Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4
–
5
tahun: Kajian Psikolinguistik Interaksionis
Skripsi
Oleh
Melda Juennipa Gultom
100701061
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TINDAK TUTUR DEKLARATIF BAHASA BATAK TOBA ANAK USIA 4 – 5 TAHUN KAJIAN: PSIKOLINGUISTIK INTERAKSIONIS
MELDA JUENNIPA GULTOM NIM 100701061
Skripsi ini diajukan untuk melengkapai persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah
disetujui oleh:
Pembimbing I
Dr. Gustianingsih, M.Hum. NIP 19640828 198903 2 001
Pembimbing II
Drs. Amhar Kudadiri, M.Hum. NIP 19600725 198601 1 002
DepartemenSastra Indonesia
Ketua,
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi berupa pembatalan gelar yang saya peroleh.
Medan, Juni 2014
Hormat Saya,
Melda Juennipa Gultom
TINDAK TUTUR DEKLARATIF BAHASA BATAK TOBA ANAK USIA 4 – 5 TAHUN: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK INTERAKSIONIS
Oleh Melda Juennipa Gultom
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tindak tutur deklaratif bahasa batak toba anak usia 4-5 tahun berdasarkan kajian psikolinguistik interaksionis. Penelitian ini menggunakan teori kesantunan berbahasa. Dalam penelitian ini mengkaji tentang tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung serta hubungannya dengan kesantunan berbahasa. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung serta mendeskripsikan hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun dengan kesantunan berbahasa. Dalam pengumpulan data digunakan metode metode simak dengan teknik sadap, teknik simak libat cakap, dan teknik catat. Kemudian, dalam mengkaji data digunakan metode padan dan metode agih. Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data data adalah metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa dan metode padan pragmatis yang alat penentunya adalah mitra wicara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pemahaman tuturan deklaratif anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung terhadap psikolinguistik interaksionis anak. Dalam menanggapi atau merespon tuturan deklatatif, anak usia prasekolah melakukannya dalam dua bentuk utama yaitu mengiyakan atau menolak. Dalam mengiyakan atau menyetujui tuturan deklaratif anak melakukannya dalam dua cara yaitu secara verbal dan non verbal. Pemahaman tersebut terlihat pada kemampuan memahami tindak tutur deklaratif serta bagaimana anak mulai menguasai prinsip kesantunan. Beberapa bentuk strategi yang digunakan oleh anak kaitannya agar penolakannya terdengar santun adalah dengan menggunakan penolakan secara tidak langsung. Pada penelitian ini agar penolakannya terdengar santun mereka menggunakan penolakan secara tidak langsung dengan cara memberikan alasan, menggunakan diksi pilihan nama dan memberikan alternatif pilihan lain.
DAFTAR ISI
ABSTRAK PRAKATA
DAFTAR ISI ... i
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Batasan Masalah ... 7
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
1.4.1 Tujuan Penelitian ... 7
1.4.2 Manfaat Penelitian ... 8
1.4.2.1 Manfaat Teoretis ... 8
1.4.2.2 Manfaat Praktis ... 8
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 9
2.1.1 Pendidikan Anak Usia Dini ... ... 9
2.1.2 Bahasa Batak Toba ... 10
2.2 Landasan Teori ... 11
2.2.1 Tindak Tutur ... ... 11
2.2.2 Psikolinguistik ... 13
2.2.3 Pemerolehan Bahasa .... ... 14
2.2.4 Psikolinguistik Interaksionis ... ... 15
2.2.5 Teori Kesantunan ... ... 15
BAB III METODE PENELITIAN
3.1Lokasi dan Waktu Penelitian ... ... 23
3.1.1 Lokasi Penelitian ... 23
3.1.2 Waktu Penelitian ... 23
3.2 Sumber Data ... 23
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 24
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ... 25
BAB IV PEMBAHASAN 4.1Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4 – 5 Tahun pada PAUD Mawar Motung 32 4.2Hubungan Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4 – 5 Tahun dengan Kesantunan Berbahasa... 46
4.2.1 Kesantunsaan Positif dengan Menggunakan Diksi Pilihan Nama ... 47
4.2.2 Kesantunan Positif dengan Menghindari Pertentangan dengan Lawan Tutur ... 49
4.2.3 Kesantunan Positif dengan Membuat Persepsi bahwa Penutur Memahami Keinginan Lawan Tutur ... 52
4.2.4 Kesantunan Positif dengan Berusaha Melibatkan Penutur dan Lawan Tutur dalam Suatu Kegiatan Tertentu ... 54
4.2.5 Kesantunan Positif dengan Penawaran ... 55
4.2.6 Kesantunan Positif dengan Memberikan dan Meminta Alasan ... 56
4.2.7 Kesantunan Positif dengan Memberikan Perhatian Khusus pada Lawan Tutur ... 60
4.2.8 Kesantunan Negatif dengan Tidak Menyebutkan Penutur dan Pendengar ... 60
4.2.9 Kesantunan Negatif Memakai Ujaran Tidak Langung dengan Penawaran ... 61
4.2.10 Kesantunan Negatif dengan Meminta Maaf ... 62
BAB V PENUTUP... 64
5.2 Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BIODATA ANAK
TINDAK TUTUR DEKLARATIF BAHASA BATAK TOBA ANAK USIA 4 – 5 TAHUN: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK INTERAKSIONIS
Oleh Melda Juennipa Gultom
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tindak tutur deklaratif bahasa batak toba anak usia 4-5 tahun berdasarkan kajian psikolinguistik interaksionis. Penelitian ini menggunakan teori kesantunan berbahasa. Dalam penelitian ini mengkaji tentang tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung serta hubungannya dengan kesantunan berbahasa. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung serta mendeskripsikan hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun dengan kesantunan berbahasa. Dalam pengumpulan data digunakan metode metode simak dengan teknik sadap, teknik simak libat cakap, dan teknik catat. Kemudian, dalam mengkaji data digunakan metode padan dan metode agih. Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data data adalah metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa dan metode padan pragmatis yang alat penentunya adalah mitra wicara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pemahaman tuturan deklaratif anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung terhadap psikolinguistik interaksionis anak. Dalam menanggapi atau merespon tuturan deklatatif, anak usia prasekolah melakukannya dalam dua bentuk utama yaitu mengiyakan atau menolak. Dalam mengiyakan atau menyetujui tuturan deklaratif anak melakukannya dalam dua cara yaitu secara verbal dan non verbal. Pemahaman tersebut terlihat pada kemampuan memahami tindak tutur deklaratif serta bagaimana anak mulai menguasai prinsip kesantunan. Beberapa bentuk strategi yang digunakan oleh anak kaitannya agar penolakannya terdengar santun adalah dengan menggunakan penolakan secara tidak langsung. Pada penelitian ini agar penolakannya terdengar santun mereka menggunakan penolakan secara tidak langsung dengan cara memberikan alasan, menggunakan diksi pilihan nama dan memberikan alternatif pilihan lain.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Tindak tutur terdapat dalam komunikasi berbahasa. Tindak tutur merupakan tindakan
yang terjadi dalam setiap proses komunikasi dengan menggunakan bahasa. Tindak tutur
merupakan produk dari suatu ujaran kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan
terkecil dari komunikasi bahasa yang menentukan makna kalimat. Bahasa sendiri berfungsi
sebagai sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi. Kehidupan sosial
ditandai oleh adanya komunikasi antarindividu maupun individu dengan kelompok melalui
proses interaksi yang menggunakan bahasa sebagai media. Selain itu bahasa juga sebagai
media bagi manusia untuk mengungkapkan segala bentuk emosi dan pikirannya.
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak
seorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya
(Simanjuntak:1987:157).
Penggunaan bahasa untuk bersosialisasi tidak terlepas dari faktor-faktor penentu
tindak komunikasi serta prinsip-prinsip kesantunan dan direalisasikan dalam tindak tutur
komunikasi. Dalam penilaian kesantunan berbahasa minimal ada dua hal yang perlu
diperhatikan yaitu bagaimana kita bertutur dan dengan siapa kita bertutur. Hakikatnya
kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosioalisasi di sekolah ataupun masyarakat
dengan penggunaan bahasa dan pemilihan kata yang baik, dengan memerhatikan di mana,
kapan, kepada siapa, dengan tujuan apa kita berbicara secara santun. Setyawati (2013)
menyebutkan hal tersebut senada dengan pendapat Wijana (1996: 11), bahwa bentuk-bentuk
tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu.
menyatakan maksud yang sama. Sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan
dengan tuturan yang sama. Budaya kita menilai berbicara dengan menggunakan bahasa yang
santun akan memperlihatkan sejati kita sebagai manusia yang beretika, berpendidikan, dan
berbudaya yang mendapat penghargaan sebagai manusia yang baik.
Faktor-faktor penentu tindak komunikasi anak serta prinsip-prinsip kesantunan sangat
penting dalam realisasi komunikasi pada masa pra sekolah. Kondisi ideal yang diharapkan
seperti di atas kadang kala berbenturan dengan kenyataan yang terjadi. Masih sering
dijumpai penutur menggunakan kalimat yang sering tidak sesuai dengan etika dan tutur kata
yang sopan. Kondisi tersebut disebabkan oleh faktor kebiasaan yang dilakukan di rumah,
lingkungan, maupun teman sepergaulan. Oleh karena itu, orangtua atau tenaga pendidik harus
berupaya untuk selalu menggunakan bahasa yang santun. Sikap dan tuturan pendidik
mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap dan tuturan anak. Oleh karena itulah tindak
tutur yang santun sangat penting pada anak usia dini (PAUD).
Pendidikan Anak Usia Dini menjadi sangat penting mengingat potensi kecerdasan dan
dasar-dasar perilaku seseorang terbentuk pada rentang usia ini. Sedemikian pentingnya masa
ini sehingga usia dini sering disebut the golden age (usia emas) (dalam Purwanto:2009).
Biasanya mereka menggunakan bahasa melalui berbagai cara, seperti bernyanyi, bertanya,
atau kegiatan interaksi lainnya (seperti dialog dengan guru maupun teman-temannya). Pada
era globalisasi ini proses tindak tutur bahasa memegang peranan penting karena dengan
bahasa manusia melakukan komunikasi.
Menurut Austin (1955) (dalam Yuniarti 2010) yang kemudian dikembangkan oleh
Searle (1975) ketika seseorang berbicara, ia tidak hanya mengucapkan sebuah ujaran tetapi ia
juga melakukan tindakan dengan ujarannya tersebut. Teori ini kemudian dikenal sebagai
memiliki maksud-maksud tertentu yang berdampak pada lawan tuturnya. Austin
menggolongkan teori tindak tutur (speech act) menjadi tiga yaitu: locutionary act,
illocutionary act, dan perlocutionary act. Searle (1975) , selanjutnya mengklasifikasi tindak
tutur ke dalam lima jenis yaitu: representatives, directives, expressives, commisives dan
declaration.
Selanjutnya, Searle (1975) (dalam Yuniarti 2010), mengklasifikasi bahwa tindak tutur
deklaratif berfungsi untuk menginformasikan kepada mitra tutur atau bahkan kepada publik
tentang sesuatu hal dan kemungkinan berpengaruh pada kehidupan. Kaitannya dengan
anak-anak, tindak tutur terkait dengan kemampuan anak baik dalam hal kompetensi maupun
performansi. Kompetensi anak terhadap tindak tutur berpengaruh pada performansinya, yaitu
kemampuannya dalam memahami maksud tindak tutur, dan kemungkinan anak tersebut
mampu memproduksi tindak tutur tersebut.
Menurut Chaer (2003: 167), ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak
sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi.
Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara alamiah. Proses
kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi. Kompetensi tidak
diperoleh secara berasingan, melainkan diperoleh secara bersamaan sesuai dengan
perkembangan usia anak.
Selanjutnya menurut Chaer (2003: 167), proses performansi sendiri memiliki dua
tahap, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan
kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau
kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan
melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat itu sendiri. Kedua
linguistik terdiri atas kemampuan memahami dan kemampuan melahirkan atau menerbitkan
kalimat-kalimat baru yang dalam linguistik transformasi generatif disebut perlakuan atau
pelaksaan bahasa atau performansi.
Pendekatan interaksionis adalah gabungan dari dua pendekatan yakni perpaduan
antara faktor internal dan eksternal dalam proses pemerolehan dan pembelajaran berbahasa
(Roza 2009). Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil
interaksi antara kemampuan mental pembelajar dengan lingkungan bahasa. Hubungan antara
keduanya adalah hasil interaksi aktual antara pembelajar dengan orang lain. Titik awal
pendekatan ini adalah kemampuan kognitif manusia dalam menemukan sruktur bahasa di
sekitarnya. Proses pemerolehan dan pembelajaran dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya
(Simanjuntak,1990:110). Perkembangan intelektual anak yang biasa juga ditandai dengan
perkembangan kognitif oleh Piaget ditandai dengan: masa sensomotorik (0–2 tahun), masa
praoperasional (2–7 tahun), masa oprerasional konkret (7–12 tahun), masa formal operasional
(kurang lebih 12 tahun ke atas), masa abstrak formal (kurang lebih 17 tahun ke atas)
(Semiawan 2002: 50).
Pada anak usia prasekolah (4–5 tahun), kompetensi dan performansinya terhadap
tindak tutur tentu saja berbeda dengan orang dewasa. Perkembangan pemerolehan bahasa
pertama anak pada masa prasekolah berlangsung seiring dengan perkembangan
pralinguistiknya. Dardjowijoyo (2005:57) menambahkan bahwa anak memiliki
tahapan-tahapan tersendiri dalam memeroleh bahasanya, termasuk di dalamnya kemampuan
pragmatik (tentu saja dengan tindak tuturnya).
Tindak tutur deklaratif yang berfungsi mempengaruhi mitra tutur untuk melakukan
seperti yang diujarkan penutur tentu saja banyak dilakukan di sebuah kelompok bermain. Di
kelompok usia ini, tentu saja ada beberapa strategi tindak tutur deklaratif yang dilakukan oleh
mudah direspon oleh peserta didik agar melakukan sesuatu sesuai tuturan. Seperti halnya
kemampuan anak dalam merespon atau memahami tindak tutur deklaratif, kemampuan
menerbitkan atau kemampuan memproduksi tindak tutur deklaratif juga perlu diperhatikan.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini bermaksud meneliti bagaimana anak usia pra
sekolah (4–5 tahun) memahami dan menerbitkan tindak tutur deklaratif dan kaitannya dengan
kesantunan berbahasa.
Penelitian tentang tindak tutur deklaratif memang sudah banyak dilakukan oleh
banyak peneliti dengan kesantunan berbahasa. Namun demikian penelitian tersebut lebih
banyak menggunakan orang dewasa sebagai objek penelitiannya. Sementara penelitian
mengenai tuturan deklaratif dengan objek anak-anak belum banyak dilakukan terutama dalam
bahasa Batak Toba. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya memfokuskan objeknya pada
tuturan deklaratif anak usia pra sekolah (usia 4 – 5 tahun).
Anak-anak di PAUD Mawar Motung yang berusia 4–5 tahun telah mampu
mengembangkan keterampilan berbicara melalui percakapan sederhana. Bahasa Batak Toba
menjadi aset kekayaan linguistik kebudayaan Indonesia. Bahasa ini mempunyai peranan dan
tugas yang sama dengan bahasa daerah lain terhadap perkembangan bahasa Indonesia, baik
dari segi faktor penunjang maupun sebagai sumber bahan khususnya untuk menambah kosa
kata bahasa Indonesia. Hal ini yang membuat penulis tertarik sehingga memilih judul Tindak
Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4–5 tahun: Kajian Psikolinguistik
Interaksionis serta melihat bagaimana hubungan tindak tutur anak dengan kesantunan
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas, maka masalah yang akan diteliti
adalah:
1. Bagaimanakah tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada
PAUD Mawar Motung?
2. Bagaimakanah hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5
tahun dengan kesantunan berbahasa?
1.3Batasan masalah
Batasan masalah merupakan uraian terhadap masalah yang akan diteliti, sehingga
penelitian yang akan dilakukan dapat efektif dan efesien. Melihat banyaknya jenis tindak
tutur dalam bahasa, penelitian ini hanya membahas tentang tindak tutur deklaratif yang
digunakan anak-anak usia 4–5 tahun bagi penutur bahasa Batak Toba pada PAUD Mawar
Motung, Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Anak usia 4–5 tahun
ini sehat jasmani dan rohani serta menggunakan bahasa Batak Toba untuk berkomunikasi
dengan Ibu dan saudara-saudarnya baik di rumah maupun di sekolah dengan guru dan
teman-temannya.
1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan identifikasi dan rumusan masalah penelitian yang telah diungkapkan,
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:
1. Mendeskripsikan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada
PAUD Mawar Motung
2. Mendeskripsikan hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5
tahun dengan kesantunan berbahasa.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk semua pihak yang
bersangkutan dalam penelitian ini, baik manfaat secara praktis maupun secara teoretis:
1.4.2.1 Manfaat Teoretis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang tindak tutur bahasa
Batak Toba pada anak usia 4–5 tahun.
2. Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca dalam memahami
penelitian.
3. Menambah sumber referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian yang
berkaitan dengan tindak tutur deklaratif pada anak-anak.
1.4.2.2Manfaat Praktis
1. Penelitian ini dapat dijadikan sumber acuan bagi peneliti selanjutnya tentang tindak
tutur deklaratif bahasa-bahasa daerah.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan masukan bagi orang tua
yang memiliki anak usia 4–5 tahun.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru tentang tindak tutur
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Dalam penelitian, ada beberapa konsep dasar yang berkaitan dengan topik penelitian
yang pada intinya dibangun untuk menunjang teori yang diterapkan. Beberapa konsep
tersebut diantaranya mengacu pada judul atau topik penelitian. Dalam penelitian ini ada
beberapa konsep dasar yang dijadikan sebagai acuan yaitu:
2.1.1 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Yusuf (2000:162) (dalam Yuniarti 2010) mengemukakan bahwa anak usia prasekolah
merupakan fase perkembangan individu sekitar 2–6 tahun atau sering disebut sebagai usia
Taman Kanak-kanak (TK). Masa ini diperinci lagi kedalam dua masa, yaitu: 1) masa vital,
karena pada usia ini individu menggunakan fungsi biologisnya untuk menemukan berbagai
hal dalam dunianya, dan 2) masa estetik karena pada masa ini dianggap sebagai masa
perkembangan rasa keindahan.
Early childhood atau kadang dinamakan usia prasekolah adalah periode dari akhir
masa bayi sampai umur lima atau enam tahun. Selama periode ini, anak menjadi makin
mandiri, siap untuk bersekolah (seperti mulai belajar untuk mengikuti perintah dan
mengidentifikasi huruf) dan banyak menghabiskan waktu bersama teman. Selepas taman
kanak-kanak biasanya dianggap sebagai batas berakhirnya periode ini.
Bermain juga merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan
anak didik. Dalam masa prasekolah, bermain merupakan cara alamiah untuk menemukan
lingkungan, orang lain, dan dirinya sendiri. Pada prinsipnya, bermain mengandung rasa
senang dan tanpa paksaan serta lebih mementingkan proses dari pada hasil akhir. Bermain
adalah medium, di mana si anak mencobakan diri, bukan saja dalam fantasinya tetapi juga
2.1.2 Bahasa Batak Toba
Bahasa Batak Toba hingga saat ini masih merupakan alat komunikasi sehari-hari
antarwarga masyarakat penturnya. Masyarakat Batak Toba akan lebih mudah dalam
menyampaikan maksud dan perasaan jika menggunakan Bahasa Batak Toba kepada
masyarakat penuturnya. Dalam dialognya penutur sering menggunakan ungkapan-ungkapan
guna menjalin hubungan antar penutur dan lawan tuturnya. Jalinan komunikasi tersebut dapat
berupa salam, mengakrabkan hubungan, dan dapat sebagai basa-basi pergaulan.
Bahasa Batak Toba digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat penuturnya
yang tersebar di beberapa kabupaten, yaitu: Kabupaten Daerah Tingkat II Samosir yang
berpusat di Pangururan, Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara yang berpusat di
Tarutung, dan Kabupaten Daerah Tingkat II Humbang Hasundutan yang berpusat di Dolok
Sanggul serta kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir yang berpusat di Balige. Tempat
fokus penelitian peneliti tepatnya di daerah Motung Kec. Ajibata di Desa Lumban Bagasan
yang masih penutur asli bahasa Batak Toba.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Tindak Tutur
Tindak tutur atau tindak bahasa adalah bagian dari peristiwa tutur (speech event) yang
merupakan fenomena aktual dalam situasi tutur (Rohmadi, 2004 : 7). (Widyahening 2013)
mengatakan ada beberapa defenisi tentang tindak tutur yang dikemukakan oleh para ahli
pragmatik. Searle (16:1969) memberi batasan tindak tutur sebagai suatu tanggapan atau
penghasilan kalimat dalam kondisi tertentu yang bisa berupa kegiatan menyatakan,
memerintah, menjawab pertanyaan, berjanji, dan sebagainya. Chaer dan Leonie (2004:50)
menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi
ditampilkan lewat tuturan dan dalam bahasa Inggris secara umum diberi label yang lebih
khusus, misalnya permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan, janji atau permohonan.
Begitupun dengan Searle (dalam Tampubolon 2013) yang membagi tindak tutur dalam
lima kategori yaitu representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, diantaranya:
1) Representatif (disebut juga asertif)
Merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang
dikatakannya. Misalnya mengatakan, melaporkan, dan menyebutkan.
2) Direktif
Merupakan tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur
tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut,
menyarankan, dan menantang.
3) Ekspresif
Merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai
evaluasi mengenai hal yang disebutkan dalam tuturan itu. Misalnya memuji, mengucapkan
terima kasih, mengkritik, dan menyelak.
4) Komisif
Merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang
disebutkan di dalam tuturannya. Misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam.
5) Deklaratif
Merupakan tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal
(status, keadaan, dsb.) yang baru. Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang,
Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.
Tindakan dalam tuturan akan terlihat dari makna tuturan. Berdasarkan pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa tindak tutur adalah aktivitas dengan menuturkan sesuatu. Tindak tutur
yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur.
Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang
menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.
2.2.2 Psikolinguistik
Menurut Clark dan Clarck (1977) (dalam Dardjowidjojo 2005:7) psikologi bahasa
berkaitan dengan tiga hal utama :komprehensi ,produksi, dan pemerolehan bahasa. Secara
etimologi kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik yakni dua
bidang ilmu yang berbeda, yang masing- masing berdiri sendiri dengan prosedur dan metode
yang berlainan. Namun keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai obyek formalnya.
Kedua obyek tersebut memiliki materi yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa,
sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa (Chaer 2003:5).
Psikolinguistik menguraikan proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan
kalimat-kalimat yang didengarkannya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan
berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Chaer 2003:5). Maka secara teoretis tujuan utama
psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan
secara psikologi dapat menerangkan hakekat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain,
psikolinguistik mencoba menerangkan hakekat struktur bahasa dan bagaimana struktur itu
diperoleh, digunakan pada waktu bertutur dan pada waktu memahami kalimat-kalimat
penuturan itu (Chaer 2003:6). Dikaitkan dengan komunikasi, psikolinguistik memusatkan
perhatian pada modifikasi pesan selama berlangsungnya komunikasi dalam hubungan dengan
2.2.3 Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam
otak seorang anak ketika anak memperoleh bahasa pertama bahasa ibunya. Pemerolehan
biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa
adalah proses-proses yang terjadi pada waktu seorang anak mempelajari bahasa kedua,
setelah anak memperoleh bahasa pertamanya. Jadi pemerolehan bahasa berkenaan dengan
bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer,
2003:167).
Pemerolehan Bahasa merupakan proses yang dilakaukan manusia untuk mendapatkan
kemampuan bahasa, menangkap, menghasilkan, dan menggunakan kata untuk pemahaman
dan komunikasi. Kapasitas ini melibatkan berbagai kemampuan seperti sintaksis, fonetik, dan
kosakata yang luas. Pemerolehan bahasa biasanya merujuk pada pemerolehan bahasa pertama
yang mengkaji pemerolehan anak terhadap bahasa ibu mereka dan bukan pemerolehan
bahasa kedua yang mengkaji pemerolehan bahasa tambahan oleh anak-anak atau orang
dewasa. Kemampuan memperoleh bahasa pertama merupakan ‘kemampuan berbahasa’
(language faculty) bawaan (innateness) manusia yang diberikan kepada setiap anak yang
baru lahir (Cahyono 1995; 273).
2.2.4Psikolinguistik Interaksionis
(Roza 2009) mengemukakan bahwa Psikolinguistik Interaksionis adalah gabungan
dari dua pendekatan yakni perpaduan antara faktor internal dan eksternal dalam proses
pemerolehan dan pembelajaran berbahasa. Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan
bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental anak dengan lingkungan bahasa.
Hubungan antara keduanya adalah hasil interaksi aktual antara pembelajar dengan orang lain.
Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif manusia dalam menemukan sruktur
sekitarnya (Simanjuntak,1990:110). Kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada
pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar
akan lebih bermakna jika anak mengalami hal yang dipelajarinya.
Kompetensi dan Performansi merupakan hal yang berkaitan dengan tata bahasa
transformasi sebagai dasar kajian psikolinguistik yang juga berhubungan dengan psikologi
interaksionis anak. Kompetensi tata bahasa inilah yang menjadi pengetahuan bahasa
penutur bahasa itu yang memungkinkan dia melakukan performansi bahasa itu, yang terdiri
dari menuturkan kalimat-kalimat dan memahami kalimat-kalimat yang didengarnya
(Simanjuntak 2009:57).
2.2.5 Teori Kesantunan
Dalam berinteraksi dengan menggunakan bahasa terdapat kesantunan berbahasa, atau
disebut dengan kesantunan saja (Hasibuan 2005). Beberapa linguis memaparkan teori
kesantunan, seperti Lakoff (1972), Brown dan Levinson (1987) dan Leech (1983). Penelitian
ini menggunakan teori Brown dan Levinson sebagai alat untuk menganalisis kesantunan yang
ada pada tindak tutur deklaratif.
Menurut Brown dan Levinson dalam (Yuniarti 2010), teori kesantunan berbahasa
berkisar pada nosi muka (face) yang dibagi menjadi muka negatif dan muka positif. Muka
negatif adalah keinginan individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi oleh pihak lain.
Sedang muka positif adalah keinginan setiap penutur agar dia dapat diterima atau disenangi
oleh pihak lain (dalamYule:1996). Dikatakan oleh Brown dan Levinson bahwa konsep
tentang muka ini bersifat universal dan secara alamiah terdapat berbagai tuturan yang
cenderung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan (Face Threatening Act).
Menurut Brown dan Levinson sebuah tindak ujaran atau tindak tutur dapat merupakan
ancaman terhadap muka yang disebut sebagai facethreatening act (FTA). Karena ada dua sisi
kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga
muka positif). Brown dan Levinson (dalam Yuniarti 2010) merangkum beberapa tindakan
yang melanggar muka negatif meliputi:
a. Ungkapan mengenai perintah dan permintaan, saran, nasihat, peringatan, ancaman,
tantangan.
b. Ungkapan mengenai tawaran atau janji.
c. Ungkapan mengenai pujian, ungkapan perasaan negatif yang kuat seperti kebencian,
kemarahan.
Tindakan yang mengancam muka positif lawan meliputi:
a. Ungkapan mengenai ketidaksetujuan, kritik, tindakan merendahkan atau yang
mempermalukan, keluhan, kemarahan, dakwaan, penghinaan.
b. Ungkapan mengenai pertentangan, ketidaksetujuan atau tantangan.
c. Ungkapan emosi yang tidak terkontrol yang membuat lawan tutur menjadi takut atau
dipermalukan.
d. Ungkapan yang tidak sopan, menyebutkan hal-hal yang tidak sesuai dengan situasi, yaitu
penutur tidak menghargai nilai-nilai lawan tutur.
e. Ungkapan kabar buruk mengenai lawan tutur, menyombongkan berita baik, tidak
menyenangkan lawan tutur dan tidak mebgindahkan perasaan lawan tutur.
f. Ungkapan mengenai hal-hal yang membahayakan, memecah belah pendapat, menciptakan
g. Ungkapan yang tidak kooperatif antara penutur terhadap lawan tutur, menyela
pembicaraan lawan tutur, tidak menunjukan kepedulian pada lawan tutur.
h. Ungkapan yang menunjukan sebutan atau sesuatu pada lawan tutur pada perjumpaan
pertama. Dalam situasi ini mungkin penutur membuat identifikasi yang keliru pada lawan
tutur sehingga dapat mempermalukan lawan tutur baik sengaja atau tidak.
Brown dan Levinson memberikan beberapa strategi yang digunakan untuk
meminimalkan ancaman terhadap muka negatif maupun muka positif agar ujaran terdengar
santun. Strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka positif antara lain:
a. Memberikan perhatian khusus pada lawan tutur; ”Wah, rambut baru ya?bagus sekali. Eh,
boleh pinjam printer tidak?”
b. Melebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati pada lawan tutur; “Rumah anda
benar-benar bersih sekali.”
c. Meningkatkan rasa tertarik pada lawan tutur untuk terlibat dalam pembicaraan; “Anda tahu
maksud saya kan?”
d. Menggunakan penanda yang menunjukan kesamaan jati diri atau kelompok; “Kamu mau
membantuku kan, Sobat?
e. Mencari persetujuan lawan; “Benar tidak, ide itu luar biasa.”
f. Menghindari pertentangan dengan lawan tutur; “Ya, idemu cukup bagus.”
g. Menimbulkan persepsi sejumlah persamaan penutur dan lawan tutur; “Ya aku tahu, pasti
sakit sekali rasanya kan?”
i. Membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan lawan tutur; “Aku tahu kamu tidak
suka nonton film, tapi film ini bagus. Tontonlah.”
j. Membuat penawaran dan janji; “Kapan-kapan saya mampir.”
k. Menunjukan rasa optimisme; “Saya yakin kamu pasti dapat dipercaya.”
l. Berusaha melibatkan penutur dan lawan tutur dalam suatu kegiatan tertentu; “Ayo kita
istirahat dulu sejenak.”
m. Memberikan dan meminta alasan; “Bagaimana kalau kita ke pantai saja, lebih santai.”
n. Menawarkan suatu tindakan timbal balik; “Saya akan meminjami kamu buku, kalau kamu
juga mau meinjami aku majalahmu.”
o. Memberikan simpati pada lawan tutur; “Kalau ada yang dapat aku bantu?”
Sedangkan beberapa strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka negatif
antara lain:
a. Pakailah ujaran tak langsung; ”Dapatkah engkau menolongku?”
b. Pakailah pagar (hedge); ”Aku agak ragu, tapi bisakah kau menolongku?”
c. Tunjukan pesimisme; ”Aku sebenarnya mau minta tolong sama kamu, tapi aku takut
merepotkanmu.”
d. Minimalkan paksaan; ”Bolehkah aku merepotkanmu sebentar?”
e. Berikan penghormatan; ”Aku ingin minta tolong sama kamu, karena aku tahu kamu
satu-satunya orang yang bisa saya mintai tolong dalam hal ini.”
g. Pakailah bentuk impersonal (yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan pendengar);
”Aku rasa setiap orang mengalami masa-masa sulit.”
h. Ujarkan tindak tutur itu sebagai ketentuan yang bersifat umum; ”Keadaan ekonomi
sekarang ini sungguh sulit”.
2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki atau
mempelajari) Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah kitab, buku, buku
primbon, (KBBI 2003: 912).
Yuniarti (2010) dalam Thesisnya yang berjudul Kompetensi Tindak Tutur Direktif Anak
Usia Prasekolah ( Kajian Pada Kelompok Bermain Anak Cerdas P2PNFI Regional II
Semarang), membahas tentang mengidentifikasi realisasi bentuk pemahaman anak usia
prasekolah terhadap Tindak Tutur Direktif (TTD), mengidentifikasi realisasi bentuk-bentuk
TTD yang diterbitkan oleh anak usia prasekolah, dan mengidentifikasi keterkaitan
perkembangan pemahaman serta penerbitan TTD anak usia prasekolah tersebut dengan
kesantunan.
Penelitian tentang bahasa di lingkungan taman kanak-kanak telah dilakukan oleh
Gustianingsih (2002). Penelitiannya yang membahas Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa
Indonesia pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak, menunjukkan bahwa anak usia taman
kanak-kanak telah memperoleh kemampuan sintaksis dalam menyusun kalimat majemuk.
Temuan ini akan menjadi gambaran pemerolehan bahasa terhadap fungsi tindak tutur anak
secara sintaksis.
Stiawati (2012) dalam artikelnya yang berjudul Kompetensi Tindak Tutur Direktif Anak
Usia Prasekolah. Penelitian tersebut bertujuan mengkaji kompetensi tindak direktif anak usia
prasekolah. Data berupa tuturan-tuturan yang berisi bentuk, fungsi, dan strategi tindak
teori yang digunakan adalah teori Pragmatik dan Etnografi Komunikasi. Analisis data
menggunakan model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia prasekolah
sudah menggunakan diantaranya: empat belas kompetensi bentuk tindak direktif, enam
kompetensi fungsi tindak direktif; dan kompetensi strategi tindak direktif secara langsung dan
tidak langsung.
Hutabarat (2011) dalam Tesisnya yang berjudul Pemerolehan Sintaksis Bahasa
Indonesia Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun Di Padang Bulan Medan, yaitu bagaimana
anak-anak pada tahun pertama kehidupannya anak-anak mulai meniru kata-kata yang mereka
dengar dari lingkungan sekitarnya dan dapat dikatakan pada saat itulah anak mulai
menghasilkan “kata-kata pertama” mereka. Penelitian dilakukan berdasarkan teori biologis
-kognitif Chomsky yang menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dengan potensi biologis
untuk bahasa dan pemerolehan serta perkembangan bahasa terjadi bukan karena potensi
biologis tersebut saja tetapi juga karena adanya lingkungan bahasa yang mendukung.
Selanjutnya, Nasution (2009) dengan judul penelitian Kemampuan Berbahasa Anak
Usia 3–4 Tahun (Prasekolah) di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolinguistik,
penelitian ini memaparkan bahwa anak usia 3–4 tahun telah memperoleh kemampuan
fonologis, sintaksis, maupun semantik. Penelitian ini menginformasikan bahwa anak pada
usia itu telah mampu menguasai kalimat-kalimat secara bertahap mulai dari bentuk kalimat
yang sederhana hingga bentuk kalimat yang kompleks.
Taningsih (2006) mengamati pentingnya Mengembangkan Kemampuan bahasa Anak
usia (4–6 tahun) melalui Bercerita. Dalam tulisannya, dipaparkan bahwa cerita mendorong
anak bukan saja senang menyimak cerita , tetapi juga senang bercerita atau berbicara. Anak
belajar tentang tata cara berdialog dan bernarasi sehingga terstimulasi/terangsang untuk
menirukannya. Kemampuan pragmatik terstimulasi melalui bercerita karena dalam cerita ada
larangan, dan memuji. Kajian ini menjadi referensi penelitian dalam mengamati tindak tutur
anak taman kanak-kanak yang menjadi subjek peneliti.
Marpaung (2006) dalam skripsinya yang berjudul Pemerolahan Bahasa Batak Toba
Anak Usia 1–5 Tahun, menyimpulkan bahwa tahap-tahap perkembangan pemerolehan bahasa
anak, adalah tahap holofrastik (tahap linguistik pertama), tahap ucapan-ucapan dua kata,
tahap perkembangan tata bahasa, tahap tata bahasa menjelang dewasa dalam bahasa Batak
Toba.
Selanjutnya, Nasution (2009) dalam Thesisnya yang berjudul Kemampuan Berbahasa
Anak Usia 3-4 tahun di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolingustik. Hasil
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1 Lokasi Penelitian
Lokasi adalah letak atau tempat (Alwi, dkk 2003: 680). Yang menjadi lokasi
penelitian ini adalah PAUD Mawar Motung, Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir.
3.1.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 10 Februari 2014 – 10 Maret 2014.
3.2 Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data itu diperoleh (KBBI, 2003: 994). Sumber
data dalam penelitian ini adalah tuturan deklaratif dari anak PAUD Mawar yang berada di
Desa Motung, Kec. Ajibata Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara yang berusia empat
sampai lima tahun. Penulis mengambil 9 anak untuk dijadikan sebagai narasumber, lima
orang berjenis kelamin perempuan dan empat orang berjenis kelamin laki-laki. Setiap anak
yang diteliti harus memenuhi kriteria-kriteria diantaranya, berusia 4–5 tahun, merupakan
penduduk setempat, sehat jasmani dan rohani, beserta bahasa pertamanya adalah bahasa
Batak Toba.
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah penyediaan dan pengklasifikasian data. Metode
pengumpulan data adalah cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data. Metode adalah
cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode
(Sudaryanto 1993:9). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak.
Disebut “metode simak” atau “penyimakan” karena memang berupa penyimakan: dilakukan
dilakukan dengan menyimak tuturan yang akan disampaikan oleh anak usia 4–5 tahun oleh
anak-anak PAUD Mawar Motung Kec. Ajibata Kabupaten Toba Samosir.
Adapun teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sadap. Pada
praktiknya, penyimakan atau metode simak itu diwujudkan dengan penyadapan, maksudnya
menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang (Sudaryanto, 1993: 133).
Metode simak memiliki teknik lanjutan yaitu teknik simak libat cakap (Sudaryanto,
1993: 134). Peneliti terlibat langsung dalam dialog, konversasi, imbal wicara atau ikut serta
dalam proses pembicaraan anak-anak yang saling berbicara. Hal ini berarti bahwa yang
diperhatikan oleh peneliti bukan isi pembicaraan melainkan tuturan deklaratif serta hubungan
tuturan deklaratif dengan kesantunan berbahasa yang digunakan. Kemudian dilanjutkan
dengan teknik catat sebagai teknik lanjutan akhir dari metode simak. Dalam hal ini penulis
melakukan pencatatan terhadap data relevan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan
penelitian. Teknik pencatatan dilakukan dengan mencatat kata-kata yang diucapkan oleh para
informan.
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, mulailah diadakan analisis terhadap data untuk
menyelesaikan permasalahan penelitian yang telah ditetapkan. Analisis data merupakan
upaya sang peneliti menangani langsung masalah yang terkandung dalam data (Sudaryanto,
1993:6). Sudaryanto (1993) mengelompokkan metode analisis data ke dalam dua jenis
berdasarkan alat penentunya, yaitu metode padan dan metode agih.
Dalam penggunaan, metode analisis data yang dipilih harus sesuai dengan satuan
kebahasaan yang diangkat sebagai objek analisis. Metode padan adalah metode analisis
bahasa yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa
yang bersangkutan, sedangkan metode agih adalah metode analisis bahasa dengan alat
Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah metode pada
referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent
bahasa dan metode padan pragmatis yang alat penentunya adalah mitra wicara. Metode ini
digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya, satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat
yang terjadi atau timbul pada lawan atau mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu
dituturkan oleh pembicara. Pada penelitian ini metode ini digunakan untuk mengidentifikasi
tindak tutur deklaratif anak.
Strategi-strategi yang digunakan oleh anak usia 4–5 tahun dalam menanggapi tindak
tutur deklaratif tersebut di antaranya dengan mengiyakan/menyetujui tindak tutur deklaratif
tersebut tanpa membantah, menyetujui dengan memunculkan ujaran tertentu dan melakukan
penolakan terhadap tindak tutur yang diungkapkan ole penutur.
Contoh:
(1). Konteks: Oliv meminta izin kepada Dwi bahwa ia ingin bergabung bermain dengan
Dwi.
Situasi : Di luar ruangan situasi tidak formal
Oliv : “boi do Ahu dohot marmeam?”
(boleh saya ikut bermain?)
Dwi : “Boi”
(Bisa)
Kalimat (1) di atas dapat diidentifikasi sebagai izin. Kalimat tersebut jika dituturkan
mengakibatkan mitra wicara memunculkan reaksi menerima permintaan izin Dwi tersebut.
karena penentunya adalah mitra wicara. Oliv meminta untuk bermain bergabung dengan Dwi
dan Dwi mengizinkan untuk bergabung bersama.
Pada tuturan (1) Oliv telah mampu menuturkan tuturan deklaratif kepada Dwi.
Tuturan (1) mengidentifikasikan tuturan langsung yang sopan ketika Dwi mampu menghargai
nilai-nilai lawan tuturnya dan sesuai dengan situasi dan menerima permintaan izin Oliv untuk
bergabung bermain dengannya.
Berikut merupakan contoh tuturan bentuk reaksi penolakan secara tidak langsung
yang terjadi:
(2). Konteks : Oliv mengajak Dwi bermain di luar karena pelajaran telah selesai.
Situasi : Di dalam ruangan kelas dan dalam situasi tidak formal, karena pelajaran telah
selesai.
Oliv : “Dwi, eta marmeam i luar”
(Dwi, ayo bermain di luar)
Dwi : “manggabbar dope ahu”
(Aku masih menggambar)
Kalimat (2) di atas jika di tuturkan mengakibatkan mitra wicara (Dwi) memberikan
reaksi menolak secara tidak langsung dengan tidak harus mengikuti ajakan temannya (Oliv)
untuk bermain di luar karena ia sedang menggambar.
Pada tuturan (2) di atas, Oliv dan Dwi mampu menuturkan tuturan deklaratif. Tuturan
(2) juga mengidentifikasikan tuturan tidak langsung yang dituturkan oleh Dwi dengan alasan
tidak langsung agar penolakannya terdengar santun dilakukan dengan cara memberikan
alasan. Dwi merasa bahwa ajakan Oliv tidak harus diikuti karena ia sedang asik menggambar.
Psikolinguistik interaksionis diantara kedua anak yaitu Oliv dan Dwi menyebutkan
terjadinya interaksi yang positif antara Oliv dan Dwi.
Contoh di bawah ini mengiyakan/menyetujui dengan bentuk verbal berupa pertanyaan
sebagai berikut:
(3). Konteks : Pengasuh membatalkan mata pelajaran melukis.
Situasi : Di dalam ruangan kelas dalam situasi formal
Pengasuh: “Anak-anak hu songonari dang saut hita mangalukis da”
(Anak-anak ku hari ini kita tidak jadi melukis ya)
Murid : “Dang saut Miss?”
(Tidak jadi Miss?)
Pada kalimat (3) di atas, anak memberikan tanggapan mengiyakan atau menyetujui
pembatalan melukis dari pengasuh dengan menerbitkan ujaran. Pada tuturan (3) anak
menuturkan tuturan deklaratif kepada pengasuh dengan menggunakan Miss. Tuturan Miss
adalah salah satu sapaan kesantunan dalam memanggil seorang guru atau pengasuh anak.
Tuturan (3) juga mengidentifikasikan tuturan yang santun mengiyakan/menyetujui dengan
bentuk verbal dengan berupa pertanyaan. Pada konteks di atas anak tersebut menanggapi
tindak tutur deklaratif yang diujarkan dengan menanyakan untuk mempertegas tindak tutur
deklaratif dari pengasuh. Hal ini berarti anak memahami maksud tindak tutur yang
Psikolinguistik interaksionis di atas menyebutkan juga terjadinya interaksi yang
positif antara anak dengan guru (Miss) dan begitu juga sebaliknya dalam lingkungan formal
serta menunjukkan bahwa kognitif anak bekerja dengan baik, karena anak masih mengerti
tuturan yang disampaikan pengasuh (Miss) kepadanya .
Di bawah ini juga merupakan contoh identifikasi tuturan langsung yang santun dan
meminta persetujuan:
(4) Konteks : Oliv menyatakan kepada pengasuh (Miss) bahwa ia tidak bisa bermain di luar
ruangan karena sedang hujan.
Situasi : Di dalam ruangan
Dwi :“Miss dang boi hami marmeam i luar ala ro udan.” (Miss, kami tidak bisa
bermain di luar karena hujan).
Pengasuh : “Olo nak hu” (Iya anak ku)
Pada tuturan (4) di atas dapat diidentifikasi sebagai tuturan deklaratif larangan yang
dituturkan oleh anak. Kalimat tersebut jika dituturkan mengakibatkan mitra wicara
memunculkan reaksi mengiyakan atas laragan yang di produksi anak.
Tutruran (4) juga mengidentifikasikan tuturan langsung yang santun dan meminta
persetujuan “tidak boleh keluar ruangan, karena sedang hujan”. Tuturan (4) ini menunjukkan
bahwa kognitif anak bekerja dengan baik, karena anak masih mengingat nasehat yang
disampaikan pengasuh (Miss) kepadanya. Jika hari hijan tidak boleh bermain di luar, karena
dapat mengakibatkan sakit.
Psikolinguistik interaksionis di atas menyebutkan juga terjadinya interaksi yang
lingkungan formal di sekolah. Hal ini sekaligus menjawab masalah nomor 2 dalam proposal
ini.
Selanjutnya, setelah data dianalisis adalah menyajikan hasil analisis data. Dalam
pelaksanaannya, hasil analisis data dapat disajikan secara informal dan formal (Sudaryanto,
1993:43).
Penyajian hasil analisis data secara formal adalah penyajian hasil analisis data dengan
menggunakan kaidah kebahasaan. Kaidah itu dapat berbentuk rumus, bagan/diagram, tabel
dan gambar (Kesuma, 2007:73) dalam (Yuniarti 2010). Selanjutnya untuk memudahkan,
penyajian kaidah itu didahului atau diikuti oleh penyajian yang bersifat informal.
Penyajian hasil analisis data secara informal adalah penyajian hasil analisis data
dengan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145). Dalam penyajian hasil analisis
ini, rumus atau kaidah disampaikan dengan menggunakan kata-kata biasa, kata-kata yang
apabila dibaca dengan serta merta dapat langsung dipahami. Pada penelitian ini hasil analisis
data disajikan secara informal karena analisis dilakukan secara kualitatif dengan uraian
penjelasan kata-kata yang mudah dipahami.
Pada contoh di atas anak usia 4–5 tahun menunjukkan adanya pemahaman dalam
proses pemerolehan dan pembelajaran berbahasa secara internal dan ekternal walaupun tidak
terlalu mencolok. Perkembangan tersebut berbentuk gradasi pada kemampuan anak
memahami tindak tutur deklaratif. Pemahaman anak lebih pada bagaimana anak mulai
menguasai prinsip kesantuan. Beberapa bentuk strategi yang digunakan oleh anak kaitannya
agar penerimaannya atau penolakannya terdengar santun adalah dengan menggunakan
penolakan secara langsung dan tidak langsung dengan memberikan alternatif pilihan lain agar
Jadi, berdasarkan hasil contoh di atas struktur Language Acquisition Device (LAD)
atau alat pemerolehan bahasa yang ada pada anak bekerja dengan baik. Secara kognitif anak
telah mengetahui dan dapat menyampailkan tuturan yang santun dalam bentuk modus tuturan
deklaratif serta kemampuan kompetensi tuturan anak berjalan seiring dengan kemampuan
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4 – 5 Tahun pada PAUD
Mawar Motung.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, hasil penelitian ini didasarkan pada
pengamatan terhadap sembilan anak, lima orang berjenis kelamin perempuan dan empat
orang berjenis kelamin laki-laki. Pada bagian ini, hasil penelitian akan menjelaskan
bagaimana pemerolehan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4-5 tahun Pada
PAUD Mawar Motung terhadap yang diujarkan oleh pengasuh maupun teman lain ketika
sedang terjadi proses interaksi belajar di kelompok bermain tersebut serta mendeskripsikan
hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun PAUD Mawar
Motung dengan kesantunan berbahasa.
Dalam proses perkembangan, semua anak yang normal pasti akan memperoleh suatu
bahasa yang ilmiah. Dengan kata lain, setiap anak yang normal atau pertumbuhannya wajar,
memperoleh suatu bahasa yaitu, “bahasa pertama” atau “bahasa ibu” dalam tahun-tahun
pertama kehidupannya di dunia. Bahasa ibu atau native language adalah bahasa pertama yang
dikuasai atau diperoleh anak (Dardjowidjojo, 2003:241). Bahasa inilah yang awalnya dikenal
dan dipergunakan anak dalam kehidupannya sehari-hari sebagai alat komunikasi.
(5). Tuturan deklaratif mengiyakan secara verbal berupa jawaban pertanyaan adalah sebagai
berikut:
Konteks : Miss (pengasuh) meminta murid untuk menggambar bendera Indonesia.
Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal
(Miss digunting benderanya?).
Kian : Olo (sambil mengangguk).
‘Iya’
Miss : Olo Dryan.
‘Iya Dryan’
Pada konteks (5) di atas sebenarnya pengasuh menyuruh murid untuk menggambar bendera
Indonesia. Kian menjawab pertanyaan Adryan terhadap pengasuh karena bendera tersebut
harus digunting, kemudian Miss (pengasuh) juga membenarkan jawaban Kian. Bentuk
Tindak Tutur Deklaratif yang diujarkan adalah dengan bentuk pertanyaan kemudian
ditanggapi oleh anak dengan menjawab pertanyaan.
(6). Tuturan deklaratif mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan/dukungan.
Bentuk mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan atau dukungan terlihat pada
contoh berikut:
Konteks : Miss (pengasuh) meminta murid untuk menggambar bendera Indonesia.
Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal
Miss : Nunga sae Dwi?
‘Sudah selesai Dwi?’
Dwi : Nunga Miss.
‘Sudah Miss’
Adryan : Nga sae au, satokkin do sae.
‘Sudah selesai Aku, cepat selesai’
Konteks tututan (6) di atas adalah pengasuh menanyakan Dwi apakah sudah selesai
memberikan dukungan atau penegasan atas tindak tutur deklaratif yang diujarkan oleh
pengasuh.
(7) Tuturan deklaratif menolak secara langsung dengan menyalahkan orang lain. Bentuk
menolak secara langsung dengan menyalahkan orang lain seperti terlihat pada contoh
berikut:
Konteks : Miss (pengasuh) menyuruh murid untuk tidak menggangu temannya yang
sedang menggambar bendera.
Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal
Farel : (mengambil gunting dan sengaja menggunting rambut Adryan)
Miss : Unang di gunting obut ni donganna Farel.
‘Jangan digunting rambut temannya Farel’
Adrysn : So botak annon.
‘Jangan nanti jadi botak’
Konteks tuturan (7) di atas adalah pengasuh meminta Farel supaya tidak menggunting rambut
Irwan. Irwan menyalahkan Adryan karena jika Farel menggunting rambut Adryan bisa
menyebabkan rambutnya menjadi botak.
(8). Tuturan deklaratif mengiyakan dengan bentuk verbal berupa pertanyaan sebagai berikut:
Konteks : Miss (pengasuh) menyuruh murid untuk menuliskan nama di buku
masing-masing murid setelah selesai menggambar bendera.
Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal
Miss : Baen goar na di buku na da.
‘Jangan lupa menulis nama di bukunya ya’
‘Bagaimana menulis nama saya Miss?’
Miss : Huruf “F” parjolo Farel (sambil menuliskannya di papan tulis).
‘Dimulai huruf “F” Farel’
Farel : ooo.. songon i do?
‘ooo.. seperti itu?’
Konteks tuturan (8) di atas adalah anak menanggapi tindak tutur deklaratif yang diujarkan
dengan menanyakan untuk mempertegas maksud tindak tutur deklaratif.
(9). Tuturan deklaratif mengiyakan secara tidak langsung dengan pertanyaan terdapat pada
contoh berikut:
Konteks : Miss (pengasuh) menggambar bendera sebanyak 5 buah di papan tulis
dengan ukuran yang berbeda.
Situasi : Di dalam ruangan situasi formal
Miss : Di gambar di buku na da nak..
‘Di lukis di bukunya ya nak..’
Kian : ai balga ma i ? (menunjuk bendera yang berukuran paling besar).
‘Besar sekali itu?’
Konteks tuturan (9) di atas menyiratkan tindak tutur deklaratif pengasuh ditanggapi oleh
anak dengan membuat pertanyaan penegasan.
(10). Tuturan deklaratif mengiyakan secara verbal berupa jawaban pertanyaan adalah sebagai
berikut:
Konteks : Miss (pengasuh) menanyakan kondisi Irwan karena sedang memegang
pipinya.
Situasi : Di dalam ruangan situasi formal
‘Kamu kenapa Adryan? Kamu sakit?’
Adryan : Daong Miss, accit ngingi hu mangallang permen au.
‘Tidak Miss, gigi saya sakit karena makan permen’
Konteks tuturan deklaratif di atas adalah pengasuh menyuruh anak untuk tidak mengganggu
teman yang lain ketika temannya tersebut sedang melakukan suatu kegiatan. Bentuk Tindak
Tutur Deklaratif yang diujarkan adalah dengan bentuk pertanyaan kemudian ditanggapi oleh
anak dengan menjawab pertanyaan.
(11). Respon ini diberikan oleh anak untuk bertindak tutur deklaratif yang berisi tentang
sesuatu makna yang terdengar menyenangkan. Misalnya pada contoh ujaran berikut:
Konteks : Murid-murid sedang menggambar bendera di buku mereka masing-masing.
Situasi : Di dalam ruangan situasi formal
Glestia : Bagak benderam Tari.
‘Tari benderamu cantik’
Tari : (tersenyum).
Ujaran tersebut mengandung makna pujian yang dilontarkan oleh Glestia kepada Tari tentang
lukisannya yang bagus dan Tari mengiyakan dalam bentuk tindakan non verbal “senyuman”.
(12). Tuturan deklaratif mengiyakan secara langsung dengan pernyataan kemampuan atau
kesanggupan. Mengiyakan secara langsung dengan pernyataan kemampuan terlihat pada
contoh berikut:
Konteks : Murid-murid sedang menggambar bendera di buku mereka masing-masing.
Situasi : Di dalam ruangan situasi formal
Adryan : Tari boi do di gambar ho?
‘Bisa kamu menggambarnya Tari?’
‘Bisa’
Konteks di atas menjelaskan seorang anak (Adryan) bertanya kepada anak lainnya dengan
menggunakan bentuk kalimat tanya dengan penanda pernyataan kesanggupan (ditandai
dengan kata ’boi’) yang artinya adalah ‘bisa’ sehingga ditanggapi oleh anak (Tari) dengan
menggunakan pernyataan kesanggupan pula.
(13). Tuturan deklaratif penolakan dengan menggunakan kata penolakan langsung.
Bentuk penolakan secara verbal dengan menggunakan kata penolakan terlihat pada contoh
berikut:
Konteks :Pengasuh mempersilakan anak-anak untuk minum selesai melakukan
olahraga.
Situasi : Diluar ruangan situasi tidak formal
Miss : Nga boi minum da.
‘Sudah bisa minum ya..’
Wanto : Dang naeng minum au.
‘Aku tidak ingin minum’
Pada konteks di atas, pengasuh sebenarnya mempersilahkan anak untuk beristirahat dan
minum selesai melakukan olahraga, kemudian ditanggapi oleh anak (Wanto) yang tidak ingin
minum dengan menggunakan kata penolakan (ditandai dengan kata ’dang’) yang artinya
adalah “tidak”.
(14). Tututran deklaratif bentuk tanggapan mengiyakan secara verbal dengan menawarkan
bantuan terlihat pada contoh berikut:
Konteks :Murid-murid sedang menggambar bendera di buku mereka masing-masing.
Situasi : Di dalam ruangan situasi formal
Glestia : Miss dang muat di buku ku.
Wanto : Idia asa hubaen.
‘Sini saya gambar’
Konteks tuturan (14) di atas menjelaskan pengasuh meminta anak untuk menggambar
bendera. Pada tuturan di atas Glestia dan Wanto telah mampu menuturkan tuturan deklaratif.
Pada tuturan di atas Wanto menanggapi dengan manawarkan bantuan untuk membantu
Glestia menggambar bendera di buku Glestia.
(15). Tuturan deklaratif bentuk mengiyakan secara verbal berupa jawaban pertanyaan adalah
sebagai berikut:
Konteks : Murid-murid membuat tiang bendera dari tusuk gigi
Situasi : Di dalam ruangan situasi formal
Miss : Aha do on? (menunjukkan tusuk gigi kepada murid-murid)
‘Ini namanya apa?’
Murid : Sumpit.
‘Sumpit’
Miss : Sumpit do on?
‘Ini sumpit?’
Adryan : Tusuk ngingi Miss.
‘Tusuk gigi Miss’
Pada konteks di atas sebenarnya pengasuh menyuruh anak membuat tiang bendera dari tusuk
gigi. Bentuk tuturan deklaratif yang diujarkan adalah dalam bentuk pertanyaan kemudian
ditanggapi oleh anak dengan menjawab pertanyaan.
Bentuk mengiyakan dengan melakukan tindakan seperti yang diperintahkan, misalnya
terjadi pada bentuk tuturan deklaratif untuk melakukan suatu kegiatan. Seperti pada
contoh ujran berikut:
Konteks : Murid-murid membuat tiang bendera dari tusuk gigi
Situasi : Di dalam ruangan situasi formal
Tari : Miss nion benderaku (memberikan benderanya kepada pengasuh
mengggunakan tanga kiri).
‘Miss ini bendera saya’
Miss : Pakke tangan kiri do mangalean?
‘Kalau memberi pakai tangan kiri?’
Tari : (Menggantinya dengan menggunakan tangan kanan).
Konteks di atas menjelaskan pengasuh menggunakan jenis tuturan deklaratif melarang Tari
supaya mengganti tangan kanannya untuk memberikan bendera kepada Miss (pengasuh) dan
anak menanggapinya dengan melakukan tindakan seperti yang dimaksud dalam tuturan
deklaratif.
(17). Tuturan deklaratif menolak secara tidak langsung dengan memberikan alasan.
Menolak secara tidak langsung dengan memberikan alasan antara lain dijumpai pada tuturan
deklaratif berikut ini:
Konteks : Murid-murid membuat tiang bendera dari tusuk gigi
Situasi : Di dalam ruangan situasi formal
Kian : Lokkot tangan hu Miss (menunjukkan sisa lem di tangannya bekas menempel
gambar benderanya dengan tusuk gigi dan membersihkannya dengan
bajunya).
‘Miss tangan saya lengket’
‘Ia, tapi jangan di lap ke bajunya ya’
Kian : Boi do annon hu cuci.
‘Nanti bisa saya cuci’
Konteks tuturan deklaratif di atas adalah pengasuh melarang Kian untuk tidak menggosokkan
tangan karena sisa lem yang masih menempel di tangan Kian, namun Kian memberikan
alasan bahwa di akan mencucinya di rumah.
(18). Tuturan deklaratif bentuk pernyataan penolakan tidak langsung dengan alasan.
Bentuk tuturan deklaratif pernyataan penolakan dengan menggunakan alasan terlihat pada
contoh berikut:
Konteks :Peneliti bertanya kepada anak saat sedang waktu bermain
Situasi : Di luar ruangan situasi tidak formal
Peneliti : Ise do goar mu dek?
‘Siapa nama adek?’
Oliv : Lidya Oliviana.
‘Lidya Olivia’
Peneliti : Bagak goarmu ate dek. Boru aha ho dek?
‘Cantik sekali nama adek, Boru apa adek?’
Oliv : Tokkin do hami marmeam ( pergi menemui teman-temannya).
‘Waktu bermain-main kami hanya sebentar’
Konteks di atas menjelaskan peneliti menanyakan anak marga anak. Namun demikian ada
anak yang menolak dengan memberikan alasan bahwa ia ingin bermain bersama
teman-temannya karena waktu bermain hanya sebentar.
Tuturan deklaratif bentuk penolakan berupa jawaban adalah sebagai berikut:
Konteks : Murid-murid sedang belajar dengan tema baru.
Situasi : Di dalam ruangan situasi formal
Miss : Molo disukkun oma annon di jabu tema di sikkola, aha?
‘Kalau nanti mama menanyakan tema hari ini disekolah, apa?’
Kian : Dang huboto Miss.
‘Tidak tahu Miss’
Konteks tuturan di atas menjelaskan pengasuh (Miss) menanyakan anak (Kian) tentang tema
apa yang dipelajari di sekolah jika orangtua menanyakannya di rumah. Kian menjawab
pertanyaan pengasuh dengan penolakan. Bentuk Tindak Tutur Deklaratif yang diujarkan
adalah dengan bentuk pertanyaan kemudian ditanggapi oleh anak dengan menjawab
pertanyaan bahwa Kian tidak tahu tema yang dipelajari.
(20). Diam tanpa bicara.
Tanggapan anak terhadap tuturan deklaratif dengan cara non verbal ini banyak dilakukan
oleh anak usia 4 – 5 tahun. Umumnya mereka mengerti tuturan deklaratif yang diujarkan
penutur, dan tanpa membantah mereka merespon secara positif maksud dari tuturan yang
diujarkan pengasuh. Seperti pada contoh ujaran berikut:
Konteks : Murid-murid sedang belajar dengan tema “Tanah Air”
Situasi : Di dalam ruangan situasi formal
Miss : Aha do beda ni desa dohot kota?
‘Apa beda desa dengan kota?’
Miss : Molo di desa kan godang pohon alai otik jabu, dohot mobil. Molo di kota
godang jabu, godang mobil ale otik do pohon. Di gambar di buku na da
nak.
‘Kalau di desa banyak pohon tapi sedikit rumah dan mobil. Kalau di kota
banyak rumah, sedikit mobil tapi sedikit pohon. Lukis di bukunya ya nak’
Ujaran di atas memiliki daya yang cukup untuk membuat mitra tutur melakukan seperti yang
diujarkan penutur tanpa membantah dan mereka merespon secara positif maksud maksud dari
tuturan yang di ujarkan pengasuh.
(21). Tuturan deklaratif mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan/dukungan
Bentuk mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan atau dukungan terlihat pada
contoh berikut:
Konteks : Pengasuh meminta anak menyimpang sandal ke rak sepatu
Situasi : Tidak formal
Miss : Molo sipatu disimpan di rak da nak..
‘Sepatu disimpan di rak ya nak..’
Aldi : Au nakking hubaen do di rak.
‘Aku tadi menaruhnya di rak’
Konteks tuturan di atas menjelaskan pengasuh meminta anak menyimpan sepatu ketika akan
memasuki ruangan belajar ke tempatnya dan ditanggapi oleh anak dengan memberikan