• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak tutur deklaratif bahasa batak Toba anak usia 4-5 tahun kajian : Psikolinguistik Interaksionis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tindak tutur deklaratif bahasa batak Toba anak usia 4-5 tahun kajian : Psikolinguistik Interaksionis"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4

5

tahun: Kajian Psikolinguistik Interaksionis

Skripsi

Oleh

Melda Juennipa Gultom

100701061

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINDAK TUTUR DEKLARATIF BAHASA BATAK TOBA ANAK USIA 4 – 5 TAHUN KAJIAN: PSIKOLINGUISTIK INTERAKSIONIS

MELDA JUENNIPA GULTOM NIM 100701061

Skripsi ini diajukan untuk melengkapai persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah

disetujui oleh:

Pembimbing I

Dr. Gustianingsih, M.Hum. NIP 19640828 198903 2 001

Pembimbing II

Drs. Amhar Kudadiri, M.Hum. NIP 19600725 198601 1 002

DepartemenSastra Indonesia

Ketua,

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan

oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam

daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, maka saya bersedia

menerima sanksi berupa pembatalan gelar yang saya peroleh.

Medan, Juni 2014

Hormat Saya,

Melda Juennipa Gultom

(4)

TINDAK TUTUR DEKLARATIF BAHASA BATAK TOBA ANAK USIA 4 – 5 TAHUN: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK INTERAKSIONIS

Oleh Melda Juennipa Gultom

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tindak tutur deklaratif bahasa batak toba anak usia 4-5 tahun berdasarkan kajian psikolinguistik interaksionis. Penelitian ini menggunakan teori kesantunan berbahasa. Dalam penelitian ini mengkaji tentang tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung serta hubungannya dengan kesantunan berbahasa. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung serta mendeskripsikan hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun dengan kesantunan berbahasa. Dalam pengumpulan data digunakan metode metode simak dengan teknik sadap, teknik simak libat cakap, dan teknik catat. Kemudian, dalam mengkaji data digunakan metode padan dan metode agih. Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data data adalah metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa dan metode padan pragmatis yang alat penentunya adalah mitra wicara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pemahaman tuturan deklaratif anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung terhadap psikolinguistik interaksionis anak. Dalam menanggapi atau merespon tuturan deklatatif, anak usia prasekolah melakukannya dalam dua bentuk utama yaitu mengiyakan atau menolak. Dalam mengiyakan atau menyetujui tuturan deklaratif anak melakukannya dalam dua cara yaitu secara verbal dan non verbal. Pemahaman tersebut terlihat pada kemampuan memahami tindak tutur deklaratif serta bagaimana anak mulai menguasai prinsip kesantunan. Beberapa bentuk strategi yang digunakan oleh anak kaitannya agar penolakannya terdengar santun adalah dengan menggunakan penolakan secara tidak langsung. Pada penelitian ini agar penolakannya terdengar santun mereka menggunakan penolakan secara tidak langsung dengan cara memberikan alasan, menggunakan diksi pilihan nama dan memberikan alternatif pilihan lain.

(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK PRAKATA

DAFTAR ISI ... i

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Batasan Masalah ... 7

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.2.1 Manfaat Teoretis ... 8

1.4.2.2 Manfaat Praktis ... 8

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 9

2.1.1 Pendidikan Anak Usia Dini ... ... 9

2.1.2 Bahasa Batak Toba ... 10

2.2 Landasan Teori ... 11

2.2.1 Tindak Tutur ... ... 11

2.2.2 Psikolinguistik ... 13

2.2.3 Pemerolehan Bahasa .... ... 14

2.2.4 Psikolinguistik Interaksionis ... ... 15

2.2.5 Teori Kesantunan ... ... 15

(6)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian ... ... 23

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 23

3.1.2 Waktu Penelitian ... 23

3.2 Sumber Data ... 23

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 24

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ... 25

BAB IV PEMBAHASAN 4.1Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4 – 5 Tahun pada PAUD Mawar Motung 32 4.2Hubungan Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4 – 5 Tahun dengan Kesantunan Berbahasa... 46

4.2.1 Kesantunsaan Positif dengan Menggunakan Diksi Pilihan Nama ... 47

4.2.2 Kesantunan Positif dengan Menghindari Pertentangan dengan Lawan Tutur ... 49

4.2.3 Kesantunan Positif dengan Membuat Persepsi bahwa Penutur Memahami Keinginan Lawan Tutur ... 52

4.2.4 Kesantunan Positif dengan Berusaha Melibatkan Penutur dan Lawan Tutur dalam Suatu Kegiatan Tertentu ... 54

4.2.5 Kesantunan Positif dengan Penawaran ... 55

4.2.6 Kesantunan Positif dengan Memberikan dan Meminta Alasan ... 56

4.2.7 Kesantunan Positif dengan Memberikan Perhatian Khusus pada Lawan Tutur ... 60

4.2.8 Kesantunan Negatif dengan Tidak Menyebutkan Penutur dan Pendengar ... 60

4.2.9 Kesantunan Negatif Memakai Ujaran Tidak Langung dengan Penawaran ... 61

4.2.10 Kesantunan Negatif dengan Meminta Maaf ... 62

BAB V PENUTUP... 64

(7)

5.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BIODATA ANAK

(8)

TINDAK TUTUR DEKLARATIF BAHASA BATAK TOBA ANAK USIA 4 – 5 TAHUN: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK INTERAKSIONIS

Oleh Melda Juennipa Gultom

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tindak tutur deklaratif bahasa batak toba anak usia 4-5 tahun berdasarkan kajian psikolinguistik interaksionis. Penelitian ini menggunakan teori kesantunan berbahasa. Dalam penelitian ini mengkaji tentang tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung serta hubungannya dengan kesantunan berbahasa. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung serta mendeskripsikan hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun dengan kesantunan berbahasa. Dalam pengumpulan data digunakan metode metode simak dengan teknik sadap, teknik simak libat cakap, dan teknik catat. Kemudian, dalam mengkaji data digunakan metode padan dan metode agih. Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data data adalah metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa dan metode padan pragmatis yang alat penentunya adalah mitra wicara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pemahaman tuturan deklaratif anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung terhadap psikolinguistik interaksionis anak. Dalam menanggapi atau merespon tuturan deklatatif, anak usia prasekolah melakukannya dalam dua bentuk utama yaitu mengiyakan atau menolak. Dalam mengiyakan atau menyetujui tuturan deklaratif anak melakukannya dalam dua cara yaitu secara verbal dan non verbal. Pemahaman tersebut terlihat pada kemampuan memahami tindak tutur deklaratif serta bagaimana anak mulai menguasai prinsip kesantunan. Beberapa bentuk strategi yang digunakan oleh anak kaitannya agar penolakannya terdengar santun adalah dengan menggunakan penolakan secara tidak langsung. Pada penelitian ini agar penolakannya terdengar santun mereka menggunakan penolakan secara tidak langsung dengan cara memberikan alasan, menggunakan diksi pilihan nama dan memberikan alternatif pilihan lain.

(9)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tindak tutur terdapat dalam komunikasi berbahasa. Tindak tutur merupakan tindakan

yang terjadi dalam setiap proses komunikasi dengan menggunakan bahasa. Tindak tutur

merupakan produk dari suatu ujaran kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan

terkecil dari komunikasi bahasa yang menentukan makna kalimat. Bahasa sendiri berfungsi

sebagai sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi. Kehidupan sosial

ditandai oleh adanya komunikasi antarindividu maupun individu dengan kelompok melalui

proses interaksi yang menggunakan bahasa sebagai media. Selain itu bahasa juga sebagai

media bagi manusia untuk mengungkapkan segala bentuk emosi dan pikirannya.

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak

seorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya

(Simanjuntak:1987:157).

Penggunaan bahasa untuk bersosialisasi tidak terlepas dari faktor-faktor penentu

tindak komunikasi serta prinsip-prinsip kesantunan dan direalisasikan dalam tindak tutur

komunikasi. Dalam penilaian kesantunan berbahasa minimal ada dua hal yang perlu

diperhatikan yaitu bagaimana kita bertutur dan dengan siapa kita bertutur. Hakikatnya

kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosioalisasi di sekolah ataupun masyarakat

dengan penggunaan bahasa dan pemilihan kata yang baik, dengan memerhatikan di mana,

kapan, kepada siapa, dengan tujuan apa kita berbicara secara santun. Setyawati (2013)

menyebutkan hal tersebut senada dengan pendapat Wijana (1996: 11), bahwa bentuk-bentuk

tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu.

(10)

menyatakan maksud yang sama. Sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan

dengan tuturan yang sama. Budaya kita menilai berbicara dengan menggunakan bahasa yang

santun akan memperlihatkan sejati kita sebagai manusia yang beretika, berpendidikan, dan

berbudaya yang mendapat penghargaan sebagai manusia yang baik.

Faktor-faktor penentu tindak komunikasi anak serta prinsip-prinsip kesantunan sangat

penting dalam realisasi komunikasi pada masa pra sekolah. Kondisi ideal yang diharapkan

seperti di atas kadang kala berbenturan dengan kenyataan yang terjadi. Masih sering

dijumpai penutur menggunakan kalimat yang sering tidak sesuai dengan etika dan tutur kata

yang sopan. Kondisi tersebut disebabkan oleh faktor kebiasaan yang dilakukan di rumah,

lingkungan, maupun teman sepergaulan. Oleh karena itu, orangtua atau tenaga pendidik harus

berupaya untuk selalu menggunakan bahasa yang santun. Sikap dan tuturan pendidik

mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap dan tuturan anak. Oleh karena itulah tindak

tutur yang santun sangat penting pada anak usia dini (PAUD).

Pendidikan Anak Usia Dini menjadi sangat penting mengingat potensi kecerdasan dan

dasar-dasar perilaku seseorang terbentuk pada rentang usia ini. Sedemikian pentingnya masa

ini sehingga usia dini sering disebut the golden age (usia emas) (dalam Purwanto:2009).

Biasanya mereka menggunakan bahasa melalui berbagai cara, seperti bernyanyi, bertanya,

atau kegiatan interaksi lainnya (seperti dialog dengan guru maupun teman-temannya). Pada

era globalisasi ini proses tindak tutur bahasa memegang peranan penting karena dengan

bahasa manusia melakukan komunikasi.

Menurut Austin (1955) (dalam Yuniarti 2010) yang kemudian dikembangkan oleh

Searle (1975) ketika seseorang berbicara, ia tidak hanya mengucapkan sebuah ujaran tetapi ia

juga melakukan tindakan dengan ujarannya tersebut. Teori ini kemudian dikenal sebagai

(11)

memiliki maksud-maksud tertentu yang berdampak pada lawan tuturnya. Austin

menggolongkan teori tindak tutur (speech act) menjadi tiga yaitu: locutionary act,

illocutionary act, dan perlocutionary act. Searle (1975) , selanjutnya mengklasifikasi tindak

tutur ke dalam lima jenis yaitu: representatives, directives, expressives, commisives dan

declaration.

Selanjutnya, Searle (1975) (dalam Yuniarti 2010), mengklasifikasi bahwa tindak tutur

deklaratif berfungsi untuk menginformasikan kepada mitra tutur atau bahkan kepada publik

tentang sesuatu hal dan kemungkinan berpengaruh pada kehidupan. Kaitannya dengan

anak-anak, tindak tutur terkait dengan kemampuan anak baik dalam hal kompetensi maupun

performansi. Kompetensi anak terhadap tindak tutur berpengaruh pada performansinya, yaitu

kemampuannya dalam memahami maksud tindak tutur, dan kemungkinan anak tersebut

mampu memproduksi tindak tutur tersebut.

Menurut Chaer (2003: 167), ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak

sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi.

Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara alamiah. Proses

kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi. Kompetensi tidak

diperoleh secara berasingan, melainkan diperoleh secara bersamaan sesuai dengan

perkembangan usia anak.

Selanjutnya menurut Chaer (2003: 167), proses performansi sendiri memiliki dua

tahap, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan

kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau

kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan

melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat itu sendiri. Kedua

(12)

linguistik terdiri atas kemampuan memahami dan kemampuan melahirkan atau menerbitkan

kalimat-kalimat baru yang dalam linguistik transformasi generatif disebut perlakuan atau

pelaksaan bahasa atau performansi.

Pendekatan interaksionis adalah gabungan dari dua pendekatan yakni perpaduan

antara faktor internal dan eksternal dalam proses pemerolehan dan pembelajaran berbahasa

(Roza 2009). Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil

interaksi antara kemampuan mental pembelajar dengan lingkungan bahasa. Hubungan antara

keduanya adalah hasil interaksi aktual antara pembelajar dengan orang lain. Titik awal

pendekatan ini adalah kemampuan kognitif manusia dalam menemukan sruktur bahasa di

sekitarnya. Proses pemerolehan dan pembelajaran dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya

(Simanjuntak,1990:110). Perkembangan intelektual anak yang biasa juga ditandai dengan

perkembangan kognitif oleh Piaget ditandai dengan: masa sensomotorik (0–2 tahun), masa

praoperasional (2–7 tahun), masa oprerasional konkret (7–12 tahun), masa formal operasional

(kurang lebih 12 tahun ke atas), masa abstrak formal (kurang lebih 17 tahun ke atas)

(Semiawan 2002: 50).

Pada anak usia prasekolah (4–5 tahun), kompetensi dan performansinya terhadap

tindak tutur tentu saja berbeda dengan orang dewasa. Perkembangan pemerolehan bahasa

pertama anak pada masa prasekolah berlangsung seiring dengan perkembangan

pralinguistiknya. Dardjowijoyo (2005:57) menambahkan bahwa anak memiliki

tahapan-tahapan tersendiri dalam memeroleh bahasanya, termasuk di dalamnya kemampuan

pragmatik (tentu saja dengan tindak tuturnya).

Tindak tutur deklaratif yang berfungsi mempengaruhi mitra tutur untuk melakukan

seperti yang diujarkan penutur tentu saja banyak dilakukan di sebuah kelompok bermain. Di

kelompok usia ini, tentu saja ada beberapa strategi tindak tutur deklaratif yang dilakukan oleh

(13)

mudah direspon oleh peserta didik agar melakukan sesuatu sesuai tuturan. Seperti halnya

kemampuan anak dalam merespon atau memahami tindak tutur deklaratif, kemampuan

menerbitkan atau kemampuan memproduksi tindak tutur deklaratif juga perlu diperhatikan.

Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini bermaksud meneliti bagaimana anak usia pra

sekolah (4–5 tahun) memahami dan menerbitkan tindak tutur deklaratif dan kaitannya dengan

kesantunan berbahasa.

Penelitian tentang tindak tutur deklaratif memang sudah banyak dilakukan oleh

banyak peneliti dengan kesantunan berbahasa. Namun demikian penelitian tersebut lebih

banyak menggunakan orang dewasa sebagai objek penelitiannya. Sementara penelitian

mengenai tuturan deklaratif dengan objek anak-anak belum banyak dilakukan terutama dalam

bahasa Batak Toba. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya memfokuskan objeknya pada

tuturan deklaratif anak usia pra sekolah (usia 4 – 5 tahun).

Anak-anak di PAUD Mawar Motung yang berusia 4–5 tahun telah mampu

mengembangkan keterampilan berbicara melalui percakapan sederhana. Bahasa Batak Toba

menjadi aset kekayaan linguistik kebudayaan Indonesia. Bahasa ini mempunyai peranan dan

tugas yang sama dengan bahasa daerah lain terhadap perkembangan bahasa Indonesia, baik

dari segi faktor penunjang maupun sebagai sumber bahan khususnya untuk menambah kosa

kata bahasa Indonesia. Hal ini yang membuat penulis tertarik sehingga memilih judul Tindak

Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4–5 tahun: Kajian Psikolinguistik

Interaksionis serta melihat bagaimana hubungan tindak tutur anak dengan kesantunan

(14)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas, maka masalah yang akan diteliti

adalah:

1. Bagaimanakah tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada

PAUD Mawar Motung?

2. Bagaimakanah hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5

tahun dengan kesantunan berbahasa?

1.3Batasan masalah

Batasan masalah merupakan uraian terhadap masalah yang akan diteliti, sehingga

penelitian yang akan dilakukan dapat efektif dan efesien. Melihat banyaknya jenis tindak

tutur dalam bahasa, penelitian ini hanya membahas tentang tindak tutur deklaratif yang

digunakan anak-anak usia 4–5 tahun bagi penutur bahasa Batak Toba pada PAUD Mawar

Motung, Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Anak usia 4–5 tahun

ini sehat jasmani dan rohani serta menggunakan bahasa Batak Toba untuk berkomunikasi

dengan Ibu dan saudara-saudarnya baik di rumah maupun di sekolah dengan guru dan

teman-temannya.

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan identifikasi dan rumusan masalah penelitian yang telah diungkapkan,

penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:

1. Mendeskripsikan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada

PAUD Mawar Motung

2. Mendeskripsikan hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5

tahun dengan kesantunan berbahasa.

(15)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk semua pihak yang

bersangkutan dalam penelitian ini, baik manfaat secara praktis maupun secara teoretis:

1.4.2.1 Manfaat Teoretis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang tindak tutur bahasa

Batak Toba pada anak usia 4–5 tahun.

2. Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca dalam memahami

penelitian.

3. Menambah sumber referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian yang

berkaitan dengan tindak tutur deklaratif pada anak-anak.

1.4.2.2Manfaat Praktis

1. Penelitian ini dapat dijadikan sumber acuan bagi peneliti selanjutnya tentang tindak

tutur deklaratif bahasa-bahasa daerah.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan masukan bagi orang tua

yang memiliki anak usia 4–5 tahun.

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru tentang tindak tutur

(16)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Dalam penelitian, ada beberapa konsep dasar yang berkaitan dengan topik penelitian

yang pada intinya dibangun untuk menunjang teori yang diterapkan. Beberapa konsep

tersebut diantaranya mengacu pada judul atau topik penelitian. Dalam penelitian ini ada

beberapa konsep dasar yang dijadikan sebagai acuan yaitu:

2.1.1 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Yusuf (2000:162) (dalam Yuniarti 2010) mengemukakan bahwa anak usia prasekolah

merupakan fase perkembangan individu sekitar 2–6 tahun atau sering disebut sebagai usia

Taman Kanak-kanak (TK). Masa ini diperinci lagi kedalam dua masa, yaitu: 1) masa vital,

karena pada usia ini individu menggunakan fungsi biologisnya untuk menemukan berbagai

hal dalam dunianya, dan 2) masa estetik karena pada masa ini dianggap sebagai masa

perkembangan rasa keindahan.

Early childhood atau kadang dinamakan usia prasekolah adalah periode dari akhir

masa bayi sampai umur lima atau enam tahun. Selama periode ini, anak menjadi makin

mandiri, siap untuk bersekolah (seperti mulai belajar untuk mengikuti perintah dan

mengidentifikasi huruf) dan banyak menghabiskan waktu bersama teman. Selepas taman

kanak-kanak biasanya dianggap sebagai batas berakhirnya periode ini.

Bermain juga merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan

anak didik. Dalam masa prasekolah, bermain merupakan cara alamiah untuk menemukan

lingkungan, orang lain, dan dirinya sendiri. Pada prinsipnya, bermain mengandung rasa

senang dan tanpa paksaan serta lebih mementingkan proses dari pada hasil akhir. Bermain

adalah medium, di mana si anak mencobakan diri, bukan saja dalam fantasinya tetapi juga

(17)

2.1.2 Bahasa Batak Toba

Bahasa Batak Toba hingga saat ini masih merupakan alat komunikasi sehari-hari

antarwarga masyarakat penturnya. Masyarakat Batak Toba akan lebih mudah dalam

menyampaikan maksud dan perasaan jika menggunakan Bahasa Batak Toba kepada

masyarakat penuturnya. Dalam dialognya penutur sering menggunakan ungkapan-ungkapan

guna menjalin hubungan antar penutur dan lawan tuturnya. Jalinan komunikasi tersebut dapat

berupa salam, mengakrabkan hubungan, dan dapat sebagai basa-basi pergaulan.

Bahasa Batak Toba digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat penuturnya

yang tersebar di beberapa kabupaten, yaitu: Kabupaten Daerah Tingkat II Samosir yang

berpusat di Pangururan, Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara yang berpusat di

Tarutung, dan Kabupaten Daerah Tingkat II Humbang Hasundutan yang berpusat di Dolok

Sanggul serta kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir yang berpusat di Balige. Tempat

fokus penelitian peneliti tepatnya di daerah Motung Kec. Ajibata di Desa Lumban Bagasan

yang masih penutur asli bahasa Batak Toba.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Tindak Tutur

Tindak tutur atau tindak bahasa adalah bagian dari peristiwa tutur (speech event) yang

merupakan fenomena aktual dalam situasi tutur (Rohmadi, 2004 : 7). (Widyahening 2013)

mengatakan ada beberapa defenisi tentang tindak tutur yang dikemukakan oleh para ahli

pragmatik. Searle (16:1969) memberi batasan tindak tutur sebagai suatu tanggapan atau

penghasilan kalimat dalam kondisi tertentu yang bisa berupa kegiatan menyatakan,

memerintah, menjawab pertanyaan, berjanji, dan sebagainya. Chaer dan Leonie (2004:50)

menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan

keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi

(18)

ditampilkan lewat tuturan dan dalam bahasa Inggris secara umum diberi label yang lebih

khusus, misalnya permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan, janji atau permohonan.

Begitupun dengan Searle (dalam Tampubolon 2013) yang membagi tindak tutur dalam

lima kategori yaitu representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, diantaranya:

1) Representatif (disebut juga asertif)

Merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang

dikatakannya. Misalnya mengatakan, melaporkan, dan menyebutkan.

2) Direktif

Merupakan tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur

tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut,

menyarankan, dan menantang.

3) Ekspresif

Merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai

evaluasi mengenai hal yang disebutkan dalam tuturan itu. Misalnya memuji, mengucapkan

terima kasih, mengkritik, dan menyelak.

4) Komisif

Merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang

disebutkan di dalam tuturannya. Misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam.

5) Deklaratif

Merupakan tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal

(status, keadaan, dsb.) yang baru. Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang,

(19)

Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.

Tindakan dalam tuturan akan terlihat dari makna tuturan. Berdasarkan pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa tindak tutur adalah aktivitas dengan menuturkan sesuatu. Tindak tutur

yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur.

Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang

menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.

2.2.2 Psikolinguistik

Menurut Clark dan Clarck (1977) (dalam Dardjowidjojo 2005:7) psikologi bahasa

berkaitan dengan tiga hal utama :komprehensi ,produksi, dan pemerolehan bahasa. Secara

etimologi kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik yakni dua

bidang ilmu yang berbeda, yang masing- masing berdiri sendiri dengan prosedur dan metode

yang berlainan. Namun keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai obyek formalnya.

Kedua obyek tersebut memiliki materi yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa,

sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa (Chaer 2003:5).

Psikolinguistik menguraikan proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan

kalimat-kalimat yang didengarkannya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan

berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Chaer 2003:5). Maka secara teoretis tujuan utama

psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan

secara psikologi dapat menerangkan hakekat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain,

psikolinguistik mencoba menerangkan hakekat struktur bahasa dan bagaimana struktur itu

diperoleh, digunakan pada waktu bertutur dan pada waktu memahami kalimat-kalimat

penuturan itu (Chaer 2003:6). Dikaitkan dengan komunikasi, psikolinguistik memusatkan

perhatian pada modifikasi pesan selama berlangsungnya komunikasi dalam hubungan dengan

(20)

2.2.3 Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam

otak seorang anak ketika anak memperoleh bahasa pertama bahasa ibunya. Pemerolehan

biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa

adalah proses-proses yang terjadi pada waktu seorang anak mempelajari bahasa kedua,

setelah anak memperoleh bahasa pertamanya. Jadi pemerolehan bahasa berkenaan dengan

bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer,

2003:167).

Pemerolehan Bahasa merupakan proses yang dilakaukan manusia untuk mendapatkan

kemampuan bahasa, menangkap, menghasilkan, dan menggunakan kata untuk pemahaman

dan komunikasi. Kapasitas ini melibatkan berbagai kemampuan seperti sintaksis, fonetik, dan

kosakata yang luas. Pemerolehan bahasa biasanya merujuk pada pemerolehan bahasa pertama

yang mengkaji pemerolehan anak terhadap bahasa ibu mereka dan bukan pemerolehan

bahasa kedua yang mengkaji pemerolehan bahasa tambahan oleh anak-anak atau orang

dewasa. Kemampuan memperoleh bahasa pertama merupakan ‘kemampuan berbahasa’

(language faculty) bawaan (innateness) manusia yang diberikan kepada setiap anak yang

baru lahir (Cahyono 1995; 273).

2.2.4Psikolinguistik Interaksionis

(Roza 2009) mengemukakan bahwa Psikolinguistik Interaksionis adalah gabungan

dari dua pendekatan yakni perpaduan antara faktor internal dan eksternal dalam proses

pemerolehan dan pembelajaran berbahasa. Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan

bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental anak dengan lingkungan bahasa.

Hubungan antara keduanya adalah hasil interaksi aktual antara pembelajar dengan orang lain.

Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif manusia dalam menemukan sruktur

(21)

sekitarnya (Simanjuntak,1990:110). Kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada

pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar

akan lebih bermakna jika anak mengalami hal yang dipelajarinya.

Kompetensi dan Performansi merupakan hal yang berkaitan dengan tata bahasa

transformasi sebagai dasar kajian psikolinguistik yang juga berhubungan dengan psikologi

interaksionis anak. Kompetensi tata bahasa inilah yang menjadi pengetahuan bahasa

penutur bahasa itu yang memungkinkan dia melakukan performansi bahasa itu, yang terdiri

dari menuturkan kalimat-kalimat dan memahami kalimat-kalimat yang didengarnya

(Simanjuntak 2009:57).

2.2.5 Teori Kesantunan

Dalam berinteraksi dengan menggunakan bahasa terdapat kesantunan berbahasa, atau

disebut dengan kesantunan saja (Hasibuan 2005). Beberapa linguis memaparkan teori

kesantunan, seperti Lakoff (1972), Brown dan Levinson (1987) dan Leech (1983). Penelitian

ini menggunakan teori Brown dan Levinson sebagai alat untuk menganalisis kesantunan yang

ada pada tindak tutur deklaratif.

Menurut Brown dan Levinson dalam (Yuniarti 2010), teori kesantunan berbahasa

berkisar pada nosi muka (face) yang dibagi menjadi muka negatif dan muka positif. Muka

negatif adalah keinginan individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi oleh pihak lain.

Sedang muka positif adalah keinginan setiap penutur agar dia dapat diterima atau disenangi

oleh pihak lain (dalamYule:1996). Dikatakan oleh Brown dan Levinson bahwa konsep

tentang muka ini bersifat universal dan secara alamiah terdapat berbagai tuturan yang

cenderung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan (Face Threatening Act).

Menurut Brown dan Levinson sebuah tindak ujaran atau tindak tutur dapat merupakan

ancaman terhadap muka yang disebut sebagai facethreatening act (FTA). Karena ada dua sisi

(22)

kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga

muka positif). Brown dan Levinson (dalam Yuniarti 2010) merangkum beberapa tindakan

yang melanggar muka negatif meliputi:

a. Ungkapan mengenai perintah dan permintaan, saran, nasihat, peringatan, ancaman,

tantangan.

b. Ungkapan mengenai tawaran atau janji.

c. Ungkapan mengenai pujian, ungkapan perasaan negatif yang kuat seperti kebencian,

kemarahan.

Tindakan yang mengancam muka positif lawan meliputi:

a. Ungkapan mengenai ketidaksetujuan, kritik, tindakan merendahkan atau yang

mempermalukan, keluhan, kemarahan, dakwaan, penghinaan.

b. Ungkapan mengenai pertentangan, ketidaksetujuan atau tantangan.

c. Ungkapan emosi yang tidak terkontrol yang membuat lawan tutur menjadi takut atau

dipermalukan.

d. Ungkapan yang tidak sopan, menyebutkan hal-hal yang tidak sesuai dengan situasi, yaitu

penutur tidak menghargai nilai-nilai lawan tutur.

e. Ungkapan kabar buruk mengenai lawan tutur, menyombongkan berita baik, tidak

menyenangkan lawan tutur dan tidak mebgindahkan perasaan lawan tutur.

f. Ungkapan mengenai hal-hal yang membahayakan, memecah belah pendapat, menciptakan

(23)

g. Ungkapan yang tidak kooperatif antara penutur terhadap lawan tutur, menyela

pembicaraan lawan tutur, tidak menunjukan kepedulian pada lawan tutur.

h. Ungkapan yang menunjukan sebutan atau sesuatu pada lawan tutur pada perjumpaan

pertama. Dalam situasi ini mungkin penutur membuat identifikasi yang keliru pada lawan

tutur sehingga dapat mempermalukan lawan tutur baik sengaja atau tidak.

Brown dan Levinson memberikan beberapa strategi yang digunakan untuk

meminimalkan ancaman terhadap muka negatif maupun muka positif agar ujaran terdengar

santun. Strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka positif antara lain:

a. Memberikan perhatian khusus pada lawan tutur; ”Wah, rambut baru ya?bagus sekali. Eh,

boleh pinjam printer tidak?”

b. Melebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati pada lawan tutur; “Rumah anda

benar-benar bersih sekali.”

c. Meningkatkan rasa tertarik pada lawan tutur untuk terlibat dalam pembicaraan; “Anda tahu

maksud saya kan?”

d. Menggunakan penanda yang menunjukan kesamaan jati diri atau kelompok; “Kamu mau

membantuku kan, Sobat?

e. Mencari persetujuan lawan; “Benar tidak, ide itu luar biasa.”

f. Menghindari pertentangan dengan lawan tutur; “Ya, idemu cukup bagus.”

g. Menimbulkan persepsi sejumlah persamaan penutur dan lawan tutur; “Ya aku tahu, pasti

sakit sekali rasanya kan?”

(24)

i. Membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan lawan tutur; “Aku tahu kamu tidak

suka nonton film, tapi film ini bagus. Tontonlah.”

j. Membuat penawaran dan janji; “Kapan-kapan saya mampir.”

k. Menunjukan rasa optimisme; “Saya yakin kamu pasti dapat dipercaya.”

l. Berusaha melibatkan penutur dan lawan tutur dalam suatu kegiatan tertentu; “Ayo kita

istirahat dulu sejenak.”

m. Memberikan dan meminta alasan; “Bagaimana kalau kita ke pantai saja, lebih santai.”

n. Menawarkan suatu tindakan timbal balik; “Saya akan meminjami kamu buku, kalau kamu

juga mau meinjami aku majalahmu.”

o. Memberikan simpati pada lawan tutur; “Kalau ada yang dapat aku bantu?”

Sedangkan beberapa strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka negatif

antara lain:

a. Pakailah ujaran tak langsung; ”Dapatkah engkau menolongku?”

b. Pakailah pagar (hedge); ”Aku agak ragu, tapi bisakah kau menolongku?”

c. Tunjukan pesimisme; ”Aku sebenarnya mau minta tolong sama kamu, tapi aku takut

merepotkanmu.”

d. Minimalkan paksaan; ”Bolehkah aku merepotkanmu sebentar?”

e. Berikan penghormatan; ”Aku ingin minta tolong sama kamu, karena aku tahu kamu

satu-satunya orang yang bisa saya mintai tolong dalam hal ini.”

(25)

g. Pakailah bentuk impersonal (yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan pendengar);

Aku rasa setiap orang mengalami masa-masa sulit.”

h. Ujarkan tindak tutur itu sebagai ketentuan yang bersifat umum; ”Keadaan ekonomi

sekarang ini sungguh sulit”.

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki atau

mempelajari) Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah kitab, buku, buku

primbon, (KBBI 2003: 912).

Yuniarti (2010) dalam Thesisnya yang berjudul Kompetensi Tindak Tutur Direktif Anak

Usia Prasekolah ( Kajian Pada Kelompok Bermain Anak Cerdas P2PNFI Regional II

Semarang), membahas tentang mengidentifikasi realisasi bentuk pemahaman anak usia

prasekolah terhadap Tindak Tutur Direktif (TTD), mengidentifikasi realisasi bentuk-bentuk

TTD yang diterbitkan oleh anak usia prasekolah, dan mengidentifikasi keterkaitan

perkembangan pemahaman serta penerbitan TTD anak usia prasekolah tersebut dengan

kesantunan.

Penelitian tentang bahasa di lingkungan taman kanak-kanak telah dilakukan oleh

Gustianingsih (2002). Penelitiannya yang membahas Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa

Indonesia pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak, menunjukkan bahwa anak usia taman

kanak-kanak telah memperoleh kemampuan sintaksis dalam menyusun kalimat majemuk.

Temuan ini akan menjadi gambaran pemerolehan bahasa terhadap fungsi tindak tutur anak

secara sintaksis.

Stiawati (2012) dalam artikelnya yang berjudul Kompetensi Tindak Tutur Direktif Anak

Usia Prasekolah. Penelitian tersebut bertujuan mengkaji kompetensi tindak direktif anak usia

prasekolah. Data berupa tuturan-tuturan yang berisi bentuk, fungsi, dan strategi tindak

(26)

teori yang digunakan adalah teori Pragmatik dan Etnografi Komunikasi. Analisis data

menggunakan model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia prasekolah

sudah menggunakan diantaranya: empat belas kompetensi bentuk tindak direktif, enam

kompetensi fungsi tindak direktif; dan kompetensi strategi tindak direktif secara langsung dan

tidak langsung.

Hutabarat (2011) dalam Tesisnya yang berjudul Pemerolehan Sintaksis Bahasa

Indonesia Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun Di Padang Bulan Medan, yaitu bagaimana

anak-anak pada tahun pertama kehidupannya anak-anak mulai meniru kata-kata yang mereka

dengar dari lingkungan sekitarnya dan dapat dikatakan pada saat itulah anak mulai

menghasilkan “kata-kata pertama” mereka. Penelitian dilakukan berdasarkan teori biologis

-kognitif Chomsky yang menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dengan potensi biologis

untuk bahasa dan pemerolehan serta perkembangan bahasa terjadi bukan karena potensi

biologis tersebut saja tetapi juga karena adanya lingkungan bahasa yang mendukung.

Selanjutnya, Nasution (2009) dengan judul penelitian Kemampuan Berbahasa Anak

Usia 3–4 Tahun (Prasekolah) di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolinguistik,

penelitian ini memaparkan bahwa anak usia 3–4 tahun telah memperoleh kemampuan

fonologis, sintaksis, maupun semantik. Penelitian ini menginformasikan bahwa anak pada

usia itu telah mampu menguasai kalimat-kalimat secara bertahap mulai dari bentuk kalimat

yang sederhana hingga bentuk kalimat yang kompleks.

Taningsih (2006) mengamati pentingnya Mengembangkan Kemampuan bahasa Anak

usia (4–6 tahun) melalui Bercerita. Dalam tulisannya, dipaparkan bahwa cerita mendorong

anak bukan saja senang menyimak cerita , tetapi juga senang bercerita atau berbicara. Anak

belajar tentang tata cara berdialog dan bernarasi sehingga terstimulasi/terangsang untuk

menirukannya. Kemampuan pragmatik terstimulasi melalui bercerita karena dalam cerita ada

(27)

larangan, dan memuji. Kajian ini menjadi referensi penelitian dalam mengamati tindak tutur

anak taman kanak-kanak yang menjadi subjek peneliti.

Marpaung (2006) dalam skripsinya yang berjudul Pemerolahan Bahasa Batak Toba

Anak Usia 1–5 Tahun, menyimpulkan bahwa tahap-tahap perkembangan pemerolehan bahasa

anak, adalah tahap holofrastik (tahap linguistik pertama), tahap ucapan-ucapan dua kata,

tahap perkembangan tata bahasa, tahap tata bahasa menjelang dewasa dalam bahasa Batak

Toba.

Selanjutnya, Nasution (2009) dalam Thesisnya yang berjudul Kemampuan Berbahasa

Anak Usia 3-4 tahun di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolingustik. Hasil

(28)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi adalah letak atau tempat (Alwi, dkk 2003: 680). Yang menjadi lokasi

penelitian ini adalah PAUD Mawar Motung, Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir.

3.1.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 10 Februari 2014 – 10 Maret 2014.

3.2 Sumber Data

Sumber data adalah subjek dari mana data itu diperoleh (KBBI, 2003: 994). Sumber

data dalam penelitian ini adalah tuturan deklaratif dari anak PAUD Mawar yang berada di

Desa Motung, Kec. Ajibata Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara yang berusia empat

sampai lima tahun. Penulis mengambil 9 anak untuk dijadikan sebagai narasumber, lima

orang berjenis kelamin perempuan dan empat orang berjenis kelamin laki-laki. Setiap anak

yang diteliti harus memenuhi kriteria-kriteria diantaranya, berusia 4–5 tahun, merupakan

penduduk setempat, sehat jasmani dan rohani, beserta bahasa pertamanya adalah bahasa

Batak Toba.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah penyediaan dan pengklasifikasian data. Metode

pengumpulan data adalah cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data. Metode adalah

cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode

(Sudaryanto 1993:9). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak.

Disebut “metode simak” atau “penyimakan” karena memang berupa penyimakan: dilakukan

(29)

dilakukan dengan menyimak tuturan yang akan disampaikan oleh anak usia 4–5 tahun oleh

anak-anak PAUD Mawar Motung Kec. Ajibata Kabupaten Toba Samosir.

Adapun teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sadap. Pada

praktiknya, penyimakan atau metode simak itu diwujudkan dengan penyadapan, maksudnya

menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang (Sudaryanto, 1993: 133).

Metode simak memiliki teknik lanjutan yaitu teknik simak libat cakap (Sudaryanto,

1993: 134). Peneliti terlibat langsung dalam dialog, konversasi, imbal wicara atau ikut serta

dalam proses pembicaraan anak-anak yang saling berbicara. Hal ini berarti bahwa yang

diperhatikan oleh peneliti bukan isi pembicaraan melainkan tuturan deklaratif serta hubungan

tuturan deklaratif dengan kesantunan berbahasa yang digunakan. Kemudian dilanjutkan

dengan teknik catat sebagai teknik lanjutan akhir dari metode simak. Dalam hal ini penulis

melakukan pencatatan terhadap data relevan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan

penelitian. Teknik pencatatan dilakukan dengan mencatat kata-kata yang diucapkan oleh para

informan.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, mulailah diadakan analisis terhadap data untuk

menyelesaikan permasalahan penelitian yang telah ditetapkan. Analisis data merupakan

upaya sang peneliti menangani langsung masalah yang terkandung dalam data (Sudaryanto,

1993:6). Sudaryanto (1993) mengelompokkan metode analisis data ke dalam dua jenis

berdasarkan alat penentunya, yaitu metode padan dan metode agih.

Dalam penggunaan, metode analisis data yang dipilih harus sesuai dengan satuan

kebahasaan yang diangkat sebagai objek analisis. Metode padan adalah metode analisis

bahasa yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa

yang bersangkutan, sedangkan metode agih adalah metode analisis bahasa dengan alat

(30)

Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah metode pada

referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent

bahasa dan metode padan pragmatis yang alat penentunya adalah mitra wicara. Metode ini

digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya, satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat

yang terjadi atau timbul pada lawan atau mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu

dituturkan oleh pembicara. Pada penelitian ini metode ini digunakan untuk mengidentifikasi

tindak tutur deklaratif anak.

Strategi-strategi yang digunakan oleh anak usia 4–5 tahun dalam menanggapi tindak

tutur deklaratif tersebut di antaranya dengan mengiyakan/menyetujui tindak tutur deklaratif

tersebut tanpa membantah, menyetujui dengan memunculkan ujaran tertentu dan melakukan

penolakan terhadap tindak tutur yang diungkapkan ole penutur.

Contoh:

(1). Konteks: Oliv meminta izin kepada Dwi bahwa ia ingin bergabung bermain dengan

Dwi.

Situasi : Di luar ruangan situasi tidak formal

Oliv : “boi do Ahu dohot marmeam?”

(boleh saya ikut bermain?)

Dwi : “Boi”

(Bisa)

Kalimat (1) di atas dapat diidentifikasi sebagai izin. Kalimat tersebut jika dituturkan

mengakibatkan mitra wicara memunculkan reaksi menerima permintaan izin Dwi tersebut.

(31)

karena penentunya adalah mitra wicara. Oliv meminta untuk bermain bergabung dengan Dwi

dan Dwi mengizinkan untuk bergabung bersama.

Pada tuturan (1) Oliv telah mampu menuturkan tuturan deklaratif kepada Dwi.

Tuturan (1) mengidentifikasikan tuturan langsung yang sopan ketika Dwi mampu menghargai

nilai-nilai lawan tuturnya dan sesuai dengan situasi dan menerima permintaan izin Oliv untuk

bergabung bermain dengannya.

Berikut merupakan contoh tuturan bentuk reaksi penolakan secara tidak langsung

yang terjadi:

(2). Konteks : Oliv mengajak Dwi bermain di luar karena pelajaran telah selesai.

Situasi : Di dalam ruangan kelas dan dalam situasi tidak formal, karena pelajaran telah

selesai.

Oliv : “Dwi, eta marmeam i luar”

(Dwi, ayo bermain di luar)

Dwi : “manggabbar dope ahu”

(Aku masih menggambar)

Kalimat (2) di atas jika di tuturkan mengakibatkan mitra wicara (Dwi) memberikan

reaksi menolak secara tidak langsung dengan tidak harus mengikuti ajakan temannya (Oliv)

untuk bermain di luar karena ia sedang menggambar.

Pada tuturan (2) di atas, Oliv dan Dwi mampu menuturkan tuturan deklaratif. Tuturan

(2) juga mengidentifikasikan tuturan tidak langsung yang dituturkan oleh Dwi dengan alasan

(32)

tidak langsung agar penolakannya terdengar santun dilakukan dengan cara memberikan

alasan. Dwi merasa bahwa ajakan Oliv tidak harus diikuti karena ia sedang asik menggambar.

Psikolinguistik interaksionis diantara kedua anak yaitu Oliv dan Dwi menyebutkan

terjadinya interaksi yang positif antara Oliv dan Dwi.

Contoh di bawah ini mengiyakan/menyetujui dengan bentuk verbal berupa pertanyaan

sebagai berikut:

(3). Konteks : Pengasuh membatalkan mata pelajaran melukis.

Situasi : Di dalam ruangan kelas dalam situasi formal

Pengasuh: “Anak-anak hu songonari dang saut hita mangalukis da”

(Anak-anak ku hari ini kita tidak jadi melukis ya)

Murid : “Dang saut Miss?”

(Tidak jadi Miss?)

Pada kalimat (3) di atas, anak memberikan tanggapan mengiyakan atau menyetujui

pembatalan melukis dari pengasuh dengan menerbitkan ujaran. Pada tuturan (3) anak

menuturkan tuturan deklaratif kepada pengasuh dengan menggunakan Miss. Tuturan Miss

adalah salah satu sapaan kesantunan dalam memanggil seorang guru atau pengasuh anak.

Tuturan (3) juga mengidentifikasikan tuturan yang santun mengiyakan/menyetujui dengan

bentuk verbal dengan berupa pertanyaan. Pada konteks di atas anak tersebut menanggapi

tindak tutur deklaratif yang diujarkan dengan menanyakan untuk mempertegas tindak tutur

deklaratif dari pengasuh. Hal ini berarti anak memahami maksud tindak tutur yang

(33)

Psikolinguistik interaksionis di atas menyebutkan juga terjadinya interaksi yang

positif antara anak dengan guru (Miss) dan begitu juga sebaliknya dalam lingkungan formal

serta menunjukkan bahwa kognitif anak bekerja dengan baik, karena anak masih mengerti

tuturan yang disampaikan pengasuh (Miss) kepadanya .

Di bawah ini juga merupakan contoh identifikasi tuturan langsung yang santun dan

meminta persetujuan:

(4) Konteks : Oliv menyatakan kepada pengasuh (Miss) bahwa ia tidak bisa bermain di luar

ruangan karena sedang hujan.

Situasi : Di dalam ruangan

Dwi :“Miss dang boi hami marmeam i luar ala ro udan.” (Miss, kami tidak bisa

bermain di luar karena hujan).

Pengasuh : “Olo nak hu” (Iya anak ku)

Pada tuturan (4) di atas dapat diidentifikasi sebagai tuturan deklaratif larangan yang

dituturkan oleh anak. Kalimat tersebut jika dituturkan mengakibatkan mitra wicara

memunculkan reaksi mengiyakan atas laragan yang di produksi anak.

Tutruran (4) juga mengidentifikasikan tuturan langsung yang santun dan meminta

persetujuan “tidak boleh keluar ruangan, karena sedang hujan”. Tuturan (4) ini menunjukkan

bahwa kognitif anak bekerja dengan baik, karena anak masih mengingat nasehat yang

disampaikan pengasuh (Miss) kepadanya. Jika hari hijan tidak boleh bermain di luar, karena

dapat mengakibatkan sakit.

Psikolinguistik interaksionis di atas menyebutkan juga terjadinya interaksi yang

(34)

lingkungan formal di sekolah. Hal ini sekaligus menjawab masalah nomor 2 dalam proposal

ini.

Selanjutnya, setelah data dianalisis adalah menyajikan hasil analisis data. Dalam

pelaksanaannya, hasil analisis data dapat disajikan secara informal dan formal (Sudaryanto,

1993:43).

Penyajian hasil analisis data secara formal adalah penyajian hasil analisis data dengan

menggunakan kaidah kebahasaan. Kaidah itu dapat berbentuk rumus, bagan/diagram, tabel

dan gambar (Kesuma, 2007:73) dalam (Yuniarti 2010). Selanjutnya untuk memudahkan,

penyajian kaidah itu didahului atau diikuti oleh penyajian yang bersifat informal.

Penyajian hasil analisis data secara informal adalah penyajian hasil analisis data

dengan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145). Dalam penyajian hasil analisis

ini, rumus atau kaidah disampaikan dengan menggunakan kata-kata biasa, kata-kata yang

apabila dibaca dengan serta merta dapat langsung dipahami. Pada penelitian ini hasil analisis

data disajikan secara informal karena analisis dilakukan secara kualitatif dengan uraian

penjelasan kata-kata yang mudah dipahami.

Pada contoh di atas anak usia 4–5 tahun menunjukkan adanya pemahaman dalam

proses pemerolehan dan pembelajaran berbahasa secara internal dan ekternal walaupun tidak

terlalu mencolok. Perkembangan tersebut berbentuk gradasi pada kemampuan anak

memahami tindak tutur deklaratif. Pemahaman anak lebih pada bagaimana anak mulai

menguasai prinsip kesantuan. Beberapa bentuk strategi yang digunakan oleh anak kaitannya

agar penerimaannya atau penolakannya terdengar santun adalah dengan menggunakan

penolakan secara langsung dan tidak langsung dengan memberikan alternatif pilihan lain agar

(35)

Jadi, berdasarkan hasil contoh di atas struktur Language Acquisition Device (LAD)

atau alat pemerolehan bahasa yang ada pada anak bekerja dengan baik. Secara kognitif anak

telah mengetahui dan dapat menyampailkan tuturan yang santun dalam bentuk modus tuturan

deklaratif serta kemampuan kompetensi tuturan anak berjalan seiring dengan kemampuan

(36)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4 – 5 Tahun pada PAUD

Mawar Motung.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, hasil penelitian ini didasarkan pada

pengamatan terhadap sembilan anak, lima orang berjenis kelamin perempuan dan empat

orang berjenis kelamin laki-laki. Pada bagian ini, hasil penelitian akan menjelaskan

bagaimana pemerolehan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4-5 tahun Pada

PAUD Mawar Motung terhadap yang diujarkan oleh pengasuh maupun teman lain ketika

sedang terjadi proses interaksi belajar di kelompok bermain tersebut serta mendeskripsikan

hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun PAUD Mawar

Motung dengan kesantunan berbahasa.

Dalam proses perkembangan, semua anak yang normal pasti akan memperoleh suatu

bahasa yang ilmiah. Dengan kata lain, setiap anak yang normal atau pertumbuhannya wajar,

memperoleh suatu bahasa yaitu, “bahasa pertama” atau “bahasa ibu” dalam tahun-tahun

pertama kehidupannya di dunia. Bahasa ibu atau native language adalah bahasa pertama yang

dikuasai atau diperoleh anak (Dardjowidjojo, 2003:241). Bahasa inilah yang awalnya dikenal

dan dipergunakan anak dalam kehidupannya sehari-hari sebagai alat komunikasi.

(5). Tuturan deklaratif mengiyakan secara verbal berupa jawaban pertanyaan adalah sebagai

berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) meminta murid untuk menggambar bendera Indonesia.

Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal

(37)

(Miss digunting benderanya?).

Kian : Olo (sambil mengangguk).

‘Iya’

Miss : Olo Dryan.

‘Iya Dryan’

Pada konteks (5) di atas sebenarnya pengasuh menyuruh murid untuk menggambar bendera

Indonesia. Kian menjawab pertanyaan Adryan terhadap pengasuh karena bendera tersebut

harus digunting, kemudian Miss (pengasuh) juga membenarkan jawaban Kian. Bentuk

Tindak Tutur Deklaratif yang diujarkan adalah dengan bentuk pertanyaan kemudian

ditanggapi oleh anak dengan menjawab pertanyaan.

(6). Tuturan deklaratif mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan/dukungan.

Bentuk mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan atau dukungan terlihat pada

contoh berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) meminta murid untuk menggambar bendera Indonesia.

Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal

Miss : Nunga sae Dwi?

‘Sudah selesai Dwi?’

Dwi : Nunga Miss.

‘Sudah Miss’

Adryan : Nga sae au, satokkin do sae.

‘Sudah selesai Aku, cepat selesai’

Konteks tututan (6) di atas adalah pengasuh menanyakan Dwi apakah sudah selesai

(38)

memberikan dukungan atau penegasan atas tindak tutur deklaratif yang diujarkan oleh

pengasuh.

(7) Tuturan deklaratif menolak secara langsung dengan menyalahkan orang lain. Bentuk

menolak secara langsung dengan menyalahkan orang lain seperti terlihat pada contoh

berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) menyuruh murid untuk tidak menggangu temannya yang

sedang menggambar bendera.

Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal

Farel : (mengambil gunting dan sengaja menggunting rambut Adryan)

Miss : Unang di gunting obut ni donganna Farel.

‘Jangan digunting rambut temannya Farel’

Adrysn : So botak annon.

‘Jangan nanti jadi botak’

Konteks tuturan (7) di atas adalah pengasuh meminta Farel supaya tidak menggunting rambut

Irwan. Irwan menyalahkan Adryan karena jika Farel menggunting rambut Adryan bisa

menyebabkan rambutnya menjadi botak.

(8). Tuturan deklaratif mengiyakan dengan bentuk verbal berupa pertanyaan sebagai berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) menyuruh murid untuk menuliskan nama di buku

masing-masing murid setelah selesai menggambar bendera.

Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal

Miss : Baen goar na di buku na da.

‘Jangan lupa menulis nama di bukunya ya’

(39)

‘Bagaimana menulis nama saya Miss?’

Miss : Huruf “F” parjolo Farel (sambil menuliskannya di papan tulis).

‘Dimulai huruf “F” Farel’

Farel : ooo.. songon i do?

‘ooo.. seperti itu?’

Konteks tuturan (8) di atas adalah anak menanggapi tindak tutur deklaratif yang diujarkan

dengan menanyakan untuk mempertegas maksud tindak tutur deklaratif.

(9). Tuturan deklaratif mengiyakan secara tidak langsung dengan pertanyaan terdapat pada

contoh berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) menggambar bendera sebanyak 5 buah di papan tulis

dengan ukuran yang berbeda.

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Miss : Di gambar di buku na da nak..

‘Di lukis di bukunya ya nak..’

Kian : ai balga ma i ? (menunjuk bendera yang berukuran paling besar).

‘Besar sekali itu?’

Konteks tuturan (9) di atas menyiratkan tindak tutur deklaratif pengasuh ditanggapi oleh

anak dengan membuat pertanyaan penegasan.

(10). Tuturan deklaratif mengiyakan secara verbal berupa jawaban pertanyaan adalah sebagai

berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) menanyakan kondisi Irwan karena sedang memegang

pipinya.

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

(40)

‘Kamu kenapa Adryan? Kamu sakit?’

Adryan : Daong Miss, accit ngingi hu mangallang permen au.

‘Tidak Miss, gigi saya sakit karena makan permen’

Konteks tuturan deklaratif di atas adalah pengasuh menyuruh anak untuk tidak mengganggu

teman yang lain ketika temannya tersebut sedang melakukan suatu kegiatan. Bentuk Tindak

Tutur Deklaratif yang diujarkan adalah dengan bentuk pertanyaan kemudian ditanggapi oleh

anak dengan menjawab pertanyaan.

(11). Respon ini diberikan oleh anak untuk bertindak tutur deklaratif yang berisi tentang

sesuatu makna yang terdengar menyenangkan. Misalnya pada contoh ujaran berikut:

Konteks : Murid-murid sedang menggambar bendera di buku mereka masing-masing.

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Glestia : Bagak benderam Tari.

‘Tari benderamu cantik’

Tari : (tersenyum).

Ujaran tersebut mengandung makna pujian yang dilontarkan oleh Glestia kepada Tari tentang

lukisannya yang bagus dan Tari mengiyakan dalam bentuk tindakan non verbal “senyuman”.

(12). Tuturan deklaratif mengiyakan secara langsung dengan pernyataan kemampuan atau

kesanggupan. Mengiyakan secara langsung dengan pernyataan kemampuan terlihat pada

contoh berikut:

Konteks : Murid-murid sedang menggambar bendera di buku mereka masing-masing.

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Adryan : Tari boi do di gambar ho?

‘Bisa kamu menggambarnya Tari?’

(41)

‘Bisa’

Konteks di atas menjelaskan seorang anak (Adryan) bertanya kepada anak lainnya dengan

menggunakan bentuk kalimat tanya dengan penanda pernyataan kesanggupan (ditandai

dengan kata ’boi’) yang artinya adalah ‘bisa’ sehingga ditanggapi oleh anak (Tari) dengan

menggunakan pernyataan kesanggupan pula.

(13). Tuturan deklaratif penolakan dengan menggunakan kata penolakan langsung.

Bentuk penolakan secara verbal dengan menggunakan kata penolakan terlihat pada contoh

berikut:

Konteks :Pengasuh mempersilakan anak-anak untuk minum selesai melakukan

olahraga.

Situasi : Diluar ruangan situasi tidak formal

Miss : Nga boi minum da.

‘Sudah bisa minum ya..’

Wanto : Dang naeng minum au.

Aku tidak ingin minum’

Pada konteks di atas, pengasuh sebenarnya mempersilahkan anak untuk beristirahat dan

minum selesai melakukan olahraga, kemudian ditanggapi oleh anak (Wanto) yang tidak ingin

minum dengan menggunakan kata penolakan (ditandai dengan kata ’dang’) yang artinya

adalah “tidak”.

(14). Tututran deklaratif bentuk tanggapan mengiyakan secara verbal dengan menawarkan

bantuan terlihat pada contoh berikut:

Konteks :Murid-murid sedang menggambar bendera di buku mereka masing-masing.

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Glestia : Miss dang muat di buku ku.

(42)

Wanto : Idia asa hubaen.

‘Sini saya gambar’

Konteks tuturan (14) di atas menjelaskan pengasuh meminta anak untuk menggambar

bendera. Pada tuturan di atas Glestia dan Wanto telah mampu menuturkan tuturan deklaratif.

Pada tuturan di atas Wanto menanggapi dengan manawarkan bantuan untuk membantu

Glestia menggambar bendera di buku Glestia.

(15). Tuturan deklaratif bentuk mengiyakan secara verbal berupa jawaban pertanyaan adalah

sebagai berikut:

Konteks : Murid-murid membuat tiang bendera dari tusuk gigi

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Miss : Aha do on? (menunjukkan tusuk gigi kepada murid-murid)

‘Ini namanya apa?’

Murid : Sumpit.

‘Sumpit’

Miss : Sumpit do on?

‘Ini sumpit?’

Adryan : Tusuk ngingi Miss.

‘Tusuk gigi Miss’

Pada konteks di atas sebenarnya pengasuh menyuruh anak membuat tiang bendera dari tusuk

gigi. Bentuk tuturan deklaratif yang diujarkan adalah dalam bentuk pertanyaan kemudian

ditanggapi oleh anak dengan menjawab pertanyaan.

(43)

Bentuk mengiyakan dengan melakukan tindakan seperti yang diperintahkan, misalnya

terjadi pada bentuk tuturan deklaratif untuk melakukan suatu kegiatan. Seperti pada

contoh ujran berikut:

Konteks : Murid-murid membuat tiang bendera dari tusuk gigi

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Tari : Miss nion benderaku (memberikan benderanya kepada pengasuh

mengggunakan tanga kiri).

‘Miss ini bendera saya’

Miss : Pakke tangan kiri do mangalean?

‘Kalau memberi pakai tangan kiri?’

Tari : (Menggantinya dengan menggunakan tangan kanan).

Konteks di atas menjelaskan pengasuh menggunakan jenis tuturan deklaratif melarang Tari

supaya mengganti tangan kanannya untuk memberikan bendera kepada Miss (pengasuh) dan

anak menanggapinya dengan melakukan tindakan seperti yang dimaksud dalam tuturan

deklaratif.

(17). Tuturan deklaratif menolak secara tidak langsung dengan memberikan alasan.

Menolak secara tidak langsung dengan memberikan alasan antara lain dijumpai pada tuturan

deklaratif berikut ini:

Konteks : Murid-murid membuat tiang bendera dari tusuk gigi

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Kian : Lokkot tangan hu Miss (menunjukkan sisa lem di tangannya bekas menempel

gambar benderanya dengan tusuk gigi dan membersihkannya dengan

bajunya).

‘Miss tangan saya lengket’

(44)

‘Ia, tapi jangan di lap ke bajunya ya’

Kian : Boi do annon hu cuci.

‘Nanti bisa saya cuci’

Konteks tuturan deklaratif di atas adalah pengasuh melarang Kian untuk tidak menggosokkan

tangan karena sisa lem yang masih menempel di tangan Kian, namun Kian memberikan

alasan bahwa di akan mencucinya di rumah.

(18). Tuturan deklaratif bentuk pernyataan penolakan tidak langsung dengan alasan.

Bentuk tuturan deklaratif pernyataan penolakan dengan menggunakan alasan terlihat pada

contoh berikut:

Konteks :Peneliti bertanya kepada anak saat sedang waktu bermain

Situasi : Di luar ruangan situasi tidak formal

Peneliti : Ise do goar mu dek?

‘Siapa nama adek?’

Oliv : Lidya Oliviana.

‘Lidya Olivia’

Peneliti : Bagak goarmu ate dek. Boru aha ho dek?

‘Cantik sekali nama adek, Boru apa adek?’

Oliv : Tokkin do hami marmeam ( pergi menemui teman-temannya).

‘Waktu bermain-main kami hanya sebentar’

Konteks di atas menjelaskan peneliti menanyakan anak marga anak. Namun demikian ada

anak yang menolak dengan memberikan alasan bahwa ia ingin bermain bersama

teman-temannya karena waktu bermain hanya sebentar.

(45)

Tuturan deklaratif bentuk penolakan berupa jawaban adalah sebagai berikut:

Konteks : Murid-murid sedang belajar dengan tema baru.

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Miss : Molo disukkun oma annon di jabu tema di sikkola, aha?

‘Kalau nanti mama menanyakan tema hari ini disekolah, apa?’

Kian : Dang huboto Miss.

‘Tidak tahu Miss’

Konteks tuturan di atas menjelaskan pengasuh (Miss) menanyakan anak (Kian) tentang tema

apa yang dipelajari di sekolah jika orangtua menanyakannya di rumah. Kian menjawab

pertanyaan pengasuh dengan penolakan. Bentuk Tindak Tutur Deklaratif yang diujarkan

adalah dengan bentuk pertanyaan kemudian ditanggapi oleh anak dengan menjawab

pertanyaan bahwa Kian tidak tahu tema yang dipelajari.

(20). Diam tanpa bicara.

Tanggapan anak terhadap tuturan deklaratif dengan cara non verbal ini banyak dilakukan

oleh anak usia 4 – 5 tahun. Umumnya mereka mengerti tuturan deklaratif yang diujarkan

penutur, dan tanpa membantah mereka merespon secara positif maksud dari tuturan yang

diujarkan pengasuh. Seperti pada contoh ujaran berikut:

Konteks : Murid-murid sedang belajar dengan tema “Tanah Air”

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Miss : Aha do beda ni desa dohot kota?

‘Apa beda desa dengan kota?’

(46)

Miss : Molo di desa kan godang pohon alai otik jabu, dohot mobil. Molo di kota

godang jabu, godang mobil ale otik do pohon. Di gambar di buku na da

nak.

‘Kalau di desa banyak pohon tapi sedikit rumah dan mobil. Kalau di kota

banyak rumah, sedikit mobil tapi sedikit pohon. Lukis di bukunya ya nak’

Ujaran di atas memiliki daya yang cukup untuk membuat mitra tutur melakukan seperti yang

diujarkan penutur tanpa membantah dan mereka merespon secara positif maksud maksud dari

tuturan yang di ujarkan pengasuh.

(21). Tuturan deklaratif mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan/dukungan

Bentuk mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan atau dukungan terlihat pada

contoh berikut:

Konteks : Pengasuh meminta anak menyimpang sandal ke rak sepatu

Situasi : Tidak formal

Miss : Molo sipatu disimpan di rak da nak..

‘Sepatu disimpan di rak ya nak..’

Aldi : Au nakking hubaen do di rak.

‘Aku tadi menaruhnya di rak’

Konteks tuturan di atas menjelaskan pengasuh meminta anak menyimpan sepatu ketika akan

memasuki ruangan belajar ke tempatnya dan ditanggapi oleh anak dengan memberikan

Referensi

Dokumen terkait

Jenis dari imbalan ini antara lain royalti, imbalan jasa teknik, dan penghasilan dari usaha keseluruhannya merupakan objek pengenaan Pajak Penghasilan.Pajak yang dikenakan pada

melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh geometri pahat ( radial rake angle dan nose radius) dan kondisi pemotongan (kecepatan potong dan kecepatan makan) terhadap

(Si está presentando esta queja en nombre de una persona que usted alega ha sido discriminada, en la mayoría de los casos necesitaremos un Formulario de consentimiento firmado

Hal ini menyatakan bahwa besarnya pengaruh jumlah variabel kendaraan bermotor dan faktor fisika terhadap jumlah akumulasi kandungan timbal (Pb) pada tubuh thalus

Menurut Nursing Interventions Classification intervensi yang diberikan pada klien masalah keperawatan bersihan jalan tidak efektif yaitu: peningkatan manajemen batuk yaitu:

Setelah membeli produk, konsumen akan merasa puas atau tidak puas dan terlibat dalam perilaku pasca pembelian ( postpurchase behavior ) yang harus diperhatikan oleh

Dari pernyataan tersebut berarti pada sampel kelompok II perlakuan penambahan Ultrasound pada Latihan Neural Stretching dapat meningkatkan kemampuan fungsional wrist pada

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya terbitan yang terkait dengan ataupun mengenai Islam telah diterbitkan sejak Era Reformasi dan pada saat itulah menjadi masa berkembangnya