sebelum masa sanggah berakhir

(2) Bahwa karena tidak ada satupun Pendapat atau Pembelaan yang disampaikan oleh para Terlapor, maka Panitia Lelang seharusnya memberitahukan pengumuman pemenang lelang kepada seluruh peserta dengan waktu sesingkatnya, seperti pengiriman berita melalui faximile kepada seluruh peserta lelang

(3) Bahwa dengan fakta tersebut, Panitia Lelang dengan sengaja memperlambat pemberitahuan pemenang lelang kepada seluruh peserta lelang agar menghambat adanya sanggahan dari peserta lelang lainnya

(4) Bahwa dengan demikian, Panitia Lelang mengatur untuk menentukan PT PD Sadha Agung sebagai pemenang lelang

(61)

6. Sidang Majelis

Menurut Peraturan KPPU No.1 Tahun 2006, sidang Majelis Komisi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi untuk menilai ada atau tidak adanya bukti pelanggaran guna menyimpulkan dan memutuskan telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Berdasarkan perkara No. 15/KPPU-L/2008 dan ditemukannya fakta-fakta diatas, maka Majelis Komisi menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang terjadinya persekongkolan dalam tender sebagai berikut :

a. Bahwa berdasarkan fakta dalam pemeriksaan lanjutan, dan tidak adanya pendapat dan pembelaan dari para Terlapor, maka Majelis Komisi menilai dan menyimpulkan bahwa proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Terlapor I merupakan suatu

Referensi

Dokumen terkait

Program Hibah Penugasan Penelitian Unggulan Academic Leadership Grant 1-1-6 yang diusulkan harus memiliki topik yang sesuai dengan lima

Catatan: Juru las yang telah lulus uji contoh 2G dan 5G pipa dengan diameter luar >200 mm dengan teknik pengelasan dari satu sisi tanpa pelat alas, dengan

1 Peraturan Per-uu-an Pendidikan Profesi Guru Pembentukan Peraturan Per-uu-an Substansi Pendidikan Filsafat Pendidikan Teori Pendidikan Ilmu Pendidikan

Penelitian tahap dua adalah seleksi isolat cendawan yang berpotensi sebagai antagonis berdasarkan pertumbuhan koloni, kerapatan spora dan viabilitas spora menggunakan

DISERTASI PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP..... ADLN Perpustakaan

ANALISIS YURIDIS PENOLAKAN PERMOHONAN NON- EKSEKUATUR TERHADAP PUTUSAN SINGAPORE INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE NOMOR 92 TAHUN 2013 (Studi Kasus Putusan Mahkamah

Teknik analisis yang digunakan adalah Regresi Linier Berganda dengan jumlah responden sebanyak 100 responden, yang akan mempermudah untuk melihat perananan gaya hidup,

konservasi dengan bahan tradisional, yaitu membersihkan gitar dengan minyak kayu putih, mengurangi kadar karat pada besi dengan minyak sayur dan kentang, serta membersihkan.. ubin