• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTUMBUHAN BEBERAPA ISOLAT TRICHODERMA spp. PADA MEDIA YANG MENGANDUNG TRIADIMEFON, BELERANG ATAU UREA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTUMBUHAN BEBERAPA ISOLAT TRICHODERMA spp. PADA MEDIA YANG MENGANDUNG TRIADIMEFON, BELERANG ATAU UREA"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Fitrina Sari

GROWTH OF SOME ISOLATES OF Trichoderma spp. IN MEDIA CONTAINING TRIADIMEFON, SULFUR or UREA

This study was aimed to determine the ability of some isolates of Trichoderma spp. grow on media containing triadimefon, sulfur or urea. The hypothesis proposed in this study was that isolates of Trichoderma spp. are able to grow on media containing triadimefon, sulfur or urea. The research was conducted at The Laboratory of Plant Diseases Faculty of Agriculture, University of Lampung, from December 2008 until April 2009. This research used Completely

Randomized Design with four treatments and three replicates. The Isolates consisted of four isolates of Trichoderma: isolate from the isolation of the land in the Panumangan, Tulang Bawang (T1); Trichoderma isolate isolated from rubber plantations in the area Panumangan, Tulang Bawang that have been applied with sulfur for white root control (T2); isolate from the basidia of fungus Coreolus found in Panumangan, Tulang Bawang (T3); and isolate from the collection of the Plant Clinic of Faculty of Agriculture, Unila (T4). Each of chemical was added to the media 6ml/L namely fungisida triadimefon, urea and sulfur. The data obtained, the diameter of Trichoderma spp. colonies were processed using

ANOVA and continued by Least Significant Different (LSD) on the significances level 5%. The results showed that the four isolates were capable of growing on media containing urea or triadimefon, Coreolus isolate (T3) was the isolate that the largest colony diameter compared to the three other isolates. The addition of urea or triadimefon inhibited the growth of Trichoderma colonies but did not kill them, while in the media containing sulfur, the colony was thin and look

(2)

ABSTRAK

PERTUMBUHAN BEBERAPA ISOLAT

Trichoderma

spp. PADA MEDIA YANG MENGANDUNG

TRIADIMEFON, BELERANG ATAU UREA

Oleh

Fitrina Sari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan tumbuh beberapa isolat Trichoderma spp. pada media yang mengandung triadimefon, belerang atau urea. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah beberapa isolat Trichoderma spp. mampu tumbuh pada media yang mengandung fungisida triadimefon, belerang atau urea. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit

Tumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, dari bulan Desember 2008 sampai dengan bulan April 2009. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat (4) perlakuan dan tiga (3) ulangan. Isolat yang digunakan terdiri atas empat isolat Trichoderma, yaitu isolat hasil isolasi dari tanah di daerah Panumangan, Tulang Bawang (T1); isolat Trichoderma yang diisolasi dari lahan perkebunan karet yang ada di daerah Panumangan, Tulang Bawang yang sudah diaplikasikan dengan belerang untuk pengendalian penyakit JAP (T2); isolat yang diisolasi dari tubuh buah jamur Coreolus yang ditemukan di Panumangan, Tulang Bawang (T3); dan isolat dari koleksi Klinik Tanaman Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Unila (T4). Bahan kimia yang ditambahkan ke media, yaitu fungsida triadimefon, urea, dan belerang dengan konsentrasi 6ml/l. Data yang diperoleh, yaitu diameter koloni Trichoderma spp diolah dengan menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%. Hasil penelitian menunjukkan dari keempat isolat yang tumbuh pada media yang mengandung triadimefon ataupun urea, isolat Coreolus (T3) merupakan isolat yang memiliki diameter terbesar

(3)

I. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari Desember 2008 sampai dengan April 2009.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, erlenmeyer, gelas beaker, gelas ukur, tissue, kertas label, kertas saring, cutter, nampan plastik, pinset, timbangan listrik, dan bor gabus. Bahan yang digunakan adalah empat isolat Trichoderma spp., aquades, alkohol, PDA, fungisida triadimefon 250 EC, urea, dan belerang.

C. Metode Penelitian

Perlakuan dalam percobaan ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat (4) perlakuan dan tiga (3) ulangan. Isolat yang akan digunakan terdiri atas empat isolat Trichoderma, yaitu isolat hasil isolasi dari tanah di daerah Panumangan, Tulang Bawang, yang selanjutnya disebut sebagai isolat

(4)

dengan belerang untuk pengendalian penyakit JAP, yang selanjutnya disebut sebagai isolat belerang (T2); isolat yang diisolasi dari tubuh buah jamur Coreolus yang ditemukan di Panumangan, Tulang Bawang, yang selanjutnya disebut sebagai isolat Coreolus (T3); dan isolat dari koleksi Klinik Tanaman Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Unila, yang selanjutnya disebut sebagai isolat Klinik Unila (T4). Bahan kimia yang ditambahkan ke media, yaitu fungsida triadimefon, urea, dan belerang dengan konsentrasi 6ml/l. Data yang diperoleh, yaitu diameter koloni Trichoderma spp diolah dengan menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%.

D. Pelaksanaan Penelitian

1. Perbanyakan Isolat Trichoderma spp.

Empat isolat yang digunakan dalam penelitian ini diperbanyak dengan menggunakan media Potato Dextrose Agar (PDA). Biakan Trichoderma spp. yang berasal dari masing-masing isolat diambil dengan menggunakan bor gabus dengan ukuran diameter 0.8 cm, lalu diletakkan di tengah-tengah cawan petri yang telah berisi media PDA. Biakan ini selanjutnya diinkubasi selama lima hari

sebelum digunakan dalam pengujian.

2. Aplikasi Perlakuan

Metode yang digunakan untuk menguji kemampuan bertahan Trichoderma spp. adalah metode poisoned food - based. Langkah pertama adalah dengan

(5)

murni Trichoderma di letakkan pada bagian tengah media, seperti tertera pada Gambar 4.

Gambar 4. Skema uji kemampuan Trichoderma terhadap fungisida dengan metode poisoned food - based.

3. Pengamatan dan Pengumpulan Data

Variabel yang diamati adalah diameter pertumbuhan koloni vegetatif jamur Trichoderma spp. Koloni vegetatif merupakan hifa yang berbentuk

benang-benang halus memanjang, kumpulan benang-benang-benang-benang hifa disebut miselium dan berfungsi untuk menyerap makanan. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai dengan 7 hari setelah inokulasi. Data pertumbuhan koloni jamur yang didapatkan merupakan rata-rata empat kali pengukuran diameter pada daerah yang berbeda (Gambar 5).

Gambar 5. Skema pengukuran diameter pertumbuhan isolat Trichoderma spp.

(6)

PERTUMBUHAN BEBERAPA ISOLAT

Trichoderma

spp. PADA

MEDIA YANG MENGANDUNG TRIADIMEFON, BELERANG

ATAU UREA

(Skripsi)

Oleh

Fitrina Sari

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

(7)

PERTUMBUHAN BEBERAPA ISOLAT TRICHODERMA spp. PADA MEDIA YANG MENGANDUNG TRIADIMEFON, BELERANG ATAU UREA

Oleh

FITRINA SARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian UniversitasLampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(8)
(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur molekul triadimefon ... 12 2. Struktur molekul urea ... 12 3. Struktur molekul belerang ... 14 4. Skema uji kemampuan Trichoderma terhadap fungisida dengan

metode poisoned food – based ... 17 5. Skema pengukuran diameter pertumbuhan isolat Trichoderma spp 17 6. Pertumbuhan koloni jamur Trichoderma spp ... 18 7. Koloni isolat Trichoderma spp. pada medium yang mengandung

Triadimefon ... 31 8. Koloni isolat Trichoderma spp. pada medium yang mengandung

Belerang ... 31 9. Koloni isolat Trichoderma spp. pada medium yang mengandung

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 6

C. Kerangka Pemikiran ... 6

D. Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Trichoderma spp ... 8

B. Fungisida ... 10

1. Bayleton ... 11

2. Urea ... 12

3. Belerang ... 12

III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

B. Alat dan Bahan ... 15

C. Metode Penelitian ... 15

(11)

1. Perbanyakan Isolat Trichoderma spp ... 16 2. Aplikasi Perlakuan ... 16 3. Pengamatan dan Pengumpulan Data ... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan Jamur Trichoderma spp ... 18 B. Pertumbuhan Tricoderma Pada Media Yang Mengandung

Triadimefon... 18 C. Pertumbuhan Tricoderma Pada Media Yang Mengandung

Belerang ... 21 D. Pertumbuhan Tricoderma Pada Media Yang Mengandung

Urea ... 23

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 26 B. Saran ... 26

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Penggunaan agens Hayati Trichoderma spp. dan Gliocladium sp. http://en.wikipedia.org/wiki/Trichoderma. Diakses tanggal 3 Agustus 2008.

Anonim. 2008. Pupuk Biologis Trichoderma. http://pupuk-biologis-trichoderma.html. Diakses tanggal 2 Agustus 2008.

Anonim. 2008. Bayleton. http://Bayer.co.id. Diakses tanggal 3 Agustus 2008 Anonim. 2008. Urea. http://id.wikipedia.org/wiki/Urea. Diakses tanggal 3

Agustus 2008.

Anonim. 2008. Belerang. http://id.wikipedia.org/wiki/Belerang. Diakses tanggal 3 Agustus 2008.

Anonim 2011. Efek Samping Fungisida Golongan Azol / Azole.

http://blajartani.blogspot.com/2011_04_01_archive.html. Diakses tanggal 18 Januari 2012.

Anonim. 2012. UREA. http://id.scribd.com/doc/55450021/U-R-E-A. 20 juni 2012

Anonim. 2002. Prospek pertanian organik di Indonesia.

http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/17/. 20 Juni 2012

Anonim, 2008. Pestisida sintetis dan bahayanya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. http://www.pertaniansehat.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi =lihat&id=66. 20 Juni 2012

Anonim, 2009. Bahaya residu

pestisida http://forum.travian.co.id/showthread.php?t=13301. 20 Juni 2012

Andita, A.M. 2012. Uji Toksisitas Akut Polisakarida Krestin Dari Ekstrak Coriolus versicalor Pada Mencit Dengan Parameter Kerusakan Hepatosit, Kadar SEPT dan SGOT.

(13)

tanggal 28 Mei 2012.

Basuki. 1986. Peranan Belerang Sebagai Pemacu Pengendalian Biologi Penyakit Jamur Akar Putih pada Karet. UGM.

Cahyaningtyas, I S. 2003. Uji Antagonisme Tiga Spesies Trichoderma sp. terhadap Tiga Isolat Ustilago scitaminea secara In Vitro. JIPTUMM. Universitas Muhammadiyah Malang.

Chang & Chang, 1999. Generation of volatile ammonia from urea fungicidal to Phellinus noxius in infested wood in soil under controlled conditions. Plant Pathology 48. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1046/j.1365- 3059.1999.00349.x/pdf. diakses pada tanggal 5 Agustus 2008.

Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2006. Laporan Kegiatan Fasilitasi

Pengembangan dan Pemantapan Agens Pengendali Hayati OPT Tanaman Tahunan. Jakarta.

Elad Y, Zimand G, Zags Y, Zuriel S, Ched I. 1993. Use Of Trichoderma Harzianum In Combination Or Alternation With Fungicides To Control Cucumbar Grey Mould (Botrytis Cinerea) Under Commercial Greenhouse Condition. Plant Pathology 42.

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1046/j.1365-3059.1997.d01-77.x/pdf Emalinda, O., A.P. Wahyudi dan Agustian. 2003. Pengaruh herbisida glifosat

terhadap pertumbuhan dan keragaman mikroorganisme dalam tanah serta pertumbuhan tanaman kedelai (Glicune max (L.) Merr.) pada ultisol. Stigma. Vol. XI. 309-314.

Hendromuntarjo. 2008. Pengendalian JAP pada Tanaman Karet.

(http://hendromuntarjo.wordpress.com/). Diakses 2 Agustus 2008. Ilahang. 2006. Status & Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih pada

Sistem Wanatani Berbasis Karet Unggul di Kalimantan Barat. Lokakarya Nasional JAP; Pontianak 30 November 2006. http://worldagroforestry.org Istikorini, Y. 2002. Pengendalian penyakit tumbuhan secara hayati yang ekologis

dan berkelanjutan. http://rudyct.com/PPS702-ipb/05123/yunik_istikorini.htm. 3 Maret 2010.

Lizarmi, E. 2008. Jamur Akar Putih VS Jamur Trichoderma spp. http:// ditjenbun.deptan. go.id/perlindungan/ancaman-penyakit-jamur-akara- putih-vs-trichoderma.html

Paulitz, T.C. & Belanger, R.R. 2001. Biological Control in Greenhouse Systems. Annu. Rev. Phytophatol. 39 : 103 – 133.

(14)

tanggal 10 Agustus 2008.

Salma, S dan L.Gunarto. 1999. Enzim Selulase dariTrichoderma spp.

http://biogen.litbang.deptan.go.id/terbitan/agrobio/abstrak/agrobio_vol2_n o2_1999_Salma.php. Diakses 21 Agustus 2008.

Saptana , T. Panaji, H. Tarigan dan A. Setianto. 2010. Analisis Kelembagaan pengendalian hama terpadu mendukung agribisnis kopi rakyat dalam rangka otonomi

daerah http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%283%29%20soca-saptanadkk-kelembagaan%20hpt%281%29.pdf . 20 Juni 2012

Setyono, A. B., 2009. Kajian pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan serta alternatif solusinya. http://wongtaniku.wordpress.com/2009/04/26/kajian-pestisida-terhadap-lingkungan-dan-kesehatan-serta-alternatif-solusinya/. 20Juni 2012

Situmorang, A. 2003. Penyakit Tanaman Karet & Pengendaaliannya. Palembang: Pusat Penelitian Karet. Balai Penelitian Sembawa.

Sukamto, S & D. Pujiastuti. 2004. Keefektifan Beberapa Bahan Pengendali Penyakit Busuk Buah Kakao Phytophthora palmivora. Pelita Perkebunan. Supriadi. 2005. Teknologi Pengendalian Penyakit Jamur Akar Cokelat (Phellinus

noxius) pada Jambu Mete. Pelita Perkebunan.

Tobing, M.C. 2009. Keanekaragaman hayati dan pengelolaan serangga hama dalam agroekosistem.

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Memasuki abad 21, masyarakat dunia mulai sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian. Orang semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Gaya hidup sehat dengan slogan back to nature telah menjadi trend baru dan

meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia non alami, seperti pupuk, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian (Anonim, 2002). Oleh karena itu, penerapan teknologi pertanian yang

berwawasan lingkungan harus mendapat perhatian dari semua pihak, sebagai landasan pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pola pembangunan pertanian seperti ini, selain harus dapat memelihara tingkat

(16)

Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida sintetis terutama untuk hama dan penyakit yang sulit dikendalikan, seperti penyakit yang disebabkan oleh virus dan patogen tular tanah (soil borne

pathogens). Untuk mengendalikan penyakit ini petani cenderung menggunakan

pestisida sintetis secara berlebihan sehingga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Hal ini dilakukan petani karena modal yang telah dikeluarkan cukup besar sehingga petani tidak berani menanggunag resiko kegagalan usaha taninya. Selain itu, ketertarikan konsumen terhadap produk hortikultura yang bersih dan cantik, serta kurang tersedianya pengendalian non kimia yang efektif, maka pestisida sintetis tetap menjadi primadona bagi petani (Istikorini, 2002).

Dilema yang dihadapi para petani saat ini adalah disatu sisi cara mengatasi masalah OPT dengan pestisida sintetis dapat menekan kehilangan hasil akibat OPT, tetapi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Di sisi lain, tanpa pestisida kimia sintetis akan sulit menekan kehilangan hasil akibat OPT. Padahal tuntutan masyarakat dunia terhadap produk pertanian menjadi bertambah tinggi terutama masyarakat negara maju, tidak jarang hasil produk pertanian kita yang siap ekspor ditolak hanya karena tidak memenuhi syarat mutu maupun kandungan residu pestisida yang melebihi ambang toleransi (Setyono, 2009 dan Anonim, 2009).

Penggunaan pestida yang kurang bijaksana seringkali menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis

(17)

mengakibatkan peningkatan residu pada hasil (Anonim, 2008). Terdapat kecenderungan penurunan populasi total mikroorganisme seiring dengan

peningkatan takaran pestisida (Emalinda et al., 2003). Oleh karena itu perhatian pada alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan semakin besar untuk menurunkan penggunaan pestisida sintetis.

Pelaksanaan program pengendalian hama terpadu (Integreted Pest Management) merupakan langkah yang sangat strategis dalam kerangka tuntutan masyarakat dunia terhadap berbagai produk yang aman dikonsumsi, menjaga kelestarian lingkungan, serta pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan yang

memberikan manfaat antar waktu dan antar generasi (Saptana et al., 2010). Salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT) yang sesuai untuk menunjang pertanian berkelanjutan pembangunan pertanian secara hayati karena

pengendalian ini lebih selektif (tidak merusak organisme yang berguna dan manusia) dan lebih berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati berupaya memanfaatkan pengendali hayati dan proses-proses alami.

Salah satu pengendali hayati yang banyak digunakan saat ini adalah Trichoderma spp., Trichoderma sp. Merupakan jenis cendawan / fungi yang termasuk kelas ascomycetes. Trichoderma sp. Memiliki aktivitas antifungal. Di alam,

Trichoderma sp. banyak ditemukan di tanah hutan maupun tanah pertanian atau

(18)

pertumbuhan jamur patogen tanaman dikaitkan dengan kemampuannya berkompetisi, mengeluarkan antibiotik dan parasitisme.

Trichoderma spp. telah dilaporkan efektif mengendalikan jamur tular tanah,

seperti Rhizoctonia solani, Fusarium oxysporum, Sclerotium rolfsii (Ramada, 2008), Phytium sp. Beberapa laporan juga menyebutkan jamur Trichoderma telah dimanfaatkan dalam pengendalian penyakit jamur akar coklat (JAC) yang

disebabkan oleh Phellinus noxius (Supriadi, 2005), jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh Rigidiporus lignosus (Lizarmi, 2008) serta Ustilago scitaminea (Cahyaningtyas, 2003).

Jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh Rigidoporus lignosus merupakan salah satu penyakit penting tanaman karet. Daerah yang tinggi kejadian penyakit akar putih adalah sentra perkebunan karet di Riau, Sumatera Barat dan

Kalimantan Barat. Penyakit akar putih menimbulkan kematian pada tanaman karet, sehingga serangan penyakit ini akan berpengaruh negatif pada produksi kebun karet. Menurut hasil perhitungan Situmorang (2004) penurunan produksi karet kering terjadi rata-rata 2.7 kg/pohon/20tahun. Upaya-upaya pengendalian jamur akar putih dilakukan secara kimia dan biologis (Ilahang, 2006).

Pengendalian penyakit akar putih yang dianjurkan adalah cara pencegahan lebih diutamakan dari pengobatan tanaman. Pencegahan penyakit meliputi

pemusnahan/pengurangan sumber infeksi (pembongkaran tunggul/sisa akar dengan mekanis, peracunan tunggul, penggunaan jamur pelapuk tunggul,

(19)

antagonis di pangkal akar tanaman). Pengobatan tanaman dilakukan dengan fungisida kimia dipadukan dengan tumbuhan antagonis untuk menghemat penggunaan fungisida.

Belerang dilaporkan efektif untuk pengendalian jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh Rigidoporus lignosus (Lizarmi, 2008). Urea juga dilaporkan efektif untuk menekan pertumbuhan Phytophthora palmivora (Sukamto & Pujiastuti, 2004) dan Phellinus noxius (Chang & Chang, 1999). Fungisida sintetik golongan triadimefon juga dilaporkan efektif untuk mengendalikan jamur akar putih (JAP)

Pada penelitian ini beberapa Trichoderma yang digunakan berasal dari lahan perkebunan karet daerah Panumangan, penyakit yang sering menyerang tanaman karet sendiri salah satunya adalah jamur akar putih. Oleh karena itu media yang digunakan merupakan media yang telah ditambahi triadimefon, belerang maupun urea. Selama ini Trichoderma dilaporkan mampu bertahan di bahan kimia (Elad et al., 1993). Apabila Trichoderma mampu bertahan pada medium yang

(20)

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan tumbuh beberapa isolat Trichoderma spp. pada media yang mengandung triadimefon, belerang atau urea.

C. Kerangka Pemikiran

Penggunaan fungisida triadimefon efektif untuk mengendalikan JAP. Selain itu JAP juga dapat dikendalikan dengan aplikasi sulphur (Lizarmi, 2008) dan urea (Ilahang et al., 2006). Selain itu pemanfaatan trichoderma dalam mengendalikan jamur akar putih dapat digunakan, karena memiliki kemampuan tumbuh yang cepat dan jamur ini juga memproduksi toksin (Mitotoksin) yang dapat

menghambat pertumbuhan jamur lain atau patogen (Disbun Provinsi Jambi, 2000)

Selama ini teknik pengendalian JAP dilakukan secara sendiri-sendiri hasil dirasakan kurang maksimal. Apabila diaplikasikan secara terpadu atau bersama diharapkan hasil yang lebih baik. Aplikasi teknik pengendalian terpadu, yaitu penggabungan jenis agensia pengendali hayati dengan kimiawi mungkin akan memberi proteksi ganda. Bahan kimia merupakan efek kontak, langsung mematikan organisme target (kurative), sedangkan agensia hayati melindungi tanaman (proteksi) setelah efek dari fungisida kimiawi hilang. Sehingga dari aplikasi terpadu ini ada sistim pengendalian yang berkelanjutan dan lebih efektif. Trichoderma memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap tekanan

(21)

harzianum mampu bertahan terhadap fungisida kimia. Kenyataan ini

memunculkan dugaan bahwa Trichoderma spp. juga mampu bertahan di dalam media yang mengandung triadimefon, belerang dan urea.

D. Hipotesis

(22)

Judul Skripsi : PERTUMBUHAN BEBERAPA ISOLAT

TRICHODERMA spp. PADA MEDIA YANG MENGANDUNG TRIADIMEFON,

BELERANG ATAU UREA Nama Mahasiswa : Fitrina Sari

No. Pokok Mahasiswa : 0414041029

Jurusan : Proteksi Tanaman Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI,

1. Komisi Pembimbing

Ir. Joko Prasetyo, M.S Ir. Titik Nur Aeny, M.Sc. NIP. 19590214 198902 1 001 NIP. 19620107 198603 2 001

2. Ketua jurusan Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Purnomo, M.S

(23)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Ir. Joko Prasetyo, M.S ...

Sekretaris : Ir. Titik Nur Aeny, M.Sc ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Ir. Efri, M.S ...

2. Dekan Fakultas Pertanian

Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP. 19610826 198702 1 001

(24)
(25)

Dengan mengucap syukur kepada Alloh SWT

Kupersembahkan hasil penulisan ini kepada

Ayah dan Ibu yang terus mendukungku

Abang dan Wodang

Suami serta anak ku tersayang

Dosen-dosen Proteksi Tanaman, sahabat dan

(26)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 09 Juni 1986, merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Sukma Dewa dan Ibu Yuniarwati.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 2 Teladan, Bandar Lampung pada tahun 1998, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 4 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2001 dan Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2004. Pada tahun 2004, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), Bogor pada tahun 2008.

(27)
(28)

SANWACANA

Penulis mengucapkan syukur Alhamdulillah atas diberikannya rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari selama penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan saran dari banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ir. Joko Prasetyo, M.P., selaku pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan saran selama penulis melaksanakan penelitian hingga penulisan skripsi.

2. Ir. Titik Nur Aeny, M.Sc., selaku pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan saran selama penulis melaksanakan penelitian hingga penulisan skripsi.

3. Ir. Efri, M.Si., selaku penguji yang telah memberikan saran, kritik, nasehat dan bimbingan dalam perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

4. Prof. Dr. Purnomo, selaku ketua jurusan atas nasehat dan bimbingannya. 5. Ir. Cipta Ginting, M.S., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan

(29)

6. Keluarga ku tersayang, ayah dan ibu, abang, wodang, suami serta anak ku, terima kasih atas kasih sayang, dukungan, kepercayaan, perhatian, motivasi dan kesabaran kalian.

7. Sahabat ku Niar, Bani, Desma yang selalu membantu dan memberi semangat kepada ku, serta teman-teman FOSI maupun HPT yang tidak dapat ku sebutkan satu persatu.

8. Mas Iwan, mbak Uum dan Pak Pariadi, terima kasih atas bantuannya selama penelitian hingga penulisan skripsi.

Semoga Alloh membalas semua kebaikan yang telah bapak, ibu dan rekan-rekan berikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.

Bandar Lampung

(30)

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Trichoderma spp.

Salah satu mikroorganisme fungsional yang dikenal luas sebagai pupuk biologis tanah adalah jamur Trichoderma spp. Jamur ini disamping berperan sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agensia hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Biakan jamur Trichoderma dalam media aplikatif seperti dedak dapat diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah organik (rontokan dedaunan dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu. Trichoderma juga dapat berlaku sebagai biofungisida, karena dapat menghambat pertumbuhan beberapa jamur penyebab penyakit pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, dan Phytophthora spp. Pupuk biologis Trichoderma dapat

dibuat dengan cara menginokulasikan biakan murni pada media aplikatif, misalnya dedak. Sedangkan biakan murni dapat dibuat melalui isolasi dari

perakaran tanaman, serta dapat diperbanyak dan diremajakan kembali pada media PDA (Potato Dextrose Agar) (Anonim, 2008.

http://pupuk-biologis-trichoderma.html).

(31)

dengan pengendalian penyakit layu Fusarium solani, jamur Trichoderma biasanya ditambah dengan pupuk kandang atau dedak sekam. Media tersebut ditebarkan merata diatas permukaan bedengan disaat tanah relatif lembab dan sebaiknya diberikan setelah penyiangan pertama.

(Anonim,2008.http://en.wikipedia.org/wiki/Trichoderma)

Trichoderma spp. juga dilaporkan sebagai jamur antagonis yang memiliki

kemampuan untuk menekan perkembangan atau penyebaran penyakit JAP. Jamur Trichoderma spp. hidup pada lapisan tanah yang sama seperti JAP. Untuk

tindakan pencegahan (preventif) dan pengobatan (kuratif) penyakit JAP pada karet dapat digunakan Trichoderma koningii. Perkembangan JAP dan T. koningii dalam tanah dibedakan pada tingkat keasaman tanah. T. koningii lebih menyukai kondisi tanah yang asam (pH 3,5-5,5) sedangkan JAP lebih menyukai kondisi tanah agak netral yaitu pH 5,0-7,5 dan pertumbuhan terbaik JAP pada pH 5,5-6,5 (Basuki, 1986).

Apabila kondisi lahan di pertanaman terlalu basa perlu ditambahkan serbuk belerang. Penaburan belerang bertujuan untuk membuat kondisi tanah menjadi asam sehingga cocok untuk pertumbuhan jamur T. koningii. Ada beberapa kerja T. koningii menekan perkembangan JAP yaitu pembentukan antibiotic dan

mikroparasitisme, kompetisi dan kolonisasi rizomorfa. Mekanisme penghancuran JAP terjadi melalui proses lisis miselium dan rizomorf. Lisis merupakan proses enzimatis oleh enzim selulase yang dihasilkan T. koningii (Lizarmi, 2008)

(32)

antagonisme secara makroskopis menunjukkan bahwa Trichoderma mampu menghambat U. scitaminea, sedangkan secara mikroskopis antagonisme

Trichoderma menyebabkan hifa Ustilago scitaminea mengalami pembengkakan,

mengeriting dan ujung hifa mengecil. Selain itu, juga terjadi pembelitan hifa Ustilago scitaminea oleh Trichoderma koningii. Untuk persentase penghambatan

ada kecenderungan peningkatan persentase penghambatan Trichoderma (Cahyaningtyas, 2003).

B. Fungisida

Fungisida adalah bahan kimia pembunuh jamur. Pembunuhan jamur dapat juga dengan cara lain pemanasan, penyinaran, dsb, tetapi hal ini tidak termasuk fungisida. Ditinjau dari fungsi kerjanya, fungisida dapat dibedakan menjadi fungisidal yang berarti membunuh jamur, fungistatik yang berarti tidak

membunuh tetapi hanya menghambat pertumbuhan jamur, genestatik yang berarti mencegah sporulasi.

Aplikasi fungisida harus diingat 2 hal ialah dosis kurativa, yaitu kadar minimum yang tepat untuk mematikan jamur, dosis toksika, yaitu kadar minimum yang mulai merusakkan bagian tanaman. Suatu fungisida hanya dapat dipakai kalau dosis kurativa lebih rendah daripada dosis toksika.

Pada waktu melakukan penyemprotan harus diingat bahwa pengeringan larutan fungisida yang terlalu lama di atas daun dapat memperbesar sifat meracun terhadap tanaman yang disemprot. Karena itu sebaiknya tidaka diadakan

(33)

sehingga sama sekali dapat menghilangkan faedah fungisida yang diberikan. Fungisida adalah koloig yang irreversibel.

Berbagai jenis fungisida dengan bahan aktif yang berbeda telah banyak digunakan untuk mengendalikan berbagai patogen penyebab penyakit yang ada di lahan pertanian maupun perkebunan. Beberapa fungisida yang direkomendasikan dan telah banyak dimanfaatkan oleh petani dalam mengendalikan penyakit adalah fungisida Bayleton dengan kandungan bahan aktif triadimefon 250 EC. Selain fungisida, petani juga banyak menggunakan urea dan belerang baik untuk memperbaiki kesuburan tanah maupun untuk mengendalikan penyakit.

1. Bayleton

Fungisida bayleton yang berbahan aktif triadimefon dengan rumus formula C14H16ClN3O2 merupakan fungisida triazole sistemik pertama yang memiliki

spektrum luas, sangat efektif untuk mengontrol Ascomycetes, Basidiomycetes dan imperfect fungi. Bayleton adalah fungisida yang sangat efektif dengan aktivitas

sistematis. Contohnya, bahan aktifnya dapat diserap dengan baik oleh tanaman dan disebarkan ke dalam sistem tanaman.

Bayleton juga dilaporkan efektif untuk mengatasi penyakit akar putih

(Rigidophorus lignosus) pada tanaman karet, kacang mende, dan coklat; karat

(Phakopsora pachyrhizi, Hemileia vastatrix) pada kacang kedelai dan kopi; dan

embun tepung (Oidium heveae) pada tanaman karet. Bayleton memberikan perlindungan, efek penyembuhan dan juga pembasmi penyebab penyakit.

(34)

Gambar 1. Struktur molekul triadimefon

2. Urea

Urea adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea juga dikenal

dengan nama carbamide yang terutama digunakan di kawasan Eropa. Nama lain yang juga sering dipakai adalah carbamide resin, isourea, carbonyl diamide dan carbonyldiamine. Urea ditemukan pertama kali oleh Hilaire Roulle pada tahun 1773. Senyawa ini merupakan senyawa organik pertama yang berhasil disintesis dari senyawa anorganik (Anonim, 2008. http://id.wikipedia.org/wiki/Urea).

Berdasarkan laporan Sukamto dan Pujiastuti (2004) diketahui bahwa urea dapat menekan pertumbuhan Phytophthora palmivora penyebab penyakit busuk buah kakao. Urea dapat menghasilkan gas amonia dari proses amonifikasi yang terbukti bersifat toksin terhadap P. palmivora yang terdapat di dalam jaringan kulit buah kakao (Sukamto & Pujiastuti, 2004)

Gambar 2. Struktur molekul urea

3. Belerang

(35)

berbau dan multivalent. Belerang, dalam bentuk aslinya, adalah sebuah zat padat kristalin kuning. Di alam, belerang dapat ditemukan sebagai unsur murni atau sebagai mineral-mineral sulfide dan sulfate. Sulfur adalah unsur penting untuk kehidupan dan ditemukan dalam dua asam amino. Penggunaan komersilnya terutama sebagai pupuk (fertilizer) namun juga sebagai bubuk mesiu, korek api, insektisida dan fungisida (Anonim, 2008. http://id.wikipedia.org/wiki/Belerang).

Tepung belerang dipakai sebagai fungisida untuk pemberantasan penyakit tepung. Umumnya digunakan dalam bentuk serbuk dengan partikel yang halus. Untuk mengatasi terjadinya gumpalan pada penyerbukan fingisida di tambah dengan bahan karier seperti kolin atau dentonit sulfur. Vitotoksisitasnya lebih rendah daripada logam berat dan dapat membunuh jamur dalama jarak waktu tertentu atau ’act at a distance’ dengan lebih dulu membentuk gas. Karena itu belerang bekerja baik bila termperatur rata-rata lebih tinggi dr 200C, gas SO2 yang terjadi

akan berubah menjadi SO3 dan H2SO4 di dalam air. Jadi dianggap bahwa pH-lah

yang berpengaruh pada jamur. Ada yang berpendapat bahwa belerang lebih dulu membentuk H2S yang seterusnya dengan adanya sisa belerang dan udara yang

lembab H2S akan membentuk polisulfida H2SSx. Dalam keadaan tertentu belerang

dapat juga menyebabkan fitotoksis pada daun, pertumbuhan terhambat dan gugur ialah pada daun melon (Cucumis melo L). yang sangat peka.

(36)

mengandung lebih dari 9% S dan tidak higroskopik sehingga dapat segera digunakan.

Pada pengendalian penyakit Jamur Akar Putih (JAP) pada tanaman karet yang disebabkan oleh Rigidoporus lignosus, belerang telah banyak dimanfaatkan. Hal ini karena belerang memiliki kemampuan dapat mengubah lahan menjadi asam, yang tidak sesuai dengan kondisi lahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan JAP, yaitu tanah yang basa (Lizarmi, 2008)

(37)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Isolat Trichoderma yang diisolasi dari tubuh buah jamur Coreolus yang ditemukan di Panumangan, Tulang Bawang merupakan isolat yang memiliki diameter terbesar dibandingkan ketiga isolat lainnya pada media yang

mengandung triadimefon ataupun urea.

2. Semua isolat Trichoderma sangat terhambat pertumbuhannya dan tidak membentuk spora dalam media yang mengandung triadimefon.

3. Semua Isolat Trichoderma dapat tumbuh dengan baik pada media yang mengandung belerang.

4. Semua isolat Trichoderma mengalami penghambatan dalam pertumbuhannya pada media yang mengandung urea.

B. Saran

Gambar

Gambar 4. Skema uji kemampuan Trichoderma terhadap fungisida dengan metode poisoned food - based
Gambar
Gambar 1. Struktur molekul triadimefon

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan jenis penelitian lapangan ialah penelitian yang dilakukan di lapangan (kancah) atau di medan terjadinya gejala-gejala, tidak berdasarkan

Berdasarkan hasil temuan peneliti melalui wawancara di masyarakat dapat diketahui bahwa beberapa masyarakat sosial ekonomi tinggi tidak perna ikut dalam kegiatan sosial

MEGAWATI, S.Pd Ponorogo, 03-05-1986 Guru Bahasa Indonesia SMK DIAN FITRI ROHAYA, S.Pd Sumbawa, 12-05-1984 Guru Bahasa Indonesia SMK Guru Bahasa Indonesia SMP.. EDI

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa petugas perpustakaan sekolah harus memiliki pengetahuan yang banyak di bidang perpustakaan dan juga pendidikan, keterampilan

GANDA, tinjauan lanjut perhitungan lendutan balok (mungkin) diperlukan. Sketsa balok beton bertulang :

Hasil yang tidak berbeda ditunjukkan pada penelitian terhadap efek pemberian analgesia pre-emtif parecoxib yang mampu menurunkan skala nyeri pascaoperasi hidung tenggorokan

Hasil temuan penelitian ke-4 menunjukkan bah- wa dalam proses pembelajaran, seorang guru dapat menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam berbagai kelompok tanpa

Dari hasil penelitian jumlah keseluruhan jenis burung diurnal yang berhasil ditemukan di lokasi penelitian sebanyak 19 jenis, 17 jenis ditemui dalam jalur pengamatan dan 2 jenis di